Teks tersebut membahas mengenai bias gender yang masih terjadi di pondok pesantren di Indonesia. Beberapa organisasi telah melakukan advokasi untuk kesetaraan gender di pesantren, namun pesantren masih cenderung menyebarkan ketidakadilan gender dalam pengajaran dan pendidikan karena pengaruh kuat tokoh sentral pesantren dan kitab-kitab kuning yang dianggap memihak laki-laki. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya seperti merevisi pen
emka_Slide Recall Modul Melakukan Perencanaan PBJP Level 1 V3.1.pptx
PONDOK_GENDER
1. Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Duis at
fermentum justo, ut mattis massa. Pellentesque at dui magna.
Pellentesque eu diam ut orci sagittis condimentum. Ut odio mi, iaculis
ac ultricies et, iaculis a eros. Morbi dictum tellus urna, sed ultrices
massa tristique vel. Cras in volutpat massa. Vestibulum feugiat,
Berbagai lembaga dan organisasi yang bergerak dalam
penguatan perempuan seperti Rahima, Alimat, Fatayat dan
Fahmina Institute telah melakukan advokasi mengenai
kesetaraan gender ke berbagai pondok pesantren di
Indonesia. Namun, pondok pesantren masih “tertinggal”
dalam hal kesetaraan gender.
LIMACARAMENGATASIBIASGENDER
DIPONDOKPESANTREN
2. 2
Zamakhsyari Dhofier, rektor
Universitas Sains Al-Quran,
Wonosobo, Jawa Tengah,
mengatakan bahwa pesantren
mampu menjadi motor penggerak
dalam bidang pendidikan, politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
3. 3
Sayangnya, di pesantren, kesetaraan
gender masih dipahami sebagai nilai baru
yang disuarakan oleh dunia Barat, bahkan
dikhawatirkan dapat merusak tradisi yang
telah mapan. Marhumah, Guru Besar Ilmu
Hadis di Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta, menemukan
bahwa pesantren masih cenderung
menyebarkan ketidakadilan gender dalam
pengajaran dan pendidikannya.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
4. 4
Suatu kajian pustaka dengan
menggunakan pendekatan feminis
dan analisis gender dalam Islam
dan menemukan bahwa banyak
pondok pesantren yang belum
sensitif gender. Penelitian ini
dilakukan di tahun 2016 di pondok
pesantren tradisional (salaf) di
Sumenep, Madura.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
5. 5
Hasil penelitian yang diterbitkan di
Jurnal Harkat pada 2018 ini
menyarankan setidaknya lima
strategi yang bisa dilakukan untuk
merancang ulang kurikulum
pengajaran berperspektif gender di
pondok pesantren.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
6. 6
Kurikulum yang baru tersebut
diharap bisa mewujudkan
pengarusutamaan gender atau
gender mainstreaming dalam
pendidikan pesantren.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
7. 7
Penting bagi pondok pesantren
untuk mewujudkan pendidikan yang
mendorong kesetaraan gender
karena pondok pesantren
merupakan basis pengembangan
ilmu-ilmu keislaman klasik dan
modern yang berfungsi sebagai agen
perubahan dalam pemberdayaan dan
pengembangan umat.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
8. 8
Di Indonesia terdapat lebih dari
26.000 pondok pesantren dengan
sekitar 1.4 juta santri bermukim di
pondok pesantren dan 1.2 juta santri
yang tidak bermukim di pondok
pesantren, menurut data dari
Kementerian Agama.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
9. 9
Pesantren masih cenderung
menyebarkan ketidakadilan gender
dalam pengajaran dan
pendidikannya karena kuatnya
dominasi peran tokoh sentral
pesantren yaitu kyai dan nyai dalam
mensosialisasikan nilai-nilai dan
ajaran yang bias gender.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
10. 10
Metode pengajaran dalam pondok
pesantren cenderung top-down dan
minim ruang dialog atau tanya
jawab.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
11. 11
Selain itu, kitab kuning, rujukan utama
untuk bahan ajar di pesantren tradisional
(salaf), cenderung bias gender. Kitab
kuning merujuk pada kitab-kitab tradisional
yang berisi pelajaran-pelajaran agama yang
diajarkan di pesantren, termasuk fiqih,
aqidah, tasawuf, tata bahasa arab, hadits,
tafsir, dan ilmu sosial dan kemasyarakatan.
Kertas kitab tersebut berwarna kuning
karena dianggap lebih mudah dibaca ketika
dahulu penerangan masih terbatas.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
12. 12
Materi kitab yang berkaitan tentang
hak dan kewajiban suami istri
mengisyaratkan keberpihakan
nyata kepada laki-laki dan
ketidakseimbangan hak dan
kewajiban antara suami dan istri.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
13. 13
Misalnya, dalam kitab kuning
terdapat pembahasan tentang
perkawinan (munakahat) yang
merujuk pada teks surat An-Nisa’
ayat 3: “Maka nikahilah perempuan-
perempuan yang kamu senangi
dua, tiga atau empat” dan pada
riwayat hidup Nabi Muhammad
SAW yang memiliki sembilan istri.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
14. 14
Berdasarkan argumentasi tersebut,
ulama pengarang kitab kuning
“memperbolehkan” laki-laki
memiliki istri lebih dari satu dan
memberi janji surga bagi
perempuan yang mau dimadu.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
15. 15
Pembacaan mengenai pernikahan dalam
kitab kuning tersebut menafikkan realitas
bahwa dalam poligami ada perasaan
perempuan yang tersakiti, ada
ketidakdilan nafkah lahir dan batin antara
istri satu dengan yang lain dan
kecemburuan sosial antara anak dari istri
pertama dan kesekian. Realitas kehidupan
perempuan dalam poligami tidak hadir
dalam pembahasan kitab kuning.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
16. 16
Pada perkembangannya kemudian,
kajian fiqih yang mengutamakan
laki-laki dan memarginalkan
perempuan menjadikan kajian
keislaman terkesan membenci
perempuan atau misoginis.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
17. 17
Fenomena ini bisa dijelaskan
dengan konsep maskulinisasi
epistemologi pengetahuan yang
dikembangkan filsuf feminist asal
Amerika Serikat, Sandra Harding.
Konsep ini menjelaskan fenomena
pengetahuan keagamaan yang
diskriminatif terhadap perempuan.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
18. 18
Dalam maskulinisasi epistemologi
pengetahuan, laki-laki yang memiliki kuasa
atas reproduksi pengetahuan keagamaan.
Itu menjelaskan mengapa seorang kyai
bisa berceramah di atas mimbar dan
menggunakan teks-teks agama yang
berkesan membenci perempuan dan bias
gender, contohnya dalam pembahasan
poligami yang hanya melihat perempuan
sebagai objek seksual.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
19. 19
Meski ada Peraturan Menteri yang
mengatur pengarusutamaan
gender di bidang pendidikan
termasuk lembaga pendidikan
Islam, konsep pengarusutamaan
gender secara khusus ke dalam
pendidikan jenjang pesantren yang
fokus objeknya adalah santri saat
ini belum ditemukan.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
20. 20
Untuk mengatasi masalah ini, kita
bisa memulai dengan melakukan
interpretasi teks dengan metode
penafsiran (hermeneutika) teks
alquran dan hadis yang sesuai
dengan kebutuhan persoalan hidup
perempuan–mendobrak
maskulinisasi epistomologi
pengetahuan yang terjadi saat ini.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
21. 21
Tafsir hermeneutika tentang poligami telah
dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir
Islam modern asal Mesir, dalam bukunya
Dawa'irul Khauf. Teks ayat poligami
mengandung kekhawatiran kepada anak yatim
karena banyaknya para sahabat yang wafat
ketika perang di zaman nabi Muhammad.
Dengan melihat struktur kebahasaan (teks
dalam al-Qur'an), Nasr melihat bahwa perintah
poligami bersifat temporal (mu'aqqad), tidak
bermuatan perintah (tasyri’) dan tidak untuk
selamanya (da'im).
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
22. 22
Di Indonesia, reinterpertasi teks
hukum Islam telah dilakukan oleh
para ahli seperti Kyai Husein
Muhammad, Siti Musdah Mulia,
Lies Marcoes, Nur Rofiah, Badriyah
Fayumi, dan Faqihuddin Abdul
Qadir.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
23. 23
Kyai Husein Muhammad sebagai ahli
kitab kuning telah melakukan revisi
kajian hukum Islam, misalnya dalam
isu perkawinan dan poligami, di
kalangan pondok pesantren. Revisi
kajian hukum Islam tersebut telah
diterbitkan di banyak buku dan menjadi
pedoman bacaan para pemerhati
perempuan dari berbagai kalangan di
Indonesia.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
24. 24
Pertama: Memasukkan literatur karya ulama
kontempoter dalam pembelajaran. Jadikan kitab
kuning klasik sebagai “warisan” intelektual ulama
masa dahulu dan bukan sebagai dasar pengambil
keputusan (dogmatisme hukum) jika berbenturan
dengan kondisi masa kini. Materi pengajaran
pesantren tidak hanya berfokus kepada kitab kuning
saja tapi juga menggunakan literatur karya ulama
kontemporer yang kajian keagamaanya bersentuhan
dengan hak asasi manusia, seperti karya Nasr
Hamid Abu Zayd, Qasim Amin, Muhammad Syahrur,
Khaled Abu El-Fadl, Abdillahi Ahmad An-Naim,
Mahmud Muhammad Thoha dan lain sebagainya.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
25. 25
Kedua: Mengadvokasi kebijakan kurikulum
pesantren. Pemerhati atau aktivis
pemberdayaan perempuan perlu terus
mengadvokasi kebijakan kurikulum
pesantren kepada pemangku otoritas
pesantren yaitu kyai. Misalnya dengan cara
memberikan penjelasan tentang urgensi
pendidikan sensitif gender di pondok
pesantren kepada kyai/nyai melalui
kegiatan pengenalan pendidikan kesehatan
reproduksi dan pernikahan anak.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
26. 26
Ketiga: Mengadakan pelatihan
penyadaran gender. Pondok pesantren
bekerja sama dengan lembaga sosial
yang peduli pada perempuan untuk
mengadakan pelatihan atau workshop
tentang penyadaran gender dan
konsep pengarusutamaan gender
kepada guru-guru di pesantren
terutama kepada kyai, nyai, ustaz, dan
ustazah.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
27. 27
Keempat: Menekankan konsep kesetaraan,
keadilan, dan hak asasi manusia. Mengingatkan
atau memberi saran kepada para kyai-kyai untuk
selalu menekankan konsep kesetaraan (al-
musawa), keadilan (al-’adilah) dan hak asasi
perempuan (al-harakah al-insaniyah) dalam
lingkungan pesantren melalui berbagai aktivitas
baik dalam pengajaran maupun dalam kegiatan
sehari-hari. Misalnya dalam pengajaran ada
ruang dialog antara guru dan santri, dalam
kehidupan sehari-hari kyai/nyai tidak
menjadikan santri sebagai “pelayan/pembantu”.
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT
28. 28
Kelima: Mengembangkan materi pembelajaran
pesantren berbasis gender. Pemerintah dapat
menyediakan pelatihan pengarusutamaan
gender dalam pendidikan pesantren untuk para
pemangku dan mengembangkan materi
pembelajaran pesantren berperspektif gender.
Alokasi anggaran dana yang khusus dari
pemerintah pusat dan daerah kepada pesantren
untuk mengadakan kegiatan pelatihan
pengarusutamaan gender penting agar semua
pihak saling bersinergi dan berkolaborasi untuk
mewujudkan pesantren yang adil gender
Rerielestarimoerdijatlestarimoerdijat rerieLmoerdijat www.lestarimoerdijat.com LESTARI MOERDIJAT