SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  21
Télécharger pour lire hors ligne
TUGAS MATA KULIAH KLIMATOLOGI
MAKALAH
WANAMINA (SILVOFISHERY) SEBAGAI
MODIFIKASI IKLIM MIKRO TAMBAK BERBASIS KONSERVASI
Disusun Oleh:
Nama : Anggoro Prihutomo
NIM : 30000213410041
Dosen Pengampu : Ir. Sutarno, MS.
Dr. Widada Sulistya, DEA
MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014
Wanamina (Silvofishery) Sebagai
Modifikasi Iklim Mikro Tambak Berbasis Konservasi
Oleh:
Anggoro Prihutomo
Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang
Abstrak
Fenonema perubahan iklim global memberikan dampak pada
ekosistem pesisir dan kegiatan ekonomi yang ada di dalamnya, termasuk
kegiatan akuakultur. Beberapa dampak yang muncul sebagai akibat
perubahan iklim antara lain, kenaikan suhu bumi, kenaikan muka air laut,
perubahan pola curah hujan, dan fenomena cuaca yang ekstrem seperti
badai dan topan. Hal ini ini semakin diperparah dengan kondisi daya
dukung pesisir yang semakin rendah. Adanya dampak perubahan iklim
dan rusaknya lingkungan pesisir menjadikan wilayah pesisir akan
menjadi semakin rentan ke depan.
Silvo fishery atau wanamina merupakan budidaya tumpangsari
antara ikan dan konservasi mangrove. Langkah ini merupakan konservasi
di daerah pesisir sekaligus untuk memodifikasi iklim agar iklim lokal
tetap ideal bagi ikan/udang dalam budidaya. Beberapa pola wanamina
yang dikembangkan di Indonesia pada umumnya adalah sistem empang
parit dan empang parit yang disempurnakan dengan kultivan udang
windu, ikan Bandeng, Kakap Putih, maupun udang/ikan liar yang secara
alami masuk ke kawasan tersebut. Kab. Subang (Cikeong dan Blanakan),
Kab. Sinjai, Kab. Indramayu, Kab. Pemalang adalah beberapa daerah di
Indonesia yang telah sukses dalam mengembangkan sistem wanamina
ini.
Kata kunci: Silvofishery, iklim mikro, mangrove
Pendahuluan
Perubahan iklim akibat pemanasan global berdampak terhadap meningkatnya suhu
permukaan bumi, kenaikan permukaan air laut dan presipitasi. Kondisi ini mengakibatkan
wilayah pesisir sangat rentan. Dampak tersebut antara lain kerusakan dan kerugian secara
fisik, ekologis, sosio-ekonomis dan kelembagaan (Putuhena 2011). Komponen komponen
utama dari perubahan iklim yang dapat secara potensial berdampak pada produksi
akuakultur di daerah pesisir antara lain kenaikan muka air laut, kenaikan temperatur,
perubahan pola hujan monsoonal dan peristiwa iklim yang ekstrem dan tekanan
ketersediaan air (Silva & Soto 2009).
Naiknya permukaan air laut karena perubahan iklim mendorong terjadinya abrasi di
wilayah pesisir pantai wilayah Jawa Tengah Utara. Lebih lanjut, angin yang telah berubah
polanya mendorong air ke wilayah pantai secara besar-besaran. Kondisi wilayah pesisir
Jawa Tengah yang tanpa adanya penahan gelombang baik buatan maupun alami
(mangrove) sangat dengan mudah terkikis karena hasutan air laut yang terjadi secara besar
dan terus menerus. Meningkatnya suhu mengakibatkan tekanan udara semakin besar.
Badai di laut lepas akan semakin sering terjadi. Fenomena alam ini jarang terjadi dalam
kurun waktu sepuluh tahun yang lalu. Namun kenyataannya, kejadian tersebut mengalami
peningkatan dalam frekuensi (The Planet 2008).
Permasalahan lain yang muncul adalah pembukaan tambak untuk kehidupan
ekonomi masyarakat pada masa dulu (1970 - 1980) telah mengorbankan keberadaan hutan
mangrove. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya gelombang laut yang besar akibat
cuaca ekstrim dan perubahan arus laut akibat reklamasi yang menyebabkan semakin
besarnya abrasi. Pencemaran sungai akibat limbah industri maupun rumah tangga
mengakibatkan terjadi penurunan kualitas air sungai yang digunakan untuk perairan
tambak, akibatnya produktivitas tambak menurun (Bintari Foundation 2011).
Kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim yang telah dirasakan
masyarakat tersebut memberikan ancaman terhadap kegiatan budidaya tambak dan
perikanan laut. Sebagai bentuk adaptasi dan modifikasi terhadap lingkungan pesisir yang
semakin ekstrem masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan
kelangsungan usaha akuakultur di daerah pesisir meskipun dengan konsekuensi ada biaya
tambahan yang harus dikeluarkan dan di sisi lain penghasilan mereka menurun (Bintari
Foundation 2011).
Menghadapi perubahan iklim, sistem peningkatan ketahanan dalam masyarakat
untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi.
Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi
dampak negatif dari perubahan iklim. Adaptasi tersebut merupakan bentuk proteksi yang
dapat dilakukan oleh penduduk di wilayah pesisir untuk menyikapi dampak perubahan
iklim (Putuhena 2011), terutama dalam kaitanya dengan kelestarian usaha budidaya
perikanan di daerah pesisir.
Salah satu bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dalam
menghadapi tingkat kerentanan wilayah pesisir dewasa ini dan juga mempertahankan
kelestarian kegiatan ekonomi mereka (budidaya perikanan) di wilayah tersebut adalah
dengan sistem wana mina (silvofishery) (Rizal 2009; Wibowo & Handayani 2006; Bintari
Foundation 2011).
Pemasalahan Daerah Pesisir Dewasa Ini
Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua
(Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini
menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir.
Wisata bahari, budi daya tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh
potensi ekonomi yang bernilai tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik
bagi seluruh pihak untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun
politikya.
Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut,
dimana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang
bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan
laut atau danau dengan lebar bervariasi.
Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan
berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan
lingkungan karena aktivitas yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan
ekosistem pesisir sebagai ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik
alami maupun buatan (Keren 2012).
Sumber daya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena
dapat meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk.
Banyaknya kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat
rentan terhadap kerusakan dan pengerusakan. Wilayah pesisir memiliki tingkat kepadatan
penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir
sering mendapat tekanan manusia yang tinggi. Kerusakan sumber daya alam saat ini tidak
terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam (Keren 2012).
Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir-
kan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut,
ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya
yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah.
Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan
ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi
tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang) (LAKPESDAM TUBAN
2009).
Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan
di Indonesia antara lain adalah pencemaran, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi
pantai, degradasi habitat, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan
lainnya, dan bencana alam.
Gambar 1. Pembangunan Wilayah Pesisir
Umumnya rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti
konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan
perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia
dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30–40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove
dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra
(16%), Kalimantan (9%) dan Sulawesi (2,5%) (Omtim 2013; Keren 2012).
Hutan bakau di pesisir pulau Jawa, Sumatra dan pulau-pulau lainnya di Indonesia
telah mengalami kerusakan parah atau telah hilang. Tambak udang, pada khususnya, telah
membabat sejumlah besar jalur hutan bakau dan terumbu karang di sepanjang lingkungan
pesisir pantai dan laut. Terjadinya serangan penyakit pada budidaya udang dan penurunan
produktivitas telah menyebabkan pencampakan wilayah tambak dalam jumlah yang sangat
luas. Di daerah ini, seperti halnya di sepanjang wilayah pantai utara Jawa, rentan terhadap
badai, gelombang pasang surut dan erosi pantai. Dengan adanya perubahan iklim yang
menyebabkan peningkatan terjadinya badai dan naiknya permukaan air laut, kerentanan ini
akan semakin bertambah.
Selain budidaya tambak, pembangunan wilayah perkotaan, polusi, panen kayu
berlebihan dari hutan pesisir serta penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRal)
merupakan faktor utama terjadinya pengrusakan dan degradasi hutan bakau.(Indonesia
Wetlands n.d.).
Peran Hutan Mangrove Dalam Mendukung Ekosistem Pesisir
Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara
sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian
maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada
kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif.
Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan
pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa
Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu
Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias
antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah
baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai (IPB
2007).
Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) dalam
IPB (2007) mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang
tumbuh di daerah pasang surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu
mangue dan grove. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau.
Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis
bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu
tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak
dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika
dan subtropika.
Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama
jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum.
Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan
dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri
dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis
parasit (Nontji (1987) dalam IPB (2007)). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum
dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp,
Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.(IPB 2007).
Hutan bakau melindungi wilayah pesisir dari erosi dan cuaca yang ekstrim. Mereka
menyediakan area pembibitan utama bagi ikan-ikan dan rumah bagi berbagai jenis satwa
lainnya, termasuk diantaranya burung-burung air dan kehidupan satwa laut. Tidak hanya di
Indonesia, tetapi di seluruh wilayah tropis dunia, hutan bakau menyediakan sumber mata
pencaharian bagi jutaan orang yang hidup di wilayah pesisir (Indonesia Wetlands n.d.).
Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Magrove dalam kehidupan masyarakat yang
hidup di daerah pesisir sangat banyak sekali. Baik itu langsung dirasakan oleh penduduk
sekitar maupun peranan, manfaat dan fungsi yang tidak langsung dari hutan mangrove itu
sendiri. Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak
langsung (non economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia
(economic vallues).
Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah adanya sistem
perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat memerangkap sisa-sia bahan
organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan air
laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian memelihara kehidupan padang lamun
(seagrass) dan terumbu karang. Karena proses ini maka mangrove seringkali dikatakan
pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya menumbuhkan
perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas
batas pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang
di wilayah daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi.
Buah vivipar yang dapat berkelana terbawa air hingga menetap di dasar yang dangkal
dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di habitat yang baru. Dalam kurun
waktu yang panjang habitat baru ini dapat meluas menjadi pulau sendiri (Forester 2011).
Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya berfungsi untuk
pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam menangkap endapan dan bisa
membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke
laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali membawa zat-zat kimia atau polutan.
Bila air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat kimia tersebut dapat
dilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih. Banyak penduduk melihat
daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya dengan
tanah agar lebih produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar pernafasan
dan menyebabkan pohon mati.
Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai dasar
teruraikan oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini merupakan
makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang
lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat mangrove.
Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah nursery
bagi hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan udang yang ditangkap
di laut dan di daerah terumbu karang sebelum dewasa memerlukan perlindungan dari
predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah mangrove ini. Berbagai jenis hewan darat
berlindung atau singgah bertengger dan mencari makan di habitat mangrove (Forester
2011)
Stabilitas Iklim Mikro Areal Budidaya Dan Konservasi Pesisir Dengan Konsep
Wanamina
Kebutuhan akan suatu produksi budidaya yang berkelanjutan di tengah semakin
turunya kualitas lingkungan, dan kemampuan dari hutan mangrove dalam menjalankan
keseimbangan fungsi ekologis pada daerah pesisir, serta kemampuan dalam melindungi
semakin besarnya tekanan yang akan dihadapi daerah pesisir sebagai dampak terjadinya
perubahan iklim global inilah yang menjadi dasar konsep wana mina ini untuk
dilaksanakan (Budi Satriya 2014).
Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup (2013) juga mengatakan bahwa
Ekosistem mangrove sangat penting bagi masyarakat pesisir, karena fungsinya dalam
melindungi garis pantai dari hempasan gelombang dan tiupan angin kencang, mengatur
sedimentasi, memperbaiki kualitas air, mengendalikan intrusi air laut, mengatur air bawah
tanah dan menjaga stabilitas iklim mikro inilah yang menjadi alasan perlunya sistem wana
mina pada usaha budidaya perikanan perlu untuk dilakukan.
Iklim mikro (microclimate) sendiri adalah zona atmosfer lokal di mana iklim
berbeda dari daerah sekitarnya. Istilah ini bisa merujuk ke daerah-daerah kecil seperti
beberapa meter persegi ( misalnya kebun ). Microclimate terdapat, misalnya , di dekat
badan air yang dapat mendinginkan suasana lokal, atau di daerah sangat perkotaan di mana
batu bata, beton, dan aspal menyerap energi matahari, panas, dan radiasi kembali panas
untuk membentuk udara ambien (Wikipedia 2013).
Hasil penelitian Siregar (2010) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan iklim
mikro yang besar antara areal bervegetasi dan areal terbuka terutama pada pagi, siang dan
sore hari. Suhu udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah daripada lokasi
tanpa vegetasi. Sementara kelembaban udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih
tinggi daripada lokasi tanpa vegetasi. Kecepatan angin rata-rata pada lokasi yang
bervegetasi lebih daripada lokasi tanpa vegetasi. Untuk fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi
bervegetasi lebih rendah dibandingkan fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi
yaitu. Fluktuasi kelembaban udara rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih dibandingkan
fluktuasi kelembaban rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi. Fluktuasi kecepatan angin rata-
rata pada lokasi bervegetasi lebih rendah, dibandingkan fluktuasi kecepatan angin rata-rata
pada lokasi tidak bervegetasi.
Stabilitas iklim mikro diharapkan akan mempengaruhi stabilitas media budidaya
ikan, sehingga paramater kualitas lingkungan budidaya tetap pada kondisi optimal untuk
kultivan, dimana selanjutnya akan berdampak pada keberlanjutan produksi budidaya baik
secara ekologi maupun secara ekonomi.
Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu
“sylvo” yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan “fishery” yang berarti perikanan (mina).
Silfofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu
antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan,
pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove (Natsir Amin 2013).
Pengertian dan Definisi dari Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola
agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan
hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya
untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan
Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan
memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan
masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove.
Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk
sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem
budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishery pada
dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambak
yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan
ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil pemeliharaan ikan
di tambak. Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami perkembangan
yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah
dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering
dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan perikanan (sivofishery). Keuntungan
ganda telah diperoleh dari simbiosis ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan,
biaya pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari.
Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan
Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak
tanam mangrove di pelataran umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah
tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk
memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari
dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk
meningkatkan kesuburan tambak (Anon 2012).
Berdasarkan hasil wawancara Wibowo & Handayani (2006) dengan petani di
daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara
lain mnjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika
perbandingan hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan
jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut.
Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan antara
hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan
luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan
disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya
detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu,
hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang,
melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak
bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung
alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak. Produksi
bandeng dan udang dari kolam yang hutannya cukup baik baik lebih tinggi dari lahan
tambak yang hutannya tidak baik (terbuka) (Wibowo & Handayani 2006)
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan model tambak
silvofishery, yaitu:
1. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar dari
pohon mangrove.
2. Mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman
dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove
3. Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora
sp, sebagai pakan kambing sedangkan jenis Avicennia sp, Bruguiera sp.
4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan
pendapatan masyarakat petani ikan
5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber
air tawar dapat dipertahankan
6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat
karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari
kecenderungan naiknya muka air laut.
7. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air
pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat
diselamatkan (Natsir Amin 2013).
Selanjutnya menurut Budihastuti (2013), selah satu fungsi vegetasi mangrove
dalam tambak wanamina adalah sebagai kanopi yang melindungi biota dari paparan sinar
matahari dan peningkatan suhu perairan yang signifikan.
Beberapa Model Silvofishery
Secara umum terdapat tiga model tambak silvofishery, yaitu; model empang parit,
komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang berkembang di
masyarakat. Pada tambak silvofishery model empang parit, lahan untuk hutan mangrove
dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pada tambak
silvofishery model komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam
dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan
mangrove dan empang (Bengen, 2003). Tambak silvofishery model jalur merupakan hasil
modifikasi dari tambak silvofishery model empang parit. Pada tambak model ini terjadi
penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan
tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Berdasarkan
3 pola silvofishery dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan
pola silvofishery kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas
pertimbangan:
1. Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor,
sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.
2. Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan
kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan (Sidik 2013).
Empang Parit
Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan
dengan membuat caren air tempat membudidayakan/ memelihara ikan ataupun udang.
Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan
mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan
mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan
pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak
(bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap
dibiarkan seperti semula. Penggunaan pola dengan sistem empang parit ini, maka lahan
yang akan di-reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman
mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove
(Bengen, 2000 dalam Budihastuti, 2013).
Gambar 2. Model empang parit
Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi kesesuaian sistem budidaya
perikanan yang diterapkan, karena produktivitas tambak silvofishery sangat tergantung
pada bahan-bahan organik yang berasal dari dekomposisi serasah tumbuhan mangrove.
Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan
kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan
kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora
mucronata) atau dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia marina) (Budihastuti
2013).
Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati,
dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo,dengan jangka waktu 3-5
tahun masa kontrak (Budi Satriya 2014).
Empang Parit Disempurnakan
Wanamina dengan empang parit yang disempurnakan (Gambar 3). Lahan untuk
hutan mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah.
Gambar 3. Model empang parit yang disempurnakan
Untuk memelihara ikan/udang kanal berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar
40-80 cm dari muka pelataran digunakan modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan
perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan
hingga mencapai 50%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih
dan baronang, serta udang dan kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal
tersebut.
Sistem Komplangan (Selang-seling)
Sistem komplangan (Gambar 4) merupakan suatu sistem silvofishery dengan desain
tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove.
Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran
air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas areal yang akan digunakan untuk silvofishery
dengan model ini disarankan antara 2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran
tambak yang standar untuk memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha (50%). Model ini
merupakan suatu metode budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan
dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem).
Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai (sejajar aliran
sungai) kemungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal
greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman sumberdaya alam
hayati.
Gambar 4. Wanamina model komplangan
Beberapa Penerapan Wanamina Di Indonesia
Wanamina telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong Kong,
Thailand, Vietnam, Philipina, dan Kenya. Di Indonesia sendiri wanamina telah berhasil
dikembangkan di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi), Cikeong (Jawa Barat),
Pemalang (Jawa Tengah), Riau dan Indramayui (Budihastuti 2013).
Wanamina di Kab. Bintan, Riau
Sistem silvofishery untuk melestarikan hutan mangrove saat ini sedang
dikembangkan. Cara ini sebagai model tambak udang dan ikan bandeng di Sei Tiram, Desa
Penaga, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan.
Tekniknya dengan menanam bakau di dalam tambak udang dan ikan bandeng
menjadi salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
kelestarian hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan biota lainnya. Pengembangan
tambak udang dengan sistem silvofishery yang memadukan hutan mangrove jenis bakau
dan api-api di dalam tambak udang dan ikan bandeng. Cara ini merupakan hasil kerja sama
Kelompok Tani dan Nelayan Kharisma Bintan dengan perusahaan asal Jepang YL Invest
Co Ltd di bawah komando, Naoto Akune.Setelah ditanami mangrove jenis bakau dan api-
api, pertumbuhan udang dan ikan bandeng menjadi bagus (Tribun 2013).
Sistem silvofishery yang sedang dikembangkan bekerja sama YL Invest Co Ltd di
Bintan ini adalah pola mempertahankan vegetasi mangrove seluas 60 persen dan area
kosong yang dijadikan kolam untuk budidaya udang dan ikan bandeng seluas 40 persen.
Untuk tahap awal, luas areal tambak udang yang sudah dikembangkan dengan sistem
silvofishery di Bintan sekitar 2 hektar. Seluas 60 persen atau 120.000 meter persegi
ditanami bakau sebanyak 8 ribu pohon. Sisanya 40 persen atau 8.000 meter persegi
dijadikan kolam untuk tempat budidaya udang dan ikan.
Sistem silvofishery pada tambak udang ini cukup bagus sebagai kestabilan
mikroklimat tambak. Udang dan ikan seolah-olah hidup di habitat aslinya. Satu sisi, pada
saat musim panas, udang dan ikan dapat berteduh di bawah pohon bakau. Di sisi lain, akar
pohon bakau menyediakan makanan alami bagi udang dan ikan. Luas areal tambak udang
dan ikan bandeng yang akan dikembangkan dengan sistem silvofishery di Kab. Bintan
lokasinya bisa mencapai 100 hektar ke depan (Tribun 2013).
Wanamina di Kab Subang (Cikeong dan Blanakan), Jawa Barat
Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery di Kabupaten Subang saat ini mengalami
perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan
secara ekonomis bagi pembudidaya dan nelayan. Koperasi Langgeng Jaya di Ds. Langen
Sari Kecamatan Blanakan Kab. Subang yang kemudian menginisiasi pengembangan
silvofishery di Subang khususnya di Desa Langen sari. Sejak tahun 1990
sebenarnya Silvofishery telah mulai dikenalkan dan dikembangkan di Kabupaten Subang
atas inisasi dari Perhutani yang kemudian disebut dengan konsep Wanamina.
Melalui kelembagaan koperasi tersebut telah mampu menginisiasi dan mendorong
pengelolan budidaya bandeng dan udang dengan konsep wanamina tersebut. Beberapa
keuntungan ganda yang pembudidaya dapatkan dari penerapan konsep wanamina ini :
Pertama : jika dibanding teknologi intensif, maka budidaya dengan konsep ini lebih
terjamin keberlanjutannya walaupun produktivitas jauh lebih kecil; kedua : daya dukung
lahan lebih terjaga karena memegang prinsip ramah lingkungan; ketiga : produk yang
dihasilkan lebih aman karena tidak menggunakan pakan dan obat-obat kimiawi (organik);
keempat : mampu menghasilan usaha turunan, antara lain eco-wisata (wisata wanamina),
dan UMKM untuk pengolahan makanan dari buah mangrove (kripik dan sirup).
Saat ini luas lahan tambak silvofishery yang ada di Desa Langensari saja telah
mencapai lebih dari 265 ha. Total secara kesluruhan lahan silvofishery di Kabupaten
Subang angkanya bisa mencapai lebih dari 2.000 ha (Sidik 2013).
Wana mina di Cikiong and Blanakan merupakan bagian dari program pemerintah
tentang manajemen mangrove dan rehabilitasi yang termasuk disitu program silvofisheries,
yang dikelola oleh Perum Perhutani. Mereka menunjukkan apa yang bisa
menyempurnakan rehabilitasi dan manajemen mangrove dalam program terkontrol dan
penguatan. Semua pembudidaya harus menandatangani kontrak kerjasama.
Cikiong mempunyai luas 6.600 ha tambak silvofishery air payau dengan 1.508
pembudidaya silvo fisheries. Semua menggunakan pola Empang parit dengan rasio 4:1.
Kementerian kehutanan mempunyai proyek penelitian untuk memodifikasi desainya.
Modifikasi terdiri atas penambahan tanggul pada sekeliling pelataran tengah tambak yang
ditanami mangrove dengan pintu air yang menghubungkan kanal dan areal mangrove di
tambak. Hal ini akan membiarkan ketinggian air terkontrol untuk pohon mangrove (tidak
mentolerir terlalu lama terendam) dan kanal (mampu untuk mempertahankan ketinggian air
maksimal selama periode pemeliharaan ikan). Udang dipanen setiap hari menggunakan
jebakan bambu dengan lampu penerang minyak tanah pada malam hari (impes). Kolam di
areal silvofisheries cikeong mampu secara rutin memproduksi 1 kg udang/ha setiap malam.
Udang yang ditangkap terdiri dari jenis Metapenaeus enssis.
Gambar 5. Empang parit di Blanakan Jawa Barat
MANGROVE
Silvo fishery di Blanakan mempunyai area 5300 ha tambak silvo fishery air payau
yang melibatkan 2060 pembudidaya. Umumnya merupakan pembudidaya tradisional
dengan sistem “empang parit” seperti gambar 6 diatas. Juga terdapat kolam dengan rasio
area mangrove terhadap air hingga secara penuh terisi dengan air payau. Silvofisheries di
Blanakan utamanya memproduksi ikan nila dan bandeng.
Wanamina di Kab. Sinjai (Sulawesi Selatan)
Sistem Empang parit terletak di Tongke – tongke, Samataring, Kecamatan Sinjai
Timur Sulawesi Selatan. Mulai dikembangkan pada tahun 1994. Merukan proyek dari
Kementerian Kehutanan dan Universitas Hasanuddin. Melibatkan komunitas penanaman
mangrove yang dimulai pada tahun 1984. Penanaman terdiri atas mangrove jenis
Rhizophora (85%), dan lainnya jenis Avicenna, Bruguiera, dan Zonnetaria, pada lahan
seluas 559 ha.
Penanaman mangrove ini merupakan usaha untuk menghentikan erosi pantai pada
desa nelayan. Tambak empang parit dibuat di dalam area dimana mangrove ditanam.
Rhizophora mucronata yang pertama kali ditanam sudah berumur 11 tahun, dengan jarak
tanam 0,5 m. Hal ini menyebabkan pertumbuhan yang sangat rapat (2,5 pohon/m2) dimana
hal ini harus ada penjarangan untuk mengakomodir penerapan (pen culture) pada
kepadatan 0,6 pohon/m2 di tengah pelataran tambak. Pola empang parit ini dapat dilihat
pada gambar berikut.
Gambar 6. Pola empang parit yang dikembangkan di Sinjai
KANAL
MANGROVE DI PELATARAN TAMBAK
CRAB
PEN
CRAB
PEN
PEN
PINTU AIR
PINTU
AIR
Empang parit yang dikembangkan di Sinjai desain dan operasionalnya merupakan
pengembangan dari pola empang parit yang lain di Sulawesi. Namun, tetap menunjukkan
standar model empang parit yang trandisional. Pemanfaatan penuh kolam untuk
memaksimalkan potensi dari sistem untuk produksi budidaya masih tetap diusahakan.
Kolam 1 hektar dengan dua pintu air yang terbuat dari kayu. Saringan pintu
dibiarkan terbuka setiap saat agar air senantiasa bisa masuk setiap waktu mengikuti
pasang. Kanal yang ada di sekeliling tambak seluas 5 m dan mempunyai kedalaman
maksimum (di bawah kedalaman pelataran) yaitu 1 m dan kedalaman minimum 0,7 m (rata
– rata 0,8 m). Air pasang rata rata setinggi 50 cm (range pasang yang relatif rendah akan
mengurangi kapasitas pembuangan). Pelataran tengah mempunyai kedalaman air 50 cm
hingga rendaman penuh pada pasang terendah, atau rata rata kedalaman air 20 -30 cm.
Kolam terisi secara alamiah oleh juvenile dari beberapa spesies yang masuk ke
tambak bersama air pasang. Spesies tersebut termasuk ikan Beronang (Siganus sp.),
Belanak (Mugil sp.), ikan bandeng (Chanos chanos), Tilapia (Oreochromis sp.), udang (P.
monodon, P. Merguiensis, dan Metapenaeus sp.), kepiting bakau (Scylla sp), jacks (Caranx
spp), dan kakap putih (Lates calcarifer). Semuanya dapat dipanen dengan jaring insang
pada saat pasang terendah ketika ikan dan udang terkumpul di kanal keliling tambak.
Penerapan sistem silvofishery di Kab Sinjai pemeliharaan bandeng dan udang liar
dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 5.122.000,- ha/tahun untuk 2 kali panen setiap
tahun. Pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola
komplangan menunjukkan produktifitasnya mencapai 7,1 kg/m3. Sedangkan pola empang
parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 Kg .Namun
demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani
petambak(Budi Satriya 2014)
Indramayu Jawa Barat
Indramayu merupakan wilayah dari Kab. Indramayu yang terletak di pantai utara
Provinsi Jawa Barat. Areal yang dimiliki seluas 8.221 ha. Iklimnya cukup panas (320
C –
350
C), kelembapan (99%), dan dengan rata rata curah hujan cukup rendah (1.281mm per
tahun diatas 89 hari). Lebih dari 50% masyarakatnya bekerja di sektor bisnis perikanan
(nelayan dan pembudidaya ikan dan pengolahan.
Area hutan mangrove di Kab. Indramayu meliputi 2% (397 ha) dari total potensi
hutan mangrove yang mencapai 17.782 ha. Disamping fungsi ekologi untuk mendukung
kegiatan perikanan, hutan mangrove di Indramayu juga berperan sebagai feeding ground
bagi burung air yang melakukan migrasi. Sejak kegagalan budidaya udang yang
diakibatkan serangan virus, sekarang, kebanyakan dari pembudidaya memelihara ikan
bandeng atau polyculture (bandeng dan udang) dan mendapatkan pendapatan tambahan
dengan menjebak udang liar yang ada di tambak.
Dukungan dari pemerintah lokal untuk aktifitas ini secara sukses dicapai melalui
kegiatan silvo fishery dan restorasi mangrove. Mereka memfasilitasi penanaman lebih dari
60.000 pohon mangrove di Karangsong, Singajaya dan Desa Brandong. Sekarang sudah
lebih dari 100.000 pohon mangrove ditanam di 5 desa dan pemeliharaan di setting di Desa
Karangsong untuk memastikan ketersediaan bibit mangrove untuk pengembanganya lagi.
Pemalang, Jawa Tengah
Pemerintah lokal Pemalang memulai program rehabilitasi dan aktifitasnya sejak
1995. Mereka juga menjamin 50 ha area pesisirnya untuk areal rehabilitasi mangrove. Saat
ini program reforestasi tersebut telah memproduksi banyak tambak air payau, 80% nya di
Kec. Ulujami dengan tanaman mangrove di tengah pelataran tambak (central platform)
atau sepanjang pematang. Dimulai pada Maret 2000, dilakukan implementasi budidaya
udang ramah lingkungan di Kec. Ulujami, dengan sistem polyculture (udang dan bandeng)
(Macintosh et al. 2002).
Kesimpulan
Konservasi daerah pesisir secara soft structure, dapat digunakan untuk
perlindungan dan konservasi daerah pesisir. Disamping berperan dalam fungsi ekologis
daerah pesisir, pohon mangrove juga mampu menjaga iklim mikro di daerah sekitarnya.
Silvofishery atau wanamina, merupakan sistem tumpangsari antara ikan dan
mangrove. Didasarkan atas peran hutan mangrove dalam menjaga keseimbangan ekologis
daerah pesisir dan kemampuan dalam menstabilan iklim mikro yang di dibutuhkan pada
kegiatan akuakulture.
Pola minatani yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah sistem empang parit
dan empang parit yang disempurnakan. Bebarapa daerah di Indonesia yang telah
mengembangkan sistem wanamina adalah Kab. Subang (Cikeong, Blanakan), Kab.
Indramayu, Kab. Pemalang, Kab. Sinjai, Kab. Bintan.
Referensi
Anon, 2012. Pengertian dan Definisi Silvofishery atau Wanamina. Available at:
http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-definisi-
silvofishery.html [Accessed May 4, 2014].
Bintari Foundation, 2011. Lingkungan Pesisir dan Perubahan Iklim. Available at:
http://www.bintari.org/index.php/in/lingkup-kerja/konservasi-pesisir/2-lingkungan-
pesisir-cc [Accessed May 3, 2014].
Budi Satriya, I.N., 2014. Sistem Wanamina (Sylvofishery) Sebagai Alternatif Pengelolaan
Mangrove berbasis Mitigasi Bencana di Daerah Pesisir. Available at: http://pancor-
mas.blogspot.com/2014/01/sistem-wanamina-sylvofishery-sebagai.html [Accessed
May 4, 2014].
Budihastuti, R., 2013. Model dan Strategi Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina
Berwawasan Lingkungan di Pesisir Semarang. Universitas Diponegoro. Available at:
http://eprints.undip.ac.id/40474/.
Forester, I., 2011. Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove. Available at:
http://ekologi-hutan.blogspot.com/2011/10/peranan-manfaat-dan-fungsi-hutan.html
[Accessed May 1, 2014].
Indonesia Wetlands, Hutan Bakau. Available at:
http://indonesia.wetlands.org/Kegiatankami/Mangrove/tabid/2839/language/id-
ID/Default.aspx [Accessed May 1, 2014].
IPB, 2007. Ekologi Laut Tropis - Ekosistem Mangrove. Available at:
http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ite
mid=58 [Accessed May 1, 2014].
Kementerian Lingkungan Hidup, 2013. Kementerian Lingkungan Hidup - Program
RANTAI EMAS KLH “Bersama Memulihkan Eksosistem Mangrove.” Available at:
http://www.menlh.go.id/program-rantai-emas-klh-bersama-memulihkan-eksosistem-
mangrove%E2%80%9D/ [Accessed May 1, 2014].
Keren, A., 2012. Permasalahan Dalam Lingkungan Ekosistem Pesisir. Available at:
http://adzriair.blogspot.com/2012/11/permasalahan-dalam-lingkungan-ekosistem.html
[Accessed May 3, 2014].
LAKPESDAM TUBAN, 2009. Krisis Ekologi Laut dan Lingkungan Pesisir. Available at:
http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis-ekologi-laut-dan-lingkungan.html
[Accessed May 3, 2014].
Macintosh, D.J. et al., 2002. Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp
Aquaculture, Case Studies 1-6, Available at:
http://library.enaca.org/Shrimp/Case/Thematic/Annexes_Cases_1-6.pdf#page=89.
Natsir Amin, M., 2013. Petunjutk Teknis Model Percontohan Tambak Model Silvofishery
dengan Penerapan Best Management Practice (BMPs). Available at:
http://umegajayaakuakultur.blogspot.com/2013/09/silvofishery.html [Accessed May
4, 2014].
Omtim, 2013. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir. Available at:
http://www.omtim.com/62/permasalahan-pembangunan-wilayah-pesisir/ [Accessed
May 3, 2014].
Putuhena, J.D., 2011. Perubahan Iklim dan Resiko Bencana Pada Wilayah Pesisir dan
Pulau Pulau Kecil. In Seminar Nasional Pengembangan Pulau Pulau Kecil. pp. –
. Available at: paparisa.unpatti.a .id/paperrepo/ppr itemin o lnk.php id .
Rizal, S., 2009. Tambak Silvofishery di Kawasan Delta Mahakam. Available at:
http://rizalerosa.blogspot.com/2009/05/mangrove-dan-tambak.html [Accessed May 2,
2014].
Sidik, C., 2013. Silvofishery, Budidaya Berdasarkan Prinsip Keseimbangan. Available at:
http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=839 [Accessed May 4, 2014].
Silva, S.S. De & Soto, D., 00 . Climate hange and aqua ulture : potential impa ts ,
adaptation and mitigation. In K. Cochrane et al., eds. Climate change implications for
fisheries and aquaculture:overview of current scientific knowledge. Rome: FAO, pp.
151–213.
Siregar, R.M., 2010. Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Kadar Air Serasah di Hutan Tri
Dharma Kampus Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara. Available
at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22508/7/Cover.pdf.
The Planet, 2008. Dampak Perubahan Iklim di Jawa Tengah. Available at:
http://theordinary.wordpress.com/2008/04/20/dampak-perubahan-iklim-di-jawa-
tengah/ [Accessed April 28, 2014].
Tribun, 2013. Teknik Silvofishery Bikin Bandeng & Udang Cepat Berkembang Budidaya
Ikan. Available at: http://budidaya-ikan.com/teknik-silvofishery-bikin-bandeng-
udang-cepat-berkembang/ [Accessed May 4, 2014].
Wibowo, K. & Handayani, T., 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan
Mina Hutan (Silvo Fishery). Teknik LIngkungan, ( ), pp. – . Available at:
e urnal.bppt.go.id Beranda ol , No ( 006) ibowo.
Wikipedia, 2013. Microclimate. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Microclimate
[Accessed May 4, 2014].

Contenu connexe

Tendances

05 hubungan air, tanah dan tanaman
05   hubungan air, tanah dan tanaman05   hubungan air, tanah dan tanaman
05 hubungan air, tanah dan tanamanKharistya Amaru
 
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanamanBab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanamanPurwandaru Widyasunu
 
Jurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairanJurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairanPT. SASA
 
Pengolahan pasca panen pada buah jeruk
Pengolahan pasca panen pada buah jerukPengolahan pasca panen pada buah jeruk
Pengolahan pasca panen pada buah jerukuniversitas jember
 
Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut) Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut) akb78
 
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakartaestimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakartaPT. SASA
 
sistem alat gerak
sistem alat geraksistem alat gerak
sistem alat gerakf' yagami
 
P. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptx
P. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptxP. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptx
P. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptxAndangHastuP
 
15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambakPutra putra
 
Vigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benihVigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benihUnhy Doel
 
Teknik pembenihan ikan I
Teknik pembenihan ikan ITeknik pembenihan ikan I
Teknik pembenihan ikan IIbnu Sahidhir
 
ALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATIS
ALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATISALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATIS
ALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATISnautika
 
Reaksi ikan terhadap perubahan suhu air
Reaksi ikan terhadap perubahan suhu airReaksi ikan terhadap perubahan suhu air
Reaksi ikan terhadap perubahan suhu airMukhamad Mardiansyah
 

Tendances (20)

Pembesaran ikan
Pembesaran ikanPembesaran ikan
Pembesaran ikan
 
05 hubungan air, tanah dan tanaman
05   hubungan air, tanah dan tanaman05   hubungan air, tanah dan tanaman
05 hubungan air, tanah dan tanaman
 
10 irigasi permukaan
10   irigasi permukaan10   irigasi permukaan
10 irigasi permukaan
 
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanamanBab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
Bab 4. suhu, tekanan, kelembaban udara dan pengaruhnya thd tanaman
 
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
Tingkat kematangan gonad ikan bilih (Mystacoleucus padangensis)
 
Jurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairanJurnal ekologi perairan
Jurnal ekologi perairan
 
Pengolahan pasca panen pada buah jeruk
Pengolahan pasca panen pada buah jerukPengolahan pasca panen pada buah jeruk
Pengolahan pasca panen pada buah jeruk
 
Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut) Sumber daya alam(laut)
Sumber daya alam(laut)
 
Perikanan
PerikananPerikanan
Perikanan
 
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakartaestimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
estimasi populasi gastropoda di tambakbayan yogyakarta
 
sistem alat gerak
sistem alat geraksistem alat gerak
sistem alat gerak
 
Biologi udang
Biologi udangBiologi udang
Biologi udang
 
Biologi Perikanan Kebiasaan Makan Ikan
Biologi Perikanan Kebiasaan Makan IkanBiologi Perikanan Kebiasaan Makan Ikan
Biologi Perikanan Kebiasaan Makan Ikan
 
P. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptx
P. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptxP. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptx
P. 11 - Analisis Manajemen Pakan Ikan FCR, FR, SGR.pptx
 
15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak15. budidaya udang di tambak
15. budidaya udang di tambak
 
Vigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benihVigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benih
 
Teknik pembenihan ikan I
Teknik pembenihan ikan ITeknik pembenihan ikan I
Teknik pembenihan ikan I
 
ALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATIS
ALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATISALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATIS
ALAT TANGKAP AKTIF, PASIF DAN STATIS
 
Reaksi ikan terhadap perubahan suhu air
Reaksi ikan terhadap perubahan suhu airReaksi ikan terhadap perubahan suhu air
Reaksi ikan terhadap perubahan suhu air
 
7. teknologi biofloc
7. teknologi biofloc7. teknologi biofloc
7. teknologi biofloc
 

Similaire à Modifikasi iklim mikro dengan wanamina

Ppt IPL permasalahan lingkungan pesisir Riau
Ppt IPL permasalahan lingkungan pesisir RiauPpt IPL permasalahan lingkungan pesisir Riau
Ppt IPL permasalahan lingkungan pesisir RiauAziza Syilpa
 
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''Sutrisna Sandi
 
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...Arok Pramudhita
 
KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...
KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...
KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...Analyst of Water Resources Management
 
Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...
Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...
Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...Operator Warnet Vast Raha
 
Makalah Full Paper
Makalah Full PaperMakalah Full Paper
Makalah Full PaperWindra Hardi
 
POTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptx
POTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptxPOTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptx
POTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptxOppoA153
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveerikakurnia
 
PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...
PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL    Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL    Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...
PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...Simon Raharjo
 
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...Luhur Moekti Prayogo
 
Contribution of ocean sectors to the green economy
Contribution of ocean sectors to the green economyContribution of ocean sectors to the green economy
Contribution of ocean sectors to the green economyAndino Maseleno
 
Makalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu KarangMakalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu KarangAdy Purnomo
 
Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Register Undip
 
GLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap Tata ruang
GLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap  Tata ruangGLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap  Tata ruang
GLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap Tata ruangKrisna Setyadi
 

Similaire à Modifikasi iklim mikro dengan wanamina (20)

Ppt IPL permasalahan lingkungan pesisir Riau
Ppt IPL permasalahan lingkungan pesisir RiauPpt IPL permasalahan lingkungan pesisir Riau
Ppt IPL permasalahan lingkungan pesisir Riau
 
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
Presentasi eko.lingkungan "PESISIR DAN LAUT INDONESIA''
 
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
Potensi tekanan ketersediaan air sebagai dampak perubahan iklim pada kawasan ...
 
KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...
KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...
KERENTANAN EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PEMBANGUNAN KOTA MINAPOLITAN (KEC. SED...
 
Metode penelitian pesisir
Metode penelitian  pesisirMetode penelitian  pesisir
Metode penelitian pesisir
 
Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...
Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...
Program peningkatan kesadaran masyarakat tentang pelestarian mangrove berbasi...
 
Climate change
Climate changeClimate change
Climate change
 
Makalah Full Paper
Makalah Full PaperMakalah Full Paper
Makalah Full Paper
 
POTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptx
POTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptxPOTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptx
POTRET – POTRET PEMBANGUNAN DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU - PULAU KECIL.pptx
 
Ekologi Lahan Mangrove.ppt
Ekologi Lahan Mangrove.pptEkologi Lahan Mangrove.ppt
Ekologi Lahan Mangrove.ppt
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
 
PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...
PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL    Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL    Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...
PULAU KECIL DAN PERTANIAN PULAU KECIL Simon Raharjo in file #1-Pulau Kecil...
 
TUGAS
TUGASTUGAS
TUGAS
 
Artikel
ArtikelArtikel
Artikel
 
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
Mitigasi Bencana Pesisir - Penanggulangan Abrasi Pantai Melalu Reboisasi Huta...
 
Contribution of ocean sectors to the green economy
Contribution of ocean sectors to the green economyContribution of ocean sectors to the green economy
Contribution of ocean sectors to the green economy
 
EKSPLORASI SDA.pdf
EKSPLORASI SDA.pdfEKSPLORASI SDA.pdf
EKSPLORASI SDA.pdf
 
Makalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu KarangMakalah Terumbu Karang
Makalah Terumbu Karang
 
Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal Pantai berbatu habitat supratidal
Pantai berbatu habitat supratidal
 
GLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap Tata ruang
GLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap  Tata ruangGLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap  Tata ruang
GLOBAL WARMING/ Pengaruh Terhadap Tata ruang
 

Modifikasi iklim mikro dengan wanamina

  • 1. TUGAS MATA KULIAH KLIMATOLOGI MAKALAH WANAMINA (SILVOFISHERY) SEBAGAI MODIFIKASI IKLIM MIKRO TAMBAK BERBASIS KONSERVASI Disusun Oleh: Nama : Anggoro Prihutomo NIM : 30000213410041 Dosen Pengampu : Ir. Sutarno, MS. Dr. Widada Sulistya, DEA MAGISTER ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014
  • 2. Wanamina (Silvofishery) Sebagai Modifikasi Iklim Mikro Tambak Berbasis Konservasi Oleh: Anggoro Prihutomo Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang Abstrak Fenonema perubahan iklim global memberikan dampak pada ekosistem pesisir dan kegiatan ekonomi yang ada di dalamnya, termasuk kegiatan akuakultur. Beberapa dampak yang muncul sebagai akibat perubahan iklim antara lain, kenaikan suhu bumi, kenaikan muka air laut, perubahan pola curah hujan, dan fenomena cuaca yang ekstrem seperti badai dan topan. Hal ini ini semakin diperparah dengan kondisi daya dukung pesisir yang semakin rendah. Adanya dampak perubahan iklim dan rusaknya lingkungan pesisir menjadikan wilayah pesisir akan menjadi semakin rentan ke depan. Silvo fishery atau wanamina merupakan budidaya tumpangsari antara ikan dan konservasi mangrove. Langkah ini merupakan konservasi di daerah pesisir sekaligus untuk memodifikasi iklim agar iklim lokal tetap ideal bagi ikan/udang dalam budidaya. Beberapa pola wanamina yang dikembangkan di Indonesia pada umumnya adalah sistem empang parit dan empang parit yang disempurnakan dengan kultivan udang windu, ikan Bandeng, Kakap Putih, maupun udang/ikan liar yang secara alami masuk ke kawasan tersebut. Kab. Subang (Cikeong dan Blanakan), Kab. Sinjai, Kab. Indramayu, Kab. Pemalang adalah beberapa daerah di Indonesia yang telah sukses dalam mengembangkan sistem wanamina ini. Kata kunci: Silvofishery, iklim mikro, mangrove Pendahuluan Perubahan iklim akibat pemanasan global berdampak terhadap meningkatnya suhu permukaan bumi, kenaikan permukaan air laut dan presipitasi. Kondisi ini mengakibatkan wilayah pesisir sangat rentan. Dampak tersebut antara lain kerusakan dan kerugian secara fisik, ekologis, sosio-ekonomis dan kelembagaan (Putuhena 2011). Komponen komponen utama dari perubahan iklim yang dapat secara potensial berdampak pada produksi akuakultur di daerah pesisir antara lain kenaikan muka air laut, kenaikan temperatur, perubahan pola hujan monsoonal dan peristiwa iklim yang ekstrem dan tekanan ketersediaan air (Silva & Soto 2009).
  • 3. Naiknya permukaan air laut karena perubahan iklim mendorong terjadinya abrasi di wilayah pesisir pantai wilayah Jawa Tengah Utara. Lebih lanjut, angin yang telah berubah polanya mendorong air ke wilayah pantai secara besar-besaran. Kondisi wilayah pesisir Jawa Tengah yang tanpa adanya penahan gelombang baik buatan maupun alami (mangrove) sangat dengan mudah terkikis karena hasutan air laut yang terjadi secara besar dan terus menerus. Meningkatnya suhu mengakibatkan tekanan udara semakin besar. Badai di laut lepas akan semakin sering terjadi. Fenomena alam ini jarang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun yang lalu. Namun kenyataannya, kejadian tersebut mengalami peningkatan dalam frekuensi (The Planet 2008). Permasalahan lain yang muncul adalah pembukaan tambak untuk kehidupan ekonomi masyarakat pada masa dulu (1970 - 1980) telah mengorbankan keberadaan hutan mangrove. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya gelombang laut yang besar akibat cuaca ekstrim dan perubahan arus laut akibat reklamasi yang menyebabkan semakin besarnya abrasi. Pencemaran sungai akibat limbah industri maupun rumah tangga mengakibatkan terjadi penurunan kualitas air sungai yang digunakan untuk perairan tambak, akibatnya produktivitas tambak menurun (Bintari Foundation 2011). Kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim yang telah dirasakan masyarakat tersebut memberikan ancaman terhadap kegiatan budidaya tambak dan perikanan laut. Sebagai bentuk adaptasi dan modifikasi terhadap lingkungan pesisir yang semakin ekstrem masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan kelangsungan usaha akuakultur di daerah pesisir meskipun dengan konsekuensi ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan dan di sisi lain penghasilan mereka menurun (Bintari Foundation 2011). Menghadapi perubahan iklim, sistem peningkatan ketahanan dalam masyarakat untuk mengurangi resiko bahaya perubahan iklim dilakukan melalui upaya adaptasi. Adaptasi merupakan tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim. Adaptasi tersebut merupakan bentuk proteksi yang dapat dilakukan oleh penduduk di wilayah pesisir untuk menyikapi dampak perubahan iklim (Putuhena 2011), terutama dalam kaitanya dengan kelestarian usaha budidaya perikanan di daerah pesisir. Salah satu bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat pesisir dalam menghadapi tingkat kerentanan wilayah pesisir dewasa ini dan juga mempertahankan kelestarian kegiatan ekonomi mereka (budidaya perikanan) di wilayah tersebut adalah
  • 4. dengan sistem wana mina (silvofishery) (Rizal 2009; Wibowo & Handayani 2006; Bintari Foundation 2011). Pemasalahan Daerah Pesisir Dewasa Ini Indonesia terletak sangat strategis ,yaitu di daerah tropis, diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Hindia dan Pasifik). Letak yang strategis ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam khususnya pesisir. Wisata bahari, budi daya tambak, pertambangan dan pemukiman adalah beberapa contoh potensi ekonomi yang bernilai tinggi. Tak heran apabila daerah pesisir menjadi daya tarik bagi seluruh pihak untuk mengelola dan memanfaatkannya dari segi ekonomi maupun politikya. Daerah pesisir adalah jalur tanah darat/kering yang berdampingan dengan laut, dimana lingkungan dan tata guna lahan mempengaruhi secara langsung lingkungan ruang bagian laut, dan sebaliknya. Daerah pesisir adalah jalur yang membatasi daratan dengan laut atau danau dengan lebar bervariasi. Daerah ini selalu berkembang dengan pesatnya pembangunan yang dilakukan berbagai pihak. Pihak-pihak tersebut secara tidak langsung mengakibatkan kerusakan lingkungan karena aktivitas yang dilakukan di darat maupun di laut. Hal ini menjadikan ekosistem pesisir sebagai ekosistem yang rentan terhadap kerusakan dan perusakan baik alami maupun buatan (Keren 2012). Sumber daya pesisir memiliki produktifitas yang tinggi dalam pembangunan karena dapat meningkatkan devisa, lapangan kerja, pendapatan dan kesejahteraan penduduk. Banyaknya kegiatan yang dilakukan di daerah pesisir mengakibatkan daerah ini sangat rentan terhadap kerusakan dan pengerusakan. Wilayah pesisir memiliki tingkat kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir sering mendapat tekanan manusia yang tinggi. Kerusakan sumber daya alam saat ini tidak terlepas dari perilaku manusia dalam memperlakukan alam (Keren 2012). Dewasa ini, kondisi lingkungan laut dan pesisir semakin tambah mengkhawatir- kan. Hampir di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura) pencemaran air sungai dan laut, ekosistem terumbu karang dan pohon-pohon bakau/mangrove atau tanaman pantai lainya yang dapat berfungsi sebagai penangkis gelombang pasang sudah banyak yang punah. Dapat di pastikan, setiap kali musim air laut sedang pasang, hempasan gelombang dan ombak menerjang rumah-rumah penduduk dan jalan raya karena sudah tidak ada lagi
  • 5. tanaman pantai yang dapat menahan laju gelombang pasang) (LAKPESDAM TUBAN 2009). Ada beberapa masalah yang terjadi dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia antara lain adalah pencemaran, over-eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, degradasi habitat, konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan bencana alam. Gambar 1. Pembangunan Wilayah Pesisir Umumnya rusaknya habitat di daerah pesisir adalah akibat aktivitas manusia seperti konversi hutan mangrove untuk kepentingan pemukiman, pembangunan infrastruktur, dan perikanan tambak. Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30–40 % dari jumlah seluruh hutan mangrove dunia Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71%), Sumatra (16%), Kalimantan (9%) dan Sulawesi (2,5%) (Omtim 2013; Keren 2012). Hutan bakau di pesisir pulau Jawa, Sumatra dan pulau-pulau lainnya di Indonesia telah mengalami kerusakan parah atau telah hilang. Tambak udang, pada khususnya, telah membabat sejumlah besar jalur hutan bakau dan terumbu karang di sepanjang lingkungan pesisir pantai dan laut. Terjadinya serangan penyakit pada budidaya udang dan penurunan produktivitas telah menyebabkan pencampakan wilayah tambak dalam jumlah yang sangat luas. Di daerah ini, seperti halnya di sepanjang wilayah pantai utara Jawa, rentan terhadap badai, gelombang pasang surut dan erosi pantai. Dengan adanya perubahan iklim yang menyebabkan peningkatan terjadinya badai dan naiknya permukaan air laut, kerentanan ini akan semakin bertambah. Selain budidaya tambak, pembangunan wilayah perkotaan, polusi, panen kayu berlebihan dari hutan pesisir serta penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRal) merupakan faktor utama terjadinya pengrusakan dan degradasi hutan bakau.(Indonesia Wetlands n.d.).
  • 6. Peran Hutan Mangrove Dalam Mendukung Ekosistem Pesisir Mangrove merupakan karakteristik dari bentuk tanaman pantai, estuari atau muara sungai, dan delta di tempat yang terlindung daerah tropis dan sub tropis. Dengan demikian maka mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan dan pada kondisi yang sesuai mangrove akan membentuk hutan yang ekstensif dan produktif. Karena hidupnya di dekat pantai, mangrove sering juga dinamakan hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau. Istilah bakau itu sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan nama dari salah satu spesies penyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp. Sehingga dalam percaturan bidang keilmuan untuk tidak membuat bias antara bakau dan mangrove maka hutan mangrove sudah ditetapkan merupakan istilah baku untuk menyebutkan hutan yang memiliki karakteristik hidup di daerah pantai (IPB 2007). Berkaitan dengan penggunaan istilah mangrove maka menurut FAO (1982) dalam IPB (2007) mangrove adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Istilah mangrove merupakan perpaduan dari dua kata yaitu mangue dan grove. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau. Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Wilayah mangrove dicirikan oleh tumbuh-tumbuhan khas mangrove, terutama jenis-jenis Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Avicennia, Xylocarpus dan Acrostichum. Selain itu juga ditemukan jenis-jenis Lumnitzera, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa. Keanekaragaman jenis ekosistem mangrove di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Jumlah jenis mangrove di Indonesia mencapai 89 yang terdiri dari 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit, dan 2 jenis parasit (Nontji (1987) dalam IPB (2007)). Dari 35 jenis pohon tersebut, yang umum dijumpai di pesisir pantai adalah Avicennia sp,Sonneratia sp, Rizophora sp, Bruguiera sp, Xylocarpus sp, Ceriops sp, dan Excocaria sp.(IPB 2007). Hutan bakau melindungi wilayah pesisir dari erosi dan cuaca yang ekstrim. Mereka menyediakan area pembibitan utama bagi ikan-ikan dan rumah bagi berbagai jenis satwa lainnya, termasuk diantaranya burung-burung air dan kehidupan satwa laut. Tidak hanya di
  • 7. Indonesia, tetapi di seluruh wilayah tropis dunia, hutan bakau menyediakan sumber mata pencaharian bagi jutaan orang yang hidup di wilayah pesisir (Indonesia Wetlands n.d.). Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Magrove dalam kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir sangat banyak sekali. Baik itu langsung dirasakan oleh penduduk sekitar maupun peranan, manfaat dan fungsi yang tidak langsung dari hutan mangrove itu sendiri. Ekosistem hutan mangrove memberikan banyak manfaat baik secara tidak langsung (non economic value) maupun secara langsung kepada kehidupan manusia (economic vallues). Salah satu peran dan sekaligus manfaat ekosistem mangrove, adalah adanya sistem perakaran mangrove yang kompleks dan rapat, lebat dapat memerangkap sisa-sia bahan organik dan endapan yang terbawa air laut dari bagian daratan. Proses ini menyebabkan air laut terjaga kebersihannya dan dengan demikian memelihara kehidupan padang lamun (seagrass) dan terumbu karang. Karena proses ini maka mangrove seringkali dikatakan pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya menumbuhkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove memperluas batas pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial hidup dan berkembang di wilayah daratan. Akar pohon mangrove juga menjaga pinggiran pantai dari bahaya erosi. Buah vivipar yang dapat berkelana terbawa air hingga menetap di dasar yang dangkal dapat berkembang dan menjadi kumpulan mangrove di habitat yang baru. Dalam kurun waktu yang panjang habitat baru ini dapat meluas menjadi pulau sendiri (Forester 2011). Akar pernafasan (akar pasak) dari api-api dan tancang bukan hanya berfungsi untuk pernafasan tanaman saja, tetapi berperan juga dalam menangkap endapan dan bisa membersihkan kandungan zat-zat kimia dari air yang datang dari daratan dan mengalir ke laut. Air sungai yang mengalir dari daratan seringkali membawa zat-zat kimia atau polutan. Bila air sungai melewati akar-akar pasak pohon api-api, zat-zat kimia tersebut dapat dilepaskan dan air yang terus mengalir ke laut menjadi bersih. Banyak penduduk melihat daerah ini sebagai lahan marginal yang tidak berguna sehingga menimbunnya dengan tanah agar lebih produktif. Hal ini sangat merugikan karena dapat menutup akar pernafasan dan menyebabkan pohon mati. Daun mangrove yang jatuh dan masuk ke dalam air. Setelah mencapai dasar teruraikan oleh mikro organisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian ini merupakan makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan yang lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di habitat mangrove.
  • 8. Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah nursery bagi hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan udang yang ditangkap di laut dan di daerah terumbu karang sebelum dewasa memerlukan perlindungan dari predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah mangrove ini. Berbagai jenis hewan darat berlindung atau singgah bertengger dan mencari makan di habitat mangrove (Forester 2011) Stabilitas Iklim Mikro Areal Budidaya Dan Konservasi Pesisir Dengan Konsep Wanamina Kebutuhan akan suatu produksi budidaya yang berkelanjutan di tengah semakin turunya kualitas lingkungan, dan kemampuan dari hutan mangrove dalam menjalankan keseimbangan fungsi ekologis pada daerah pesisir, serta kemampuan dalam melindungi semakin besarnya tekanan yang akan dihadapi daerah pesisir sebagai dampak terjadinya perubahan iklim global inilah yang menjadi dasar konsep wana mina ini untuk dilaksanakan (Budi Satriya 2014). Selanjutnya Kementerian Lingkungan Hidup (2013) juga mengatakan bahwa Ekosistem mangrove sangat penting bagi masyarakat pesisir, karena fungsinya dalam melindungi garis pantai dari hempasan gelombang dan tiupan angin kencang, mengatur sedimentasi, memperbaiki kualitas air, mengendalikan intrusi air laut, mengatur air bawah tanah dan menjaga stabilitas iklim mikro inilah yang menjadi alasan perlunya sistem wana mina pada usaha budidaya perikanan perlu untuk dilakukan. Iklim mikro (microclimate) sendiri adalah zona atmosfer lokal di mana iklim berbeda dari daerah sekitarnya. Istilah ini bisa merujuk ke daerah-daerah kecil seperti beberapa meter persegi ( misalnya kebun ). Microclimate terdapat, misalnya , di dekat badan air yang dapat mendinginkan suasana lokal, atau di daerah sangat perkotaan di mana batu bata, beton, dan aspal menyerap energi matahari, panas, dan radiasi kembali panas untuk membentuk udara ambien (Wikipedia 2013). Hasil penelitian Siregar (2010) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan iklim mikro yang besar antara areal bervegetasi dan areal terbuka terutama pada pagi, siang dan sore hari. Suhu udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih rendah daripada lokasi tanpa vegetasi. Sementara kelembaban udara rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih tinggi daripada lokasi tanpa vegetasi. Kecepatan angin rata-rata pada lokasi yang bervegetasi lebih daripada lokasi tanpa vegetasi. Untuk fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi
  • 9. bervegetasi lebih rendah dibandingkan fluktuasi suhu rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi yaitu. Fluktuasi kelembaban udara rata-rata pada lokasi bervegetasi lebih dibandingkan fluktuasi kelembaban rata-rata pada lokasi tanpa vegetasi. Fluktuasi kecepatan angin rata- rata pada lokasi bervegetasi lebih rendah, dibandingkan fluktuasi kecepatan angin rata-rata pada lokasi tidak bervegetasi. Stabilitas iklim mikro diharapkan akan mempengaruhi stabilitas media budidaya ikan, sehingga paramater kualitas lingkungan budidaya tetap pada kondisi optimal untuk kultivan, dimana selanjutnya akan berdampak pada keberlanjutan produksi budidaya baik secara ekologi maupun secara ekonomi. Sylvofishery atau dikenal juga dengan sebutan wanamina terdiri dari dua kata yaitu “sylvo” yang berarti hutan/pepohonan (wana) dan “fishery” yang berarti perikanan (mina). Silfofishery merupakan pola pendekatan teknis yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan/udang dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove (Natsir Amin 2013). Pengertian dan Definisi dari Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove. Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya yang dikenal dengan sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishery pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan mangrove dengan cara membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis sehingga diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil pemeliharaan ikan di tambak. Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan perikanan (sivofishery). Keuntungan ganda telah diperoleh dari simbiosis ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan, biaya pemeliharaannya pun murah, karena tanpa harus memberikan makanan setiap hari.
  • 10. Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tanggul adalah Rhizophora sp. dan Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak tanam mangrove di pelataran umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah tumbuh membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk meningkatkan kesuburan tambak (Anon 2012). Berdasarkan hasil wawancara Wibowo & Handayani (2006) dengan petani di daerah Blanakan, Subang, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain mnjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80% hutan dan 20% kolam. Jika perbandingan hutan dan tambak 50-80% : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50% ijin pengelolaan dicabut. Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20%, diharapkan dapat meningkatkan produksi per satuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Di samping itu, hutan yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak. Produksi bandeng dan udang dari kolam yang hutannya cukup baik baik lebih tinggi dari lahan tambak yang hutannya tidak baik (terbuka) (Wibowo & Handayani 2006) Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan menerapkan model tambak silvofishery, yaitu: 1. Kontruksi pematang tambak akan menjadi kuat karena akan terpegang akar-akar dari pohon mangrove. 2. Mangrove yang ditanam di sepanjang pematang tambak dan pematang akan nyaman dipakai para pejalan kaki karena akan dirimbuni oleh tajuk tanaman mangrove 3. Petambak dapat mengunakan daun mangrove terutama jenis Rhizophora sp, sebagai pakan kambing sedangkan jenis Avicennia sp, Bruguiera sp. 4. Peningkatan produksi dari hasil tangkapan alam dan ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat petani ikan
  • 11. 5. Mencegah erosi pantai dan intrusi air laut ke darat sehingga pemukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan 6. Terciptanya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global karena mangrove akan mengikat karbondioksida dari atmosfer dan melindungi kawasan pemukiman dari kecenderungan naiknya muka air laut. 7. Mangrove akan mengurangi dampak bencana alam, seperti badai dan gelombang air pasang, sehingga kegiatan berusaha dan lokasi pemukiman di sekitarnya dapat diselamatkan (Natsir Amin 2013). Selanjutnya menurut Budihastuti (2013), selah satu fungsi vegetasi mangrove dalam tambak wanamina adalah sebagai kanopi yang melindungi biota dari paparan sinar matahari dan peningkatan suhu perairan yang signifikan. Beberapa Model Silvofishery Secara umum terdapat tiga model tambak silvofishery, yaitu; model empang parit, komplangan, dan jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang berkembang di masyarakat. Pada tambak silvofishery model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pada tambak silvofishery model komplangan, lahan untuk hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen, 2003). Tambak silvofishery model jalur merupakan hasil modifikasi dari tambak silvofishery model empang parit. Pada tambak model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang. Sedangkan tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Berdasarkan 3 pola silvofishery dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola silvofishery kombinasi empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas pertimbangan: 1. Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor, sehingga biaya perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah. 2. Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan meningkatkan kesuburan di areal pertambakan (Sidik 2013).
  • 12. Empang Parit Pola empang parit merupakan model silvofishery yang umum dikembangkan dengan membuat caren air tempat membudidayakan/ memelihara ikan ataupun udang. Saluran air ini mengelilingi lahan yang digunakan untuk silvofishery, sedangkan tumbuhan mangrove dapat ditanam di bagian tengah, sehingga terdapat perpaduan antara tumbuhan mangrove (wana/silvo) dan budidaya ikan (mina/fishery). Kondisi ini dapat diterapkan pada areal bekas tambak yang akan direhabilitasi dengan memanfaatkan pelataran tambak (bagian tengah) untuk ditanami mangrove, sedangkan bagian caren atau parit tetap dibiarkan seperti semula. Penggunaan pola dengan sistem empang parit ini, maka lahan yang akan di-reforestasi dapat mencapai sekitar 80% dari luasan tambak. Penanaman mangrove dapat dilakukan dengan jarak tanam 1 x 1 meter antar individu mangrove (Bengen, 2000 dalam Budihastuti, 2013). Gambar 2. Model empang parit Kepadatan mangrove tersebut akan mempengaruhi kesesuaian sistem budidaya perikanan yang diterapkan, karena produktivitas tambak silvofishery sangat tergantung pada bahan-bahan organik yang berasal dari dekomposisi serasah tumbuhan mangrove. Kepadatan vegetasi yang rendah cocok diterapkan untuk tambak ikan bandeng, sedangkan kepadatan vegetasi yang lebih tinggi sesuai untuk diterapkan pada budidaya udang dan kepiting bakau. Jenis mangrove yang ditanam umumnya adalah bakau (Rhizophora mucronata) atau dapat juga menggunakan jenis api-api (Avicennia marina) (Budihastuti 2013).
  • 13. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo,dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak (Budi Satriya 2014). Empang Parit Disempurnakan Wanamina dengan empang parit yang disempurnakan (Gambar 3). Lahan untuk hutan mangrove dan empang diatur oleh saluran air yang terpisah. Gambar 3. Model empang parit yang disempurnakan Untuk memelihara ikan/udang kanal berukuran lebar 3-5 m dan kedalaman sekitar 40-80 cm dari muka pelataran digunakan modifikasi disain dasar tersebut, maka luasan perairan terbuka yang dapat digunakan untuk memelihara ikan/udang dapat disesuaikan hingga mencapai 50%. Berbagai jenis ikan, seperti bandeng, kerapu lumpur, kakap putih dan baronang, serta udang dan kepiting bakau, dapat dipelihara secara intensif di kanal tersebut. Sistem Komplangan (Selang-seling) Sistem komplangan (Gambar 4) merupakan suatu sistem silvofishery dengan desain tambak berselang-seling atau bersebelahan dengan lahan yang akan ditanami mangrove. Lahan untuk mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua pintu air yang terpisah. Luas areal yang akan digunakan untuk silvofishery dengan model ini disarankan antara 2-4 ha, sehingga nantinya akan dikembangkan ukuran tambak yang standar untuk memelihara ikan/udang minimal adalah 1 ha (50%). Model ini
  • 14. merupakan suatu metode budidaya air payau dengan input yang rendah dan menghasilkan dampak negatif yang minimal terhadap lingkungan (ekosistem). Sistem komplangan yang diterapkan tegak lurus dengan garis pantai (sejajar aliran sungai) kemungkinkan sejumlah aliran air tawar menuju ke mangrove di dalam areal greenbelt. Model ini juga dapat menjaga kelimpahan keanekaragaman sumberdaya alam hayati. Gambar 4. Wanamina model komplangan Beberapa Penerapan Wanamina Di Indonesia Wanamina telah berkembang di berbagai negara, seperti Indonesia, Hong Kong, Thailand, Vietnam, Philipina, dan Kenya. Di Indonesia sendiri wanamina telah berhasil dikembangkan di Indonesia antara lain di Sinjai (Sulawesi), Cikeong (Jawa Barat), Pemalang (Jawa Tengah), Riau dan Indramayui (Budihastuti 2013). Wanamina di Kab. Bintan, Riau Sistem silvofishery untuk melestarikan hutan mangrove saat ini sedang dikembangkan. Cara ini sebagai model tambak udang dan ikan bandeng di Sei Tiram, Desa Penaga, Kecamatan Teluk Bintan, Kabupaten Bintan. Tekniknya dengan menanam bakau di dalam tambak udang dan ikan bandeng menjadi salah satu upaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kelestarian hutan mangrove bagi kehidupan manusia dan biota lainnya. Pengembangan
  • 15. tambak udang dengan sistem silvofishery yang memadukan hutan mangrove jenis bakau dan api-api di dalam tambak udang dan ikan bandeng. Cara ini merupakan hasil kerja sama Kelompok Tani dan Nelayan Kharisma Bintan dengan perusahaan asal Jepang YL Invest Co Ltd di bawah komando, Naoto Akune.Setelah ditanami mangrove jenis bakau dan api- api, pertumbuhan udang dan ikan bandeng menjadi bagus (Tribun 2013). Sistem silvofishery yang sedang dikembangkan bekerja sama YL Invest Co Ltd di Bintan ini adalah pola mempertahankan vegetasi mangrove seluas 60 persen dan area kosong yang dijadikan kolam untuk budidaya udang dan ikan bandeng seluas 40 persen. Untuk tahap awal, luas areal tambak udang yang sudah dikembangkan dengan sistem silvofishery di Bintan sekitar 2 hektar. Seluas 60 persen atau 120.000 meter persegi ditanami bakau sebanyak 8 ribu pohon. Sisanya 40 persen atau 8.000 meter persegi dijadikan kolam untuk tempat budidaya udang dan ikan. Sistem silvofishery pada tambak udang ini cukup bagus sebagai kestabilan mikroklimat tambak. Udang dan ikan seolah-olah hidup di habitat aslinya. Satu sisi, pada saat musim panas, udang dan ikan dapat berteduh di bawah pohon bakau. Di sisi lain, akar pohon bakau menyediakan makanan alami bagi udang dan ikan. Luas areal tambak udang dan ikan bandeng yang akan dikembangkan dengan sistem silvofishery di Kab. Bintan lokasinya bisa mencapai 100 hektar ke depan (Tribun 2013). Wanamina di Kab Subang (Cikeong dan Blanakan), Jawa Barat Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery di Kabupaten Subang saat ini mengalami perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan secara ekonomis bagi pembudidaya dan nelayan. Koperasi Langgeng Jaya di Ds. Langen Sari Kecamatan Blanakan Kab. Subang yang kemudian menginisiasi pengembangan silvofishery di Subang khususnya di Desa Langen sari. Sejak tahun 1990 sebenarnya Silvofishery telah mulai dikenalkan dan dikembangkan di Kabupaten Subang atas inisasi dari Perhutani yang kemudian disebut dengan konsep Wanamina. Melalui kelembagaan koperasi tersebut telah mampu menginisiasi dan mendorong pengelolan budidaya bandeng dan udang dengan konsep wanamina tersebut. Beberapa keuntungan ganda yang pembudidaya dapatkan dari penerapan konsep wanamina ini : Pertama : jika dibanding teknologi intensif, maka budidaya dengan konsep ini lebih terjamin keberlanjutannya walaupun produktivitas jauh lebih kecil; kedua : daya dukung lahan lebih terjaga karena memegang prinsip ramah lingkungan; ketiga : produk yang
  • 16. dihasilkan lebih aman karena tidak menggunakan pakan dan obat-obat kimiawi (organik); keempat : mampu menghasilan usaha turunan, antara lain eco-wisata (wisata wanamina), dan UMKM untuk pengolahan makanan dari buah mangrove (kripik dan sirup). Saat ini luas lahan tambak silvofishery yang ada di Desa Langensari saja telah mencapai lebih dari 265 ha. Total secara kesluruhan lahan silvofishery di Kabupaten Subang angkanya bisa mencapai lebih dari 2.000 ha (Sidik 2013). Wana mina di Cikiong and Blanakan merupakan bagian dari program pemerintah tentang manajemen mangrove dan rehabilitasi yang termasuk disitu program silvofisheries, yang dikelola oleh Perum Perhutani. Mereka menunjukkan apa yang bisa menyempurnakan rehabilitasi dan manajemen mangrove dalam program terkontrol dan penguatan. Semua pembudidaya harus menandatangani kontrak kerjasama. Cikiong mempunyai luas 6.600 ha tambak silvofishery air payau dengan 1.508 pembudidaya silvo fisheries. Semua menggunakan pola Empang parit dengan rasio 4:1. Kementerian kehutanan mempunyai proyek penelitian untuk memodifikasi desainya. Modifikasi terdiri atas penambahan tanggul pada sekeliling pelataran tengah tambak yang ditanami mangrove dengan pintu air yang menghubungkan kanal dan areal mangrove di tambak. Hal ini akan membiarkan ketinggian air terkontrol untuk pohon mangrove (tidak mentolerir terlalu lama terendam) dan kanal (mampu untuk mempertahankan ketinggian air maksimal selama periode pemeliharaan ikan). Udang dipanen setiap hari menggunakan jebakan bambu dengan lampu penerang minyak tanah pada malam hari (impes). Kolam di areal silvofisheries cikeong mampu secara rutin memproduksi 1 kg udang/ha setiap malam. Udang yang ditangkap terdiri dari jenis Metapenaeus enssis. Gambar 5. Empang parit di Blanakan Jawa Barat MANGROVE
  • 17. Silvo fishery di Blanakan mempunyai area 5300 ha tambak silvo fishery air payau yang melibatkan 2060 pembudidaya. Umumnya merupakan pembudidaya tradisional dengan sistem “empang parit” seperti gambar 6 diatas. Juga terdapat kolam dengan rasio area mangrove terhadap air hingga secara penuh terisi dengan air payau. Silvofisheries di Blanakan utamanya memproduksi ikan nila dan bandeng. Wanamina di Kab. Sinjai (Sulawesi Selatan) Sistem Empang parit terletak di Tongke – tongke, Samataring, Kecamatan Sinjai Timur Sulawesi Selatan. Mulai dikembangkan pada tahun 1994. Merukan proyek dari Kementerian Kehutanan dan Universitas Hasanuddin. Melibatkan komunitas penanaman mangrove yang dimulai pada tahun 1984. Penanaman terdiri atas mangrove jenis Rhizophora (85%), dan lainnya jenis Avicenna, Bruguiera, dan Zonnetaria, pada lahan seluas 559 ha. Penanaman mangrove ini merupakan usaha untuk menghentikan erosi pantai pada desa nelayan. Tambak empang parit dibuat di dalam area dimana mangrove ditanam. Rhizophora mucronata yang pertama kali ditanam sudah berumur 11 tahun, dengan jarak tanam 0,5 m. Hal ini menyebabkan pertumbuhan yang sangat rapat (2,5 pohon/m2) dimana hal ini harus ada penjarangan untuk mengakomodir penerapan (pen culture) pada kepadatan 0,6 pohon/m2 di tengah pelataran tambak. Pola empang parit ini dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 6. Pola empang parit yang dikembangkan di Sinjai KANAL MANGROVE DI PELATARAN TAMBAK CRAB PEN CRAB PEN PEN PINTU AIR PINTU AIR
  • 18. Empang parit yang dikembangkan di Sinjai desain dan operasionalnya merupakan pengembangan dari pola empang parit yang lain di Sulawesi. Namun, tetap menunjukkan standar model empang parit yang trandisional. Pemanfaatan penuh kolam untuk memaksimalkan potensi dari sistem untuk produksi budidaya masih tetap diusahakan. Kolam 1 hektar dengan dua pintu air yang terbuat dari kayu. Saringan pintu dibiarkan terbuka setiap saat agar air senantiasa bisa masuk setiap waktu mengikuti pasang. Kanal yang ada di sekeliling tambak seluas 5 m dan mempunyai kedalaman maksimum (di bawah kedalaman pelataran) yaitu 1 m dan kedalaman minimum 0,7 m (rata – rata 0,8 m). Air pasang rata rata setinggi 50 cm (range pasang yang relatif rendah akan mengurangi kapasitas pembuangan). Pelataran tengah mempunyai kedalaman air 50 cm hingga rendaman penuh pada pasang terendah, atau rata rata kedalaman air 20 -30 cm. Kolam terisi secara alamiah oleh juvenile dari beberapa spesies yang masuk ke tambak bersama air pasang. Spesies tersebut termasuk ikan Beronang (Siganus sp.), Belanak (Mugil sp.), ikan bandeng (Chanos chanos), Tilapia (Oreochromis sp.), udang (P. monodon, P. Merguiensis, dan Metapenaeus sp.), kepiting bakau (Scylla sp), jacks (Caranx spp), dan kakap putih (Lates calcarifer). Semuanya dapat dipanen dengan jaring insang pada saat pasang terendah ketika ikan dan udang terkumpul di kanal keliling tambak. Penerapan sistem silvofishery di Kab Sinjai pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 5.122.000,- ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun. Pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan produktifitasnya mencapai 7,1 kg/m3. Sedangkan pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 Kg .Namun demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak(Budi Satriya 2014) Indramayu Jawa Barat Indramayu merupakan wilayah dari Kab. Indramayu yang terletak di pantai utara Provinsi Jawa Barat. Areal yang dimiliki seluas 8.221 ha. Iklimnya cukup panas (320 C – 350 C), kelembapan (99%), dan dengan rata rata curah hujan cukup rendah (1.281mm per tahun diatas 89 hari). Lebih dari 50% masyarakatnya bekerja di sektor bisnis perikanan (nelayan dan pembudidaya ikan dan pengolahan. Area hutan mangrove di Kab. Indramayu meliputi 2% (397 ha) dari total potensi hutan mangrove yang mencapai 17.782 ha. Disamping fungsi ekologi untuk mendukung
  • 19. kegiatan perikanan, hutan mangrove di Indramayu juga berperan sebagai feeding ground bagi burung air yang melakukan migrasi. Sejak kegagalan budidaya udang yang diakibatkan serangan virus, sekarang, kebanyakan dari pembudidaya memelihara ikan bandeng atau polyculture (bandeng dan udang) dan mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjebak udang liar yang ada di tambak. Dukungan dari pemerintah lokal untuk aktifitas ini secara sukses dicapai melalui kegiatan silvo fishery dan restorasi mangrove. Mereka memfasilitasi penanaman lebih dari 60.000 pohon mangrove di Karangsong, Singajaya dan Desa Brandong. Sekarang sudah lebih dari 100.000 pohon mangrove ditanam di 5 desa dan pemeliharaan di setting di Desa Karangsong untuk memastikan ketersediaan bibit mangrove untuk pengembanganya lagi. Pemalang, Jawa Tengah Pemerintah lokal Pemalang memulai program rehabilitasi dan aktifitasnya sejak 1995. Mereka juga menjamin 50 ha area pesisirnya untuk areal rehabilitasi mangrove. Saat ini program reforestasi tersebut telah memproduksi banyak tambak air payau, 80% nya di Kec. Ulujami dengan tanaman mangrove di tengah pelataran tambak (central platform) atau sepanjang pematang. Dimulai pada Maret 2000, dilakukan implementasi budidaya udang ramah lingkungan di Kec. Ulujami, dengan sistem polyculture (udang dan bandeng) (Macintosh et al. 2002). Kesimpulan Konservasi daerah pesisir secara soft structure, dapat digunakan untuk perlindungan dan konservasi daerah pesisir. Disamping berperan dalam fungsi ekologis daerah pesisir, pohon mangrove juga mampu menjaga iklim mikro di daerah sekitarnya. Silvofishery atau wanamina, merupakan sistem tumpangsari antara ikan dan mangrove. Didasarkan atas peran hutan mangrove dalam menjaga keseimbangan ekologis daerah pesisir dan kemampuan dalam menstabilan iklim mikro yang di dibutuhkan pada kegiatan akuakulture. Pola minatani yang banyak dikembangkan di Indonesia adalah sistem empang parit dan empang parit yang disempurnakan. Bebarapa daerah di Indonesia yang telah mengembangkan sistem wanamina adalah Kab. Subang (Cikeong, Blanakan), Kab. Indramayu, Kab. Pemalang, Kab. Sinjai, Kab. Bintan.
  • 20. Referensi Anon, 2012. Pengertian dan Definisi Silvofishery atau Wanamina. Available at: http://pengertian-definisi.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-definisi- silvofishery.html [Accessed May 4, 2014]. Bintari Foundation, 2011. Lingkungan Pesisir dan Perubahan Iklim. Available at: http://www.bintari.org/index.php/in/lingkup-kerja/konservasi-pesisir/2-lingkungan- pesisir-cc [Accessed May 3, 2014]. Budi Satriya, I.N., 2014. Sistem Wanamina (Sylvofishery) Sebagai Alternatif Pengelolaan Mangrove berbasis Mitigasi Bencana di Daerah Pesisir. Available at: http://pancor- mas.blogspot.com/2014/01/sistem-wanamina-sylvofishery-sebagai.html [Accessed May 4, 2014]. Budihastuti, R., 2013. Model dan Strategi Optimasi Pengelolaan Tambak Wanamina Berwawasan Lingkungan di Pesisir Semarang. Universitas Diponegoro. Available at: http://eprints.undip.ac.id/40474/. Forester, I., 2011. Peranan, Manfaat dan Fungsi Hutan Mangrove. Available at: http://ekologi-hutan.blogspot.com/2011/10/peranan-manfaat-dan-fungsi-hutan.html [Accessed May 1, 2014]. Indonesia Wetlands, Hutan Bakau. Available at: http://indonesia.wetlands.org/Kegiatankami/Mangrove/tabid/2839/language/id- ID/Default.aspx [Accessed May 1, 2014]. IPB, 2007. Ekologi Laut Tropis - Ekosistem Mangrove. Available at: http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Ite mid=58 [Accessed May 1, 2014]. Kementerian Lingkungan Hidup, 2013. Kementerian Lingkungan Hidup - Program RANTAI EMAS KLH “Bersama Memulihkan Eksosistem Mangrove.” Available at: http://www.menlh.go.id/program-rantai-emas-klh-bersama-memulihkan-eksosistem- mangrove%E2%80%9D/ [Accessed May 1, 2014]. Keren, A., 2012. Permasalahan Dalam Lingkungan Ekosistem Pesisir. Available at: http://adzriair.blogspot.com/2012/11/permasalahan-dalam-lingkungan-ekosistem.html [Accessed May 3, 2014]. LAKPESDAM TUBAN, 2009. Krisis Ekologi Laut dan Lingkungan Pesisir. Available at: http://lakpesdamtuban.blogspot.com/2009/06/krisis-ekologi-laut-dan-lingkungan.html [Accessed May 3, 2014]. Macintosh, D.J. et al., 2002. Thematic Review on Coastal Wetland Habitats and Shrimp Aquaculture, Case Studies 1-6, Available at: http://library.enaca.org/Shrimp/Case/Thematic/Annexes_Cases_1-6.pdf#page=89.
  • 21. Natsir Amin, M., 2013. Petunjutk Teknis Model Percontohan Tambak Model Silvofishery dengan Penerapan Best Management Practice (BMPs). Available at: http://umegajayaakuakultur.blogspot.com/2013/09/silvofishery.html [Accessed May 4, 2014]. Omtim, 2013. Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir. Available at: http://www.omtim.com/62/permasalahan-pembangunan-wilayah-pesisir/ [Accessed May 3, 2014]. Putuhena, J.D., 2011. Perubahan Iklim dan Resiko Bencana Pada Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil. In Seminar Nasional Pengembangan Pulau Pulau Kecil. pp. – . Available at: paparisa.unpatti.a .id/paperrepo/ppr itemin o lnk.php id . Rizal, S., 2009. Tambak Silvofishery di Kawasan Delta Mahakam. Available at: http://rizalerosa.blogspot.com/2009/05/mangrove-dan-tambak.html [Accessed May 2, 2014]. Sidik, C., 2013. Silvofishery, Budidaya Berdasarkan Prinsip Keseimbangan. Available at: http://www.djpb.kkp.go.id/berita.php?id=839 [Accessed May 4, 2014]. Silva, S.S. De & Soto, D., 00 . Climate hange and aqua ulture : potential impa ts , adaptation and mitigation. In K. Cochrane et al., eds. Climate change implications for fisheries and aquaculture:overview of current scientific knowledge. Rome: FAO, pp. 151–213. Siregar, R.M., 2010. Pengaruh Iklim Mikro Terhadap Kadar Air Serasah di Hutan Tri Dharma Kampus Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara. Available at: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22508/7/Cover.pdf. The Planet, 2008. Dampak Perubahan Iklim di Jawa Tengah. Available at: http://theordinary.wordpress.com/2008/04/20/dampak-perubahan-iklim-di-jawa- tengah/ [Accessed April 28, 2014]. Tribun, 2013. Teknik Silvofishery Bikin Bandeng & Udang Cepat Berkembang Budidaya Ikan. Available at: http://budidaya-ikan.com/teknik-silvofishery-bikin-bandeng- udang-cepat-berkembang/ [Accessed May 4, 2014]. Wibowo, K. & Handayani, T., 2006. Pelestarian Hutan Mangrove Melalui Pendekatan Mina Hutan (Silvo Fishery). Teknik LIngkungan, ( ), pp. – . Available at: e urnal.bppt.go.id Beranda ol , No ( 006) ibowo. Wikipedia, 2013. Microclimate. Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Microclimate [Accessed May 4, 2014].