Makalah ini membahas tentang hakim, mahkum fih, dan mahkum alaih. Hakim adalah Allah sebagai pembuat hukum syara' secara hakiki. Mahkum fih adalah perbuatan manusia sebagai objek hukum. Mahkum alaih adalah mukallaf yang harus memenuhi syarat kemampuan memahami hukum dan keahlian untuk dituntut.
1. 1
MAKALAH
Hakim,Mahkum Fih, Mahkum’Alaih
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fqih
Semester IV
Dosen pembimbing:
Marsikhan Manshur, SH. M.Pd.I
Oleh:
Ade Mufti Kholil
Asrorul Mufidah
Mauludin Afif
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUNAN DRAJAT
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM
KRANJI PACIRAN LAMONGAN
2013
2. 2
KATA PENGANTAR
Puji sukur kami panjatkan kehadirat Alloh SWT,atas limpahan rahmat dan
karunianya yang begitu besar,sehinga kami dapat menyelesaikan “makalah” ini pada tepat
waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan baginda Nabi Muhammad SAW yang telah mencerahkan dunia dari kegelapan.
Kami sadar bahwa tulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, penulis makalah ini
dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Usul Fiqih di STAIDRA Kranji Paciran
Lamongan. untuk itu kami selalu membuka diri akan kritik dan saran yang membangun bagi
para pembaca untuk melengkapi makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang
membacanya dan dapat menambah pengetahuan didalam lembaran ini.
Lamongan, 28 April 2013
Ttd
Ade Mufti kholil
3. 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………...1
C. Tujuan Masalah………………………………………………………………...1
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim………………………………………………………………2
B. Pengertian Mahkum Fih dan syaratnya………………………………………...3
C. Pengertian Mahkum’Alaih dan syaratnya……………………………………..4
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpilan……………………………………………………………………...7
B. Kritik dan Saran…………………………………………………………….….7
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….8
4. 4
BAB I
PENDAHULU
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang hukum sayara adalah salah satu drai beberapa objek kajian ushul
fiqih. Bahkan tujuan utama dari studi usul fiqih adalah bagai man menyimpilkan hukum syara
dari sumber-semberny. Oleh karena itu begitu penting kedudukan hukum syara dalam kajian
ini, maka lebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara itu sendiri serta berbagai
macanya.
Istilah hukum syara bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat islam. Berbicara
tentang hukum syara melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan
denganya, seperti pembicaraan tentang hakim (pembuat hukum), al-mahkum fih (perbuatan
manusia) dan tentang al-mahkum aliah (mukalaf). Oleh karena itu pada BAB II ini akan
dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Hakim?
2. Apa pengertian Mahkum fih dan bagai mana syarat-syaratny?
3. Apa pengertia Mahkum alaih dan bagaimana syarat-syaratnya?
C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan pengertian hakim
2. Menjelaskan pengertian mahkum fih dan syaratnya
3. Menjelaskan pengertian mahkum alaih dan syaratnya
5. 5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertia Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hokum”. Dalam istilah
fiqih kata hakim juga dipakai sebagai orang yang memutuskan hokum dipengadilan yang
sama maknanya dengan qadhi. Dalam kajian ushul fiqih, kata hakim berarti pihak penentu
dan pembuat hokum syariat secara hakiki.
Ulama ushul fiqih sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari
hokum syariat adalah Allah. Hal itu ditunjukan oleh Al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 57:
…..Menetapkan hokum hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi
keputusan yang paling baik. (QS. Al-An’am:57).1
Yang menjadi perbedaan dikalangan para ulama apakah hokum-hukum Allah atas
perbuatan mukalaf itu mungkin untuk diketahui oleh akal secara langsung tanpa perantara
para Rasul Allah dan kitab-kitabNya. Artnya apakah orang yang tidak pernah mendengar
dakwah para Rasul itu mampu mengetahuai huku-huku Allah atas perbuatannya cukup
dengan rasio,tanpa perantara para rasul dan kitab-kitab Allah atau tidak?memang tidak ada
perbedaan pendapat bahwa al Hakim adalah Allah, tetapi perbedaan pendapat itu pada cara
mengetahui hokum-hukum Allah.
Dalam hal ini par ulama terbagi menjadi tiga mazhab:
1. Mazhab asyariyah yaitu pengikut abu Hasan al Asy’ariy: mengemukakan bahwa akal
tidak bisa mengetahui hokum-hukum Allah atas perbuatan mukalaf kecualai dengan
perantara para Rasul dan kitab-kitab Allah. Mazhab ini dikuatkan oleh firman Allah
SWT:
Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul(QS:al-Israa:15)
2. Mazhab Mu’tazilah,pengikut Washil bin’Athaa’: mengemukakan bahwa akal dapat
menentukan baik dan buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya Rasul dan kitab-
kitabnya.
3. Mazhab Maturidiyah sifatnya netral moderat,mengunakn akal tidak meninggalkan
Nash.2
1
.Satria Efendi.ushul fiqih,cetakan pertam(Jakarta:kencana,2005),hal.68
2
.abdul wahab khalaf, ilmu ushul fiqih,cetakan pertama(Jakarta:pustaka amani,2003),hal.132
6. 6
A. Mahkum fih.
Mahkum Fih adalah perbutan orang mukkalaf sebagai tempat menghubungkan hokum
syara’’’. Misalnya dalam surat al-Maidah Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman patuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. ( Yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang melaksanakan haji. Sesunguhnya Allah
menetapkan hukum-hukum yang dikehendakinNya.(QS. Al-maidah/5:1)
Syarat-syarat Mahkum Fih.
Ada beberapa persaratan bagi sahnya suatu perbuatan hokum:
a. Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf
sehingga dengan demikian suatu perintah misalnya, dapat dilaksanakan secara
lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allahdan RosulNya. Oleh karena itu
seperti dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan secara global baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan dari
Rosululloh. Misalnya shalat di al-Qur’an secara global baru wajib setelah
adanya penjelasan dari Rosululloh. Demikian pula seperti haji, puasa dan
zakat.
b. Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari
pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan
Rosul-Nya.
c. Perbuatan yang diperintahkan atau di larang haruslah berupa perbuatan yang
dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.
Hal itu disebabkan karena tujuan dari perintah atau larangan adalah untuk
ditaati. Oleh sebab itu tidak mungkin ada dalam al-Qur’an dan sunah sebuah
perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya
perintah terbang tanpa memakai alat.3
Dari sarat ketiga diatas didapatkan 2 ketentuan yaitu:
1. Tidak sah menurut syara’ pembebanan yang mustahil, baik mustahil sebab
perbuatan itu sendiri atau mustahil sebab yang lain.
2. Tidak sah menurutb syara’ membebani seorang mukalaf agar orang lain berbuat
atau meninggalkan suatu perbuatan. Karena melakukan atau meninggalkan
perbuatan orang lain itu adalah tidak mungkin bagi dirinya sendiri.4
3
Satria Efendi, opcit,hal .74-75
4
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu ushul fiqih, cetakan pertama( Jakarta: pustaka amani,2003),hal.181-182
7. 7
B. Mahkum Alaih.
Al Mahkum alaih adalah mukalaf yang perbuatanya berhubungan dengan hukm syari’.
Seorang mukalaf dianggap sah menangung beban menurut syara’harus memenuhi dua
syarat;
1) Mukalaf sanggu memahami dalil taklif (pembebanan). Seperti jika dia mampu
memahami nash-nash hukum yang dibebankan kepadanya dari al-qur’an dan sunah
secara langsung atau dengan perantara. Karena orang yang tidak mampu memahami
dali taklif,tentu dia tidak dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan pembebanan
tidak tercapai. Kemampun memahami dalil taklif hanya dapat terwujud dengan
akal,sedangkan nash dibebankan hanya kepada orang yang berakal. Oleh karena itu
orang gila, anak kecil tidak boleh diberi beban,karena tidak mempunyai akal sebagai
sarana memahami dalil taklif. Begitu juga orang lupa,tidur dan mabuk,karena pada
saat lupa,tidur dan mabuk mereka tidak mampu memahami.
2) Mukalaf adalah ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli menurut
bahasa artinya layak dan pantas,sedangkan menurut istilah ulama ushul, keahlian itu
terbagi menjadi dua: keahlian wajib dan keahlian melaksanakan.
a) Keahlian wajib adalah kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban.
Keahlian wajib ini berlaku bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan,karena kelayakan ini didasarkan pada keistimewaan alami pada
manusia. Setiap manusia yang mana saja mempunyai kelyakan wajib. Tidak ada
manusia yang tidak memiliki keahlian wajib,karena keahlian wajib itu sifat
kemanusiannya.
b) Keahlian melaksanakan adalah kelayakan seorang mukalaf agar ucapan dan
perbuatanya diperhitungkan menurut syara. Artinya jika ucapan atau perbuatan itu
menimbulkan akad atau pengelolaan,maka akan diperhitungkan menurut syara,dan
akan berakibat hokum. Jika melaksanakan shalat, puasa, haji atau melaksanakan
suatu kewajiban ,maka yanga dilakukan itu diperhitungkan oleh syara dan gugurlah
kewajiban itu. Jika ia melakukan criminal atas jiwa,harta harga diri orang, maka ia
berdosa akibat tindakanya dan diberi hukuman pada fisik atau hartanya. Keahlian
melaksanakan inilah yang diminta pertanggungjawabanya. Dasar yang ada pada
manusia adalah kemampuan membedakan dengan akal.5
Keadaan manusia dihubungkan dengan keahlian wajib.
Keadaan manusia jika dihubungkan dengan keahlian wajib itu ada dua:
1. Keahlian wajib yang tidak sempurna; jika mukalaf itu layak mendapatkan hak tetapi
tidak harus menunaikan kewajiban atau sebaliknya. Para ulama memberi contoh pada
janin yang masih berada pada dalam kandungan ibunya. Dia layak mendapatkan
5
Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit.hal.188-191
8. 8
hak,karena dia memperoleh bagian waris,menerima wasiat dan berhak mendapatkan
seperempat harata wakaf namun dia tidak wajib melaksanakan kewajiban terhadap
orang lain.jadi, keahlian wajib baginya tidak sempurna.
2. Keahlian wajib yang sempurna;jika mukalaf layak menerima hak dan melaksanakan
kewajiban.
Hal ini dimiliki oleh setiap orang sejak dilahirkan. Yakni sejak usia kanak-kanak,usia
mumayiz,sampai sesudah usia baligh,dalam keadana dan kondisi lingkungan yang
berbagai mana pun,ia memiliki keahlian wajib sempurna.
Keadaan manusia dihubungkan dengan keahlian melaksanakan.
Manusia dalam hubunganya dengan keahliyan melaksanakan memiliki tiga keadaan;
1. Terkadang tidak memiliki keahlian melaksanakan sama sekali. Keadaan ini dimiliki
oleh anak diwaktu kecil dan orang gila,hal itu karena keduanya tidak memiliki akal
maka tidak memiliki keahlian melaksanakan.
2. Terkadang manusia memiliki keahlian melaksanakan yang tidak sempurna. Yaitu
seseorang mumayiz yang belum sampai usia dewasa. Pengertian ini termasuk bayi
diusia tamyiz sebelum dewasa,termasuk orang yang kurang akal. Karena pada
dasarnya akalnya tidak cacat dan tidak hilang,tetapi akalnya masih lemah dan belum
kuat,maka dia dihukumi seperti bayi yang mumayiz.
3. Terkadang manusia memiliki keahlia melaksanakan yang sempurna, yaitu orang balig
dan berakal.jadi keahlia melaksanakan sempurna itu dibuktikan dengan usia balig dan
akal sehat.6
Halangan-halangan keahliaan ada dua macam:
Pertama : Halangan yang tidak dapat ditolak oleh manusia,dan bukan sekali-kali
datang dengan usahanya.
Kedua : Halangan yang diusahakan manusia, baik oleh diri sendiri maupun orang
alin.
Halangan pertama dinamakan halangan langit, yaitu :gila, setengah gila, lupa, tidur,
pingsan, sakit, haid, nifas dan mati. Halangan kedua halangan yang diusahkan oleh manusia,
ialah: mabuk, berpura-pura, safah, safar, silap atau tak sengaja, hutang, paksaan.7
6
Abdul Wahab Khalaf,2003:192-194
7
.M. Hasbi Ash-shiddieqy,pengantar hukum islam,(Jakarta,bulan bintang 1981),hal 241
9. 9
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Hakim: yaitu orang yang menjatuhkan keputusan
Mahkum fih: yaitu perbuatan mukalaf yang berkaitan dengan hukum
Mahkum alaih: yaitu mukalaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan dengan hukum
B.SARAN
Demikianlah yang dapat kami paparkan tentang materi Usul fiqih tentang Hakim,
Mahkum fih dan mahkum alaih yang menjadi pokok bhasan dalam makalh ini. Tentunya
masih banyak banget kekurangan dan kelemahan tentang pengertian tersebut. Oleh karena itu
saran penulis kepada pembaca agar mencari referensi yang lain demi kesempurnaan makalah
yang kami buat.
Kami beharap bagi pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang membangun
kepada kami demi sempurnanya makalah kami,,semoga makalh ini berguna dan dapat
menambah pengetahuan kita bagi penulis pada khususnya dan juga para pembaca pada
umumnya.
10. 10
DAFTAR PUSTAKA
Khalaf Abdul Wahab.2003. Ilmu Usul Fiqih. Jakarta:Pustaka Amani,Cetakan pertama
Effendi Satria.2005. Usul Fiqih. Jakarta:kencana prenada media grup.Cetakan pertama
Ash-shiddieqy Hasbi.1981.Pengantar Hukum Islam Jilid II.Jakarta:Bulan Bintang.cetakan
keenam.