1. KONFLIK YANG ADA DI INDONESIA
1. Konflik Aceh
Konflik vertikal Aceh punya akar sejarah panjang.[1] Akar konflik berkait erat dengan hubungan
kekuasaan antara pemerintah pusat dengan rakyat dan elit sosial Aceh. Masalah yang terjadi di
Aceh terutama bersifat ekonomi-politik dan sosiologi-politik ketimbang kesediaan rakyat Aceh
bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aceh adalah wilayah yang paling bersemangat untuk berdiri dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Tahun 1947, rakyat Aceh menyumbangkan dua pesawat komersial kepada
pemerintah pusat. Selain itu, mereka juga menyumbang sejumlah dana operasional bagi negara
muda, serta pemberian izin pada pemerintah pusat untuk menggunakan tanah Aceh sebagai air
base penerbangan diplomasi Indonesia ke luar negeri guna mencari dukungan dunia internasional
bagi kemerdekaan Indonesia.[2] Bahkan, dua bulan setelah kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, rakyat Aceh membuat maklumat berbunyi berdiri di belakang maha pemimpin
Soekarno.[3] Maklumat ini diantaranya ditandatangani Teungku Daud Beureueh, tokoh
karismatik Aceh. Secara historis pula, kehendak Aceh berdiri di dalam Indonesia telah berproses
lama. Antaranya lewat interaksi Sarekat Islam yang membuka cabangnya di Aceh tahun 1916,
Insulinde tahun 1918, Sarekat Aceh tahun 1918, berdirinya sekolah-sekolah Islam formalmodern sejak 1919, pengiriman pemuda-pemuda Aceh ke sekolah Muhammadiyah di Jawa, dan
berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang progresif tahun 1939. Seluruh proses
ini, intinya, mendorong rakyat Aceh familiar dengan konteks sosial Indonesia sehingga
melahirkan dukungan politik dan sosial bagi eksistensi negara Republik Indonesia.[4]
Masalah mulai muncul sejak hadirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Sumatera. Pasca penangkapan Sukarno-Hatta oleh Belanda, pejabat PDRI – di bawah tekanan
Belanda – mengangkat dua Gubernur Militer. Salah satu dari mereka adalah Teungku Daud
Beureueh, yang memerintah Daerah Militer Istimewa Aceh, Langkat, dan Tanah Karo untuk
kemudian dibentuk pula Provinsi Aceh dengan Teungku Daud Beureueh selaku gubernurnya.
Selepas PDRI, berlaku negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Namun, RIS tidak memasukkan
Aceh sebagai sebuah provinsi mandiri seperti PDRI dahulu ke dalam konstitusinya. Aceh hanya
dijadikan salah satu karesidenan, bagian dari provinsi Sumatera Utara. Perubahan ini mendorong
munculnya kekecewaan di kalangan tokoh sosial Aceh, sehingga menganggapnya sebagai bentuk
kurang amanahnya pemimpin Indonesia atas Aceh. Sebagai reaksi politik, Teungku Daud
Beureueh terpaksa memproklamasikan daerah Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia
tahun 1953. Negara Islam Indonesia ini sebelumnya telah diproklamasikan Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo tahun 1948. Pemisahan yang dilakukan Aceh adalah demi mempertahankan
keunikannya. Konflik elit politik nasional di Aceh usai tanggal 26 Mei 1959 saat Aceh diberi
status Daerah Istimewa dengan otonomi luas, utamanya dalam bidang adat, agama, dan
pendidikan.[5]
2. Selain kekecewaan pada pemerintah pusat, konflik juga muncul akibat marjinalisasi identitas
kultural masyarakat Aceh. Sebagai komunitas politik dan sosial otonom pra kolonial, Aceh
punya konsep khas tentang budaya mereka (terkait agama Islam) yang berkembang sejak masa
kesultanan Samudera Pasai. Identifikasi kultural yang lekat pada agama Islam mendorong
negosiasi politik antara pimpinan Aceh dengan pemerintah awal Indonesia untuk
menyelenggarakan syariat Islam di wilayah Aceh.
. Konflik Papua
Akar konflik vertikal Papua relatif mirip Aceh, terutama karakter diametralnya dengan
pemerintah pusat. Papua masuk ke wilayah Indonesia pada 1 Mei 1963 berdasarkan kesepakatan
yang ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan Belanda di New York pada 15 Agustus
1962. Kedaulatan Indonesia atas Papua kembali ditegaskan lewat Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat) yang berlangsung pada Juli-Agustus 1969. Sejak saat itu Papua terus dilanda gejolak
separatisme hingga kini.
Jika di Aceh ada GAM, maka di Papua ada OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang berdiri tahun
1964.[11] Manuver awal OPM terjadi tahun 1965 di Ransiki, Manokwari, tatkala Indonesia
tengah berada dalam krisis politik 1965-1966. Aktitivitas umum OPM adalah manuver-manuver
sporadis untuk menyerang pos-pos polisi dan tentara, sabotase sarana vital dan strategis seperti
Freeport, menyerang transmigran, atau penghasutan massa. Esther Heidbuchel menyebutkan,
konflik Papua dapat dirunut kepada faktor-faktor berikut :[12]
1. Kurang mulusnya pelaksanaan Pepera yang pernah diadakan Indonesia tatkala
mengambil alih Papua dari Belanda,
2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang dilakukan pasukan Indonesia, utamanya
dalam penegakkan hukum atas mereka,
3. Pengabaikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat asli Papua. Ini termasuk marginalisasi
sosial ekonomi mereka serta terbentuknya stereotip yang mendiskreditkan orang
Papua.[13]
Dalam perkembangan kemudian, masih menurut Heidbuchel, tersedia tiga jalan yang
penyelesaian konflik. Jalan pertama adalah Merdeka, yang dimotori OPM. Komposisi mereka
yang pro kemerdekaan terdiri atas rakyat biasa berpendidikan rendah, OPM, dan sebagian kecil
elit terdidik Papua. Jalan kedua, pro Indonesia yang kini menduduki status quo. Kelompok ini
didukung kaum migran (orang-orang dari luar Papua) yang menetap di Papua, sebagian elit
terdidik Papua, dan sebagian elit pemerintah pusat. Jalan ketiga adalah Otonomi Khusus, yang
didukung mayoritas elit Papua, mayoritas elit pemerintah pusat, komunitas-komunitas agama,
dan LSM. .
Konflik Maluku
3. Hasbollah Toisuta menyatakan, dalam hal varian konfliknya, konflik Maluku berbeda dengan
konflik Aceh. Pertama, di Maluku terdapat konflik vertikal bernuansa agama. Kedua, di Maluku
juga terdapat konflik vertikal bernuansa ideologi yang direpresentasikan konflik RMS versus
pemerintah pusat.[19] Konflik yang disoroti dalam tulisan ini adalah jenis yang kedua, konflik
vertikal vis a vis pemerintah pusat.
Transisi politik di negara manapun, rentan bagi menguatnya kecenderungan segregasi atau dalam
konteks negara kesatuan, separatisme. Ini terjadi di Maluku pasca kemerdekaan Republik
Indonesia tahun 1945. Pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi Kerajaan Belanda
menyerahkan kedaulatan wilayah kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pemerintahan RIS tidak bertahan lama melainkan hanya beberapa minggu saja. Namun, efeknya
berdampak panjang. Oleh pendukung persatuan Indonesia, RIS dibaca sebagai strategi Belanda
untuk terus berkuasa di Indonesia dengan cara lama: Divide et Impera. Kendati telah berbentuk
RIS, negara-negara yang tergabung ke dalamnya tetap memiliki kecenderungan kuat untuk
memasukkan diri ke dalam NKRI kecuali negara Sumatera Timur dan Indonesia Timur.
Di negara Indonesia Timur, banyak warga Maluku awalnya terintegrasi baik dengan administrasi
kolonial Belanda. Mereka menikmati status quo yang menguntungkan, yang jika terjadi
peralihan rezim, maka keuntungan relatif tersebut diprediksi akan menghilang. Selain itu,
pimpinan negara Indonesia Timur menganggap pemerintah Republik Indonesia didominasi kaum
Muslim, Jawa, dan tokoh-tokoh yang mereka pandang berhaluan politik kiri.[20] Di Indonesia
Timur inilah kemudian terjadi bentrokan antara serdadu kolonial dengan satuan-satuan Republik
di Makassar. Pemerintahan RIS Indonesia Timur dicurigai sebagai dalang bentrokan. Pada bulan
Mei dibentuklah kabinet baru Indonesia Timur dengan tujuan membubarkan RIS dan
meleburkan negara-negara yang tergabung di dalamnya ke dalam Republik Indonesia.
Sebelumnya, tanggal 25 April 1950, dr. C.R.S. Soumokil mempromosikan berdirinya Republik
Maluku Selatan. Proklamasi Kemerdekaan Maluku Selatan ditandatangani J.H. Manuhutu dan A.
Wairisal.[21] Pemerintah segera melakukan serangan politik dan militer kepada negara sempalan
ini dan menguasai keadaan. Karena rekannya (Indonesia Timur) lumpuh, Sumatera Timur tidak
punya pilihan kecuali bergabung ke dalam Republik Indonesia.[22] Sayangnya, anasir RMS
tidak begitu saja menerima kenyataan. Banyak di antara mereka melarikan diri ke negeri Belanda
dan Eropa Barat lain.
Ruth Saiya mencatat, dukungan atas RMS tahun 1950 silam datang dari lintas komunitas agama.
Namun, secara keseluruhan dukungan tersebut hanya berasal dari sebagian kecil masyarakat
Maluku saja.[23] Bagi pendukungnya, RMS adalah bentuk nasionalisme Maluku saat Republik
Indonesia dianggap hendak dijadikan negara berasas Islam. Bagi para pendukungnya, RMS
bukan Islamis juga bukan Kristenis sebab di Maluku hubungan Kristen dan Islam adalah
hubungan persaudaraan.[24] Jika pernyataan-pernyataan sebelumnya dianggap benar, maka
sesungguhnya kemunculan RMS merupakan bentuk kegamangan para elit politik lokal dalam
menghadapi transisi politik yang cukup cepat pasca kemerdekaan Indonesia. RMS adalah konflik
sebagian kecil elit lokal Maluku dalam menghadapi sikap-sikap pemerintah pusat.
4. Puncak revivalisasi RMS (dalam bentuk baru) terjadi saat transisi politik 1998-1999 dengan
munculnya organisasi Front Kedaulatan Rakyat Maluku (FKM) yang dimoderatori Alex
Manuputty. FKM kerap dipautkan dengan RMS atau paling tidak, neo-RMS. Oleh para
provokator, RMS ditambahi embel-embel agama tertentu sehingga situasi politik lokal dan
nasional mudah memanas.
Deklarasi Malino II untuk Maluku ditandatangani 11–12 Pebruari 2002 oleh tiga puluh lima
perwakilan Islam, tiga puluh lima pejabat pemerintah beragama Kristen, pemimpin politik,
kepala desa, serta tokoh-tokoh komunitas Kristen dan Islam. Dalam butir ke-3 deklarasi, para
penandatangan sepakat untuk menolak dan melawan setiap jenis gerakan separatis, termasuk
aspirasi pembentukan Republik Maluku Selatan.[25] Demikianlah, secara antropologis, gerakan
RMS ditutup oleh masyarakat Maluku sendiri. Bahkan, pemerintah Republik Indonesia secara
serius menyikapi kesepakatan-kesepakatan yang dibuat dalam Deklarasi Malino II dengan
mengeluarkan Keppres No. 38 tahun 2002 tentang Pembentukan Tim Penyelidik Independen
Nasional untuk Konflik Maluku tanggal 6 Juni 2002 yang ditandatangani Presiden Megawati
Soekarnoputri
Tim Penyelidik bertugas mencari keterkaitan antar berbagai peristiwa dan issue yang diduga
menjadi penyebab kerusuhan Maluku, meliputi: Peristiwa 19 Januari 1999; issue tentang
Republik Maluku Selatan; issue Kristen RMS; issue Laskar Kristus; issue Forum Kedaulatan
Maluku; issue Laskar Jihad; issue pengalihan agama secara paksa; issue tentang pelanggaran hak
asasi manusia, dan; berbagai peristiwa pelanggaran hukum yang terkait erat dengan kerusuhan
Maluku.[26] Tim tersebut beranggotakan empat belas orang lintas agama dan suku bangsa,
menjalankan tugasnya di provinsi Maluku bekerja sama dengan Gubernur Maluku.
Di awal kemunculannya, RMS lebih merupakan kegamangan elit Maluku Selatan akan privileseprivilese yang mereka terima (status quo) tatkala Belanda berkuasa, serta tatkala Negara
Indonesia Timur beroperasi singkat. Di masa Indonesia merdeka, terlebih pasca transisi politik
1998-1999, isu RMS merupakan katup lepasan resahnya warga Maluku Selatan atas fenomena
konflik yang terus berlarut di Maluku. RMS merupakan isu faktual, yang kendati kecil kekuatan
politik riilnya serta minim dukungan, tetapi karena di-blow-up oleh pemberitaan media massa
jadi seolah-olah besar. Dengan demikian, perlu kerjasama yang terpadu antara pemerintah,
tokoh-tokoh Maluku, dan kalangan media massa untuk melokalisir isu RMS hingga ke tataran
yang paling rendah.
Contoh upaya RMS melakukan blow-up isu tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional tanggal 29 Juni 2007 di Lapangan Merdeka,
Ambon.[27] Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa Harganas atau Insiden Cakalele. Sekelompok
penari berhasil mengelabui petugas keamanan lalu menghadirkan tari Cakalele disertai
pengibaran bendera Benang Raja, simbol perjuangan Republik Maluku Selatan, di depan
Presiden. Seperti telah ditebak, segera setelah peristiwa tersebut, media massa mengkonsumsinya
sebagai berita laris-manis sehingga kembali RMS mendapat perhatian nasional dan
mempertahankan eksistensinya sebagai wacana politik.