SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  6
Télécharger pour lire hors ligne
1
Pilar-pilar Muhasabah
Siapa pun yang mengadakan perjalanan menuju ke hadirat Allah
tidak akan pernah lepas dari empat macam persinggahan, yaitu al-yaqzhah
(kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap), al-bashîrah (cahaya di
dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang
telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya), al-fikrah
(pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun
dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana) dan al-
‘azm (tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala
rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkannya ke tujuan
yang hendak dicapai olehnya). (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Sâlikîn,
juz I, hal.169)
Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan.
Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati empat
persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati
beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halaman-nya, tidak
berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya
untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia
harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan
kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan persiapan dan
mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang bulat. Jika tekad
dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke persinggahan
muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan kewajibannya. Dia boleh
mengambil apa yang menjadi bagiannya dan harus melaksanakan
kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan perjalanan dan tidak akan
kembali lagi.
Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah
menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi,
lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya.
Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi
lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena
muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya.
Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah sebelum
taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya
harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara dua
muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah,
ۖۚ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap
diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
2
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (QS al-Hasyr/59: 18).
Maksud "memerhatikan" dalam ayat ini ialah memerhatikan
kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa
yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih
di sisi Allah.
Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda,
"Orang yang cerdas adalah orang yang memersiapkan dirinya dan beramal untuk
hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti
hawa nafsunya dan berangan angan kepada Allah." Dia (At-Tirmidzi) berkata:
Hadits ini hasan; dia berkata: maksud sabda Nabi "Orang yang memersiapkan diri",
dia berkata, yaitu: orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia
sebelum dihisab pada hari Kiamat. Dan telah diriwayatkan dari Umar bin al-
Khaththab dia berkata: hisablah (hitunglah) diri kalian sebelum kalian dihitung dan
persiapkanlah untuk hari semua dihadapkan (kepada Rabb Yang Maha Agung),
hisab (perhitungan) akan ringan pada hari kiamat bagi orang yang selalu menghisab
dirinya ketika di dunia." Dan telah diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dia
berkata: Seorang hamba tidak akan bertakwa hingga dia menghisab dirinya
sebagaimana dia menghisab temannya dari mana dia mendapatkan makan dan
pakaiannya." (HR at-Tirmidzi dari Syaddad bin Aus, Sunan at-Tirmidzi, juz
IV, hal. 219, hadits no. 2459)
3
Menurut Syaikh Abu Isma'il Abdullah al-Ansari al-Harawi (wafat
481 H./1088 M.), penulis kitab Manâzilus-Sâ'irîn, bahwa pilar yang
menopang muhasabah itu ada tiga (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus
Sâlikîn, juz I, hal. 170), yaitu:
1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu
Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari
Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan
mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa
di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain
adalah kehancuran dan kerusakan.
Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa
Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah
hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui
hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rubûbiyyah Allah, hanya Allahlah
yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai
karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil. Jika
engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan
bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rubûbiyyah Pencipta jiwamu.
Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan
tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan.
Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman.
Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa
itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali. Kemudian engkau juga bisa
membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan
membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan
mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini
merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari
dirimu secara khusus.
Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak
memiliki tiga indikator:
a. Cahaya hikmah
b. Buruk sangka terhadap diri sendiri
c. Membedakan antara nikmat dan ujian.
Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke
dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya
hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan
antara yang haq (benar) dan bâthil (salah), petunjuk dan kesesatan, mudharat
dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk.
Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatan-tingkatan amal,
4
mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipentingkan, mana
yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat, maka
muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap diri sendiri
amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi
koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan,
aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat dari ujian, artinya
membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang
Allah serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi, dan
membedakannya dengan nikmatyang hanya sekadar sebagai tipuan. Sebab
berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak
menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh
limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok
yang kedua ini.
Tiga indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan.
Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa
mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa
nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap
orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah,
dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini.
2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban
Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi,
seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan,
dan hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah
mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus
engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang
berhak menerimanya. Banyak orang yang mencampur aduk antara
kewajiban dan hak-nya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara
mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh
mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang
rajin beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerja-
kan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bahwa
hal itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin
beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia
tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya. Yang pertama
seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau
memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus.
Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan
baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa
dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal.
Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi Muhammad Shallallâhu
‘Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi
wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua seperti orang
yang rajin beribadah, namun bernuansa bid'ah. Dia melihat cara ibadahnya
5
itu benar, karena begitulah yang banyak dilakukan orang. Sebagaima sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik,
“Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam
dan bertanya tentang ibadah Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Dan setelah
diberitakan kepada mereka, kesan yang tanpak pada diri mereka, mereka merasa
bahwa hal itu masih (terlalu) sedikit bagi mereka. Mereka berkata, "Ibadah kita tak
ada apa-apanya dibanding (ibadah) Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, bukankah
beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?"
Salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan shalat malam selama-
lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh, aku akan
berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi
berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya."
Kemudian datanglah Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam kepada mereka
seraya bertanya: "Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah,
adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling
bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi
wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku." (HR
al-Bukhari dari Anas bin Malik, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 7, hadits no.
5063)
3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan
Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai,
akanmenjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan
saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa
6
memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap
ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan
kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang dituntut
Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya
lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari
dari medan peperangan dan lain-lainnya. Orang-orang yang memiliki
bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai
macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam
melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah
sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar Rasulullah
Shallallâhu Alaihi wa Sallam senantiasa memohon ampunan dalam setiap
kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah
melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang diturunkan, Allah
juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan,
ۚ
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia
masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji
Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima
taubat." (QS an-Nashr/110: 1-3).
Berkaitan dengan dengan QS al-‘Ashr ini, Umar bin al-Khaththab
dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya
ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada
beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan setelah
selesai dalam mengerjakan setiap tugasnya. Dengan kata lain, surat ini
semacam pemberitahuan: “Engkau telah selesai dalam mengerjakan
kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang tersisa setelah itu. Maka
jadikanlah istighfâr sebagai kesudahannya. (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-
Qurân, juz XX, 232)

Contenu connexe

Tendances

Menjadi hamba Allah yang berakhlak
Menjadi hamba Allah yang berakhlakMenjadi hamba Allah yang berakhlak
Menjadi hamba Allah yang berakhlaksyaiful hadi
 
Pai poltek bab 3
Pai poltek bab 3Pai poltek bab 3
Pai poltek bab 3evayenida
 
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzilyKata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzilyPurModin
 
Penyelesaian melalui taqwa
Penyelesaian melalui taqwaPenyelesaian melalui taqwa
Penyelesaian melalui taqwaAzmi Bahari
 
Mutammam Perilaku terpuji
Mutammam Perilaku terpujiMutammam Perilaku terpuji
Mutammam Perilaku terpujiAan Editing
 
102334671 materi-akhlaq-p-eko
102334671 materi-akhlaq-p-eko102334671 materi-akhlaq-p-eko
102334671 materi-akhlaq-p-ekoMohammad Mustakim
 
Perilaku tercela-riya
Perilaku tercela-riyaPerilaku tercela-riya
Perilaku tercela-riyaBeril258
 
Berjihad memeranggi ujub dan riya
Berjihad memeranggi ujub dan riyaBerjihad memeranggi ujub dan riya
Berjihad memeranggi ujub dan riyaHelmon Chan
 
Hubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihan
Hubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihanHubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihan
Hubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihanandriandika
 
Pai poltek bab 2
Pai poltek bab 2Pai poltek bab 2
Pai poltek bab 2evayenida
 

Tendances (16)

Menjadi hamba Allah yang berakhlak
Menjadi hamba Allah yang berakhlakMenjadi hamba Allah yang berakhlak
Menjadi hamba Allah yang berakhlak
 
Pai poltek bab 3
Pai poltek bab 3Pai poltek bab 3
Pai poltek bab 3
 
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzilyKata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
 
Penyelesaian melalui taqwa
Penyelesaian melalui taqwaPenyelesaian melalui taqwa
Penyelesaian melalui taqwa
 
Mutammam Perilaku terpuji
Mutammam Perilaku terpujiMutammam Perilaku terpuji
Mutammam Perilaku terpuji
 
Riyâdhah
RiyâdhahRiyâdhah
Riyâdhah
 
Aswaja xi
Aswaja xiAswaja xi
Aswaja xi
 
102334671 materi-akhlaq-p-eko
102334671 materi-akhlaq-p-eko102334671 materi-akhlaq-p-eko
102334671 materi-akhlaq-p-eko
 
Perilaku tercela-riya
Perilaku tercela-riyaPerilaku tercela-riya
Perilaku tercela-riya
 
Husnudzon
HusnudzonHusnudzon
Husnudzon
 
Taubat dan raja’
Taubat dan raja’Taubat dan raja’
Taubat dan raja’
 
Multi Artikel Religius Islam
Multi Artikel Religius Islam Multi Artikel Religius Islam
Multi Artikel Religius Islam
 
Berjihad memeranggi ujub dan riya
Berjihad memeranggi ujub dan riyaBerjihad memeranggi ujub dan riya
Berjihad memeranggi ujub dan riya
 
Hubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihan
Hubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihanHubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihan
Hubbud dunya adalah cinta dunia yang berlebihan
 
Ikhlas
IkhlasIkhlas
Ikhlas
 
Pai poltek bab 2
Pai poltek bab 2Pai poltek bab 2
Pai poltek bab 2
 

En vedette (7)

Teks muhasabah 2
Teks muhasabah 2Teks muhasabah 2
Teks muhasabah 2
 
Muhasabah Kehidupan Sehari-hari yang Islami
Muhasabah Kehidupan Sehari-hari yang IslamiMuhasabah Kehidupan Sehari-hari yang Islami
Muhasabah Kehidupan Sehari-hari yang Islami
 
Muhasabah anak
Muhasabah anakMuhasabah anak
Muhasabah anak
 
Muhasabah doc
Muhasabah docMuhasabah doc
Muhasabah doc
 
Personal muhasabah
Personal muhasabahPersonal muhasabah
Personal muhasabah
 
Muhasabah
MuhasabahMuhasabah
Muhasabah
 
MUHASABAH
MUHASABAH MUHASABAH
MUHASABAH
 

Similaire à Pilar pilar muhasabah

Makalah tentang taubat nasuha(pdf)
Makalah tentang taubat nasuha(pdf)Makalah tentang taubat nasuha(pdf)
Makalah tentang taubat nasuha(pdf)amienm92
 
Hadis 5 Arbain Nawawi/ustadz Gaul
Hadis 5 Arbain Nawawi/ustadz GaulHadis 5 Arbain Nawawi/ustadz Gaul
Hadis 5 Arbain Nawawi/ustadz GaulAbdul Muchith
 
Sifat sifat tercela2
Sifat sifat tercela2Sifat sifat tercela2
Sifat sifat tercela2darma wati
 
Akhlak Tercela power point
Akhlak Tercela power pointAkhlak Tercela power point
Akhlak Tercela power pointsknramadhaniah
 
Nikmat allah syukurilah dan ujian
Nikmat allah syukurilah dan ujianNikmat allah syukurilah dan ujian
Nikmat allah syukurilah dan ujianHelmon Chan
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Muhsin Hariyanto
 
Apa ertinya saya menganut islam dfy
Apa ertinya saya menganut islam   dfyApa ertinya saya menganut islam   dfy
Apa ertinya saya menganut islam dfyummuhani85
 
Agama Kelompok Moenica
Agama Kelompok MoenicaAgama Kelompok Moenica
Agama Kelompok MoenicaMoenica
 
Makalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 aMakalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 aMOH. SHOFI'I
 
Jangan dekati zina
Jangan dekati zinaJangan dekati zina
Jangan dekati zinaHelmon Chan
 
Pembahasan muroqobah muhasabah dan taubat
Pembahasan muroqobah muhasabah dan taubatPembahasan muroqobah muhasabah dan taubat
Pembahasan muroqobah muhasabah dan taubatINTANSHAHNAZ
 
7 cara mengatasi penyakit hasad
7 cara mengatasi penyakit hasad7 cara mengatasi penyakit hasad
7 cara mengatasi penyakit hasadHelmon Chan
 
Makalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 aMakalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 arizal92
 

Similaire à Pilar pilar muhasabah (20)

Makalah tentang taubat nasuha(pdf)
Makalah tentang taubat nasuha(pdf)Makalah tentang taubat nasuha(pdf)
Makalah tentang taubat nasuha(pdf)
 
Meraih maghfirah
Meraih maghfirahMeraih maghfirah
Meraih maghfirah
 
Hadis 5 Arbain Nawawi/ustadz Gaul
Hadis 5 Arbain Nawawi/ustadz GaulHadis 5 Arbain Nawawi/ustadz Gaul
Hadis 5 Arbain Nawawi/ustadz Gaul
 
Sifat sifat tercela2
Sifat sifat tercela2Sifat sifat tercela2
Sifat sifat tercela2
 
Meraih maghfirah
Meraih maghfirahMeraih maghfirah
Meraih maghfirah
 
Meraih maghfirah
Meraih maghfirahMeraih maghfirah
Meraih maghfirah
 
Makalah "Taqwa"
Makalah "Taqwa"Makalah "Taqwa"
Makalah "Taqwa"
 
Akhlak Tercela power point
Akhlak Tercela power pointAkhlak Tercela power point
Akhlak Tercela power point
 
Ghibah
GhibahGhibah
Ghibah
 
Nikmat allah syukurilah dan ujian
Nikmat allah syukurilah dan ujianNikmat allah syukurilah dan ujian
Nikmat allah syukurilah dan ujian
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
Apa ertinya saya menganut islam dfy
Apa ertinya saya menganut islam   dfyApa ertinya saya menganut islam   dfy
Apa ertinya saya menganut islam dfy
 
Kumpulan Artikel Islami
Kumpulan Artikel IslamiKumpulan Artikel Islami
Kumpulan Artikel Islami
 
Agama Kelompok Moenica
Agama Kelompok MoenicaAgama Kelompok Moenica
Agama Kelompok Moenica
 
Makalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 aMakalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 a
 
Jangan dekati zina
Jangan dekati zinaJangan dekati zina
Jangan dekati zina
 
Pembahasan muroqobah muhasabah dan taubat
Pembahasan muroqobah muhasabah dan taubatPembahasan muroqobah muhasabah dan taubat
Pembahasan muroqobah muhasabah dan taubat
 
7 cara mengatasi penyakit hasad
7 cara mengatasi penyakit hasad7 cara mengatasi penyakit hasad
7 cara mengatasi penyakit hasad
 
taubat.pptx
taubat.pptxtaubat.pptx
taubat.pptx
 
Makalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 aMakalah pai kelas 1 a
Makalah pai kelas 1 a
 

Plus de Muhsin Hariyanto

Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahMuhsin Hariyanto
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Muhsin Hariyanto
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanMuhsin Hariyanto
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMuhsin Hariyanto
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabulMuhsin Hariyanto
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamMuhsin Hariyanto
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifMuhsin Hariyanto
 
Ketika kresna menghormat gatotkaca
Ketika kresna menghormat gatotkacaKetika kresna menghormat gatotkaca
Ketika kresna menghormat gatotkacaMuhsin Hariyanto
 

Plus de Muhsin Hariyanto (20)

Khutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 hKhutbah idul fitri 1436 h
Khutbah idul fitri 1436 h
 
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyahPembahasan ringkas di seputar fidyah
Pembahasan ringkas di seputar fidyah
 
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01Jangan pernah enggan memahami al quran-01
Jangan pernah enggan memahami al quran-01
 
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakanIstighfar, kunci rizki yang terlupakan
Istighfar, kunci rizki yang terlupakan
 
Etika dalam berdoa
Etika dalam berdoaEtika dalam berdoa
Etika dalam berdoa
 
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari rayaMemahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
Memahami ikhtilaf mengenai takbir shalat hari raya
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
Manajemen syahwat
Manajemen syahwatManajemen syahwat
Manajemen syahwat
 
10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul10 hal penyebab doa tak terkabul
10 hal penyebab doa tak terkabul
 
Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)Khitan bagi wanita (01)
Khitan bagi wanita (01)
 
Strategi dakwah
Strategi dakwahStrategi dakwah
Strategi dakwah
 
Sukses karena kerja keras
Sukses karena kerja kerasSukses karena kerja keras
Sukses karena kerja keras
 
Opini dul
Opini   dulOpini   dul
Opini dul
 
Inspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayamInspirasi dari kandang ayam
Inspirasi dari kandang ayam
 
Tentang diri saya
Tentang diri sayaTentang diri saya
Tentang diri saya
 
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positifBerbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
Berbahagialah dengan cara membuang energi negatif dan menabung energi positif
 
Ketika kita gagal
Ketika kita gagalKetika kita gagal
Ketika kita gagal
 
Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!Jadilah diri sendiri!
Jadilah diri sendiri!
 
Gatotkaca winisuda
Gatotkaca winisudaGatotkaca winisuda
Gatotkaca winisuda
 
Ketika kresna menghormat gatotkaca
Ketika kresna menghormat gatotkacaKetika kresna menghormat gatotkaca
Ketika kresna menghormat gatotkaca
 

Pilar pilar muhasabah

  • 1. 1 Pilar-pilar Muhasabah Siapa pun yang mengadakan perjalanan menuju ke hadirat Allah tidak akan pernah lepas dari empat macam persinggahan, yaitu al-yaqzhah (kegalauan hati setelah terjaga dari tidur yang lelap), al-bashîrah (cahaya di dalam hati untuk melihat janji dan ancaman, surga dan neraka, apa yang telah dijanjikan Allah terhadap para wali dan musuh-Nya), al-fikrah (pandangan hati yang hanya tertuju ke sesuatu yang hendak dicari, sekalipun dia belum memiliki gambaran jalan yang menghantarkannya ke sana) dan al- ‘azm (tekad yang bulat untuk melakukan perjalanan, siap menghadapi segala rintangan dan mencari penuntun yang dapat menghantarkannya ke tujuan yang hendak dicapai olehnya). (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Sâlikîn, juz I, hal.169) Empat persinggahan ini tak ubahnya pilar bagi suatu bangunan. Perjalanan tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melewati empat persinggahan ini, tak ubahnya perjalanan secara nyata yang harus melewati beberapa etape. Orang yang hanya menetap di kampung halaman-nya, tidak berpikir untuk mengadakan perjalanan kecuali dia sadar dari kelalaiannya untuk mengadakan perjalanan. Jika sudah memiliki kesadaran, maka dia harus mengetahui segala urusan tentang perjalanannya, bahaya, manfaat dan kemaslahatannya. Kemudian dia berpikir untuk mengadakan persiapan dan mencari bekal. Kemudian dia harus memiliki tekad yang bulat. Jika tekad dan maksudnya sudah bulat, maka dia mulai beralih ke persinggahan muhasabah, atau memilah antara bagiannya dan kewajibannya. Dia boleh mengambil apa yang menjadi bagiannya dan harus melaksanakan kewajibannya. Sebab dia akan mengadakan perjalanan dan tidak akan kembali lagi. Dari muhasabah dia beralih ke taubah. Sebab jika dia sudah menghisab dirinya, tentu dia akan mengetahui hak yang harus dia penuhi, lalu keluar untuk memberikan hak itu kepada yang berhak menerimanya. Inilah hakikat taubat. Tetapi dengan mendahulukan muhasabah akan menjadi lebih baik. Kalaupun mendahulukannya juga tidak apa-apa, karena muhasabah tak bisa dilakukan kecuali setelah ada taubat yang sebenarnya. Yang pasti, taubat itu ada di antara dua muhasabah, yaitu muhasabah sebelum taubat yang hukumnya wajib dan muhasabah sesudah taubat yang hukumnya harus tetap dijaga. Taubat akan tetap terjaga jika berada di antara dua muhasabah ini, sebagaimana yang ditunjukkan firman Allah, ۖۚ "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
  • 2. 2 bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS al-Hasyr/59: 18). Maksud "memerhatikan" dalam ayat ini ialah memerhatikan kelengkapan persiapan untuk menyongsong hari akhirat, mendahulukan apa yang bisa menyelamatkannya dari siksa Allah, agar wajahnya menjadi bersih di sisi Allah. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, "Orang yang cerdas adalah orang yang memersiapkan dirinya dan beramal untuk hari setelah kematian, sedangkan orang yang bodoh adalah orang jiwanya mengikuti hawa nafsunya dan berangan angan kepada Allah." Dia (At-Tirmidzi) berkata: Hadits ini hasan; dia berkata: maksud sabda Nabi "Orang yang memersiapkan diri", dia berkata, yaitu: orang yang selalu mengoreksi dirinya pada waktu di dunia sebelum dihisab pada hari Kiamat. Dan telah diriwayatkan dari Umar bin al- Khaththab dia berkata: hisablah (hitunglah) diri kalian sebelum kalian dihitung dan persiapkanlah untuk hari semua dihadapkan (kepada Rabb Yang Maha Agung), hisab (perhitungan) akan ringan pada hari kiamat bagi orang yang selalu menghisab dirinya ketika di dunia." Dan telah diriwayatkan dari Maimun bin Mihran dia berkata: Seorang hamba tidak akan bertakwa hingga dia menghisab dirinya sebagaimana dia menghisab temannya dari mana dia mendapatkan makan dan pakaiannya." (HR at-Tirmidzi dari Syaddad bin Aus, Sunan at-Tirmidzi, juz IV, hal. 219, hadits no. 2459)
  • 3. 3 Menurut Syaikh Abu Isma'il Abdullah al-Ansari al-Harawi (wafat 481 H./1088 M.), penulis kitab Manâzilus-Sâ'irîn, bahwa pilar yang menopang muhasabah itu ada tiga (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Sâlikîn, juz I, hal. 170), yaitu: 1. Membandingkan antara Nikmat Allah dan Kejahatanmu Maksudnya, engkau harus membandingkan apa yang berasal dari Allah dan apa yang berasal dari dirimu. Dengan begitu engkau akan mengetahui letak ketimpangannya, dan engkau juga akan mengetahui bahwa di sana hanya ada ampunan dan rahmat Allah di satu sisi, dan di sisi lain adalah kehancuran dan kerusakan. Dengan membandingkan seperti ini engkau bisa mengetahui bahwa Allah adalah Allah dalam pengertian yang sebenarnya, dan hamba adalah hamba dalam pengertian yang sebenarnya. Engkau juga akan mengetahui hakikat jiwa dan sifat-sifatnya, keagungan Rubûbiyyah Allah, hanya Allahlah yang memiliki kesempumaan, setiap nikmat berasal dari-Nya sebagai karunia, dan siksaan juga berasal dari-Nya yang ditimpakan secara adil. Jika engkau tidak membuat perbandingan seperti ini, tentu engkau tidak akan bisa mengetahui hakikat dirimu sendiri dan Rubûbiyyah Pencipta jiwamu. Jika engkau membuat perbandingan seperti ini, maka engkau akan tahu bahwa jiwamu adalah sumber segala kejahatan dan kekurangan. Sedangkan hukum yang dimilikinya adalah kebodohan dan kezhaliman. Andaikan tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang mensucikan jiwa itu, tentu ia tidak akan menjadi suci sama sekali. Kemudian engkau juga bisa membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga dengan membandingkan ini engkau bisa mengetahui mana yang lebih banyak dan mana yang lebih dominan di antara keduanya. Perbandingan yang kedua ini merupakan perbandingan antara perbuatanmu dan apa yang datang dari dirimu secara khusus. Seseorang tidak bisa membuat perbandingan ini jika dia tidak memiliki tiga indikator: a. Cahaya hikmah b. Buruk sangka terhadap diri sendiri c. Membedakan antara nikmat dan ujian. Cahaya hikmah merupakan cahaya yang disusupkan Allah ke dalam hati orang-orang yang mengikuti para rasul. Dengan kata lain, cahaya hikmah adalah ilmu yang dimiliki seseorang sehingga dia bisa membedakan antara yang haq (benar) dan bâthil (salah), petunjuk dan kesesatan, mudharat dan manfaat, yang sempurna dan yang kurang, yang baik dan yang buruk. Dengan cahaya hikmah ini seseorang bisa melihat tingkatan-tingkatan amal,
  • 4. 4 mana yang harus dipentingkan dan mana yang tidak dipentingkan, mana yang harus diterima dan mana yang ditolak. Jika cahaya ini kuat, maka muhasabah juga akan kuat dan sempurna. Buruk sangka terhadap diri sendiri amat diperlukan, sebab baik sangka terhadap diri sendiri akan menghalangi koreksi dan kerancuan, sehingga dia melihat keburukan sebagai kebaikan, aib sebagai kesempumaan. Membedakan nikmat dari ujian, artinya membedakan nikmat yang dilihatnya sebagai kebaikan dan kasih sayang Allah serta yang bisa membawanya kepada kenikmatan yang abadi, dan membedakannya dengan nikmatyang hanya sekadar sebagai tipuan. Sebab berapa banyak orang yang tertipu dengan nikmat, sementara dia tidak menyadarinya, tertipu oleh pujian orang-orang bodoh, terpedaya oleh limpahan Allah, dan justru kebanyakan manusia termasuk dalam kelompok yang kedua ini. Tiga indikator ini merupakan tanda kebahagiaan dan keselamatan. Jika tiga hal ini dilaksanakan secara sempurna, maka seseorang bisa mengetahui nikmat Allah yang sebenarnya. Selain itu ada ujian yang berupa nikmat atau cobaan berupa limpahan pemberian. Maka hendaklah setiap orang mewaspadai hal ini, sebab dia berada di antara anugerah dan hujjah, dan banyak orang yang timpang dalam membedakan dua hal ini. 2. Membedakan antara Bagian dan Kewajiban Harus ada pemilahan antara hak-hak yang harus engkau penuhi, seperti kewajiban-kewajiban ibadah, ketaatan dan menjauhi kedurhakaan, dan hak yang menjadi bagianmu. Apa yang menjadi bagianmu adalah mubah menurut ketetapan syariat, dan apa yang menjadi kewajibanmu harus engkau penuhi dan engkau harus memberikan hak kepada siapa pun yang berhak menerimanya. Banyak orang yang mencampur aduk antara kewajiban dan hak-nya, sehingga dia sendiri menjadi kebingungan antara mengerjakan dan meninggalkan. Banyak orang yang sebenarnya dia boleh mengerjakan sesuatu namun dia justru meninggalkannya, seperti orang yang rajin beribadah dengan meninggalkan apa yang sebenarnya boleh dia kerja- kan, seperti meninggalkan hal-hal yang mubah, karena dia mengira bahwa hal itu tidak boleh dia kerjakan. Begitu pula sebaliknya, orang yang rajin beribadah dengan mengerjakan sesuatu yang sebenarnya harus dia tinggalkan, karena dia mengira hal itu merupakan haknya. Yang pertama seperti orang yang rajin beribadah dengan tidak mau menikah, tidak mau memakan daging, buah-buah, makanan yang lezat dan pakaian yang bagus. Karena kebodohannya dia mengira bahwa semua itu merupakan larangan baginya, sehingga dia harus meninggalkannya, atau dia berpendapat bahwa dengan meninggalkannya akan membuat ibadahnya bertambah afdhal. Dalam Ash-Shahih disebutkan pengingkaran Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam terhadap beberapa shahabat yang tidak mau menikahi wanita, terus-menerus berpuasa dan shalat malam. Yang kedua seperti orang yang rajin beribadah, namun bernuansa bid'ah. Dia melihat cara ibadahnya
  • 5. 5 itu benar, karena begitulah yang banyak dilakukan orang. Sebagaima sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Anas bin Malik, “Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam dan bertanya tentang ibadah Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, kesan yang tanpak pada diri mereka, mereka merasa bahwa hal itu masih (terlalu) sedikit bagi mereka. Mereka berkata, "Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding (ibadah) Nabi Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan shalat malam selama- lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya." Kemudian datanglah Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi wa Sallam kepada mereka seraya bertanya: "Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku." (HR al-Bukhari dari Anas bin Malik, Shahîh al-Bukhâriy, juz II, hal. 7, hadits no. 5063) 3. Tidak Ridha terhadap Ketaatan Yang Dilakukan Engkau harus tahu bahwa setiap ketaatan yang engkau ridhai, akanmenjadi beban dosa bagimu, dan setiap kedurhakaan yang dituduhkan saudaramu kepadamu, maka terimalah tuduhan itu dan anggaplah bahwa
  • 6. 6 memang itulah yang benar. Sebab keridhaan seorang hamba terhadap ketaatan dirinya merupakan bukti baik sangka terhadap diri sendiri dan kebodohannya terhadap hak-hak ubudiyah serta tidak tahu apa yang dituntut Allah darinya, lalu akhirnya melahirkan takabur dan ujub, yang dosanya lebih besar dari dosa-dosa besar yang nyata, seperti zina, minum khamr, lari dari medan peperangan dan lain-lainnya. Orang-orang yang memiliki bashirah justru lebih meningkatkan istighfar setelah mengerjakan berbagai macam ketaatan, karena mereka menyadari keterbatasannya dalam melaksanakan ketaatan itu dan merasa belum memenuhi hak-hak Allah sesuai dengan keagungan-Nya. Allah juga memerintahkan agar Rasulullah Shallallâhu Alaihi wa Sallam senantiasa memohon ampunan dalam setiap kesempatan dan sehabis melaksanakan tugas-tugas risalah atau setelah melaksanakan suatu ibadah. Dalam surat terakhir yang diturunkan, Allah juga tetap memerintahkan beliau untuk memohon ampunan, ۚ "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat." (QS an-Nashr/110: 1-3). Berkaitan dengan dengan QS al-‘Ashr ini, Umar bin al-Khaththab dan Ibnu Abbas memahami turunnya surat ini sebagai isyarat telah dekatnya ajal beliau. Seakan-akan Allah hendak memberitahukan hal ini kepada beliau, dengan memerintahkan agar beliau memohon ampunan setelah selesai dalam mengerjakan setiap tugasnya. Dengan kata lain, surat ini semacam pemberitahuan: “Engkau telah selesai dalam mengerjakan kewajibanmu dan tidak ada lagi kewajiban yang tersisa setelah itu. Maka jadikanlah istighfâr sebagai kesudahannya. (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al- Qurân, juz XX, 232)