Buku ini memberikan update terbaru tentang definisi, epidemiologi, patofisiologi, gejala, dan penatalaksanaan sepsis. Sepsis didefinisikan sebagai respons sistemik radang terhadap infeksi yang dapat menyebabkan disfungsi organ. Buku ini menjelaskan berbagai tingkatan keparahan sepsis mulai dari SIRS, sepsis, sepsis berat, hingga syok septik beserta kriterianya. Penatalaksanaan sepsis meliputi antibiotik, drainase, dukungan organ, dan terapi sp
4. iii
KATA PENGANTAR
Buku ini disusun dari berbagai kepustakaan
sebagai tambahan informasi bagi para klinisi terkait
Sepsis merupakan masalah yang sangat penting
dalam ilmu kedokteran dan manajemen yang
efektif merupakan tantangan bagi berbagai dokter
spesialis, antara lain: spesialis paru, internis,
spesialis anak, spesialis kebidanan dan
kandungan, spesialis bedah, spesialis anestesi,
intensivist dll.
Mengingat mortalitas yang diakibatkan oleh sepsis
dan komplikasinya masih sangat tinggi, dibutuhkan
pemahaman yang cukup tentang patofisiologi dan
berbagai aspek terapinya.
Oleh karena itu buku ini diharapkan menjadi
tambahan informasi yang berguna bagi para klinisi,
namun tidak luput dari kekurangan di sana-sini,
sehingga kritikan dari pembaca sangat membantu
untuk memperbaiki isinya.
Penerbit
6. PENDAHULUAN
Sepsis adalah suatu kondisi medis serius yang disebabkan
oleh infeksi berat. Diperlukan definisi yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan menegakkan diagnosis dengan
akurat, memonitor dan menangani pasien sepsis. Klinisi harus
familiar dengan kondisi-kondisi berikut 1
• Infeksi didefinisikan sebagai proses patologis yang
disebabkan oleh serbuan (invasi) jaringan, cairan atau
rongga tubuh yang sebelumnya steril, oleh mikro-
organisme patogen atau potensial patogen.
• Sepsis didefinisikan sebagai sindroma klinik yang
ditandai oleh adanya infeksi ( biakan darah positif) dan
respon radang sistemik (sebagai respon terhadap
infeksi). Manifestasi klinik mencakup > 2 dari kondisi-
kondisi berikut sebagai akibat infeksi: (i) suhu tubuh di
atas 38°C atau lebih rendah dari 36°C, (ii) heart rate
lebih dari 90/menit, (iii) hiperventilasi yang dibuktikan
dengan pernapasan lebih dari 20/menit atau PaCO2
kurang dari 32 mmHg.(iv) Hitung leukosit >12000 sel
/µl atau <4000 sel /µl
• SIRS (Systemic Infammatory Response Syndrome)
didiagnosis bila pasien memiliki lebih dari satu temuan
klinis yang disebut diatas namun tanpa adanya bukti
infeksi pada sindroma ini.
Subset yang lebih kritis dari sepsis meliputi sepsis berat
(sepsis dengan disfungsi organ akut) dan syok septik (sepsis
dengan hipotensi arterial yang refrakter).
Syok septik mencerminkan ujung spektrum dari peradangan
dan respon hospes yang semakin meningkat terhadap suatu
jejas toksik (yakni infeksi). Tumpang tindih biasa terlihat
1
7. 2
selama berbagai langkah dari kejadian-kejadian yang
berurutan yang menjurus ke manifestasi syok septik
Septikemia adalah sepsis aliran darah yang disebabkan oleh
bakteremia, yakni adanya bakteri di dalam aliran darah. Istilah
septikemia juga digunakan untuk mengacu ke sepsis secara
umum.
Gejala-Gejala
Respon radang sistemik yang mengaktifkan peradangan dan
lintasan pembekuan darah. Ini bisa berlanjut ke disfungsi
sistem sirkulasi dan pada terapi yang optimal sekalipun bisa
mengakibatkan gagal organ ganda dan akhirnya kematian.
Sepsis lazim dan lebih berbahaya pada pasien lansia,
imunokompromi, dan sakit kritis. Kekerapannya 2% dari semua
kasus rawat inap dan menempati 25% dari bed ICU. Sepsis
merupakan penyebab utama kematian pada unit rawat intensif
di seluruh dunia, dengan angka mortalitas berkisar antara 20%
untuk sepsis sampai 40% untuk sepsis berat dan >60% karena
syok septik . Di Amerika Serikat, sepsis merupakan penyebab
utama kematian pada pasien-pasien ICU non-koroner, dan
penyebab kesepuluh tersering dari seluruh kematian menurut
data tahun 2000 dari CDC (Centers for Disease Control and
Prevention).2
Masalah dalam manajemen pasien sepsis yang tidak adekuat
adalah keterlambatan memberikan terapi yang tepat setelah
diagnosis sepsis ditegakkan. Suatu kerjasama mancanegara
berskala besar diselenggarakan untuk mengedukasi orang
tentang sepsis dan memperbaiki prognosis. Kolaborasi ini
diberi nama"Surviving Sepsis Campaign." Kampanye tersebut
telah dipublikasi sebagai tinjauan berbasis bukti tentang
strategi manajemen untuk sepsis berat3
dengan tujuan
menerbitkan seperangkat pedoman lengkap dalam 3 tahun.
TATALAKSANA
Terapi sepsis mengandalkan antibiotik, drainase bedah dari
kumpulan cairan yang terinfeksi, penggantian cairan tubuh dan
8. 3
dukungan yang sesuai untuk disfungsi organ . Mungkin ini
mencakup:
1. Hemodialisis untuk gagal ginjal,
2. Ventilasi mekanik pada disfungsi paru,
3. Transfusi plasma darah, trombosit dan faktor
pembekuan untuk menstabilkan pembekuan darah,
4. Obat dan terapi cairan untuk gagal sirkulasi.
5. Dukungan nutrisi jika perlu dengan nutrisi parenteral
penting selama penyakit yang berkepanjangan.
Kebanyakan terapi yang ditujukan pada proses radangnya
sendiri gagal memperbaiki prognosis. Namun demikian,
drotrecogin (activated protein C, salah satu dari faktor-faktor
pembekuan) telah diperlihatkan menurunkan mortalitas dari
kitra-kira 31% menjadi sekitar 25% pada sepsis berat .1
Terapi
kortisol dosis rendah telah memberi harapan untuk pasien syok
septik dengan insufisiensi relatif dari kelenjar adrenal.
REFERENSI:
1. Tslotou AG, Sakorafas GH, Anagnostopoulos G, Bramis J. Septic
shock; current pathogenetic concepts from a clinical perspective.
Med Sci Monit. 2005 Mar;11(3):RA76-85
2. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, Moss M. The epidemiology of
sepsis in the United States from 1979 through 2000. N Engl J Med.
2003 Apr 17;348(16):1546-54
3. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J,
Gea-Banacloche J, Keh D, Marshall JC, Parker MM, Ramsay G,
Zimmerman JL, Vincent JL, Levy MM; Surviving Sepsis Campaign
Management Guidelines Committee. Surviving Sepsis Campaign
guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit
Care Med. 2004 Mar;32(3):858-73. Erratum in: Crit Care Med. 2004
Jun;32(6):1448. Correction of dosage error in text. Crit Care Med.
2004 Oct;32(10):2169-70
9. 4
DEFINISI
Karena sepsis telah ditetapkan sebagai suatu entiti penyakit
spesifik, banyak kemajuan didpat dalam pemahaman tentang
patofisiologi dan strategi-strategi untuk pencegahan, diagnosis
berbagai proses patologi terkait. Begitupula dengan
tatalaksana yang inovatif. Telah berkembang tatanama yang
membedakan antara respon-respon fisiologi terhadap
rangsang non-infeksi (yakni , systemic inflammatory response
syndrome [SIRS]) dan kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh
infeksi . Lebih lanjut, semua kondisi ini dikategorikan sebagai
sepsis, severe sepsis, septic shock, dan multiple organ
dysfunction syndrome (MODS).
SIRS ditegakkan dengan sembarang 2 dari kondisi-kondisi
berikut1
:
• Temperatur> 38.0°C atau < 36.0°C;
• Heart rate > 90 /menit;
• Respiratory rate > 20 /menit;
• Partial pressure of carbon dioxide (PCO2) < 32 mm Hg;
• Leukositosis > 12,000 /mm3
);
• Leukopenia < 4000 /mm3
); dan
• Hitung leukosit normal dengan > 10% bentuk muda.
Pasien tidak harus terinfeksi untuk mengalami SIRS
(misal, pankreatitis akut).
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang disebabkan
infeksi atau hipoperfusi dengan 2 atau lebih kriteria SIRS.1
Keberadaan infeksi bisa dengan bukti atau sangkaan - biakan
darah tidak wajib positif. Sumber-sumber lain (misal urin dan
sputum) dapat positif, namun kecurigaan adanya infeksi sudah
cukup. Pada tahun 2002, definisi diperluas dengan bukti atau
sangkaan infeksi pada sembarang kriteria SIRS atau > 1 dari
berikut2
:
• Edema signifikan atau imbang cairan positif (> 20
mL/kg dalam 24 jam);
• Hiperglikemia (glukosa plasma > 120 mg/dL) pada
pasien non-diabetes;
10. 5
• Variabel-variabel radang: plasma C-reactive protein >
2 SD di atas nilai normal atau procalcitonin plasma > 2
SD di atas nilai normal;
• Mixed venous oxygen saturation (SVO2) > 70%; dan
• Cardiac index > 3.5
Severe sepsis (sepsis berat) didefinisikan sebagai sepsis yang
disertai disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi1
Variabel-variabel disfungsi organ mencakup:
1. Hipoksemia arterial ( rasio PaO2/fraction of inspired
oxygen [FiO2] < 300 torr);
2. Oliguria akut (urine output < 0,5 mL/kg/jam selama
paling kurang 2 jam);
3. Kreatinin> 2.0 mg/dL;
4. Koagulopati (international normalized ratio > 1.5 atau
activated partial thromboplastin time [APTT] > 60
detik);
5. Trombositopenia (hitung trombosit < 100,000 mm3
);
6. Hiperbilirubinemia (bilirubin total plasma > 2.0 mg/dL
atau 35 mmol/L);
Variabel perfusi jaringan: hiperlaktatemia (> 2 mmol/L); dan
Variabel-variabel hemodinamik: hipotensi arterial (systolic
blood pressure [SBP] < 90 mm Hg, mean arterial pressure
[MAP] < 70 mm Hg, atau SBP turun > 40 mm Hg).
Syok septik didefinisikan sebagai gagal sirkulasi akut setelah
tantangan cairan kristaloid, yang tidak bisa dijelaskan oleh
sebab-sebab lain.[1]
Lebih lanjut gagal sirkulasi akut
didefinisikan sebagai hipotensi arterial persisten(SBP < 90 mm
Hg, MAP < 60, atau penurunan SBP > 40 mm Hg dari baseline
walaupun telah mendapat resusitasi cairan secara adekuat).
MODS adalah adanya gangguan fungsi dari 2 atau lebih organ
pada pasien sakit akut, sehingga homeostasis tidak bisa
dipertahankan tanpa intervensi1
Untuk memberikan informasi mutakhir kepada para klinisi
tentang diagnosis dan manajemen kondisi-kondisi di atas, the
11. American College of Surgeons' Committee on Peri-operative
Care mensponsori suatu sesi tentang "Advances in the
Treatment and Recognition of Sepsis and Septic Shock" pada
kongres ilmiahnya yang ke 90. David H. Reines, MD, FACS,
dari Falls Church, Virginia, Ketua Sidang pada panel tersebut,
melaporkan bahwa sepsis adalah penyebab kematian
terbanyak di noncoronary intensive care units (ICU),khususnya
surgical ICU, dan merupakan penyebab kematian terbanyak ke
11 di Amerika Serikat.[3,4]
Dengan 750.000 kasus baru
pertahun dan mortalitas harian lebih dari 500, sepsis memiliki
angka kematian tertinggi dari setiap penyakit mayor apapun,
yakni sampai 50% (Gambar).[3,5]
Gambar. Mortalitas meningkat dengan bertambahnya jumlah systemic
inflammatory response syndrome symptoms dan keparahan proses penyakit.
(Disadur dari: Rangel-Frausto M, Pttet D, Costigan M, et al. The natural history
of the systemic inflammatory response syndrome (SIRS). JAMA.
1995;273:117-123.)
Referensi:
1. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ
failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis.
The ACCP/SCCM Consensus Conference Committee. Chest.
1992;101:1644-1655. Abstract
6
12. 7
2. Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving Sepsis Campaign
guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit
Care Med. 2004;32:858-873. Abstract
3. National Center for Health Statistics. National Vital Statistics
Reports. Table E: deaths and percentage of total deaths for the ten
leading causes of death, by race: United States, 2001. National
Center for Health Statistics. 2003;52:9. Available at:
http://www.cdc.gov/nchs/data/dvs/nvsr52_09p9.pdf Accessed
January 11, 2005.
4. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J,
Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States:
analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit
Care Med. 2001;29:1303-1310. Abstract
5. Sands KE, Bates DW, Lanken PN, et al. Epidemiology of sepsis
syndrome in 8 academic medical centers. Academic Medical Center
Consortium Sepsis Project Working Group. JAMA. 1997;278:234-
240. Abstract
13. 8
EPIDEMIOLOGI
Angka Kekerapan sepsis di Amerika Serikat dikumpulkan
selama 22 tahun yakni dari 1979 sampai 2000 berdasarkan
rekam keluar RS (hospital discharge records) yang disandi
menurut the International Classification of Diseases, Ninth
Revision, Clinical Modification.
Tinjauan terhadap data pasien keluar RS pada sekitar 750 juta
rawat-inap di Amerika Serikat selama kurun waktu 22 tahun
mengidentifikasi 10.319.418 kasus sepsis. Sepsis lebih banyak
pada pria dibandingkan wanita (mean annual relative risk, 1,28
[95 percent confidence interval, 1,24 sampai 1,32]) dan di
kalangan penduduk bukan kulit putih lebih banyak
dibandingkan orang kulit putih (mean annual relative risk, 1,90
[95 percent confidence interval, 1.81 sampai 2.00]). Antara
1979 dan 2000, terdapat peningkatan setiap tahun dalam
insiden sepsis sebesar 8,7 % dari sekitar 164.000 kasus(82,7
per 100,000 penduduk) menjadi hampir 660.000 kasus (240,4
per 100.000 penduduk).
Angka kejadian sepsis karena infeksi jamur meningkat sebesar
207 %. Bakteri gram-positif menjadi patogen paling menonjol
setelah 1987. Angka kematian total di RS menurun dari 27,8 %
selama kurun waktu 1979 sampai 1984 menjadi 17,9 % selama
kurun waktu 1995 sampai 2000, namun jumlah kematian total
terus meningkat. Mortalitas paling tinggi pada penduduk kulit
hitam. Gagal organ menambah tinggi angka mortalitas, dengan
perbaikan temporal dalam survival di antara pasien dengan < 3
organ yang gagal. Lama rawat-inap menurun, dan angka
perpindahan ke bangsal non-akut bertambah.
Di Amerika Serikat, ditaksir ada 700.000 kasus sepsis setiap
tahun, yang mengakibatkan lebih dari 210.000 kematian;
jumlah ini merupakan 10% dari semua kematian per tahun dan
melewati angka kematian yang disebabkan infark miokard.
Kombinasi gagal ginjal akut dan sepsis menghasilkan
mortalitas 70 %, dibandingkan 45 % mortalitas pada pasien
gagal ginjal akut tanpa sepsis
Kesimpulan. insiden sepsis dan jumlah penduduk yang
meninggal akibat sepsis semakin meningkat, walaupun case
14. 9
fatality rate menurun. Ada perbedaan antar ras dan antara pria
dan wanita dalam kekerapan sepsis. Bakteri gram-positif dan
jamur merupakan penyebab sepsis yang semakin bertambah
dari sepsis.
Referensi:
1. Martin GS, Mannino DM, Eaton S, and Moss M. The Epidemiology of
Sepsis in the United States from 1979 through 2000 NEJM 2003
(348):1546-1554
2. Schrier RW, and Wang W, Acute Renal Failure and Sepsis NEJM
2004.(351):159-169
15. PATOFISIOLOGI
Kondisi patologis karena peradangan tidak terkontrol?
Teori yang terbanyak dianut adalah sepsis merupakan respon
radang yang tidak terkontrol.3,4,5
Lewis Thomas
mempopulerkan konsep ini ketika ia menulis " kuman yang
dalam tubuh kita seharusnya . malah lebih sebagai penonton.
respon tubuh terhadap keberadaan kuman inilah yang
membuat sakit. Bala tentara yang memerangi bakteri demikian
kuat.sehingga mereka justru lebih berbahaya daripada
musuh."6
Konsensus yang diperoleh dari suatu konferensi ilmiah
mendefinisikan sepsis sebagai "the systemic inflammatory
response syndrome that occurs during infection."3
Berbagai uji
klinik telah dilakukan terhadap obat-obat yang menghambat
kaskade peradangan (the inflammatory cascade) —
kortikosteroid,7
antibodi antiendotoxin 8
antagonis tumor
necrosis factor (TNF- ) ,9,10
antagonis reseptor interleukin-1ß,11
dan obat-obat lain.12
Kegagalan obat anti-inflamasi membuat
para peneliti bertanya-tanya apakah betul kematian pada
pasien sepsis diakibatkan oleh peradangan yang tidak
terkendali .4,13,14,15
Uji klinik pada tatalaksana sepsis sangat
sukar karena beraneka ragamnya pasien dan tinggi nya angka
sepsis dengan kultur negatif. Interpretasi menjadi sulit karena
analisis dari outcome menghasilkan stratifikasi post hoc yang
sebelumnya tidak didefinisikan.
Teori yang menyatakan bahwa kematian disebabkan oleh
sistem imun yang mengalami stimulasi berlebihan didasarkan
atas kajian hewan yang belum tentu mencerminkan gambaran
klinis pada manusia.16,17,18
Kajian-kajian ini menggunakan
dosis besar endotoksin atau bakteri; konsekuensinya kadar
sitokin dalam sirkulasi, misal tumor necrosis factor (TNF- )
lebih tinggi dibanding pada pasien sepsis.17
Pada kajian-kajian
ini, hewan mati akibat kebanyakan sitokin ("cytokine storm"),
sementara senyawa-senyawa dan makromolekul yang
menghambat mediator ini meningkatkan survival.16,17,18
10
16. Pada bentuk-bentuk tertentu dari sepsis —sebagai contoh,
meningococcemia — kadar TNF- sirkulasi begitu tinggi dan
berkorelasi dengan mortalitas.19,20
Dari 55 anak dengan
purpura infeksi berat (32 diantaranya dengan infeksi Neisseria
meningitidis), 91 persen memiliki kadar TNF- sirkulasi yang
tinggi.19
Namun. beberapa kajian telah memperlihatkan bahwa
frekuensi dari respon sistemik yang berlebihan lebih rendah
daripada yang diperkirakan sebelumnya.21,22,23,24
Debets dkk
melaporkan hanya 11 dari 43 pasien dengan kadar TNF-
yang bisa dideteksi dalam sirkulasi (batas deteksi, 5 sampai 10
pg per milliliter).21
Pada suatu kajian lain terhadap 87 pasien
sepsis, kurang dari 10 persen yang memiliki kadar TNF- atau
interleukin-1ß.terdeteksi dalam sirkulasi 22,23
Walaupun sitokin-sitokin dijadikan "kambing hitam" , mereka
memiliki efek bermanfaat pada sepsis. Kajian pada hewan
dengan peritonitis menunjukkan bahwa penghambatan TNF-
memperburuk survival.25,26
Imunoterapi kombinasi terhadap
reseptor TNF- interleukin-1ß berakibat fatal pada sepsis
neutropenik .27
Pada beberapa uji klinik, antagonis TNF-
meningkatkan mortalitas.9
Peran TNF- dalam melawan infeksi
ditegaskan baru-baru ini oleh temuan bahwa sepsis dan
komplikasi infeksi lain terjadi pada pasien-pasien artritis
reumatoid yang diterapi dengan antagonis TNF- .28
Silang pendapat tentang manfaat dari penghambatan sitokin
pada pasien sepsis dihangatkan kembali oleh suatu uji klinik
baru-baru ini yang menunjukkan bahwa sekelompok pasien
sepsis yang diberi terapi antagonis TNF- memiliki survival
lebih besar.19
Juga meta-analisis dari uji klinik obat anti-
inflamasi pada pasien sepsis memperlihatkan walaupun dosis
tinggi umumnya merugikan pada pasien demikian, suatu
subkelompok pasien (kira-kira 10%) memperoleh manfaat.13
Kemajuan-kemajuan dalam pemahaman kita tentang lintasan
sinyal sel yang menjadi perantara respon terhadap mikroba
telah menunjukkan bahwa konsep penghambatan endotoksin
untuk mencegah komplikasi sepsis mungkin terlalu sederhana.
Sel sistem imun mengenali mikro-organisme dan mencetuskan
respon melalui reseptor pengenal pola( pattern-recognition
receptors) yang dinamakan toll-like receptors (TLRs)30,21,32
Wacana tentang peran TLR dalam melawan infeksi berasal
dari kajian mencit C3H/HeJ .30
Mencit ini resisten terhadap
11
17. endotoksin karena mutasi pada gen toll-like receptor 4 (TLR4).
Walaupun resisten terhadap endotoksin, mencit ini memiliki
mortalitas yang meningkat pada sepsis.33,34
Mutasi TLR4 telah
diidentifikasi pada manusia dan mungkin membuat manusia
lebih rentan terhadap infeksi .35
Oleh karena itu, walaupun
endotoksin memiliki efek merugikan. penghambatan total
terhadap endotoksin juga bisa merusak. Sebab-sebab
kegagalan antibodi antiendotoksin monoklonal dalam
memperbaiki prognosis pada uji klinik pasien sepsis bersifat
kompleks.36
Kegagalan sistem imun?
Pasien sepsis memiliki gambaran yang konsisten dengan
imunosupresi, termasuk hilangnya hipersensitivitas lambat,
ketidakmampuan mengatasi infeksi, dan predisposisi untuk
terjadi infeksi nosokomial.37,38,39
Satu alasan untuk gagalnya
strategi anti-inflamasi pada pasien sepsis mungkin adanya
perubahan dari sindroma dengan berlalunya waktu. Mula-mula
sepsis ditandai oleh peningkatan jumlah mediator radang;
tetapi ketika sepsis menetap terjadi pergeseran menuju
keadaan anti-inflamasi imunosupresif.38,39
Terdapat bukti
imunosupresi pada sepsis dari kajian-kajian yang
memperlihatkan bahwa darah pasien sepsis yang distimulasi
lipopolisakarida melepaskan lebih sedikit TNF- dan
interleukin-1ß dibandingkan pasien kontrol.40
Imunosupresi
yang diinduksi sepsis dipulihkan dengan pemberian interferon-
pada pasien sepsis.41
Imunostimulan ini memulihkan
produksi TNF- oleh makrofag dan meningkatkan survival.41
Mekanisme supresi imun pada Sepsis
Pergeseran ke sitokin anti-inflamasi
Sel T CD4 teraktivasi diprogram untuk mensekresi sitokin yang
memiliki salah satu dari dua profil berbeda dan berlawanan.42,53
Sel T CD4 ini mensekresi sitokin dengan sifat:
1. pro-inflamasi ( helper T-cell tipe 1 [Th1]) , meliputi
TNF- , interferon- , and interleukin-2, dan
2. bisa juga sitokin dengan sifat anti-inflamasi ( helper T-
cell tipe 2[Th2]) — sebagai contoh, interleukin-4 and
interleukin-10.(Gambar 1)
12
18. Faktor-faktor yang menentukan apakah sel T CD4 memiliki
respon Th1 atau Th 2 tidak diketahui, tetapi ada kemungkinan
dipengaruhi oleh jenis patogen dan ukuran inokulum bakteri,
dan tempat infeksi .42
Sel mononuklir dari pasien luka bakar atau trauma memiliki
kadar sitokin Th1 rendah, namun kadar sitokin Th2 tinggi(
interleukin-4 and interleukin-10). Pemulihan respon Th2
memperbaiki survival pada pasien sepsis.38,33
Kajian lain telah
menunjukkan bahwa kadar interleukin-10 meningkat pada
pasien sepsis dan kadar ini memprediksi mortalitas.43,45
Gambar 1. Respon terhadap patogen, melibatkan interaksi antara berbagai sel
imun, antara lain makrofag, sel dendritik, dan sel T CD4.
M akrofag dan sel dendritik diaktifkan oleh bakteri yang masuk tubuh dan
dengan perangsangan melalui sitokin(misal., interferon- ) yang disekresi oleh
sel T CD4. Cara lain adalah, sel T CD4 yang memiliki profil anti-inflamasi (type
2 helper T cells [Th2]) mensekresi interleukin-10, yang menekan aktivas
makrofag. Sel T CD4 T menjadi teraktivas dengan stimulasi melalui makrofag
atau sel dendritik. Sebagai contoh, makrofag dan sel dendritik mensekresi
interleukin-12, yang mengaktifkan sel T CD4 untuk mensekresi sitokin pro-
inflamasi(type 1 helper T-cell [Th1]) . Tergantung pada banyak faktor
(misal.,jenis kuman dan tempat infeksi), makrofag dan sel dendritik akan
13
19. 14
merespon dengan menginduksi sitokin pro-inflamsi dan anti-inflamasi atau
menyebabkan pengurangan global dari produksi sitokin (anergi). Makrofag
atau sel dendritik yang sebelumnya telah menelan sel-sel nekrotik akan
menginduksi profil sitokin pro-inflamasi (Th1). Ingesti sel-sel apoptosis bisa
menginduksi profil sitokin anti-inflamasi atau profil anergi. Tanda +
menunjukkan regulasi ke atas, dan tana - menunjukkan regulasi ke
bawah;pada kasus di mana terlihat kedua tanda + atau - , dapat terjadi up-
regulation ataupun down-regulationtergantung pada berbagai faktor.
Anergi
Anergi adalah status ketidaktanggapan (unresponsiveness)
terhadap antigen. Sel T dikatakan anergik jika gagal
berproliferasi atau mensekresi sitokin sebagai respon terhadap
antigen spesifik. Heidecke dkk. memeriksa fungsi sel T pada
pasien dengan peritonitis dan mendapatkan bahwa pasien
mengalami penurunan fungsi Th1 tanpa peningkatan produksi
sitokin Th2 ; keadaan ini menunjukkan anergi.46
Kegagalan
proliferasi sel T dan sekresi sitokin berkorelasi dengan
mortalitas.46
Pasien trauma dan luka bakar memiliki kadar sel T
sirkulasi yang menurun dan sel T yang bertahan hidup ini
bersifat anergik.47
Kematian sel secara apoptosis dapat memicu anergi yang
diinduksi sepsis. Walaupun biasa diyakini bahwa kematian sel
disebabkan nekrosis, penelitian terbaru telah memperlihatkan
bahwa sel bisa mati dengan apoptosis— kematian sel yang
diprogram secara genetik. Pada apoptosis sel "bunuh diri"
melalui aktivasi enzim protease yang menguraikan sel.48,49
Banyak limfosit dan sel epitel saluran cerna mati dengan
apoptosis selama sepsis.50,51,52
Mekanisme yang mungkin dari
apoptosis limfosit adalah pelepasan glukokortikoid yang
diinduksi stres.53,54
Jenis kematian sel menentukan fungsi
imunologis dari sel-sel imun yang selamat.55,56,57
Sel-sel yang
apoptotik menginduksi anergi atau sitokin yang mengganggu
respon terhadap patogen, sedangkan sel-sel nekrotik
menyebabkan stimulasi sistem imun dan meningkatkan
pertahanan melawan bakteri .55,56,57
Kematian sel-sel imun
Kajian otopsi pada orang yang meninggal karena sepsis
mengungkapkan banyak kehilangan sel-sel sistem imun secara
progresif dengan apoptosis50,51,52
Walaupun sel T CD8, sel-sel
natural killer atau makrofag tidak hilang, sepsis mengurangi
20. 15
kadar sel B , sel T CD4 , dan sel dendritik secara bermakna.
Hilangnya limfosit dan sel dendritik penting,karena terjadi
selama infeksi yang mengancam jiwa, yakni saat ekspansi
klonal limfosit dibutuhkan..............................
Derajat hilangnya limfosit akibat apoptosis selama sepsis jelas
terlihat pada pemeriksaan hitung limfosit sirkulasi pada
pasien.50
Pada satu kajian, 15 dari 19 pasien sepsis memiliki
hitung limfosit absolut di bawah batas bawah normal(nilai mean
[±SD] 500±270 per mm3 vs. batas bawah normal 1200 per
mm3. Hilangnya sel B, sel T CD4 , dan sel dendritik masing-
masing mengurangi produksi antibodi, aktivasi makrofag dan
presentasi antigen. Pencegahan apoptosis limfosit pada kajian
hewan memperbaiki survival.58,59,60,61
Defek imun yang
diidentifikasi pada pasien sepsis , termasuk disfungsi monosit
41,62,63
tercantum pada Tabel .
Tabel l. Mekanisme potensial dari Supresi Imun
pada Pasien Sepsis
Pergeseran (shift) dari respon inflamasi (Th 1) ke respon
anti-inflamasi (Th2)
Anergi
Menghilangnya sel T CD4, sel B dan sel dendritik yang
diinduksi oleh apoptosis
Menghilangnya ekspresi MHC clas II makrofag dan molekul
ko-stimulatorik
Efek imunosuoresi dari sel apoptotik
Th 1 = helper cell tipe 1; Th2 = helper cell tipe 2
Kajian Ulang terhadap teori Lewis Thomas
Banyak peneliti menentang teori Lewis 6
yang menyatakan
bahwa respon primer tubuh terhadap infeksi dan jejas adalah
hiperinflamasi yang tidak terkendali.4,13,14,64
Munford dan Pugin
bersikukuh bahwa respon stres normal tubuh adalah aktivasi
mekanisme anti-inflamasi. Di luar jaringan yang diserang,
respon sistemik yang paling menonjol adalah anti-inflamasi.64
21. Mereka mengemukakan bahwa sel-sel imun dan sitokin
memiliki peran patogenik maupun protektif. Penghambatan
terhadap mediator-mediator ini bisa memperburuk outcome 64
Heidecke dkk. memeriksa fungsi sel T pada pasien sepsis dan
melaporkan bahwa imunosupresi terbukti pada onset sepsis.
Ini memberi kesan respon hipoimun primer.46
Weighardt dkk memeriksa produksi sitokin oleh monosit yang
diinduksi lipopolisakarida pada pasien sepsis, setelah
pembedahan saluran cerna 65
Sepsis pasca bedah yang diikuti
oleh: defek produksi sitokin pro-inflamasi dan sitokin anti-
inflamasi oleh monosit . Survival berkorelasi dengan pulihnya
respon inflamasi bukan respon anti-inflamasi.65
Para peneliti ini
menyimpulkan bahwa imunosupresi lebih merupakan respon
primer ketimbang respon kompensatorik terhadap sepsis.65
Peneliti-peneliti lain mengemukakan hipotesis respon
sekuensial terhadap sepsis. Inflamasi yang mencolok pada
awal, disusul dengan imunosupresi.14,38,39
Table 2. Mediator Pro-inflamasi dan Anti-inflamasi pada
Sepsis
Mediator Pro-Inflamasi Mediator Anti-inflamasi
TNF-
IL-1ß
IL-6 (yang dilepas dari
makrofag aktif)
IL-8
PAF
Leukotrien
Thromboxane A2
IL-receptor antagonist
IL-4
IL-10
Faktor genetik hospes
16
Dari kajian kembar identik dan anak angkat, faktor-faktor
genetik diketahui sebagai penentu kerentanan akibat penyakit
infeksi.66
Sebagian orang mengalami perubahan pasangan
basa tunggal (single base-pair alteration) (single-nucleotide
polymorphisms) dalam gen yang mengatur respon hospes
terhadap mikroba.67,68,69
Perubahan-perubahan yang
22. diidentifikasi mencakup polimorfisme dalam reseptor TNF
receptors, reseptor interleukin-1 , reseptor Fc, dan TLRs.67,68,69
Polimorfisme dalam gen sitokin dapat menentukan konsentrasi
sitokin hiperinflamasi atau hipoinflamasi yang diproduksi. Ini
bisa mempengaruhi apakah seseorang mengalami respon
hiper-inflamasi atau hipo-inflamasi mencolok terhadap infeksi .
Risiko kematian pada pasien sepsis telah dikaitkan dengan
polimorfisme genetik untuk TNF- - and TNF- . 69
Uji klinik
yang memeriksa efek polimorfisme pada pasien pneumonia
dan sepsis sedang berlangsung. Polimorfisme demikian bisa
digunakan untuk mengidentifikasi pasien risiko tinggi untuk
terjadinya sepsis dan disfungsi organ selama infeksi. Dengan
demikian, di masa depan klinisi bisa menggunakan informasi
genetik untuk mengatur terapi imunologis untuk memodulasi
respon pada pasien secara individual.
Peran Neutrofil
Neutrofil telah dipandang sebagai pedang bermata dua pada
sepsis. Walaupun dulu neutrofil dianggap esensial untuk
eradikasi patogen, pelepasan oksidan dan protease oleh
neutrofil juga diyakini bertanggung jawab atas kerusakan
organ. Karena sekuestrasi neutrofil di paru-paru dan seringnya
komplikasi ARDS pada pasien dengan sepsis, hubungan
antara aktivasi neutrofil yang berlebihan dan kerusakan organ
dianggap mengenai paru secara khusus.70
Walaupun temuan
hewan menyiratkan kerusakan jaringan disebabkan neutrofil ,
kajian-kajian lain yang menggunakan granulocyte colony-
stimulating factor (G-CSF) memperlihatkan survival lebih baik
pada pasien sepsis. (Catatan: G-CSF meningkatkan jumlah
neutrofil dan meningkatkan fungsinya)
Dua uji acak G-CSF dilaksanakan pada pasien dengan
community-acquired dan hospital-acquired pneumonia.71,72
Kendati ada peningkatan hitung leukosit sampai 70.000 /mm3
,
tidak ada bukti merugikan terhadap fungsi paru pasien dengan
community-acquired pneumonia.71
Walaupun satu
subkelompok pasien pneumonia memiliki komplikasi lebih
sedikit dan masa rawat di ICU lebih singkat dengan G-CSF,
tidak ada perbaikan dalam survival. Serupa halnya, pasien
rawat-inap dengan community-acquired atau nosocomial
pneumonia yang diterapi dengan G-CSF tidak memperlihatkan
manfaat terhadap survival, tidak ada pengurangan dalam
17
23. 18
disfungsi organ dan tak ada penurunan dalam masa rawat di
ICU.72
Walaupun leukositosis mencolok yang disebabkan G-CSF
tidak merusak, dua uji klinis ini menyiratkan bahwa
penghambatan fungsi neutrofil untuk mencegah komplikasi
sepsis memiliki kemungkinan kecil untuk bermanfaat. Lebih
dari itu, terapi yang ditujukan untuk menambah jumlah atau
fungsi neutrofil pada pasien sepsis juga kecil kemungkinannya
untuk memberi manfaat.
Pelajaran dari kajian otopsi
Kajian otopsi pada pasien-pasien yang meninggal di ICU
memperlihatkan bahwa kegagalan mendiagnosis dan
mengatasi infeksi dengan antibiotik atau drainase bedah
merupakan penyebab kesalahan terbanyak. Ini sebenarnya
bisa dihindarkan.73,74
Kajian biopsi dilakukan terhadap 20
pasien yang meninggal di ICU50
; izin periksa mayat diperoleh
segera setelah pasien meninggal, sehingga jaringan didapat
dalam 30 sampai 90 menit setelah meninggal; Ini
memungkinkan penilaian morfologi jaringan sebelum terjadi
perubahan-perubahan otolisis. Otopsi juga dilakukan pada
kelompok kontrol yang terdiri atas pasien-pasien yang
meninggal karena sakit kritis namun tanpa sepsis. Analisis
histokimia memperlihatkan bahwa pada mayoritas pasien
dengan sepsis, hanya dua jenis sel— limfosit dan sel epitel
saluran cerna yang sekarat; temuan ini selaras dengan kajian
hewan.39,54,75
Sebagaimana diperhatikan sebelumnya, terjadi
kehilangan sel-sel sistem imun. Limfosit dan sel epitel saluran
cerna normal mengalami pergantian cepat melalui apoptosis;
dan sepsis mempercepat proses fisiologis ini. Nekrosis fokal
terjadi di sel-sel hati di kawasan vena sentral (diduga karena
daerah ini rentan terhadap hipoksia) pada 7 dari 20 pasien.
Otak dan jantung pada 3 pasien yang terbukti mengalaii infark
sebelum meninggal.
Hibernasi Sel sebagai Mekanisme Disfungsi Organ
Temuan lain yang aneh dari kajian otopsi adalah
ketidaksesuaian antara temuan histologis dan derajat disfungsi
organ yang terlihat pada pasien yang meninggal karena
sepsis.50
Kematian sel dalam jantung, ginjal, hati dan paru
24. 19
relatif minor dan tidak mencerminkan bukti klinik dari disfungsi
organ yang mencolok. Tidak terdapat bukti jejas ke otot jantung
pada pasien sepsis yang mengalami depresi miokard. (Tak ada
pasien yang mengidap meningococcemia, yang menyebabkan
miokarditis dengan infiltrasi organisme dan granulosit).
Temuan histologis pada pasien sepsis dan gagal ginjal akut
memperlihatkan hanya jejas fokal sedangkan glomerulus dan
tubulus masih utuh.50
Hasil ini serupa dengan kajian pada
pasien dengan gagal ginjal akut. Di sini mikroskopi
memperlihatkan derajat nekrosis tubulus tidak sesuai dengan
tingkat disfungsi ginjal.76,77
Sebagian besar pasien yang
selamat dari sepsis dan gagal ginjal akut mengalami pemulihan
dari fungsi ginjal ke tingkat asal. Ini memberi kesan bahwa
kematian sel ginjal tidak menonjol selama sepsis.78
Banyak disfungsi organ pada pasien sepsis bisa dijelaskan
dengan " hibernasi sel" atau"cell stunning," sebagaimana
terjadi selama iskemia miokard 79
Ada dugaan, sepsis
mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh yang
menyebabkan proses sel berkurang sampai basal. Fink dkk.,80
memperlihatkan bahwa enterosit yang mengalami stimulasi
imun telah mengurangi konsumsi oksigen sebagai akibat
deplesi NAD (nicotinamide adenine dinucleotide). Ini terjadi
sekunder terhadap aktivasi enzim inti sel poly–adenosine
diphosphate (ADP)–ribose polymerase oleh peroksinitrit dan
oksidan-oksidan lain.
Kematian dari Pasien Sepsis
Tak ada kajian otopsi telah mengungkap mengapa pasien
sepsis meninggal. Sebagian pasien sepsis meninggal karena
syok refrakter, namun ini suatu pengecualian. Walaupun
pasien sepsis mengalami depresi miokard yang dalam,
biasanya curah jantung dipertahankan oleh dilatasi jantung dan
takikardia.81
Walaupun ARDS (acute respiratory distress
syndrome) sering berkembang pada pasien sepsis, pasien
demikian jarang meninggal karena hipoksemia atau
hiperkarbia.82
Gagal ginjal lazim dijumpai, namun jika hanya
sendiri tidak fatal, karena bisa digunakan dialisis. Disfungsi hati
jarang berlanjut sampai ensefalopati hepatik. Dengan
demikian, sebab kematian yang tepat pada pasien sepsis
masih kabur. Banyak pasien meninggal bila perawatan diputus
25. 20
atau tidak ditingkatkan, ketika keluarga pasien merasa tidak
ada gunanya melanjutkan terapi.
Disadur dan Diterjemahkan dari Hotchkiss RS, Karl IE. The
Pathophysiology and Treatment of Sepsis. New England
Journal Of Medicine.Volume 348:138-150 January 9, 2003
Number 2
Referensi:
1. Angus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J,
Pinsky MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States:
analysis of incidence, outcome, and associated costs of care. Crit
Care Med 2001;29:1303-1310.
2. Murphy SL. Deaths: final data for 1998. National vital statistics
report. Vol. 48. No. 11. Hyattsville, Md.: National Center for Health
Statistics, 2000. (DHHS publication no. (PHS) 2000-1120 0-0487.)
3. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definitions for sepsis and organ
failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis.
Chest 1992;101:1644-1655.
4. Warren HS. Strategies for the treatment of sepsis. N Engl J Med
1997;336:952-953.
5. Stone R. Search for sepsis drugs goes on despite past failures.
Science 1994;264:365-367.
6. Thomas L. Germs. N Engl J Med 1972;287:553-555.
7. Bone RC, Fisher CJ Jr, Clemmer TP, et al. A controlled clinical trial
of high-dose methylprednisolone in the treatment of severe sepsis
and septic shock. N Engl J Med 1987;317:653-658.
8. Ziegler EJ, Fisher CJ Jr, Sprung CL, et al. Treatment of gram-
negative bacteremia and septic shock with HA-1A human
monoclonal antibody against endotoxin: a randomized, double-blind,
placebo-controlled trial. N Engl J Med 1991;324:429-436.
9. Fisher CJ Jr, Agosti JM, Opal SM, et al. Treatment of septic shock
with the tumor necrosis factor receptor:Fc fusion protein. N Engl J
Med 1996;334:1697-1702.
10. Abraham E, Wunderink R, Silverman H, et al. Efficacy and safety of
monoclonal antibody to human tumor necrosis factor alpha in
patients with sepsis syndrome: a randomized, controlled, double-
blind, multicenter clinical trial. JAMA 1995;273:934-941
11. Fisher CJ Jr, Slotman GJ, Opal SM, et al. Initial evaluation of human
recombinant interleukin-1 receptor antagonist in the treatment of
sepsis syndrome: a randomized, open-label, placebo-controlled
multicenter trial. Crit Care Med 1994;22:12-21.
12. Bernard GR, Wheeler AP, Russell JA, et al. The effects of ibuprofen
on the physiology and survival of patients with sepsis. N Engl J Med
1997;336:912-918.
13. Zeni F, Freeman BF, Natanson C. Anti-inflammatory therapies to
treat sepsis and septic shock: a reassessment. Crit Care Med
1997;25:1095-1100.
14. Natanson C, Hoffman WD, Suffredini AF, Eichacker PQ, Danner RL.
Selected treatment strategies for septic shock based on proposed
mechanisms of pathogenesis. Ann Intern Med 1994;120:771-783
26. 21
15. Nelson S. A question of balance. Am J Respir Crit Care Med
1999;159:1365-1367.
16. Fink MP, Heard SO. Laboratory models of sepsis and septic shock. J
Surg Res 1990;49:186-196
17. Deitch EA. Animal models of sepsis and shock: a review and lessons
learned. Shock 1998;9:1-11.
18. O'Reilly M, Newcomb DE, Remick D. Endotoxin, sepsis, and the
primrose path. Shock 1999;12:411-420.
19. Girardin E, Grau GE, Dayer J-M, Roux-Lombard P, J5 Study Group,
Lambert PH. Tumor necrosis factor and interleukin-1 in the serum of
children with severe infectious purpura. N Engl J Med 1988;319:397-
400.
20. Hatherill M, Tibby SM, Turner C, Ratnavel N, Murdoch IA.
Procalcitonin and cytokine levels: relationship to organ failure and
mortality in pediatric septic shock. Crit Care Med 2000;28:2591-
2594.
21. Debets JMH, Kampmeijer R, van der Linden MPMH, Buurman WA,
van der Linden CJ. Plasma tumor necrosis factor and mortality in
critically ill septic patients. Crit Care Med 1989;17:489-494.
22. Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Cytokine signaling --
regulation of the immune response in normal and critically ill states.
Crit Care Med 2000;28:Suppl:N3-N12
23. Pruitt JH, Welborn MB, Edwards PD, et al. Increased soluble
interleukin-1 type II receptor concentrations in postoperative patients
and in patients with sepsis syndrome. Blood 1996;87:3282-3288.
24. Rogy MA, Coyle SM, Oldenburg HS, et al. Persistently elevated
soluble tumor necrosis factor receptor and interleukin-1 receptor
antagonist levels in critically ill patients. J Am Coll Surg
1994;178:132-138.
25. Eskandari MK, Bolgos G, Miller C, Nguyen DT, DeForge LE, Remick
DG. Anti-tumor necrosis factor antibody therapy fails to prevent
lethality after cecal ligation and puncture or endotoxemia. J Immunol
1992;148:2724-2730.
26. Echtenacher B, Weigl K, Lehn N, Mannel DN. Tumor necrosis factor-
dependent adhesions as a major protective mechanism early in
septic peritonitis in mice. Infect Immun 2001;69:3550-3555.
27. Opal SM, Cross AS, Jhung JW, et al. Potential hazards of
combination immunotherapy in the treatment of experimental septic
shock. J Infect Dis 1996;173:1415-1421.
28. Keane J, Gershon S, Wise RP, et al. Tuberculosis associated with
infliximab, a tumor necrosis factor -neutralizing agent. N Engl J Med
2001;345:1098-1104.
29. Reinhart K, Karzai W. Anti-tumor necrosis factor therapy in sepsis:
update on clinical trials and lessons learned. Crit Care Med
2001;29:Suppl:S121-S125.
30. Modlin RL, Brightbill HD, Godowski PJ. The toll of innate immunity
on microbial pathogens. N Engl J Med 1999;340:1834-1835.[Full
Text]
31. Vasselon T, Detmers PA. Toll receptors: a central element in innate
immune responses. Infect Immun 2002;70:1033-1041.
32. Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of
microbe detection. Curr Opin Immunol 2002;14:103-110.
33. Hagberg L, Briles DE, Eden CS. Evidence for separate genetic
defects in C3H/HeJ and C3HeB/FeJ mice, that affect susceptibility to
gram-negative infections. J Immunol 1985;134:4118-4122
27. 22
34. Hotchkiss RS, Swanson PE, Knudson CM, et al. Overexpression of
Bcl-2 in transgenic mice decreases apoptosis and improves survival
in sepsis. J Immunol 1999;162:4148-4156.
35. Arbour NC, Lorenz E, Schutte BC, et al. TLR4 mutations are
associated with endotoxin hyporesponsiveness in humans. Nat
Genet 2000;25:187-191.
36. Warren HS, Amato SF, Fitting C, et al. Assessment of ability of
murine and human anti-lipid A monoclonal antibodies to bind and
neutralize lipopolysaccharide. J Exp Med 1993;177:89-97.
37. Meakins JL, Pietsch JB, Bubenick O, et al. Delayed hypersensitivity:
indicator of acquired failure of host defenses in sepsis and trauma.
Ann Surg 1977;186:241-250
38. Lederer JA, Rodrick ML, Mannick JA. The effects of injury on the
adaptive immune response. Shock 1999;11:153-159.
39. Oberholzer A, Oberholzer C, Moldawer LL. Sepsis syndromes:
understanding the role of innate and acquired immunity. Shock
2001;16:83-96.
40. Ertel W, Kremer J-P, Kenney J, et al. Downregulation of
proinflammatory cytokine release in whole blood from septic patients.
Blood 1995;85:1341-1347.
41. Docke WD, Randow F, Syrbe U, et al. Monocyte deactivation in
septic patients: restoration by IFN-gamma treatment. Nat Med
1997;3:678-681.
42. Abbas AK, Murphy KM, Sher A. Functional diversity of helper T
lymphocytes. Nature 1996;383:787-793
43. Opal SM, DePalo VA. Anti-inflammatory cytokines. Chest
2000;117:1162-1172.
44. O'Sullivan ST, Lederer JA, Horgan AF, Chin DHL, Mannick JA,
Rodrick ML. Major injury leads to predominance of the T helper-2
lymphocyte phenotype and diminished interleukin-12 production
associated with decreased resistance to infection. Ann Surg
1995;222:482-492
45. Gogos CA, Drosou E, Bassaris HP, Skoutelis A. Pro- versus anti-
inflammatory cytokine profile in patients with severe sepsis: a marker
for prognosis and future therapeutic options. J Infect Dis
2000;181:176-180.
46. Heidecke C-D, Hensler T, Weighardt H, et al. Selective defects of T
lymphocyte function in patients with lethal intraabdominal infection.
Am J Surg 1999;178:288-292.
47. Pellegrini JD, De AK, Kodys K, Puyana JC, Furse RK, Miller-
Graziano C. Relationships between T lymphocyte apoptosis and
anergy following trauma. J Surg Res 2000;88:200-206.
48. Raff M. Cell suicide for beginners. Nature 1998;396:119-122.
49. Haslett C, Savill J. Why is apoptosis important to clinicians? BMJ
2001;322:1499-1500.
50. Hotchkiss RS, Swanson PE, Freeman BD, et al. Apoptotic cell death
in patients with sepsis, shock, and multiple organ dysfunction. Crit
Care Med 1999;27:1230-1251.
51. Hotchkiss RS, Tinsley KW, Swanson PE, et al. Sepsis-induced
apoptosis causes progressive profound depletion of B and CD4+ T
lymphocytes in humans. J Immunol 2001;166:6952-6963.
52. Hotchkiss RS, Tinsley KW, Swanson PE, et al. Depletion of dendritic
cells, but not macrophages, in patients with sepsis. J Immunol
2002;168:2493-2500.
28. 23
53. Fukuzuka K, Edwards CK III, Clare-Salzler M, Copeland EM III,
Moldawer LL, Mozingo DW. Glucocorticoid-induced, caspase-
dependent organ apoptosis early after burn injury. Am J Physiol
Regul Integr Comp Physiol 2000;278:R1005-R1018.
54. Ayala A, Herdon CD, Lehman DL, DeMaso CM, Ayala CA, Chaudry
IH. The induction of accelerated thymic programmed cell death
during polymicrobial sepsis: control by corticosteroids but not tumor
necrosis factor. Shock 1995;3:259-267.
55. Green DR, Beere HM. Apoptosis: gone but not forgotten. Nature
2000;405:28-29.
56. Voll RE, Herrmann M, Roth EA, Stach C, Kalden JR, Girkontaite I.
Immunosuppressive effects of apoptotic cells. Nature 1997;390:350-
351.
57. Fadok VA, Bratton DL, Rose DM, Pearson A, Ezekewitz RA, Henson
PM. A receptor for phosphatidylserine-specific clearance of apoptotic
cells. Nature 2000;405:85-90.
58. Chung CS, Xu YX, Wang W, Chaudry IH, Ayala H. Is Fas ligand or
endotoxin responsible for mucosal lymphocyte apoptosis in sepsis?
Arch Surg 1998;133:1213-1220.[Abstract/Full Text]
59. Oberholzer C, Oberholzer A, Bahjat FR, et al. Targeted adenovirus-
induced expression of IL-10 decreases thymic apoptosis and
improves survival in murine sepsis. Proc Natl Acad Sci U S A
2001;98:11503-11508]
60. Hotchkiss RS, Tinsley KW, Swanson PE, et al. Prevention of
lymphocyte cell death in sepsis improves survival in mice. Proc Natl
Acad Sci U S A 1999;96:14541-14546
61. Hotchkiss RS, Chang KC, Swanson PE, et al. Caspase inhibitors
improve survival in sepsis: a critical role of the lymphocyte. Nat
Immunol 2000;1:496-501.
62. Manjuck J, Saha DC, Astiz M, Eales LJ, Rackow EC. Decreased
response to recall antigens is associated with depressed
costimulatory receptor expression in septic critically ill patients. J Lab
Clin Med 2000;135:153-160.
63. Ertel W, Morrison MH, Ayala A, Dean RE, Chaudry IH. Interferon-
gamma attenuates hemorrhage-induced suppression of macrophage
and splenocyte functions and decreases susceptibility to sepsis.
Surgery 1992;111:177-187.
64. Munford RS, Pugin J. Normal responses to injury prevent systemic
inflammation and can be immunosuppressive. Am J Respir Crit Care
Med 2001;163:316-321.
65. Weighardt H, Heidecke C-D, Emmanuilidis K, et al. Sepsis after
major visceral surgery is associated with sustained and interferon--
resistant defects of monocyte cytokine production. Surgery
2000;127:309-315.
66. Sørensen TIA, Nielsen GG, Andersen PK, Teasdale TW. Genetic
and environmental influences on premature death in adult adoptees.
N Engl J Med 1988;318:727-732.
67. van Deventer SJ. Cytokine and cytokine receptor polymorphisms in
infectious disease. Intensive Care Med 2000;26:Suppl 1:S98-S102.
68. van der Pol WL, Huizinga TW, Vidarsson G, et al. Relevance of
Fcgamma receptor and interleukin-10 polymorphisms for
meningococcal disease. J Infect Dis 2001;184:1548-1555.
69. Freeman BD, Buchman TG. Gene in a haystack: tumor necrosis
factor polymorphisms and outcome in sepsis. Crit Care Med
2000;28:3090-3091.
29. 24
70. Kollef MH, Schuster DP. The acute respiratory distress syndrome. N
Engl J Med 1995;332:27-37.
71. Nelson S, Belknap SM, Carlson RW, et al. A randomized controlled
trial of filgrastim as an adjunct to antibiotics for treatment of
hospitalized patients with community-acquired pneumonia. J Infect
Dis 1998;178:1075-1080.
72. Root RK, Marrie TJ, Lodato RF, et al. A multicenter, double-blind,
placebo-controlled study of the use of filgrastim in patients
hospitalized with pneumonia and severe sepsis. Crit Care Med (in
press).
73. Mort T, Yeston NS. The relationship of pre mortem diagnoses and
post mortem findings in a surgical intensive care unit. Crit Care Med
1999;27:299-303.
74. Blosser SA, Zimmerman HE, Stauffer JL. Do autopsies of critically ill
patients reveal important findings that were clinically undetected?
Crit Care Med 1998;26:1332-1336.
75. Hotchkiss RS, Swanson PE, Cobb JP, Jacobson A, Buchman TG,
Karl IE. Apoptosis in lymphoid and parenchymal cells during sepsis:
findings in normal and T- and B-cell-deficient mice. Crit Care Med
1997;25:1298-1307.
76. Weinberg JM, Venkatachalam MA. Guanine nucleotides and acute
renal failure. J Clin Invest 2001;108:1279-1281
77. Solez K, Morel-Maroger L, Sraer JD. The morphology of "acute
tubular necrosis" in man: analysis of 57 renal biopsies and a
comparison with the glycerol model. Medicine (Baltimore)
1979;58:362-376.
78. Wheeler AP, Bernard GR. Treating patients with severe sepsis. N
Engl J Med 1999;340:207-214.
79. Sawyer DB, Loscalzo J. Myocardial hibernation: restorative or
preterminal sleep? Circulation 2002;105:1517-1519.
80. Khan AU, Delude RL, Han YY, et al. Liposomal NAD(+) prevents
diminished O(2) consumption by immunostimulated Caco-2 cells. Am
J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2002;282:L1082-L1091.
81. Parrillo JE. Pathogenetic mechanisms of septic shock. N Engl J Med
1993;328:1471-1477.
82. Bell RC, Coalson JJ, Smith JD, Johanson WG Jr. Multiple organ
system failure and infection in adult respiratory distress syndrome.
Ann Intern Med 1983;99:293-298.
30. 25
SEPSIS NEONATORUM
Pendahuluan:
Ada dua kategori sepsis neonatorum, yaitu onset dini (early
onset) dan onset lanjut (late onset). 85% bayi baru lahir
dengan infeksi onset dini memperlihatkan gejala dalam 24 jam,
5% dalam 24-48 jam. Persentasi kecil terlihat antara 48 jam
dan 6 hari setelah lahir. Sepsis paling cepat muncul pada bayi
prematur. Sepsis onset dini dikaitkan dengan penularan dari
ibu. Infeksi transplasenta atau infeksi asenden dari serviks
dapat disebabkan oleh kuman yang berkoloni di traktus
genitourinarius ibu. Bayi mendapat infeksi ketika melewati jalan
lahir yang dikoloni oleh kuman. Mikro-organisme yang paling
sering dikaitkan dengan infeksi onset dini meliputi group B
Streptococcus (GBS), Escherichia coli, Haemophilus
influenzae, dan Listeria monocytogenes.
Sindrom sepsis onset lanjut terjadi pada 7-90 hari kehidupan
dan didapat dari lingkungan pengasuh. Organisme yang
diduga terlibat meliputi Stafilokokus koagulase-negatif,
Staphylococcus aureus, E coli, Klebsiella, Pseudomonas,
Enterobacter, Candida, GBS, Serratia, Acinetobacter, dan
anaerob. Kuman yang berasal dari lingkungan bisa berkoloni di
kulit, saluran napas, konjungtiva, saluran cerna dan umbilikus.
Vektor untuk kolonisasi demikian dapat mencakup kateter
pembuluh darah atau kateter urin, atau kontak dari pengasuh.
Pneumonia lebih banyak dijumpai pada sepsis onset dini ,
sedang meningitis dan/atau bakteremia lebih sering pada
sepsis onset lanjut. Bayi prematur dan sakit rentan untuk
sepsis dan gambaran awalnya tidak jelas dan tidak spesifik,
sehingga membutuhkan ketelitian agar sepsis bisa di-
identifikasi dan diatasi dengan efektif.
Patofisiologi:
Patogen yang terkait dengan sepsis neonatorum telah berubah
dalam 50 tahun terakhir. S aureus dan E coli adalah yang
paling berbahaya untuk neonatus pada tahun 1950an di
31. 26
Amerika Serikat. Kemudian GBS menggeser S aureus sebagai
kuman gram positif yang banyak dijumpai, dan menyebabkan
sepsis onset dini pada dekade-dekade berikutnya.Selama
1990an, GBS dan E coli terus dikaitkan dengan infeksi
neonatal ; tetapi, S aureus koagulase-negatif sekarang diamati
lebih sering. Organisme lain, seperti L monocytogenes,
Chlamydia pneumonia, Haemophilus influenzae, Enterobacter
aerogenes, dan spesies Bacteroides dan Clostridium juga telah
diidentifikasi pada sepsis neonatorum.
Meningoensefalitis dan sepsis neonatorum juga bisa
disebabkan oleh infeksi adenovirus, enterovirus, atau
coxsackievirus. Juga, penyakit hubungan seksual dan penyakit
virus antara lain gonorea, sifilis, herpes simplex virus (HSV),
cytomegalovirus (CMV), hepatitis, HIV, rubella, toxoplasmosis,
Trichomonas vaginalis, dan Candida species, semua telah
dilaporkan pada sepsis neonatorum. Bakteri yang resisten
terhadap antibiotik juga sudah muncul dan mempersulit
manajemen sepsis neonatorum. Pola kolonisasi di ruang bayi
dicerminkan oleh organisme yang kini dihubungan dengan
infeksi nosokomial. Bayi berat lahir rendah dan prematur di unit
rawat intensif neonatus semakin rentan terhadap kuman-
kuman ini.
Staphylococcus epidermidis, atau stafilokokus koagulase-
negatif makin banyak terlihat sebagai penyebab sepsis
nosokomial atau onset lanjut, terutama pada bayi prematur. Ini
dianggap sebagai sebab utama infeksi onset lanjut pada bayi
demikian. Prevalensinya berbanding dengan kesukaan
Stafilokokus pada medium plastik yang ditemukan pada kanula
dan selang pintas (shunt). Ini mempermudah masuknya kuman
melalui kateter umbilikus dan infus. Kapsul bakteri polisakarida
melekat ke polimer plastik dari kateter. Perlekatan ini
menciptakan kapsul di antara kuman dan kateter, yang
mencegah deposisi C3 dan fagositosis. Juga, protein yang
dijumpai dalam kuman[AtlE dan SSP-1] menambah perlekatan
ke permukaan kateter.
Biofilm terbentuk dari agregasi kuman yang telah
memperbanyak diri. Ingus diproduksi di tempat tersebut dari
bahan ekstraselular yang dibentuk oleh organisme. Ingus ini
merupakan sawar terhadap pertahanan hospes dan dari aksi
antibiotik. Oleh karena itu, bisa dilihat bahwa produksi ingus
32. 27
menambah kesulitan untuk mengatasi septikemia yang
disebabkan stafilokokus koagulase-negatif. Toksin yang
dibentuk oleh organisme ini telah dikaitkan dengan enterokolitis
nekrotikan. Stafilokokus koagulase-negatif merupakan
pencemar tersering dari biakan darah dan cairan serebro-
spinal. Oleh karena itu, bisa menjadi indikator palsu dari
septikemia.
Respon neonatus terhadap ancaman infeksi tidak efektif.
Neutrofil atau sel PMN neonatus yang vital untuk membunuh
bakteri, kurang memiliki kapasitas khemotaksis dan
membunuh. Kurangnya perlekatan ke lapisan endotel
pembuluh darah membuat sel PMN neonatus tidak bisa
menepi dan meninggalkan pembuluh darah untuk menembus
jaringan. Sekali di jaringan, sel PMN ini tidak bisa memisah
sebagai respon terhadap faktor khemotaksis. Di samping itu,
sel PMN neonatus kurang bisa berdeformasi, sehingga kurang
bebas bergerak melalui matriks ekstraselular jaringan untuk
mencapai lokasi peradangan dan infeksi. Kemampuan sel
PMN neonatus yang terbatas untuk melakukan fagositosis dan
membunuh bakteri, memburuk ketika bayi sakit kritis. Akhirnya,
cadangan neutrofil mudah habis karena berkurangnya respon
sumsum tulang, terutama pada bayi prematur.
Konsentrasi dan fungsi monosit pada neonatus sama dengan
dewasa; namun khemotaksis makrofag tidak sempurna dan
terus demikian sampai masa kanak-kanak dini. Makrofag
berkurang dalam paru dan mungkin pada hati dam limpa.
Aktivitas khemotaksis dan bekterisidal serta presentasi antigen
oleh sel-sel ini tidak sempurna. Produksi sitokin oleh makrofag
berkurang . Mungkin disertai produksi sel T yang menurun.
Sel T ditemukan dalam sirkulasi janin pada kehamilan dini dan
jumlahnya meningkat sejak lahir sampai usia 6 bulan; tetapi,
sel-sel ini mencerminkan populasi peralihan yang tidak
matang. Neonatus kurang memiliki sel T dengan fenotipe
permukaan sel memori; namun, jumlah sel T ini bertambah
dengan semakin meningkatnya usia saat neonatus terpapar ke
rangsang antigenik. Sel-sel yang tidak pernah terpapar ke
antigen tidak mudah berproliferasi seperti halnya sel T pada
orang dewasa bila teraktivasi. Sel T neonatus tidak efektif
memproduksi sitokin yang membantu stimulasi dan diferensiasi
sel B dan stimulasi proliferasi granulosit/monosit di sumsum
33. 28
tulang. Penundaan terjadi dalam pembentukan fungsi memori
yang spesifik antigen, setelah infeksi primer. Fungsi sitotoksik
dari sel T neonatus adalah 50-10% seefektif sel T dewasa.
Janin telah memiliki sedikit imunoglobulin pra-imun, namun
jumlahnya terbatas dibandingkan pada dewasa. Bayi
mendapat imunoglobulin G (IgG) sebelum lahir, setelah 16
minggu kehamilan; namun bayi prematur memiliki lebih sedikit
IgG karena lebih singkatnya periode transmisi imunoglobulin
melalui plasenta.
Sebagai tambahan, jika ibu mengalami imunosupresi, mungkin
lebih sedikit IgG yang bisa ditransmisikan ke bayi. Neonatus
bisa mensintesis imunoglobulin M (IgM) in utero pada 10
minggu gestasi; namun, kadar IgM umumnya rendah ketika
lahir, kecuali bayi terpapar ke patogen selama kehamilan,
sehingga merangsang produksi IgM. IgG dan imunoglobulin E
bisa disintesis in utero; namun hanya jumlah runut ditemukan
di darah tali pusat pada persalinan. Neonatus bisa memperoleh
imunoglobulin A (IgA) dari ASI tetapi tidak mensekresi IgA
sebelum usia 2-5 minggu. Respon terhadap polisakarida
bakteri berkurang dan rendah terus selama usia 2 tahun
pertama.
Sel Natural killer (NK) ditemukan dalam konsentrasi lebih besar
di darah tepi neonatus dibandingkan pada dewasa. Namun
ekspresivitas antigen oleh membran sel berkurang, sehingga
menurunkan aktivitas sitolitik .Penurunan respon ini telah
diamati pada infeksi herpes pada neonatus.
Janin bisa memproduksi protein komplemen sedini kehamilan
6 minggu; namun ada variasi antar individu. Ada bayi yang
memiliki konsentrasi komplemen sama dengan dewasa.
Defisiensi terlihat lebih besar pada lintasan alternatif dibanding
lintasan klasik . Aktivitas terminal untuk komplemen yang
membunuh bakteri tidak efisien. Defisiensi ini lebih mencolok
pada bayi prematur. Aktivitas komplemen dewasa tidak dicapai
sebelum bayi berusia 6-10 bulan. Fibronectin, atau protein
serum yang membantu perlekatan neutrofil dan sifat-sifat
opsonin, ditemukan lebih rendah pada neonatus. Oleh karena
itu, serum neonatus memiliki efisiensi opsonin yang rendah
terhadap GBS, E coli, dan S pneumoniae.
34. 29
Sawar fisika dan kimia terhadap infeksi pada tubuh manusia
ada pada neonatus tetapi tidak cukup. Kulit dan mukosa
mudah retak pada bayi preamtur. Neonatus yang sakit
dan/atau prematur lebih memiliki risiko pada tindakan invasif
yang berpotensi merusak sawar. Karena interdependensi
respon imun, defisiensi berbagai komponen dari sistem imum
menjadikan neonatus rentan terhadap infeksi.
Frekuensi
Di Amerika Serikat: insiden sepsis yang terbukti dengan biakan
diperkirakan 2 dalam 1000 kelahiran hidup. Dari 7-13%
neonatus yang dievaluasi untuk sepsis neonatorum, hanya 3-
8% yang memiliki biakan positif. Tanda-tanda dini dari sepsis
pada bayi baru lahir tidak spesifik, sehingga banyak neonatus
menjalani pemeriksaan diagnostik dan terapi pendahuluan
sebelum diagnosis ditegakkan. Di samping itu, karena the
American Academy of Pediatrics (AAP), American Academy of
Obstetrics and Gynecology (AAOG), dan Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) telah merekomendasikan uji
tapis dan/atau terapi sepsis untuk berbagai faktor risiko yang
terkait dengan penyakit GBS, banyak neonatus yang
asimtomatis memerlukan evaluasi. Karena angka kematian
akibat sepsis yang tidak diterapi bisa setinggi 50%,
kebanyakan klinisi yakin bahwa bahaya sepsis yang tidak
diatasi terlalu besar untuk menunggu konfirmasi dari biakan
positif. Oleh karena itu, terapi telah didahului sambil menunggu
hasil biakan.
Mortalitas/Morbiditas:
Angka mortalitas pada sepsis neonatorum bisa setinggi 50%
untuk bayi yang tidak diterapi dan berkontribusi sebanyak 13-
15% dari semua kematian neonatus. Meningitis neonatorum,
suatu morbiditas serius pada sepsis neonatorum, terjadi pada
2-4 kasus per 10.000 kelahiran hidup dan memiliki kontribusi
bermakna terhadap sepsis neonatorum, dan 4% dari semua
kematian neonatus.
Ras: Bayi kulit hitam memiliki insiden tinggi untuk penyakit
GBS dan sepsis onset lanjut. Ini terlihat setelah mengendalikan
faktor-faktor risiko dari berat lahir rendah dan usia ibu yang
muda.
35. 30
Jenis Kelamin: insiden sepsis bakteri dan meningitis, terutama
basil enterik gram-negatif, lebih tinggi pada laki-laki dibanding
perempuan.
Usia: Kajian memperlihatkan bayi prematur memiliki insiden
lebih tinggi, terutama pada bayi dengan berat lahir sangat
rendah(<1000 g), yakni 26 per 1000 kelahiran hidup ,
dibanding berat lahir 1000-2000 g, yaitu 8-9 per 1000 kelahiran
hidup. Risiko kematian atau meningitis dari sepsis lebih tinggi
pada bayi dengan berat lahir rendah dibanding neonatus cukup
bulan.
Riwayat: Faktor risiko yang paling terkait meliputi kolonisasi
GBS pada ibu (terutama jika tidak diterapi selama persalinan),
ketuban pecah dini, ketuban sudah lama pecah, prematuritas,
dan korioamnionitis.
Faktor predisposisi juga terkait dengan sepsis neonatorum,
antara lain Skor APGAR rendah (<6 pada 1 atau 5 menit),
demam ibu lebih dari 38,4°C, infeksi saluran kemih maternal ,
perawatan prenatal yang buruk, gizi ibu buruk, status
sosioekonomi rendah, abortus rekuren, penyalahgunaan obat,
berat lahir rendah, distosia, asfiksia lahir, mekonium dan
kelainan bawaan. Faktor predisposisi ini mencerminkan stres
dan penyakit janin saat persalinan, serta bahaya lingkungan
uterus sebelum persalinan.
Status GBS ibu
Etiologi tersering dari sepsis bakteri pada neonatus adalah
GBS (group B streptococcus). Ada 9 serotipe dan masing-
masing berkaitan dengan kapsul polisakarida dari kuman ini.
Tipe I, II, dan III biasa terkait dengan infeksi GBS neonatus
Strain tipe III telah diperlihatkan paling banyak terkait dengan
komplikasi SSP (sistem saraf pusat) pada infeksi onset dini,
sedangkan tipe V telah dikaitkan dengan penyakit onset dini
tanpa keterlibatan SSP.
• Kuman GBS menghuni saluran cerna dan jalan lahir
ibu. Kira-kira 30% wanita memiliki kolonisasi GBS
tanpa gejala selama kehamilan. GBS bertanggung
jawab atas kira-kira 50.000 infeksi maternal per tahun,
tetapi hanya 2 neonatus per 1000 kelahiran hidup yang
36. 31
terinfeksi. Wanita dengan kolonisasi GBS yang berat
dan biakan yang selalu positif pada kehamilan 23-26
minggu diikuti dengan prematuritas dan berat lahir
rendah. Kolonisasi sewaktu persalinan menyebabkan
infeksi naonatus. Khemoprofilaksis intrapartum pada
wanita dengan biakan positif untuk GBS telah
diperlihatkan menurunkan angka penularan kuman ke
bayi selama persalinan.
• PROM (premature rupture of membrane, ketuban
pecah dini) dapat terjadi sebagai respon terhadap
infeksi saluran kemih atau jalan lahir yang tidak diobati
dan juga dihubungkan dengan persalinan pematur,
perdarahan pada kehamilan, dan konsumsi rokok berat
selama kehamilan. .
Pecah ketuban tanpa komplikasi lain dalam waktu 24
sebelum persalinan, diikuti dengan 1% peningkatan
insiden sepsis neonatorum. Namun, bila
korioamnionitis menyertai pecah ketuban dini, insiden
infeksi neonatorum menjadi 4 kali lebih tinggi.
• Kajian multisenter terbaru menunjukkan bahwa
korioamnionitis dan kolonisasi GBS merupakan
prediktor terpenting dari infeksi neonatus setelah
PROM.
Bila ketuban telah pecah prematur sebelum usia
kehamilan 37 minggu, periode laten yang lebih
panjang mendahului persalinan per vaginam. Ini
meningkatkan kemungkinan bayi terinfeksi. Hubungan
antara lama ketuban sudah pecah dan infeksi
neonatus berbanding terbalik dengan usia kehamilan.
Oleh karena itu, makin prematur si bayi, makin lama
penundaan antara pecah ketuban dan persalinan, dan
lebih tinggi kemungkinan sepsis neonatorum.
• Penelitian Seaward dkk mendapatkan bahwa lebih dari
6 pemeriksaan vagina (vaginal toucher) memiliki risiko
infeksi neonatus.
• Prematuritas: Hubungan antara PROM dan sepsis
neonatorum telah diuraikan baru-baru ini. Namun,
hubungan lain antara prematuritas dan sepsis
neonatorum meningkatkan risiko untuk bayi prematur.
Bayi prematur lebih cenderung menjalani prosedur
invasif, seperti kateter umbilikus dan intubasi .
Prematuritas terkait dengan infeksi CMV, HSV,
hepatitis B, toxoplasmosis, Mycobacterium tuberculo-
sis, Campylobacter fetus, dan spesies Listeria.
37. 32
Intrauterine growth retardation dan berat lahir rendah juga
diamati pada infeksi-infeksi sitomegalovirus ( CMV) dan toxo-
plasmosis
Bayi prematur kurang memiliki imunitas terhadap infeksi.
Korioamnionitis: Hubungan antara korioamnionitis dan risiko-
risiko lain adalah sangat kuat. Curigai korioamnionitis jika ada
takikardia janin, nyeri tekan uterus, cairan ketuban purulen,
leukositosis maternal dan demam di atas 38°C.
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda klinis sepsis neonatorum tidak spesifik dan
berhubungan dengan kuman penyebab dan respon tubuh
terhadap invasi . Tanda-tanda yang tidak spesifik ini juga
berhubungan dengan penyakit neonatus lainnya, seperti
Respiratory Distress Syndrome (RDS), penyakit metabolik,
perdarahan intrakranial, dan persalinan traumatik. Oleh karena
itu, tegakkan diagnosis sepsis neonatus dengan menyingkirkan
proses penyakit lain, dan lakukan pemeriksaan dan tes untuk
indikasi lebih spesifik dari sepsis neonatorum.
Paru-paru
• Pneumonia kongenital dan infeksi intrauterin: Lesi-
lesi radang diamati dalam paru pada bedah mayat bayi
dengan pneumonia kongenital dan intrauterin. Mungkin
ini tidak disebabkan oleh aksi kuman itu sendiri,
melainkan oleh aspirasi cairan ketuban yang
mengandung leukosit dan hancuran sel ibu. Takipnea,
respirasi tidak teratur, retraksi , apnea, sianosis, dan
rintihan bisa diamati. Neonatus dengan pneumonia
intrauterin juga mungkin sakit kritis ketika lahir dan
membutuhkan dukungan ventilasi tingkat tinggi.
Radiologi toraks dapat memperlihatkan konsolidasi
bilateral atau efusi pleura.
• Pneumonia kongenital dan infeksi intrapartum:
Neonatus yang terinfeksi selama persalinan mungkin
mendapat pneumonia melalui aspirasi kuman.
Kolonisasi dapat mengakibatkan infeksi dengan
perubahan paru, infiltrasi dan destruksi jaringan
bronkopulmoner. Kerusakan ini sebagian disebabkan
pelepasan prostaglandin dan leukotrien oleh granulosit
38. 33
Eksudat fibrin ke dalam alveolus menghambat fungsi
surfaktan dan menyebabkan gagal napas dengan
gambaran seperti RDS. Bendungan vaskular,
perdarahan dan nekrosis dapat terjadi.
Spesies Klebsiella dan S aureus memiliki kesang-
gupan merusak paru, menghasilkan mikro-abses dan
empiema ;
Pneumonia infeksiosa juga ditandai oleh pneumatokel
di dalam jaringan paru. Bisa dilihat tanda-tanda batuk,
merintih, retraksi iga dan sternum, cuping hidung
kembang kempis, takipnea dan/atau pernapasan tidak
teratur, ronkhi, bunyi napas melemah dan sianosis.
Pada radiologi, atelektasis lobar dan segmental atau
pola retikulogranular difus bisa ada, seperti yang
terlihat pada RDS. Efusi pleura bisa dilihat pada
penyakit lanjut
• Pneumonia postnatal: Pneumonia bisa terjadi pada
sembarang usia. karena patogen terdapat di
lingkungan, penyebab pneumonia dan sangat
tergantung pada lingkungan bayi yang baru. Jika bayi
masih berada di NICU , terutama dengan intubasi
endotrakea dan ventilasi mekanik, kuman bisa
mencakup spesies Staphylococcus atau
Pseudomonas. Selain itu, kuman nosokomial ini
sering memper-lihatkan multiresisten terhadap
antibiotik. Oleh karena itu,pilihan antibiotik pada kasus-
kasus demikian membutuhkan pengetahuan tentang
kuman yang menjadi penyebab dan pola resistensi
kuman di rumah sakit.
Tanda-tanda kardiak:
Pada sepsis berat, fase dini ditandai oleh hipertensi pulmoner,
penurunan curah jantung dan hipoksemia. Gangguan
kardiopulmoner ini mungkin disebabkan aktivitas mediator
yang dikeluarkan granulosit, seperti radikal hidroksil dan
tromboksan B2, yang merupakan metabolis asam arakidonat.
Senyawa-senyawa ini memiliki aksi vasokonstriktor yang
mengakibatkan hipertensi pulmoner bila terlepas ke jaringan
paru. Toksin yang berasal dari kapsul polisakarida
streptokokus tipe III juga telah diperlihatkan menyebabkan
hipertensi pulmoner. Fase dini dari hipertensi pulmoner disusul
oleh penurunan progresif dari curah jantung dengan
bradikardia dan hipotensi sistemik. Bayi bermanifestasi syok
39. 34
dengan pucat, pengisian kapiler buruk dan edema. Tanda-
tanda lanjut dari syok menunjukkan gangguan berat dan
dikaitkan dengan mortalitas tinggi.
Tanda-tanda metabolik:
Hipoglikemia, asidosis metabolik dan ikterus semuanya
merupakan tanda metabolik yang menyertai sindrom sepsis
neonatorum. Kebutuhan akan glukosa meningkat. Bayi juga
mengalami gangguan nutrisi karena asupan energi yang tidak
adekuat. Asidosis metabolik disebabkan oleh konversi ke
metabolisme anaerob dengan produksi asam laktat. Bila bayi
hipotermia atau tidak dijaga dalam lingkungan suhu netral,
upaya tubuh untuk mengatur suhu bisa menyebabkan asidosis
metabolik. Ikterus terjadi sebagai respon terhadap
berkurangnya glukoronidasi hati yang disebabkan oleh
disfungsi hati dan destruksi eritrosit yang meningkat.
Tanda neurologis:
Meningitis merupakan manifestasi lazim dari infeksi sistem
saraf pusat. Infeksi primer disebabkan GBS (36%), E coli
(31%), dan spesies Listeria (5-10%) , walaupun kuman lain
seperti S pneumoniae, S aureus, Staphylococcus epidermis,
Haemophilus influenzae, dan spesies Pseudomonas,
Klebsiella, Serratia, Enterobacter, dan Proteus bisa
menyebabkan meningitis. Gambaran histologis akut dan kronik
berhubungan dengan kuman spesifik .
Ventrikulitis merupakan kejadian awal dari peradangan di
permukaan ventrikel. Bahan eksudatif biasanya muncul di
pleksus koroid dan terletak di sebelah luar pleksus. Kemudian,
ependymitis terjadi dengan disrupsi dinding ventrikel dan
penonjolan rambut glial ke dalam lumen ventrikel. Jembatan
glial dapat terbentuk dari rambut-rambut (tuft) dan
menyebabkan obstruksi, terutama pada akuaduktus Sylvi.
Ventrikel lateral bisa menjadi multilokular yang serupa dengan
pembentukan abses.Ventrikel multilokular bisa mengisolasi
organisme dalam kawasan tersebut, membuat terapi jadi
sukar. Meningitis cenderung timbul di pleksus koroid dan
meluas melalui ventrikel dan akuaduktus ke dalam araknoid
sampai mengenai permukaan serebrum dan serebelum.
Kandungan glikogen tinggi di pleksus koroid neonatus
40. 35
merupakan media yang sangat baik untuk bakteri. Asal
meningitis di ventrikel menyebabkan masalah pengobatan
bermakna karena daerah ini tidak bisa diakses. obstruksi
ventrikel menyebabkan masalah tambahan.
Araknoiditis merupakan fase berikutnya dan merupakan
petanda meningitis. Araknoid diserbu oleh sel radang yang
menghasilkan eksudat yang menebal di dasar otak dan lebih
seragam di bagian otak lainnya. Pada awal infeksi, eksudat
terdiri terutama atas sel PMN, bakteri, makrofag. Eksudat
menonojol di sekitar pembuluh darah dan meluas ke parenkim
otak. Pada minggu kedua dan ketiga infeksi, proporsi PMN
berkurang; sel-sel yang dominan adalah histiosit, makrofag dan
beberapa limfosit dan sel plasma. Infiltrasi eksudat ke radiks
saraf kranial ke 3 dan 8 terjadi. Setelah periode ini, eksudat
berkurang. Terbentuk benang-benang kolagen tebal, dan
terjadi fibrosis araknoid yang mengakibatkan obstruksi.
Akibatnya hidrosefalus. Meningitis GBS onset dini ditandai oleh
araknoiditis lebih ringan dibandingkan meningitis GBS onset
lanjut.
Vaskulitis memperluas radang araknoid dan ventrikel ke
pembuluh darah sekitar otak. Penyumbatan arteri jarang
terjadi; namun keterlibatan vena lebih berat. Flebitis dapat
diikuti trombosis dan oklusi lengkap. Trombus fibrin multipel
diikuti oleh infark hemoragik. Keterlibatan pembuluh darah
nyata pada hari-hari pertama meningitis, dan menjadi lebih
mencolok selama minggu kedua dan ketiga. Edema serebral
dapat terjadi selama stadium akut meningitis. Edema bisa
cukup berat untuk mengurangi lumen pembuluh darah.
Penyebab edema tidak diketahui, namun kemungkinan terkait
dengan vaskulitis dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Edema juga bisa terkait dengan sitotoksin kuman.
Herniasi struktur supratentorial yang edema tidak terjadi pada
neonatus karena distensibilitas kranium. Infark merupakan
gambaran mencolok dan serius dari meningitis neonatorum.
Infark ini terjadi pada 30% bayi yang meninggal. Lesi terjadi
karena oklusi vena multipel, yang sering hemoragik. Lokus
infark paling sering di korteks serebral dan substansia alba
namun bisa juga subependimal di dalam substansia alba.
Kehilangan neuron terjadi, terutama di korteks serebral, dan
leukomalasia periventrikular bisa muncul kemudian pada
daerah sekitar sel neuron yang mati .
Meningitis yang disebabkan sepsis neonatorum onset dini
biasanya terjadi dalam 24-48 jam dan didominasi oleh tanda-
41. 36
tanda non-neurologis. Tanda-tanda neurologis dapat
mencakup stupor dan iritabilitas. Tanda-tanda mencolok dari
meningitis terjadi hanya pada 30% kasus. Bahkan meningitis
yang ditegakkan dengan kultur bisa tidak memperlihatkan
perubahan sel darah putih dalam cairan serebrospinal.
Meningitis yang disebabkan penyakit onset lanjut lebih
cenderung menunjukkan tanda-tanda neurologis (80-90%).
Didapatkan penurunan kesadaran (yaitu, stupor dengan atau
tanpa iritabilitas), coma, seizures, ubun-ubun besar menonjol,
rigiditas ekstensor, tanda serebral fokal, tanda-tanda saraf
kranial, dan kaku kuduk .
Temuan cairan serbrospinal pada meningitis neonatorum
adalah peninggian leukosit (terutama PMN), peninggian kadar
protein, dan penurunan kadar glukosa CSF dan biakan positif.
Penurunan kadar gluksoa CSF tidak harus mencerminkan
hipoglikemia. kelainan kadar glukosa paling hebat di penyakit
onset lanjut dan dengan kuman gram-negatif. Leukosit CSF
dalam kisaran normal pada 29% infeksi meningitis GBS; pada
meningitis gram-negatif, berada dalam kisaran normal hanya
pada 4%. Kadar protein dan glukosa dalam kisaran normal
ditemukan pada kira-kira 50% pasien dengan meningitis GBS.;
namun, pada infeksi gram-negatif kisaran glukosa dan protein
normal hanya pada 15-20% .
Ketidakstabilan suhu terlihat pada sepsis dan meningitis
neonatorum, baik sebagai respon terhadap pirogen yang
disekresikan kuman atau dari ketidakstabilan sistem saraf
simpatis. neonatus lebih cenderung hipotermik. Bayi juga
lemas, letargik dan tidak napsu minum. Tanda hiperaktivitas
neurologis lebih cenderung didapatkan pada meningitis onset
lanjut.
Tanda-tanda hematologis:
Hitung trombosit pada neonatus sehat jarang di bawah
100.000 per mm3
dalam 10 hari pertama kehidupan .
Trombositopenia dengan hitung kurang 100.000 dapat dijumpai
pada sepsis neonatorum sebagai respon terhadap produk
seluler kuman. Produk selular ini menyebabkan agregasi dan
perlekatan trombosit yang akhirnya menjadi rusak .
Trombositopenia umumnya terlihat setelah sepsis didiagnosis
dan biasanya berlangsung 1 minggu, walaupun bisa selama 3
minggu. Hanya 10-60% bayi sepsis memiliki trombositopenia.
Karena pemunculan trombosit yang baru terbentuk, mean
platelet volume (MPV) dan platelet distribution width (PDW)
42. 37
diperlihatkan lebih tinggi pada sepsis neonatorum setelah 3
hari. Karena penyebab trombositopenia banyak dan munculnya
agak terlambat pada sepsis neonatorum, keberadaan
trombositopenia tidak membantu diagnosis sepsis neona-
torum.
Leukosit dan hitung jenis lebih sensitif untuk menentukan
sepsis dibandingkan hitung trombosit, walaupun hitung leukosit
normal bisa dijumpai pada sebanyak 50% kasus sepsis yang
terbukti dengan biakan. Bayi yang tidak terinfeksi juga bisa
menunjukkan hitung leukosit abnormal, terkait dengan stres
persalinan Jumlah neutrofil (PMN dan bentuk muda) sedikit
lebih sensitif dalam menentukan sepsis dibandingkan jumlah
leukosit toal (percent lymphocyte + monocyte/PMNs + bands).
Hitung neutrofil abnormal, yang diambil pada saat muncul
gejala pertama, hanya diamati pada dua dari tiga bayi. Oleh
karena itu, hitung neutrofil tidak memberikan konfirmasi sepsis
yang adekuat. Neutropenia diamati pada hipertensi
maternal,asfiksia perinatal berat, dan perdarahan periven-
trikular atau intraventrikular.
Ratio neutrofil lebih berguna dalam mendiagnosis atau
menyingkirkan sepsis; ratio the immature-to-total (I/T) adalah
yang paling sensitif. Semua bentuk neutrofil muda dihitung dan
ratio maksimum yang bisa diterima untuk menyingkirkan sepsis
selama 24 jam pertama adalah 0,16. Pada kebanyakan
neonatus ratio menurun menjadi 0,12 dalam 60 jam pertama
kehidupan. . Kepekaan I/T ratio berkisar 60-90%, dan
peninggian bisa terlihat dengan kejadian fisiologis lain; oleh
karena itu, dalam mendiagnosis sepsis, peninggian I/T ratio
harus digunakan bersama-sama tanda lain.
Tanda-tanda gastrointestinal:
Saluran cerna bisa dikolonisasi oleh kuman yang berasal dari
persalinan dengan menelan air ketuban. Pertahanan imun dari
usus tidak matang, khususnya pada bayi prematur. Limfosit
berproliferasi dalam usus sebagai respon terhadap stimulasi
mitogen; tetapi, proliferasi ini tidak efektif penuh dalam
merespon kuman karena pembentukan antibodi dan
pembentukan sitokin masih belum matang sebelum kira-kira 46
minggu. Enterokolitis nekrotikan(NEC) telah dihubungkan
dengan adanya sejumlah spesies bakteri pada usus yang
43. 38
belum matang, dan lewat tumbuh kuman ini pada lumen
neonatus merupakan satu dari berbagai faktor patofisiologi dari
NEC.
Laboratorium:
Biakan Darah, CSF, Urin
Kultur aerob sesuai untuk kebanyakan etiologi bakteri yang
terkait dengan sepsis neonatorum. Namun, biakan anaerob
diindikasikan pada neonatus dengan pembentukan abses,
proses dengan keterlibatan usus, hemolisis massif dan
pneumonia refrakter.
• Pewarnaan Gram menghasilkan identifikasi dini dari
status gram-positif dan gram-negatif dari kuman untuk
identifikasi pendahuan .
• Biakan kuman harus mengungkap kuman infeksi
dalam 36-48 jam
• Biakan Darah dan CSF sesuai untuk sepsis onset dini
ataupun lanjut .
Karena rendahnya insiden meningitis pada neonatus
dengan biakan negatif, klinisi harus melakukan biakan
CSF hanya pada bayi dengan dugaan atau bukti
sepsis.
• Hitung darah lengkap dan hitung jenis harus dipesan
serial untuk menentukan perubahan-perubahan yang
terkait dengan infeksi, misal trombositopenia atau
neutropenia, atau untuk memantau perkembangan
pergeseran kekiri atau peninggian I/T ratio.
Pemantauan hitung darah lengkap secara serial
demikian dapat membantu diferensiasi sepsis dan
kelainan nonspesifik yang disebabkan stres persalinan.
Hitung trombosit pada neonatus sehat jarang di bawah
100.000 dalam 10 hari pertama kehidupan. Trombositopenia
dengan trombosit kurang dari 100.000 dapat terjadi pada
sepsis neonatorum, walaupun tanda ini biasanya diamati pada
stadium infeksi lanjut. MPV dan PDW telah diperlihatkan naik
secara bermakna pada bayi dengan sepsis setelah 2-3 hari
kehidupan. Prosedur ini membantu menentukan etiologi
trombositopenia.
44. 39
Pemeriksaan Pencitraan:
Foto toraks dapat menggambarkan atelektasis segmental atau
lobar, tetapi lebih sering sebagai pola retikulogranular halus
dan difus, sebagaimana terlihat pada RDS. Hemotoraks dan
efusi pleura juga bisa diamati .
CT scan mungkin dibutuhkan kemudian pada meningitis
neonatorum untuk mengetahui adanya sumbatan dari aliran
CSF, titik penyumbatan dan kejadian infark atau abses. Tanda
penyakit stadium kronik, seperti dilatasi ventrikel, ensefalo-
malasia multikistik, dan atrofi juga ditunjukkan pada CT scan.
USG kepala pada neonatus dengan meningitis memperlihatkan
bukti ventrikulitis, ekogenisitas parenkim abnormal ,
abnormalitas cairan ekstraselular dan perubahan kronik. USG
kepala serial bisa menunjukkan perkembangan dari
komplikasi-komplikasi.
Manajemen:
Pungsi lumbal diindikasikan untuk sepsis onset dini dan lanjut,
walaupun klinisi mungkin tidak berhasil mendapat cairan cukup
atau jernih untuk semua pemeriksaan. Bayi dapat diposisikan
miring atau duduk dengan penopang, namun regangan yang
cukup dibutuhkan untuk menghindari trauma. Karena medula
spinalis lebih rendah di dalam kolumna spinalis pada bayi, titik
insersi sebaiknya antara L3 dan L4. Jika biakan positif, maka
LP lanjutan sering dikerjakan dalam 24-36 jam setelah terapi
antibiotik untuk mengetahui sterilitas CSF. Jika kuman masih
ada, modifikasi jenis dan dosis antibiotik dibutuhkan untuk
mengatasi meningitis secara adekuat LP tambahan dalam 24-
36 jam diperlukan jika masih ada kuman.
Perawatan Medis:
Terapi dimulai segera karena sistem imun neonatus lemah
untuk melawan infeksi. Mulai antibiotik sejalan dengan tes
diagnostik. terapi tambahan telah diteliti untuk sepsis
neonatorum, tetapi tidak ada bukti pasti dari manfaat
pengobatan tersebut. Terapi tambahan ini meliputi transfusi
granulosit, intravenous immune globulin (IVIG), transfusi
tukar dan sitokin rekombinan.
45. 40
Di Amerika Serikat dan Kanada, pendekatan paling mutakhir
untuk mengatasi sindrom sepsis onset dini mencakup
kombinasi aminoglikosida IV dan penisilin. Kombinasi ini
mencakup kuman gram-positif, terutama GBS dan bakteri
gram-negatif seperti E coli. Antibiotik spesifik yang akan
digunakan dipilih berdasarkan riwayat maternal, dan trend
kolonisasi kuman yang prevalen di ruang bayi .
Jika infeksi bersifat nosokomial, cakupan langsung bakteri
yang terlibat meliputi S aureus, S epidermis, dan spesies
Pseudomonas. Kebanyakan strain S aureus menghasilkan
beta-laktamase, yang membuat mereka resisten terhadap
penisilin G, ampisilin, karbenisilin, dan tikarsilin. Vankomisin
lebih disukai untuk mencakup kuman-kuman ini. Namun ada
kekhawatiran bahwa penggunaan berlebihan dari obat ini justru
menyebabkan munculnya strain resisten vankomisin.
Sefalosporin diminati dalam pengobatan infeksi nosokomial
karena toksisitasnya rendah dan kadar serum dan CSF
adekuat. Namun, resistensi kuman gram-negatif sudah terjadi
dengan penggunaan antibiotik ini. Jangan gunakan seftriakson
pada bayi dengan hiperbilirubinemia, karena melepas bilirubin
dari albumin serum. Resistensi dan sensitivitas kuman
digunakan untuk memiliki obat yang paling efektif.
Aminoglikosida dan vankomisin keduanya ototoksik dan
nefrotoksik. Periksa kadar serum setelah 48 jam untuk
menetapkan apakah kadarnya melebihi kadar terapi. Dosis
atau interval perlu diubah untuk menjamin cakupan yang
memadai tetapi tidak toksik. Kadar serum perlu diperiksa bila
kondisi klinik bayi belum membaik untuk memastikan bahwa
kadar terapi telah dicapai. Di samping itu, fungsi ginjal dan tes
pendengaran perlu diperiksa untuk melihat efek toksik obat-
obat ini.
Jika biakan negatif namun bayi memiliki risiko bermakna untuk
sepsis, klinisi harus memutuskan apakah perlu meneruskan
terapi. Tiga hari biakan negatif harus memberi keyakinan;
namun sejumlah kecil bayi dengan bukti sepsis pada bedah
mayat, memiliki biakan negatif pada awal pemeriksaaan. Lebih
lanjut manajemen dipersulit jika si ibu mendapat antibiotik
sebelum persalinan, khususnya menjelang persalinan. Ini bisa
menyebabkan hasil biakan negatif pada bayi. Tinjau semua
data diagnostik, termasuk biakan, faktor-faktor risiko maternal
dan intrapartum, hasil CSF, hitung darah lengkap dan radiologi
serta gambaran klinik untuk menentukan apakah terapi perlu
46. 41
dilanjutkan. Terapi selama 7-10 hari mungkin sesuai, bahkan
jika hasil biakan telah negatif pada 48 jam.
Klinisi mungkin membutuhkan pilihan antibiotik berbeda, serta
dosis dan/atau lama terapi jika bayi mengidap meningitis
bakteri. Lakukan pungsi lumbal lanjutan dalam 24-36 jam
setelah terapi antibiotik dimulai untuk menetapkan apakah CSF
steril. Jika kuman masih ada, modifikasi jenis atau dosis obat
dibutuhkan. Lanjutkan terapi antibiotik selama 2 minggu
setelah CSF steril. Dengan kata lain antibiotik diberikan
minimum 2 minggu untuk meningitis gram-positif dan 3 minggu
untuk meningitis gram-negatif. Kloramfenikol atau trimetoprim-
sulfametoksazol telah diperlihatkan efektif dalam terapi
meningitis bakteri yang sangat resisten .
Transfusi granulosit telah diperlihatkan efektif untuk bayi yang
mengalami deplesi cadangan neutrofil, namun dokumentasi
deplesi ini membutuhkan aspirasi sumsum tulang. Transfusi
granulosit harus diberikan dengan cepat. Jumlah efek samping
cukup besar, seperti graft versus host reaction, transmisi CMV
atau hepatitis B, dan sekuestrasi leukosit di paru. Oleh karena
itu, terapi ini masih bersifat eksperimental .
IVIG telah dipertimbangkan untuk sepsis neonatorum untuk
memasok antibodi spesifik yang memperbaiki opsonisasi dan
fagositosis terhadap bakteri dan memperbaiki aktivasi
komplemen dan khemotaksis dari neutrofil. Namun ada
kesukaran dalam penggunaan IVIG pada sepsis neonatorum.
Efek berlangsung sementara, dan efek samping yang terkait
dengan produk darah bisa terjadi.
Pemberian Recombinant human cytokine untuk merangsang
sel progenitor granulosit telah diteliti sebagai ajuvan terhadap
terapi antibiotik. Terapi ini memberi harapan pada model
hewan, khususnya sepsis GBS, tetapi perlu diberikan sebelum
atau segera setelah diagnosis. Penggunaan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan
granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) telah diteliti
dalam uji klinik, namun kegunaannya dalam neonatologi masih
bersifat eksperimental .
Bayi dengan sepsis mungkin membutuhkan terapi yang
ditujukan untuk mengatasi efek sistemik dari penyakit.
Dukungan kardiopulmoner dan nutrisi intraavena mungkin
diperlukan selama fase akut penyakit sampai kondisi bayi
stabil. Pemantauan tekanan darah, tanda vital, hematokrit dan
trombosit perlu dilakukan.
47. 42
Perawatan Bedah:
Jika meningitis neonatorum dipersulit oleh hidrosefalus dan
ada akumulasi progresif dari CSF, pemasangan pintas
ventrikuloperitoneal (ventriculoperitoneal [VP] shunt) mungkin
perlu untuk mengalirkan kelebihan cairan. Komplikasi dini dari
penempatan shunt adalah overdrainase, kegagalan alat,
diskoneksi, migrasi kateter atau infeksi shunt. Obstruksi
abdomen, kista omentum, perforasi kandung kemih atau usus
sering terjadi. VP shunt dapat menyebabkan komplikasi
neurologis jangka panjang, termasuk slit-ventricle syndrome,
seizures, peroblem neuro-oftalmologis,dan craniosynostosis;
namun prognosis anak dengan pemasangan VP shunt
umumnya baik dengan follow-up seksama.
Konsultasi
Konsultasi ke subdivisi infeksi berguna, terutama jika bayi tidak
memberi respon terhadap terapi dan/atau terlihat tanda klinik
yang tidak lazim, misal ruam kulit .
Jika diidentifikasi meningitis neonatorum, konsul ke neurolog
anak perlu untuk perawatan jangka pendek atau untuk follow-
up rawat-jalan dari sekuele neurologis.
Konsultasi ke bagian farmakologi berguna untuk perubahan
dosis dan/atau jenis antibiotik yang perlu bila kadar tidak
adekuat atau toksik diperoleh
Diet:
Mungkin neonatus perlu dipuasakan(NPO) selama hari-hari
pertama terapi karena gejala saluran cerna. Pertimbangkan
nutrisi parenteral untuk memastikan bahwa asupan kalori,
protein, mineral dan elektrolit cukup selama periode ini.
Pemberian makan bisa dimulai kembali via pipa nasogastrik
untuk bayi dengan sakit serius. Dorong pemberian ASI karena
memiliki kekebalan.
Aktivitas:
bayi dengan suhu tidak stabil memerlukan dukungan
termoregulasi dengan pemanas radiasi atau inkubator. Kontak
48. 43
dengan orang tua penting untuk menenangkan orang tua yang
stres dan melanjutkan ikatan batin antara anak dan orang tua.
Disadur dan Diterjemahkan dari Bellig LL, Ohning BL. Neonatal
Sepsis. emedicine.com
Referensi:
1. American Academy of Pediatrics: Red Book 2000. 25th ed. 2000; 20-
26, 241-2, 537-543.
2. Hickman ME, Rench MA, Ferrieri P, Baker CJ: Changing
epidemiology of group B streptococcal colonization. Pediatrics 1999
Aug; 104(2 Pt 1): 203-9
3. Kemp AS, Campbell DE: The neonatal immune system. Seminar in
Neonatology 1996; 1: 67-75.
4. Klein JO, Marcy SM: Bacterial Sepsis and Meningitis. Infectious
Diseases of the Fetus & Newborn Infant. 4th ed. 1995; 835-878.
5. Kocherlakota P, La Gamma EF: Preliminary report: rhG-CSF may
reduce the incidence of neonatal sepsis in prolonged preeclampsia-
associated neutropenia. Pediatrics 1998 Nov; 102(5): 1107-11
6. McKenna DS, Iams JD: Group B streptococcal infections. Seminars
in Perinatology 1998; 22: 267-76.
7. Morales WJ, Dickey SS, Bornick P, Lim DV: Change in antibiotic
resistance of group B streptococcus: impact on intrapartum
management. Am J Obstet Gynecol 1999 Aug; 181(2): 310-4
8. Saez X, McCracken GH: Clinical Pharmacology of Antibacterial
Agents. Infectious Diseases of the Fetus & Newborn Infant . 4th ed.
1995; 1294-1327.
9. Seaward PG, Hannah ME, Myhr TL, et al: International multicenter
term PROM study: evaluation of predictors of neonatal infection in
infants born to patients with premature rupture of membranes at
term. Premature Rupture of the Membranes. Am J Obstet Gynecol
1998 Sep; 179(3 Pt 1): 635-9
10. Taketomo CK, Hoddings JH, Kraus DM: Pediatric Dosage
Handbook. 3rd ed. 1996-97.
11. Tausch WH, Ballard RA, Avery: Schaffer & Avery's Diseases of the
Newborn . 7th ed. 1998; 435-452, 490-512.
49. 44
SEPSIS KATETER
Definisi
"Days at risk per patient" didefinisikan sebagai interval antara
hari pemasangan keteter vena sentral (CVC)pertama kali dan
onset infeksi yang disebabkan kateter vena sentral atau hari
kateter dilepas.
CVC-related infection didefinisikan sesuai anjuran the Centers
for Disease Control and Prevention (CDC). Infeksi didiagnosis
dengan adanya nyeri tekan eritema atau indurasi dalam jarak 2
cm dari jalan keluar kateter di kulit, dengan atau tanpa demam,
dengan biakan ujung kateter positif atau sekaligus disertai
nanah, bahkan tanpa biakan positif dari ujung kateter.
CVC-related BSI (blood stream infection) didefinisikan sebagai
bakteremia/fungemia atau sepsis pada pasien dengan CVC,
dengan paling sedikit 1 biakan darah positif dari vena tepi, di
mana kuman yang diisolasi sama dengan yang diisolasi dari
ujung kateter, dengan manifestasi infeksi sistemik (yaitu,
demam, menggigil, atau hipotensi) dan tanpa sumber infeksi
lain yang jelas.
Analisis Mikrobiologi
Kateter vena sentral dilepas dengan teknik aseptik dan
segmen (ujung) distal kateter dibiak dengan menggunakan
teknik yang dianjurkan oleh Maki 1
Hasil dinyatakan sebagai
negatif(tidak ada pertumbuhan atau <15 colony-forming units
[CFU]) atau positif (15 CFU). Biakan darah diminta bila ada
manifestasi infeksi sistemik.
Suatu kajian cohort dilakukan pada pasien dewasa dengan
menggunakan CVC dengan atau tanpa nutrisi parenteral2
.
Pasien yang diikutsertakan adalah mereka yang dirawat-inap di
bangsal bedah-penyakit dalam dan ICU RS de Clínicas de
Porto Alegre, sebuah RSU di Brazil, dari Mei 2000 sampai
Desember 2001.
50. 45
Hasil
Dari Mei 2000 sampai Desember 2001, 212 pasien dewasa
yang dirawat di ICU dan bangsal penyakit dalam dan bedah
dievaluasi. Dari 212 pasien yang diikuti 59 dikeluarkan (13
pasien menerima nutrisi parenteral dan 46 tanpa nutrisi
parenteral) karena tidak dilakukan analisis mikrobiologi
terhadap ujung kateter CVC yang digunakan. Tak satupun
pasien yang dikeluarkan memperlihatkan tanda klinik (lokal
atau sistemik) dari CVC-related infection. Karakteristika
baseline dari pasien yang dikeluarkan dan tidak dikeluarkan
serupa (rasio pria:wanita, BMI, hari perawatan sebelum
diapsang CVC, albumin serum dan skor ASIS ), namun pasien-
pasien yang dikeluarkan lebih tua (57 vs 62 tahun; p = .034)
dan tidak mendapat PN(22.0% vs 39.2%; p =
.018)dibandingkan pasien yang tidak dikeluarkan. Kemudian,
dilakukan analisis terhadap data-data dari 153 pasien (60
dengan PN dan 93 tanpa PN) diikuti selama 1–99 hari (days at
risk per patient) .
Dua puluh delapan pasien memperlihatkan CVC–related
infection, yang mencerminkan insiden kumulatif sebesar 18.3%
dan densitas insiden 11,7 infeksi per 1000 hari kateter. Tanda-
tanda infeksi pada jalan keluar kateter diamati pada 22 pasien.
Nanah pada jalan keluar kateter terdapat pada 14 pasien.
Pada 8 pasien, ditemukan tanda infeksi dan nanah pada jalan
keluar kateter. Mortalitas 26.8% pada 28 hari (41 pasien) dan
39.9% selama periode follow-up(61 pasien).
Menurut 286 kateter yang dipasang (1.9 ± 1.4 kateter per
pasien), 60.6% adalah lumen tunggal, 78.0% dimasukkan via
vena subklavia(kanan atau kiri), dan 73.5% dimasukkan di sisi
kanan (vena subklavia atau jugularis). Empat komplikasi
mekanis terjadi pada pemasangan CVC: 3 kejadian
pneumotoraks dan 1 kasus sumbatan CVC. Kateter lumen
ganda (59.4% vs 36.6%; p = .013), akses jugularis (80.8% vs
63.0%; p = .036), dan kateter yang digunakan untuk PN(semua
jenisCVC) (59.4% vs 37.7%; p = .018) lebih sering pada pasien
dengan infeksi kateter dibandingkan pasien tanpa infeksi
kateter. Tidak diamati perbedaan dalam hal akses sisi kanan
(70.4% vs 74.4%; p = .656) dan lama hari pemasangan
CVC(10.4 ± 5.1 vs 9.4 ± 6.1; p = .362) antara kedua kelompok.
51. 46
CVC dressing diganti setiap 3,4 ± 1,7 hari, tanpa perbedaan
antara pasien dengan atau tanpa infeksi kateter(3,5 ± 1,2 vs
3.4 ± 1.9 hari; p = .737). Interval pergantian dressing >7 hari
pada 2 pasien dari kelompok pasien tanpa CVC-related
infection dan tidak pada seorangpun dari kelompok dengan
CVC-related infection (2.5% vs 0%; p = 1.00).
Dari 37 biakan positif dari ujung kateter (dari 28 pasien),
diisolasi 45 patogen: 62.2% adalah kuman gram-
positif(stafilookokus koagulase-negatif, n = 13; Staphylococcus
aureus, n = 12; lain-lain , n = 3); 33.3% berupa kuman gram-
negatif (Klebsiella pneumoniae, n = 6; Acinetobacter, n = 3;
dan kuman lain, n = 6). Candida albicans didapat dari hasil
biakan 2 ujung kateter (4.4%)
Densitas insiden dari CVC-related infection lebih tinggi pada
pasien dengan PN (16,02 infeksi/1000 hari CVC) daripada
pasien tanpa PN (8,31 infeksi/1000 hariCVC). Jumlah total
days at risk per patient (interval antara hari pemasangan
kateter dan CVC-related infection [outcome] atau
pengangkatan kateter) untuk pasien dengan CVC-related
infection adalah 7(kisaran: 1–41) dan untuk pasien tanpa CVC-
related infection, 11 (kisaran: 1–99). Insiden kumulatif dari
CVC-related infection adalah 28.3% ipada pasien yang
terpapar dan 11.8% pasien yang tidak terpapar ke PN (p =
.010).
Pasien TPN mengalami 17 episode CVC-related infection vs
11 episode pada pasien tanpa TPN(Figure 1; log rank = 3.01; p
= .082).
52. Kesimpulan
Nutrisi parenteral merupakan faktor risiko independen untuk
infeksi katater( CVC-related infection) pada pasien rawat-inap
Dibutuhkan strategi baru untuk mencegah dan mengurangi
insiden infeksi kateter pada pasien yang mendapat nutrisi via
vena sentral.
Referensi:
1. Maki DG. Skin as a source of nosocomial infection: directions for
future research. Infect Control.1986; 7(suppl 2):S113 –S117
2. Beghetto MG, Victorino J, Teixeira L, de Azevedo MJ. Parenteral
Nutrition as a Risk Factor for Central Venous Catheter–Related
Infection.Journal of Parenteral and Enteral Nutrition, Vol. 29, No. 5,
2005 367-373
47
53. ARF (Acute Renal Failure) &
SEPSIS
Acute renal failure atau Gagal Ginjal akut terjadi pada kira-kira
19% pasien dengan sepsis moderat, 23% dengan sepsis berat
dan 51% dengan syok septik bila biakan darah positif (Table 1
and Table 2).1,2
Peningkatan progresif dari ARDS (acute
respiratory distress syndrome) juga terjadi pada sepsis
moderat, sepsis berat dan syok septik. Di Amerika Serikat,
setiap tahun ditaksir ada 700.000 kasus sepsis, yang
mengakibatkan lebih dari 210.000 kematian; angka ini
merupakan 10 persen dari semua kematian per tahun dan
melebihi jumlah kematian yang disebabkan infark miokard.3
Gabungan ARF dan sepsis menyebabkan 70% mortalitas
sedangkan mortalitas karena ARF sendiri 45%. Oleh karena
itu, kombinasi sepsis dan gagal ginjal akut merupakan masalah
serius di Amerika Serikat.4
Banyak kemajuan didapat dalam
hal pemahaman bagaimana sepsis diikuti dengan insiden tinggi
dari ARF. Lebih dari itu, intervensi klinik yang ditemukan baru-
baru ini bisa mengurangi kejadian gagal ginjal akut dan sepsis
dan mortalitas terkait.
48
54. Pada sepsis, sintesis nitric oxide yang diperantarai sitokin
menurunkan tahanan pembuluh darah sistemik.5
Vasodilatasi
arteri ini memudahkan pasien sepsis mengarah ke gagal ginjal
akut, dan membutuhkan ventilasi mekanik, dan akhirnya
meningkatkan mortalitas. Efek vasodilatasi arteri yang
diperantarai nitric oxide terhadap vasopresor eksogen dan
hipotensi diperlihatkan pada Gambar 1. Juga dibahas dalam
bab ini:
1. Pemakaian vasopresin arginin pada pasien dengan
syok septik.
2. Efek peningkatan kadar hormon vasokonstriktor
endogen, seperti katekolamin, angiotensin II, dan
endothelin, yang mendukung tekanan arteri pada
pasien sepsis yang mengalami vasodilatasi Namun
zat-zat ini juga menyebabkan vasokonstriksi arteri
renalis dan memudahkan pasien kena gagal ginjal
akut. Pasien dengan kombinasi ARF dan sepsis
mungkin mengalami efek vasodilatasi sistemik, seperti
perubahan efek Sterling di kapiler, edema paru,
hipoksia, kebergantungan akan ventilasi mekanik,
acute respiratory distress syndrome, dan multiple-
organ dysfunction syndrome, yang bersama-sama
dapat meningkatkan mortalitas sampai lebih dari 80
persen (Gambar 2).6,7
49
55. 3. Intervensi yang mencegah rangkaian peristiwa yang
buruk ini.
4. Beberapa uji klinik prospektif dan acak dari intervensi-
intervensi yang berpotensi mencegah atau
meringankan gagal ginjal akut pada pasien sepsis,
sehingga menurunkan mortalitas. Kajian-kajian
demikian telah menyinggung terapi antikoagulan,
resusitasi dini, terapi hiperglikemia, penggunaan
kortikosteroid, durasi ventilasi mekanik yang
dipersingkat, dan berbagai jenis terapi pengganti ginjal.
Gambar 1. Vasodilatasi arteri dan vasokonstriksi renal pada pasien
dengan Sepsis. Endotoksemia merangsang induksi nitric oxide synthase,
yang menyebabkan vasodilatasi arteri. Penurunan pengisian arteri yang
ditimbulkan dideteksi oleh baroreseptor dan menghasilkan peningkatan
sympathetic outflow dan pelepasan vasopresin arginin dari sistem saraf pusat,
dengan aktivasi sistem renin–angiotensin–aldosteron (RAAS). Peningkatan
aktivitas simpatis dan angiotensin di ginjal menyebabkan vasokonstriksi
dengan retensi natrium dan air, serta predisposisi untuk gagal ginjal akut
50
56. Gambar 2. Efek Vasodilatasi Arteri Sistemik pada Pasien dengan Sepsis
dan Gagal ginjal Akut .
Sepsis dan endotoksemia dengan ARF bisa mengakibatkan edema paru
nonkardiogenik, hipoksia dan kebutuhan akan ventilasi mekanik. Dengan
dukungan ventilasi yang lama bisa terjadi ARDS( acute respiratory distress
syndrome), gagal organ ganda (multiple-organ dysfunction syndrome), dan
mortalitas tinggi. Tujuan terapi adalah melakukan intervensi dini untuk
mencegah kelebihan pemberian cairan dan mengurangi kelebihan beban
volume dengan hemofiltrasi. Ini akan mencegah kebutuhan akan ventilasi
mekanik yang lama yang bisa menimbuljkan kerusakan kapiler paru.
Intervensi juga bisa mencegah hipoksia jaringan dan acute respiratory
distress syndrome serta menurunkan risiko kematian.
51
57. 52
Hemodinamik dan hormon
Gambaran hemodinamik yang khas dari sepsis adalah
vasodilatasi umum dari arteri dengan penurunan tahanan tepi.
Pengisian arteri yang kurang akibat vasodilatasi arteri terjadi
pada beberapa kondisi klinis, termasuk sepsis, dan disertai
aktivasi aksis neurohormonal dan peningkatan curah jantung
yang terjadi sekunder terhadap penurunan afterload. Aktivasi
sistem saraf simpatis dan poros renin–angiotensin–aldosteron,
pelepasan vasopresin yang bersifat non-osmotik,dan
peningkatan curah jantung mutlak diperlukan untuk
mempertahankan integritas sirkulasi arteri pada pasien dengan
sepsis berat dan syok septik (Gambar 1) Namun kejadian-
kejaian bisa menjurus ke gagal ginjal akut.8,9,10,11
Vasodilatasi arteri diperantarai oleh sitokin yang meningkatkan
ekspresi iNOS( inducible nitric oxide synthase) di pembuluh
darah.12,13
Pelepasan nitric oxide dengan inducible nitric oxide
synthase, dibandingkan dengan constitutive endothelial nitric
oxide synthase,lebih mencolok dan lebih lama. Lebih lanjut,
resistensi terhadap respon presor norepinefrin12
dan
angiotensin II5
terjadi selama sepsis dan ini diduga akibat efek
vasodilator yang kuat dari nitric oxide.12,14,15
Di samping itu,
peningkatan kadar ion hidrogen dan laktat serta penurunan
ATP di sel otot polos pembuluh darah selama syok septik
mengaktifkan saluran kalium,yang juga disebut ATP-sensitive
potassium channels (KATP channel).16,17
Akibatnya kalium
keluar sel melalui KATP channel dan menyebabkan
hiperpolarisasi sel otot polos pembuluh darah dengan
penutupan saluran kalsium. Karena efek vasokonstriktor dari
norepinefrin dan angiotensin II bergantung pada saluran
kalsium yang terbuka, resistensi vaskular terhadap hormon
presor bisa terjadi berbarengan dengan asidosis laktat pada
pasien sepsis. Lebih dari itu, kadar hormon vasoaktif endogen
ini selama sepsis dapat disertai pengurangan jumlah reseptor
nya, yang akan menghasilkan pengurangan dari efek-efeknya
terhadap vaskulatur.
Efek presor dari vasopresin arginin
Ada bukti bahwa pemberian vasopresin arginin pada pasien
syok septik dapat membantu mempertahankan tekanan darah
walaupun hormon presor lain tidak efektif, misal norepinefrin