SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  34
Télécharger pour lire hors ligne
Page 1 of 34
SENGSARA
DI TIMUR
JAWA
(Kisah kemiskinan dan ketidakberdayaan para petani
tembakau Sumenep, Pamekasan dan Jember menghadapi
tataniaga tembakau yang memiskinkan)
oleh:
Hendi Johari
Akhmad Jayadi
RUMAH GEMILANG INDONESIA
2011
Page 2 of 34
BAB I
PROLOG
Maret 2010. Ribuan massa memenuhi jalan-jalan protokol di kawasan Jakarta.
Mereka yang mengaku dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI Jawa
Tengah itu tak henti-hentinya bersorak, berteriak dan mengecam Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai
Zat Adiktif bagi Kesehatan.
Di depan Kantor Kementerian Kesehatan di Jalan Rasuna Said Kuningan, Jakarta
Selatan, massa yang sebagian terlihat mengusung spanduk beraneka warna dan
sebatang rokok berukuran raksasa semakin berulah. Teriakan mereka semakin
menjadi.Bahkan beberapa demonstran ada yang secara atraktif menghisap
rokok dalam jumlah yang tak wajar di mulutnya.
“Ini sebagai protes terhadap RPP dan pemerintah yang tak memperhatikan
nasib petani tembakau yang menderita!”teriak salah satu koordinator lapangan
(korlap) aksi tersebut berulang-ulang.
Pernyataan sang korlap diamini oleh Sodaryanto. Ketua Asosiasi Masyarakat
Tembakau Indonesia (AMTI) menyatakan bahwa pemberlakuan RPP akan
mengancam terjadinya pengangguran secara besar-besaran. Menurutnya,
tenaga kerja yang terserap secara langsung dan tidak langsung dari industri
tembakau saat ini adalah sekitar 6 juta orang. “Jadi pemerintah harus benar-
benar mempertimbangkan hal ini. Tidak mudah lho, mengalihkan jumlah
tenaga kerja sebanyak itu,” katanya seperti dilansir Pos Kota.
Benarkah pemberlakuan RPP akan menjadikan kiamat bagi para petani
tembakau? Benarkah di bawah kungkungan industri rokok selama ini, para
petani tembakau jauh dari kemelaratan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami melakukan pencarian fakta-fakta di
tengah-tengah masyarakat petani tembakau. Berikut di bawah ini laporan
kegiatan tersebut dilakukan.
Page 3 of 34
Metodologi Penelitian
Lokasi Penelitian
Tiga kabupaten yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini adalah Kabupaten
Pamekasan, Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Jember. Penentuan lokasi
penelitian ini berdasarkan data bahwa ketiga kabupaten adalah daerah
penghasil tembakau mayoritas di provinsi Jawa Timur dimana sistem tataniaga
tembakaunya berbeda-beda.
Kebijakan harga di Pamekasan dan Sumenep selalu berubah setiap tahun.
Bahkan pada lima tahun terakhir, petani selalu mengalami kerugian karena
harga yang diterapkan oleh gudang selalu di bawah ongkos produksi. Akibatnya
petani menderita. Petani di Jember mengalami nasib yang lebih baik dimana
harga sedikit di atas ongkos produksi.
Metode Sampling
Sample narasumber dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling,
dimana sample (narasumber petani tembakau) dipilih secara sengaja oleh
peneliti berdasarkan data yang ingin didapatkan. Pada tiap kabupaten, dipilih
lima (5) orang narasumber yang terdiri atas tiga (3) orang petani yang berasal
dari desa (kecamatan) yang berbeda, seorang kepala desa, serta seorang tokoh
agama.
Kabupaten Pamekasan
Narasumber petani di Kabupaten Pamekasan adalah Azizwanto (37) dari Desa
Kadua Barat Kecamatan Larangan, Ahmad Fauzi (37 tahun) dari Desa Artodung
Kecamatan Galis, Saniman (41 tahun) dari Desa Kolelah, Kecamatan Kadur dan
Tris (34) dari Desa Lawangan Daya Kecamatan Pademawu. Adapun narasumber
kepala desa adalah Ali Siddik (33 tahun), Kepala Desa Kaduara Barat,
Kecamatan Larangan, dan narasumber tokoh agama adalah K.H. Affan Baisuni
(40 tahun) dari Desa Montok, Kecamatan Larangan.
Kabupaten Sumenep
Narasumber petani di Kabupaten Sumenep adalah Sahawar (50 tahun) dari Desa
Bluto, Kecamatan Bluto, Pak Yanto (40 tahun) dari Desa Prenduan Kecamatan
Pragaan, Kallap (55 tahun) dari Desa Lenteng Kecamatan Lenteng dan Dulla
(42) dari Desa Pragan Laok Kecamatan Pragan. Narasumber kepala desa di
Sumenep adalah Imam Mahdi (49 tahun), Kepala Desa Pragaan, Kecamatan
Pragaan. Nara sumber dari Puskesmas Pragan yakni Deddy (30).Sedangkan
narasumber tokoh agama adalah Moh. Arkan Yahya (33 tahun) dari Kecamatan
Lenteng.
Page 4 of 34
Kabupaten Jember
Tiga narasumber petani di Kabupaten Jember masing-masing adalah Baihaqi (30
tahun) dari Kecamatan Mayang, Sunardi (25 tahun) dari Kecamatan Pakusari
dan Pak Irma (54 tahun) dari Kecamatan Kalisat. Narasumber kepala desa di
Jember adalah Misjo (38 tahun), Kepala Desa Pakusari, Kecamatan Pakusari,
dan narasumber tokoh agama adalah Kyai Misbahul Munir (43 tahun) dari
Kecamatan Sumbersari.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang dipilih dalam pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara
mendalam (indepth interview) dengan panduan questionnaire. Pertanyaan-
pertanyaan dalam questionnaire tersebut bersifat terbuka, dengan tujuan
untuk mengeksplorasi jawaban narasumber seluas dan sedalam mungkin.
Terdapat perbedaan sedikit antara pertanyaan yang diajukan terhadap
narasumber petani dengan pertanyaan kepada kepala desa dan tokoh agama.
Petani diharapkan memberikan jawaban tentang perhitungan untung rugi
(benefit-cost) sosial-ekonomi dalam sistem pertanian tembakau. Adapun
jawaban kepada kepala desa dan tokoh agama diharapkan mampu mengurai
akar masalah dalam tataniaga tembakau serta aktor-aktor yang berperan dalam
tataniaga tersebut.
Waktu Penelitian
Dilaksanakan sepanjang bulan Mei – Oktober 2011
Page 5 of 34
BAB II
DAUN EMAS DI TIMUR JAWA
“Beni lelakek mon tak nanem beko” (adagium di Tanah Madura)
PARA PETANI tembakau di Jember, Sumenep dan Pamekasan mendapat
pengetahuan bercocok tanam tembakau secara turun temurun. Petani-petani di
Jawa Timur seperti di Kabupaten Jember yang berlokasi di (dan sebagian besar
petani-petani di daerah tapal kuda macam Bondowoso, Situbundo,
Banyuwangi), mempunyai silsilah orangtua yang berasal dari Madura (antara
lain dari Sumenep dan Pamekasan itu) yang dikenal sebagai salah satu sentra
daerah penghasil tembakau di Indonesia.
Hikayat Beko
Sejarah perkembangan tembakau di Madura bisa ditelusuri dari tulisan Huube
de Jonge, dalam bukunya “Madura Dalam Empat Zaman” : Pedagang
Perkembangan Ekonomi, dan Islam” (1989). Dia menuliskan bahwa timbulnya
dan penyebarluasan penanaman tembakau komersial di Madura sangat banyak
ditentukan oleh perkembangan agraris di pualu tetangga Jawa. Baik tanaman
perdagangan waktu sistem tanam paksa maupun pertanian perkebunan dalam
tahun-tahun kemudian, secara tidak langsung mempunyai arti penting bagi
budidaya tembakau rakyat Madura.
Menuru Huube de Jonge, tembakau pertama kali ditanam di tanah Madura pada
1830. Namun Residen Surabaya segera memberitahukan kepada Gubernur
Jenderal, Madura sama sekali tidak cocok untuk penanaman tembakau. Lahan-
lahannya yang rendah penuh dengan batu-batu dan tanah yang tinggi
mengandung terlalu banyak kapur. Lagi pula sangat kekurangan air, sehingga
“semua budidaya tanaman yang membutuhkan pengairan atau kelembaban,
tidak akan berhasil disana”. Karena eksperimen dengan tanaman-tanaman lain,
pada waktu itu Madura selamat dari tanaman paksa yang dilakukan oleh
Pemerintah Kolonial.
Page 6 of 34
Namun demikian, menurut Huube, orang-orang Madura dapat mengenal
penanaman tembakau dengan cara lain. Banyak orang Madura dalam waktu
singkat atau lama memperoleh pekerjaan di bidang budidaya tembakau
gubernemen di Jawa. Para migran ini bekerja sebagai kuli di gudang-gudang
tembakau atau dengan menerima bayaran, mereka menggantikan petani jawa
yang dengan jalan ini dapat melepaskan diri dari kerja paksa. Setidaknya sejak
itulah, orang-orang Madura mulai dapat mengenal budidaya tembakau, yang
pada gilirannya menjadi tanaman unik dan idaman masyarakat Madura.
Jadi bisa dikatakan, tradisi tembakau di Madura sesungguhnya merupakan
tradisi yang diimpor dari luar Madura. Walaupun dalam perkembangannya kini
tembakau telah identik dengan Madura. Begitu kuatnya tradisi tembakau ini di
kalangan masyarakat, hingga ada adagium yang berbunyi; “Beni lelakek mon
tak nanem beko” Artinya, bukan laki-laki kalau tidak menanam tembakau.
Orang Madura menyebut tembakau dengan sebutan beko. Dulu, di masa-masa
jayanya, tembakau bisa disebut daun emas. Istilah ini muncul karena saat
panen tiba, saking banyak duitnya para petani bisa membeli banyak emas. Masa
keemasan itu memudar sejak tahun 1985. Harga tembakau mulai anjlok dan
petani menjadi terpuruk akibat harga jual ditentukan secara sepihak justru
oleh industri rokok atau dalam istilah mereka yakni orang pabrikan. Harga jual
dari petani itu ditentukan oleh pabrik beradasarkan kualitas yang ironisnya juga
ditentukan oleh pembeli alias orang pabrikan.
Perjuangan Berat Bertani Beko
Menjadi petani tembakau memerlukan fisik dan perjuangan yang lebih berat
dibanding bercocok tanam komoditi lain. Tembakau tergolong tanaman yang
rumit. Di bulan-bulan pertama, petani harus bekerja siang malam merawat
tembakau. Layaknya manusia saja, tembakau memerlukan air yang rutin.
Biasanya siang dan tengah malam, petani harus rajin menyiram. Kalau tidak,
tanamannya akan layu, istilahnya kalau manusia mengalami lesu darah.
Pernyiramannya pun tidak bisa sembarangan. Satu persatu pohon tembakau
harus mendapat siraman air. Selain itu, petani juga dituntut rajin
membersihkan rumput yang biasanya tumbuh di sekitar pohon tembakau.
Belum lagi harus memberi pupuk dan menjaganya dari serangan hama (biasanya
ulat).
Memasuki bulan ketiga setelah masa tanam, meski kegiatan perawatan sudah
tidak lagi menyita waktu dan tenaga, petani juga harus rajin berdoa agar cuaca
tetap bersahabat dengan mereka. Hujan yang turun terus menerus tentu saja
akan merusak pertumbuhan tembakau.
Page 7 of 34
Tembakau dipanen dalam tiga tahap. Tahap pertama daun yang dipetik adalah
daun yang berada di level bawah. Petani menyebutnya koseran. Tahap kedua,
daun yang berada di level tengah yang disebut meden. Dan tahap ketiga, daun
yang berada di atas yang disebut pocok-an. Masing-masing tahap ini (koseran,
meden, dan pocokan) memiliki harga yang berbeda. Jeda panen antar tahap
antara empat sampai lima hari.
Untuk menjadi nominal rupiah, sejak dipetik hingga transaksi memakan waktu
sekitar 9 hari. Setelah dipetik, daun tembakau harus dikeringkan dulu. Kalau
matahari bagus, pengeringan hanya memakan waktu satu sampai dua hari. Tapi
kalau matahari tidak bersahabat, bisa dibayangkan kerepotan petani harus
menyimpan daun-daun tembakau itu. Daun tembakau yang terendam air,
alamat tidak akan laku.
Setelah kering, tembakau harus pula dirajang atau dipotong kecil-kecil. Ini
tentu makan waktu. Tahap berikutnya, daun tembakau digulung dengan tikar
atau dibikin seperti bal-balan gulungan kain dan kemudian ditusuk dengan
bambu. Gulungan-gulungan seperti inilah yang baru siap dibawa ke gudang
untuk dijual.
Jual Tembakau untuk Bayar Hutang
Petani tidak selalu harus mendatangi gudang. Mereka bisa juga menjual kepada
“bandol” dan "tukang tongkok" (semacam tengkulak), yang biasanya rajin
keluar masuk kampung saat musim panen tembakau tiba. Tentu saja harganya
lebih miring dibanding dijual langsung ke gudang. Petani yang kepepet karena
tembakaunya tak kunjung kering, biasanya menjual langsung kepada bandol
dan tukang tongkok ini.
Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian, produksi tembakau nasional tahun
2009 adalah 176.937 ton. Tahun 2010 lalu, akibat anomali cuaca yang tidak
menentu. Produksi tembakau diperkirakan merosot 30%, jadi produksi
tembakau tahun 2010 sekitar 123.136 ton.
Akibat cuaca pula, rendemen tembakau juga akan merosot dari 18% menjadi
12%. Artinya, dari setiap kuintal daun tembakau, hanya dihasilkan sekitar 12 kg
tembakau yang laku dijual. Kondisi yang sama diperkirakan akan kembali
terjadi di tahun ini karena factor cuaca yang tidak menentu.
Untuk tembakau koseran atau tembakau bagian paling bawah tanaman, dijual
seharga Rp 16.000-Rp 20.000 per kg. Adapun tembakau jenis katokan, yaitu
tembakau yang tumbuhnya di atas tembakau koseran, harga jualnya sekitar Rp
20.000-Rp 24.000 per kg. Sedang untuk grade 1, 2, 3, atau tembakau bagian
tengah tanaman, paling mahal harganya sekitar Rp 31.000 per kg. Adapun
Page 8 of 34
pucuk untuk grade 4, 5, 6 bagian yang paling atas, kini harganya sekitar Rp.
27.000,- per kg.
Para petani yang merugi, mencoba mencari peruntungan lain dengan menjadi
Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Itu dimaksudkan, agar kerugian dan hutang
selama menanam tembakau bisa terganti. Petani terjerat hutang karena untuk
menanam tembakau memerlukan modal yang cukup besar. Mulai dari membeli
bibit, ongkos perawatan, membeli pupuk, dan ongkos panen.
Jika segala pengeluaran itu tidak tertutupi dari hasil panen, para petani ini
memilih jadi TKI (istri dan anaknya) dengan harapan bisa menebus hutangnya
selepas menjadi “tekong” (istilah orang Madura menyebut TKI) ini. Bagi orang
Madura, masalah hutang adalah masalah harga diri. Mereka tidak berani pulang
kampung kalau tidak sanggup melunasi hutang-hutangnya.
Menjadi TKI adalah salah satu pilihan yang paling rasional. Pasalnya, banyak
juga petani tembakau yang menjadi gila lantaran stress memikirkan hutang.
“Dulu, ada yang tiap hari berkalung kodok atau cicak karena tidak waras. Saya
sendiri selamat dari kemungkinan menjadi gila berkat doa istri dan keluarga
saya,” kata Saleh, salah seorang petani tembakau asal Kalianget, Kabupaten
Sumenep.
Page 9 of 34
BAB III
KIAMAT KECIL DI JEMBER
“Menanam tembakau itu manis di awal-awalnya saja. Setelah itu saya rugi
terus.” (Iman, Petani Tembakau dari Jember)
UDARA HANGAT MENYELIMUTI menyelimuti Kabupaten Jember malam itu. Di
Ledu Ombo, dalam sebuah ruang 4X6, Soekarso (64)—biasa dipanggil Karso--
bicara dalam nada bersemangat. Bak senjata M16 yang distel dalam posisi
otomatis, mulutnya seolah tak berhenti menghamburkan kisah-kisah lama
sekitar kejayaan dan kejatuhannya sebagai seorang pemburu daun emas, istilah
lelaki tua itu untuk daun dari pohon tembakau (nicotiana tabacum).
“Bisnis tembakau itu sebenarnya kotor.Ya sesuai kepanjangan namanya
tembakau: tempat bajingan kolot,”katanya sambil terkekeh. Sekumpulan asap
putih rokok kretek keluar dari mulutnya, bergulung membentuk gelombang
udara berbau khas nikotin.
Karso menyebut tembakau sebagai kependekan dari “tempat bajingan kolot”.
Disebut demikian karena menurut lelaki periang tersebut, bisnis tembakau
memang banyak melibatkan hal-hal yang bersifat “kotor”.Sebut saja misalnya
keinginan besar untuk cepat kaya dari orang-orang yang terlibat dalam bisnis
tersebut. Hingga tak jarang, mereka “menghalalkan” segala cara: berlaku
curang, menipu dan mengintimidasi. Wajar, dalam lingkungan ini, dominasi
sekelompok mafia sangat besar.
“Bagi orang-orang berduit mungkin mereka bisa melakukan persaingan, tapi
buat petani-petani kecil? Mereka hanya bisa frustasi dan bahkan kadang-kadang
ada yang gila,”ujar Soekarso.
Pendeknya, secara pribadi, banyak hal yang kurang mengenakan dalam
menjalani bisnis daun yang dikenal di kalangan keturunan Madura sebagai beko
itu. Baik sebagai pelaku maupun korban.Lantas kenapa Soekarso terlibat dalam
bisnis yang penuh dengan kemudharatan itu?
“Karena saya berpikir sudah terlanjur menjadi salah satu dari bajingan itu,”jawabnya
enteng.
Page 10 of 34
Pernah Untung Jadi Buntung
Seperti efek menghisap tembakau, menanam tembakau bisa pula kecanduan,
sebuah efek psikologis yang berada di luar nalar akal sehat manusia. Kendati
sepenuhnya menyadari harga tembakau belum tentu bisa diandalkan saat
panen tiba, para petani tetap setia menanam tembakau. Kalaupun ada yang
beralih profesi, mereka mengaku itu untuk sementara saja. Jika nanti harga
tembakau kembali bagus, mereka akan kembali menanam tembakau.
Para petani tembakau sesungguhnya sangat sadar bahwa posisi tawar mereka
lebih rendah dibanding para pembeli tembakau. Misalnya dalam penentuan
harga jual. Mereka tidak bisa menentukan sendiri. Alih-alih bisa mengatur
harga, untuk soal ini mereka malah bisa “dipermainkan” oleh para pembeli.
“Mungkin karena saya pernah mengalami masa-masa jaya saat hasil panen
bagus. Ya jadinya saya selalu punya harapan panen berikutnya harga akan
bagus,” ujar lelaki yang terjun ke dunia pertanian tembakau sejak umur 16
tahun tersebut.
Keputusan Karso untuk menjadi petani tembakau berawal dari ketidakmampuan
sang orangtua meneruskan pendidikannya ke bangku SMP. Namun selain tidak
punya biaya, secara pribadi Karso pun memang lebih tertarik menjadi petani
dibandingkan bersekolah. Jadilah kemudian ia mengelola tanah milik
orangtuanya.
“Yang saya ingat, menjadi petani tembakau saat itu hasilnya bagus sekali.
Terbukti hampir semua petani di sini menanam tembakau,” kata Pak Karso.
Karso mengenang masa-masa emas bertani tembakau pada 1982. Saat itu
tembakau dihargai Rp 1,5 juta perkwintal. Sebagai perbandingan, harga sapi
saat itu masih Rp 300 ribu perekor. Dari keuntungan bertani tembakau itu,
Karso sendiri bisa membeli tanah dan membangun rumah.
Krisis mulai menerpa bisnis tembakau pada 1985. Padahal saat itu, Karso mulai
mandiri sebagai petani artinya ia mulai lepas dari orangtuanya. Karso punya
lahan seluas sekitar 2 hektar. Tiap tahun rata-rata dia menanam sekitar 40 ribu
pohon tembakau jenis kasturi di atas lahan seluas itu.
“Tapi yaitu, sejak 1985 tidak setiap tahun saya mendapat untung,”ungkapnya.
Alih-alih untung, pernasibannya di pertanian tembakau malah menjadi
buntung.
Masa paling “buntung” dialami Karso pada 1991. Ceritanya, waktu itu dia panen
sekitar 3 ton. Namun dasar sial, tak satu pun gudang bersedia membeli hasil
panennya dengan alasan stok tembakau masih menumpuk. Ayah dua anak ini
Page 11 of 34
berusaha bersabar. Hasil panen itu disimpannya di gudang dan dijualnya
setahun kemudian. Tapi setahun kemudian, gudang kembali menolak membeli
hasil panen tembakau lagi-lagi dengan alasan stok masih ada.
“Kami bahkan sampai membakar hasil panen sebagai bentuk protes,” ujar
Karso. Lantas ia memilih menanam jagung dan kacang.
Sekitar 2004 kejadian serupa terulang kembali. Gudang tidak mampu menyerap
hasil panen petani dengan alasan stok menumpuk. Kalaupun ada gudang yang
bersedia membeli, harganya jauh di bawah kewajaran. Karso mencurigai, ini
adalah salah satu bentuk cara dari tengkulak dan pabrik rokok supaya harga
tembakau jatuh.
Sebagai bentuk protes, Pak Karso dan teman-temannya sesama petani
tembakau sempat melakukan unjuk rasa ke Pemda dan DPRD Kabupaten
Jember. Mereka menuntut pemerintah memberi perlindungan harga kepada
petani. Hasilnya?
“Eh mereka malah balik bertanya, siapa suruh menanam tembakau?” ujarnya
dalam nada kesal.
Karso dan rekan-rekannya sangat menyadari lemahnya posisi tawar mereka
karena tidak adanya organisasi yang bisa menampung aspirasi mereka. Memang
mereka pernah mendengar ada organisasi petani tembakau bernama Aliansi
Petani Tembakau Indonesia (APTI), tapi mereka sama sekali tak mau tahu dan
peduli dengan keberadaan organisasi tersebut. “Saya tahu tapi tidak pernah
berurusan dengan mereka,”katanya.
Kendati kini tidak pernah lagi merasakan untung dari menanam tembakau,
Karso mengaku tidak berdaya untuk berhenti menanam tembakau. Tapi, “Saya
berusaha anak saya tidak tertular seperti saya,” katanya sambil tertawa. Ia
mengatakan bahwa dirinya mendorong anak-anaknya untuk menekuni profesi
yang lain.
Lain Karso lain pula Iman. Petani asal Ambulu tersebut, kini memilih keluar
dulu dari dunia tembakau dan banting setir ke proyek-proyek membersihkan
selokan dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jember. “Menanam tembakau
itu manis di awal-awalnya saja. Setelah itu saya rugi terus,” kenangnya sambil
tersenyum kecut.
Iman mulai menanam tembakau secara mandiri pada 2000. Diatas lahan seluas
6.000 meter persegi, ayah tiga anak ini mengeluarkan modal Rp 4,7 juta untuk
satu musim tanam tembakau itu. Hasil dari jerih payahnya itu, ia berhasil
mendapatkan keuntungan panen Rp 11.625.000. “Karena keuntungan awal itu,
saya jadi bersemangat untuk menanam tembakau lagi,” katanya.
Page 12 of 34
Tahun berikutnya, dengan modal yang sama dia masih bisa mendapatkan hasil
yang lumayan. Baru setahun kemudian, Iman mulai merasakan pahitnya
menanam tembakau. Selain ia banyak mengeluarkan modal, keuntungan hasil
panen yang didapatnya hanya Rp 2,2 juta. “Saya sedih, tapi saya kuat-kuatkan
hati untuk tetap menanam tembakau. Saya anggap itu resiko petani sedang sial
saja,” kenangnya.
Setelah menunggu setahun kemudian, “kiamat kecil” mulai mendatangi Iman.
Alih-alih beruntung, hasil panen Iman malah sama sekali tidak ada yang
membeli. “Saya sampai menyewa pick up berkeliling dari gudang ke gudang
menawarkan tembakau. Tidak ada satu pun gudang yang mau membeli dengan
alasan stok masih banyak.”
Frustasi, Iman lalu membakar tembakau-tembakaunya itu di tengah sawah.
Para petani lain pun mengikuti ulahnya dan sempat menjadi berita hangat di
koran-koran lokal. “Karena pemberitaan itu, kami sampai dipanggil DPRD untuk
dimintai keterangan,” katanya. Usai kejadian itu, Iman dan banyak petani
lainnya lantas memilih untuk beralih ke tanaman padi.
Hidup tanpa MCK yang memadai
Rata-rata petani tembakau di Kabupaten Jember
ada dalam kondisi ekonomi yang jauh dari
sejahtera (kalau tidak dikatakan miskin). Seperti
Sunardi (34) salah satu petani tembakau dari
Desa Kalisat. Alih-alih fasilitas MKC (Mandi Cuci
Kakus) yang memadai, keluarga Sunardi
melaksanakan kegiatan mandi,mencuci dan
buang hajat di sebuah sungai yang terdapat di
belakang rumahnya. “Hanya untuk keperluan
minum kami menggunakan air sumur,” ujar
lelaki yang memiliki rumah sederhana berlantai semen tersebut.
Nasib Baihaqi (30), tak jauh beda dengan Sunardi.
Kendati bagian depan rumahnya sudah memakai
bata (didapatkan dari program bedah rumah
pemerintah Kabupaten Jember), namun bilik
anyaman bambu masih mendominasi sebagian
besar rumahnya, terutama bagian belakang.
Namun dibanding Sunardi, kondisi MCK Baihaqi
masih lebih baik. “Kami menggunakan air sumur
dari tetangga untuk keperluan MCK,”katanya.
Parahnya, letak sumur tersebut tidak jauh dari
Pak Sunardi washroom in the backside
Pak Baihaki washroom and water supply
Page 13 of 34
tempat pembuangan air besar sehingga beresiko bagi keluarga ini untuk
terkena penyakit kolera atau disentri
Kondisi yang lebih baik dialami oleh Irma (54).
Selain memiliki peralatan rumah tangga yang
relatif baik (lantainya bertegel keramik dengan
dinding dari batu bata, ada sofa, lemari dan
dipan), kondisi MCK keluarga Irma juga termasuk
baik.”Kami sudah menggunakan pompa untuk
menaikan air dari dalam sumur,” ungkap lelaki
yang mengaku merasa kondisi rumahtangganya
“membaik” usai menikahkan putrinya.
Secara umum, kondisi kesehatan petani tembakau di Kalisat tidak mengalami
masalah. Meskipun mereka bertiga adalah perokok, namun sampai saat ini tak
ada keluhan yang berarti terkait dengan penyakit dari mereka.
Posisi Tawar Ekonomi yang Lumayan
Dalam pengamatan kami, system tataniaga tembakau di Jember tergolong fair.
Itu terlihat dari banyaknya gudang yang terlibat dalam jual-beli tembakau.
Perusahaan-perusahaan tersebut, terdiri atas perusahaan lokal, perusahaan
nasional dan bahkan perusahaan yang berorientasi ekspor.
Umumnya tembakau Jember dijadikan bahan utama dalam pembuatan rokok
cerutu. Tak aneh jika situasi tersebut menjadikan gudang-gudang yang bermain
di Jember adalah gudang berskala internasional seperti PT.IDS. Sebagian cerutu
yang dihasilkan dari tembakau Jember diekspor ke kawasan Eropa.
PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara) juga menjadi salah satu
pemain di Jember. Dalam menjalankan bisnisnya, mereka menerapkan sistem
kontrak pada petani. Jadi monopoli yang di lakukan oleh industri rokok di
wilayah Jember tidak terlalu merugikan karena petani tembakau di Jember
mempunyai posisi tawar yang lumayan.
Pak Irma washroom and water supply
Page 14 of 34
BAB IV
BANDOL-BANDOL PAMEKASAN
Dengan menekan petani-petani kecil di bawahnya, mereka menjadi hamba
yang efektif untuk industri rokok
Secara ekonomis, Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu kawasan
terbesar penghasil tembakau Madura. Dengan luas areal rata-rata mencapai
34.565 hektare tiap tahunnya, pertanian tembakau Pamekasan praktis
merupakan 50% dari total tembakau yang ada di Madura (70.405 Ha).
Meskipun menjadi yang terbesar, tidak menjadikan situasi para petani di
Pamekasan jauh dari masalah. Seperti laiknya nasib para petani tembakau di
kawasan lainnya, mereka pun masih berkutat dengan berbagai soal yang
membelit mereka. Salah satu masalah utama yang dihadapi petani tembakau di
Madura adalah masalah sistem perdagangan.
Ketidakpahaman mereka saat berurusan dengan para tauke (penadah besar
sebelum ke industri) membuat mereka menggantungkan sepenuhnya nasib
mereka kepada pedagang baru yang disebut juragan dan bandol. Juragan
merupakan orang yang mendapat kepercayaan dari tauke untuk membeli
tembakau dengan mutu dan harga yang sudah ditentukan terlebih dahulu.
Sedangkan bandol adalah asisten atau pembantu juragan untuk mendapatkan
tembakau dari para petani. Pendeknya, juragan dan bandol berperan sebagai
pialang atau perantara dalam perdagangan tembakau Madura.
Dominannya peran bandol dan tauke dalam
sistem perdagangan tembakau di Pamekasan,
menjadikan kami tertarik untuk menelisik soal
ini lebih jauh. Lantas, kami melakukan
penelisikan di tiga desa dari tiga kecamatan
berbeda yaitu, Desa Kaduara Barat,
Kecamatan Larangan, dengan narasumber
Azizwanto (37). Narasumber kedua adalah
Ahmad Fauzi (37) dari Desa Artodung,
Kecamatan Galis. Dan narasumber ketiga
adalah Saniman (41) dari Desa Kolelah,
Kecamatan Kadur. Mereka semua adalah petani pemilik lahan.
Ahmad Fauzi & Jayadi in the guest room
Page 15 of 34
Dari ketiga narasumber di atas, Saniman adalah
petani yang paling kecil memiliki lahan (sekitar
0,5 hektar). Sedangkan Aziz dan Fauzi masing-
masing memiliki tanah seluas 1 hektar dan 1,5
hektar. Nasib Saniman juga paling buruk
diantara ketiganya.
Menurut pengakuannya,
dia pernah mendapatkan
uang hasil penjualan
hanya sebesar Rp 50 ribu
dari total tembakau yang dia tanam. “Sejak kejadian 3
tahun lalu itu, saya memutuskan untuk berhenti total
dari menanam tembakau,”katanya.
Aziz dan Fauzi masih melanjutkan menanam
tembakau dengan sistem tumpang sari, yaitu
menyelingi (membagi separuh) tanahnya untuk
menanam tembakau dan semangka atau kacang. Tak
berbeda jauh dari Saniman, Aziz dan Fauzi mengaku
hanya pernah pendapatkan untung dari menanam
tembakau pada tahun 2006. Sisanya mereka merugi.
Petani vs Bandol dan Tauke
Saniman, Fauzi dan Azis memiliki pendapat yang sama soal penyebab turunnya
harga tembakau di Pamekasan. Mereka menunjuk permainan harga oleh tauke
(gudang/industri rokok) dan bandol (tengkulak) sebagai penyebab utamanya.
Mereka sangat yakin soal itu, terutama Aziz yang pernah berpengalaman
menjadi bandol.
“Justru saya berhenti menjadi bandol karena
merasa bahwa diri saya telah merugikan
sesama petani,” ungkap Aziz. Karena soal
nurani itulah, pada akhirnya dia memilih
menjadi petani murni walaupun dengan resiko
terkena imbas permainan harga.
Imbas permainan harga yang dimaksud Aziz memang “menyesakan” para petani
kecil. Dengan memnafaatkan kepercayaan “daripada rugi besar karena tidak
laku lebih baik terjual meski dengan harga yang murah”, para pengepul
menghargai tembakau yang dijual para petani dengan murah yakni dalam
kisaran 4000 – 8000 rupiah perkilogram (harga normal antara 15.000-18.000
Saniman & Jayadi in the guest room
Saniman family toilet
Azis & Jayadi in the guest room
Ahmad Fauzi family toilet
Page 16 of 34
perkilogram). Pembodohan soal harga itu terjadi karena rata-rata petani tidak
memiliki tembusan langsung ke pihak gudang maka sehingga mereka bisa
dibohongi. Alasan yang paling sering dari penjatuhan harga tersebut adalah
harga yang ditetapkan pihak gudang memang murah. Padahal dalam
kenyataannya, para pengepul bisa menjual tembakau-tembakau tersebut
dengan harga yang jauh lebih mahal kepada gudang.
Tidak cukup disitu, kesewenang-wenangan juga terjadi saat proses
penimbangan. Biasanya para petani tembakau yang memasukkan tembakaunya
pada ranting atau gudang tembakau pasti terkenan “pemotongan timbangan”
dengan alasan tembakau yang akan dijual kelebihan berat karena ada dalam
kondisi basah. Para petani sebenarnya sudah menyepakati ketentuan dalam
pengurangan rata-rata adalah 2 kg. Namun di tingkat ranting atau gudang,
dalam kenyataannya pemotongan bisa sampai 3-4 kg.
Suap menyuap dan kecurangan juga kerap terjadi dalam bisnis tembakau.
Kecurangan menyangkut soal kualitas tembakau tersebut kerap terjadi di
ranting dan di gudang. Polanya, para greder bisa seenaknya “merubah” kualitas
tembakau yang dijual seorang petani, dari B jadi A misalnya, kalau para petani
mau memberi sejumlah uang suap. Begitu juga sebaliknya, tembakau kualitas A
bisa menjadi rendah, jika si petani tembakau tidak mau “bekerjasama”
dengam para greder. Jadi mau tidak mau, penyuapan memang harus ada, demi
keuntungan para greder.
Keterangan yang menarik, kami dapatkan juga dari, Ali Siddik (33). Dia
mengaku berpengalaman sebagai petani panebbas yaitu aktor yang membeli
tembakau daun dari petani, atau menyewakan tanahnya bagi petani untuk
kemudian dirajang dan dijual pada gudang melalui bandol.
Menurut Siddik, bandol adalah aktor ekonomi yang
sering berlaku tidak fair. Selain membeli beko di
bawah standar harga yang ditetapkan gudang dari
petani(biasanya selisih 2–5 ribu/kg) bandol juga
menerapkan sistem pengurangan timbangan.
Misalnya satu bal (balok besar tembakau yang
dibungkus dengan tikar berbahan daun aren)
tembakau Rajang yang biasanya berat 50 kg, oleh
bandol dianggap hanya seberat 49 kg. Ini adalah
potongan timbangan sebagai balas jasa petani
kepada bandol yang akan meloloskan tembakaunya pada gudang. Di samping
itu, timbangannya sendiri tidak seimbang. “Jadi, bandol mencurangi petani
dari tiga hal: harga, potongan timbangan dan timbangan yang tidak seimbang,”
ungkap Kepala Desa Kaduara Barat tersebut
Siddik is explaining to Jayadi in the
guest room
Page 17 of 34
Sidik menyebut bandol sebagai orang yang terjajah secara nyata (oleh pemilik
gudang). Secara sosial, bandol bisa berasal dari berbagai kalangan, bisa orang
biasa, seorang kiyai atau seorang juragan. “ Pokoknya pada umumnya mereka
berprilaku sama: menghamba pada tauke. Artinya mereka mengharap balas
budi tauke dengan selisih harga yang telah mereka beli dari petani,”kata Sidik
Namun selain bandol-bandol penghamba, ada juga jenis bandol independen
yang disebut bandol investor. Disebut demikian, karena mereka
memberlakukan system niaga yang “agak lebih netral” yakni dengan
menetapkan harga beli terlebih dahulu dengan petani sebelum panen
dilakukan, misalnya Rp 25 ribu/kg (sistem ijon).
Bandol tipe ini cenderung independen dari tauke karena mereka melakukan
spekulasi harga. Mereka menetapkan sistem kesepakatan harga dengan petani,
namun tidak dengan tauke. Salah satu bandol jenis ini adalah KH. Affan Baisuni
(40). Ulama muda dari Desa Montok, Larangan itu mengaku dengan sistem yang
dia anut itu kadang dia untung besar (yakni ketika harga dari tauke tinggi)
namun sering pula merugi. “ Selama dua tahun ini saya merugi terus,”ujarnya.
Dengan situasi tersebut, wajar jika ketidaksukaan petani atas bandol dan tauke
di Pamekasan terbilang sangat tinggi. Namun demikian, mereka tetap tidak
berdaya untuk melawan. Itu disebabkan posisi penjual (petani) yang seharusnya
lebih tinggi daripada pembeli (tauke) dalam tataniaga tembakau justru terjadi
sebaliknya. Alih-alih menjadikan para petani sebagai raja, para pembeli
bertingkah “sok jual mahal”: seolah tidak membutuhkan tembakau. Akibatnya,
banyak bandol yang dengan sukarela mengambil hati tauke untuk mendapatkan
keuntungan darinya.
Siddik memberi contoh misalnya, seorang bandol yang membeli tembakau pada
petani dengan harga Rp 25 ribu/kg, sebanyak 1 bal. Kemudian tembakau
tersebut dibawa ke gudang untuk dijual pada tauke. Umumnya tauke akan
membelinya dengan harga di bawah Rp 25 ribu, misalnya Rp 20 ribu. Bandol
yang merugi dengan harga Rp 20 ribu seperti itu, tidak serta merta menolak
atau meminta dinaikkan. Dia malah menerimanya dengan tujuan ingin
menyenangkan hati tauke (karena takut). Akibatnya, tauke kemudian mulai
membuka harga tembakau dengan harga Rp 20 ribu ke bawah. Bandol akan
membeli tembakau kepada petani di bawah harga Rp 20 ribu. Dampak
selanjutnya adalah petani tidak memiliki alternatif lagi untuk mendapatkan
perbaikan harga. Andaikata bandol menolak harga beli Rp 20 ribu dari tauke,
maka tentu harga tidak akan rusak sebagaimana sekarang.
Jadi, menurut Siddik, perusak harga yang pertama-tama adalah bandol itu
sendiri, karena perilakunya yang ingin mendapatkan keuntungan sendiri dengan
mengorbankan ribuan petani di bawahnya. Bagi Siddik, tauke adalah penjajah
di jaman modern (kemerdekaan). Tauke memainkan sistem adu domba, yaitu
Page 18 of 34
antara petani dan bandol yang sesama pribuminya. Tauke pandai
memanfaatkan watak sebagian orang Madura yang berprofesi sebagai bandol
yang suka ajimumpung. Tauke menciptakan sistem dimana petani benar-benar
terinjak-injak nasibnya dan bandol dibuat tergantung sedemikian rupa pada
tauke.
Selama sistemnya masih eksploitatif oleh tauke dan bandol, maka
kesejahteraan petani akan tetap menjadi mimpi. Harga tembakau Madura
sampai pernah jatuh di Rp 6-7 ribu/kg. Harga serendah ini sebenarnya sudah
sangat tidak manusiawi, karena ongkos merajang tembakau saja tersebut sudah
Rp 6-7ribu/kg. Jadi biaya penanaman dan perawatan sudah tidak terhitung lagi.
Jika sudah sampai pada harga serendah ini maka wajar jika beberapa petani
sampai membakar tembakaunya.
Peningkatan kesejahteraan petani ke depan harus dengan regulasi. Contoh yang
nyata adalah petani di Besuki dan Jember, dimana kualitas tembakaunya lebih
rendah dari Madura namun mereka mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi.
Namun tak selamanya semut membiarkan dirinya diinjak-injak. Ada juga
beberapa “perlawanan kecil” yang dilakukan oleh para petani. Salah satunya,
menurut Saniman, pada saat tembakau para petani tidak dibayari, mereka
akan pindah ke bandol lain.
Saniman pernah mengalami kasus seperti itu. Suatu hari, dia menjual tembakau
pada pedagang dengan kesepakatan harga Rp 750.000 untuk tiga bal tembakau,
namun sampai saat ini tidak dibayar oleh pedagang tersebut dengan dalih
bahwa pedagang tersebut juga mengalami kerugian. Sejak saat itu Saniman
kapok menanam tembakau, “Karena untuk modal menanam tembakau tersebut
saya telah menjual gelang emas anak saya yang hingga kini belum mampu
dikembalikan,”ujarnya
Fenomena tidak membayar dalam kesepakatan jual-beli ini sudah lumrah
dilakukan oleh bandol manakala mereka mengalami kerugian. Namun jika
bandol mendapatkan untung, biasanya dia membayar kepada petani sesuai
harga kesepakatan, atau di bawah kesepakatan sesuai kemampuan. Dalam
menghadapi kasus ini banyak petani yang beralih dari satu bandol ke bandol
lainnya.
Situasi itu hingga sekarang masih berlangsung namun harus diakui jenis
resistensi seperti itu bagi petani sesungguhnya tidak memiliki mekanisme
penyelesaian. Menurut Siddik, seharusnya petani kompak antar satu dan lain.
Setidaknya dengan meminta kontrak kepada bandol atau tauke untuk membeli
tembakau tanamannya dengan harga tertentu. Untuk itu dibutuhkan sebuah
kelompok tani yang kuat, yang dapat menyelenggarakan kontrak dengan tauke
atau bandol. “Justru itulah, hingga kini kami belum memiliki kelompok tani
yang kuat dan terorganisasi,”katanya.
Kalaupun ada terbentuk kelompok tani, itu pun biasanya hanya dijadikan
“kendaraan politik” untuk segelintir elit petani dalam memenangi
kepentingannya. Dengan jenis kelompok tani seperti itu, tak heran jika ketua
Page 19 of 34
kelompok tani yang seharusnya melindungi anggotanya, justru menerima
tawaran dari tauke untuk dijadikan bandol. “Akibatnya, perjuangan
mengangkat harga berakhir seiring dengan jadinya ketua kelompok sebagai
bandol,”ujarnya.
Solusi kedua adalah dengan membuat satu gudang di satu desa. Fungsi gudang
tersebut adalah untuk menyimpan stok tembakau yang ditawar dengan harga
rendah oleh gudang, sehingga kualitasnya tidak rusak. Jika petani mampu
menahan diri untuk tidak menjual tembakau pada harga murah, Siddik yakin
bahwa tauke dan pihak gudang akan merubah kebijakan harganya, karena
sebenarnya mereka yang membutuhkan tembakau.
Namun secara umum, para petani tembakau tersebut mengaku memiliki
resistensi tertinggi pada tauke daripada bandol. Kalaupun ada peran bandol
dalam perusakan harga, bagi petani itu tidak seberapa besar, karena bandol
hanya merugikan petani sebanyak 2-5 ribu/kg, namun gudang bisa merugikan
petani jauh lebih dari itu. Harga awal tembakau yang mencapai Rp 30 ribu/kg
pada awal pembukaan gudang bisa turun hingga Rp 6 ribu/kg pada dua bulan
berikutnya. Padahal menurut Aziz, Fauzi dan Saniman, harga untuk mencapai
kembali modal saja adalah Rp 25 ribu/kg.
Lantas, bagaimana sikap pemerintah daerah setempat terhadap berbagai
praktek yang banyak merugikan para petani tembakau itu? Alih-alih melindungi
kepentingan para petani tembakau, pemerintah justru cenderung membela
kepentingan ranting atau gudang untuk mendapatkan harga jual tinggi. Tentu
saja, itu terkait dengan besarnya keuntungan pemerintah daerah dari
keuntungan pajak yang harus dibayar pihak ranting atau gudang.
Bisa dibayangkan, jumlah pajak yang harus dibayar perkilogram-nya adalah
Rp.100-. Sedangkan ranting bisa mendapatkan tembakau dari petani sebanyak
10.000 bal – 150.000 bal (1 bal berisi berat 50 Kg ) dan satu pabrik bisa
memiliki 3-5 ranting.
Untuk “menyiasati” soal pajak ini, tak jarang pihak ranting dan gudang
mempersingkat waktu penjualan tembakau dari para petani. Akibatnya, banyak
tembakau menumpuk. Selanjutnya, ranting atau gudang menjalankan
strateginya dengan menurunkan para brokernya untuk mencari para petani
tembakau yang tembakaunya tidak terjual itu dengan pembelian harga yang
amat sangat murah.
Padahal seandainya Pemerintah bisa menerapkan sebuah aturan petani bisa
langsung mengirimkan tembakaunya ke pabrik kemungkinan untuk adanya
kecurangan lebih kecil.
Page 20 of 34
Sesak Nafas Saat Panen
Di antara ketiga petani tembakau di atas, nasib
Aziz yang paling baik. Dia tinggal di rumah
bertembok dengan sanitasi air yang cukup baik.
Sedangkan Saniman dan Fauzi tinggal di rumah
dari anyaman bambu dengan sanitasi dari air
sumur. WC mereka adalah jamban tradisional
yang tanpa air penghalang serangga.
Lantai di rumah Saniman dan Fauzi terbuat dari
semen, sedangkan rumah Aziz dari tegel. Semua
rumah ketiganya mendapatkan aliran listrik PLN.
Dari ketiganya, harnya Fauzi yang tidak memiliki televisi. Perabot rumah
tangga di rumah Fauzi juga sangat sederhana berupa lincak, kursi tamu dan
meja. Kondisi di rumah Aziz dan Saniman masih lebih baik walaupun masih
tetap dalam kondisi sederhana.
Pola makan ketiga petani tersebut juga sama,
yaitu tiga kali sehari dengan lauk pauk tahu,
tempe, ikan atau telur. Mereka jarang sekali
mengkonsumsi lauk seperti ayam dan daging sapi.
Buah-buahan dan susu sangat jarang sekali
dikonsumsi di ketiga keluarga tersebut.
Meskipun keadaan mereka miskin namun mereka
tidak mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai)
dari pemerintah. Hanya orangtua mereka yang
mendapatkannya, itupun hanya tahun lalu. Bagi mereka BLT hanya menjadi
tambahan konsumsi saja. Tidak bisa ditambahkan untuk perbaikan kesehatan
keluarga (orang tua mereka).
Pendidikan dan kesehatan bagi ketiganya sangat penting. Dari ketiga
narasumber petani, hanya Saniman yang memiliki anak. Yaitu seorang putri usia
8 tahun. Untuk membiayai putrinya sekolah Saniman juga bekerja sebagai
nelayan dan pengembala sapi (memiliki 1 ekor sapi), sambil bertanam jagung,
padi, kacang, semangka dan lainnya. Aziz sudah menikah selama 2 tahun
namun belum memiliki anak, sedangkan Fauzi belum menikah dan mengaku
bahwa dia belum punya cukup uang untuk menafkahi calon istrinya kelak.
“Jangankan untuk menafkahi istri, untuk diri sendiri saja susah,” kata Fauzi.
Fauzi bersaudara dengan 5 orang lainnya. Dari semua keluarganya hanya dua
orang yang menikah. Empat lainnya masih lajang, padahal umur semuanya
sudah di atas 30. Usia adik bungsu Fauzi, Arup, adalah 31 tahun. Salah satu
faktor yang menjadi alasan adalah ketidakmampuan ekonomi.
Fauzi, Aziz dan Saniman merupakan perokok aktif. Mereka sangat sadar bahwa
rokok memang tidak baik untuk kesehatan. Namun mereka merasa selama ini
tidak ada gangguan kesehatan yang berarti dari akibat kebiasaan mereka
The right one is Ahmad Fauzi house
Saniman house made from bamboo
Page 21 of 34
merokok. “ Ya paling hanya sekitar sesak nafas dan batuk di pagi hari,”ujar
Aziz.
Untuk berhenti, mereka mengaku berat sekali. Adakah penyakit yang
ditimbulkan dari aktifitas mereka sebagai petani tembakau? Aziz menyatakan
kemungkinan itu ada. Ia mencontohkan, penyakit yang paling parah diderita
petani tembakau adalah pada saat mereka panen, yaitu ketika mereka harus
memetik tembakau dan menumpuknya di emper rumah (di bawah atap). Jika
ruangannya cukup tertutup, hawa dari tembakau akan membuat mereka mual
dan pusing. Namun sebagian petani mengakalinya dengan meletakkan
tembakau daun gulungan itu di luar rumah agar hawanya tidak pengap.
Kondisi lebih parah akan dialami oleh pekerja di gudang tembakau yang bekerja
di gudang dengan fentilasi minim, sirkulasi udara sangat rendah dan tumpukan
bal tembakau yang sangat banyak dan bisa jadi sudah menjadi stok berbulan-
bulan. Uap udara dari tembakau rajang ini, ditambah debu yang menempel di
tembakau dan lantai menguap ke udara, terutama ketika pekerja harus naik
turun bal menginjak dan membuatnya rapat saat disusun. Umumnya mereka
menderita sesak nafas akut dan ISPA.
Pihak yang juga merasakan bahaya tembakau adalah para perajang. Aktivitas
merajang biasanya dilakukan pada malam hari. Hal ini dilakukan agar tembakau
yang selesai dirajang dapat langsung dijemur pagi harinya sepanjang hari.
Perajang tembakau umumnya bekerja dan begadang dari pukul 9 malam hingga
jam 2-3 dini hari. Resiko yang mereka tanggung misalnya adalah menghirup
hawa tembakau sepanjang malam dari tembakau yang dirajangnya. Hal ini
kadang menyebabkan mual dan muntah bagi perajang yang daya tahan
tubuhnya rendah. Resiko lainnya adalah mengantuk saat merajang sehingga
tidak jarang jari perajang terkena iris pisau rajang.
Namun semua resiko kesehatan itu seolah dinafikan oleh mereka. Gejala sesak
nafas atau pusing dan mual saat menjalankan aktifitas musim penen dianggap
oleh para petani tembakau sebagai sesuatu yang wajar. Karena itulah, mereka
tidak pernah memeriksakan hal tersebut ke Puskesmas terdekat.
“Nanti juga sembuh dengan sendirinya kok,” ujar Fauzi.
Deddy (30) tidak menafikan, banyaknya para petani tembakau yang mengeluh
soal penyakit yang terkait dengan ISPA. “Hanya mereka malas
memeriksakannya ke Puskesmas,” kata salah satu tenaga medis di Puskesmas
wilayah Pragaan itu. Padahal menurut dia, seharusnya sekecil apapun, segala
keluhan yang dialami para petani harus segera diperiksa secara medis. “Karena
bisa saja itu mengarah kepada kematian,”katanya.
Untuk supaya tidak jatuh dalam kemiskinan yang teramat sangat, Aziz dan
Fauzi memberlakukan sistem tanam tumpangsari, yaitu dengan menyelingi
tanaman tembakau dengan tanaman lain seperti bawang, semangka, kacang
dan jagung. Sedangkan Saniman beralih sepenuhnya pada tanaman lain.
Page 22 of 34
Menurut KH Affan, keengganan petani untuk beralih total dari tanaman
tembakau ke tanaman lain pada musim kemarau adalah karena petani sudah
pernah mendapatkan “manisnya” tembakau. Dan petani masih beraharap harga
yang tinggi di masa yang akan datang, juga tambahnya “Tak ada dukungan
konkrit dari pihak yang ada untuk alih tanam”.
Hidup dalam Kecurangan Sistem Niaga
Pemiskinan struktural petani tembakau di Madura oleh tauke setidaknya
terjadi dalam tiga mekanisme, yaitu: pertama, kartel tembakau; kedua, sistem
harga yang menurun per-periode; ketiga, kecurangan dalam pengambilan
poster (sampel) tembakau.
1. Kartel Tembakau
Sistem tataniaga tembakau pada awalnya (10-15 tahun yang lalu) sangat
fair. Setiap gudang bersaing dengan gudang lainnya dalam menentukan harga
dan kualitas tembakau yang diterimanya, karena memang setiap gudang
memiliki kualifikasi tembakau tertentu yang dapat masuk ke gudangnya. Namun
saat ini, semua gudang sudah saling bersepakat untuk bekerjasama dan tidak
bersaing, mereka saling membantu antar gudang. Akibatnya, ada sistem kartel
tembakau yang jelas merugikan petani, seperti ilustrasi di bawah ini:
Menurut KH. Affan dan Siddik, pemilik
gudang di Madura lah yang paling
bertanggungjawab atas sistem kartel ini. Adapun
pabrik utama seperti PT Gudang Garam di Kediri,
PT Djarum di Kudus, PT Sampoerna di Surabaya,
Bentoel di Malang dll tidak tahu atau mungkin
tidak mau tahu tentang sistem ini. Pabrik ini hanya
menerima tembakau kiriman dari gudang di
Madura. Pemilik gudang di Madura adalah tauke
yang berdagang tidak hanya untuk kepentingan pabrik, namun juga untuk
kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya.
Sistem kartel ini memungkinkan semua gudang untuk bersepakat saling
menetapkan harga yang terus menurun antar periode dan menerapkan sistem
buka (beli) tembakau secara bergantian. Berbeda dengan jaman dulu dimana
semua gudang membeli tembakau dari petani secara bersamaan.
Petani Tembakau Bandul Ranting Pabrik
KH . Affan is a public figure &
spiritual leader
Page 23 of 34
Mekanisme dari sistem buka-tutup ini adalah sebagai berikut: misalnya
saja pada bulan minggu pertama Agustus hanya ada dua gudang yang buka
(membeli), yaitu Gudang Garam dan Djarum, sedangkan Sampoerna belum
buka. Biasanya strategi harga yang digunakan adalah diferensiasi, misalnya
Gudang Garam membeli dengan harga tertinggi Rp 20 ribu, sedangkan Djarum
membeli dengan harga Rp 12 ribu. Secara otomatis, antrian truk untuk menjual
tembakau akan memanjang di Gudang Garam karena petani menginginkan
harga tertinggi.
Kondisi ini sayangnya diperparah dengan pemberitaan yang salah dari
wartawan yang hanya memotret antrian panjang truk-truk tersebut. Berita
yang diturunkan biasanya seputar overstock tembakau Madura, padahal
kenyataannya memang ada permainan harga antar gudang.
Selanjutnya, minggu kedua Agustus Gudang Garam menurunkan harga
menjadi Rp 16 ribu, Djarum masih dengan harga Rp 12 ribu, lalu secara
bersamaan Sampoerna buka dengan harga tertinggi Rp 18 ribu. Sesuai hukum
pasar, maka truk-truk yang sebelumnya mengantri di depan Gudang Garam
akan berpindah ke Sampoerna. Pemberitaan wartawan otomatis akan sama
dengan sebelumnya yaitu tentang mengularnya antrian di salah satu gudang.
Dengan demikian akan terbentuk opini over supply, dan dengan demikian
menjadi wajar jika harga turun.
Pada minggu berikutnya, ketika Sampoerna sudah mendapatkan cukup
banyak tembakau, Sampoerna juga akan menurunkan harga misalnya menjadi
Rp 12 ribu. Djarum bisa menaikkan harga menjadi Rp 14 ribu atau bertahan
pada Rp 12 ribu. Dengan kata lain semua gudang memiliki harga yang sama,
yaitu sekitar Rp 13 ribu. Maka petani (bandol) memiliki banyak tempat untuk
memasukkan tembakaunya.
Jika antrian tetap panjang di semua gudang, maka semua gudang akan
menurunkan harga hingga mencapai Rp 6 ribu/kg. Pada akhirnya semua
tembakau terbeli dan semua gudang terisi. Babak akhir dari drama antar
gudang ini adalah saling tukar tembakau sesuai kualifikasi yang diharapkan.
Masing-masing tauke saling berbagi keuntungan. Mekanisme bagi hasil dan
saling tukar ini hanya diketahui oleh tauke sendiri.
2. Harga yang Menurun Tiap Periode
Harga tembakau selain ditentukan oleh asal tembakau tersebut
dihasilkan (tembakau gunung, tegalan dan sawah), juga ditentukan oleh
tingkatan dimana daun tembakau tersebut tumbuh dalam satu batang. Semakin
ke atas daun tembakau mendekati puncak batangnya, semakin tidak bagus
kualitasnya. Kualitas daun di bawah adalah kualitas A, di tengah-tengah adalah
kualitas B, sedangkan daun paling pucuk (yang masih belum lebar) masuk dalam
kualitas C. kualitas C sebenarnya adalah daun tembakau yang tidak layak
dipetik dan dirajang.
Page 24 of 34
Gudang memberikan stratifikasi harga pada setiap jenis daun, misalnya,
pada Minggu Pertama Agustus, daun tembakau kualitas A seharga Rp 30 ribu,
kualitas B Rp 28 ribu dan kualitas C seharga Rp 26 ribu.
Jika gudang tidak menerapkan strategi penurunan harga, maka semua
petani kecenderungannya adalah menunggu hingga daunnya mencapai kualitas
A agar mendapatkan harga yang baik. Namun kenyataannya, pada minggu
ketiga Agustus, atau minggu pertama September, gudang sudah menurunkan
harga sebagai berikut: Kualitas A Rp 20 ribu, kualitas B Rp 18 ribu dan kualitas
C Rp 16 ribu.
Petani yang sudah kadung menunggu waktu agar daun tembakaunya yang
masih kualitas C menjadi kualitas A ternyata mendapatkan kenyataan pahit
dimana dia harus menerima harga Rp 20 ribu. Pada musim tanam tahun
selanjutnya otomatis petani tidak mau menunggu lagi waktu untuk
memperbaiki kualitas tembakau C menuju kualitas A karena kenyataannya
harga yang didapatkan justru lebih rendah.
Jadi dengan ilustrasi waktu di atas, kecenderungan petani secara umum
adalah menjual semua daun tembakau pada minggu pertama Agustus untuk
mendapatkan harga terbaik, karena kalaupun mereka menunggu waktu untuk
mendapatkan kualitas daun terbaik, mereka akan mendapatkan harga yang
jauh lebih rendah.
Strategi penurunan harga antar waktu inilah yang membuat banyaknya
antrian truk di minggu pertama ketika salah satu gudang membuka diri.
Akibatnya, terkesan bahwa kualitas tembakau petani Madura tidak bagus.
Akibat kedua, terkesan bahwa tembakau Madura over supply, maka menjadi
sah dan logis jika gudang menurunkan harga.
Menurut Siddik, situasi semacam ini sengaja dibuat demi keuntungan
pihak gudang semata. Jika dinalar secara logis, tidak ada perbedaan tembakau
kualitas A pada minggu pertama Agustus dengan minggu ketiga Agustus atau
minggu pertama September. Mekanisme penurunan harga, dengan demikian,
adalah bentuk kejahatan terstruktur gudang kepada petani dalam rangka
menciptakan ketidaksetaraan nilai tawar antara tauke dengan petani.
Sayangnya, tidak ada gerakan petani yang berani memprotes kecurangan ini.
Bahkan para bandol mengikuti serta merta siystem ini.
3. Kecurangan dalam Poster
Kecurangan lain yang dilakukan gudang adalah dalam pengambilan
poster (sampel) yang akan dikirim ke pabrikan di kota PT tersebut beroperasi
(Kudus, Kediri, Sidoarjo, Malang dsb). Setiap bal tembakau diambil poster
seberat 2 kg. Dahulu hanya seberat 0,5-1 kg. Bisa dibayangkan berapa
keuntungan gudang jika dikalikan dengan ribuan bal yang masuk. Pengambilan
sampel sebesar 2 kg ini tidak mendapat protes dari petani maupun bandol.
Bahkan bandol sendiri kadangkala yang menawarkan menambah sampel dalam
rangka menyenangkan hati para tauke.
Page 25 of 34
Menurut Siddik dan KH. Affan, andaikata bandol mau protes dan tidak
membiarkan pengambilan sampel sampai dengan 2 kg tersebut, tentu petani
tidak akan dirugikan. Kerugian bandol atas poster 2 kg tersebut akan bandol
alihkan pada petani dengan mekanisme timbangan dan harga.
4. Subjektivitas dalam Penaksiran Kualitas Tembakau
Kecurangan gudang lainnya adalah dalam bentuk penaksiran jenis
tembakau. Jenis dan kualitas tembakau dibedakan dari warna, kelengketan dan
aromanya. Warna dan kelengketan masih bisa menjadi ukuran objektif, artinya
jika kesepakatan umum menyetujui bahwa semakin merah tembakau maka
semakin murah harganya, dan semakin lengket tembakau semakin baik
kualitasnya, maka semua pihak akan saling tahu kondisi tembakau masing-
masing. Namun penentuan keharuman tembakau adalah murni subjektifitas
grader (pemeringkat kualitas) tembakau. Grader adalah orang gudang yang
bertugas menilai kualitas (dengan demikian juga harganya) tembakau dengan
hanya mencium segenggam tembakau. Di sinilah gudang mempermainkan
petani dengan sangat tidak fair.
Kecurangan gudang ini sebenarnya dapat dicegah dengan adanya asosiasi
petani tembakau. Namun sayangnya asosiasi ini di Pamekasan tidak hidup. Alih-
alih berjalan, banyak pengurusnya malah yang justru menjadi kaki tangan
gudang dan bermain individualistis dan mementingkan egoisme pribadinya
dengan tidak memberikan informasi harga tembakau gudang pada petani.
Menurut para narasumber dalam penelitian ini di Madura tidak ada asosiasi
petani tembakau yang dapat menjadi corong aspirasi petani. Yang mereka tahu
hanyalah kelompok tani di desa yang fungsinya hanya untuk menyalurkan pupuk
dari koperasi.
Soal itu, dikatakan oleh seorang petani tembakau bernama Tris (34).
Petani tembakau dari Desa Lawangan Daya, Kecamatan Pademawu itu
menyebut bahwa ketiadaan asosiasi petani menyebabkan posisi tawar mereka
tidak kuat di mata para bandol dan gudang, sehingga mereka dengan seenaknya
bisa dipermainkan. “Jika ada sebuah kumpulan petani yang kuat, bisa jadi kita
bisa mengatur batas harga yang harus disepakati oleh semua petani. Jadinya
kami tidak rugi seperti sekarang,” ujar Tris.
KH Affan mengakui bahwa semakin sedikit yang bermain di tataniaga
tembakau, akan semakin baik terhadap kualitas harga. Hari ini, semua gudang
bermain, dan sebagai antisipasi agar semuanya tidak merugi, para gudang
saling berkompromi dan bekerjasama.
Page 26 of 34
BAB V
DARI BEKO KE CABE JAMU
Di Sumenep, bandol dan petani sama-sama menderita. Mereka bertekad untuk
meninggalkan beko dan beralih ke tanaman lain
Baru-baru ini, media-media memberitakan soal terbatasnya lahan yang akan
ditanami tembakau oleh petani di Kabupaten Sumenep. Itu terjadi karena
sudah beberapa bulan belakangan, wilayah tersebut sering diguyur hujan yang
sangat lebat. Menurut Arief Rusdi, sejak Mei 2011 sebetulnya sudah banyak
petani tembakau yang sudah mulai terjun kembali ke ladang-ladang mereka.
“Namun dari pemantauan yang kami lakukan, jumlah lahan yang sudah
ditanami tembakau relatif masih sedikit, kurang lebih 100 hektare,” ujar
Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Sumenep
tersebut.
Sesuai data yang dikeluarkan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, proyeksi
ideal lahan tanam tembakau di Sumenep pada 2011 ditetapkan seluas 22.333
hektare dengan estimasi produksi sebanyak 13.400 ton.
"Kami memaklumi kondisi yang dialami petani ketika masih menahan diri untuk
menanam tembakau. Hingga pertengahan bulan ini, wilayah Sumenep masih
sering diguyur hujan," ujarnya kepada media beberapa waktu yang lalu.
Rusdi dan para petani tembakau Sumenep berharap musim kemarau tahun ini
tidak lagi harus berkutat dengan curah hujan tinggi. "Di kalangan petani, ada
kekhawatiran musim kemarau tahun ini akan seperti tahun lalu, yakni intensitas
hujan cukup tinggi dan selanjutnya akan merusak tembakau,"ungkapnya. Di
Sumenep, lahan yang dinilai cocok ditanami tembakau tersebar di 17
kecamatan, semuanya di wilayah daratan.
Terkait dengan “lesunya” pertanian tembakau di Sumenep ini, kami coba untuk
menelisik “faktor-faktor selain cuaca” yang menjadi penyebab menurunnya
produksi tembakau Madura di Sumenep. Adapun penelitian ini melibatkan
wawancara kami dengan tiga nara sumber dari tiga kecamatan berbeda di
Sumenep yakni Bluto, Pragaan dan Lenteng. Nara sumber itu adalah Sahawar
(50), Yanto (40) dan Kallap (55).
Page 27 of 34
Bandol dan Petani Sama-Sama Merugi
Baik Sahawar, Yanto maupun Kallap, meyakini
turunnya harga tembakau disebabkan oleh adanya
permainan harga antar gudang. Berbeda dengan
Pamekasan, menurut mereka, bandol di Sumenep
cenderung merugi juga. Banyak bandol yang justru
menyuruh petani untuk berhenti tanam dan beralih
pada tanaman lain. “Saya sendiri berniat akan beralih
ke tanaman cabe jamu,”ujar Sahawar
Permainan harga yang dilakukan oleh tauke salah
satunya dengan cara menerapkan harga tinggi ketika
tembakau belum musim panen. Dan sebaliknya,
mereka menerapkan harga rendah ketika musim panen
tembakau tiba. Alasannya, over supply. Permainan harga semakin kentara
dengan tidak adanya mekanisme yang objektif dan jelas dalam proses
pembelian dan penentuan standar kualitas tembakau.
Para petani tembakau tidak bisa mengadu kepada siapapun menfhadapi soal
seperti ini. Alih-alih mengadu kepada pihak yang berwenang, mereka bahkan
memiliki kesan pemerintah tidak peduli dengan situasi yang mendera mereka.
Rugi dan untungnya panen menjadi urusan petani sendiri. Memang pernah,
Pemerintah melakukan penyuluhan informasi tentang harga tembakau yang
wajar, namun itu hanya dipublikasikan di media radio, dan tidak ada
dampaknya sama sekali pada harga yang diterapkan oleh gudang.
Sahawar dan beberapa petani di Bluto mengaku tidak berani untuk melakukan
perlawanan kepada pemerintah maupun gudang. Dia sadar bahwa petani tidak
akan pernah menang dalam “pertarungan” harga ini. “Yang menang, pastinya
adalah yang memiliki banyak uang,”katanya dalam nada skeptis.
Justru dalam kondisi seperti sekarang, yang paling menderita adalah petani.
Serugi-ruginya bandol, mereka pasti memiliki “cadangan” karena bandol di
Sumenep pada umumnya adalah Haji (juragan) yang memiliki modal dan usaha
besar sebelumnya.
Kondisi yang selalu mengalami pailit, membuat Yanto memutuskan berhenti
bertanam beko. Aalasannya, karena dia pernah mendapatkan uang hanya Rp
500-600 ribu dari 4000 pohon tembakau yang ditanamnya. Itu jelas jomplang
jika mengingat biaya yang dikeluarkannya untuk penananam saja mencapai Rp
1 juta lebih. “Saya kapok menanam tembakau lagi,”katanya.
Pak Sahawar at his farm
land
Page 28 of 34
Kerugian serupa juga dialami Pak Kallap. Dia
menanam 3000 pohon tembakau dengan biaya
antara 1-1,5 juta rupiah. Hasil yang dia tangguk
dari modal sebesar itu ternyata hanya 500 ribu
rupuah. “Saya pernah merasakan keuntungan
dari bertani tembakau terakhir pada 2005 dan
2006,”ujarnya.
Kallap merasa bahwa jaman sekarang ini semua
bisa dipermainkan. Rata-rata para petani
tembakau seperti Kallap, Sahawar dan Yanto
berpendapat bahwa sistem tataniaga pertanian di jaman Presiden Soeharto
jauh lebih baik daripada era reformasi. Penyuluhan pertanian dan program
bantuan kepada petani tampak nyata.
Sesak Nafas Saat Merajang
Sebagai seorang petani yang bermodal pas-pasan, Sahawar hidup seadanya.
Rumahnya terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran 7x3m, terdiri dari 2
kamar. Kamar pertama digunakan oleh ia dan istrinya. Sedankan kamar yang
lain digunakan untuk ketiga putranya. Untuk keperluan mandi, keluarga
Sahawar menimba air dari sumur tetangga. “ Saya tidak mampu membayar
sumbangan listrik untuk sanyo (dynamo air) yang mencapai 20 ribu
perbulan,”ungkapnya.
Ruang mandi di rumah Sahawar, terpisah dan agak
jauh dari rumahnya. Masyarakat Madura
menyebutnya dengan pakeban (tempat mandi kecil),
dimana tidak ada fasilitas WC di dalamnya. Jadi
kalau mau buang air besar ya harus ke kebun atau
sungai.
Untuk tambahan biaya hidup, Sahawar menjadi kuli
bangunan. Bayaran yang diterimanya adalah Rp
15ribu/hari. Baginya ini cukup untuk membiayai makan istri dan ketiga
anaknya. Pola makan Sahawar dan keluarga tetap tiga kali sehari namun
dengan lauk tahu tempe dan kadang ikan kering, jauh dari kaidah makan sehat
dengan gizi seimbang.
Sahawar pernah mendapatkan BLT tiga tahun lalu, namun menurutnya BLT
tidak efektif. Banyak yang tidak tepat sasaran. Dana BLT banyak digunakan
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi tidak cukup untuk tambahan biaya
kesehatan dan pendidikan keluarga.
Pak Kallap with Rozi infront of his
house
Pak Kallap & his family
defecation into this river
Page 29 of 34
Meskipun dalam kondisi sulit (miskin) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
Sahawar tetap menganggap pendidikan dan kesehatan bagi keluarga dan dua
anaknya sangat penting. “Walau hudup seperti sekarang, saya berusaha agar
keluarga saya sehat dan pendidikan anak-anak terus berjalan,”katanya.
Yanto lebih beruntung nasibnya. Rumahnya
bertembok gedong, berkaca riben dan berlantai
tegel. Diantara rumah di sekitarnya, Yanto bisa
dimasukan sebagai petani biasa. Kamar mandi
keluarga Yanto cukup baik dibandingkan
Sahawar. Di dalam kamar mandinya terdapat
WC. Air untuk kebutuhan MCK didapatnya dari
sumur bor milik tetangganya. “Untuk itu saya
harus mengeluarkan iuran 20-40
ribu/bulan,”ujarnya.
Dalam kondisi serba sederhana, Yanto tetap mendorong putra-putrinya untuk
tetap sekolah. Baginya pendidikan adalah satu-satunya cara mengangkat harkat
dan martabat keluarga. Sejak berhenti menanam tembakau, Yanto pindah
profesi menjadi tukang bangunan.
Untuk soal kesehatan, laiknya di Pamekasan, para petani tersebut
mengeluhkannya juga. Menurut Sahawar, petani dapat mengalami mual dan
muntah bahkan pingsan pada saat bekerja merajang tembakau. Itu wajar,
karena pada umumnya masyarakat merajang tembakau pada malam hari ketika
oksigen menipis. Akibatnya mereka cepat kehabisan tenaga saat. Terlebih
aktivitas merajang dilakukan semalam suntuk. TaK aneh kalau mereka terlihat
pucat dan kurus.
Deddy (30) tidak menafikan, banyaknya para petani tembakau yang mengeluh
soal penyakit yang terkait dengan ISPA. “Hanya mereka malas
memeriksakannya ke Puskesmas,” kata salah satu tenaga medis di Puskesmas
wilayah Pragaan itu. Padahal menurut dia, seharusnya sekecil apapun, segala
keluhan yang dialami para petani harus segera diperiksa secara medis. “Karena
bisa saja itu mengarah kepada kematian,”katanya.
Karena menilai bertanam tembakau hanya menimbulkan kerugian, para petani
Sumenep saat ini mayoritas banyak beralih ke tanaman lain seperti cabe jamu,
jagung, kacang dan semangka. Cabe jamu lebih menguntungkan bagi mereka
karena selain harganya stabil, yaitu 40ribu/kg, cabe jamu juga tidak mengenal
musim tanam. Cabe jamu dapat ditanam baik pada musim kemarau maupun
musim hujan. Perawatan dan pertumbuhan cabe jamu juga tidak membutuhkan
banyak pupuk dan air.
Untuk sekarang, para petani Sumenep menilai bertanam tembakau terlalu
beresiko, bahkan sudah pasti menimbulkan kerugian. Langkah Sahawar juga
diikuti oleh petani lainnya di Bluto. Mereka beralih ramai-ramai ke cabe jamu.
Langkah ini mendapat dukungan dari pemerintah desa dan para juragan.
Pak Yanto house with team
Page 30 of 34
Bahkan sebagian juragan yang sebelumnya berperan sebagai bandol dalam
tataniaga tembakau kini telah beralih menjadi pengepul cabe jamu.
Beberapa petani di Desa Sendang, Kecamatan Pragaan bahkan mencoba
tanaman lain yaitu Buah Naga. Namun ini hanya dilakukan oleh sekelompok
kecil petani mengingat jumlah konsumsi buah naga di Sumenep sedikit dan
pemasarannya agak sulit.
Monopoli Tataniaga Tembakau
Kalau diadakan perbandingan, perdagangan tembakau di Sumenep dan
Pamekasan sebetulnya mirip, yakni ada sistem pembukaan gudang secara
bergantian dan sistem harga yang terus menurun setiap periode.
Karena itu, para narasumber petani dan narasumber kepala desa serta tokoh
agama memandang bahwa pemerintah perlu memberlakukan aturan (perda)
yang tegas pada gudang tembakau. Selama ini aturan yang ada adalah gudang
tidak boleh tutup sampai semua tembakau terbeli. Namun aturan ini disiasati
oleh gudang dengan sistem harga yang saling menurun dan pembelian secara
bergantian.
Menurut Sahawar, diantara ketiga aktor dalam tataniaga tembakau,
petanilah yang selalu menjadi korban, karena sistem perdagangannya sarat
dengan tindakan penipuan terhadap petani. Umumnya bandol merupakan
tangan panjang dari tauke. Artinya terdapat fenomena kongkalikong antara
bandol dan tauke, dan hal inilah yang selalu menyebabkan kerugian di pihak
petani.
Menurut Moh. Arkan Yahya (52), kerugian petani
tembakau saat ini sebetulnya murni karena
kejahatan perdagangan tembakau, dan sedikit
sekali karena buruknya cuaca. Sangat disayangkan,
peran pemerintah tidak kelihatan dalam fungsinya
sebagai pengontrol harga. Pemerintah justru
“takut” menghadapi pengusaha. “Pemerintah tidak
pernah mempertemukan petani dan pengusaha
dalam rangka mengatur sistem harga yang sama-
sama menguntungkan keduabelah pihak,”ujar tokoh agama di Kecamatan
Lenteng.
Berbeda dengan Moh. Arkan Yahya, Imam Mahdi, melihat sebenarnya
pemerintah sudah memberikan peraturan harga tembakau, yaitu harga
tertinggi dan harga terendah pada tahun 2008 dan 2009. Kebijakan tersebut
diinisiasi oleh Komisi C DPRD Kabupaten Sumenep. Namun dalam kenyataannya,
pengusaha tetap mengacuhkan peraturan tersebut. “Para pengusaha malah
balik mengancam akan menutup gudang (tidak akan melakukan pembelian
tembakau) jika harga ketentuan dari pemerintah terlalu tinggi dan merugikan
pengusaha,” kata Kepala Desa Pragaan, Kecamatan Pragaan tersebut
Pak Moh. Arkan Yahya & Rozi
Page 31 of 34
Petani di Sumenep umumnya tidak mengetahui adanya asosiasi petani
tembakau. Seperti diakui oleh Dulla (42), selama ini para petani tembakau
hanya mengetahui adanya kelompok tani di desa mereka yang lebih berperan
dalam distribusi pupuk dan penarikan iuran air. Andaipun asosiasi petani
tembakau itu ada, mereka masih pesimis akan fungsinya dalam memperkuat
daya tawar petani. “Kami sama sekali tak pernah melakukan koordinasi dengan
asosiasi-asosiasi petani tembakau tersebut,”ujarnya.
Page 32 of 34
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Seperti Karso, banyak petani tembakau di Jember, Pameksan dan Sumenep
mengaku sangat dirugikan oleh tata niaga tembakau yang tidak berpihak pada
petani. Mereka sadar ada upaya pemiskinan yang bermotif keuntungan bagi
kelompok industri tembakau yang ironisnya didiamkan oleh pemerintah. Tapi
mereka tidak mampu untuk melakukan pengorganisasian yang bisa memberikan
dampak perubahan yang diharapkan. Berikut adalah upaya pemiskinan yang
terjadi:
1. Harga ditentukan sepihak oleh gudang (pabrik rokok).
2. Pihak gudang sangat subyektif dalam menentukan kualitas tembakau
mereka sehingga di hargai sangat murah.
3. Tidak ada assosiasi/lembaga apapun yang membela kepentingan petani
dari tataniaga tembakau yang memiskinkan petani temabakau di wilayah
mereka.
4. Petani kurang mampu untuk melakukan perlawanan tetapi sangat mudah
untuk di provokasi sehingga kekacauan dapat saja terjadi.
5. Penyakit yang banyak di temui seperti mual, muntah dan pusing akibat
uap zat tembakau ketika aktivitas merajang di gudang, memberikan
dampak menurunnya produktivitas petani.
Saran untuk Pemerintah:
Para petani mendesak kepada pihak pemerintah lokal dan pusat untuk turun
tangan membantu memperbaiki nasib mereka, terutama mengubah sistem tata
niaga tembakau itu agar lebih berpihak pada petani miskin seperti mereka.
Sehingga mereka mampu lepas dari jeratan kemiskinan yang berkepanjangan.
Mereka mendesak untuk segera membuat mekanisme yang jelas dari
pemerintah untuk melakukan:
1. Mengatur kepastian harga jual tembakau, membuat mekanisme
perlindungan dan pengawasan harga & kualitas tembakau di pasar.
2. Kepastian hasil panen mereka diserap oleh gudang (pabrik) atau pasar
alternatif, yang saling memberikan keuntungan kedua belah pihak.
3. Penetapan dan penegakan aturan & sanksi, tentang standar kualitas harga
tembakau yang bisa ditentukan/dimengerti juga oleh para petani (tidak
oleh para bandol saja),
4. Menetapkan dan mengelola media informasi resmi tentang perkembangan
pasar tembakau antar daerah penghasil tembakau local dan international.
5. Mendorong dan memfasilitasi terbentuknya koperasi petani tembakau yang
mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani tembakau sebagai
bagian pemenuhan hak ekonomi, social dan budaya.
Page 33 of 34
Demikianlah hasil investigasi yang telah kami lakukan. Semoga bermanfaat
untuk membuktikan bahwa nasib petani tembakau di tangan para industri
rokok, dalam kenyataannya tidak seindah retorika “para pembela hak-hak
petani tembakau” di Jakarta. Terimakasih
Page 34 of 34

Contenu connexe

En vedette

2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by HubspotMarius Sescu
 
Everything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTEverything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTExpeed Software
 
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsProduct Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsPixeldarts
 
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthThinkNow
 
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfAI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfmarketingartwork
 
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024Neil Kimberley
 
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)contently
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024Albert Qian
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsKurio // The Social Media Age(ncy)
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Search Engine Journal
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summarySpeakerHub
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Tessa Mero
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentLily Ray
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best PracticesVit Horky
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementMindGenius
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...RachelPearson36
 

En vedette (20)

2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot2024 State of Marketing Report – by Hubspot
2024 State of Marketing Report – by Hubspot
 
Everything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPTEverything You Need To Know About ChatGPT
Everything You Need To Know About ChatGPT
 
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage EngineeringsProduct Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
Product Design Trends in 2024 | Teenage Engineerings
 
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental HealthHow Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
How Race, Age and Gender Shape Attitudes Towards Mental Health
 
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdfAI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
AI Trends in Creative Operations 2024 by Artwork Flow.pdf
 
Skeleton Culture Code
Skeleton Culture CodeSkeleton Culture Code
Skeleton Culture Code
 
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
 
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
 
How to have difficult conversations
How to have difficult conversations How to have difficult conversations
How to have difficult conversations
 
Introduction to Data Science
Introduction to Data ScienceIntroduction to Data Science
Introduction to Data Science
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best Practices
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project management
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
 

DAUN EMAS DI TIMUR JAWA

  • 1. Page 1 of 34 SENGSARA DI TIMUR JAWA (Kisah kemiskinan dan ketidakberdayaan para petani tembakau Sumenep, Pamekasan dan Jember menghadapi tataniaga tembakau yang memiskinkan) oleh: Hendi Johari Akhmad Jayadi RUMAH GEMILANG INDONESIA 2011
  • 2. Page 2 of 34 BAB I PROLOG Maret 2010. Ribuan massa memenuhi jalan-jalan protokol di kawasan Jakarta. Mereka yang mengaku dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI Jawa Tengah itu tak henti-hentinya bersorak, berteriak dan mengecam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Di depan Kantor Kementerian Kesehatan di Jalan Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan, massa yang sebagian terlihat mengusung spanduk beraneka warna dan sebatang rokok berukuran raksasa semakin berulah. Teriakan mereka semakin menjadi.Bahkan beberapa demonstran ada yang secara atraktif menghisap rokok dalam jumlah yang tak wajar di mulutnya. “Ini sebagai protes terhadap RPP dan pemerintah yang tak memperhatikan nasib petani tembakau yang menderita!”teriak salah satu koordinator lapangan (korlap) aksi tersebut berulang-ulang. Pernyataan sang korlap diamini oleh Sodaryanto. Ketua Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menyatakan bahwa pemberlakuan RPP akan mengancam terjadinya pengangguran secara besar-besaran. Menurutnya, tenaga kerja yang terserap secara langsung dan tidak langsung dari industri tembakau saat ini adalah sekitar 6 juta orang. “Jadi pemerintah harus benar- benar mempertimbangkan hal ini. Tidak mudah lho, mengalihkan jumlah tenaga kerja sebanyak itu,” katanya seperti dilansir Pos Kota. Benarkah pemberlakuan RPP akan menjadikan kiamat bagi para petani tembakau? Benarkah di bawah kungkungan industri rokok selama ini, para petani tembakau jauh dari kemelaratan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut kami melakukan pencarian fakta-fakta di tengah-tengah masyarakat petani tembakau. Berikut di bawah ini laporan kegiatan tersebut dilakukan.
  • 3. Page 3 of 34 Metodologi Penelitian Lokasi Penelitian Tiga kabupaten yang dijadikan sebagai lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Jember. Penentuan lokasi penelitian ini berdasarkan data bahwa ketiga kabupaten adalah daerah penghasil tembakau mayoritas di provinsi Jawa Timur dimana sistem tataniaga tembakaunya berbeda-beda. Kebijakan harga di Pamekasan dan Sumenep selalu berubah setiap tahun. Bahkan pada lima tahun terakhir, petani selalu mengalami kerugian karena harga yang diterapkan oleh gudang selalu di bawah ongkos produksi. Akibatnya petani menderita. Petani di Jember mengalami nasib yang lebih baik dimana harga sedikit di atas ongkos produksi. Metode Sampling Sample narasumber dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling, dimana sample (narasumber petani tembakau) dipilih secara sengaja oleh peneliti berdasarkan data yang ingin didapatkan. Pada tiap kabupaten, dipilih lima (5) orang narasumber yang terdiri atas tiga (3) orang petani yang berasal dari desa (kecamatan) yang berbeda, seorang kepala desa, serta seorang tokoh agama. Kabupaten Pamekasan Narasumber petani di Kabupaten Pamekasan adalah Azizwanto (37) dari Desa Kadua Barat Kecamatan Larangan, Ahmad Fauzi (37 tahun) dari Desa Artodung Kecamatan Galis, Saniman (41 tahun) dari Desa Kolelah, Kecamatan Kadur dan Tris (34) dari Desa Lawangan Daya Kecamatan Pademawu. Adapun narasumber kepala desa adalah Ali Siddik (33 tahun), Kepala Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan, dan narasumber tokoh agama adalah K.H. Affan Baisuni (40 tahun) dari Desa Montok, Kecamatan Larangan. Kabupaten Sumenep Narasumber petani di Kabupaten Sumenep adalah Sahawar (50 tahun) dari Desa Bluto, Kecamatan Bluto, Pak Yanto (40 tahun) dari Desa Prenduan Kecamatan Pragaan, Kallap (55 tahun) dari Desa Lenteng Kecamatan Lenteng dan Dulla (42) dari Desa Pragan Laok Kecamatan Pragan. Narasumber kepala desa di Sumenep adalah Imam Mahdi (49 tahun), Kepala Desa Pragaan, Kecamatan Pragaan. Nara sumber dari Puskesmas Pragan yakni Deddy (30).Sedangkan narasumber tokoh agama adalah Moh. Arkan Yahya (33 tahun) dari Kecamatan Lenteng.
  • 4. Page 4 of 34 Kabupaten Jember Tiga narasumber petani di Kabupaten Jember masing-masing adalah Baihaqi (30 tahun) dari Kecamatan Mayang, Sunardi (25 tahun) dari Kecamatan Pakusari dan Pak Irma (54 tahun) dari Kecamatan Kalisat. Narasumber kepala desa di Jember adalah Misjo (38 tahun), Kepala Desa Pakusari, Kecamatan Pakusari, dan narasumber tokoh agama adalah Kyai Misbahul Munir (43 tahun) dari Kecamatan Sumbersari. Metode Pengumpulan Data Metode yang dipilih dalam pengumpulan data penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan panduan questionnaire. Pertanyaan- pertanyaan dalam questionnaire tersebut bersifat terbuka, dengan tujuan untuk mengeksplorasi jawaban narasumber seluas dan sedalam mungkin. Terdapat perbedaan sedikit antara pertanyaan yang diajukan terhadap narasumber petani dengan pertanyaan kepada kepala desa dan tokoh agama. Petani diharapkan memberikan jawaban tentang perhitungan untung rugi (benefit-cost) sosial-ekonomi dalam sistem pertanian tembakau. Adapun jawaban kepada kepala desa dan tokoh agama diharapkan mampu mengurai akar masalah dalam tataniaga tembakau serta aktor-aktor yang berperan dalam tataniaga tersebut. Waktu Penelitian Dilaksanakan sepanjang bulan Mei – Oktober 2011
  • 5. Page 5 of 34 BAB II DAUN EMAS DI TIMUR JAWA “Beni lelakek mon tak nanem beko” (adagium di Tanah Madura) PARA PETANI tembakau di Jember, Sumenep dan Pamekasan mendapat pengetahuan bercocok tanam tembakau secara turun temurun. Petani-petani di Jawa Timur seperti di Kabupaten Jember yang berlokasi di (dan sebagian besar petani-petani di daerah tapal kuda macam Bondowoso, Situbundo, Banyuwangi), mempunyai silsilah orangtua yang berasal dari Madura (antara lain dari Sumenep dan Pamekasan itu) yang dikenal sebagai salah satu sentra daerah penghasil tembakau di Indonesia. Hikayat Beko Sejarah perkembangan tembakau di Madura bisa ditelusuri dari tulisan Huube de Jonge, dalam bukunya “Madura Dalam Empat Zaman” : Pedagang Perkembangan Ekonomi, dan Islam” (1989). Dia menuliskan bahwa timbulnya dan penyebarluasan penanaman tembakau komersial di Madura sangat banyak ditentukan oleh perkembangan agraris di pualu tetangga Jawa. Baik tanaman perdagangan waktu sistem tanam paksa maupun pertanian perkebunan dalam tahun-tahun kemudian, secara tidak langsung mempunyai arti penting bagi budidaya tembakau rakyat Madura. Menuru Huube de Jonge, tembakau pertama kali ditanam di tanah Madura pada 1830. Namun Residen Surabaya segera memberitahukan kepada Gubernur Jenderal, Madura sama sekali tidak cocok untuk penanaman tembakau. Lahan- lahannya yang rendah penuh dengan batu-batu dan tanah yang tinggi mengandung terlalu banyak kapur. Lagi pula sangat kekurangan air, sehingga “semua budidaya tanaman yang membutuhkan pengairan atau kelembaban, tidak akan berhasil disana”. Karena eksperimen dengan tanaman-tanaman lain, pada waktu itu Madura selamat dari tanaman paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial.
  • 6. Page 6 of 34 Namun demikian, menurut Huube, orang-orang Madura dapat mengenal penanaman tembakau dengan cara lain. Banyak orang Madura dalam waktu singkat atau lama memperoleh pekerjaan di bidang budidaya tembakau gubernemen di Jawa. Para migran ini bekerja sebagai kuli di gudang-gudang tembakau atau dengan menerima bayaran, mereka menggantikan petani jawa yang dengan jalan ini dapat melepaskan diri dari kerja paksa. Setidaknya sejak itulah, orang-orang Madura mulai dapat mengenal budidaya tembakau, yang pada gilirannya menjadi tanaman unik dan idaman masyarakat Madura. Jadi bisa dikatakan, tradisi tembakau di Madura sesungguhnya merupakan tradisi yang diimpor dari luar Madura. Walaupun dalam perkembangannya kini tembakau telah identik dengan Madura. Begitu kuatnya tradisi tembakau ini di kalangan masyarakat, hingga ada adagium yang berbunyi; “Beni lelakek mon tak nanem beko” Artinya, bukan laki-laki kalau tidak menanam tembakau. Orang Madura menyebut tembakau dengan sebutan beko. Dulu, di masa-masa jayanya, tembakau bisa disebut daun emas. Istilah ini muncul karena saat panen tiba, saking banyak duitnya para petani bisa membeli banyak emas. Masa keemasan itu memudar sejak tahun 1985. Harga tembakau mulai anjlok dan petani menjadi terpuruk akibat harga jual ditentukan secara sepihak justru oleh industri rokok atau dalam istilah mereka yakni orang pabrikan. Harga jual dari petani itu ditentukan oleh pabrik beradasarkan kualitas yang ironisnya juga ditentukan oleh pembeli alias orang pabrikan. Perjuangan Berat Bertani Beko Menjadi petani tembakau memerlukan fisik dan perjuangan yang lebih berat dibanding bercocok tanam komoditi lain. Tembakau tergolong tanaman yang rumit. Di bulan-bulan pertama, petani harus bekerja siang malam merawat tembakau. Layaknya manusia saja, tembakau memerlukan air yang rutin. Biasanya siang dan tengah malam, petani harus rajin menyiram. Kalau tidak, tanamannya akan layu, istilahnya kalau manusia mengalami lesu darah. Pernyiramannya pun tidak bisa sembarangan. Satu persatu pohon tembakau harus mendapat siraman air. Selain itu, petani juga dituntut rajin membersihkan rumput yang biasanya tumbuh di sekitar pohon tembakau. Belum lagi harus memberi pupuk dan menjaganya dari serangan hama (biasanya ulat). Memasuki bulan ketiga setelah masa tanam, meski kegiatan perawatan sudah tidak lagi menyita waktu dan tenaga, petani juga harus rajin berdoa agar cuaca tetap bersahabat dengan mereka. Hujan yang turun terus menerus tentu saja akan merusak pertumbuhan tembakau.
  • 7. Page 7 of 34 Tembakau dipanen dalam tiga tahap. Tahap pertama daun yang dipetik adalah daun yang berada di level bawah. Petani menyebutnya koseran. Tahap kedua, daun yang berada di level tengah yang disebut meden. Dan tahap ketiga, daun yang berada di atas yang disebut pocok-an. Masing-masing tahap ini (koseran, meden, dan pocokan) memiliki harga yang berbeda. Jeda panen antar tahap antara empat sampai lima hari. Untuk menjadi nominal rupiah, sejak dipetik hingga transaksi memakan waktu sekitar 9 hari. Setelah dipetik, daun tembakau harus dikeringkan dulu. Kalau matahari bagus, pengeringan hanya memakan waktu satu sampai dua hari. Tapi kalau matahari tidak bersahabat, bisa dibayangkan kerepotan petani harus menyimpan daun-daun tembakau itu. Daun tembakau yang terendam air, alamat tidak akan laku. Setelah kering, tembakau harus pula dirajang atau dipotong kecil-kecil. Ini tentu makan waktu. Tahap berikutnya, daun tembakau digulung dengan tikar atau dibikin seperti bal-balan gulungan kain dan kemudian ditusuk dengan bambu. Gulungan-gulungan seperti inilah yang baru siap dibawa ke gudang untuk dijual. Jual Tembakau untuk Bayar Hutang Petani tidak selalu harus mendatangi gudang. Mereka bisa juga menjual kepada “bandol” dan "tukang tongkok" (semacam tengkulak), yang biasanya rajin keluar masuk kampung saat musim panen tembakau tiba. Tentu saja harganya lebih miring dibanding dijual langsung ke gudang. Petani yang kepepet karena tembakaunya tak kunjung kering, biasanya menjual langsung kepada bandol dan tukang tongkok ini. Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian, produksi tembakau nasional tahun 2009 adalah 176.937 ton. Tahun 2010 lalu, akibat anomali cuaca yang tidak menentu. Produksi tembakau diperkirakan merosot 30%, jadi produksi tembakau tahun 2010 sekitar 123.136 ton. Akibat cuaca pula, rendemen tembakau juga akan merosot dari 18% menjadi 12%. Artinya, dari setiap kuintal daun tembakau, hanya dihasilkan sekitar 12 kg tembakau yang laku dijual. Kondisi yang sama diperkirakan akan kembali terjadi di tahun ini karena factor cuaca yang tidak menentu. Untuk tembakau koseran atau tembakau bagian paling bawah tanaman, dijual seharga Rp 16.000-Rp 20.000 per kg. Adapun tembakau jenis katokan, yaitu tembakau yang tumbuhnya di atas tembakau koseran, harga jualnya sekitar Rp 20.000-Rp 24.000 per kg. Sedang untuk grade 1, 2, 3, atau tembakau bagian tengah tanaman, paling mahal harganya sekitar Rp 31.000 per kg. Adapun
  • 8. Page 8 of 34 pucuk untuk grade 4, 5, 6 bagian yang paling atas, kini harganya sekitar Rp. 27.000,- per kg. Para petani yang merugi, mencoba mencari peruntungan lain dengan menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Itu dimaksudkan, agar kerugian dan hutang selama menanam tembakau bisa terganti. Petani terjerat hutang karena untuk menanam tembakau memerlukan modal yang cukup besar. Mulai dari membeli bibit, ongkos perawatan, membeli pupuk, dan ongkos panen. Jika segala pengeluaran itu tidak tertutupi dari hasil panen, para petani ini memilih jadi TKI (istri dan anaknya) dengan harapan bisa menebus hutangnya selepas menjadi “tekong” (istilah orang Madura menyebut TKI) ini. Bagi orang Madura, masalah hutang adalah masalah harga diri. Mereka tidak berani pulang kampung kalau tidak sanggup melunasi hutang-hutangnya. Menjadi TKI adalah salah satu pilihan yang paling rasional. Pasalnya, banyak juga petani tembakau yang menjadi gila lantaran stress memikirkan hutang. “Dulu, ada yang tiap hari berkalung kodok atau cicak karena tidak waras. Saya sendiri selamat dari kemungkinan menjadi gila berkat doa istri dan keluarga saya,” kata Saleh, salah seorang petani tembakau asal Kalianget, Kabupaten Sumenep.
  • 9. Page 9 of 34 BAB III KIAMAT KECIL DI JEMBER “Menanam tembakau itu manis di awal-awalnya saja. Setelah itu saya rugi terus.” (Iman, Petani Tembakau dari Jember) UDARA HANGAT MENYELIMUTI menyelimuti Kabupaten Jember malam itu. Di Ledu Ombo, dalam sebuah ruang 4X6, Soekarso (64)—biasa dipanggil Karso-- bicara dalam nada bersemangat. Bak senjata M16 yang distel dalam posisi otomatis, mulutnya seolah tak berhenti menghamburkan kisah-kisah lama sekitar kejayaan dan kejatuhannya sebagai seorang pemburu daun emas, istilah lelaki tua itu untuk daun dari pohon tembakau (nicotiana tabacum). “Bisnis tembakau itu sebenarnya kotor.Ya sesuai kepanjangan namanya tembakau: tempat bajingan kolot,”katanya sambil terkekeh. Sekumpulan asap putih rokok kretek keluar dari mulutnya, bergulung membentuk gelombang udara berbau khas nikotin. Karso menyebut tembakau sebagai kependekan dari “tempat bajingan kolot”. Disebut demikian karena menurut lelaki periang tersebut, bisnis tembakau memang banyak melibatkan hal-hal yang bersifat “kotor”.Sebut saja misalnya keinginan besar untuk cepat kaya dari orang-orang yang terlibat dalam bisnis tersebut. Hingga tak jarang, mereka “menghalalkan” segala cara: berlaku curang, menipu dan mengintimidasi. Wajar, dalam lingkungan ini, dominasi sekelompok mafia sangat besar. “Bagi orang-orang berduit mungkin mereka bisa melakukan persaingan, tapi buat petani-petani kecil? Mereka hanya bisa frustasi dan bahkan kadang-kadang ada yang gila,”ujar Soekarso. Pendeknya, secara pribadi, banyak hal yang kurang mengenakan dalam menjalani bisnis daun yang dikenal di kalangan keturunan Madura sebagai beko itu. Baik sebagai pelaku maupun korban.Lantas kenapa Soekarso terlibat dalam bisnis yang penuh dengan kemudharatan itu? “Karena saya berpikir sudah terlanjur menjadi salah satu dari bajingan itu,”jawabnya enteng.
  • 10. Page 10 of 34 Pernah Untung Jadi Buntung Seperti efek menghisap tembakau, menanam tembakau bisa pula kecanduan, sebuah efek psikologis yang berada di luar nalar akal sehat manusia. Kendati sepenuhnya menyadari harga tembakau belum tentu bisa diandalkan saat panen tiba, para petani tetap setia menanam tembakau. Kalaupun ada yang beralih profesi, mereka mengaku itu untuk sementara saja. Jika nanti harga tembakau kembali bagus, mereka akan kembali menanam tembakau. Para petani tembakau sesungguhnya sangat sadar bahwa posisi tawar mereka lebih rendah dibanding para pembeli tembakau. Misalnya dalam penentuan harga jual. Mereka tidak bisa menentukan sendiri. Alih-alih bisa mengatur harga, untuk soal ini mereka malah bisa “dipermainkan” oleh para pembeli. “Mungkin karena saya pernah mengalami masa-masa jaya saat hasil panen bagus. Ya jadinya saya selalu punya harapan panen berikutnya harga akan bagus,” ujar lelaki yang terjun ke dunia pertanian tembakau sejak umur 16 tahun tersebut. Keputusan Karso untuk menjadi petani tembakau berawal dari ketidakmampuan sang orangtua meneruskan pendidikannya ke bangku SMP. Namun selain tidak punya biaya, secara pribadi Karso pun memang lebih tertarik menjadi petani dibandingkan bersekolah. Jadilah kemudian ia mengelola tanah milik orangtuanya. “Yang saya ingat, menjadi petani tembakau saat itu hasilnya bagus sekali. Terbukti hampir semua petani di sini menanam tembakau,” kata Pak Karso. Karso mengenang masa-masa emas bertani tembakau pada 1982. Saat itu tembakau dihargai Rp 1,5 juta perkwintal. Sebagai perbandingan, harga sapi saat itu masih Rp 300 ribu perekor. Dari keuntungan bertani tembakau itu, Karso sendiri bisa membeli tanah dan membangun rumah. Krisis mulai menerpa bisnis tembakau pada 1985. Padahal saat itu, Karso mulai mandiri sebagai petani artinya ia mulai lepas dari orangtuanya. Karso punya lahan seluas sekitar 2 hektar. Tiap tahun rata-rata dia menanam sekitar 40 ribu pohon tembakau jenis kasturi di atas lahan seluas itu. “Tapi yaitu, sejak 1985 tidak setiap tahun saya mendapat untung,”ungkapnya. Alih-alih untung, pernasibannya di pertanian tembakau malah menjadi buntung. Masa paling “buntung” dialami Karso pada 1991. Ceritanya, waktu itu dia panen sekitar 3 ton. Namun dasar sial, tak satu pun gudang bersedia membeli hasil panennya dengan alasan stok tembakau masih menumpuk. Ayah dua anak ini
  • 11. Page 11 of 34 berusaha bersabar. Hasil panen itu disimpannya di gudang dan dijualnya setahun kemudian. Tapi setahun kemudian, gudang kembali menolak membeli hasil panen tembakau lagi-lagi dengan alasan stok masih ada. “Kami bahkan sampai membakar hasil panen sebagai bentuk protes,” ujar Karso. Lantas ia memilih menanam jagung dan kacang. Sekitar 2004 kejadian serupa terulang kembali. Gudang tidak mampu menyerap hasil panen petani dengan alasan stok menumpuk. Kalaupun ada gudang yang bersedia membeli, harganya jauh di bawah kewajaran. Karso mencurigai, ini adalah salah satu bentuk cara dari tengkulak dan pabrik rokok supaya harga tembakau jatuh. Sebagai bentuk protes, Pak Karso dan teman-temannya sesama petani tembakau sempat melakukan unjuk rasa ke Pemda dan DPRD Kabupaten Jember. Mereka menuntut pemerintah memberi perlindungan harga kepada petani. Hasilnya? “Eh mereka malah balik bertanya, siapa suruh menanam tembakau?” ujarnya dalam nada kesal. Karso dan rekan-rekannya sangat menyadari lemahnya posisi tawar mereka karena tidak adanya organisasi yang bisa menampung aspirasi mereka. Memang mereka pernah mendengar ada organisasi petani tembakau bernama Aliansi Petani Tembakau Indonesia (APTI), tapi mereka sama sekali tak mau tahu dan peduli dengan keberadaan organisasi tersebut. “Saya tahu tapi tidak pernah berurusan dengan mereka,”katanya. Kendati kini tidak pernah lagi merasakan untung dari menanam tembakau, Karso mengaku tidak berdaya untuk berhenti menanam tembakau. Tapi, “Saya berusaha anak saya tidak tertular seperti saya,” katanya sambil tertawa. Ia mengatakan bahwa dirinya mendorong anak-anaknya untuk menekuni profesi yang lain. Lain Karso lain pula Iman. Petani asal Ambulu tersebut, kini memilih keluar dulu dari dunia tembakau dan banting setir ke proyek-proyek membersihkan selokan dari Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Jember. “Menanam tembakau itu manis di awal-awalnya saja. Setelah itu saya rugi terus,” kenangnya sambil tersenyum kecut. Iman mulai menanam tembakau secara mandiri pada 2000. Diatas lahan seluas 6.000 meter persegi, ayah tiga anak ini mengeluarkan modal Rp 4,7 juta untuk satu musim tanam tembakau itu. Hasil dari jerih payahnya itu, ia berhasil mendapatkan keuntungan panen Rp 11.625.000. “Karena keuntungan awal itu, saya jadi bersemangat untuk menanam tembakau lagi,” katanya.
  • 12. Page 12 of 34 Tahun berikutnya, dengan modal yang sama dia masih bisa mendapatkan hasil yang lumayan. Baru setahun kemudian, Iman mulai merasakan pahitnya menanam tembakau. Selain ia banyak mengeluarkan modal, keuntungan hasil panen yang didapatnya hanya Rp 2,2 juta. “Saya sedih, tapi saya kuat-kuatkan hati untuk tetap menanam tembakau. Saya anggap itu resiko petani sedang sial saja,” kenangnya. Setelah menunggu setahun kemudian, “kiamat kecil” mulai mendatangi Iman. Alih-alih beruntung, hasil panen Iman malah sama sekali tidak ada yang membeli. “Saya sampai menyewa pick up berkeliling dari gudang ke gudang menawarkan tembakau. Tidak ada satu pun gudang yang mau membeli dengan alasan stok masih banyak.” Frustasi, Iman lalu membakar tembakau-tembakaunya itu di tengah sawah. Para petani lain pun mengikuti ulahnya dan sempat menjadi berita hangat di koran-koran lokal. “Karena pemberitaan itu, kami sampai dipanggil DPRD untuk dimintai keterangan,” katanya. Usai kejadian itu, Iman dan banyak petani lainnya lantas memilih untuk beralih ke tanaman padi. Hidup tanpa MCK yang memadai Rata-rata petani tembakau di Kabupaten Jember ada dalam kondisi ekonomi yang jauh dari sejahtera (kalau tidak dikatakan miskin). Seperti Sunardi (34) salah satu petani tembakau dari Desa Kalisat. Alih-alih fasilitas MKC (Mandi Cuci Kakus) yang memadai, keluarga Sunardi melaksanakan kegiatan mandi,mencuci dan buang hajat di sebuah sungai yang terdapat di belakang rumahnya. “Hanya untuk keperluan minum kami menggunakan air sumur,” ujar lelaki yang memiliki rumah sederhana berlantai semen tersebut. Nasib Baihaqi (30), tak jauh beda dengan Sunardi. Kendati bagian depan rumahnya sudah memakai bata (didapatkan dari program bedah rumah pemerintah Kabupaten Jember), namun bilik anyaman bambu masih mendominasi sebagian besar rumahnya, terutama bagian belakang. Namun dibanding Sunardi, kondisi MCK Baihaqi masih lebih baik. “Kami menggunakan air sumur dari tetangga untuk keperluan MCK,”katanya. Parahnya, letak sumur tersebut tidak jauh dari Pak Sunardi washroom in the backside Pak Baihaki washroom and water supply
  • 13. Page 13 of 34 tempat pembuangan air besar sehingga beresiko bagi keluarga ini untuk terkena penyakit kolera atau disentri Kondisi yang lebih baik dialami oleh Irma (54). Selain memiliki peralatan rumah tangga yang relatif baik (lantainya bertegel keramik dengan dinding dari batu bata, ada sofa, lemari dan dipan), kondisi MCK keluarga Irma juga termasuk baik.”Kami sudah menggunakan pompa untuk menaikan air dari dalam sumur,” ungkap lelaki yang mengaku merasa kondisi rumahtangganya “membaik” usai menikahkan putrinya. Secara umum, kondisi kesehatan petani tembakau di Kalisat tidak mengalami masalah. Meskipun mereka bertiga adalah perokok, namun sampai saat ini tak ada keluhan yang berarti terkait dengan penyakit dari mereka. Posisi Tawar Ekonomi yang Lumayan Dalam pengamatan kami, system tataniaga tembakau di Jember tergolong fair. Itu terlihat dari banyaknya gudang yang terlibat dalam jual-beli tembakau. Perusahaan-perusahaan tersebut, terdiri atas perusahaan lokal, perusahaan nasional dan bahkan perusahaan yang berorientasi ekspor. Umumnya tembakau Jember dijadikan bahan utama dalam pembuatan rokok cerutu. Tak aneh jika situasi tersebut menjadikan gudang-gudang yang bermain di Jember adalah gudang berskala internasional seperti PT.IDS. Sebagian cerutu yang dihasilkan dari tembakau Jember diekspor ke kawasan Eropa. PTPN (Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara) juga menjadi salah satu pemain di Jember. Dalam menjalankan bisnisnya, mereka menerapkan sistem kontrak pada petani. Jadi monopoli yang di lakukan oleh industri rokok di wilayah Jember tidak terlalu merugikan karena petani tembakau di Jember mempunyai posisi tawar yang lumayan. Pak Irma washroom and water supply
  • 14. Page 14 of 34 BAB IV BANDOL-BANDOL PAMEKASAN Dengan menekan petani-petani kecil di bawahnya, mereka menjadi hamba yang efektif untuk industri rokok Secara ekonomis, Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu kawasan terbesar penghasil tembakau Madura. Dengan luas areal rata-rata mencapai 34.565 hektare tiap tahunnya, pertanian tembakau Pamekasan praktis merupakan 50% dari total tembakau yang ada di Madura (70.405 Ha). Meskipun menjadi yang terbesar, tidak menjadikan situasi para petani di Pamekasan jauh dari masalah. Seperti laiknya nasib para petani tembakau di kawasan lainnya, mereka pun masih berkutat dengan berbagai soal yang membelit mereka. Salah satu masalah utama yang dihadapi petani tembakau di Madura adalah masalah sistem perdagangan. Ketidakpahaman mereka saat berurusan dengan para tauke (penadah besar sebelum ke industri) membuat mereka menggantungkan sepenuhnya nasib mereka kepada pedagang baru yang disebut juragan dan bandol. Juragan merupakan orang yang mendapat kepercayaan dari tauke untuk membeli tembakau dengan mutu dan harga yang sudah ditentukan terlebih dahulu. Sedangkan bandol adalah asisten atau pembantu juragan untuk mendapatkan tembakau dari para petani. Pendeknya, juragan dan bandol berperan sebagai pialang atau perantara dalam perdagangan tembakau Madura. Dominannya peran bandol dan tauke dalam sistem perdagangan tembakau di Pamekasan, menjadikan kami tertarik untuk menelisik soal ini lebih jauh. Lantas, kami melakukan penelisikan di tiga desa dari tiga kecamatan berbeda yaitu, Desa Kaduara Barat, Kecamatan Larangan, dengan narasumber Azizwanto (37). Narasumber kedua adalah Ahmad Fauzi (37) dari Desa Artodung, Kecamatan Galis. Dan narasumber ketiga adalah Saniman (41) dari Desa Kolelah, Kecamatan Kadur. Mereka semua adalah petani pemilik lahan. Ahmad Fauzi & Jayadi in the guest room
  • 15. Page 15 of 34 Dari ketiga narasumber di atas, Saniman adalah petani yang paling kecil memiliki lahan (sekitar 0,5 hektar). Sedangkan Aziz dan Fauzi masing- masing memiliki tanah seluas 1 hektar dan 1,5 hektar. Nasib Saniman juga paling buruk diantara ketiganya. Menurut pengakuannya, dia pernah mendapatkan uang hasil penjualan hanya sebesar Rp 50 ribu dari total tembakau yang dia tanam. “Sejak kejadian 3 tahun lalu itu, saya memutuskan untuk berhenti total dari menanam tembakau,”katanya. Aziz dan Fauzi masih melanjutkan menanam tembakau dengan sistem tumpang sari, yaitu menyelingi (membagi separuh) tanahnya untuk menanam tembakau dan semangka atau kacang. Tak berbeda jauh dari Saniman, Aziz dan Fauzi mengaku hanya pernah pendapatkan untung dari menanam tembakau pada tahun 2006. Sisanya mereka merugi. Petani vs Bandol dan Tauke Saniman, Fauzi dan Azis memiliki pendapat yang sama soal penyebab turunnya harga tembakau di Pamekasan. Mereka menunjuk permainan harga oleh tauke (gudang/industri rokok) dan bandol (tengkulak) sebagai penyebab utamanya. Mereka sangat yakin soal itu, terutama Aziz yang pernah berpengalaman menjadi bandol. “Justru saya berhenti menjadi bandol karena merasa bahwa diri saya telah merugikan sesama petani,” ungkap Aziz. Karena soal nurani itulah, pada akhirnya dia memilih menjadi petani murni walaupun dengan resiko terkena imbas permainan harga. Imbas permainan harga yang dimaksud Aziz memang “menyesakan” para petani kecil. Dengan memnafaatkan kepercayaan “daripada rugi besar karena tidak laku lebih baik terjual meski dengan harga yang murah”, para pengepul menghargai tembakau yang dijual para petani dengan murah yakni dalam kisaran 4000 – 8000 rupiah perkilogram (harga normal antara 15.000-18.000 Saniman & Jayadi in the guest room Saniman family toilet Azis & Jayadi in the guest room Ahmad Fauzi family toilet
  • 16. Page 16 of 34 perkilogram). Pembodohan soal harga itu terjadi karena rata-rata petani tidak memiliki tembusan langsung ke pihak gudang maka sehingga mereka bisa dibohongi. Alasan yang paling sering dari penjatuhan harga tersebut adalah harga yang ditetapkan pihak gudang memang murah. Padahal dalam kenyataannya, para pengepul bisa menjual tembakau-tembakau tersebut dengan harga yang jauh lebih mahal kepada gudang. Tidak cukup disitu, kesewenang-wenangan juga terjadi saat proses penimbangan. Biasanya para petani tembakau yang memasukkan tembakaunya pada ranting atau gudang tembakau pasti terkenan “pemotongan timbangan” dengan alasan tembakau yang akan dijual kelebihan berat karena ada dalam kondisi basah. Para petani sebenarnya sudah menyepakati ketentuan dalam pengurangan rata-rata adalah 2 kg. Namun di tingkat ranting atau gudang, dalam kenyataannya pemotongan bisa sampai 3-4 kg. Suap menyuap dan kecurangan juga kerap terjadi dalam bisnis tembakau. Kecurangan menyangkut soal kualitas tembakau tersebut kerap terjadi di ranting dan di gudang. Polanya, para greder bisa seenaknya “merubah” kualitas tembakau yang dijual seorang petani, dari B jadi A misalnya, kalau para petani mau memberi sejumlah uang suap. Begitu juga sebaliknya, tembakau kualitas A bisa menjadi rendah, jika si petani tembakau tidak mau “bekerjasama” dengam para greder. Jadi mau tidak mau, penyuapan memang harus ada, demi keuntungan para greder. Keterangan yang menarik, kami dapatkan juga dari, Ali Siddik (33). Dia mengaku berpengalaman sebagai petani panebbas yaitu aktor yang membeli tembakau daun dari petani, atau menyewakan tanahnya bagi petani untuk kemudian dirajang dan dijual pada gudang melalui bandol. Menurut Siddik, bandol adalah aktor ekonomi yang sering berlaku tidak fair. Selain membeli beko di bawah standar harga yang ditetapkan gudang dari petani(biasanya selisih 2–5 ribu/kg) bandol juga menerapkan sistem pengurangan timbangan. Misalnya satu bal (balok besar tembakau yang dibungkus dengan tikar berbahan daun aren) tembakau Rajang yang biasanya berat 50 kg, oleh bandol dianggap hanya seberat 49 kg. Ini adalah potongan timbangan sebagai balas jasa petani kepada bandol yang akan meloloskan tembakaunya pada gudang. Di samping itu, timbangannya sendiri tidak seimbang. “Jadi, bandol mencurangi petani dari tiga hal: harga, potongan timbangan dan timbangan yang tidak seimbang,” ungkap Kepala Desa Kaduara Barat tersebut Siddik is explaining to Jayadi in the guest room
  • 17. Page 17 of 34 Sidik menyebut bandol sebagai orang yang terjajah secara nyata (oleh pemilik gudang). Secara sosial, bandol bisa berasal dari berbagai kalangan, bisa orang biasa, seorang kiyai atau seorang juragan. “ Pokoknya pada umumnya mereka berprilaku sama: menghamba pada tauke. Artinya mereka mengharap balas budi tauke dengan selisih harga yang telah mereka beli dari petani,”kata Sidik Namun selain bandol-bandol penghamba, ada juga jenis bandol independen yang disebut bandol investor. Disebut demikian, karena mereka memberlakukan system niaga yang “agak lebih netral” yakni dengan menetapkan harga beli terlebih dahulu dengan petani sebelum panen dilakukan, misalnya Rp 25 ribu/kg (sistem ijon). Bandol tipe ini cenderung independen dari tauke karena mereka melakukan spekulasi harga. Mereka menetapkan sistem kesepakatan harga dengan petani, namun tidak dengan tauke. Salah satu bandol jenis ini adalah KH. Affan Baisuni (40). Ulama muda dari Desa Montok, Larangan itu mengaku dengan sistem yang dia anut itu kadang dia untung besar (yakni ketika harga dari tauke tinggi) namun sering pula merugi. “ Selama dua tahun ini saya merugi terus,”ujarnya. Dengan situasi tersebut, wajar jika ketidaksukaan petani atas bandol dan tauke di Pamekasan terbilang sangat tinggi. Namun demikian, mereka tetap tidak berdaya untuk melawan. Itu disebabkan posisi penjual (petani) yang seharusnya lebih tinggi daripada pembeli (tauke) dalam tataniaga tembakau justru terjadi sebaliknya. Alih-alih menjadikan para petani sebagai raja, para pembeli bertingkah “sok jual mahal”: seolah tidak membutuhkan tembakau. Akibatnya, banyak bandol yang dengan sukarela mengambil hati tauke untuk mendapatkan keuntungan darinya. Siddik memberi contoh misalnya, seorang bandol yang membeli tembakau pada petani dengan harga Rp 25 ribu/kg, sebanyak 1 bal. Kemudian tembakau tersebut dibawa ke gudang untuk dijual pada tauke. Umumnya tauke akan membelinya dengan harga di bawah Rp 25 ribu, misalnya Rp 20 ribu. Bandol yang merugi dengan harga Rp 20 ribu seperti itu, tidak serta merta menolak atau meminta dinaikkan. Dia malah menerimanya dengan tujuan ingin menyenangkan hati tauke (karena takut). Akibatnya, tauke kemudian mulai membuka harga tembakau dengan harga Rp 20 ribu ke bawah. Bandol akan membeli tembakau kepada petani di bawah harga Rp 20 ribu. Dampak selanjutnya adalah petani tidak memiliki alternatif lagi untuk mendapatkan perbaikan harga. Andaikata bandol menolak harga beli Rp 20 ribu dari tauke, maka tentu harga tidak akan rusak sebagaimana sekarang. Jadi, menurut Siddik, perusak harga yang pertama-tama adalah bandol itu sendiri, karena perilakunya yang ingin mendapatkan keuntungan sendiri dengan mengorbankan ribuan petani di bawahnya. Bagi Siddik, tauke adalah penjajah di jaman modern (kemerdekaan). Tauke memainkan sistem adu domba, yaitu
  • 18. Page 18 of 34 antara petani dan bandol yang sesama pribuminya. Tauke pandai memanfaatkan watak sebagian orang Madura yang berprofesi sebagai bandol yang suka ajimumpung. Tauke menciptakan sistem dimana petani benar-benar terinjak-injak nasibnya dan bandol dibuat tergantung sedemikian rupa pada tauke. Selama sistemnya masih eksploitatif oleh tauke dan bandol, maka kesejahteraan petani akan tetap menjadi mimpi. Harga tembakau Madura sampai pernah jatuh di Rp 6-7 ribu/kg. Harga serendah ini sebenarnya sudah sangat tidak manusiawi, karena ongkos merajang tembakau saja tersebut sudah Rp 6-7ribu/kg. Jadi biaya penanaman dan perawatan sudah tidak terhitung lagi. Jika sudah sampai pada harga serendah ini maka wajar jika beberapa petani sampai membakar tembakaunya. Peningkatan kesejahteraan petani ke depan harus dengan regulasi. Contoh yang nyata adalah petani di Besuki dan Jember, dimana kualitas tembakaunya lebih rendah dari Madura namun mereka mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi. Namun tak selamanya semut membiarkan dirinya diinjak-injak. Ada juga beberapa “perlawanan kecil” yang dilakukan oleh para petani. Salah satunya, menurut Saniman, pada saat tembakau para petani tidak dibayari, mereka akan pindah ke bandol lain. Saniman pernah mengalami kasus seperti itu. Suatu hari, dia menjual tembakau pada pedagang dengan kesepakatan harga Rp 750.000 untuk tiga bal tembakau, namun sampai saat ini tidak dibayar oleh pedagang tersebut dengan dalih bahwa pedagang tersebut juga mengalami kerugian. Sejak saat itu Saniman kapok menanam tembakau, “Karena untuk modal menanam tembakau tersebut saya telah menjual gelang emas anak saya yang hingga kini belum mampu dikembalikan,”ujarnya Fenomena tidak membayar dalam kesepakatan jual-beli ini sudah lumrah dilakukan oleh bandol manakala mereka mengalami kerugian. Namun jika bandol mendapatkan untung, biasanya dia membayar kepada petani sesuai harga kesepakatan, atau di bawah kesepakatan sesuai kemampuan. Dalam menghadapi kasus ini banyak petani yang beralih dari satu bandol ke bandol lainnya. Situasi itu hingga sekarang masih berlangsung namun harus diakui jenis resistensi seperti itu bagi petani sesungguhnya tidak memiliki mekanisme penyelesaian. Menurut Siddik, seharusnya petani kompak antar satu dan lain. Setidaknya dengan meminta kontrak kepada bandol atau tauke untuk membeli tembakau tanamannya dengan harga tertentu. Untuk itu dibutuhkan sebuah kelompok tani yang kuat, yang dapat menyelenggarakan kontrak dengan tauke atau bandol. “Justru itulah, hingga kini kami belum memiliki kelompok tani yang kuat dan terorganisasi,”katanya. Kalaupun ada terbentuk kelompok tani, itu pun biasanya hanya dijadikan “kendaraan politik” untuk segelintir elit petani dalam memenangi kepentingannya. Dengan jenis kelompok tani seperti itu, tak heran jika ketua
  • 19. Page 19 of 34 kelompok tani yang seharusnya melindungi anggotanya, justru menerima tawaran dari tauke untuk dijadikan bandol. “Akibatnya, perjuangan mengangkat harga berakhir seiring dengan jadinya ketua kelompok sebagai bandol,”ujarnya. Solusi kedua adalah dengan membuat satu gudang di satu desa. Fungsi gudang tersebut adalah untuk menyimpan stok tembakau yang ditawar dengan harga rendah oleh gudang, sehingga kualitasnya tidak rusak. Jika petani mampu menahan diri untuk tidak menjual tembakau pada harga murah, Siddik yakin bahwa tauke dan pihak gudang akan merubah kebijakan harganya, karena sebenarnya mereka yang membutuhkan tembakau. Namun secara umum, para petani tembakau tersebut mengaku memiliki resistensi tertinggi pada tauke daripada bandol. Kalaupun ada peran bandol dalam perusakan harga, bagi petani itu tidak seberapa besar, karena bandol hanya merugikan petani sebanyak 2-5 ribu/kg, namun gudang bisa merugikan petani jauh lebih dari itu. Harga awal tembakau yang mencapai Rp 30 ribu/kg pada awal pembukaan gudang bisa turun hingga Rp 6 ribu/kg pada dua bulan berikutnya. Padahal menurut Aziz, Fauzi dan Saniman, harga untuk mencapai kembali modal saja adalah Rp 25 ribu/kg. Lantas, bagaimana sikap pemerintah daerah setempat terhadap berbagai praktek yang banyak merugikan para petani tembakau itu? Alih-alih melindungi kepentingan para petani tembakau, pemerintah justru cenderung membela kepentingan ranting atau gudang untuk mendapatkan harga jual tinggi. Tentu saja, itu terkait dengan besarnya keuntungan pemerintah daerah dari keuntungan pajak yang harus dibayar pihak ranting atau gudang. Bisa dibayangkan, jumlah pajak yang harus dibayar perkilogram-nya adalah Rp.100-. Sedangkan ranting bisa mendapatkan tembakau dari petani sebanyak 10.000 bal – 150.000 bal (1 bal berisi berat 50 Kg ) dan satu pabrik bisa memiliki 3-5 ranting. Untuk “menyiasati” soal pajak ini, tak jarang pihak ranting dan gudang mempersingkat waktu penjualan tembakau dari para petani. Akibatnya, banyak tembakau menumpuk. Selanjutnya, ranting atau gudang menjalankan strateginya dengan menurunkan para brokernya untuk mencari para petani tembakau yang tembakaunya tidak terjual itu dengan pembelian harga yang amat sangat murah. Padahal seandainya Pemerintah bisa menerapkan sebuah aturan petani bisa langsung mengirimkan tembakaunya ke pabrik kemungkinan untuk adanya kecurangan lebih kecil.
  • 20. Page 20 of 34 Sesak Nafas Saat Panen Di antara ketiga petani tembakau di atas, nasib Aziz yang paling baik. Dia tinggal di rumah bertembok dengan sanitasi air yang cukup baik. Sedangkan Saniman dan Fauzi tinggal di rumah dari anyaman bambu dengan sanitasi dari air sumur. WC mereka adalah jamban tradisional yang tanpa air penghalang serangga. Lantai di rumah Saniman dan Fauzi terbuat dari semen, sedangkan rumah Aziz dari tegel. Semua rumah ketiganya mendapatkan aliran listrik PLN. Dari ketiganya, harnya Fauzi yang tidak memiliki televisi. Perabot rumah tangga di rumah Fauzi juga sangat sederhana berupa lincak, kursi tamu dan meja. Kondisi di rumah Aziz dan Saniman masih lebih baik walaupun masih tetap dalam kondisi sederhana. Pola makan ketiga petani tersebut juga sama, yaitu tiga kali sehari dengan lauk pauk tahu, tempe, ikan atau telur. Mereka jarang sekali mengkonsumsi lauk seperti ayam dan daging sapi. Buah-buahan dan susu sangat jarang sekali dikonsumsi di ketiga keluarga tersebut. Meskipun keadaan mereka miskin namun mereka tidak mendapatkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari pemerintah. Hanya orangtua mereka yang mendapatkannya, itupun hanya tahun lalu. Bagi mereka BLT hanya menjadi tambahan konsumsi saja. Tidak bisa ditambahkan untuk perbaikan kesehatan keluarga (orang tua mereka). Pendidikan dan kesehatan bagi ketiganya sangat penting. Dari ketiga narasumber petani, hanya Saniman yang memiliki anak. Yaitu seorang putri usia 8 tahun. Untuk membiayai putrinya sekolah Saniman juga bekerja sebagai nelayan dan pengembala sapi (memiliki 1 ekor sapi), sambil bertanam jagung, padi, kacang, semangka dan lainnya. Aziz sudah menikah selama 2 tahun namun belum memiliki anak, sedangkan Fauzi belum menikah dan mengaku bahwa dia belum punya cukup uang untuk menafkahi calon istrinya kelak. “Jangankan untuk menafkahi istri, untuk diri sendiri saja susah,” kata Fauzi. Fauzi bersaudara dengan 5 orang lainnya. Dari semua keluarganya hanya dua orang yang menikah. Empat lainnya masih lajang, padahal umur semuanya sudah di atas 30. Usia adik bungsu Fauzi, Arup, adalah 31 tahun. Salah satu faktor yang menjadi alasan adalah ketidakmampuan ekonomi. Fauzi, Aziz dan Saniman merupakan perokok aktif. Mereka sangat sadar bahwa rokok memang tidak baik untuk kesehatan. Namun mereka merasa selama ini tidak ada gangguan kesehatan yang berarti dari akibat kebiasaan mereka The right one is Ahmad Fauzi house Saniman house made from bamboo
  • 21. Page 21 of 34 merokok. “ Ya paling hanya sekitar sesak nafas dan batuk di pagi hari,”ujar Aziz. Untuk berhenti, mereka mengaku berat sekali. Adakah penyakit yang ditimbulkan dari aktifitas mereka sebagai petani tembakau? Aziz menyatakan kemungkinan itu ada. Ia mencontohkan, penyakit yang paling parah diderita petani tembakau adalah pada saat mereka panen, yaitu ketika mereka harus memetik tembakau dan menumpuknya di emper rumah (di bawah atap). Jika ruangannya cukup tertutup, hawa dari tembakau akan membuat mereka mual dan pusing. Namun sebagian petani mengakalinya dengan meletakkan tembakau daun gulungan itu di luar rumah agar hawanya tidak pengap. Kondisi lebih parah akan dialami oleh pekerja di gudang tembakau yang bekerja di gudang dengan fentilasi minim, sirkulasi udara sangat rendah dan tumpukan bal tembakau yang sangat banyak dan bisa jadi sudah menjadi stok berbulan- bulan. Uap udara dari tembakau rajang ini, ditambah debu yang menempel di tembakau dan lantai menguap ke udara, terutama ketika pekerja harus naik turun bal menginjak dan membuatnya rapat saat disusun. Umumnya mereka menderita sesak nafas akut dan ISPA. Pihak yang juga merasakan bahaya tembakau adalah para perajang. Aktivitas merajang biasanya dilakukan pada malam hari. Hal ini dilakukan agar tembakau yang selesai dirajang dapat langsung dijemur pagi harinya sepanjang hari. Perajang tembakau umumnya bekerja dan begadang dari pukul 9 malam hingga jam 2-3 dini hari. Resiko yang mereka tanggung misalnya adalah menghirup hawa tembakau sepanjang malam dari tembakau yang dirajangnya. Hal ini kadang menyebabkan mual dan muntah bagi perajang yang daya tahan tubuhnya rendah. Resiko lainnya adalah mengantuk saat merajang sehingga tidak jarang jari perajang terkena iris pisau rajang. Namun semua resiko kesehatan itu seolah dinafikan oleh mereka. Gejala sesak nafas atau pusing dan mual saat menjalankan aktifitas musim penen dianggap oleh para petani tembakau sebagai sesuatu yang wajar. Karena itulah, mereka tidak pernah memeriksakan hal tersebut ke Puskesmas terdekat. “Nanti juga sembuh dengan sendirinya kok,” ujar Fauzi. Deddy (30) tidak menafikan, banyaknya para petani tembakau yang mengeluh soal penyakit yang terkait dengan ISPA. “Hanya mereka malas memeriksakannya ke Puskesmas,” kata salah satu tenaga medis di Puskesmas wilayah Pragaan itu. Padahal menurut dia, seharusnya sekecil apapun, segala keluhan yang dialami para petani harus segera diperiksa secara medis. “Karena bisa saja itu mengarah kepada kematian,”katanya. Untuk supaya tidak jatuh dalam kemiskinan yang teramat sangat, Aziz dan Fauzi memberlakukan sistem tanam tumpangsari, yaitu dengan menyelingi tanaman tembakau dengan tanaman lain seperti bawang, semangka, kacang dan jagung. Sedangkan Saniman beralih sepenuhnya pada tanaman lain.
  • 22. Page 22 of 34 Menurut KH Affan, keengganan petani untuk beralih total dari tanaman tembakau ke tanaman lain pada musim kemarau adalah karena petani sudah pernah mendapatkan “manisnya” tembakau. Dan petani masih beraharap harga yang tinggi di masa yang akan datang, juga tambahnya “Tak ada dukungan konkrit dari pihak yang ada untuk alih tanam”. Hidup dalam Kecurangan Sistem Niaga Pemiskinan struktural petani tembakau di Madura oleh tauke setidaknya terjadi dalam tiga mekanisme, yaitu: pertama, kartel tembakau; kedua, sistem harga yang menurun per-periode; ketiga, kecurangan dalam pengambilan poster (sampel) tembakau. 1. Kartel Tembakau Sistem tataniaga tembakau pada awalnya (10-15 tahun yang lalu) sangat fair. Setiap gudang bersaing dengan gudang lainnya dalam menentukan harga dan kualitas tembakau yang diterimanya, karena memang setiap gudang memiliki kualifikasi tembakau tertentu yang dapat masuk ke gudangnya. Namun saat ini, semua gudang sudah saling bersepakat untuk bekerjasama dan tidak bersaing, mereka saling membantu antar gudang. Akibatnya, ada sistem kartel tembakau yang jelas merugikan petani, seperti ilustrasi di bawah ini: Menurut KH. Affan dan Siddik, pemilik gudang di Madura lah yang paling bertanggungjawab atas sistem kartel ini. Adapun pabrik utama seperti PT Gudang Garam di Kediri, PT Djarum di Kudus, PT Sampoerna di Surabaya, Bentoel di Malang dll tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu tentang sistem ini. Pabrik ini hanya menerima tembakau kiriman dari gudang di Madura. Pemilik gudang di Madura adalah tauke yang berdagang tidak hanya untuk kepentingan pabrik, namun juga untuk kepentingan dirinya sendiri dan kelompoknya. Sistem kartel ini memungkinkan semua gudang untuk bersepakat saling menetapkan harga yang terus menurun antar periode dan menerapkan sistem buka (beli) tembakau secara bergantian. Berbeda dengan jaman dulu dimana semua gudang membeli tembakau dari petani secara bersamaan. Petani Tembakau Bandul Ranting Pabrik KH . Affan is a public figure & spiritual leader
  • 23. Page 23 of 34 Mekanisme dari sistem buka-tutup ini adalah sebagai berikut: misalnya saja pada bulan minggu pertama Agustus hanya ada dua gudang yang buka (membeli), yaitu Gudang Garam dan Djarum, sedangkan Sampoerna belum buka. Biasanya strategi harga yang digunakan adalah diferensiasi, misalnya Gudang Garam membeli dengan harga tertinggi Rp 20 ribu, sedangkan Djarum membeli dengan harga Rp 12 ribu. Secara otomatis, antrian truk untuk menjual tembakau akan memanjang di Gudang Garam karena petani menginginkan harga tertinggi. Kondisi ini sayangnya diperparah dengan pemberitaan yang salah dari wartawan yang hanya memotret antrian panjang truk-truk tersebut. Berita yang diturunkan biasanya seputar overstock tembakau Madura, padahal kenyataannya memang ada permainan harga antar gudang. Selanjutnya, minggu kedua Agustus Gudang Garam menurunkan harga menjadi Rp 16 ribu, Djarum masih dengan harga Rp 12 ribu, lalu secara bersamaan Sampoerna buka dengan harga tertinggi Rp 18 ribu. Sesuai hukum pasar, maka truk-truk yang sebelumnya mengantri di depan Gudang Garam akan berpindah ke Sampoerna. Pemberitaan wartawan otomatis akan sama dengan sebelumnya yaitu tentang mengularnya antrian di salah satu gudang. Dengan demikian akan terbentuk opini over supply, dan dengan demikian menjadi wajar jika harga turun. Pada minggu berikutnya, ketika Sampoerna sudah mendapatkan cukup banyak tembakau, Sampoerna juga akan menurunkan harga misalnya menjadi Rp 12 ribu. Djarum bisa menaikkan harga menjadi Rp 14 ribu atau bertahan pada Rp 12 ribu. Dengan kata lain semua gudang memiliki harga yang sama, yaitu sekitar Rp 13 ribu. Maka petani (bandol) memiliki banyak tempat untuk memasukkan tembakaunya. Jika antrian tetap panjang di semua gudang, maka semua gudang akan menurunkan harga hingga mencapai Rp 6 ribu/kg. Pada akhirnya semua tembakau terbeli dan semua gudang terisi. Babak akhir dari drama antar gudang ini adalah saling tukar tembakau sesuai kualifikasi yang diharapkan. Masing-masing tauke saling berbagi keuntungan. Mekanisme bagi hasil dan saling tukar ini hanya diketahui oleh tauke sendiri. 2. Harga yang Menurun Tiap Periode Harga tembakau selain ditentukan oleh asal tembakau tersebut dihasilkan (tembakau gunung, tegalan dan sawah), juga ditentukan oleh tingkatan dimana daun tembakau tersebut tumbuh dalam satu batang. Semakin ke atas daun tembakau mendekati puncak batangnya, semakin tidak bagus kualitasnya. Kualitas daun di bawah adalah kualitas A, di tengah-tengah adalah kualitas B, sedangkan daun paling pucuk (yang masih belum lebar) masuk dalam kualitas C. kualitas C sebenarnya adalah daun tembakau yang tidak layak dipetik dan dirajang.
  • 24. Page 24 of 34 Gudang memberikan stratifikasi harga pada setiap jenis daun, misalnya, pada Minggu Pertama Agustus, daun tembakau kualitas A seharga Rp 30 ribu, kualitas B Rp 28 ribu dan kualitas C seharga Rp 26 ribu. Jika gudang tidak menerapkan strategi penurunan harga, maka semua petani kecenderungannya adalah menunggu hingga daunnya mencapai kualitas A agar mendapatkan harga yang baik. Namun kenyataannya, pada minggu ketiga Agustus, atau minggu pertama September, gudang sudah menurunkan harga sebagai berikut: Kualitas A Rp 20 ribu, kualitas B Rp 18 ribu dan kualitas C Rp 16 ribu. Petani yang sudah kadung menunggu waktu agar daun tembakaunya yang masih kualitas C menjadi kualitas A ternyata mendapatkan kenyataan pahit dimana dia harus menerima harga Rp 20 ribu. Pada musim tanam tahun selanjutnya otomatis petani tidak mau menunggu lagi waktu untuk memperbaiki kualitas tembakau C menuju kualitas A karena kenyataannya harga yang didapatkan justru lebih rendah. Jadi dengan ilustrasi waktu di atas, kecenderungan petani secara umum adalah menjual semua daun tembakau pada minggu pertama Agustus untuk mendapatkan harga terbaik, karena kalaupun mereka menunggu waktu untuk mendapatkan kualitas daun terbaik, mereka akan mendapatkan harga yang jauh lebih rendah. Strategi penurunan harga antar waktu inilah yang membuat banyaknya antrian truk di minggu pertama ketika salah satu gudang membuka diri. Akibatnya, terkesan bahwa kualitas tembakau petani Madura tidak bagus. Akibat kedua, terkesan bahwa tembakau Madura over supply, maka menjadi sah dan logis jika gudang menurunkan harga. Menurut Siddik, situasi semacam ini sengaja dibuat demi keuntungan pihak gudang semata. Jika dinalar secara logis, tidak ada perbedaan tembakau kualitas A pada minggu pertama Agustus dengan minggu ketiga Agustus atau minggu pertama September. Mekanisme penurunan harga, dengan demikian, adalah bentuk kejahatan terstruktur gudang kepada petani dalam rangka menciptakan ketidaksetaraan nilai tawar antara tauke dengan petani. Sayangnya, tidak ada gerakan petani yang berani memprotes kecurangan ini. Bahkan para bandol mengikuti serta merta siystem ini. 3. Kecurangan dalam Poster Kecurangan lain yang dilakukan gudang adalah dalam pengambilan poster (sampel) yang akan dikirim ke pabrikan di kota PT tersebut beroperasi (Kudus, Kediri, Sidoarjo, Malang dsb). Setiap bal tembakau diambil poster seberat 2 kg. Dahulu hanya seberat 0,5-1 kg. Bisa dibayangkan berapa keuntungan gudang jika dikalikan dengan ribuan bal yang masuk. Pengambilan sampel sebesar 2 kg ini tidak mendapat protes dari petani maupun bandol. Bahkan bandol sendiri kadangkala yang menawarkan menambah sampel dalam rangka menyenangkan hati para tauke.
  • 25. Page 25 of 34 Menurut Siddik dan KH. Affan, andaikata bandol mau protes dan tidak membiarkan pengambilan sampel sampai dengan 2 kg tersebut, tentu petani tidak akan dirugikan. Kerugian bandol atas poster 2 kg tersebut akan bandol alihkan pada petani dengan mekanisme timbangan dan harga. 4. Subjektivitas dalam Penaksiran Kualitas Tembakau Kecurangan gudang lainnya adalah dalam bentuk penaksiran jenis tembakau. Jenis dan kualitas tembakau dibedakan dari warna, kelengketan dan aromanya. Warna dan kelengketan masih bisa menjadi ukuran objektif, artinya jika kesepakatan umum menyetujui bahwa semakin merah tembakau maka semakin murah harganya, dan semakin lengket tembakau semakin baik kualitasnya, maka semua pihak akan saling tahu kondisi tembakau masing- masing. Namun penentuan keharuman tembakau adalah murni subjektifitas grader (pemeringkat kualitas) tembakau. Grader adalah orang gudang yang bertugas menilai kualitas (dengan demikian juga harganya) tembakau dengan hanya mencium segenggam tembakau. Di sinilah gudang mempermainkan petani dengan sangat tidak fair. Kecurangan gudang ini sebenarnya dapat dicegah dengan adanya asosiasi petani tembakau. Namun sayangnya asosiasi ini di Pamekasan tidak hidup. Alih- alih berjalan, banyak pengurusnya malah yang justru menjadi kaki tangan gudang dan bermain individualistis dan mementingkan egoisme pribadinya dengan tidak memberikan informasi harga tembakau gudang pada petani. Menurut para narasumber dalam penelitian ini di Madura tidak ada asosiasi petani tembakau yang dapat menjadi corong aspirasi petani. Yang mereka tahu hanyalah kelompok tani di desa yang fungsinya hanya untuk menyalurkan pupuk dari koperasi. Soal itu, dikatakan oleh seorang petani tembakau bernama Tris (34). Petani tembakau dari Desa Lawangan Daya, Kecamatan Pademawu itu menyebut bahwa ketiadaan asosiasi petani menyebabkan posisi tawar mereka tidak kuat di mata para bandol dan gudang, sehingga mereka dengan seenaknya bisa dipermainkan. “Jika ada sebuah kumpulan petani yang kuat, bisa jadi kita bisa mengatur batas harga yang harus disepakati oleh semua petani. Jadinya kami tidak rugi seperti sekarang,” ujar Tris. KH Affan mengakui bahwa semakin sedikit yang bermain di tataniaga tembakau, akan semakin baik terhadap kualitas harga. Hari ini, semua gudang bermain, dan sebagai antisipasi agar semuanya tidak merugi, para gudang saling berkompromi dan bekerjasama.
  • 26. Page 26 of 34 BAB V DARI BEKO KE CABE JAMU Di Sumenep, bandol dan petani sama-sama menderita. Mereka bertekad untuk meninggalkan beko dan beralih ke tanaman lain Baru-baru ini, media-media memberitakan soal terbatasnya lahan yang akan ditanami tembakau oleh petani di Kabupaten Sumenep. Itu terjadi karena sudah beberapa bulan belakangan, wilayah tersebut sering diguyur hujan yang sangat lebat. Menurut Arief Rusdi, sejak Mei 2011 sebetulnya sudah banyak petani tembakau yang sudah mulai terjun kembali ke ladang-ladang mereka. “Namun dari pemantauan yang kami lakukan, jumlah lahan yang sudah ditanami tembakau relatif masih sedikit, kurang lebih 100 hektare,” ujar Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Sumenep tersebut. Sesuai data yang dikeluarkan Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Timur, proyeksi ideal lahan tanam tembakau di Sumenep pada 2011 ditetapkan seluas 22.333 hektare dengan estimasi produksi sebanyak 13.400 ton. "Kami memaklumi kondisi yang dialami petani ketika masih menahan diri untuk menanam tembakau. Hingga pertengahan bulan ini, wilayah Sumenep masih sering diguyur hujan," ujarnya kepada media beberapa waktu yang lalu. Rusdi dan para petani tembakau Sumenep berharap musim kemarau tahun ini tidak lagi harus berkutat dengan curah hujan tinggi. "Di kalangan petani, ada kekhawatiran musim kemarau tahun ini akan seperti tahun lalu, yakni intensitas hujan cukup tinggi dan selanjutnya akan merusak tembakau,"ungkapnya. Di Sumenep, lahan yang dinilai cocok ditanami tembakau tersebar di 17 kecamatan, semuanya di wilayah daratan. Terkait dengan “lesunya” pertanian tembakau di Sumenep ini, kami coba untuk menelisik “faktor-faktor selain cuaca” yang menjadi penyebab menurunnya produksi tembakau Madura di Sumenep. Adapun penelitian ini melibatkan wawancara kami dengan tiga nara sumber dari tiga kecamatan berbeda di Sumenep yakni Bluto, Pragaan dan Lenteng. Nara sumber itu adalah Sahawar (50), Yanto (40) dan Kallap (55).
  • 27. Page 27 of 34 Bandol dan Petani Sama-Sama Merugi Baik Sahawar, Yanto maupun Kallap, meyakini turunnya harga tembakau disebabkan oleh adanya permainan harga antar gudang. Berbeda dengan Pamekasan, menurut mereka, bandol di Sumenep cenderung merugi juga. Banyak bandol yang justru menyuruh petani untuk berhenti tanam dan beralih pada tanaman lain. “Saya sendiri berniat akan beralih ke tanaman cabe jamu,”ujar Sahawar Permainan harga yang dilakukan oleh tauke salah satunya dengan cara menerapkan harga tinggi ketika tembakau belum musim panen. Dan sebaliknya, mereka menerapkan harga rendah ketika musim panen tembakau tiba. Alasannya, over supply. Permainan harga semakin kentara dengan tidak adanya mekanisme yang objektif dan jelas dalam proses pembelian dan penentuan standar kualitas tembakau. Para petani tembakau tidak bisa mengadu kepada siapapun menfhadapi soal seperti ini. Alih-alih mengadu kepada pihak yang berwenang, mereka bahkan memiliki kesan pemerintah tidak peduli dengan situasi yang mendera mereka. Rugi dan untungnya panen menjadi urusan petani sendiri. Memang pernah, Pemerintah melakukan penyuluhan informasi tentang harga tembakau yang wajar, namun itu hanya dipublikasikan di media radio, dan tidak ada dampaknya sama sekali pada harga yang diterapkan oleh gudang. Sahawar dan beberapa petani di Bluto mengaku tidak berani untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah maupun gudang. Dia sadar bahwa petani tidak akan pernah menang dalam “pertarungan” harga ini. “Yang menang, pastinya adalah yang memiliki banyak uang,”katanya dalam nada skeptis. Justru dalam kondisi seperti sekarang, yang paling menderita adalah petani. Serugi-ruginya bandol, mereka pasti memiliki “cadangan” karena bandol di Sumenep pada umumnya adalah Haji (juragan) yang memiliki modal dan usaha besar sebelumnya. Kondisi yang selalu mengalami pailit, membuat Yanto memutuskan berhenti bertanam beko. Aalasannya, karena dia pernah mendapatkan uang hanya Rp 500-600 ribu dari 4000 pohon tembakau yang ditanamnya. Itu jelas jomplang jika mengingat biaya yang dikeluarkannya untuk penananam saja mencapai Rp 1 juta lebih. “Saya kapok menanam tembakau lagi,”katanya. Pak Sahawar at his farm land
  • 28. Page 28 of 34 Kerugian serupa juga dialami Pak Kallap. Dia menanam 3000 pohon tembakau dengan biaya antara 1-1,5 juta rupiah. Hasil yang dia tangguk dari modal sebesar itu ternyata hanya 500 ribu rupuah. “Saya pernah merasakan keuntungan dari bertani tembakau terakhir pada 2005 dan 2006,”ujarnya. Kallap merasa bahwa jaman sekarang ini semua bisa dipermainkan. Rata-rata para petani tembakau seperti Kallap, Sahawar dan Yanto berpendapat bahwa sistem tataniaga pertanian di jaman Presiden Soeharto jauh lebih baik daripada era reformasi. Penyuluhan pertanian dan program bantuan kepada petani tampak nyata. Sesak Nafas Saat Merajang Sebagai seorang petani yang bermodal pas-pasan, Sahawar hidup seadanya. Rumahnya terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran 7x3m, terdiri dari 2 kamar. Kamar pertama digunakan oleh ia dan istrinya. Sedankan kamar yang lain digunakan untuk ketiga putranya. Untuk keperluan mandi, keluarga Sahawar menimba air dari sumur tetangga. “ Saya tidak mampu membayar sumbangan listrik untuk sanyo (dynamo air) yang mencapai 20 ribu perbulan,”ungkapnya. Ruang mandi di rumah Sahawar, terpisah dan agak jauh dari rumahnya. Masyarakat Madura menyebutnya dengan pakeban (tempat mandi kecil), dimana tidak ada fasilitas WC di dalamnya. Jadi kalau mau buang air besar ya harus ke kebun atau sungai. Untuk tambahan biaya hidup, Sahawar menjadi kuli bangunan. Bayaran yang diterimanya adalah Rp 15ribu/hari. Baginya ini cukup untuk membiayai makan istri dan ketiga anaknya. Pola makan Sahawar dan keluarga tetap tiga kali sehari namun dengan lauk tahu tempe dan kadang ikan kering, jauh dari kaidah makan sehat dengan gizi seimbang. Sahawar pernah mendapatkan BLT tiga tahun lalu, namun menurutnya BLT tidak efektif. Banyak yang tidak tepat sasaran. Dana BLT banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi tidak cukup untuk tambahan biaya kesehatan dan pendidikan keluarga. Pak Kallap with Rozi infront of his house Pak Kallap & his family defecation into this river
  • 29. Page 29 of 34 Meskipun dalam kondisi sulit (miskin) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sahawar tetap menganggap pendidikan dan kesehatan bagi keluarga dan dua anaknya sangat penting. “Walau hudup seperti sekarang, saya berusaha agar keluarga saya sehat dan pendidikan anak-anak terus berjalan,”katanya. Yanto lebih beruntung nasibnya. Rumahnya bertembok gedong, berkaca riben dan berlantai tegel. Diantara rumah di sekitarnya, Yanto bisa dimasukan sebagai petani biasa. Kamar mandi keluarga Yanto cukup baik dibandingkan Sahawar. Di dalam kamar mandinya terdapat WC. Air untuk kebutuhan MCK didapatnya dari sumur bor milik tetangganya. “Untuk itu saya harus mengeluarkan iuran 20-40 ribu/bulan,”ujarnya. Dalam kondisi serba sederhana, Yanto tetap mendorong putra-putrinya untuk tetap sekolah. Baginya pendidikan adalah satu-satunya cara mengangkat harkat dan martabat keluarga. Sejak berhenti menanam tembakau, Yanto pindah profesi menjadi tukang bangunan. Untuk soal kesehatan, laiknya di Pamekasan, para petani tersebut mengeluhkannya juga. Menurut Sahawar, petani dapat mengalami mual dan muntah bahkan pingsan pada saat bekerja merajang tembakau. Itu wajar, karena pada umumnya masyarakat merajang tembakau pada malam hari ketika oksigen menipis. Akibatnya mereka cepat kehabisan tenaga saat. Terlebih aktivitas merajang dilakukan semalam suntuk. TaK aneh kalau mereka terlihat pucat dan kurus. Deddy (30) tidak menafikan, banyaknya para petani tembakau yang mengeluh soal penyakit yang terkait dengan ISPA. “Hanya mereka malas memeriksakannya ke Puskesmas,” kata salah satu tenaga medis di Puskesmas wilayah Pragaan itu. Padahal menurut dia, seharusnya sekecil apapun, segala keluhan yang dialami para petani harus segera diperiksa secara medis. “Karena bisa saja itu mengarah kepada kematian,”katanya. Karena menilai bertanam tembakau hanya menimbulkan kerugian, para petani Sumenep saat ini mayoritas banyak beralih ke tanaman lain seperti cabe jamu, jagung, kacang dan semangka. Cabe jamu lebih menguntungkan bagi mereka karena selain harganya stabil, yaitu 40ribu/kg, cabe jamu juga tidak mengenal musim tanam. Cabe jamu dapat ditanam baik pada musim kemarau maupun musim hujan. Perawatan dan pertumbuhan cabe jamu juga tidak membutuhkan banyak pupuk dan air. Untuk sekarang, para petani Sumenep menilai bertanam tembakau terlalu beresiko, bahkan sudah pasti menimbulkan kerugian. Langkah Sahawar juga diikuti oleh petani lainnya di Bluto. Mereka beralih ramai-ramai ke cabe jamu. Langkah ini mendapat dukungan dari pemerintah desa dan para juragan. Pak Yanto house with team
  • 30. Page 30 of 34 Bahkan sebagian juragan yang sebelumnya berperan sebagai bandol dalam tataniaga tembakau kini telah beralih menjadi pengepul cabe jamu. Beberapa petani di Desa Sendang, Kecamatan Pragaan bahkan mencoba tanaman lain yaitu Buah Naga. Namun ini hanya dilakukan oleh sekelompok kecil petani mengingat jumlah konsumsi buah naga di Sumenep sedikit dan pemasarannya agak sulit. Monopoli Tataniaga Tembakau Kalau diadakan perbandingan, perdagangan tembakau di Sumenep dan Pamekasan sebetulnya mirip, yakni ada sistem pembukaan gudang secara bergantian dan sistem harga yang terus menurun setiap periode. Karena itu, para narasumber petani dan narasumber kepala desa serta tokoh agama memandang bahwa pemerintah perlu memberlakukan aturan (perda) yang tegas pada gudang tembakau. Selama ini aturan yang ada adalah gudang tidak boleh tutup sampai semua tembakau terbeli. Namun aturan ini disiasati oleh gudang dengan sistem harga yang saling menurun dan pembelian secara bergantian. Menurut Sahawar, diantara ketiga aktor dalam tataniaga tembakau, petanilah yang selalu menjadi korban, karena sistem perdagangannya sarat dengan tindakan penipuan terhadap petani. Umumnya bandol merupakan tangan panjang dari tauke. Artinya terdapat fenomena kongkalikong antara bandol dan tauke, dan hal inilah yang selalu menyebabkan kerugian di pihak petani. Menurut Moh. Arkan Yahya (52), kerugian petani tembakau saat ini sebetulnya murni karena kejahatan perdagangan tembakau, dan sedikit sekali karena buruknya cuaca. Sangat disayangkan, peran pemerintah tidak kelihatan dalam fungsinya sebagai pengontrol harga. Pemerintah justru “takut” menghadapi pengusaha. “Pemerintah tidak pernah mempertemukan petani dan pengusaha dalam rangka mengatur sistem harga yang sama- sama menguntungkan keduabelah pihak,”ujar tokoh agama di Kecamatan Lenteng. Berbeda dengan Moh. Arkan Yahya, Imam Mahdi, melihat sebenarnya pemerintah sudah memberikan peraturan harga tembakau, yaitu harga tertinggi dan harga terendah pada tahun 2008 dan 2009. Kebijakan tersebut diinisiasi oleh Komisi C DPRD Kabupaten Sumenep. Namun dalam kenyataannya, pengusaha tetap mengacuhkan peraturan tersebut. “Para pengusaha malah balik mengancam akan menutup gudang (tidak akan melakukan pembelian tembakau) jika harga ketentuan dari pemerintah terlalu tinggi dan merugikan pengusaha,” kata Kepala Desa Pragaan, Kecamatan Pragaan tersebut Pak Moh. Arkan Yahya & Rozi
  • 31. Page 31 of 34 Petani di Sumenep umumnya tidak mengetahui adanya asosiasi petani tembakau. Seperti diakui oleh Dulla (42), selama ini para petani tembakau hanya mengetahui adanya kelompok tani di desa mereka yang lebih berperan dalam distribusi pupuk dan penarikan iuran air. Andaipun asosiasi petani tembakau itu ada, mereka masih pesimis akan fungsinya dalam memperkuat daya tawar petani. “Kami sama sekali tak pernah melakukan koordinasi dengan asosiasi-asosiasi petani tembakau tersebut,”ujarnya.
  • 32. Page 32 of 34 BAB V PENUTUP Kesimpulan dan Saran Seperti Karso, banyak petani tembakau di Jember, Pameksan dan Sumenep mengaku sangat dirugikan oleh tata niaga tembakau yang tidak berpihak pada petani. Mereka sadar ada upaya pemiskinan yang bermotif keuntungan bagi kelompok industri tembakau yang ironisnya didiamkan oleh pemerintah. Tapi mereka tidak mampu untuk melakukan pengorganisasian yang bisa memberikan dampak perubahan yang diharapkan. Berikut adalah upaya pemiskinan yang terjadi: 1. Harga ditentukan sepihak oleh gudang (pabrik rokok). 2. Pihak gudang sangat subyektif dalam menentukan kualitas tembakau mereka sehingga di hargai sangat murah. 3. Tidak ada assosiasi/lembaga apapun yang membela kepentingan petani dari tataniaga tembakau yang memiskinkan petani temabakau di wilayah mereka. 4. Petani kurang mampu untuk melakukan perlawanan tetapi sangat mudah untuk di provokasi sehingga kekacauan dapat saja terjadi. 5. Penyakit yang banyak di temui seperti mual, muntah dan pusing akibat uap zat tembakau ketika aktivitas merajang di gudang, memberikan dampak menurunnya produktivitas petani. Saran untuk Pemerintah: Para petani mendesak kepada pihak pemerintah lokal dan pusat untuk turun tangan membantu memperbaiki nasib mereka, terutama mengubah sistem tata niaga tembakau itu agar lebih berpihak pada petani miskin seperti mereka. Sehingga mereka mampu lepas dari jeratan kemiskinan yang berkepanjangan. Mereka mendesak untuk segera membuat mekanisme yang jelas dari pemerintah untuk melakukan: 1. Mengatur kepastian harga jual tembakau, membuat mekanisme perlindungan dan pengawasan harga & kualitas tembakau di pasar. 2. Kepastian hasil panen mereka diserap oleh gudang (pabrik) atau pasar alternatif, yang saling memberikan keuntungan kedua belah pihak. 3. Penetapan dan penegakan aturan & sanksi, tentang standar kualitas harga tembakau yang bisa ditentukan/dimengerti juga oleh para petani (tidak oleh para bandol saja), 4. Menetapkan dan mengelola media informasi resmi tentang perkembangan pasar tembakau antar daerah penghasil tembakau local dan international. 5. Mendorong dan memfasilitasi terbentuknya koperasi petani tembakau yang mandiri dan mampu meningkatkan kesejahteraan petani tembakau sebagai bagian pemenuhan hak ekonomi, social dan budaya.
  • 33. Page 33 of 34 Demikianlah hasil investigasi yang telah kami lakukan. Semoga bermanfaat untuk membuktikan bahwa nasib petani tembakau di tangan para industri rokok, dalam kenyataannya tidak seindah retorika “para pembela hak-hak petani tembakau” di Jakarta. Terimakasih