Lontar ini mengisahkan tentang ajaran Siwa Buddha yang menyatakan bahwa kemuliaan ajaran Buddha dan Siwa adalah tunggal. Kisah ini menceritakan tentang pertempuran antara Raja Nilacandra melawan Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa yang disebabkan karena kemampuan Raja Nilacandra dalam membuat tiruan surga dan neraka. Pertempuran ini berakhir dengan Raja Nilacandra yang menyadari kesalahannya dan memohon maaf kepada
1. Sekilas tentang
LONTAR SIWAGAMA
Siwagama merupakan teks yang tergolong jenis tutur yang juga disebut
Purwagamasasana. Siwagama merupakan salah satu karya Ida Padanda Made Sidemen dari
Geria Delod Pasar, Intaran, Sanur. Karya ini diciptakan pada tahun 1938, konon atas permintaan
raja Badung.
Pengarang memulai teksnya dengan menyebutkan bahwa kisah cerita diawali dengan
perbincangan raja Pranaraga dengan pendeta istana (Bagawan Asmaranatha) tentang tattwa
mahasunya. Agama Hindu sesungguhnya menganut paham monotheisme bukan politheisme.
Tuhan hanya satu tidak ada duanya, namun orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama.
Berbagai sebutan Tuhan muncul dalam agama Hindu karena Tuhan tidak terbatas adanya. Akan
tetapi, kemampuan manusia untuk menggambarkan hakikat Tuhan sangat terbatas adanya. Di
dalam teks Siwagama disinggung berbagai sebutan Tuhan, seperti Sanghyang Widhi, Sanghyang
Adisuksma, Sanghyang Titah, Sanghyang Anarawang, Sanghyang Licin, Sang Acintya, dll.
Disamping kepercayaan kepada Sanghyang Widhi, pengarang juga menegaskan
kepercayaan adanya roh leluhur. Dalam hal ini, manusia diajak untuk berbakti kepada leluhur.
Sebab pada hakikatnya antara atma dan dewa itu tunggal, sebab semua makhluk berasal dari
Sanghyang Widhi. Kepercayaan adanya karmaphala juga dijelaskan pengarang dalam teks
Siwagama. Tidak ada suatu perbuatan yang sia-sia, semua perbuatan akan membuahkan hasil,
disadari atau tidak. Selain itu disinggung juga mengenai kepercayaan akan adanya samsara dan
moksa. Hal ini dikaitkan dengan pahala-pahala yang ditemukan bagi orang-orang yang
senantiasa rajin membaca, mendengarkan, dan mendiskusikan ajaran-ajaran teks suci, seperti
Astadasaparwa, Itihasa, dan Purana-Purana. Konon sebagai pahala membaca, mendengarkan,
dan mendiskusikan teks-teks suci tersebut, selama hidupnya manusia dapat mencapai ketenangan
pikiran, melenyapkan niat-niat jahat, kotoran diri, noda, dan dosa, serta ketika ajal tiba akan
menemukan sorga dan moksa.
Di dalam teks Siwagama juga banyak didapatkan kutukan-kutukan yang menimpa
sejumlah tokoh akibat perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Sebagaimana dikisahkan, Bhatari
2. Uma dikutuk menjadi Durga sebagai pahala atas perbuatan serongnya dengan Si Pengembala,
Dyah Mayakresna (putri Bhatara Guru) dikutuk menjadi Kalika sebagai pahala atas kejahatannya
membunuh suami-suaminya. Sang Sucitra dan Sang Susena (Raja Gandarwa) menerima kutukan
dari Bhatara Guru menjadi Sang Kalantaka dan Sang Kalanjaya sebagai pahala perbuatan
jahatnya memperkosa Sang Batringsa dan Sriyogini (juru bunga Bhatara Guru). Ada pula tokoh-
tokoh yang dikisahkan mendapat pahala baik akibat perbuatan baik yang dilakukan. Seperti Sang
Kumara dinobatkan menjadi Sang Wredhakumara atas kemuliaan yoganya. Demikian pula pada
dewa-dewa lainnya, seperti Bhatara Surya yang diberi gelar Siwaraditya oleh Bhatara Guru
sebagai pahala atas ketekunannya menjadi saksi dunia dan atas kepatuhannya kepada Bhatara
Guru.
LONTAR SIWAGAMA 2
Lontar ini pada intinya menyajikan tentang ajaran Siwa Buddha. Kemuliaan ajaran
Budha dan ajaran Siwa itu adalah tunggal dan tentang sepenggal kisah cerita Mahabaratha yang
tidak terexpose di etos mahabarata yang anda biasa baca.
Dikisahkan Sang Kunjarakarna, putra raja Dumbajaya, bertahta di negeri Pandhi. Laku
tapanya sangat hebat, memuja Sanghyang Werocana. Ia telah diberikan anugrah dan berganti
nama menjadi Bhagawan Handasingha. Ia menjadi pertapa telanjang, dan membangun asrama di
tengah hutan. Ia mampu pulang ke alam gaib, dan ia belajar sendiri tentang ajaran Budha. Di lain
pihak diceritakan mengenai Sri Purnawijaya, putra raja Utarsa, sebagai sepupu Sang
Kunjarakarna bertahta di Negeri Narajadesa atau dinamakan Kerajaan Kendran bergelar Sri
Nilacandra. Dinamakan kerajaan Kendran karena Raja Nilacandra mampu membuat tiruan
Kendran (sorga) dan tiruan Yamaloka (neraka), termasuk tiruan matahari dan bulan, dan telah
diberkati oleh Raja Hastina atas kesempurnaan kerajaannya itu.
Diceritakan bahwa Istana Kendran telah dirasa sempurna. Sehubungan dengan itu, maka
sang raja berniat mangadakan upacara selamatan untuk istana emasnya itu dengan mengundang
raja Hastina. Raja Yudistira datang bersama keempat saudaranya beserta para permaisurinya.
Mereka berlima (Pandawa Lima) bagaikan Sanghyang Panca Tatagata bersama kedelapan
3. dewinya, ibarat mereka berada di alam Dewa Budha. Pada saat itu Raja Yudistira berpesan
kepada Raja Nilacandra: “Wahai kau Raja Nilacandra, dan para menterimu sekalian, kuatkanlah
imanmu dalam melakoni ajaran Budha, sebab puncak keberhasilan laku tapamu akan
mengantarkan dirimu mengetahui sorga dan neraka. Betapa sejuknya hati orang-orang di seluruh
wilayah Negeri Narajadesa sebagai tonggak awal menjaga kehidupan, memegang teguh ajaran
Budha, menciptakan keselamatan dunia....”.
Diceritakan dua orang raja besar bernama Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa
mendengar berita kehebatan Raja Nilacandra yang gagah berani, yang telah menguasai sorga dan
neraka serta telah membuat sorga dan neraka tiruan di dalam istananya atas anugrah Sanghyang
Werocana dari utusan mereka yang bernama Sang Satyaki dan Sang Kretawarma. Maharaja
Kresna dan Maharaja Baladewa marah, merasa bagaikan ditantang keperkasaannya oleh Raja
Nilacandra. Dengan cepat Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa merapatkan pasukan Yadu
dan Wresnyandaka, serta kedua pamannya termasuk perdana menteri, panglima perang agar
segera angkat senjata. Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa mendahului perjalanan mereka
dengan mengendarai kereta emas permata, dengan kuda sangat sakti, Swalahaka, berwarna
hitam. Dalam sekejap mereka telah tiba di Kerajaan Hastina untuk menemui Raja Yudistira.
Maharaja Kresna menjelaskan maksud kedatangannya ke sana adalah untuk menyampaikan
bahwa mereka akan menyerang Raja Nilacandra oleh karena ia bisa membuat tiruan Indraloka
dan Pitreloka sebagai tanda keberhasilannya dalam menekuni ajaran Budha, dan Maharaja
Kresna hendak mengetahui kehebatan ilmu Raja Nilacandra dalam mendalami ajaran Budha.
Raja Yudistira tidak sepaham dengan penjelasan Maharaja Kresna, dan Beliau lalu menjelaskan
bahwa tujuan Raja Nilacandra dalam meniru sorga dan neraka adalah untuk mengajarkan
manusia di dunia ini kepada kesadaran yang sesungguhnya, yakni sebagai penahan bagi orang-
orang bodoh di Negeri Narajedesa, untuk mencegah pikiran orang-orang dalam melakukan
kejahatan.
Maharaja Kresna dan Maharaja Baladewa tidak terima dengan penjelasan dari Raja
Yudistira. Mereka lalu bergegas pergi dibuntuti oleh keempat Pandawa bersaudara yang
penasaran ingin mengetahui kesaktian Sang Nilacandra. Diceritakan peperangan telah terjadi.
Pesan Raja Nilacandra kepada pasukannya adalah “Janganlah kalian takut mati. Aku menjadi
jaminan atas kematianmu. Bukankah kau mengetahui diriku bahwa aku tidak bisa mati oleh
4. senjata. Aku mampu menghidupkan orang yang telah mati, sebab aku mempunyai senjata
Sanghyang Puspawijaya, anugrah Sanghyang Werocana”.
Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Keempat Pandawa pun telah tewas.
Maharaja Yudistira yang mengetahui bahwa keempat saudaranya telah tewas menjadi marah.
Sifat ksatrianya mekar, ia memusatkan batin pada kekuatan senjata pustakanya yang dinamakan
Sanghyang Kalimosada dengan merapalkan mantra dan aksara sucinya, untuk disemayamkan,
dihadirkan agar meresit dalam dirinya. Dalam sekejap ia berubah menjadi Kalagni berkobar-
kobar memenuhi medan perang.
Raja Nilacandra yang melihat hal tersebut juga menjadi marah. Matanya diselimuti
kekuatan panah mahan, sehingga muncul nafsu merajai. Dengan cepat ia mengambil senjata
gadanya yang tajam, dan maju membidik. Tiba-tiba Sanghyang Werocana Turun, berdiri di
pangkal tangkai bunga teratai, lengkap dengan senjata bajranya. Bagawan Handasingha juga
turun, menasihati adiknya Sang Nilacandra.
Katanya: “Wahai adikku Raja Narajadesa, kali ini ulahmu menyimpang, kau berani
durhaka kepada raja Hastina, pastilah kekuatan tapamu dulu itu akan tenggelam. Pada saat
kematianmu, kau akan ditenggelamkan di kawah neraka Tambragomuka karena kau dikutuk oleh
ayahmu , yang telah menjadi dewa. Kaulah yang memunahkan kekuatan laku tapa ayahmu, yang
dulu diangkat menjadi Perdana Menteri oleh raja Pandu dulu. Karena kau adalah abdi Raja
Yudistira, maka kau akan terkena kutukan pada saat kematianmu, sebagai abdi Bhatara Dharma,
sebab Bhatara Dharma menjelma di dalam tubuh Raja Yudistira, mati tanpa meninggalkan jasad,
dan lagi Raja Kresna adalah penjelmaan Wisnu sejati, yang bertugas menyelamatkan dunia. Jika
Raja Kresna dan Yudistira dibunuh di medan perang, sekalipun kau berhasil melakukannya
berkat anugrah Sanghyang Werocana kepadamu, maka dunia ini akan lenyap berubah menjadi
lautan luas. Bhatara Guru akan marah kepadamu. Adapun sekarang, sifat keras kepala Raja
Kresna kepada dirimu, tanpa ada dosa, ia datang menyerang dirimu, sebab ia belum percaya
kepada keimananmu sebagai penganut ajaran Budha, yang sudah ada di dalam dirinya, sebagai
tempat bersemayam Sanghyang Werocana.”
5. Raja Nilacandra memusatkan batin memuja kehadapan Sanghyang Werocana,
menyembah kepada Bhagawan Handasingha, kepada Raja Yudistira, memohon maaf atas
kesalahannya, sambil meneteskan air mata. Raja Yudistira masih tetap marah, dengan sekuat
tenaga menghujani Raja Nilacandra dengan senjata panah ampuh, namun semua senjata itu tidak
mempan sama sekali, sehingga raja Yudistira pun menjadi semakin marah, dan terus menyerang
Raja Nilacandra. Akan tetapi Raja Nilacandra tetap bersujud menyembah, tiada melakukan
perlawanan. Akhirnya Raja Yudistira pun turun tergopoh-gopoh, mengelus-elus kepala Raja
Nilacandra sambil berkata manis: “Berbahagialah kau anakku, kau telah mampu menaklukkan
kebajikanku, tenangkanlah pikiranmu! Kau telah berhasil menguasai ajaran kesucian, sebagai
saranaku dan dirimu pulang ke sorga nanti. Janganlah kau salah paham kepadaku, sebab orang
sangat sulit menemukan keselamatan di dunia selama-lamanya, dirasuki oleh nafsu dan
ketamakan, merintangi kebenaran dan kesetiaannya di dunia.
Raja Nilacandra lalu menyembah, memohon maaf. Ia memohon keris Raja Yudistira
untuk dipakai menebas kepalanya. Raja Yudistira berkenan, lalu menghunus keris pusaka
candrahasa. Keris itu diterima oleh Raja Nilacandra, kemudian kepalanya ditebas jasadnya
ditidurkan di dalam kereta.
Puspakomala dilihat oleh Raja Yusdistira di dalam asta galaka, lalu puspakomala itu
dicabutnya. Dipikir-pikir olehnya, ternyata kemuliaan ajaran Budha dan ajaran Siwa itu tunggal.
Panca Tatagatanya sama dengan Panca Siwanya. Ia berwujud Budha, Ia berwujud Siwa.
Bersatunya hakikat bayu dan sabda sebagaimana penunggalan perasaan dan penglihatan, sama-
sama bisa saling merasuki, sebagai murid Bhatara Sadasiwa, digoreskan di dalam ketiadaan yang
sangat rahasia, kelepasannya tunggal, yakni Sanghyang Adwaya dengan Adwayajnana.
Puspakomala yang dipegang oleh Raja Yudistira kemudian dirampas oleh Raja Kresna,
digunakan untuk menghidupkan kembali semua pasukannya yang telah mati di medan perang
termasuk keempat Pandawa.
Demikianlah keutamaan Sanghyang Puspakomala, yang keluar dari puncak kepala Sang
Nilacandra, dapat dipakai menghidupkan orang mati, jika belum saatnya mati. Puspakomala itu
kemudian dikembalikan lagi kepada Raja Yudistira. Raja Yudistira kemudian beryoga memuja
6. kekuatan air kehidupan Sanjiwani, menyemayamkan kembali puspakomala Sang Nilacandra,
dikembalikan ke tempatnya semula. Sang Nilacandra pun terjaga, hidup kembali.