1. LAPORAN PENDAHULUAN EPILEPSI
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN EPILEPSI
A. Konsep dasar
1. Definisi
Epilepsi merupakan keadaan gangguan sinyal listrik di otak yang bermanifestasi
menjadi kejang. (Susanti, A. S. 2017).
Epilepsi merupakan suatu keadaan yang ditandai adanya bangkitan yang terjadi
secara berulang akibat terganggunya fungsi otak yang di sebabkan oleh muatan
listrik yang abnormal pada neuron-neuron otak (Khairin, K. 2018).
2. Etiologi
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik disritmia) pada sel saraf
pada salah satu bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan
listrik abnormal, berulang, dan tidak terkontrol. (Amin Huda Nurarif dan Hardi
Kusuma. 2016).
Menurut Mansjoer, Arif etiologi dari epilepsy adalah:
a. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsy idiopatik
b. Factor herditer; ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis, hipoglikemi,
hipporatirodisime, angiomatosis ensefalottrigeminal, fenilkeonuria
c. Factor genetic; pada kejang demam dan breath holding spell
d. Kelainan congenital otakl atrofi, presenfali, agenesis korpus kolosum
e. Gangguan metabolic; hipernatremia, hiponatremia, hipokalsemia,
hipoglikemia
f. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplasmosis
g. Trauma; kontusio serebri, hematoma suvaraknoid, hematoma subdural
h. Neoplasma otak dan selaputnya
i. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
j. Keracunan; timbale (Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
k. Lain-lain: penyakit darah, hangguan keseimbangan hormone, degenerasi
serebral, dll
2. Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal
Cedera lahir intrakranial
Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia,
hipokalsemia, hipomagnesmia,
defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik
Infeksi akut
Trauma
Kejang demam
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Remaja (12- 18 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma
Alkoholisme
Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal
hepatik, dll )
Alkoholisme
3. 3. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-
juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah
aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps.
Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan
norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik
sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan
menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan demikian
seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan
listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang
mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak
yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan
hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang
substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat
manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan
patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang
berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
4. batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :
a. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
c. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
d. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi
bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan.
Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara
kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu
neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan
menyingkirkan asetilkolin.
7. 4. Klasifikasi Kejang
Berdasarkan tanda klinik dan data EEG, kejang pada epilepsi dibagi menjadi:
a. Kejang umum (generalized sizure); jika aktifasi terjadi pada kedua hemisfer
otak secara bersama-sama. Kejang umum terbagi atas:
1. Tonic-clonic convulsion (grand mal)
Merupakan bentuk paling banyak terjadi pasien tiba-tiba jatuh, kejang,
nafas terengah-terengah, keluar air liur, bisa terjadi sianosis, ngompol.
Atau menggigit lidah terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah,
kebingungan, sakit kepala.
2. Abscene attacks/lena (petit mal)
Jenis yang jarang umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal
remaja penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan
kepala terkulai kejadiannya Cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak
disadari.
3. Myoclonic seizure
Biasanya terjadi pada pagi hari, setelah bangun tidur pasien mengalamai
sentakan yang tiba-tiba. Jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi
pada pasien normal.
4. Atonic seizure
Jarang terjadi pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot jatuh, tapi bisa
segera recovered.
b. Kejang parsial/focal jika dimulai dari daerah tertentu dari otak.kejang parsial
terbagi menuadi :
1. Simple partial sizure
Pasien tidak kehiilangan kesadaran terjadi sentakan-sentakan pada bagian
tertentu dari tubuh.
2. Complex partial seizures
Pasien melakuakn gerakan-gerakan tak terkendali: gerakan mengunyah,
meringis, dal lain-lain tanpa kesadaran.
(Amin Huda Nurarif dan Hardi Kusuma. 2016).
8. 5. Manifestasi Klinis
a. Gejala kejang yang spesifik akan tergantung pada macam kejangnya. Jeis
kejang dapat berfariasi antara pasien, namun cenderung serupa
b. Kejang complex parsial dapat termasuk gambaran somatosensori atau motor
fokal
c. Kejang complex parsial dikaitkan dengan perubahan kesadaran
d. Ketiadaan kejang dapat tampak relatif ringan, dengan periode perubahan
kesadaran hanya sangat singkat(detik)
e. Kejang tonik klonik umum merupakan episode konvulsif utama dan selalu
dikaitkan dengan kehilangan kesadaran. (Amin Huda Nurarif dan Hardi
Kusuma. 2016).
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada
otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif
serebral. Epilepsi simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang
tampak jelas pada CT scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun
kerusakan otak yang tak jelas tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal
atau perinatal dengan defisit neurologik yang jelas
b. Elektroensefalogram (EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu
serangan
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendiagnosis penyakit dengan
gambar yang jauh lebih detail dibandingkan rontgen dan CT scan (Amin
Huda Nurarif dan Hardi Kusuma. 2016).
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
mengehentikan bangkita, mengurangi frekuencsi bangkitan tanpa efek samping
ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka
kesakitan dan kematian.
a. Non farmakologi
1) Amati faktor pemicu
9. 2) Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya: stress, OR, konsumsi
kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlamabar makan, dal lain-
lain.
b. Farmakologi
Dalam farmakologi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi
yakni: (2)
1) Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi
sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.
Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan
mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2) Terapi dimulai dengan monoterapi
3) Pemberian obat dimulai dari doses rendah dan dinaikan sedcara bertahap
sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4) Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bakitan, maka ditambahkan OAEkedua dimana bila sudah
mencapai dosis terapi, amak OAE pertama dosisnya diturunkan secara
perlahan.
5) Adapun penaambahan OAE ketika baru diberkan setelah terbukti
bangkitan tidak terkonttrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
c. Menggunakan obat-obat antiepilepsi yaitu:
1) Obat-obat yang menigkatkan inaktivasi kanal Na+:
Inaktivasi kanal Na, menurunkan kemampuan syaraf untuk
menghantarkan muatan listrik. ContohL fenitoin, karvamazerpin,
lamotrigin, okskarbazepin, valprot.
2) Obat-obat yang meningkatkan transmisi GABAerik:
a) Agonis reseptor GABA, meningkatkan transmisi inhibitori dengan
mengaktifkan kerja reseptor GABA, contoh: benzodiazepin,
barbiturat.
b) Menghambat GABA transaminase, konsentrasi GABA meningkat,
contoh: vigabatrin. Menghambat GABA transporter, memperlama
aksi GABA, Tiagabin.
10. c) Meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien
mungkin dg menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool
contoh: Gabapentin.
8. Cara Menanggulangi Kejang Epilepsi
a. Selama Kejang
1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin
tahu
2) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
3) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras,
tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
4) Longgarkan bajunya. Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
5) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara
giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi
klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi
jangan sampai menutupi jalan pernapasannya.
6) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau
yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti
perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan
mendengar bunyi yang melengking di telinga. Jika Penderita mulai
merasakan aura, maka sebaiknya berhenti melakukan aktivitas apapun
pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau tidur.
7) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang
terluka berat, bawa ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
b. Setelah Kejang
11. 1) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
2) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan
bahwa jalan napas paten.
3) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
4) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah
kejang
5) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
6) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama
kejang dan biarkan penderita beristirahat.
7) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba
untuk menangani situasi dengan pendekatan yang lembut dan member
restrein yang lembut
8) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk
pemberian pengobatan oleh dokter.
Penanganan terhadap penyakit ini bukan saja menyangkut penanganan
medikamentosa dan perawatan belaka, namun yang lebih penting adalah
bagaimana meminimalisasikan dampak yang muncul akibat penyakit ini
bagi penderita dan keluarga maupun merubah stigma masyarakat tentang
penderita epilepsi (Amin Huda Nurarif dan Hardi Kusuma. 2016).
9. Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan
untuk pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang
menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi: spasma atau kekejangan kontraksi
otot yang keras dan terlalu banyak, disebabkan oleh proses pada system saraf
pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan
sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang
dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
12. tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi
juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar
melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera
akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan
dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia
dini, dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat
anti konvulsan secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian
dari rencana pencegahan ini.
13. 10. Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis
serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan
masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping
yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit
kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama
pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan
selama 2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th.
Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan
pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap
kecerdasannya. Jika terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan
penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental
di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur
hidupnya.
Pada epilepsi umum sekunder, obat-obat yang menjadi lini pertama
pengobatan adalah karbamazepin dan fenitoin. Gabapentin, lamotrigine,
fenobarbital, primidone, tiagabine, topiramate, dan asam valproat digunakan
sebagai pengobatan lini kedua. Terapi dimulai dengan obat anti epilepsi garis
pertama. Bila plasma konsentrasi obat di ambang atas tingkat terapeutis namun
penderita masih kejang dan AED tak ada efek samping, maka dosis harus
ditingkatkan. Bila perlu diberikan gabungan dari 2 atau lebih AED, bila tak
mempan diberikan AED tingkat kedua sebagai add on.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata : Nama ,umur, seks, alamat, suku, bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan
penanggungjawabnya.
Usia: Penyakit epilepsi dapat menyerang segala umur
14. Pekerjaan: Seseorang dengan pekerjaan yang sering kali menimbulkan stress
dapat memicu terjadinya epilepsi.
Kebiasaan yang mempengaruhi: peminum alcohol (alcoholic)
b. Keluhan utama: Untuk keluhan utama, pasien atau keluarga biasanya
ketempat pelayanan kesehatan karena klien yang mengalami penurunan
kesadaran secara tiba-tiba disertai mulut berbuih. Kadang-kadang klien /
keluarga mengeluh anaknya prestasinya tidak baik dan sering tidak mencatat.
Klien atau keluarga mengeluh anaknya atau anggota keluarganya sering
berhenti mendadak bila diajak bicara.
c. Riwayat penyakit sekarang: kejang, terjadi aura, dan tidak sadarkan diri.
d. Riwayat penyakit dahulu:
1) Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2) Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3) Ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
4) Tumor Otak
5) Kelainan pembuluh darah
6) Demam
7) Stroke
8) Gangguan tidur
9) Penggunaan obat
10) Hiperventilasi
11) Stress emosional
e. Riwayat penyakit keluarga: Pandangan yang mengatakan penyakit ayan
merupakan penyakit keturunan memang tidak semuanya keliru, sebab
terdapat dugaan terdapat 4-8% penyandang ayan diakibatkan oleh faktor
keturunan.
f. Riwayat psikososial
1) Intrapersonal : klien merasa cemas dengan kondisi penyakit yang diderita.
2) Interpersonal : gangguan konsep diri dan hambatan interaksi sosial yang
berhubungan dengan penyakit epilepsi (atau “ayan” yang lebih umum di
masyarakat).
g. Pemeriksaan fisik (ROS)
15. 1) B1 (breath): RR biasanya meningkat (takipnea) atau dapat terjadi apnea,
aspirasi
2) B2 (blood): Terjadi takikardia, cianosis
3) B3 (brain): penurunan kesadaran
4) B4 (bladder): oliguria atau dapat terjadi inkontinensia urine
5) B5 (bowel): nafsu makan menurun, berat badan turun, inkontinensia alfi
6) B6 (bone): klien terlihat lemas, dapat terjadi tremor saat menggerakkan
anggota tubuh, mengeluh meriang
2. Diagnosa Keperawatan
a. Hipertermi b.d proses infeksi
b. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan)
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
d. Hubungan jalan nafas tidak efektif b.d perfusi jaringan tidak efektif
e. Termoregulasi tidak efektif b.d stimulasi termoregulasi hipotalamus
(SDKI.2017).
3. Intervensi dan rasional
a. Hipertermi b.d proses infeksi
Tujuan : Klien dapat mengatur suhu tubuh agar tetap berada pada rentang
normal
Kriteria hasil : kejang berkurang,suhu tubuh menurun,akral tidak teraba
panas (SLKI.2019).
Intervensi Rasional
1) Identifikasi penyebab
hipertermia
2) Monitor suhu tubuh
3) Sediakan lingkungan yang
1) Mengetahui penyebab
hipertermia
2) Untuk memantau suhu
tubuh
16. dingin
4) Longgarkan atau lepaskan
pakaian
5) Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
6) Berikan cairan oral
3) Untuk menurunkan suhu
tubuh
4) Meningkatkan kebutuhan
istirahat
5) Untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut
Intervensi Rasional
7) Lakukan pendinginan
eksternal (misalnya kompres
dingin pada
dahi,leher,dada,abdomen,
dan aksila.)
8) Kolaborasi pemberian
analgetik
b. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan
keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk
klien, menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi
aman, tidak ada memar, tidak jatuh.
Intervensi Rasional
1) Identivikasi factor
lingkungan yang
memungkinkan resiko
terjadinya cedera
1) Barang- barang di sekitar
pasien dapat
membahayakan saat terjadi
kejang
17. Intervensi Rasional
2) Jauhkan benda- benda yang
dapat mengakibatkan
terjadinya cedera pada
pasien saat terjadi kejang
3) Pasang penghalang tempat
tidur pasien
4) Letakkan pasien di tempat
yang rendah dan datar
5) Menyiapkan kain lunak
untuk mencegah terjadinya
tergigitnya lidah saat
terjadi kejang
6) Tanyakan pasien bila ada
perasaan yang tidak biasa
yang dialami beberapa saat
sebelum kejang
7) Berikan obat anti
konvulsan sesuai advice
dokter
8) Anjurkan pasien untuk
memberi tahu jika merasa
ada sesuatu yang tidak
nyaman, atau mengalami
sesuatu yang tidak biasa
sebagai permulaan
2) Mengurangi terjadinya
cedera seperti akibat
aktivitas kejang yang tidak
terkontrol
3) Penjagaan untuk keamanan,
untuk mencegah cidera atau
jatuh
4) Area yang rendah dan datar
dapat mencegah terjadinya
cedera pada pasien
5) Lidah berpotensi tergigit saat
kejang karena menjulur
keluar
6) Untuk mengidentifikasi
manifestasi awal sebelum
terjadinya kejang pada
pasien
7) Mengurangi aktivitas kejang
yang berkepanjangan, yang
dapat mengurangi suplai
oksigen ke otak
8) Sebagai informasi pada
perawat untuk segera
melakukan tindakan sebelum
terjadinya kejang
Intervensi Rasional
terjadinya kejang.
9) Berikan informasi pada
keluarga tentang tindakan
berkelanjutan
9) Melibatkan keluarga untuk
mengurangi resiko cedera
18. yang harus dilakukan selama
pasien kejang
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum
Tujuan : toleransi aktivitas meningkat
Kriteria hasil : kemudahan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
meningkat,perasaan lemah menurun.
Intervensi Rasional
a. Identifikasi gangguan
fungsi tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
b. Sediakan lingkungan yang
nyaman dan rendah
stimulus
c. Anjurkan tirah baring
d. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahan
1) Mengetahui factor yang
mengakibatkan kelelahan
2) Menciptakan lingkunan
yang nyaman bagi pasien
3) Meningkatkan kebutuhan
istirahat
4) Untuk membantu pasien
beraktivitas
d. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologi
Tujuan : gangguan pola nafas teratasi
Kriteria hasil : pasien tidak merasa sesak dan ventilasi semenit membaik.
Intervensi Rasional
19. 1) Identifikasi penyebab sesak
2) Pertahankan kepatenan jalan
nafas dengan head-tiltn dan
chin-lift
3) Ajarkan posisi semi fowler
dan fowler
4) Ajarkan cara menghitung
respirasi dengan mengamati
naik turunnya dada saat
bernafas
5) Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari
1) Mengetahui penyebab sesak
2) Membantu memudahkan
pasien dalam bernafas
3) Membantu mengatasi
masalah pernapasan
4) Mengetahui keadaan
respirasi pernapasan pasien
5) Mencukupi jumlah cairan
pasien untuk menghindari
dehidrasi
e. Termoregulasi tidak efektif b.d stimulasi termoregulasi hipotalamus
Tujuan : mengajarkan pasie untuk mendukung keseimbangan antara
produksi panas,mendapatkan panas,dan kehilangan panas
Kriteria hasil : kejang menurun suhu tubuh membaik.
Intervensi Rasional
1) Identifikasi kesiapan dan
kemampuan menerima
1) Untuk mengetahui kesiapan
menerima informasi
20. informasi
2) Sediakan materi
pendidikan
3) Ajarkan kompres hangat
jika demam
4) Ajarkan cara ukur suhu
5) Anjurkan menggunakan
pakaian yang dapat
menyerap keringat
6) Anjurkan menciptakan
lingkungan yang nyaman
7) Anjurkan membanyak
minum
2) Ajar edikasi jalan maksimal
3) Agar pasien dapat melakukan
edukasi
4) Mengetahui suhu
5) Menurunkan suhu tubuh
6) Agar pasin merasa nyaman
Intervensi Rasional
8) Anjurkan menggunakan
pakaian yang longgar
9) Anjurakan minum
analgesic jika merasa
pusing
10) Anjurkan melakukan
pemeriksaan darah jika
demam >3 hari
(SIKI.2018)
21. DAFTAR PUSTAKA
Khairin, K. 2018. Karakteristik penderita epilepsi di bangsal anak RSUP Dr. M. Djamil
Padang. Jurnal unbra, Diakses tgl. 23 Nov. 2021 pukul 19.55.
Nurarif, Amin Huda. Hardi Kusuma. 2016. Asuhan keperawatan praktis. Jogjakarta:
Mediaction
PPNI. 2017. standar diagnosis keperawatan indonesia definisi dan indikator diagnostik
edisi 1. Jakarta selatan: dewan pengurus pusat persatuan perawat nasional
indonesia
PPNI. 2018. Standar intervensi keperawatan indonesia definisi dan tidakan
keperawatan edisi 1. Jakarta selatan: dewan pengurus pusat persatuan
perawat nasional indonesia
PPNI. 2019. Standar luaran keperawatan indonesia definisi dan kriteria hasil
keperawatan edisi 1. Jakarta selatan: dewan pengurus pusat persatuan
perawat nasional indonesia
22. Susanti, komang ari. 2017. Hubungan kepatuhan pengobatan terhadap kejadian kejang
Pada pasien epilepsi yang bebas kejang selama minimal 1 tahun
pengobatan di poli neurologis RSUD DR.A DADI TJOKRODIPO
BANDAR LAMPUNG. Jurnal mala hayati, diakses tgl. 23 Nov. 2021
pukul. 19.36.