Sebelum Anda "Download" Silahkan "Follow" atau Beri "Like" terlebih dahulu. Thx.
Bagi yang membutuhkan INHOUSE TRAINING, Silahkan Hubungi : 0878-7063-5053 (Fast Response). TARIF PELATIHAN SANGAT MURAH !!!
1. KATA PENGANTAR
Buku berjudul “PERKEMBANGAN KOTA JAKARTA” yang ada di hadapan
saudara ini adalah hasil tulisan DR Abdurracman Surjomihardjo Staf Peneliti Lembaga
Research Kebudayaan Nasional (LRKN) Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) bekerja
sama dengan Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta yang kini menjadi Dinas
Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta.
Mengingat pentingnya buku tersebut dan kecenderungan bertumbuhnya minat
masyarakat terhadap pengetahuan tentang sejarah, serta persediaan buku pada instalasi
kami telah habis maka dipandang perlu untuk mencetak ulang dengan melakukan
beberapa perubahan.
Buku yang diterbitkan tahun 1973 ini, sampai dengan tahun 2000 telah
mengalami 4 kali naik cetak ulang yakni, cetak pertama tahun 1973, cetak ulang kedua
tahun 1977, cetak ulang ketiga tahun 1993 dan sekarang tahun 2000.
Mudah – mudahan buku ini dapat bermanfaat sebagai buku kajian serta
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khusus tentang Sejarah Perkembangan Kota
Jakarta.
PENDAHULUAN
Diantara perubahan – perubahan dan perkembangan yang terjadi di Ibukota
Jakarta, maka satu diantaranya ialah makin meluasnya wilayah Kota ini. Terutama di
dalam periode dua puluh tahun terakhir ini yaitu setelah kembalinya Jakarta menjadi
Ibukota Republik Indonesia.
Jalan – jalan baru dibangun mendahului pembukaan tanah – tanah baru, bagi
perkampungan baru, bagi daerah Industri maupun bagi tempat – tempat rekreasi.
Kompleksnya perubahan maupun perkembangan hampir tak dapat diikuti oleh penduduk
Jakarta sendiri, yang tiap harinya makin bertambah, tidak saja dalam jumlah tetapi juga
dalam kesibukannya dan kegiatan – kegiatan lainnya.
Penduduk Jakarta dari abad – ke abad mulai sebagi pendatang dan kemudian
sebagai penghuni kota, berasal dari berbagai penjuru tanah air kita dan juga dari berbagai
sudut benua. Dengan caranya sendiri mereka membangun wilayah kotanya dibawah
pimpinan yang diakui masyarakat sejak jaman Tarumanegara, Sunda Kelapa, Batavia dan
Jakarta dewasa ini.
Sudah barang tentu selera dan gaya, bentuk dan rupa serta cara membangun kota
berbeda menurut jaman dan tujuan. Tetapi semuanya menunjukkan betapa penduduk
Kota ini, baik di masa lampau maupun di masa sekarang dan mendatang, bertujuan agar
kotanya dapat merupakan kota dimana ia bisa hidup dengan usaha – usahanya, cita –
citanya di dalam suasana ketentraman dan kegembiraan.
Adalah jasa para pendatang dan penghuni dimasa- masa yang lampau yang bisa
dan sempat menuliskan kesan – kesannya pengalaman - pengalamannya, usaha –
usahanya, dan tidak jarang meninggalkan bekas – bekasnya berupa gedung – gedung,
skets – skets lukisan, photo – photo, peta – peta dan sebagainya.
Karangan ini disusun berdasarkan karya – karya mereka itu terutama yang
disamping karya tulisnya menyertakan sketsa dan ikhtisar perkembangan kota dalam
bentuk peta – peta. Mula – mula kelihatan sebagai hasil minat kepada lingkungan alam
2. dan penghuninya, tetapi kemudian sebagai bagian kegiatan di dalam membuat rencana –
rencana perkembangan bagian kota maupun kota itu sendiri secara keseluruhan.
Sudah barang tentu tidak semua peta atau sketsa situasi yang pernah dibuat dan
diterbitkan terdapat di dalam buku kecil ini. Untuk itu dapat disusun sebuah buku yang
beratus halaman banyaknya dan akan merupakan buku yang lain maksud serta tujuannya
dengan penyusunan buku kecil sekarang ini.
Adapun maksud dan tujuan buku ini ialah:
Pertama, untuk memberi gambaran secara garis besar perkembangan
horizontal kota Jakarta dari sejarah sampai sekarang ini.
Kedua, dalam kerangka perkembangan itu dan dengan bantuan peta – peta
sejarah memberikan pengetahuan kepada pembaca untuk mendapat memploting tempat –
tempat, gedung – gedung, jalan – jalan, terusan – terusan, dan peninggalan lain dari
jaman kuno yang tersebar di Jakarta dewasa ini.
Ketiga untuk membuka kemungkinan bagi peminat – peminat sejarah,
pembaca – pembaca yang teliti dan pengamat – pengamat perubahan memahami latar
belakang sejarah perubahan – perubahan dan kontinuitas yang telah dan akan terjadi.
Di tengah – tengah perubahan dan pembangunan, bekas – bekas jaman kuno
masih tetap dapat kita lihat. Menghapuskan peninggalan sejarah ternyata tidak semudah
seperti membongkar sebuah gedung. Bahkan akhir – akhir ini justru karena adanya
perombakan - perombakan itu nampak adanya kegiatan – kegiatan kesejarahan. Orang
mulai mencari jejak sejarah kota ini dan ada pula yang ingin merekonstruksi keadaan
salah satu bagian kota seperti pada jaman lampau. Bolehlah dikatakan timbulnya rasa
hayati kesejarahan pada warga kota maupun pada pejabat – pejabat pemerintahan.
Untuk mencapai maksud dan tujuan buku kecil ini, maka pada akhir bab
diberikan kepustakaan yang dipakai, sekedar sebagai petunjuk bagi peminat dan pembaca
yang serius untuk pada waktunya ikut juga menggali jejak sejarah yang telah terjadi di
Ibukota kita.
Kepustakaan yang lengkap sedang disusun dan akan terbit pada kesempatan
yang lain.”
TERJADINYA DATARAN RENDAH JAKARTA
DAN SEKITARNYA.
Dataran rendah tempat bertumpunya kota Jakarta sekarang ini menurut taksiran
telah berusia 5000 tahun. Taksiran itu berdasarkan hasil penelitian geomortologis atau
lapisan bumi.
Berdasarkan penelitian dataran rendah ini, maka ternyatalah bahwa bentuk
permukaan bumi seperti keadaannya sekarang ini dipengaruhi olek tektonik, vulkanisme,
perbedaan iklim dan gerakan – gerakan perubahan pada permukaan air laut. Perhatikan
peta ikhtisar untuk meninjau tanah datar sepanjang pantai dan daerah belakangnya
(Peta1).
Titik – titik pada peta itu menunjukkan puing yang mengendap, yang berasal dari
gunung – gunung api Pangrango, Gedeh dan Salak, endapan puing itu laksana kipas yang
mengarah ke Utara dan membentuk penyaluran - penyaluran air yang berarah memencar.
Sungai Cisadane mengalir ke Barat, sedangkan sungai Bekasi mengalir kea rah Timur.
3. Sungai – sungai itu membawa lumpur yang berangsur – angsur dibawa air sampai
ke muka “endapan puing berkipas” itu lambat – laun terbentuklah Teluk Jakarta, di mana
kemudian muncul pulau – pulau karang.
Berdasarkan penelitian melalui pemotretan udara, maka dapat terlihatperubahan –
perubahan arah arus sungai – sungai yang sering berpindah tempat. Demikian juga
dengan beting – beting pantai. Perhatikan sungai – sungai Cisadane, Angke, Ciliwung,
Bekasi dan Citarum yang ada pada dataran rendah itu. Muara – muara sungai itu
kelihatan banyak yang membelok kesebelah Barat, sedangkan beting –beting pantai
terutama terjadi disebelah Timur muara – muara.
Hal itu disebabkan oleh arus laut yang terus menerus mengalir ke arah timur
selama musim hujan. Pada musim tersebut sungai – sungai mengangkut 80 sampai 90%
dari jumlah banyaknya lumpur selama setahun. Selama angin musim Timur, maka arus
laut mengalir ke arah Barat dan selama itu sungai – sungai membawa sedikit lumpur ke
laut.
Sebagai orientasi perhatikan letak kota Tangerang, Bekasi dan Karawang yang
berdekatan dengan pinggiran endapan puing berkipas itu. Batas endapan itu pula melintas
Jakarta pada bagian Selatannya.
Sehubungan dengan terjadinya dataran rendah Jakarta serta adanya sungai - sungai
itu menyebabkan daerah ini peka untuk bahaya banjir di musim hujan hingga dewasa ini.
TARUMA NEGARA KERAJAAN PERTAMA
DI ATAS ENDAPAN PUING BERKIPAS
Keterangan pada peta
Peta ini merupakan lokasi data – data peradaban Indonesia kuno yang diketahui
oleh ilmu prehistori dan arkeologi. Rekontruksi yang dibuat sudah barang tentu masih
kurang tepat mengingat kurangnya peninggalan dan pengetahuan yang harus dibina oleh
penyelidik – penyelidik yang akan datang.
Ikhtisar peta ini sekedar dibuat untuk orientasi pembaca mengenai letak dan
luasnya Tarumanegara sesuai dengan penemuan – penemuan prehistoris, prasasti atau
batu – batu bertulis. Adalah jasa Dr. J. Ph. Vogel dengan publikasinya pada tahun 1925
tentang prasasti - prasasti Tarumanegara yang membuka tabir sejarah yang masih gelap
tentang negara itu.
Penelitian Vogel diteruskan antara lain Prof. Poerbatjaraka yang membaca
kembali prasasti – prasasti Ciaruteun dan Tugu, kemudian ditebitkan dalam bukunya
(Poebatjaraka, 1952) Bandingkan Peta ini dengan Peta 1 dan 3.
Masyarakat pertama yang teratur dan bertempat tinggal tetap diwilayah Jakarta
sekarang ini mungkin sekali ialah penduduk Kerajaan Tarumanegara. Dalam kerajaan ini
disebut pada sebuah batu tulis yang disebut ialah Purnawarman.
Nama Purnawarman juga disebut di dalam batu – tulis yang diketemukan di Tugu,
dekat Tanjung Priuk. Apabila batu –tulis Ciaruteun berisi berita memuliakan tapak kaki
raja sebagai kaki Dewa Wisnu, maka batu tulis Tugu memuat berita tentang penggalian
sebuah “kali yang permai dan berair jernih”. Pekerjaan penggalian itu diadakan dalam
waktu 21 hari dan dilakukan oleh para Brahmana, yang dalam peristiwa itu di beri hadiah
dengan 1000 ekor sapi.
4. Pekerjaan itu diadakan pada tahun ke – 22 fakta. Raja Purnawarman. Jadi raja
dan penduduknya telah lebih lama menetap di daerah itu. Penggalian sungai itu tentu
bermaksud untuk mengairi sawah – sawah dan juga menahan banjir, sebuah usaha yang
ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan umum.
Peristiwa ini merupakan bukti peradaban yang agak tinggi yang terdapat didaerah
itu. Bukti lain ialah tulisan yang dipergunakan dalam kedua batu – tulis itu. Menilik
bentuk hurufnya yang “bagus dan elok sekali” serta bahasa Sansekertanya yang “tulen”
(menurut Prof Poerbatjaraka), maka dapat ditentukan bahwa Sang Raja mempunyai
pegawai bangsa Hindu yang cakap.
Dari bentuk huruf dan bahasa yang terdapat dalam batu – tulis tersebut, dapatlah
ditentukan, bahwa masyarakat Tarumanegara telah ada pada abad ke – 5 Masehi atau kira
– kira 4000 tahun setelah terjadinya dataran endapan puing berkipas itu.
Hal itu cocok benar dengan berita musafir Cina, Fa Hsien, seorang yang
beragama Budha dan telah melakukan perjalanan ke India mengunjungi tempat tempat
suci disitu Dalam perjalanan pulang ke negeri Cina, yaitu pada tahun 414 Masehi dari
Sailan, kapalnya diserang oleh angin taufan lalu terdampar ke tanah (Jawa Barat).
Dikatakan negeri yang didatangi itu banyak kaum brahmana yang melakukan agama
yang kurang baik. (Fa Hsein seorang penganut Buddha).
Dalam berita Cina lainnya, maka disebut negara To-lo-mo, yang dalam tahun
528,525,666,dan 669 menyuruh utusan ke negeri Cina, To – lo – mo disamakan dengan
ucapan bahasa Cina untuk Tarumanegara”
Melihat keadaan daerahnya pada waktu ini, maka letak kerajaan Tarumanegara
dibatasi oleh sungai Citarum disebelah Timur Sungai Cisadane di sebelah Barat, di
sebelah Selatan daerahnya sampai sungai Ciaruteun.
Di daerah itulah mengalir sungai – sungai lainnya yang penting seperti sungai
Ciliwung dan Bekasi. Nama Bekasi berasal dari nama tempat di jaman kuno, sebagai
peninggalan jaman kerajaan Purnawarman. Sekarang ini menjadi nama Ibukota
Kabupaten Bekasi 30 km sebelah Timur Jakarta, Kota – kota yang hidup didaerah bekas
Tarumanegara itu sekarang ini ialah Jakarta, Bogor dan Karawang (periksa peta 2).
Berita – berita tentang adanya masyarakat yang menetap di daerah Jakarta
sekarang ini sayang sekali tidak banyak jumlahnya. Baru pada awal abad ke- 16 terdapat
lagi berita – berita mengenai bekas daerah Purnawarman itu. Di daerah itu muncul
pelabuhan yang dikenal sebagai Sunda Kelapa yang merupakan salah satu pelabuhan di
antara Banten, Pontang, Tanggerang dan Cimanuk.
Pelabuhan – pelabuhan itu berada dalam pengawasan kerajaan Hindu di
pedalaman yang Ibukotanya bernama Pajajaran”.
Catatan:
1. Periksa batu tulis yang berisikan berita tentang Tarumanegara dalam buku
Porbatjaraka (1962); 12 – 13.
2. Sumber – sumber Cina tentang sejarah Asia Tenggara sangat banyak jumlahnya
dan dianggap teliti penguraiannya. Periksa yang berhubungan dengan Indonesia
dan Malaya karangan W.P Groeneveld, (1960). Karangan Groeneveld ini untuk
pertama kali terbit pada tahun 1880 sebagai Verhendilingen van het Bataviaacsh
Genootschap van Kursten en Wetenschappen, jilid XXXIX.
Bandingkan dengan karangan Tjan Tjoe Som.
5. Jl. Moens 315 – 329.
Poebatjaraka, (1952); 15
Tentang Pajajaran, periksa karangan H.ten Dam (1957); 190 – 310.
KOTA PELABUHAN SUNDA KELAPA
Keterangan Peta3.
Sunda Kelapa merupakan pelabuhan di pantai utara, pada muara sungai
Ciliwung.
Sama halnya dengan Tarumanegara, mengenai Sunda Kelapa ini sangat sedikit
terdapat sumber – sumber asli, Tetapi sumber – sumber Portugis banyak memberitahukan
tentang keadaan Sunda Kelapa, sehingga pengetahuan kita tentang kota pelabuhan itu
agak lengkap.
Bahasa Portugis merupakan bahasa yang perlu dikuasai peneliti sejarah Indonesia
periode abad 16 dan 17.
Kedudukan Sunda Kelapa sebagai kota pelabuhan kerajaan yang berpusat di
Pajajaran dapat difahamkan pentingnya, bila kita perhatikan peta ikhtisar “kerajaan’
Pajajaran”. Sunda Kelapa langsung berhubungan dengan Pajajaran melalui sungai
Ciliwung (periksa Peta 3).
Daerah Pajajaran yang menurut sumber – sumber Portugis disebut sebagai
daerah “Qumda” itu terbentang antara ujung jawa Barat di pantai Barat sampai sungai
Cimanuk di sebelah Timur. Di dalam daerah itu terdapat suatu jaringan jalan darat, yang
merupakan urat nadi perdagangan kerajaan tersebut.
Jaringan jalan itu berpusat di Pajajaran. Menuju ke arah Timur, jalan itu melalui
Cileungsi dan Cibarusa membelok ke Utara dan berakhir di Krawang, di tepi sungai
Citarum. Dari Karawang menuju ke arah Selatan, dan melalui Purwakarta terus menuju
ke Karangsambung di sungai Cimanuk.
Menuju kearah Barat, jalan itu melalui Ciampea dan Jasinga menuju ke
Rangkasbitung, Serang sampai ke Banten Girang.
Di samping jalan darat terdapat juga jalan sungai, yang terutama
menghubungkan pelabuhan terpenting. Sunda Kelapa melalui Ciliwung.Sungai – sungai
lainnya seperti Cimanuk, Citarum. Sungai Bekasi dan Cisadane merupakan jalan – jalan
penting pula.
Menurut catatan Tome Pires, seorang musafir Portugis yang tinggal di Malaka,
Sunda Kelapa menghasilkan 1000 bahar lada. Selain itu dapat memuat beras “sepuluh
Jung setiap tahunnya” Pires juga mencatat, bahwa dari pelabuhan itu dihasilkan banyak
“tamarinde” atau asem. Emas, sayuran, sapi, babi. Kambing, lembu, pelbagai buah –
buahan serta semacam anggur diekspor dari Sunda Kelapa menuju Malaka
Mengenai jumlah pendudukannya seorang Portugis lainnya Barros, menyebutkan
bahwa diseluruh kerajaan terdapat 100.000. Orang penduduk. Di Pajajaran sendiri
terdapat 50.000 penduduk, dan setiap pelabuhan terdapat 10.000 penduduk.
Bila kita terima prasasti atau batu – tulis, yang kini masih terdapat di desa Batu
Tulis Kota Bogor sebagai bukti tertua kerajaan itu, Maka kerajaan yang berpusat di
pajajaran itu mulai ada pada tahun 1133 sesuai dengan angka tahun yang terdapat pada
prasasti Batu Tulis itu. Berita – berita portugis itu berasal dari awal abad ke – 16,
sehingga dapat diperkirakan kerajaan itu telah ada kurang lebih empat abad.
6. Di Kota pelabuhan Sunda Kelapa terdapat pejabat yang berpengaruh, yang disebut
oleh orang Portugis Tumenggung Sangadipati. Kekuasaannya besar dan disegani
penduduk setempat, demikian Torne Peris, Para pembesar Kota itu adalah pemburu –
pemburu yang ulung. Sebagian dari waktu mereka dipergunakan untuk bersenang –
senang. Mereka memiliki kuda- kuda yang terpelihara dengan baik.
Di samping Tumenggung itu terdapat pejabat syahbandar dari “Fabyam”
(Pabean). Yang mengatur cukai masuk dan keluar barang – barang perdagangan serta
mengadakan perhubungan dengan dunia luar
Dari luar berdatangan pedagang – pedagang dari Sumatera Palembang, Lawe,
Tanjungpura, Malaka, Makasar, Madura dan dari pelabuhan – pelabuhan lain dipantai
Utara pulau Jawa. Juga terdapat kapal – kapal lainnya dari daratan Asia.
Setelah Malaka direbut Portugis pada tahun 1511, maka pada tahun 1522
gubernur d’Albuquerque, yang berkedudukan di Malaka, mengutus Henrique Lerne
untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan Pajajaran guna mendapatkan izin
mendirikan benteng di Sunda Kelapa.
Maksud Portugis itu mendapatkan sambutan baik Pajajaran karena kecuali
alasan perdagangan, juga Raja Pejajaran mengharapkan bantuan Portugis untuk melawan
orang – orang Muslim, yang makin banyak jumlahnya di Banten dan Cirebon. Sedangkan
kerajaan Demak telah menjadi pusat kekuatan politik Islam.
Pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu “Perjanjian di mana orang – orang
Portugis akan membuat benteng di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan
menerima barang – barang yang diperlukan. Raja Pajajaran akan memberikan kepada
Portugis 1000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Suatu batu peringatan atau
padro (baca Padrong) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Ketika pada tahun 1918
orang mulai mendirikan sebuah gudang di sudut Prinsen Straat dan Groene Straat di
Jakarta Kota, maka padro itu ketemukan dan kini disimpan di Museum Pusat. Jalan –
jalan itu sekarang bernama Jalan Cengkeh dan Jalan Nelayan Timur.
Sebelum orang – orang Portugis sempat mendirikan benteng maka pada tahun
1527, Sunda Kelapa direbut orang – orang Muslim di bawah pimpinan Fatahillah,
menantu Sultan Demak Pangeran Trenggana. Angkatan Laut portugis dihancurkan di
Teluk Jakarta. Sejak itu Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta Menurut
perhitungan dan perkiraan Prof. Sukanto itu terjadi pada tanggal 22 Juni 1527, yang kini
dirayakan setiap tahun sebagai hari jadi Kota Jakarta. Menurut penelitian Prof. Husein
Djajadiningrat,” maka sebagai seorang pimpinan Muslim Fatahillah tentu teringat kepada
Surah Al- Fath ayat 1 yang berbunyi Inna fatahna laka fatham mubinan. Artinya
“Sesungguhnya kami telah memberi kemenangan yang tegas atas Jayakarta. Di samping
itu sering dipakai kata Surakarta, yang berarti karya yang berani dan sakti. Tetapi nama
Jayakarta lebih terpakai, bahkan peta – peta dunia sejak tahun 1527 selalu memakai nama
Jacatra, yaitu ditempat yang sebelum itu bernama Sunda Kelapa.
Catatan:
1). H.ten. Dam (1951).
2) Sukanto (1954) ; (1956).
3) Djajadiningrat, Hoesein (1913); (1956)
JAYAKARTA 1618
7. Keterangan peta 4.
Seperti telah diterangkan di dalam teks buku ini, peta ini merupakan
rekonstruksi perkiraan keadaan pada tahun 1618 (IJZERMAN 1917)
Di dalam garis – garis putus pada tepi kanan sungai (A) kelak akan terletak bagian
kota Batavia lama; di tepi kiri (B) letak loji Inggris.
Perhatikan pula letak pertahanan Inggris itu, yang pada saat – saat perselisihan
akan menghalang – halangi jalan ke keluar Jayakarta.
Demikian juga lokasi Paep Jan’s batterij dan perkampungan Cina di bawah
pimpinan “watting”.
Adalah jasa Dr. J.W. Ijzerman yang pada tahun 1917 membuat rekonstruksi peta
Jayakarta di dalam karangannya tentang penyerbuan benteng Jacarta “Peta itu dibuat
berdasarkan bahan – bahan keterangan yang terdapat dalam sumber – sumber Portugis
dan VOC (Vereenigde Oost Indesche Compagnie = Persatuan Kompeni Hindia Timur).
(Peta 4).
Kota Jayakarta terbentang diantara dua anak sungai di sebelah Utara dan Selatan,
sebuah anak sungai disebelah Barat dan sungai Ciliwung di sebelah Timur. Tatkla itu
kota dilingkungi oleh pagar bambu dan kemudian sebagian dibuat dari tembok berhubung
adanya ancaman dari pihak Inggris dan Belanda.
Dalam peta itu tampak juga tata – kota “keraton” Jakarta, dimana dalem atau
tempat kediaman Pangeran Jayakarta, alun – alun dan mesjid merupakan pusat kota. Di
sebelah Timur terdapat wilayah Kyai Arya, patih Jayakarta. Di sebelah Utara tercantum
Watting’s Huis atau rumah seorang Cina (Hoat Teng?).
Di sekitar alun – alun terdapat perumahan orang –orang terkemuka. Semua rumah
– rumah itu mungkin sekali terbuat dari bambu dan atap rumbia. Pembagian Kota
menurut rekonstruksi itu sesuai benar dengan Kota- Kota pelabuhan dan kabupaten di
Jawa. Di sebelah Timur wilayah Kyai Arya terdapat tempat perburuan bagi para
bangsawan di Jayakarta, di mana pada waktu itu terdapat binatang – binatang buas seperti
badak, banteng, macan dan babi hutan.
Tempat yang penting yang terdapat pada peta itu ialah di mana terdapat Paep
Jan’s Batterij. Paep Jan ialah ucapan orang Belanda bagi kata pabean. Di tempat itulah
letak Kantor Syahbandar yang mengatur keluar masuknya perahu – perahu dari dank e
Ciliwung. Di muara sungai itu dibentangkan sebuah batang pohon sebagai penghalang.
Tempat itu dapat diploting di Pasar Ikan dewasa ini, Ingatlah pembaca kepada Kampung
Luar Batang di sebelah Barat Pasar ikan?
Sungguhpun J.P. Coen menyebut Pangeran Jayakarta dengan “Koning van
Jacarta” tetapi kedudukan kota itu tidak semegah Sunda Kelapa dahulu. Tatkala itu
pelabuhan Bantenlah yang lebih ramai dan penting. Meskipun demikian orang – orang
Belanda merasa untuk lebih baik mengadakan hubungan dagang dengan Pangeran
Jayakarta. Sejak kedatangan mereka untuk pertama kalinya pada tahun 1596 barulah pada
tahun 1617 orang – orang Belanda diperbolehkan berdagang di Jayakarta. Mereka
mendapat sebidang tanah diperkampungan orang – orang Cina yang terletak disebelah
Timur Sungai. Sejak itu dimulailah pembangunan gudang – gudang yang disebut Nassau
dan Mauritius. Luas Nassau 50 x 18 langkah atau kurang lebih 40 m x 14,4 m atau sama
8. dengan 556 m2 luasnya. Bangunan itu, yang kemudian diperkuat pinggirannya disebut
Het Front van Jacarta (benteng Jacatra).
Pada tahun 1618 orang – orang Belanda mendapat gangguan dari orang – orang
Jayakarta, banten dan Inggris. Mereka tidak menghendaki didirikannya benteng Belanda.
Pada tahun 1619 pecahlah pertempuran dengan orang – orang Inggris, sehingga memaksa
Coen untuk mencari bantuan dari pos Belanda di Maluku.
Kedatangan kembali disusul dengan penyerbuan, perebutan dan penghancuran
Kota Jayakarta. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 30 Mei 1619. Dari saat itulah dimulai
pembinaan kota Batavia, yang akan menjadi pusat kekuasaan Belanda. Kota itu dibangun
dengan semangat perjuangan semboyan J.P Coen “ende despereet nief” pantang mundur
jangan putus asa.
Pangeran Jayakarta dengan penduduknya menguasai daerah keliling Batavia dan
melakukan perlawanan – perlawanan. Letak makam Pangeran Jayakarta di Pulo Gadung
dan Pangeran Wijayakusuma (sesepuh Pangeran Jayakarta) di Kampung Gusti di daerah
Angke menunjukkan tempat dan Medan perjuangan mereka tatkala itu.
Catatan:
1). J.W Ijzerman (1917); 558 – 679
F. De Haan (1935); 17 – 27.
BATAVIA 1619 DAN 1627.
Sesudah meninjau sekilas keadaan peta Jayakarta pada tahun 1618 marilah kita
sekarang memperhatikan peta tahun 1619 dan 1627 ini berarti memperbandingkan
keadaan kota dalam jangka waktu delapan tahun” (peta 5 dan Peta 6).
Dalam masa itu benteng jacatra semakin mekar, sehingga luasnya tiga kali lipat
luas semula. Namanyapun diganti menjadi Kasteel Batavia. Namun demikian bentuk
Kasteel baru itu tidaklah banyak bedanya dengan benteng kuno, yaitu persegi empat
dengan bastion – bastion yang menonjol. Masing – masing disebut Parel, Diamant,
Saphir dan Robijn. Itulah sebabnya kita mengenal penamaan “Kota Inten” bagi kota
Batavia Kuno.
Tembok di antara bastion itu disebut Courtine atau gordjin, di tengah – tengah
gordjin. Selatan dibuat pintu landpoort (pintu gerbang darat) dan disebelah Utara
waterpoort (Pintu Gerbang Laut) Di.sebelah Kasteel kemudian dibuat grachten atau parit
– parit sesuai dengan suasana kota Belanda, terutama sesuai dengan keadaan kota
Amsterdam.
Di sebelah Barat, parit itu bermuara di kali Besar (Nama lain bagi Ci (ha)
liwung. Di sebelah Utara pintu gerbang laut dan di sebelah Selatan pintu – gerbang darat
dibuat jembatan.
Keterangan Peta 6.
1. Kasteel
2. Diamant
3. Robijn
4. parel
5. Saphier
9. 6. Ambtswoning gouverneur – general]
7. Kasteelgracht
8. fort Jacarta
9. Kasteel Plein
10. Herestreat.
11. Prinsenstreat
12. Tijgersgracht
13. Oudermarktgracht
14. Oudekerkgrach
15. DerdeDwarsgracht
16. VierdeDwarsgracht
17. Nieuwe Markt
18. Stadhuis
19. Kerk
20. Tayolingract
21. Koestraat
22. kalverstraat
23. Compagnieshospitaal
24. Gelderland
25. Hollandia
26. Landpoort
27. Resten Jayakarta
28. Koningsstraat
29. Gravenstraat
30. Engelse Loge
31. Zeelandia
32. Voormalig engelse kerkhoft
33. kalkovens
34. Schuitenhuis
35. Tolhuis
36. Boom
37. Timmerwerf vrijburgers
38. Ciliwung
39. School
40. Vrouwenholfje
41. Huis kapiten – Chinees.
Keadaan demikian dapat kita ikuti di dalam peta dari tahun 1627.
Nyata terlihat di situ, bahwa untuk penduduk Belanda direncanakan
pembangunan kota di sebelah Selatan Kasteel. Menurut rencana itu akan digalilah sebuah
parit ke selatan menuju Ciliwung. Dengan demikian kota itu akan dibatasi dengan
Kasteel di sebelah Utara, di sebelah Timur oleh tembok pertahanan dan di sebelah
Selatan dan Barat oleh sungai. Tembok sebelah Timur diperkuat dengan bastion dan
gardu “Holland” di ujung Selatannya, sedangkan pintu gerbang dan jembatan – jembatan
dibuat untuk menghubungkan kota dengan daerah luarnya.
10. Kota yang dibangun itu dipikirkan dan dilaksankan sesuai dengan kebiasaan
Belanda dengan jalan – jalan lurus dan parit-parit. De Tijgershgracht membujur panjang
dari Utara ke Selatan dan dipotong berturut – turut (arah Selatan) oleh parit – parit yang
menghubungkan Tigersrcht (sekarang bernama Jalan Pos di Jakarta Kota) dengan kali
Besar.
Apabila pada waktu itu orang meninggalkan Kasteel melalui Lanpoort, maka
setelah menyeberangi jembatan sampailan orang pada lapangan depan Kasteel. Dengan
menyeberangi lapangan itu sampailah orang pada prinsenstraat yang menuju ke Selatan
dan sampai lapangan Stadhuis (Balai Kota). Dewasa ini gedung bekas Balai kota itu
dipakai sebagai Markas Komando Distrik Militer 0503 (sekarang Museum Sejarah
Jakarta).
Keadaan pada timgkatan perkembangan pertama yang demikian itu dapat kita
lihat sebuah lukisan cat minyak, yang melukiskan kota itu pada tahun 1627. (Bila masih
ada sebuah copy lukisan itu semestinya ada pada Museum Pusat)
Dalam peta tahun 1927 dapat pula terlihat disudut sebelah Barat laut proyeksi
sebuah parit yang sebagian telah digali. Parit tersebut dimaksudkan sebagai awal
perluasan kota ke sebelah Barat, jadi di sebelah kiri Kali Besar.
Catatan:
1. Periksa F.DE Haan (1935); 36 – 40.
2. H.A Breuning (1954) : 22- 30
Keterangan Peta 8:
Dalam peta ini nampak bahwa Batavia lama mulai melebar ke sebelah Barat Ciliwung, di
mana tadinya masih merupakan rawa- rawa. Kita lihat pada bagian Barat Kota:
1Bureun; 2. Vierkant; 3. Ciliwung; 4.Zeeburg; 5.Groningen; 6. Overrijsset; 7.Friesland;
8.Oud Utrecht; 9.Zeelandia;10.Nassau; 11.Diest (poort); 12.Timmerwerf van de
Compagnie; 13 Chinese timmerwerf, akenwerf; 14Vismark; 15 kasteel; 16 waterpoort; 17
Amsterdam; 18 Middleburg; 19.Rotterdam; 20.Enkhuizen;21.Gelderland;22.Oranje; 23
Nieupoort;24Hollandia;25 Grimbergen; 26Brugstreet; 27Kruiskerk; 28. Stadhuis; 29.
Gerchtsplaats; 30.Amsterdam Gracht; 31.GroeneGarcht; 32. Leeuwinnegracht;
33.Tijgersgratch; 34Kaymansgracth; 35 Mallabarse Gracht; 36. Prinsestraat;
37.Heerestraat; 38.Bandaneese kwartier; 39 Malabaars kwartier; 40. koestraat;
41.kalverstraat, 42.Oud gelderland.
Untuk jelasnya kita sandingkan dengan peta dari tahun 1635. Perubahan –
perubahan yang terjadi adalah sebagai berikut;
1.Kali Besar tidak lagi berliku – liku, tetapi digambarkan sebagai parit yang terurus dan
lurus menerobos kota.
2. Kota lama di sebelah Timur makin melebar, tetapi nampaknya pendek.
Tembok hasil perencanaan Coen yang semula miring letaknya menuju ke
Selatan dari Kasteel, kini dimulai dari sebelah Timur Kasteel. Dengan dihubungkan oleh
bagian yang agak miring tembok ini melurus ke Selatan.
11. Bagian kota sebelah Timur, dengan demikian berbentuklah segi empat yang
beraturan. Melalui sisi – sisi Timur dan Selatan dari segi empat itu dapat kita lihat
tembok kota yang diperlengkapi dengan bastion – bastion. Sekeliling tembok itu mengalir
de stadsbuitengracht (parit di luar kota) yang berhubungan di sebelah Utara dengan
Kasteelgracht dan disebelah Barat laut dengan Kali Besar. Di dalam lingkungan tembok
itu mengalirlah de stadsbinnenggracht (parit dalam Kota).
3. Di sisi sebelah Barat Kota di mana ada terusan Kali Besar terdapat proyeksi
bagian kota sebelah Barat dalam bentuk segi empat yang lebih kecil. Bagian ini juga
dilingkupi sebuah parit tembok yang diperkuat Di dalam bagian ini belum ada gedung-
gedung, tetapi hanya kebun – kebun. Bagian ini kemudian diselesaikan oleh Gubernur
Jenderal Antonie van Diemen (1636 – 1645).
Catatan:
1. F. De Haan (1935); 72 - 78
H.A Breuning. (1954): 32 – 34; 36 – 37.
BATAVIA 1632 DAN 1635
Keterangan Peta7:
Peta dasar sebagai hasil reproduksi dari muka sebuah medali emas yang kini
masih tersimpan di Teylersmuseum di Haarlem, Nederland
Di balik muka ini terukir peta dasar dari periode peralihan antara penyerbuan –
penyerbuan Sultan Agung Mataram pada tahun 1629 dan 1629.
Perlu disadari bahwa bagian Selatan terletak pada bagian atas uliran ini Peta –
peta pada jaman dulu selaludigambar dari arah datangnya orang – orang asing, yaitu dari
laut. Dengan demikian bagian Utara berada di bagian bawah.
Perjuangan untuk merebut kembali Jayakarta – Batavia dilaksanakan oleh Sultan
Agung Mataram. Pada tahun 1627 dan 1629 Kota Batavia dikurung oleh tentara
Mataram. Usaha Mataram itu gagal, Sehingga tidak mempengaruhi pemekaran kota.
Setelah J.P.Coen meninggal pada tahun 1629, maka ia diganti oleh Jacques
Specx, yang di masa pemerintahanya telah menyelesaikan perluasan kota selanjutnya”.
Menjelang masa akhir jabatannya, masyarakat Cina di Batavia memberi hadiah
berupa sebuah medali emas. Pada sisi yang satu terlukis sebuah peta dasar kota yang
sangat jelas nampaknya. Mungkin sekali peta dasar itu mendahului rencana Jacques
Specx yang belum selesai tetapi secara keseluruhan peta – dasar itu memberi gambaran
kota dengan sangat baik. (Peta 7 dan Peta 8).
Pada sisi sebaiknya, kecuali terdapat kisah dalam huruf – huruf Cina yang tidak
dapat dibaca (ini menunjukkan, bahwa pembuat medali itu bukan orang – orang Cina itu
sendiri) terukir kalimat – kalimat berbahasa Latin yang berbunyi “In perpetuam
grattitudinis memoriam hoc munusculum nosives Chinensis Bataviae L (ubenter) M
(erito) q (ue abtulimus insigni heroi jacobo Spexio Indiarum orientalium Generali
Patrono nostro observando Anno 1632 Adji 25 November Batavia”.
Makna iskripsi itu di dalam Bahasa Indonesia kurang lebih adalah sebagai berikut
“Sebagai tanda terima kasih dan peringatan selalu. Kami warga Cina Batavia membuat
12. medali untuk J. Specx, Gubernur Jenderal di Hindia Timur, tokoh terkemuka dan
pelindung kami”.
BATAVIA 1650
Bagaimana perkembangan kota melalui pola tersebut dapat kita ikuti dalam peta ,
No.9 yang dibuat oleh Clemendt de longhe di Amsterdam pada tahun 1650 Sungguhpun
diragukan akan kebenaran peta ini dalam berbagai hal, namun bagi ikhtisar umum
perkembangan kota cukuplah kiranya peta ini.
Dengan jelas dapat dibedakan pembagian kota menjadi empat bagian, yaitu
Kasteel, kota bagian Timur, kota bagian Barat dan akhirnya bagian depan kota
(voorstad), yang terletak di sebelah Selatan kota bagian Timur. De voorstad ini terletak di
luar tembok kota dan parit.
Dengan sekali lagi dapat kita lihat bagaimana orang – orang Belanda di sini
menyelesaikan cita – cita mereka untuk membangun kota persis seperti Kota Belanda di
tanah tropis dengan banyak sekali parit – parit yang saling memotong dan membentuk
segi empat, dengan jembatan – jembatan yang teratur letaknya.
Sebagaimana perbandingan dapatlah kita lihat peta dari tahun 1672, jadi 20 tahun
setelah peta de longhe, dimana gambaran keadaan kelihatan makin kompleks.
Satu peristiwa yang penting menjelang dibuatnya peta Clemendt de longhe ialah
penggalian terusan yang kemudian bernama Molenvield (molen = kincir, vliet=aliran).
Kapten cina waktu itu, Phoa Bingam, meminta izin untuk menggali sebuah terusan
dipecah ke arah Timur dan Barat.Yang keTimur akan sampai di Kali Ciliwung dan yang
ke Barat sampai di Kali Krukut. Tempat di dekat akan hutan itu sekarang ini ialah
lapangan yang terletak antara Jaga Monyet dan Harmoni.
Molenvliet itu digali mulai ujung Selatan De voortaad tetapi setelah sampai
ditempat “di dekat hutan” diteruskan kearah Tenggara, melalui samping Timur
Rijswijkstraat (Jalan Majapahit) Jalan Tanah Abang dan terus sampai sungai krukut.
Perpanjangan ke arah Timur dan Barat tidak jadi digalinya. Baru kemudianlah terusan ke
arah Timur dilanjutnya penggaliannya.
Terusan yang digali Bingam itu memperlancar kearah Selatan, bahkan hingga
dewasa ini jalan – jalan di kanan kiri terusan itu merupakan urat nadi yang
menghubungkan Lapangan Banteng, Medan Merdeka, Tanah Abang dengan Jakarta
Kota.
Bandingkanlah kisah singkat usaha Bingam itu dengan memperhatikan peta
Batavia dan sekitarnya pada tahun 1740. Jelas kelihatan fungsi Molenvliet tatkala itu
yang menghubungkan kota Batavia kuno dengan daerah belakangnya.
Catatan:
1. F De Haan (1935): 72 – 74; 753 – 755.
H.A. Breuning, (1954) : 34 – 35.
2. F.DE Haan, (1935) : 105 – 107.
Di dalam sebuah buku yang terbit pada tahun 1799 di Amsterdam terdapat pula
situasi yang hampir sama. Tahun penunjukkan ialah tahun 1760 dan dengan keterangan
13. di dalam bahasa Perancis.Peta itu yang lebih sempurna pembuatannya. Didalam peta itu
benteng Jacarta lebih dekat letaknya dengan sungai Ciliwung.
Dalam paro kedua abad -17 dan paro pertama abad 18- kemakmuran, kemewahan
dan keamanan makin bertambah baik. Seperti halnya di lain – lain kota yang sedang
berkembang, tatkala itu terjadi kecenderungan pada penduduk untuk pindah ke daerah –
daerah luar kota. Gubernur Jenderal Pegawai – pegawai tinggi Komponen dan warga kota
yang berada merasa perlu untuk bermukim didaerah luar kota.
Mereka keluar dari bagian kota yang pengap itu dan membeli kebun – kebun.Di
situ mereka berweekend di rumah – rumah mereka yang baru didirikan. Mula – mula itu
berbentuk kecil, terbuat dari bamboo dan kayu dan lambat laun bentuknya bertambah
besar dan terbuat dari batu.
Kemudian mereka tinggal sebagai penghuni tetap dan dengan demikian timbul
gedung – gedung besar yang megah dan bagus menurut model Belanda. Gedung –
gedung itu terutama muncul sepanjang jacatraweg (sekarang jalan pangeran Jayakarta)
dan kiri kanan Molenvliet (sekarang Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk). Jacatra-weg
merentang dari ujung Tenggara Kota kearah Timur.
Pemberian nama itu tidak karena adanya kota lama jacatra, tetapi jarena adanya
sebuah benteng kecil, yang didirikan di ujung Timur jalan itu. Benteng tersebut bernama
Jacatra. Sekarang letaknya kira – kira pada tempat pemotongan hewan Pemerintah DKI
Tidak seberapa jauh dari jalan itu mengalir sungai Ciliwung berliku – liku. Di
antara liku jalan dan sungai itulah dibangun gedung – gedung bergaya Belanda.
Berbatasan dengan jalan dibuat pagar – pagar yang monumental dalam gaya
barok. Di belakang gedung terdapat kebun – kebun yang terpelihara indah yang
berbatasan dengan sungai, di mana dibuatkan tempat – tempat pemandian dan pangkalan
perahu.
Para penghuninya, mempunyai kebiasaan untuk saling mengunjungi dengan
orembaai, yaitu perahu – perahu kecil yang di dayung oleh budak – belian.
Dari gedung – gedung sepanjang Molenvliet masih terdapat beberapa sisanya,
tetapi yang terdapat di sepanjang jalan. Jacatra telah musnah semuanya. Demikian juga
gedung – gedung di tepi pantai sebelah Timur kota yang dahulu disebut Slingerland atau
daerah Ancol.
Perkembangan kota yang pesat dan perubahan – perubahannya dalam abad 18
dapat kita ikuti dengan jelas dalam “peta Van der Parra”. Peta itu dibuat atas perintah
Gubernur Jenderal Petrus Albertus Van der Parra (1761 – 1775). Reproduksinya dimuat
dalam buku standard tentang kota lama Batavia dari Dr.F. De Haan.
Bagi kita peta ini sangat berguna oleh karena keadaan yang tertera di atasnya
sebagian besar masih terdapat pada dasar – dasar kota dewasa ini. Siapa yang ingin
mempelajari Batavia lama dengan lebih mendalam seyogyanya membawa peta itu dan
peta dasar kota yang baru.
Pada akhir abad -18 sempurnalah proses perkembangan kota dan menjelang
peralihan abad itu terjadilah perpindahan besar – besaran kearah daerah yang lebih tinggi
dan sehat. Yaitu Weltevreden.
Catatan
1. F.De.Haan, (1935); 756-757
14. WELTEVREDEN ABAD 17 – 18
Wilayah ini mempunyai riwayat yang panjang. Semula menjadi milik seseorang
yang bernama Anthony Paviljoen yang pada tahun 1648 masih merupakan daerah hutan
rawa dan sebagian merupakan padang rumput. Kemudian wilayah itu disewakan kepada
orang Cina untuk ditanami tebu dan untuk kebun sayuran. Setelah itu dipakai juga untuk
bersawah.
Pada tahun 1697 tercatat pendirian sebuah rumah oleh pemiliknya yang baru,
Cornelis Chasthelein. Lain dari pada itu terdapat dua buah kincir penggilingan tebu.
Diduga nama Weltevreden itu diberikan oleh Chastelein, yang kemudian memperluas
tanah miliknya.
Pada tahun 1733 tanah itu dijual kepada Justinius Vinck yang harga 39. 000
ringgit. Di wilayah itu pada tahun 1735 diijinkan untuk membangun pasar – pasar, satu di
Tanah Abang dan satu di Weltevreden. Pasar – pasar itu dihubungkan oleh sebuah jalan
melalui Kampung Lima – Prapatan sampai Kramat – Pasar Senen. Jalan Gunung Sarie –
Pasar Senen – Kramat dahulu bernama de Grote Zuiderweg (Jalan Raya Selatan).
Sesuai dengan pemiliknya maka Pasar Senen juga dinamakan Vinck – Passer.
Sepeninggal J. Vinck, maka tanah itu menjadi milik Gubernur Jenderal Jacob Mossel
yang membelinya dengan 28.000 ringgit. Sebuah parit digali oleh pemilik baru itu, yang
menghubungkan Ciliwung dengan parit yang memanjang sejajar dengan de Grote
Zuiderweg itu. Namanya masih ada sekarang yaitu Kali Lio. (Lio adalah tempat
pembakaran genteng).
Dengan demikian terdapat sebuah “semenanjung buatan “ di sebelah Selatan Kali
Lio itu, di atas mana Jacob Mossel mendirikan sebuah gedung besar dan dikenal sebagai
het Landhuis Weltevreden Jalan lurus yang menuju gedung itu, di mana dahulu terdapat
pohon – pohon rindang teratur rapi di kanan – kiri, ialah yang sekarang dikenal sebagai
Gang Kenanga. Perhatikan peta dasar kebun dan rumah di Weltevreden dari 1780.
Sejak tahun 1767 Weltevreden menjadi milik Gubernur Jenderal Van der Parra.
Bata wilayah Weltevreden tatkala itu ialah :di sebelah Utara Post dan Schoolweg
(sekarang Jalan Pos dan Jalan Dr. Sutomo); di sebelah Timur de Grote Zuiderweg
(Sekarang Jalan Gunung Sarie – Pasar Senen – Kramat) ; disebelah Selatan dari Kramat
(jembatan) sampai jembatan Prapatan ; di sebelah Barat sampai Ciliwung.
Batas – batas itu menunjukkan bahwa Waterlooplein (Lapangan Banteng) dan
Hertogspark (Taman depan Departemen Luar Negeri sekarang) berada di dalam batas –
batas Weltevreden itu.
Pada tahun 1797 Weltevreden dan sebidang tanah sebelah Selatannya, daerah
Kwitang, dibeli oleh Van Overstraten dengan harga yang lebih tinggi lagi, yaitu 137.803
ringgit. Kenaikan harga tanah itu mungkin ada hubungannya dengan kenaikan hasil pajak
pasar, yang diadakan tiap hari Senen. Itulah sebabnya disebut Pasar Senen, yang aslinya
terletak di ujung Utara sebelah Timur simpang tiga Gang Kenanga – Jalan Senen
sekarang ini. Kompleks Proyek Senen sekarang terletak lebih Selatan, sebelah jembatan
Kramat dahulu.
Catatan:
F.De Haan, (1935); 311 319
H.A Breuning, (1954); 106 – 108.
15. BATAVIA ABAD 19
Hampir semua orang yang mempelajari sejarah mengenal nama Mr. Herman
Willem Daendels. IA diangkat sebagai Gubernur Jenderal pada tahun 1807 dengan
instruksi untuk mengorganisasi pertahanan pemerintahan colonial sesuai dengan
pandangan – pandangan baru.
Di samping itu ia juga mendapat tugas untuk memperbaiki keadaan kesehatan
dalam Kota Batavia. Bila hal itu tak dapat tercapai maka ia diwajibkan untuk membuat
usul – usul tentang kemungkinan – kemungkinan pemindahan ibukota “Koloni milik
Belanda di Asia” itu di mana saja di bagian pulau Jawa yang cocok untuk keperluan itu.
Berdasarkan instruksi itu Daendels membuat rencana besar untuk mengubah
Weltevreden menjadi obu kota baru, sungguhpun keadaan keuangan pada waktu itu
buruk.
Mula – mula ia membuat sebuah istana baru di dekat tempat parade (kemudian
bernama Waterlooplein, sekarang Lapangan Banteng). Bahan – bahan bangunannya
diambil dari bekas kasteel Batavia dari bangunan lain dari kota lama. Berhubung keadaan
perang istananya baru setengahnya selesai. Penggantinya Jansen sempat menutupi istana
itu dengan atap, 15 tahun kemudian.
Dengan uang yang berasal dari Weeskamer (Balai Harta Peninggalan) ia
membangun gedung Societiet de Harmonie (Dibongkar tahun 1983)
Tindakan Daendels yang akan mempengaruhi perkembangan tatakota di kemudian
hari ialah pembukaan lapangan latihan, yaitu di tempat yang kemudian berturut – turut
bernama Koningsplein (1818) tanah lapangan Gambir, dan sekarang ini Medan Merdeka.
Pusat pertahanannya dibangun di Mesteer Cornelis (Jatinegara) dimana disitu
dibangun sekolah artileri. Daerah Mesteer Cornelis sebenarnya berasal dari nama seorang
anak orang kaya terkemuka Telamon dari Lontor (salah satu pulau di kepulauan Banda),
bernama Cornelis Senen. Ia datang di Batavia pada tahun1621, dan sebagai guru dikenal
dengan nama Mesteer Cornelis. Pada tahun 1656 ia membeli “kebun” di tepi Ciliwung
dan daerah selanjutnya disebut Westeer Cornelis.
Penduduk Jakarta yang menetap di sini masih tetap akan menyebut Mester dari
pada Jatinegara, namanya sekarang.
Raffles dan pemerintahnya tak banyak mengubah wajah Batavia – weltevreden.
Kesulitan – kesulitan di bidang keuangan membuatnya tidak berdaya. Jasa yang besar
dari pada Raffles ialah kesukaannya terhadap ilmu pengetahuan dan minatnya yang besar
kebudayaannya. Bukunya yang terkenal ialah History of Java, yang merupakan sebuah
uraian ilmiah tentang sejarah budaya pulau tersebut.
Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Lembaga Kesenian
dan Pengetahuan Batavia), yang didirikan sejak tahun 1776 mendapat dorongan baru dari
Raffles. IA mendirikan museum dan perpustakaan di gedung yang telah dibangun
Daendels yaitu gedung Harmonie.
Dalam masa pemerintahan Inggris itu tumbuh satu perkumpulan sandiwara, yang
anggota – anggotanya terdiri dari opsir – opsir tentara Inggris. Mereka mengadakan
pertunjukan di dalam bangunan yang terbuat dari bambu Baru pada tanggal 7 Desember
1821 diresmikan pembukaan gedung baru Schouwburg, yaitu Gedung Kesenian di Pasar
Baru.
16. Setelah pemerintahan Inggris dapat dicatat perubahan – perubahan di Weltevreden
sebagai berikut: Pada tahun 1826 istana Waterlooplein selesai. Di belakangnya dibangun
sebuah pertamanan Dus Bus yang ternyata tidak memenuhi fungsinya. Kemudian di
tempat itu dibangun gedung – gedung perumahan para perwira (1853) (komplek
Siliwangi sekarang).
Gereja Katolik di sudut Lapangan Bateng dibangun pada tahun 1826 yang
kemudian runtuh pada tahun 1890. Gereja Katedral yang sekarang ini ialah gedung baru
yang dibangun pada masa menjelang abad 20. Sebuah Balai Pertemuan perwira di
bangun disebelah Selatan istana Waterlooplein, yaitu di tempat di mana dulu terdapat
gedung Dewan Perwakilan Rakyat, yang kemudian dibongkar.
Gedung Hooggerechtshof (gedung Mahkamah Agung sekarang ini) berasal dari
tahun 1848 yang sejak dibangunnya hingga sekarang memang dipakai sebagai tempat
peradilan yang tertinggi di Indonesia.
Kembali kita ke Hertogspark atau Taman Hertog. Di ujung sebelah yang
berbatasan dengan Medan Merdeka sekarang pada paro pertama abad 19- telah dibangun
Gereja Protestan Willemskerk (sekarang Gereja Emmanuel di depan stasiun Gambir),
yang telah selesai dibangun pada tahun 1839.
Di jaman Gubernur Jenderal Van den Bosch berdirilah benteng Prins Frederik
Hendrik dan dimaksudkan sebagai pusat pertahanan dalam rencana khayal Gubernur
Jenderal Van den Bosch itu untuk membuat weltevreden sebuah daerah pertahanan. Di
tempat itu sekarang berdiri Mesjid Istiqlal.
Sebuah garis pertahanan yang dikenal dengan Defensie – lijn Van den Bosch, yang
dahulunya merupakan parit bertanggul rendah menjulur dari titik di mana sekarang ini
terdapat stasiun kereta api Senen. Dari situ menuju Bungur Besar, kemudian membelok
ke Barat melalui Krekot – Sawah Besar – Gang Ketapang. Lalu menuju ke Selatan
melalui Petojo sampai disebelah Barat Medan Merdeka. Kemudian Tanah Abang melalui
Kebon Sirih, Jembatan Prapatan terus ke Jembatan Kramat (Kramat Bunder sekarang).
Garis pertahanan Van den Bosch itu kini telah menjadi jalan biasa seperti halnya dengan
grachten di Batavia kuno yang dewasa ini juga telah menjadi jalan – jalan biasa.
Kita telah mendahului waktu beberapa tahun ke muka. Kini kita kembali ke
sebuah jalan yang dahulu disebut Rijswijk, yang kini bernama jalan Veteran. Pada Jaman
pemerintah Inggris Rijswijk merupakan bagian kota Batavia yang bergaya dan
“terhormat”. Untuk ,membuat bagian ini khusus untuk orang- orang Eropa, maka pada
tahun 1814 semua tempat tinggal orang - orang Indonesia dan toko – toko Cina harus
meniggalkan tempat ini.
Bangunan yang tertua bergaya Eropa ialah milik seorang bernama Pieter Tency
dari tahun 1794. Gedung itu menjadi Hotel der Nederlanden, kemudian menjadi Hotel
Dharma Nirmala, kini setelah dibongkar dibangun gedung Bina Braha. Pada jaman
Rafles juga dinamakan Raffles House. Setelah pemerintahan Inggris, maka Raffles House
dengan kebunnya yang luas hingga sampai berbatasan dengan Koningsplein dibeli oleh
pemerintah Hindia Belanda. Di belakang gedung itu ada sebuah paviliun yang
menghadap ke koningsplein milik seorang van Braam. Paviliun itu kemudian dibeli oleh
pemerintah yang kemudian sering dipakai oleh Gubernur Jenderal untuk bermalam,
karena istana Waterlooplein belum juga selesai.
Setelah diputuskan bahwa istana waterlooplein itu akan dipakai untuk kantor –
kantor; maka paviliun di Rijswijk itu diubah menjadi tempat kediaman Gubernur
17. Jenderal. Pada tahun 1848 tingkat kedua gedung itu runtuh dan diadakan perbaikan -
perbaikan pada bagian depannya. Meskipun tidak dapat dikatakan sebagai gedung yang
indah istana itu merupakan gedung yang mengesankan.
Berhubung dengan kegiatan – kegiatan Gubernur Jenderal di istana itu semakin
banyak, maka dirasakan perlunya dibuat istana lagi yang menghadap koningsplein.
Sejak itu terdapat dua bangunan istana, yang kini disebut sebagai Istana Merdeka
(yang menghadap Medan Merdeka) dan Istana Negara (yang menghadap Jalan Veteran)
Catatan:
1. H.A. Breuning (1954): 111 – 123
2. F. De Haan (1935):329 – 331, menguraikan riwayat daerah itu.
PELABUHAN TANJUNG PRIUK
Pada tahun 1869 dibukalah terusan Suez yang berarti hubungan melalui laut
antara benua Eropa dan Asia makin pendek jaranya. Kecuali itu terjadi lalu – lintas
perdagangan yang semakin ramai dan kebutuhan – kebutuhan bongkar – muat barang –
barang yang memerlukan waktu lebih singkat. Pelabuhan lama di Pasar Ikan makin lama
tidak sesuai dengan perkembangan itu.yang jauh jaraknya dari pantai pelabuhan,
merupakan sebab utama, mengapa dunia perdagangan Batavia memerlukan pelabuhan
baru yang memenuhi syarat – syarat modern, di mana pembongkaran dan pemuatan –
pemuatan barang - barang dilaksanakan secara langsung.
Setelah malalui beberapa pertimbangan, maka dipilihlah daerah Tanjung priuk
yang terletak kurang lebih 8 Km dari pelabuhan lama, di mana dalam jangka waktu enam
tahun dapat dibangun pelabuhan baru (1877 – 1883).
Pelabuhan dalam yang pertama digali antara tahun 1879 – 1883 dan diresmikan
pada tahun 1886. Luas permukaan airnya adalah 20 Ha. Dan panjangnya 1200 m.
Pelabuhan dalam itu ternyata tidak cukup besar sehingga diperukan pelebaran Antara
tahun 1910 – 1917 mulailah penggalian pelabuhan dalam kedua.
Kedua pelabuhan dalam itu mempunyai tugasnya sendiri – sendir. Yang pertama,
yang terletak paling sebelah Barat berdekatan dengan stasiun KA. Terutama
dipergunakan oleh kapal – kapal dari Koninklijke Paketvaart Mastschappij dan Burns
Philip Line. Juga kapal – kapal lain yang berukuran sedang, karena pelabuhan itu cocok
untuk kapal – kapal yang bagian badannya tenggelam maksimum 7 meter. Pelabuhan
yang kedua terutama bagi kapal – kapal pengangkut penumpang dari maskapai –
maskapai Nederland, Rotterdamsche Lioyd dan Ocean.
Sejalan dengan pembukaan pelabuhan modern itu berkembang pula lalu – lintas di
darat. Pemasangan jaringan Jalan Kereta Api di mulai pada tahun 1873 antara Batavia
dan Buitenzorg atau Bogor sekarang. Berturut – turut jaringan jalan kereta api itu mulai
bertambah baik di dalam maupun di sekitar Batavia. Trem uap dipergunakan di dalam
kota mulai tahun 1881 dan enam belas tahun kemudian dipergunakan trem Listrik.
Setelah peleburan maskapai – maskapai maka sejak tahun 1930 seluruh lalu lintas trem
mempergunakan tenaga listrik. Tetapi alat pengangkut ini tidaklah begitu berhasil di
dalam kota juga menggangu pemandangan kota.
Dengan itu pula berkembanglah lalu –lintas pos, telegrap dan telpon. Secara
keseluruhan mulailah perkembangan ekonomi dan muncullah pabrik – pabrik yang
18. pertama. Perkembangan ini akan membawa akibat di kemudian hari. Masalah –masalah
pembangunan kota, terutama kebutuhan akan perumahan- perumahan bagi penduduk
yang datang dari desa - desa, mulai terasa. Tetapi untuk sementara prioritas masih akan
tetap bagi penduduk Eropa, bagi bangsa Indonesia sendiri kampung – kampung akan
merupakan tempat tinggal untuk beberapa waktu lamanya.
Baru sesudah pengakuan kedaulatan pemerintah RI dan Jakarta menjadi ibukota,
maka terjadilah perkembangan horizontal dan vertical. Perkembangan dan kemajuan
Jakarta menjadi tanggung jawab bangsa Indonesia sendiri.
Catatan:
1. Riwayat awal dari pelabuhan Tanjung Priuk dapat dibaca pada J.J. De Vries
(1927); 501 – 512.
WELTEVREDEN AWAL ABAD 20.
Rencana perluasan Gemeente Batavia pada dasarnya telah ditetapkan pada
tahun 1917 – 1918 dan sejalan dengan perkembangan kota. Sebelum itu pada tahun 1909
ditetapkan peraturan mengenai pengawasan pembangunan perumahan.
Pada tahun 1912 Gemeenteraad (Dewan Kotapraja) telah menyetujui rencana –
rencana dari maskapai pembangunan dan perkebunan” Gondangdia” untuk melaksanakan
pembangunan prasarana yang diperlukan untuk pembangunan perumahan yaitu dalam
membuat jalan – jalan, taman – taman dan saluran – saluran air buangan.
Berturut – turut telah dibeli oleh Kotapraja tanah – tanah partikelir Menteng,
Sentiong, sebelah terusan Krukut, Jati Wetan, Petojo, agar tersedia tanah bangunan.
Dengan pembelian tanah Gondangdia, karet Duku, Bendungan Udik, Kramat
Lontar I dan Jatibaru pada tahun 1920, maka kotapraja telah memiliki tanah seluas 8 juta
m2. Jumlah tanah Kotapraja pada tanggal 1 Januari 1930 telah menjadi 6 Juta golden
(Mata uang Belanda).
Salah satu segi yang menjadi perhatian kotapraja ialah ditetapkannya peraturan
untuk membuat taman – taman yang tatkala itu banyak jumlahnya di Batavia. Juga
penghijauan di sepanjang jalan – jalan yang pada umumnya telah mulai diperbaiki, di
perlebar dan diaspal.
Dengan pemeliharaan yang sungguh – sungguh maka pada tahun – tahun itu
wajah dan pemandangan Batavia dan Weltevreden menyedapkan untuk dipandang.
Tempat – tempat seperti Wilhelminapark (kompleks Mesjid Istiqlal sekarang),
Frombergspark (depanMarkas Besar Angkatan Darat sekarang). Decapark (di depan
Istana Merdeka) dan Burgemeester Bisschopplein (Taman Suropati sekarang) merupakan
tempat rekreasi yang digemari penduduk kota.
Pembentukan badan yang disebut Bouwploeg (ingat sebutan Pasar Boplo di
Gondangdia) membuka kemungkinan membangun Gondangdia baru dan Menteng Baru.
Usaha – usaha untuk mengendalikan banjir, satu masalah yang telah ada sejak
Tarumanegara, mulai dikerjakan dengan membuat saluran banjir atau banjir Kanaal.
Dengan demikian Ciliwungdan sungai Krukut dapat dikendalikan. Pengendalian banjir
itu direncanakan oleh Prof. Ir van Breen.
Pengendalian banjir yang berasil berarti pula membebaskan airkan daerah –
daerah perkampungan dan sejak tahun 1925 dimulailah usaha – usaha perbaikan
19. kampung. Dengan subsidi pemerintah sampai menjelang perang Duni II. Sejak tahun
1969 di bawah Pemerintah DKI Jakarta sekarang dimulai lagi perbaikan – perbaikan
kampung.
Betapa luas daerah banjir di Batavia dapat kita ikuti peta daerah banjir yang
terdapat di dalam karangan van Breen. Perhatikan pula peta situasi penambahan dan
pembukaan daerah bangunan baru. Perhatikan bulatan – bulatan hitam yang merupakan
tempat – tempat yng menarik bagi penduduk tatkal itu.
Catatan:
1. Berbagai segi perkembangan kota Jakarta pada awal abad 20 diuraikan di dalam buku
peringatan J.J. De Vries tersebut diatas. Lebih singkat ialah buku E.J.Enggink.
KONINGSPLEIN 1937
Seperti telah dikisahkan di atas bahwa pada tahun 1818 H.W. Daendels membuka
sebidang tanah yang diberinama Koningsplein dengan luas tanahnya 1x 0,85 Km.
Pembukaan tanah itu ternyata sangat penting dikemudian hari bagi perkembangan tata
kota, karena letaknya cocok dengan arah pemekaran kota kearah Selatan.
Tanah lapang itu, yang dewasa ini kita kenal sebagai Medan Merdeka atau
Lapangan Monas (Monumen Nasional) di kelilingi oleh empat jalan, di kanan – kirinya
tumbuh pohon – pohon yang mengesankan.Di sekitar tanah lapang itu segera dibangun
gedung- gedung baru. Bolehlah dikatakan bahwa menurut ukurannya tanah lapang itu
merupakan “Lubang” atau “paru – paru “di tengah -tengah kota.
Andaikan saja pohon – pohon yang ditanam di sekelilingnya terdiri dari pohon –
pohon beringin, maka asosiasi pikiran kita segera akan berkait dengan sebuah alun – alun
yang telah berabad –abad merupakan jantungnya kota – kota di Jawa.
Tetapi lambat laun terjadilah perubahan – perubahan yang tidak teratur dan
mengganggu keindahan tanah lapang itu. Mula –mula dipasang jalur rel KA dengan
emplassemen dan stasiun di bagian Timur. Kemudian di sudut Barat – Laut, di depan
Istana Merdeka sekarang, pada tahun 1909 dibangun kantor telepon, yang berkali – kali
ditambah dan diperluas hingga tahun 1928. Letak kantor telepon itu bolehlah dikatakan
acak – acakan. Di sebelah Timurnya pada tahun 1913 dibuat sebuah taman Decapark
dengan gedung bioskop dan lainnya. Di antara taman itu dan jalan kereta api kemudian
terdapat Taman Fromberg dalam bentuk segi tiga yang jelek.
Di sebelah Selatan Istana maskapai Kereta Api S.S mendirikan sebuah hotel
semipermanen dari kayu, karena kebutuhan fasilitas penginapan yang terasa mendesak
sejak tahun 1921. Disebelah Selatan hotel kemudian dibangun sebuah air mancur dan
ditanami pohon – pohon. Bagian lapangan itu dipergunakan untuk pasar tahunan atau
jaarmarkt yang disebut Pasar Gambir. Jadi bolehlah dikatakan semacam Jakarta Fair yang
diadakan sejak tahun 1968 yang lalu. Tetapi berbeda dengan sekarang gaya bangunan
yang didirikan di situ bergaya Indonesia berwarna – warni, dibuat dengan bambu dan
kayu dengan atap dari daun kelapa.
Bagian Timur lapangan ini sebelah Selatan Taman Fromberg diisi dengan
lapangan – lapangan olah raga dari BSC (Bataviaasche Sport Club), lapangan pacuan
kuda dari BBWS (Batavia Buitenzorg Wedloop Societeit, 1905) dan lapangan untuk
20. lomba sepeda (1936). Secara keseluruhan pemandangan di dalam maupun di luar
lapangan itu kacau dan tidak teratur.
Juga gedung – gedung di sekitar lapangan itu mengalami perubahan, rumah –
rumah lama yang megah dan luas tak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Karena
besarnya, maka banyak meminta ongkos pemeliharaan. Dari rumah tempat tinggal,
fungsinya berubah menjadi gedung perusahaan dan gedung pemerintahan.
Di Medan Merdeka Barat, sebelah Selatan Gedung Museum pada tahun 1928
dibangun gedung Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Hukum).Sekarang dipakai oleh
Departemen Pertahanan dan Keamanan. Di sebelah Utaranya dibangun gedung untuk
kantor – kantor maskapai.pelayaran Nederland dan Rotterdamche Liyod. Juga gedung
untuk siaran radio NIROM, kini masih tetap gedung RRI, yang dibuat oleh arsitek
Blankenberg.
Di Medan Merdeka Selatan, rumah – rumah kuno dipergunakan untuk Gubernur
Jawa Barat dahulu, Dewan Rakyat Gemeente Batavia dan rumah dinas dari Direktur
Javaasche Bank. Pada tahun 1937 di ujung sebelah Barat Medan Merdeka Selatan berdiri
gedung Kolonial Petroleum Verkoop Maatschappij, yang dilihat dari bentuk gedung
maupun letaknya kurang tepat.
diMedan Merdeka Timur, kecuali Willemskerk (Gereja Immanuel sekarang )
terdapat gedung KPM, dibangun pada tahun 1916 dan menurut gaya bangunannya
bolehlah disebut bercorak dekoratif. Gedung baru BPM (Bataafche Petroleum
Maatschappij) dengan menaranya dibangun pada tahun 1938.
Perhatikan peta dasar rencana itu. Ditengah – tengah Medan Merdeka akan
dibangun Gedung Dewan Kota, yang akan terletak pada persilangan perpanjangan Jalan
Museum dan Jalan Secretarie (Jalan Veteran V). Pertimbangannya ialah untuk
menjadikan Jalan Museum sebagai Jalan utama yang dihubungkan lapangan itu dengan
daerah Petojo, yang sejak tahun 1918 menjadi pangkal perkembangan kota kearah Barat.
Letak gerbang Dewan Kota yang menghadap ke Utara dan disambungkan
dengan Jalan Sekretarie dimaksudkan untuk mengimbangi kantor telepon, yang tidak
mungkin lagi dibuang begitu saja, dengan sebuah jalan lebar dan di seberang Timurnya
akan dibangun kelompok gedung – gedung untuk kepentingan umum. Disebelah selatan
itu dibuatlah jalan silang yang mengarah dari Timur ke Barat.
Pada bagian Selatan Dewan Kota itu dibuat sebuah alun – alun berukuran 500 x
500 m, yang dikelilingi dengan pohon – pohon beringin.
Catatan:
1. Tentang rencana ini periksa karangan – karangan di dalam Locale Techniek.
(1937), juga Karsten, (1937)
H.A. Breuning (1954): 139 – 147.
KEBAYORAN 1949
Pecahnya Perang Dunia II tidak memungkinkan rencana penggunaan
Koningsplein (Lapangan Merdeka) dari tahun 1937 itu terlaksana, tetapi adanya rencana
itu sendiri dalam rangkaian peristiwa pemekaran kota penting artinya, terutama karena
timbulnya pemikiran membangun kota, dengan berencana. Memang sejak semula
21. berdirinya Batavia, kota lama itu merupakan kota yang dibangun bukan sebagai kota
yang tumbuh dengan sendirinya.
Tetapi sejak abad – 18 seperti telah diuraikan melalui peta tahun 1940 di atas,
kota ini tumbuh dan berkembang tidak dengan teratur. Hanya karena adanya Molenvliet
(terusan ditengah – tengah Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk sekarang) dan
pemindahan kota kearah Selatan oleh H.W. Daendels pemekaran kota mengikuti
perubahan itu. Penting artinya ialah dibuatnya Waterlooplein (Lapangan Banteng) dan
koningsplein (Lapangan Merdeka) karena secara kebetulan sekali “paru – paru kota” itu
dewasa ini menjadi pusat – pusat kegiatan kota. Sebagai orientasi bagi pembaca cobalah
dibayangkan gedung – gedung dan bangunan- bangunan apakah dewasa ini berada
disekitar kedua lapangan itu dan fungsinya bagi masyarakat kota Jakarta.
Kecuali faktor – faktor yang kebetulan timbulnya itu ada juga faktor – faktor
lain yang mempengaruhi pemekaran kota yaitu karena pertumbuhan ekonomi yang pesat
sejak akhir abad – 19. Perusahaan – perusahaan perkebunan asing yang besar, bank ,
perusahaan pertambangan dan pelayanan dan usaha – usaha dagang lainnya memerlukan
bangunan – bangunan, baik untuk kediaman maupun untuk kantor – kantornya.
Pertimbangan – pertimbangan itulah yang menyebabkan timbulnya gagasan –
gagasan pembukaan tanah di sebelah Selatan kira – kira 8 Km dari lapangan Merdeka.
Wilayah itu sebelumnya telah disurvey dengan maksud untuk membuat lapangan terbang
Internasional yang baru untuk menggantikan lapangan terbang Kemayoran (didirikan
menjelang perang Dunia II) yang ternyata sebagai penghalang pemekaran kota ke arah
Timur. Wilayah yang dimaksud ialah tanah Kebayoran seluas 730 Ha, yang dapat
dihubungkan dengan Jalan raya bagi kendaraan bermotor. Daerah yang diroyeksi bagi
perumahan itu bersinggungan tepinya dengan jalan Kereta Api Tanah Abang Serpong,
yang dapat mempermudah pengangkutan bahan – bahan bangunan. Daerah itu tenyata
tidak padat penduduknya, sebagian besar ditanami pohon buah – buahan.Kemungkinan –
kemungkinan bagi penyediaan air minum, aliran listrik dan saluran – saluran air buangan
dipenuhi wilayah itu sehingga memenuhi syarat – syarat bagi pembentukan kota baru.
Rencana pertama pembangunan kota itu diserahkan kepada M. Soesilo seorang
Insinyur praktek pada Centraal Planologisch Bureau (Biro Pusat Planologi) yang berhasil
membuat kerangka rencana penggunaan Kebayoran. Sejak itu timbul istilah Kota Satelit
Kebayoran, yang sesungguhnya kurang tepat. Menurut tata – kota sebuah kota satelit
seharusnya terpisah 15 KM dari kota induknya, dan direncanakan dapat lepas sebagai
kesatuan yang dapat berdiri sendiri. Keadaan keperluan yang mendesak agaknya
membuat perencanaan kota Kebayoran dengan perkembangan penduduknya menjadi
“beban” kota induknya. Salah satu hal yang kelihatan setiap hari ialah tumpahnya
penduduk Kebayoran dengan bermacam kendaraan pagi hari yang menuju lapangan
Merdeka dan sebaliknya di siang maupun disore hari menuju Kebayoran kembali.
Perhatikan juga rencana jaringan jalan – jalan seperti nampak pada peta rencana
kota itu. Jalan – jalan yang direncanakan itu melingkar seperti jaringan – jaringan otak
nampaknya. Dapatkah Saudara pembaca di Kebayoran menentukan titik rumah tempat
tinggalnya pada peta itu dan menghadap kemanakah rumah Saudara?.
Sedikit data – data mengenai hal – hal yang dikerjakan sebelum wilayah itu
menjadi kota baru dapatlah dikemukakan di sini. Pada tanggal 19 Juli 1948 rencana
pembangunan kota baru dibicarakan dalam rapat Panitia Perumahan Pusat. Tanggal 5
Agustus 1948 rencana itu pada tanggal 21 September 1948. 1 Desember 1948 dapat
22. dimulai pembayaran ganti rugi kepada penduduk 700.000 terdiri dari 26 macam pohon
buah – buahan harus diganti. 1688 bangunan rumah, kios dan kandang – kandang ternak
harus disingkirkan. Bulan Januari 1949 diganti rugi kepada penduduk telah selesai
dibayarkan, semuanya berjumlah 15 juta gulden.
Pada bulan Februari 1949 rencana kota Kebayoran selesai Pembuatan jalan –
jalan dan persiapan tanah – tanah perumahan mulai berjalan dengan sistematis. Pada
tanggal 18 Maret 1949 dimulailah peletakan batu pertama. Setahun kemudian terjadilah
perubahan sebagai berikut:
150 Ha. Tanah untuk perumahan telah dibuka;
1.000.000 m2 jalur jalan tanah telah disiapkan;
42 Km luas jalan telah dikeraskan dengan aspal;
17Km saluran pipa – pipa air minum telah dipasang;
7. titik sumur bor dibuat;
2.050 unit perumahan telah selesai dibangun dari rencana sebanyak 2.700 unit rumah
kediaman. Tanah seluas 730 Ha itu, dibagi untuk keperluan perumahan rakyat. (152 Ha),
perumahan sedang (69,8 Ha) Villa (55,1 Ha) bangunan – bangunan istimewa (75,2 Ha),
Flat (6,6 Ha) Toko – toko dan kios(17 Ha), Industri (20,9 Ha) Taman – taman(118,4 Ha)
jalan – jalan (181,5 Ha) dan sawah – sawah pinggiran (33Ha) Semua itu dimaksudkan
untuk memberi tempat kediaman bagi 100.000 penduduk satu jumlah yang tidak sesuai
dengan pertambahan penduduk Jakarta di kemudian hari.
Catatan:
Kepustakaan tentang pembangunan kota baru Kebayoran ialah Kebayoran (1950) yang
berisi karangan – karangan dari Ir.E.W.H Clason tentang asal mula dan perkembangan
kota itu ; Prof. Ir Jac P.Thijase tentang tatakota; Ir van Romondt mengenai kemungkinan
membuat kotabaru Kebayoran sebagai Kota Jawa yang akan datang.
M. Soesilo menanggapi gagasan Ir.V.R. van Romondt tersebut. Publikasi bahasa
Indonesia diterbitkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga (1953) Gagasan
mengenai bentuk dan sifat pemerintahannya, yang ternyata tak dapat terlaksana,
diuraikan oleh Jac.Zwier (1951).
JAKARTA 1951 – 1971
Kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Jakarta dan kedudukan
Jakarta sebagai Ibukota, mengakibatkan makin meningkatnya kebutuhan akan kantor –
kantor dan perumahan pegawai. Selain itu jumlah penduduknyapun makin bertambah
cepat dengan adanya proses urbanisasi, karena kecuali sebagai pusat pemerintahan
Jakarta berkembang sebagai kota Industri dan perdagangan. Keadaan itu memberi
harapan pada penduduk yang berdatangan dari desa – desa untuk mencari lapangan
pekerjaan baru.
Sebagai akibatnya maka pada awal tahun 1952 tercatat adanya pembukaan
taksiran waktu itu saja terdapat kurang lebih 30.000 gubuk liar yang tersebar si seluruh
Jakarta. Mereka itu kemudian dikenal sebagai masyarakat gelandangan.
Berhubung dengan itu maka suatu perencanaan perkembangan kota yang dapat
dilaksanakan dengan cepat, tepat dan teratur dirasakan keperluannya. Pemerintah
23. kotapraja melihat bahwa persoalan dan penanggulangan masalahnya jelas tidak dapat
diselesaikan sendiri, sehingga Walikota Jakarta Raya tatkala Itu mengeluarkan ajakannya
kepada penduduk agar bekerja bahu – membahu. Untuk membangun Ibukota ini supaya
benar - benar dapat menjadi suatu medan hidup yang aman dan tentram bagi semua
lapisan masyarakat. Di katakannya pula, bahwa “kelainan bangsa dan kebangsaan,
berbeda logat dan bahasa menjadi penghalang untuk tujuan itu.”
Ajakan Walikota memang beralasan, karena pada waktu itu terdapat 46 macam
bangsa asing yang berdiam di Jakarta, belum terhitung suku bangsa Indonesia sendiri.
Berapakah jumlah pendatang – pendatang baru di Jakarta? Menurut catatan pada masa
1948 – 1951 terdapat surplus migrasi rata – rata 118.586 setiap tahunnya. Rencana Induk
DKI Jakarta 1965 – 1985 menghitung, rata – rata pertambahan penduduk Jakarta setiap
tahunnya ialah 124 000 jiwa, separo ialah para pendatang baru.
Pada tahun 1948 jumlah penduduk Jakarta ialah 1.174.252, tahun 1953 menjadi
1.845.592, sepuluh tahun kemudian 1963 menjadi 3.100.000 lebih dan tahun 1970 sudah
4.200.000 penduduknya.
Untuk menanggulangi itu, maka kita dapat memahamkan peta dari tahun 1951
(diman dicantumkan luas lingkungan bangunan menjadi 5120 Ha. Yang berarti dalam
waktu kurang lebih tiga abad telah mengalami perlipatan 53 kali, sedangkan
penduduknya mengalami perlipatan hampir 61 kali (pada akhir abad -17 jumlah
penduduk Jakarta hanya 32.000 jiwa).
Pada peta itu nampak di sudut Selatan bergantung seperti sebuah jantung
wilayah Kebayoran Baru, yang masih terus membangun. Sejalan dengan pembukaan
tanah Kebayoran itu, di lain bagian kota mulai dibangun lingkungan bangunan di daerah
Sentiong Besar Wetan, Petojo Centrum, Kompleks Tanjung Karang. Kemudian muncul
daerah Slipi Selatan, Jembatan Duren, Sentiong B, dan kompleks gedung – gedung negeri
di Kebon Sereh Jatinegara.
Syarat utama untuk mendirikan gedung –gedung di wilayah yang direncanakan
itu ialah tersedianya tanah. Tanah – tanah di Batavia dulu menjadi milik tuan – tuan tanah
dan perlu diadakan pembebasan dengan jalan dibeli oleh pemerintah Kota Praja. Enam
belas bekas tanah partikelir, dan Klender sampai Muara Angke, seluas 17537 Ha. Harus
dibeli dulu. Di samping itu ada tanah – tanah yang berstatus lain seluas 18475 Ha.
Menurut faham tata – kota modern tentang luas lingkungan kediaman di dalam
kota, maka untuk tiap – tiap 100 orang penduduk diperlukan 1 Ha.tanah, sehingga untuk
jumlah penduduk pada tahun 1951 dengan demikian harus diperluas dengan 400% agar
sesuai dengan jumlah penduduk kota.
Sebuah gagasan pada tahun 1953memproyeksi luas lingkungan bangunan di
Jakarta yang akan datang menjadi 16.200 Ha. Dan yang akan dibatasi oleh suatu
lingkaran jalan. Lingkaran jalan itu dimaksudkan sebagai perluasan kota.
Dari gagasan itu yang penting ialah realisasi lingkaran jalan yang kini dikenal
sebagai Jakarta by- Pass. Bila diperhatikan peta 22 maka batas lingkaran jalan itu berbeda
dengan keadaannya sekarang, yaitu pada bagian sebelah Timur.
Sejak tahun 1959 perkembangan Ibukota menjadi bagian politik mercu suar yang
bertujuan membuat RI sebagai inti dari The New Emerging Forces (Kekuatan – kekuatan
Baru yang sedang tumbuh) di dunia. Sukses – sukses sejak Komprensi Asia Afrika di
Bandung (1955) menjadikan Jakarta sebagai pusat penyelenggaraan Asian Games IV
24. (Pesta Olah Raga Se Asia) pada tahun 1962, kemudian menyusul Games Of The New
Emerging Forces (GANEFO) pada tahun 1963.
Semua itu disertai oleh pembangunan jalan – jalan besar, hotel – hotel mewah,
Toko – toko serba ada, Jembatan Semanggi dan kompleks Asian Games di Senayan yang
memang patut mendapat pujian dari sudut arsitektur dan prestasi kerja. Tugu Nasional di
tengah – tengah Medan Merdeka, di mana bagian bawahnya akan dipergunakan sebagai
Museum Sejarah Tugu Nasional menjulang tinggi mendahului cita – cita yang ingin
meninggi pula.
Gedung CONEFO (Coference of the New Emerging Forces) yang megah dan
congkak direncanakan juga disebelah Barat Kompleks Asian Games dan kini
dipergunakan bagi sidang – sidang DPR – GR dan MPR, meskipun belum seluruh
rencana gedung itu selesai.
Pecahnya G.30.S/PKI pada tahun 1965 hanya mampu menghentikan untuk
sementara gerak perkembangan kota Jakarta yang harus melebar itu. Ditengah – tengah
kesulitan ekonomi – keuangan dan sosial politik disahkkan suatu rencana Induk (Master –
Plan) daerah Khusus Ibukota 1965 – 1985, pada tanggal 3 Mei 1967 oleh DPR – GR DKI
Jakarta.
Mengenai bentuk dan arah perkembangan kota Jakarta Rencana Induk itu
menentukan agar terjadi pemekaran kota yang seimbang ke segala arah. Titik – pancar
perkembangan wilayah kota ialah Tugu Nasional di tengah – tengah Medan Merdeka
yang bersejarah itu. (Periksa uraian mengenai Koningsplein- plan di muka ). Radius
pancar perkembangan wilayah kota yang merata ini terhadap titik pancarnya Induk juga
memuat kekurangan – kekurangan yang terdapat di Jakarta di segala bidang, dari mulai
kurangnya bangunan perumahan jalan – jalan yang dalam keadaan rusak, kurangnya air
bersih, bahaya banjir, macetnya transport, telepon dan prasarana lainnya. Untuk tiga
tahun mendatang ditentukan pola rehabilitasi pembangunan 3 tahun DKI Jakarta (1967 –
1969) di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin dan DPR- GR.
Bila diperbandingkan dengan kebijaksanaan yang ditempuh pemerintah DKI
dalam periode kebijaksanaan Mercu Suar (1959 – 1965) dan periode kebijaksanaan
berdasarkan Rencana Induk, maka nampak perbedaan sasaran – sasaran pembangunan.
Terdorong oleh perhitungan – perhitungan politik mercusuar maka sasaran
pembangunan berat sebelah di dalam pelaksanaannya. Hanya meliputi jalan – jalan
protokol dan gedung – gedung mewah tanpa. Perencanaan kota secara menyeluruh.
Kurang diperhatikan kebutuhan rakyat kecil dan usaha mengajak mereka menyokong
pembangunan. Pada tahun 1961 seorang pejabat tinggi DKI mencatat dalam buku
disertasinya, bahwa orang –orang di Jakarta “lebih suka mementingkan revolusi dari pada
berkota secara teratur”.
Rencana Induk DKI dan Pola Rehabilitasi pembangunan 3 Tahun DKI
menyebutnya “filsafat” pembangunan kota, yaitu melindungi serta menampung kegiatan
manusia sebagai akibat dari tuntutan peradabannya. Perencanaan haruslah bernafaskan
suatu keseimbangan harmonis antara kehidupan sosial dan ekonomi dengan bentuk fisik
kota.
Dalam periode ini sekarang baru berjalan empat tahun sungguh banyak yang
telah berubah di Jakarta “Wajah Jakarta berubah tiap tiga bulan sekali” kata seorang di
jalan. Ketertiban, pengaturan bimbingan dan pimpinan Pemerintah DKI terasa sekali,
25. yang tidak lepas dari tujuan kesejahteraan masyarakat itu sendiri, yang dirumuskan
sebagai berikut:
a. Hidup tenang dan tentram ( Perlindungan moril dan materil)
b. Keleluasaan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
c. Terjamin tempat kediaman yang aman dan sehat.
d. Terjamin lapangan kerja atau mata pencaharian.
e. Terdapat tempat pengembangan budaya dan peradaban.
f. Tersedia tempat pelepas ketenangan (Rekreasi).
g. Adanya pencegahan terhadap gangguan bencana.
Itulah dasar – dasar yang menyertai pola perkembangan kota Jakarta sampai tahun 1985.
Kepustakaan tentang Jakarta setelah kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia a.I
Kementerian Penerangan. (1952).
Kotapradja Djakarta Raya. (1953).
Khusus berhubungan dengan perubahan – perubahan pemerintahan serta nama wilayah
pemerintahan periksa karangan The Liang Gie (1958, 1967 – 1968).
Profil suku – bangsa di Jakarta berdasarkan perhitungan jumlah pendatang - pendatang
baru dapat kita baca pada hasil penelitian H.J. Heeren (1955); perbandingan hasil Sensus
1930 dan 1961 terlihat dalam studi yang mendalam dari Lance Castles (1967). Tentang
Rencana Induk (Master – Plan) DKI Jakarta 1965 – 1985 lihat penerbitan. Lembaran
Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 38 Tahun 1967. Mengenai Penerimaan Progress –
Report dan Pola Rehabilitasi pembangunan 3 Tahun DKI Jakarta (1967 – 1969) lihat
Lembaga Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 12 Tahun 1967.