Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Terumbu buatan dan keramba jaring apung berfungsi sebagai tempat berlindung dan pusat pengumpulan ikan. Jenis dan jumlah ikan yang terkait bergantung pada faktor lingkungan dan perilaku ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur asosiasi dan faktor yang mempengaruhi ikan di sekitar terumbu buatan dan keramba jaring apung.
1. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 10
ASOSIASI IKAN TARGET SEKITAR TERUMBU BUATAN DAN
KERAMBA JARING APUNG
DI SELAT LEMBEH KOTA BITUNG
Oleh :
(Hetty M.P.Ondang*, Nova M. Tumanduk*)
Abstract
Floating net cages (KJA) is one means of marine aquaculture (mariculture) are placed
in water will act as FADs or fish aggregating devices (FAD) as a gathering place for various
types of fish. Similarly to the artificial reef will serve as the breeding (nursery grounds) for
various types of fish.
In general, the target fish belonging -Fish economically important fishes associated with
artificial reefs and floating net which interact in the mornings and afternoons differ in amount
and kind, this is because of differences in the nature and behavior based on the type of fish
species. The target fish population changes from day to night fish in diurnal seen mostly during
the day will take refuge in the reef and replaced by a nocturnal species that are not visible
during the day. The fish-eating plankton are usually widely spread around the reefs during the
day and hide or take refuge in the crevices of the reef at night, it is a cause of differences in
the amount of the target fish species associated with artificial reefs and floating net. Thus the
association structure of the target fish around the artificial reefs and floating net can be
concluded that as a shelter and as a visitor species.
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Produksi perikanan di Indonesia
berdasarkan sebaran wilayahnya,
memperlihatkan bahwa Koridor Ekonomi
Sulawesi merupakan wilayah yang memiliki
produksi perikanan laut terbesar. Dalam
pengembangan kegiatan ekonomi utama
perikanan ini, terdapat beberapa tantangan
yang harus dihadapi; antara lain persaingan
di pasar global, dimana beberapa produk
perikanan dari negara lain seperti Thailand
dan Vietnam, memiliki daya saing yang
sangat tinggi. Berdasarkan potensi dan
tantangan pengembangan kegiatan
perikanan tersebut, maka diperlukan
dukungan terkait regulasi dan kebijakan;
salah satunya ialah mengembangkan
minapolitan berbasiskan perikanan tangkap
dan minapolitan berbasis perikanan
budidaya yang berkelanjutan.
Salah satu konsep pemecahan
masalah adalah pengembangan perikanan
rakyat terpadu antara local resources based,
community based dan market based, yang
harus dipandang dari sisi pembangunan
pedesaan wilayah pesisir.
Model pengembangan yang perlu
dirumuskan adalah bagaimana memilih
teknologi pemanfaatan sumberdaya ikan
yang bisa spesifik lokasi, sesuai dengan
jenis ikan target dan habitatnya, serta
kombinasi alat dan kemampuan yang ada,
dengan mempertimbangkan faktor-faktor
biologi, ekonomi, sosial budaya masyarakat
lokal, kelembagaan dan lingkungan (Reppie,
2004).
Keramba jaring apung (KJA) sebagai
sarana budidaya laut (marinculture) jika
terpasang baik pada suatu perairan laut,
juga akan berfungsi sebagai rumpon atau
fish aggregating devices (FAD), yang akan
menarik berbagai jenis ikan untuk
berkumpul. Demikian juga, terumbu buatan
yang ditempatkan di sekitar KJA akan
berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery
ground) ikan-ikan ekonomis penting. Kondisi
ini akan membantu memulihkan kualitas
habitat perairan dan memberikan nilai
tambah berupa produksi, baik berupa
tangkapan ikan-ikan konsumsi, maupun
ikan-ikan muda sebagai benih alami untuk
dibudidaya dalam keramba jaring apung,
ataupun sebagai pakan tambahan ikan-ikan
budidaya.
Terumbu buatan adalah habitat
buatan yang dibangun di laut dan diletakkan
di dasar perairan yang tidak produktif
dengan meniru beberapa karakteristik
terumbu alam dengan maksud memperbaiki
terumbu karang yang telah rusak, sehingga
dapat memikat jenis-jenis organisme laut
2. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 11
untuk hidup dan menetap serta
meningkatkan produksi perikanan.
Namun informasi ilmiah tentang
asosiasi ikan target di KJA yang dipadukan
dengan terumbu buatan belum tersedia.
FAO (1995) melalui Code of Conduct for
Responsible Fisheries, menyarankan
pengembangan kebijakan penggunaan
habitat buatan untuk meningkatkan stok
populasi ikan dan peluang pemanfaatannya,
serta melakukan penelitian-penelitian
tentang impak struktur terhadap organisme
laut dan lingkungan.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Mempelajari struktur asosiasi ikan
target di sekitar terumbu buatan dan
keramba jaring apung.
2) Mengidentifikasi faktor-faktor
lingkungan utama yang mempengaruhi
asosiasi ikan target di sekitar terumbu
buatan dan keramba jaring apung.
3) Menganalisa kelimpahan spesies
target yang berasosiasi di sekitar
terumbu buatan dan keramba jaring
apung.
1.3. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
berguna sebagai salah satu bahan
pertimbangan dalam penentuan kebijakan
pengembangan secara efektif terumbu
buatan dan Keramba Jaring Apung di Selat
Lembeh Kota Bitung. Selain itu, hasil
penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai informasi awal tentang asosiasi ikan
yang ada di terumbu buatan dan Keramba
Jaring Apung.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Terumbu buatan
Terumbu buatan didefinisikan oleh
European Artificial Reef Research Network
(EARRN) sebagai suatu struktur yang
dengan sengaja ditempatkan di dasar
perairan, dan meniru beberapa karakteristik
terumbu karang alami (Pickering et al. 1998;
Baine, 2001). Seaman and Jensen (2000)
menambahkan juga bahwa definisi terumbu
buatan telah berkembang lebih luas sebagai
reef-building, dimana termasuk di dalamnya
adalah kapal tenggelam, anjungan produksi
gas dan minyak bumi, pemecah gelombang,
proteksi pantai, dermaga dan berbagai
struktur yang berbentuk seperti terumbu
buatan tetapi untuk kepentingan lain.
Sifat dari material terumbu buatan
yang digunakan adalah memenuhi syarat-
syarat khusus, seperti mampu tahan lama di
dalam air, aman dan tidak bersifat racun.
Biasanya terbuat dari timbunan bahan-
bahan yang sifatnya berbeda satu sama lain
seperti ban bekas, cetakan semen atau
beton, bangkai kerangka kapal, badan mobil
bekas,dan sebagainya.
Terumbu buatan setelah beberapa
waktu ditempatkan di dasar perairan, akan
ditumbuhi oleh berbagai jenis biota
penempel seperti algae, karang lunak dan
biota penempel lainnya yang diantaranya
merupakan jenis makanan ikan; sehingga
dengan demikian ikan akan datang ke
terumbu, selain untuk mencari tempat
berlindung juga mencari makan dan pada
akhirnya akan berkembang biak di terumbu
buatan tersebut (Wasilun dan Murniyati,
1997).
Seamen dan Jensen (2000), mencatat
bahwa minimal terdapat 13 jenis tujuan
penggunaan terumbu buatan, yaitu :
1. Meningkatkan produksi perikanan
rakyat;
2. Meningkatkan produksi perikanan
komersial;
3. Lokasi budidaya laut dan marine
ranching;
4. Meningkatkan recreational fishing
(memancing dan spear);
5. Lokasi rekreasi skin diving;
6. Lokasi pariwisata bawah laut
(submarine tourism);
7. Mengendalikan mortalitas penangkapan
ikan;
8. Mengendalikan life history organism
laut;
9. Melindungi habitat ikan;
10. Daerah konservasi keanekaragaman
hayati laut;
11. Mengurangi degradasi dan kehilangan
habitat;
12. Meningkatkan kualitas air dan kulaitas
habitat;
13. Penelitian dan pendidikan.
Menurut Soesilo dan Budiman
(2003), salah satu tujuan penanaman
terumbu buatan yaitu untuk menumbuhkan
kembali terumbu karang yang telah rusak.
Terumbu Karang di Indonesia, kondisinya
mengalami penurunan drastis hingga 90%
dalam lima puluh tahun terakhir akibat
3. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 12
penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan. Total terumbu karang Indonesia
yang mencapai 85.200 km2
, terluas ke dua di
dunia setelah Great Barrier Reef itu tercatat
40 persen diantaranya berada dalam kondisi
rusak, rusak sedang 24 persen, dan sangat
baik hanya enam persen. Hasil survey P2O
LIPI (2006) menyebutkan bahwa hanya
5,23% terumbu karang di Indonesia yang
berada di dalam kondisi yang sangat baik.
Ancaman utama yang tercatat adalah :
pembangunan daerah pesisir, polusi laut,
sedimentasi dan pencemaran dari darat,
overfishing (penangkapan ikan berlebih),
destruktif fishing (penangkapan ikan dengan
cara merusak), dan pemutihan karang (coral
bleaching ).
Menurut Dartnall & Jones (1986),
ikan karang dapat dikelompokkan dalam 3
(tiga) kelompok berdasarkan tujuan
pengelolaan, yaitu kelompok ikan target
(ekonomis/ konsumsi), kelompok ikan mayor
(berperan dalam rantai makanan). Dalam
hal ini yang dimaksud dengan ikan target
adalah ikan yang merupakan target untuk
penangkapan atau lebih dikenal juga dengan
ikan ekonomis penting seperti Seranidae,
Lutjanidae, Kyphosidae, Lethrinidae,
Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae
dan Haemulidae.
Komunitas ikan karang dibandingkan
dengan komunitas lain di terumbu karang,
merupakan jumlah yang paling berlimpah,
dengan keanekaragaman spesies sebanding
dengan keanekaragaman spesies karang
batu. Tingginya keanekaragaman ini
disebabkan terdapatnya variasi habitat yang
ada di terumbu karang, dimana semua tipe
habitat tersebut diisi oleh spesies ikan
karang (Emor, 1993 dalam Unstain et al.
2011).
2.2 Keramba Jaring Apung
Metode keramba jaring apung
merupakan teknik akuakultur yang paling
produktif dan intensif, dengan konstruksi
yang tersusun dari keramba-keramba jaring
yang dipasang pada rakit terapung di
perairan pantai (Sunyoto, 2000). Beberapa
keuntungan yang dimiliki metode keramba
jaring apung adalah tingginya padat
penebaran, jumlah dan mutu air yang selalu
memadai, tidak memerlukan pengolahan
tanah, mudah mengendalikan pemangsa
dan mudah dalam pemanenan (Kordi, 2001).
Karamba jaring apung terdiri dari :
1. Rakit dan pelampung di permukaan laut
akan berfungsi sebagai rumpon atau fish
aggregating devices (FAD), yang menarik
berbagai jenis ikan untuk berkumpul di
sekitarnya.
2. Jaring pemeliharaan ikan yang digantung
dibawahnya akan berperan sebagai fish
attractor, menarik perhatian ikan-ikan
kecil untuk berlindung di sekitarnya.
3. Tali jangkar dapat bertindak sebagai
squid attractor, merangsang cumi atau
sotong untuk melekatkan telurnya.
Disamping itu penempelan biota filter
feeder pada tali jangkar dapat
memulihkan kualitas perairan.
4. Tumpukan-tumpukan batu jangkar di
dasar perairan akan berfungsi sebagai
artificial reefs yang merupakan tempat
berlindung ikan-ikan ekonomis penting.
2.3. Fish Aggregating Devices (FAD)
Rumpon telah menjadi salah satu
alternatif untuk menciptakan daerah
penangkapan buatan dan manfaat
keberadaannya cukup besar. Sebelum
mengenal rumpon, nelayan menangkap ikan
dengan cara mengejar ikan atau menangkap
kelompok ikan di laut, kini dengan semakin
berkembangnya rumpon maka pada saat
musim penangkapan lokasi penangkapan
menjadi pasti di suatu tempat.
Ikan berkumpul disekitar rumpon untuk
mencari makan. Rumpon atau fish
aggregating devices merupakan salah satu
alat bantu yang ditempatkan mengapung di
permukaan laut untuk mengumpulkan ikan-
ikan pelagis sehingga memudahkan operasi
penangkapannya. Manfaat penggunaan
rumpon antara lain adalah untuk menghemat
waktu dan bahan bakar dalam pengejaran
gerombolan ikan (dengan telah ditentukan
daerah penangkapan maka tujuan
penangkapan oleh nelayan dapat
menghemat bahan bakar, karena mereka
tidak lagi mencari dan menangkap kelompok
renang ikan dengan menyisir laut yang luas),
meningkatkan hasil tangkapan per satuan
upaya; dan meningkatkan mutu hasil
tangkapan ditinjau dari jenis ikan dan
komposisi ukuran.
4. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 13
2.4. Asosiasi Ikan di Habitat Buatan
Ikan karang merupakan organisme
yang jumlah biomassanya terbesar dan juga
merupakan organisme besar yang mencolok
dapat ditemui di dalam ekosistem terumbu
karang. Kondisi fisik terumbu karang yang
kompleks memberikan andil bagi keragaman
dan produktivitas biologinya. Banyak celah
dan lubang di terumbu karang yang
memberikan tempat tinggal, perlindungan
tempat mencari makan dan berkembang
biak bagi ikan dan hewan invertebrata yang
ada disekitarnya.
Kecenderungan dari ikan-ikan karang
adalah mereka tidak berpindah-pindah dan
selalu berada pada daerah tertentu dan
sangat terlokasi walaupun masih banyak
(Nybakken, 1988). Beberapa kelompok
besar ikan yang mendiami terumbu karang
antara lain, kelompok ikan famili
Pomancentridae, Labridae, Chaetodontidae,
Apogonidae, Scaridae, Serranidae,
Siganidae, Lutjanidae, dan Gobiidae (Allen
dan Steene, 1994).
Pertanyaan apakah habitat buatan
dapat memberikan kontribusi terhadap
produksi baru stock ikan target, sampai saat
ini masih merupakan kontroversi (Pickering
dan Whitemarsh, 1997; Bohnsack et al.,
1997; Miller dan Falace, 2000). Dua
mekanisme yang sering disebutkan bahwa
habitat buatan dapat meningkatkan produksi
perikanan adalah: (1) jika shelter membatasi
produksi ikan, maka tambahan shelter yang
diberikan oleh habitat buatan akan dapat
mengumpulkan sumberdaya ikan lebih
banyak dari daerah pantai untuk masuk ke
dalam biomasa ikan, dan tingkat dimana
mekanisme ini dapat menaikan produksi
ikan akan sangat bergantung pada jumlah
makanan yang tersedia pada substrat
habitat dan perairan sekitarnya; (2) jika
makanan membatasi populasi ikan, maka
produksi primer baru dan produksi sekunder
organisme penempel dasar yang didukung
oleh habitat buatan, akan menyokong rantai
makanan baru yang pada akhirnya akan
meningkatkan biomasa ikan.
Kedua mekanisme tersebut pada
kenyataannya tidaklah berdiri sendiri-sendiri
tetapi saling berinteraksi (Bohnsack et al.,
1991), terutama di daerah habitat tropis
oligotropik. Peningkatan heterogenitas
struktur akan memberikan sudut-sudut dan
celah-celah bagi sedimen dan bahan-bahan
organik untuk berakumulasi dan
dimineralisasikan kembali. Jadi, disamping
memberikan area permukaan untuk
produser primer, maka mekanisme lainnya
adalah: peningkatan kompleksitas struktur
habitat buatan akan dapat menaikan
produktivitas dalam sistem oligotropik.
Jika suatu species ikan atau
invertebrata tertentu yang menjadi target,
maka kebutuhan makanannya haruslah
diidentifikasi. Beberapa kasus menunjukkan
bahwa habitat buatan dapat meningkatkan
kelimpahan ikan karena ketersediaan
shelter, dimana sumber bahan makanan
yang ada di habitat buatan kurang penting
bagi ikan yang menempatinya. Ikan-ikan
tersebut mencari makan di daerah yang luas
termasuk di habitat berdasar pasir dan
berumput yang berdekatan. Oleh karena itu,
pendugaan produktivitas primer dan
produktivitas sekunder yang lebih rendah di
daerah habitat buatan dan sekitarnya, akan
membantu dalam mengestimasi jumlah
makanan yang tersedia untuk mendukung
produktivitas sekunder ikan-ikan yang
menetap di habitat buatan.
2.5. Faktor Lingkungan Utama Yang
Mempengaruhi Asosiasi Ikan
a. Suhu
Suhu merupakan parameter yang
paling mudah diamati, dan dari banyak
penelitian diketahui bahwa ikan sangat peka
terhadap perubahan suhu kurang dari 0,10
C,
contohnya ikan teleostei mampu
mendeteksi perubahan suhu 0,030
C. Tiap
spesies ikan menghendaki suhu optimum,
dan perubahan suhu berpengaruh pada
proses metabolisme, sehingga
mempengaruhi aktivitas ikan dalam mencari
makan dan pertumbuhan ikan muda selain
itu juga mempengaruhi massa air laut
(Brotowidjoyo, 1995).
Suhu adalah salah satu faktor penting
dalam mengatur proses kehidupan dan
penyebaran organisme. Pada umumnya bagi
organisme yang tidak dapat mengatur suhu
tubuhnya memiliki proses metabolisme yang
meningkat dua kali lipat untuk setiap
kenaikan suhu 10 0
C (Nybakken, 1988).
b. Kecepatan arus
Arus air laut mentransportasikan telur
ikan, larva ikan dan ikan-ikan kecil dan sifat-
sifat lingkungan laut secara lokal berubah
oleh arus air laut. Dalam air yang tenang
arah mobilitas ikan bersifat random dan
5. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 14
kenaikan tingkat aktivitas ikan berlangsung
karena kenaikan kecepatan arus, namun
kenaikan tingkat aktivitasnya
memperlihatkan keragaman yang
bergantung pada spesies (Brotowidjoyo, dkk
1995).
Sirkulasi air di perairan pesisir semi
tertutup seperti selat, teluk dan estuaria
sangat dipengaruhi oleh pasang surut.
Dalam kurun waktu antara air surut dan air
pasang (6 – 12 jam) massa air laut mengalir
dari laut lepas menuju pantai atau memasuki
teluk/estuaria. Sebaliknya pada kurun waktu
antara air pasang dan air surut massa air
laut akan mengalir kembali menuju laut lepas
(Dahuri dkk., 1996).
c. Kecerahan
Kecerahan air merupakan ukuran
transparansi perairan dan pengukuran
cahaya sinar matahari didalam air dapat
dilakukan dengan menggunakan
lempengan/kepingan Secchi disk. Jumlah
cahaya yang diterima oleh phytoplankton
diperairan asli bergantung pada intensitas
cahaya matahari yang masuk kedalam
permukaan air dan daya perambatan cahaya
didalam air.
Masuknya cahaya matahari kedalam air
dipengaruhi juga oleh kekeruhan air
(turbidity). Sedangkan kekeruhan air
menggambarkan tentang sifat optik yang
ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya
yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-
bahan yang terdapat didalam perairan.
Definisi yang sangat mudah adalah
kekeruhan merupakan banyaknya zat yang
tersuspensi pada suatu perairan.
Kekeruhan air dapat dianggap sebagai
indikator kemampuan air dalam meloloskan
cahaya yang jatuh kebadan air, apakah
cahaya tersebut kemudian disebarkan atau
diserap oleh air. Semakin kecil tingkat
kekeruhan suatu perairan, semakin dalam
cahaya dapat masuk kedalam badan air, dan
demikian semakin besar kesempatan bagi
vegetasi akuatis untuk melakukan proses
fotosintesis (Brotowidjoyo, dkk 1995).
d. Salinitas
Hampir semua organisme laut hanya
hidup pada ruang perairan yang mempunyai
perubahan salinitas yang sangat kecil
(Hutabarat dan Evans, 2000). Salinitas
berpengaruh terhadap osmoregulasi ikan
dan berpengaruh besar terhadap fertilisasi
dan perkembangan telur, sebagian besar
organisme bersifat stenohaline yaitu hanya
mampu beradaptasi terhadap perubahan
salinitas yang sempit (Laevastu dan Hayes,
1981).
Salinitas berkaitan erat dengan gejala
tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-
sel dalam tubuh ikan dengan keadaan
salinitas di sekitarnya. Ikan cenderung untuk
memilih medium dengan kadar salinitas
yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik
tubuhnya (Laevastu dan Hayes, 1981).
Salinitas air berpengaruh pada
reproduksi, distribusi dan lamanya hidup
ikan serta orientasi migrasi. Variasi salinitas
air yang jauh dari pantai (off shore) relatif
kecil, sebaliknya di daerah pantai variasi
salinitas relatif besar karena percampuran
dengan penambahan air tawar dari sungai.
Salinitas air laut bebas (jauh dari pantai)
bervariasi antara 30 – 36 psu dan hasil
tangkapan baik bila salinitas 34,7 psu dan
bila di atas 35 psu hasil tangkapan rendah
(Brotowidjoyo, dkk 1995).
e. pH
Organisme air yang dapat hidup
dalam suatu perairan yang mempunyai nilai
pH netral dengan kisaran toleransi antara
asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH
yang ideal bagi organisme air pada
umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5.
Kondisi perairan yang sangat asam maupun
yang sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan
menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi (Baur,1987 dalam
Barus 2002).
Keasaman air atau pH air sangat berperan
penting bagi kehidupan ikan, pada umumnya
pH yang sangat cocok untuk semua jenis
ikan berkisar antara 6,7 – 8,6. Namun begitu
ada beberapa jenis ikanyang karena
lingkungan hidup aslinya di rawa – rawa,
mempunyai ketahanan untuk tetap bertahan
hidup pada kisaran pH yang sangat rendah
ataupun tinggi yaitu antara 4–9
(Susanto,1995).
6. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 15
3. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di perairan
Selat Lembeh Kota Bitung Provinsi Sulawesi
Utara, pada posisi geografis 10
23’ 23” - 10
35’ 39” LU dan 1250
1’ 43” - 1250
18’ 13” BT
dengan sasaran penelitian yakni perairan
sekitar penempatan karamba jaring apung
dimana terumbu buatan diletakkan (terlihat
pada Gambar 01). Waktu penelitian mulai
dari persiapan sampai penyusunan laporan
hasil berlangsung selama 4 (empat) bulan,
yaitu dari bulan September sampai
Desember 2013.
Gambar 01. Lokasi Penelitian
(Sumber : JICA Study Team, 2012)
Bahan dan Alat Penelitian
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan
dalam penelitian
No. Alat dan Bahan Kegunaan
1. Karamba jaring apung, 1
unit
Tempat pemeliharaan
ikan
2. Terumbu buatan 9
(Sembilan) unit
Sebagai habitat buatan,
salah satu
tujuan/manfaat untuk
memperbaiki ekosistem
yang telah rusak
3. Perlengkapan selam
(SCUBA) 2 unit
untuk mengamati
keadaan bawah air
4. Snorkel, 2 set untuk mengamati
keadaan bawah air
5. Perahu bermotor tipe pelang
40 PK, 1 unit
Alat transportasi
6. Timbangan duduk dan
meteran
Mengukur berat dan
panjang ikan
7. Jaring insang/Gill net, 2 set Menangkap ikan
8. Alat tangkap pancing dan
jaring insang;
Menangkap ikan
9. Alat ukur kualitas air
(indicator pH, salinometer,
refraktometer, secchi disk,
thermometer, layangan air)
Mengukur kualitas
perairan
10. Buku petunjuk identifikasi, A
field guide for anglers and
Identifikasi ikan
divers (Allen, 2000); Tropical
Reef-Fishes of The Western
Pacific Indonesian and
Adjancent Waters (Kuiter,
1992).
11. Kamera bawah air Dokumentasi
12. Alat tulis menulis Pencatat data
13. Modul Solar Cell, satu buah; Untuk penerangan pada
malam hari
14. Cool box dan es. Menyimpan ikan sampel
Untuk desain terumbu buatan terbuat
dari bahan cor semen dimana dibuat
sebanyak 9 unit, terdiri dari 3 macam ukuran
yang berbeda dengan bentuk kubus atau
segi empat sama sisi. Terumbu Buatan I
dengan ukuran panjang 80 cm, lebar 80 cm,
tinggi 25 cm, terumbu buatan III dengan
ukuran ukuran panjang 60 cm, lebar 60 cm,
tinggi 25 cm dan terumbu buatan III dengan
ukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm, tinggi
25 cm (terlihat pada gambar 02 dibawah ini)
02. Desain Terumbu Buatan
(Sumber : Samuel, Hamel. Dkk. 2012))
3.2.
7. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 16
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini didasarkan pada metode
deskriptif, yaitu suatu metode dalam
menyelidiki suatu objek atau suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang (Nasir, 1999).
Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi
atau gambaran secara sistimatis, faktual dan
akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat
serta hubungan antar fenomena yang
diselidiki.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Struktur asosiasi ikan di sekitar
keramba jaring apung diamati dengan teknik
Underwater visual census (UVC) oleh dua
orang SCUBA (Self Contained Underwater
Breathing Apparatus) divers setiap minggu
selama sebulan. Teknik ini paling sering
digunakan untuk mengumpulkan data
populasi, assemblage dan life-history ikan
serta makro-invertebrata (Bortone and
Kimmel, 1991; Bortone et al. 2000).
Kehadiran spesies ikan pada berbagai
habitat diamati berdasarkan stationary points
atau point-count method (Bortone et al.
2000); yaitu melakukan pengamatan dari
posisi yang relatif tetap pada suatu area
geometris (sirkular atau kuadran) dalam
waktu tertentu (selama 5 menit) secara
berulang. Point-count dapat dilakukan dari
luar atau di tengah area dengan radius
antara 3 – 15 m bergantung pada daya
pandang, tetapi Bortone et al (2000)
menetapkan radius 5,64 m sebagai standar.
Teknik pengumpulan data untuk
mendekati tujuan penelitian yang telah
ditetapkan, yaitu mempelajari struktur
asosiasi ikan target di sekitar terumbu
buatan dan keramba jaring apung, dilakukan
dengan cara meletakkan 9 (sembilan) unit
terumbu buatan di bawah penempatan
keramba jaring apung. Jarak penempatan
terumbu buatan dari keramba jaring apung
sekitar 10 – 15 meter didepan keramba
jaring apung. Dan jarak antara terumbu
buatan satu dengan lainnya sekitar 5-7
meter. Waktu pengamatan dilakukan pada
siang hari (pukul 09.00 – 15.00 wita), dan
pada malam hari (pukul 16.00 – 22.00 wita)
dilakukan pengamatan dengan memeriksa
setiap lubang dengan menggunakan senter
kedap air disamping itu dilakukan juga
pengambilan sampel ikan dengan
menggunakan alat tangkap pancing (hand
line) dan gill net. Fenomena biologi lainnya
dicatat secara in situ pada polyvinyl chloride
boards. Sebelum pengamatan, penyelam
dilatih mengidentifikasi jenis-jenis ikan
dengan menggunakan buku identifikasi
(Allen, 1999; Sardjono, 1979 dan Rudie H.
Kuiter, 1992), mengestimasi panjang total
ikan dari model-model ikan species target
pada radius 5 m dari struktur buatan.
Dilakukan juga pengambilan sampel ikan
untuk menghitung biomasa tiap spesies ikan
yang berasosiasi dengan mengukur panjang
dan berat dari ikan yang tertangkap.
3.5. Teknik Analisis Data
Kelimpahan spesies ikan di sekitar
keramba jaring apung dianalisis dengan
beberapa indeks seperti yang dikemukakan
oleh Ludwig dan Reynold (1988), sebagai
berikut:
(1) Indeks keragaman (diversity indices) :
a.Shannon,sIndex,
s
i
ii
s
i
iI
pp
N
n
Log
N
n
H
1
2
1
log' …….. (1)
Kriteria nilai keanekaragaman indeks
Shannon menurut Magurran (1988) sebagai
berikut :
a. H’ < 1.5 menunjukkan keanekaragaman
jenis tergolong rendah
b. H’ = 1.5 – 3.5 menunjukkan
keanekaragaman jenis tergolong sedang
c. H’ > 3.5 menunjukkan keanekaragaman
tergolong tinggi.
dimana:
S = Jumlah spesies,
pi = Proporsi individu spesies ke i,
A = 0, 1, dan 2
N = Jumlah individu pada semua S spesies,
ni = Jumlah individu spesies ke i
(2) Indeks kekayaan (richness indices):
Margalef’sIndex,
)(
1
1
nIn
S
R
, ………… (2)
Kriteria nilai indeks kekayaan (richness
indices) menurut Magurran (1988) sebagai
berikut :
a. R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan jenis
yang tergolong rendah
b. R1 = 3.5 – 5.0 menunjukkan kekayaan
jenis tergolong sedang
c. R1 > 5.0 menunjukkan kekayaan jenis
tergolong tinggi
dimana :
S = Jumlah total spesies dalam komunitas,
n = jumlah total individu dalam spesies.
8. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 17
(3). Biomasa ikan
Untuk menghitung biomasa tiap
spesies ikan yang berasosiasi, digunakan
formula hubungan panjang berat dari ikan
sampel yang ditangkap di perairan
sekitarnya selama penelitian, yaitu:
W = aLb ……………………………………… (3)
atau Log W = Log a + b Log L
dimana: W = Berat individu ikan,
L = Panjang baku ikan (mm)
a,b = Konstanta
nilai b < 3 artinya pertambahan panjang
tidak secepat pertambahan berat
nilai b = 3 artinya pertambahan panjang
dan berat seimbang
nilaii b > 3 pertambahan panjang lebih
lambat dari pertambahan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Asosiasi Ikan Target di Sekitar
Terumbu Buatan dan Keramba
Jaring Apung
Berdasarkan hasil pengamatan dengan
menggunakan snorkling dan hasil tangkapan
dengan menggunakan jaring gill net dan
pancing tangan yang dioperasikan sebanyak
4 (empat) kali pengamatan selama 1 (satu)
bulan. Dimana waktu pengamatan selama 1
(satu) bulan dibagi menjadi 2 (dua) waktu
pengamatan, yakni waktu pagi hari dan sore
hari. Jumlah total individu ikan yang
teramati, baik secara visual maupun dengan
menggunakan alat tangkap gill net dan
pancing tercatat untuk species target terdiri
dari 16 famili dan 24 spesies dengan jumlah
total individu 382. Hasil pengamatan
disajikan pada Tabel 2, sedangkan
rinciannya disajikan pada Lampiran 1, dan 2.
Tabel 2. Jumlah species target di sekitar
struktur terumbu buatan berdasarkan waktu
pengamatan.
Pengamatan Waktu Pengamatan Famili Spesies Individu
I Pagi 7 5 32
Sore 6 4 21
Sub total 5 8 53
II Pagi 5 8 35
Sore 5 7 35
Sub Total 7 10 70
III Pagi 6 8 57
Sore 9 12 70
Sub total 9 13 115
IV Pagi 8 10 64
Sore 8 11 80
Sub total 10 14 144
Jumlah total 10 46 382
Jumlah jenis ikan target spesies
berdasarkan data Tabel 2, terlihat bahwa
terjadi peningkatan jumlah individu sejak
awal pengamatan dilakukan. Tentunya hal
ini dipengaruhi oleh keberadaan terumbu
buatan dan keramba jaring apung yang
memberikan dampak signifikan terhadap
kehadiran yang berasosiasi disekitar daerah
penempatan terumbu buatan dan keramba
jaring apung.
Berdasarkan hasil yang disajikan
pada Tabel 2, dapat dijelaskan pula bahwa
secara umum ikan target yang tergolong
ikan ekonomis penting yang berasosiasi
dengan terumbu buatan dan keramba jaring
apung berdasarkan jumlah individu yang
berinteraksi pada pagi dan sore berbeda dari
segi jumlah. Untuk pengamatan pagi jumlah
individu yang teramati selama 4 kali
pengamatan berjumah 188 individu
sedangkan untuk pengamatan sore
berjumlah 206 individu.
Melihat perbedaan jumlah individu
yang berinteraksi dan berasosiasi
disebabkan adanya perbedaan sifat atau
tingkah laku ikan berdasarkan jenis spesies.
Populasi ikan target berubah dari siang ke
malam hari, di mana ikan-ikan diurnal yang
terlihat sebagian besar pada siang hari akan
berlindung di dalam terumbu dan digantikan
oleh sejumlah kecil spesies nocturnal yang
tidak terlihat pada siang hari. Ikan pemakan
planktonlah yang biasanya banyak tersebar
disekeliling terumbu pada siang hari, dan
bersembunyi atau berlindung di celah-celah
terumbu pada malam hari. Inilah yang
memungkinkan timbulnya perbedaan jumlah
spesies ikan target yang berasosiasi dengan
terumbu buatan dan keramba jaring apung.
Pada Gambar 3 disajikan grafik total
individu yang berasosiasi disekitar terumbu
buatan dan keramba jaring apung
berdasarkan waktu pengamatan, dimana
jumlah total spesies yang berasosiasi
dengan lebih banyak pada waktu sore hari.
Gambar 3. Grafik jumlah total individu target
spesies yang teramati disekitar terumbu buatan
dan keramba jaring apung.
9. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 18
Untuk mengetahui efektifitas dari
terumbu buatan sebagai pengganti terumbu
karang alami yang rusak, maka dapat di lihat
dari keanekaragaman jenis ikannya. Pada
penelitian ini nilai keanekaragaman
difokuskan pada ikan target, karena memiliki
nilai ekonomis.
4.2. Kelimpahan Target Spesies
Kehadiran species target seperti yang
terjasi pada Gambar 4 menunjukan bahwa
keberadaan terumbu buatan dan keramba
jaring apung mampu menarik spesies ikan
target. Baik pagi maupun sore hari,
kunjungan target spesies semakin banyak
seiring dengan waktu keberadaan terumbu
buatan dan keramba jaring apung. Hal ini
diduga bahwa sisa-sisa makan yang terbawa
arus laut pada keramba jaring apung,
mampu memikat dan menarik spesies target
untuk berasosiasi.
Hasil perhitungan indeks
keanekaragaman (indeks Shannon) spesies
target seperti yang tersaji pada Lampiran 2,
sebesar H’ = 2,57. Hal ini berarti bahwa nilai
keanekaragaman jenis spesies target
tergolong sedang (H’ = 1.5 – 3.5), artinya
bahwa penyebaran komunitas spesies target
diperairan beragam dan tidak didominasi
oleh satu spesies saja. Kondisi ini tentunya
dipengaruhi oleh waktu pengamatan yang
dilakukan selama 2 bulan, sehingga asosiasi
yang terbentuk antara ikan target dengan
keberadaan terumbu buatan dan keramba
jaring apung hanya sebatas waktu
pengamatan. Dengan melihat grafik seperti
yang terjadi pada Gambar 3, dapat
diasumsikan bahwa terjadi peningkatan
jumlah individu seiring dengan periode waktu
pengamatan. Jadi dapat disimpulkan secara
umum bahwa dengan bertambahnya periode
pengamatan, maka jumlah individu target
spesies yang berasosiasi juga akan semakin
bertambah jumlahnya.
Hasil perhitungan indeks keseragaman
atau indeks dominasi (indeks simpson)
spesies target seperti yang terjadi pada
Lampiran 2, sebesar 0,11. Nilai ini
menunjukkan bahwa nilai indeks
keseragaman kecil, yang berarti bahwa
penyebaran individu setiap jenis spesies
target relatif tidak merata dan ada
kecenderungan terjadi dominansi oleh satu
genera dari jenis yang ada. Hal dapat dilihat
pada data yang tersaji pada Lampiran 1,
dimana menunjukkan bahwa ada beberapa
spesies target yang jumlahnya mendominasi
selama pengamatan dilakukan yakni dari
famili Pomancentridae dengan jumlah
individu 86 ekor, famili Carangide dengan
jumlah individu 49 ekor dan dari famili
Acanthuridae sebnyak 44 ekor.
Hasil perhitungan indeks kekayaan
(richness indices) seperti yag tersaji pada
Lampiran 2 diperoleh nilai R = 2,523, dimana
nilai ini menunjukkan bahwa kekayaan jenis
spesies target tergolong rendah. Hal ini
disebabkan periode waktu pengamatan yang
relatif singkat, sehingga diduga bahwa
terumbu buatan yang telah dipasang
disekitar keramba jaring apung belum
menarik spesies terget berasosiasi. Tentu ini
ada hubungannya dengan struktur terumbu
buatan yang belum berfungsi secara
maksimal sebagai tempat mencari makan
bagi ikan target. Ada dugaan bahwa jika
keberadaan terumbu buatan semakin lama,
maka akan terbentuk karang-karang muda
sehingga akan mengundang berbagai
spesies target yang datang ke lokasi
tersebut.
4.3. Biomasa Ikan
Ukuran panjang dan berat tubuh ikan
target yang tertangkap selama penelitian,
disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Ukuran panjang dan berat ikan
target yang tertangkap
No. Ikan Berat (gram)
Panjang
(cm)
ln L (panjang) ln W (berat)
1
7
43
3,761200116 1,324738086
2 5,2 29,5 3,384390263 1,219173761
3
5 21 3,044522438 1,113344054
4 1,2 17,5 2,862200881 1,051590868
5
0,9 11,5 2,442347035 0,892959477
6 29 34 3,526360525 1,260266326
7
16 15,2 2,721295428 1,001108027
8 0,6 13 2,564949357 0,941938735
9
14 23,5 3,157000421 1,149622343
10 36 38 3,63758616 1,291320319
11
50 21,5 3,068052935 1,121043137
12 450 30 3,401197382 1,224127541
13
600 43 3,761200116 1,324738086
14 50 13,1 2,57261223 0,944921815
15
100 28 3,33220451 1,2036341
10. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 19
Berdasarkan data pada Tabel 3,
bahwa ikan target yang diukur panjang dan
berat tubuhnya, memiliki ukuran yang
berbeda-beda antara ikan yang satu dengan
ikan yang lainnya. Adapun ukuran ikan yang
terpanjang adalah 43 cm, dengan beratnya
yakni 7 gram, sedangkan ukuran yang
terpendek yakni 11,5 cm dengan beratnya
adalah 0,9 gram.
Dalam suatu pengukuran pertambahan
panjang dan berat ikan, terdapat nilai b yang
ikut menentukan dalam pengukuran
tersebut. Untuk menghitung biomasa tiap
spesies ikan yang berasosiasi, digunakan
formula hubungan panjang berat dari ikan
sampel yang ditangkap di perairan
sekitarnya selama penelitian. Dari hasil
perhitungan diperoleh bahwa nilai
persamaan hubungan antara panjang dan
berat tubuh ikan target yakni y = 0,3246x +
0,1155 dengan nilai R2
= 0,9965, seperti
yang tersaji pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik hubungan panjang dan
berat tubuh ikan target yang tertangkap
dengan pancing dan gill net.
Berdasarkan nilai persamaan pada
grafik tersebut diatas, diperoleh nilai b
= 0, 3246 dan nilai a = 0, 1155. Hal ini
menjelaskan bahwa dengan nilai b < 3
menunjukkan bahwa pertambahan panjang
tubuh ikan tidak secepat pertambahan berat
tubuhnya. Artinya bahwa pola pertumbuhan
ikan bersifat allometrik negatif, dimana
pertambahan panjang pada ikan tersebut
lebih cepat berbanding pertambahan bobot.
4.4. Faktor-Faktor Lingkungan Utama
Yang Mempengaruhi Asosiasi Ikan
A. Suhu
Suhu air menjadi faktor pembatas utama
yang menentukan pertumbuhan dan
kehidupan ikan. Suhu yang tinggi akan
meningkatkan jumlah konsumsi oksigen
sehingga dapat menyebabkan kematian.
Suhu berpengaruh terhadap kelarutan gas-
gas di dalam air dan kehidupan organisme di
dalamnya. semakin tinggi suhu di perairan
maka semakin tinggi pula metabolisme ikan
sehingga dalam proses tersebut maka ikan
membutuhkan banyak energi untuk
kelangsungan kehidupannya.
Hasil pengukuran suhu perairan
disekitar lokasi penelitian seperti yang
disajikan pada Tabel 4, berkisar antara 29 –
30 O
C dengan nilai rata-rata suhu perairan
29,4 O
C. Kisaran suhu ini masih merupakan
toleransi bagi ikan-ikan target untuk
berinteraksi dan berasosiasi disekitar
keramba jaring apung dan terumbu buatan.
B. Salinitas
Salinitas berkaitan erat dengan gejala
tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-
sel dalam tubuh ikan dengan keadaan
salinitas di sekitarnya. Ikan cenderung untuk
memilih medium dengan kadar salinitas
yang lebih sesuai dengan tekanan osmotik
tubuhnya.
Hasil pengukuran parameter salinitas
perairan disekitar lokasi penelitian seperti
yang disajikan pada Tabel 4, berkisar 31 -
32 psu dengan nilai rata-rata 31,5 psu. Nilai
salinitas ini masih merupakan toleransi bagi
ikan-ikan target untuk berinteraksi dan
berasosiasi disekitar keramba jaring apung
dan terumbu buatan.
C. Kecepatan Arus
Arus air laut mentransportasikan telur
ikan, larva ikan dan ikan-ikan kecil dan sifat-
sifat lingkungan laut secara lokal berubah
oleh arus air laut. Dalam air yang tenang
arah mobilitas ikan bersifat random dan
kenaikan tingkat aktivitas ikan berlangsung
karena kenaikan kecepatan arus, namun
kenaikan tingkat aktivitasnya
memperlihatkan keragaman yang
bergantung pada spesies ikan.
Hasil pengukuran kecepatan arus
permukaan perairan disekitar lokasi
penelitian seperti yang disajikan pada Tabel
4, berkisar 0,19 – 0,26 m/detik dengan nilai
11. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 20
rata-rata 0,22 m/detik. Nilai kecepatan arus
cukup berfluktuasi, hal ini disebabkan
perairan lokasi penelitian memiliki arus yang
cukup kuat terutama pada saat menjelang
malam hari pada saat terjadi peristiwa
pasang-surut.
D. Kecerahan
Kekeruhan air berbeda dengan yang
lain, karena langsung dapat dilihat oleh
panca indera. Jika keruhnya oleh plankton,
hal itu sangat baik untuk nafsu makan
namun jika keruhnya karena lumpur yang
terlalu tebal itu akan menggangu.
Kandungan lumpur yang terlalu pekat dalam
air akan mengganggu penglihatan
organisme sehingga menjadi salah satu
sebab kurangnya nafsu makan.
Hasil pengukuran tingkat kecerahan
perairan disekitar lokasi penelitian seperti
yang disajikan pada Tabel 4, cukup besar
yakni berkisar 16 – 19 meter. Nilai ini cukup
baik, karena kemampuan cahaya matahari
mampu menembus sampai pada kedalaman
antara 16 – 19 meter.
E. pH
Organisme air dapat hidup dalam
suatu perairan yang mempunyai nilai pH
netral dengan kisaran toleransi antara asam
lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang
ideal bagi organisme air pada umumnya
terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi
perairan yang sangat asam maupun yang
sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan
menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi.
Hasil pengukuran nilai pH perairan di
lokasi penelitian seperti yang disajikan pada
Tabel 4, cukup stabil yakni 8. Nilai ini masih
masuk dalam interval nilai pH yang ideal
bagi organisme.
Tabel 4. Hasil pengukuran parameter
lingkungan perairan di lokasi penelitian
Hasil
Pengukuran
Parameter Lingkungan Perairan
Suhu Salinitas Kecepatan
Arus
(m/detik)
pH Kecerahan
(meter)
I Pagi 29 31 0,20 8 17
Sore 29 32 0,22 8 18
II Pagi 29 31 0,24 8 16
Sore 30 31 0,26 8 18
III Pagi 30 32 0,19 8 17
Sore 30 32 0,21 8 19
IV Pagi 29 31 0,20 8 17
Sore 30 32 0,21 8 18
Rerata 29,4 31,5 0,22 8 17,5
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan
dari penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Struktur asosiasi ikan target di sekitar
terumbu buatan dan keramba jaring
apung yakni menjadikan areal tersebut
sebagai shelter dan visitor.
2. Hasil pengukuran parameter lingkungan
perairan secara umum masih dalam
batas toleransi sehingga ikan target
tetap melakukan aktivias di sekitar
lokasi penelitian.
3. Nilai indeks keragaman ikan target yakni
2,57; nilai indeks keseragaman 0,11;
nilai indeks kekayaan sebesar 2,52
serta nilai hubungan panjang dan berat
tubuh ikan target sebesar 0, 3246.
5.2. Saran
1. Monitoring jangka panjang diperlukan
untuk memprediksi dampak
penempatan terumbu buatan dan
keramba jaring apung yang lebih nyata
terhadap biota laut dan habitat
lingkungan sekitarnya.
2. Perlu dikaji jenis ikan-ikan non target
yang berasosiasi disekitar penempatan
terumbu buatan dan keramba jaring
apung.
DAFTAR PUSTAKA
Allen, G.R. & R. Steene, 1994. Indo-Pasific Coral
Reef Field Guide. Tropical Reef Research.
Singapore. 378 p
Allen, G. 1999. A field Guide for anglers and Divers.
Marine Fishes of Sout. East Asia. 292 p.
Baine M. 2001. Artificial reefs: a review of their
design, application, management and
performance. Ocean and Coastal
Management. 44: 241 – 259.
Barus T. A. 2002. Pengantar Limnologi. USU-
Press. Medan
Bohnsack JA, Johnson DL, Ambrose RF. 1991.
Ecology of artificial habitats and fishes (61 –
107). In: Seaman W Jr, Sprague LM, editors.
Artificial habitats for marine and freshwater
fisheries. Academic Press, San Diego.
Bohnsack JA, Ecklund AM, Szmant AM. 1997.
Artificial reef research: is there more than the
attraction-production issue? Fisheries 22:14-
16.
Bortone S.A.and Kimmel J.J. 1991. Environmental
assesment and monitoring of artificial reefs
(177 – 236). In: Seaman W Jr, Sprague LM.
(eds). Artificial habitats for marine and
freshwater fisheries. Academic Press, San
Diego.
12. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 21
Bortone S.A. MA Samoilys and P. Francour. 2000.
Fish and macroinvertebrate evaluation
methods (127 – 164). In: Seaman W Jr.
Artificial reef evaluation, with application to
natural marine habitats. CRC Press New
York.
Brotowijoyo, M. D., D. Tribawono, dan E.
Mulbyantoro. 1995. Pengantar Lingkungan
Perairan dan Budidaya Air. Liberty.
Yogyakarta.
Dahuri R., J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu.
1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradya
Paramita. Jakarta.
Dartnall A.J. Jones M. 1986. A Manual of Survey
Methods; Living Resources in Coastal Areas.
ASEAN-Australia Cooperative Program On
Marine Science Handbook. Townsville;
Australian Institude of Marine Science. 166 p.
Gunarso, 1985. Tingkah Laku Ikan dalam
hubungan dengan metode dan teknik
Penangkapan Ikan. Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. IPB. Bogor.
Hutabarat dan Evans, 2000. Pengantar
Oseanografi. Universitas Indonesia Press.
Jakarta.
JICA Study Team, 2002. The Study on the
Integrated Coral Reef Management Plan in
North Sulawesi in The Republic of Indonesia.
Draft Final Report Volume I. Japan
International Cooperation Agency. Ministry of
Marine Affairs and Fisheries Goverment of
Indonesia. Regional Planning. Research and
Development Agency North Sulawesi
Province. 41 p.
Kordi, 2001. Pembesaran Kerapu bebek di
Keramba Jaring Apung. Penerbit Kanisius.
132 hal.
Magurran, E. A. 1988. Ecological diversity and its
measurement. University Press Cambridge.
Miller MW, Falace A. 2000. Evaluation method for
trophic resource – nutrients, primary
production and associated assemblages (95
– 126). In: Seaman W Jr. Artificial reef
evaluation, with application to natural marine
habitats. CRC Press New York.
Nybakken, J. W. 1998. Biologi Laut. Suatu Pendekatan
Ekologis. Penerbit Gramedia Jakarta. 459 hal.
Laevastu, T. and M. L. Hayes. 1981. Fisheries
Oceanography and Ecology. Fishing News
Books. Farnham. 199 p.
Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology. A
primer on methods and computing. John Wiley
and Sons. New York. 337 p.
Pickering H, Whitemarsh D. 1997. Artificial reefs and
fisheries exploitation: a review of the attraction
versus production debate, the influence on
design and its significance for policy. Fisheries
Research. 31: 39 – 59.
Pickering, H., D. Whitemarsh and A. Jensen. 1998.
Artificial reefs as a tool to aid rehabilitation of
coastal ecosystems: Investigating the potential.
Mar.Pollut. Bull. Vol. 37 No. 8: 505 – 514.
Reppie E. 2004. Perikanan tangkap yang bertanggung
jawab:Studi kasus di Kepulauan Nanusa,
Kabupaten KepulauanTalaud, Propinsi
Sulawesi Utara. (Materi Kuliah Lapangan
Musim Panas di Karatung Kabupaten
Kepulauan Talaud, 8 Juli – 6 Agustus 2004,
diselenggarakan oleh Yayasan Laut Lestari
Indonesia bekerjasama dengan Dir. Jen P3K,
DKP RI).
Rudie H. K., 1992. Tropical Reff-Fishes of The
Western Pacific Indonesia and Adjacent
Waters. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta-Indonesia. 314 hal.
Sardjono, I. 1979. Buku pedoman Pengenalan Sumber
Perikanan Laut Bagian I. Jenis-jenis Ikan
Ekonomis Penting. Direktorat Jenderal
Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. 170
hal.
Samuel, H. Jerry D. Kalesaran dan Hetty Ondang,
2010. Struktur komunitas Ikan di Sekitar
Keramba Jaring Apung Sebagai Peluang Sport
Fishing. Hasil Penelitian Dosen APB.
Samuel, H. Daniel, N. Palehel, M dan Hetty, O. 2012.
Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir
Dengan Metode IMTA Dikoneksikan Pada
Terumbu Karang Buatan Sebagai Model
Pengelolaan Perairan Di Selat Lembeh Kota
Bitung. Hasil Penelitian Dosen APB.
Seaman, W. Jr. and A.C. Jensen. 2000. Purposes and
practices of artificial reef evaluation (1 – 19). In
Seaman, W.Jr. Artificial reef evaluation, with
application to natural marine habitats. CRC
Press New York.
Silvestre, G. H. J. H. Matdanan, P. H. Y. Sharifuddin,
M. W. R. N. De Silva and T. E. Chua (eds.).
1992. The Coastal Resources of Brunei
Darussalam : Status, Utilization and
Management. ICLARM Conference Proceeding
34, 214 pp.
Sunyoto P. 2000. Pembesaran kerapu dengan
keramba jaring apung. PT Penebar Swadaya,
Cetakan V. 65 hal.
Susanto, 1995. Studi Hubungan Faktor-Faktor
Oseanografi dan Meteorologi Terhadap
Penangkapan Ikan di Perairan Cilacap dan
Sekitarnya dengan mempergunakan Set Gill
net. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program
Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan. FPIK-IPB.
Bogor.
Soesilo, I dan Budiman. 2003. Laut Indonesia.
Teknologi dan Pemanfaatannya. Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia
(LISPI), 305 hal.
Trubus. 2000. Rahasia membesarkan kerapu bebek.
Trubus No. 362 Edisi Januari 2000. TH. XXXI.
16 hal.
Unstain, N. W. J. R, Mennofatria B, Dietriech G. B,
Achmad F. 2011. Struktur Komunitas Ikan
Target di Terumbu Karang Pulau Hogow dan
Putus-Putus Sulawesi Utara. Jurnal Perikanan
dan Kelautan Tropis. Vol. VII-2, Agustus 2011.
p. 60 – 65.
Wasilun dan Murniyati. 1997. Pengembangan
Terumbu Karang Buatan Sebagai Alternatif
Teknologi Rehabilitasi Kerusakan Terumbu
Karang. Warta Penelitian Perikanan Indonesia.
III(2): 10 – 14.
http://www.google.com./29-2-2013
*) Dosen Akademi Perikanan Bitung
13. POJOK RISET
Matric Edisi I No. 21 Juli Tahun 2014 22
Caranx sp
Chromis sp
Kerapu Lumpur
(Jenis Epinephelus suilus )
Elagastis bipinnulatus
Lampiran. Beberapa Jenis Ikan Target yang teramati dan tertangkap
di sekitar terumbu buatan