Makalah ini membahas rasionalisme dalam pemikiran modern melalui pemikiran tokoh-tokoh seperti Descartes dan Spinoza. Descartes meletakkan dasar rasionalisme dengan metode keraguan universalnya (Cogito ergo sum), sedangkan Spinoza dianut pandangan panteisme-monistik bahwa Tuhan dan alam adalah satu substansi.
Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Makalah rasionalisme
1. MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN MODERN
Rasionalisme
Kelompok Satu
Anindya Atma Zulatsari
Nadyah Rahmawati
SASTRA INGGRIS
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
2. BAB I
PENDAHULUAN
Para filsuf dari berbagai zaman telah menggunakan jalan dancara pikir, yang mereka
harap mampu menuntun mereka pada akar dari ilmu pengetahuan. Sebuah kebenaran
yang mendefinisikan semesta, memetakan dunia, dan pada akhirnya mampu
menjabarkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Rasionalisme, adalah salah satunya.
Filsafat modern yang lebih berfokus pada pencarian dasar ilmu pengetahuan dari
kenyataan yang sesungguhnya, didorong oleh kebangkitan masa Renaisans. Dimana
para perintisnya seperti, Galileo, Francis Bacon, dan Descartes terus-menerus
memborbardir konsep-konsep teologi filsafat skolastik dengan ilmu pengetahuan
modern. Apa yang diyakini sebagai kebenaran di masa skolastik, ternyata tidak lain
adalah kesesatan yang mengendap berabad-abad. Bumi tidaklah berbentuk seperti
cakram, nyatanya ia berbentuk bulat dan tidak mempunyai ujung. Bumi juga bukanlah
pusat tata surya, dimana matahari dan planet lain mengitarinya, melainkan bumilah
yang selama ini mengitari matahari. Doktrin lama yang disodorkan kepada para ahli dan
filsuf terbantahkan oleh kebenaran logika dan pembuktian ilmiah.
Ilmu-ilmu alam yang menuntut kebenaran nyata dan utuh, sudah tidak bisa lagi
bergantung pada pemikiran ketuhanan dan serba gaib. Disinilah pemikiran
menggunakan rasio menjadi populer untuk dijadikan dasar dan tumpuan kebenaran.
Makalah ini selanjutnya akan membahas rasionalisme secara ringkas melingkupi asal
mula, definisi, dan para filsuf penggerak paham ini serta buah-buah pemikiran mereka.
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. Rasionalisme
Rasionalisme secara etimologis berasal dari bahasa inggris rasionalism yang
berakar dari bahasa latin yaitu ratio yang berarti akal. Sedangkan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia rasionalisme adalah teori (paham) yang menganggap
bahwa pikiran dan akal merupakan satu-satunya dasar untuk memecahkan problem
(kebenaran) yang lepas dari jangkauan indra, paham yang lebih mengutamakan
(kemampuan) akal daripada emosi atau batin. Arti lain dari rasionalisme atau
gerakan rasional adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran
haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan
fakta, daripada melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Sementara itu, secara
terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip
bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Dan seperti dinyatakan
A.R. Lacey dalam A Dictionary Phlosophy (1996) rasionalisme adalah pandangan
yang mementingkan akal sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran.
Rasionalisme dalam Bourke (1962) diartikan sebagai sebuah metodologi atau
sebuah teori yang meyakini syarat kebenaran bukanlah apa yang dirasa indera tetapi
dipikirkan dengan logis dan deduktif. Karena itulah para rasionalis mengedepankan
akal dan kemampuan logika diatas eksperimen serta pembuktian-pembuktian fisik,
atau dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy (2004) sebut dengan adanya cara-cara
tertentu (dalam rasionalisme) yang mampu membangun konsep dan
pengetahuan tanpa bergantung pada pengalaman inderawi. Disinilah rasionalisme
4. berhadapan dengan empirisme, paham yang menuntut sebuah pengetahuan
dibuktikan, diteliti, dan dihadirkan dalam wujud fisik yang nyata.
Rasionalisme secara umum terciri dengan penggunaan pendekatan deduktif, yaitu
pendekatan umum ke khusus dimana peraikan kesimpulan dilakukan dengan
merumuskan teori-teori dan fakta yang tersedia. Disinilah rasionalisme membentuk
a priori, sebuah penilaian yang didasarkan pada teori dan logika daripada
pengamatan dan eksperimen nyata. Sebaliknya Empirisme menggunakan
pendekatan induktif, yaitu pendekatan khusus ke umum dimana sebuah fenomena
tertentu diamati, dicari faktor dan penyebabnya, diperluas dan dikembangkan
hingga ditarik kesimpulannya secara umum. Disini jualah a posteriori terbentuk,
yaitu pendapat yang memerlukan pembuktian, eksperimen, dan fakta secara fisik.
Rasionalis dan empiris seperti dua sisi mata uang. Meskipun saling berbeda,
mereka juga tidak bisa dilepaskan satu dengan lainnya. Karena bahkan Descartes
yang membangun fondasi rasionalisme dan John Locke yang menancapkan pasak-pasak
empirisme pun bisa saling sependapat tentang sifat alami pikiran manusia
(the nature of human ideas). Dan seperti yang dikatakan Leibniz dalam bukunya
Monadology bahwa kita cenderung seorang yang empiris karena sepertiga diri kita
adalah apa yang kita perbuat.
Rasionalisme sendiri secara garis besar memiliki 3 dalil dasar, yaitu: asumsi tentang
intuisi dan deduksi, asumsi tentang pengetahuan yang telah ada dalam diri, atau
asumsi tentang konsep yang telah ada dalam diri.
1. Asumsi Tentang Intuisi Dan Deduksi (The Intuition/Deduction Thesis)
Intuisi adalah bagian dari pengetahuan a priori yang meyakini sesuatu berdasarkan
berntuk rasionalnya, ketika kita hanya perlu “melihat” sesuatu untuk meyakini ia
5. rasional atau tidak. Sementara deduksi merupakan penarikan kesimpulan dari
beberapa premis untuk menghasilkan kesimpulan yang logis. Jika argumen-argumen
yang kita ajukan valid, kita bisa mendeduksi premis-premis yang
berdasarkan intuisi.
Sebagai contoh, secara intuitif kita tau bahwa angka tiga adalah angka prima dan
angka tiga juga lebih besar dari angka dua. Kita kemudian mendeduksinya menjadi
ada sebuah angka prima yang lebih besar dua. Dengan ini, intuisi dan deduksi dapat
dikombinasikan untuk mendapat a priori.
2. Asumsi Tentang Pengetahuan yang Telah Ada Dalam Diri (The Innate Knowledge
Thesis)
Sejalan dengan asumsi sebelumnya, asumsi ini juga meyakini pengetahuan
membentuk a priori. Namun, kedua asumsi berbeda pendapat tentang bagaimana
pengetahuan itu didapatkan. Jika sebelumnya intuisi diyakini sebagai akar
pengetahuan, maka asumsi ini membawa pengetahuan yang diwariskan (Innate
Knowledge) sebagai sumber asumsinya. Bahwa menurut asumsi ini, pengetahuan
hanyalah bagian dari logika alami kita masing-masing. Kemudian ada fenomena
tertentu yang memicu kita mendalami pengetahuan tersebut, akan tetapi fenomena
bukanlah pengetahuan. Pengetahuan sudah ada pada kita sejak awal, fenomena
hanya mengarahkan fokus perhatian kita padanya.
3. Asumsi Tentang Konsep yang Telah Ada Dalam Diri (The Innate Concept Thesis)
Sebagian filsuf menyamakan asumsi ini dengan asumsi kedua, namun sebagian lain
membedakannya. Salah satu yang mempertahankan asumsi ini adalah Leibniz, yang
menganalogikan konsep pemikiran seperti sebuah garis urat pada batu marmer.
Pikiran sama halnya seperti sebongkah marmer yang dipahat menjadi patung.
6. Sebelum memahat, para pengrajin tentu telah menyadari bentuk apa yang cocok
untuk marmer itu dari garis uratnya. Meskipun mereka perlu mengukir, memoles,
dan memunculkan garis-garisnya, tapi perlu disadari bahwa garis itu sudah ada
dalam batu. Sama halnya dengan kita, garis-garis pada batu itu adalah
kecenderungan berpikir kita, kebiasaan alami, potensi, dan bakat yang kita miliki,
meski seringkali untuk membuatnya kentara ia perlu disalurkan pada suatu aktifitas.
B. René Descartes (1596-1650 M)
Rene Descartes atau dalam bahasa latin Renatus Certsius, lahir pada 31 Maret 1596
di La Haye Totiraine, sebuah daerah di Perancis Tengah.Pada tahun 1604 hingga
tahun 1612, Descartes belajar di College des Jesuites de la Fleche. Disana Descartes
belajar ilmu logika, filsafat, matematika, dan fisika. Pada tanggal 11 Februari 1650
di usia yang ke 54 tahun, Descartes meninggal dunia di Swedia karena terkena
penyakit radang paru-paru. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Perancis pada
tahun 1667 dan tengkoraknya disimpan di Museum d’Histoire Naturelle, Paris.
Descartes layaknya sosok kontemporer dari Galileo dan Kepler. Tetapi ia jauh lebih
beruntung dibandingkan pendahulunya, karena ia lahir di masa-masa awal revolusi
ilmiah yang mengikis kejayaan abad pertengahan dan filsafat skolastik. Meski ia
sendiri menghabiskan waktu sekolah di Jesuit, namun ia merasa resah dengan
banyaknya konsep-konsep yang salah diajarkan disana. Hingga pada tahun 1619 ia
memulai perjalanan filsafatnya dengan membongkar ke bagian yang paling dasar
dari filsafat dan membangunnya kembali dari nol. Layaknya membangun rumah, ia
akan menyusun fondasi yang kuat, kemudian tiangnya, baru setelah itu dinding dan
atapnya, satu persatu.
7. Ia menyangsikan segala hal. Ia berusaha mengosongkan pikirannya dari segala apa
yang ia yakini, menjatuhkan penilaian atas segala hal. Karena untuk dapat
menyangsikan sesuatu, ia perlu melihat melepaskan keyakinannya, bahkan pada
sesuatu yang sudah sangat jelas kebenarannya.
Dalam perenungannya, pertama-tama Descartes berpikir, bahwa ketika seseorang
bermimpi maka cenderung ia tidak menyadari bahwa ia sedang bermimpi,
segalanya bisa terlihat sangat nyata dan benar sampai ia bangun dari mimpinya.
Jadi mungkin saja ia sendiri sedang bermimpi saat ini, bisa saja ia tidak sedang
duduk dikursi, menulis, dsb. Bahkan, dalam penyangsiannya, Descartes berpikir
bahwa mungkin saja Tuhan sebenarnya bukan tuhan, melainkan kejahatan yang
sedang berusaha menyesatkannya. Mungkin saja seluruh inderanya, penciumannya,
penglihatannya, pendengarannya, hanyalah ilusi. Termasuk apa yang ia rasakan,
gerakan, dan anggota tubuhnya juga hanya ilusi. Lalu apa mungkin, seorang
individu hanya terdiri dari objek “zat” yang berpikir, tanpa memiliki wujud/bentuk?
Namun kemudian descartes menyadari, bahwa jika ada penyesatan, maka past ada
yang disesatkan. Maka dari itu, orang yang disesatkan pasti benar-benar ada, karena
tidak mungkin mengecoh pikiran seseorang jika orangnya sendiri tidak ada.
Bisakah aku dikatakan berpikir dengan kesadaranku jika nyatanya aku tidak sadar.
Jawabnya tentu tidak. Maka meskipun objek yang kulihat mungkin bukanlah hal
nyata, tapi tidak bisa dipungkiri aku sadar akan objek yang kulihat. Aku mungkin
tidak melihat langit, tetapi aku benar-benar melihat apa yang terlihat seperti langit.
Dengan kata lain, Descartes menyimpulkan bahwa ketika aku sadar, pastilah aku
ada. Aku berpikir, maka aku ada (Cogito, ergo sum.)
8. Dengan menyangsikan segala hal, Descrates berakhir dengan kesimpulan “Aku
berpikir maka aku ada”, bahwa ketika semua hal dapat disangsikan, maka “aku”
yang menyangsikan ini semakin nyata dan benar-benar ada. Descartes menuangkan
pemikirannya itu dengan membuat sebuah metode yang sangat terkenal yang sering
disebut dengan Cogito Descartes atau metode keraguan Descartes (Cartesian
Doubt) atau metode Cogito.
Beberapa karya filsafat yang dihasilkan oleh Rene Descartes selama studi dan
perenungan filsafatnya antara lain Discours de la Methode (Discourse on Method)
yang diterbitkan pada tahun 1637, Meditationes de Prima Philosophia (Meditations
on the First Philosophy) pada tahun 1642, dan Principes de la Philosophie
(Principles of Philosophy) pada tahun 1644 sebelum kematiannya 6 tahun
kemudian.
C. Baruch De Spinoza (1632-1677 M)
Baruch de Spinoza lahir pada tahun 1632 dan meninggal pada tahun 1677. Spinoza
adalah seorang filosof keturunan Yahudi-Portugis yang lahir dan besar di Belanda.
Selama kehidupannya, Spinoza tidak hanya belajar matematika dan ilmu-ilmu alam
tetapi dia juga mempelajari bahasa Latin, Yunani, Belanda, Spanyol, Perancis,
Yahudi, Jerman, dan Italia. Pemikiran Spinoza adalah ajaran mengenai Subtansi
tunggal yang artinya Allah atau Tuhan itu sama halnya dengan alam. Jadi Tuhan
dan alam itu adalah satu substansi, ini berarti tidak ada Tuhan yang berkuasa atau
mengatur semesta, yang ada hanyalah alam, wujud alam inilah Tuhan.
Dengan pemikitannya ini, Spinoza disebut sebagai penganut panteisme-monistik.
Akibat dari pemikirannya ini Baruch Spinoza diasingkan oleh golongannya sendiri
9. karena Kala itu tulisan Spinoza memang dinilai sangat radikal, penyangkalannya
terhadap hal gaib bahkan kepada malaikat, mukjizat, kitab suci bangsanya, dan
banyak lagi. Keluarganya memutuskan hubungan dengannya, ia dikucilkan dari
kotanya Sinagoga, dikutuk, bahkan hampir ditikam, hingga akhirnya ia pergi
menyepi di pinggir Amsterdam dan mengubah namanya menjadi Benedictus de
Spinoza. Ia sendiri sebenarnya pernah ditawari mengajar di Universitas Heidelberg,
namun kekhawatirannya kepada respon masyarakat terhadap tulisannya membuat
Spinoza mengurungkan tawaran itu dan lebih memilih bekerja membuat lensa
hingga ia tutup usia pada usia 44 tahun akibat TBC paru-paru.
Karyanya yang populer setelah diterjemahkan adalah renati Descartes
Principiorum Philosophiae (Prinsip Filsafat Descartes) tahun 1663, dan
TractatusTheologico-Politicus (Traktat politis-Teologis) tahun 1670. Dan ada
beberapa karya pentingnya yang baru terbit setelah kematiannya, seperti Ethica
More Geometrico Demonstrata (Etika Dibuktikan Secara Geometris) tahun 1677
dan Tractatus de Intellectus Emendatione (Traktat tentang Perbaikan Pemahaman)
pada tahun yang sama.
D. Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M)
Nama asli dari Leibniz adalah Gottfried Wilhelm Freiherr Von Leibniz. Dia adalah
seorang filsuf Jerman keturunan Sorbia dan berasal dari Sachsen yang lahir pada
tanggal 1 Juli 1646. Berkat ayahnya, seorang professor bernama Friedrich Leibniz,
Leubniz dari kecil dipaparkan berbagai ilmu klasik dan alam yang membangkitkan
rasa ketertarikannya terhadap masalah-masalah yuridis, falsafi, astronomi, fisika,
matematika, hingga pada usia 20 tahun ia mampu meraih gelar doktoralnya.
10. Bahkan ia sempat mendirikan Academy of Sciences, sebua organisasi yang sama
bergengsinya dengan Royal Society (perkumpulan ilmuwan inggris). Otaknya yang
encer dan penuh ide-ide ini membuatnya dipandang sebagai filsuf Jerman original
pertama.
Leibniz tidak hanya dikenal sebagai filosof saja tetapi dia juga seorang
matematikawan, fisikawan, sejarawan, bahkan seorang politikus. Sama halnya
dengan Spinoza, pemikiran Leibniz juga mengikuti pemikiran dari Descartes tetapi
bedanya adalah jika Descartes terkenal dengan Cogitonya dan Spinoza terkenal
dengan Subtstansinya maka Leibniz juga memiliki pemikirannya sendiri yang
disebut dengan Monad yang ia jelaskan secara utuh dalam bukunya La
Monadologie (Monadologi) yang terbit tahun 1714. Dimana dalam buku itu ia
menyebut istilah monad, yaitu substansi yang berbeda satu dengan yang lain, dan
adanya monad purba atau supermonad yang menciptakan dan mengatur monad-monad
itu. Disinilah Leibniz secara tidak langsung mengakui adanya Tuhan, Zat
yang Maha mengatur dan mencipta semesta.
Dalam tulisannya, ia cenderung menyelaraskan bidang teologi (ilmu ketuhanan)
dengan ilmu pengetahuan. Meski Leibniz sebenarnya banyak terinspirasi dari
pemikira-pemikiran Spinoza, namun ia tidak ingin dicap subversif, seorang murtad
dan sebagainya. Bahkan ia pernah menerbitkan buku Discours de Metaphysique
(Wacana Metafisika) tahun 1686 yang didalamnya ia banyak menyinggung masalah
teologi dan banyak tulisannya dalam bidang keagamaan berusaha menemukan
keselarasan ajaran-ajaran protestan dan katolik.
11. E. Christian Wolff (1679-1754 M)
Seorang filosof Jerman yang sangat berpengaruh dalam rasionalisme di Jerman
pada abad ke-18. Christian Wolff juga dikenal dengan Wolfius. Dia lahir pada
tanggal 24 Januari 1679 di Breslau, Habsburg, Silesia. Pemikiran yang digunakan
Wolff pada dasarnya mengikuti sekaligus menyusun kembali pemikiran dari
Leibniz agar menjadi satu sistem, sehingga bis diterapkan pada segala bidang ilmu
pengetahuan. Meskipun demikian masih ada perbedaan dari bagian-bagian kecil
dari filsafat Leibniz. Dalam penyusunannya itu Wolff banyak menggunakan unsur
Skolastik.
12. BAB III
PENUTUP
Berpikir rasional berarti mendasari pikiran dengan akal dan logika. Kebenaran didapat
dari hasil berpikir dan meramu fakta, teori, serta kenyataan indrawi yang ada.
Dampaknya, paham ini mengeliminir pengetahuan yang dirasa tidak masuk akal, tidak
ada logikanya, seperti hal-hal gaib, malaikat atau mukjizat.
Namun, bukan berarti rasionalisme sama dengan atheisme. Para rasionalis yang selalu
mengedepankan pemikiran logis, lama kelamaan terbentur kenyataan bahwa memang
ada kekuatan di luar dirinya yang mengatur jagad raya. Tidak bisa dipungkiri bahwa
semesta berjalan dalam mekanisme tertentu, yang belum bisa mereka jelaskan.
Dari Descartes hingga Leibniz, semuanya menyusun konsep pemikiran yang
memberikan tempat pada mekanisme alam dengan adanya suatu Zat pengatur.
Substansi, monad, atau apapun mereka menamakannya, sungguh hakikatnya mereka
hanya berusaha menjelaskan konsep ketuhanan.
13. DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F. Budi. 2011. Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Longworth, Guy. Tanpa tahun. Rationalism and Empiricism. Diakses tanggal 15
September 2014 dari http://www2.warwick.ac.uk/fac/soc/philosophy/people/
faculty/longworth/keyideasrationalismempiricism.pdf.
Marlina, Hazier Ika Silvia. Tanpa tahun. Rasionalisme. Diakses pada tanggal 15
September 2014 dari http://www.academia.edu/4132542/Rasionalisme.
Suhartono, Suparlan, Dasar-Dasar Filsafat “Cogiro Ergo Sum” (Rene Descartes),
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009.
S. Suria Sumantri, Jujun, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1990.
Tanpa nama. Tanpa tahun. Descartes and Rationalism. Diakses tanggal 15 September
2014 dari http://faculty.arts.ubc.ca/rjohns/descartes_rationalism.pdf.
Wang, Torrey. 2012. Empiricism, Rationalism, and Plato’s Innatism. Diakses tanggal 15
September 2014 dari http://www3.nd.edu/~twang6/teaching/Handout1EmpRat.pdf.
Zubaedi dkk, Filsafat Barat Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala
Thomas Kuhn, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.
http://id.wikipedia.org/wiki/René_Descartes
http://id.wikipedia.org/wiki/Baruch_Spinoza
http://id.wikipedia.org/wiki/Gottfried_Leibniz
http://id.wikipedia.org/wiki/Christian_Wolff
http://en.wikipedia.org/wiki/Rationalism