petani mitra kerja, saya (Riza V. Tjahjadi) uraikan selintas tapi rinci data bahwa pertanian pangan khususnya padi dipandang selalu terbelit masalah. Pengalaman dan fakta menunjukkan, bahwa rentenir adalah sumber modal yang termudah diperoleh petani, tetapi bukanlah satusatunya sumber utama modal bagi petani untuk bercocok tanam pada lokasi tertentu.
Cari kredit ribet, so, jajal kemitraan terpadu occpaper
1. Cari kredit ribet, so, jajal kemitraan terpadu
Oleh: Riza V. Tjahjadi
Para petani memerlukan dana untuk membiayai usaha taninya. Selama ini,
bagi kebanyakan petani skala kecil, sangatlah sulit untuk mengakses kredit melalui
bank formal. Seringkali para petani ini bergantung pada kredit informal, misalnya
pada renternir, yang sangat tinggi bunga pinjamannya. Di sisi lain, para renternir
ini sangat mudah ditemui dan fleksibel sehingga seringkali menjadi satu-satunya
(sic. Huruf tebal RVT) pilihan petani kecil. Itu kalimat pembuka dari satu kalawarta.
Sejak akhir dekade lalu fasilitas kredit pun menjamur dan banyak kelompok-
kelompok tani skala kecil serta masyarakat yang tidak memiliki lahan, khususnya
perempuan, telah mendapatkan manfaatnya. Banyak cerita yang tidak terhitung
jumlahnya tentang keluarga miskin yang telah memulai hidup yang lebih
bermartabat berkat pinjaman kurang dari 100 Euro (sekitar Rp 1.300.000).
Namun, kredit mikro seringkali tidak cukup membantu petani membangun
pertanian yang berkelanjutan. Para petani yang ingin berinvestasi untuk membuat
usaha taninya berkelanjutan menghadapi tantangan keuangan. Mereka harus
berinvestasi serius agar usaha taninya bisa berkelanjutan. Tanah yang mereka
investasikan hanya bisa mengembalikan nilai investasi setelah beberapa tahun
kemudian. Sedangkan saat ini mereka harus mampu bertahan hidup. Bank
umumnya memiliki produk standar yang seringkali tidak membantu petani yang
memilih praktik ramah lingkungan, karena dianggap tidak layak secara ekonomi.
Jadi, petani harus pergi ke mana untuk mendapat dukungan? Begitulah tiga
paragraph pengantar dari kalawarta itu yang dikirimkan kepada saya Maret silam.
Sebagai pengantar diskusi dengan anda semua, petani mitra kerja, saya
uraikan selintas tapi rinci data bahwa pertanian pangan khususnya padi dipandang
selalu terbelit masalah. Pengalaman dan fakta menunjukkan, bahwa rentenir
adalah sumber modal yang termudah diperoleh petani, tetapi bukanlah satu-
satunya sumber utama modal bagi petani untuk bercocok tanam pada lokasi
tertentu.
Petani dan akses kredit, kilas selintas balik
Kredit produksi, sebagaimana dikatakan Arthur Theodore Mosher (Getting
Agriculture Moving, 1966) sebagai salah satu dari 5 syarat pelancar pembangunan
pertanian menjadi langkah kebijakan negara (rejim Orde Baru hingga kini). Syarat
pelancar pembangunan pertanian meliputi: (1) pendidikan pembangunan, (2) kredit
produksi, (3) kegiatan gotong royong petani, (4) perbaikan dan perluasan tanah
pertanian, dan (5) perencanaan nasional pembangunan pertanian. Adapun
persyaratan pokok pembangunan pertanian, lanjut Mosher mencakup: (1) adanya
pasar untuk hasil-hasil usahatani, (2) teknologi yang senantiasa berkembang, (3)
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 1
2. tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal, (3) adanya perangsang
produksi bagi petani, dan (5) tersedianya pengangkutan yang lancar dan
berkesinambungan. Namun, apakah kredit produksi menjadi kebutuhan petani?
Temuan Brahmantio Isdijoso (tanpa tahun, tt) terhadap jenis usahatani
tanaman pangan prioritas dikaitkan dengan kredit usaha tani (KUT) pada Tahun
Penyediaan (TP) 1999/2000o menunjukkan Dept. Pertanian/ Badan Pengendali
Bimas lebih berorientasi pada total kebutuhan biaya usahatani daripada modal
tunai yang dibutuhkan dalam usahatani. Dengan pendekatan semacam itu maka
secara implisit Badan Pengendali Bimas (Dept. Pertanian) mengasumsikan bahwa
petani sama sekali tidak memiliki kemampuan modal untuk menjalankan
usahatani. Padahal dalam kenyataannya petani memiliki kemampuan untuk
membiayai sebagian biaya usahataninya baik dengan modal dalam bentuk uang
tunai maupun natura (seperti; menggunakan benih milik sendiri, tenaga kerja
dalam keluarga, tenaga kerja luar keluarga yang dibayar dengan hasil panen sesuai
dengan kebiasaaan setempat/ bawon/ ceblokan, tenaga kerja luar keluarga yang
dibayar dengan tenaga kerja sendiri dengan sistem sambatan dll).
Kebutuhan petani terhadap uang tunai (modal) untuk membiayai
usahataninya sangat menonjol dalam kegiatan pembelian benih berlabel, pupuk dan
pestisida (obat–obatan pemberantas hama & penyakit). Mengingat kualitas benih
sangat menentukan produktivitas usahatani maka diusulkan agar alokasi dana KUT
untuk benih tetap seperti usulan BIMAS Deptan. Hasil verifikasi di lapang
menunjukkan bahwa hingga saat ini sekitar 40 persen petani padi masih
menggunakan benih dari tanaman sendiri.
Studi Brahmantio Isdijoso (tt) ini dimaksudkan untuk melakukan verifikasi
terhadap angka kebutuhan dana untuk program KUT tahun anggaran 1999/2000.
Saat itu sekitar 40 persen petani padi masih menggunakan benih dari tanaman
sendiri.
Pendapat petani dan pemodal non-bank desa
PAN (Pesticide Action Network) Indonesia (2001) menyatakan, kebanyakan
dari para analis ekonomi dan ekonomi pertanian dalam membahas masalah petani -
khususnya kredit melalui, apakah itu KIK, KUTK, KUT dan yang terakhir KKP
kurang memperhitungkan para tengkulak sebagai orang yang berperan untuk
petani selama ini. Jika pemerintah mengharapkan KUT terhadap petani, maka ada
sekelompok masyarakat yang merasa diri mereka dirugikan, karena lahan
pendapatan mereka telah disrobot oleh koperasi dan Bank. Sebagai kelompok yang
mempunyai bergaining dalam bentuk uang atau modal tentu mereka tidak bisa
tinggal diam saja menerima nasip. Begitu juga dengan kebiasaan mereka mecari
nafkah dari bunga uang, dan monopoli harga, maupun terhadap panen petani.
Pada setiap panen tiba harga beras selalu anjlok walaupun masalah ini terus
datang sejak dulu-dulunya Bulog sampai sekarang masih persoalan itu-itu juga
2 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
3. yang melilit petani. Sebagai ilustrasi sekarang ini pemerintah tidak mengimpor
beras lagi, karena hasil panen padi sekarang sudah mencukupi menurut deptan dan
Bulog tapi dalam kenyataannya impor beras masih berjalan. Menurut teori
konspirasi untuk mendapatkan harga gabah yang murah dari petani adalah dengan
men-drop beras impor sehingga harga gabah dalam negeri jatuh. Setelah gabah
dibeli oleh tengkulak, maka harga beras akan stabil lagi (asumsi mereka pemerintah
tidak mungkin menerapkan kebijakannya dalam waktu sehari atau dua hari).
Umumnya kebijakan pemerintah itu efektif apabila gabah telah sampai ke tangan
tengkulak dan pedagang besar. Jadi, tampaknya, para tengkulak telah memprediksi
kapan jatuhnya harga gabah, dan kapan pemerintah bertindak. Di sini seolah-olah
meraup keuntungan melalui oknum-oknumnya - indikasi adanya permainan dalam
Bulog - dalam penciptaan situasi seperti itu.
Indikasi itu diperkuat dengan data dan Proyeksi Bulog selalu berbeda dengan
statistik dan Deptan, yaitu menurut Bulog produksi di bawah kebutuhan pangan
masyarakat, agar mereka bisa mengimpor beras murah dari negara lain. Hal yang
menyolok terjadi pada tahun 1998 yaitu impor beras jauh melebihi kapasitas
kebutuhan masyarakat akan beras. Dari 2 juta ton kebutuhan impor menjadi sekitar
5 juta ton sehingga pasar Indonesia kelebihan sekitar 3 juta ton beras. Lantas,
berakibat jatuhnya harga beras/gabah domestik jauh di bawah biaya produksi. Pada
saat itu gabah petani hanya dihargai Rp 700 – Rp 900 per kg. Pada saat yang sama
petani juga meminjam uang pada KUT. Akibat rendahnya harga gabah petani di
bawah harga biaya total produksi, maka mengakibatkan tertundanya pelunasan
kredit usaha tani oleh petani pada koperasi.
Tertundanya anggsuran KUT berarti pula mereka tidak dapat lagi meminjam
uang lagi pada koperasi/KUT, sehingga untuk mendapatkan dana untuk musim
tanam selanjutnya petani terpaksa lagi meminjam uang pada tengkulak, sehingga
menimbulkan lingkaran setan yang tak putus-putusnya.
Persoalan lain yang dihadapi petani adalah masalah jaminan kredit yang
diberikan bank dan koperasi agak sulit dipenuhi, karena kebanyakan petani adalah
petani penggarap yang tidak punya lahan, ditambah pula dengan sistem sewa yang
berlaku setiap daerah berbeda-beda. Pada sisi lain pemilik sawah tidak mau terlibat
dengan proses produksi. Yang mereka mau tau pokoknya setelah panen penggarap
harus membayar sewa sawah mereka. Para pemilik lahan tidak mau tahu puso atau
tidak pusonya hasil sawah, sebab perjanjian mereka hanya sewa-menyewa (kasus
Desa Kedokan di Indramayu). Sebelum adanya fasilitas KUT petani telah
meminjam uang untuk modal produksi pada tengkulak yang mana persyaratannya
tidak begitu membingungkan petani, ditambah plafon peminjaman tidak dibatasi,
sehingga mereka tidak perlu njelimet berhitung dalam pengunaan dana untuk
perbaikan/peningkatan produksi.
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 3
4. Keuntungan lain meminjam uang kepada tengkulak oleh petani adalah mereka
bisa mengambil uangnya kapan saja mereka perlukan. Lain halnya dengan KUT
menurut mereka pemerintah hanya penuh dengan janji-janji tanpa realisasi jelas di
lapang, tetapi petani tidak pernah meminta ganti rugi pada pemerintah atas
keterlambatan pengucuran kredit oleh pementah tersebut.
Hal di atas itulah yang juga penting diperhatikan oleh pembuat kebijakan dan
para pembaca, selain yang telah dikemukakan oleh beberapa pengamat pertanian
seperti yang tertuang dalam “Tujuh kesalahan Utama KUT” (Kompas 18/2/2001)
yang bunyinya, yaitu:
1. Penekanan jaminan oleh pihak bank (program 5 C) pada petani yang umumnya
petani gurem (petani penggarap).
2. Kredit tidak sampai pada waktunya (terlambat disalurkan) dan tidak tepat
sasaran.
3. Hanya mengejar target, tanpa memperhatikan kegunaannya untuk apa sudah
sampai ke tangan petani atau belum tidak diperhatikan.
4. Tidak adanya tunjangan asistensi oleh pihak KUT dari manajemen proses
produksi sampai pada manajemen proses pemasaran.
5. Tidak mengedepankan peningkatan pendapatan petani (hanya menjaga gengsi
pemerintah)
6. Paragdima pemerintah sebagai yang dilayani bukan sebagai pelayan masyarakat.
7. Kebijakan pemerintah yang plin-plan setiap tahunnya.
Secara sistem pembangunan pertanian di Indonesia sudah menuju pada
perbaikan tetapi dalam pelaksanaannya yang selalu menyimpang dari tujuan
pembangunan itu sendiri. Hambatan itu sendiri datangnya dari birokrasi
pemerintah yang berbelit-belit. Sebagai contoh, Riza V. Tjahjadi dan rekan dalam
studi mengenai Implementasi dan Dampak Perjanjian Pertanian (AoA) WTO Bagi
Indonesia. (2001) mengutip warta Riau Post petani Riau yang tergabung dalam
Serikat petani Riau (SPS) melakukan unjuk rasa ke BRI, menuntut pencairan dana
KUT sebesar Rp 6,7 milyar. Cara peminjaman kredit usaha tani (KUT) yang sampai
sekarang ini masih banyak petani yang tidak bisa mendapatkan kreditnya. Padahal
petani telah memenuhi persyaratan yang diminta oleh pihak bank. Alasan yang
diberikan pihak bank sendiri tidak masuk akal atau tidak begitu memuaskan yang
bunyinya sebagai berikut,”pencairan dana KUT tidak bisa dilaksanakan karena
surat dari Departemen Koperasi/PKM yang tidak bisa dipahami secara jelas” (Riau
Post, Agustus 2000).
Tabel 1. Kredit Likuiditas dan Langsung Bank Indonesia pada Sektor Ekonomi
(1994 –1998 milyar Rupiah)
Diskripsi 1994 1995 1996 1997 1998
Pertanian 116 148 222 253 1.147
Koperasi 422 647 953 1424 1.835
Memperoleh 2.230 2.734 4.586 5.595 6.302
4 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
5. pangan
Investasi 5.387 4.200 4.398 3.833 4.096
Lain-lain 6.633 9.364 10.441 13.852 12.123
Kredit langsung 130 71 26 50 47
Total 13.918 17.164 20.626 25.007 26.550
Kredit Likuiditas 13.788 17.093 20.600 24.957 26.503
Sumber:BPS, 1999
Tabel di atas menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kredit pada sektor
usahatani jika dibandingkan dengan sektor lain. Jika dipersentasekan besarnya
cuma 1,2% dari total kredit yang dikucurkan Bank Indonesia (BI) pada tahun 1994,
bahkan pada tahun 1997 menurun menjadi 1% dan baru ada peningkatan pada
tahun 1998 menjadi 4,3% dari total kredit yang dikucurkan BI. Hal ini sangat ironis
dengan sektor usaha dari sebagian besar penduduk Indonesia pada sektor
pertanian.
Tabel 2. Kebutuhan indikatif KKP/Ha untuk tanaman padi sawah irigasi, tadah
hujan, lebak, sawit dupa dan gogo di lahan konservasi
(tahun panen 2000/2001 periode oktober 2000 s/d september 2001)
Sawah Tadah Lebak Sawit Gogo
Komponen
Irigasi Hujan Surut Dupa Konservasi
Benih 75.000 120.000 120.000 75.000 90.000
Pupuk 950.000 850.000 570.000 570.000 750.000
Pestisida 350.000 350.000 380.000 460.000 350.000
Garapan &
350.000 300.000 200.000 200.000 300.000
Pemeliharaan
Benih Ikan Dan Pakan 275.000 - - - -
Panen Dan Pasca Panen 500.000 500.000 500.000 500.000 500.000
Total 2.500.000 2.120.000 1.770.000 1.805.000 1.990.000
Sumber : Deptan, 2000
Sekadar catatan, tabel di atas memperlihat pengaburan makna lahan
konservasi untuk budidaya padi gogo, dan diberikan fasilitas potensi asupan pupuk
kimia, dan racun kimia yang berpotensi pula mencemari lingkungan hidup.
Dampak penurunan subsidi domestik pada pertanian
Dari hasil pantauan PAN Indonesia bulan September 1998 dan 6 Juni 2000
yang lalu di beberapa wilayah sentra produksi beras di Jawa Barat, salah satu desa
di Kabupaten Indramayu, terlihat sebagian besar dari petani mengalami kesulitan
dalam menanam kembali areal persawahan mereka, di samping kesulitan
mengembalikan Kredit Usaha Taninya (KUT) apalagi memperoleh pinjaman
berikutnya. Kesulitan dana yang memadai akan berdampak pada upaya untuk
melindungi tanamannya dari resiko kegagalan yang akan terjadi, yang ditimbulkan
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 5
6. oleh faktor alam, seperti iklim, cuaca, maupun datangnya serangan/ wabah hama
dan penyakit tanaman.
Bila dibandingkan dengan kondisi normal (panen yang cukup berhasil),
sebenarnya petani tidak begitu beruntung, karena input-input pertanian yang
mereka pakai semenjak 1998, pada hakekatnya sudah tidak disubsidi lagi oleh
pemerintah, baik pada benih, pupuk maupun racun hama dan penyakit tanaman.
Hal inilah yang salah satunya menjadi penyebab turunnya produktivitas pertanian
di Indonesia, yakni kurangnya dukungan pemerintah pada petani sementara
mereka telah terlanjur diarahkan (main stream) pada pertanian konvensional yang
berasupan tinggi (high external inputs) dan akan dihadapkan dengan situasi
persaingan yang sangat ketat (Tjahjadi dan rekan, 2001).
Sebagai gambaran pada musim tanam/panen 1998/1999 yang lalu, dari
wawancara beberapa responden petani, mereka pada umumnya menderita kerugian
cukup besar yang disebabkan oleh panen yang gagal. Penyebab utamanya adalah
serangan ganas hama wereng pada areal pertanaman petani, sehingga
mengakibatkan banyaknya butiran padi yang hampa. Padahal untuk
pemberantasan atau pengendalian hama (pengurangan resiko kegagalan yang lebih
banyak lagi), petani memerlukan dana yang cukup besar, dan untuk itu harus
diperoleh melalui KUT dengan plafon pinjaman tertinggi. Yakni Rp 1.500.00 per
hektar lahan plus bunga pinjaman sebesar 18% per tahun. Dalam hal pengurusan
pinjaman kredit, sebelumnya dinilai akan berjalan lancar. Sistem pengembaliannya
biasanya dengan penjualan gabah ke KUD dengan menggunakan standar tingkat
kelembaban gabah. Akibatnya, selain petani tidak mampu mengembalikan
pinjaman KUT, juga peluang modal untuk proses produksi selanjutnya akan hilang,
sebagai konsekuensi dari kegagalan usaha yang tidak “berasuransi”. Sebaliknya
pemerintah AS sendiri dikenal selalu memberlakukan “direct payment” bagi
petaninya.
Dan dari beberapa keterangan responden serta fakta yang terjadi di lapang,
berkenaan dengan komitmen pengurangan dukungan domestik bagi produsen dan
kelancaran proses produksi (peningkatan produktivitas), telah menimbulkan
beberapa dampak negatif, terutama pada petani kecil dan buruh tani, di antaranya;
• Biaya produksi menjadi tinggi, akibat dihapuskannya beberapa subsidi seperti
subsidi pupuk, telah menimbulkan bentuk usaha tani yang memerlukan modal
besar. Untuk itu, pemberian subsidi pupuk dan input lainnya masih sangat
dibutuhkan petani dalam proses berproduksi ;
• Harga jual gabah di tingkat petani yang belum bisa mengangkat taraf hidup
petani, di mana biaya proses produksi yang tinggi tidak seimbang dengan nilai
jual yang diperoleh (nilai tukar petani negatif) ;
• Selain subsidi input pertanian, juga perlu adanya subsidi lain dalam bentuk
‘asuransi usaha tani’ sebagai garansi atas resiko kegagalan produksi yang
diakibatkan oleh faktor-faktor alam ;
6 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
7. • Bantuan teknis, dalam bentuk informasi praktek bertani yang benar dan pola
pemasaran yang dapat memotong jalur distribusi yang melebar ;
• Harga dasar gabah yang tidak begitu menolong, tanpa adanya mekanisme
pengawasan yang transparan dan profesional dari pemerintah (Tjahjadi dan
rekan, 2001).
Riza V. Tjahjadi dan rekan (2001) menambahkan untuk melakukan
pembelian beras, Bulog menggunakan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (BKLBI).
Seberapa besar dana yang diperoleh oleh Bulog untuk membeli beras petani dan
impor dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3. Bantuan Kredit Bank Indonesia (KLBI) untuk pengadaan beras dan gula
negara
Jumlah Kredit Prosentase
Beras dan dari total Perubahan
Tahun Gula KLBI (%)
(%)
(Rp. milyar)
1993 1,846 14.39 -
1994 2,230 16.17 20.80
1995 2,734 15.99 22.60
1996 4,586 22.26 67.74
1997 5,595 22.42 22.00
1998 5,876 21.83 5.02
Jan 1999 7,781 26.30 -
Feb 1999 6,990 24.15 -10.17
Mar 1999 5,567 19.41 -20.36
Apr 1999 6,781 22.22 21.81
May 1999
Juni 1999
Juli 1999 2,
Sumber : Bank Indonesia, 1999
Catatan penting: KLBI di sini adalah salah satu target tidak langsung dalam
Intervensi Kebijakan Pemerintah, dan juga IMF terhadap Produksi, Logistik dan
Perdagangan Hasil Bumi, khususnya Beras (1969–2000) dan buah-buahan. Isi
Kebijakannya. ialah Usaha Bulog mendapatkan beras melalui Dana Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Dasar Hukumnya adalah Bank Indonesia.
Dari tabel di atas terlihat tidak adanya keseriusan pamerintah untuk
membantu petani karena kredit yang terserap oleh petani hanya rata-rata kurang
dari 25%, padahal kenyataan di lapang (Indramayu, dan Pandeglang: survei PAN
Indonesia, Mei-Juni 2000) petani membutuhkan dana melebihi dari penyediaan
KLBI itu sendiri. Kebijakan tentang pemberdayaan petani hanya merupakan
seremonial belaka. Apakah kerena faktor birokrasi atau karena ketidakpercayaan
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 7
8. bank terhadap petani? Kenyataan di lapang masih banyak petani yang kekurangan
modal untuk biaya produksi. Untuk memenuhi kekurangannya petani berani
meminjam pada tengkulak yang tidak butuh persyaratan birokrasi yang rumit
hanya dengan modal kepercayaan, walaupun dengan bunya yang tinggi, tapi dalam
kenyataannya petani masih sanggup untuk melunasi hutangnya sesuai dengan batas
waktu yang telah mereka sepakati bersama. Lalu kenapa dengan KLBI?
Kucuran kredit dari tahun ke tahun selalu meningkat dari tahun ke tahun,
tapi persentase kucuran yang diterima petani padi dan tebu berfluktuasi setiap
tahunnya. Dalam pandangan PAN Indonesia, ini menunjukkan tidak adanya
perhatian serius pemerintah pada petani dalam meningkatkan hasil produksi padi,
maupun tebu (untuk dijadikan gula) dalam negeri. Bahkan untuk tahun 1998, tidak
ada peningkatan kucuran kredit yang berarti, dan hanya sekitar 5% dari
peningkatan kucuran, malah sebaliknya terjadi penurunan realisasi sekitar 5,5%.
Dan inilah salah satu faktor terjadinya peningkatan impor beras di kuartal
1997/1998, di samping faktor alam, sehingga menggugurkan pendapat tentang
berkurangnya jumlah kredit yang dikucurkan lebih disebabkan oleh krisis moneter
dan kredit macet, karena kenyataannya impor beras yang memerlukan dana masih
tetap berjalan.
Di samping itu, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang dikucurkan
tersebut sedikit yang sampai ke petani, dan gejalanya sekarang sulit untuk
dibayarkan kembali. Namun pada sisi lain tergambar bahwa pihak kreditor sama
sekali tidak akan merugi. Karena mereka masih menikmati bunga bank yang
persentasenya melebihi dari bunga yang dibayar oleh petani (Tjahjadi dan rekan,
2001).
Sepuluh tahun sebelumnya, tahun 1991 menurut Riza V. Tjahjadi (1992)
keterjangkauan fasilitas kredit bagi petani sangat terbatas, sebagaimana yang
ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh PAN Indonesia pada 1990-1991
terhadap petani padi di 17 desa yang terletak di 8 provinsi dalam kerangka
memahami Kebijakan Pangan nasional dari persepsi petani menunjukkan mengenai
berfungsi, atau tidaknya KUD di desa tersebut. Sebanyak 8 desa menunjukkan
bahwa KUD berfungsi, sedangkan 9 desa lainnya menunjukkan tidak berfungsinya
KUD. Pada sisi lain, KUT yang menjangkau petani hanya terdapat pada 5 desa.
Sementara 12 desa lainnya menunjukkan bahwa petaninya tidak terjangkau KUT.
Jika disimak lebih lanjut, maka hanya 1 desa yang menunjukkan berfungsinya KUD,
maupun KUT yang menjangkau petani setempat. Penelitian ini berlangsung pada
periode waktu penelitian adalah pada periode November 1990 hingga Februari
1991.
Riza V. Tjahjadi dan rekan (2001) menyatakan, semenjak Kredit Likuiditas
Bank Indonesia (KLBI) dihentikan, maka Bulog kesulitan dana untuk membeli
gabah petani. Bila tidak ada dana khusus maka situasi ini menjadikan Bulog berada
pada posisi harus membeli beras petani tetapi harus meminjam dana dari bank
8 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
9. untuk pembelian. Bulog tidak bisa bertindak lagi tanpa fasilitas KLBI itu. Ini berarti
Bulog menjadi salah satu “pedagang” beras yang tak punya modal, namun hingga
akhir tahun 2000 terbetik kabar sudah adanya dana pemerintah bagi Bulog.
Begitu juga dengan masalah kredit petani setiap tahun selalu berubah-ubah
dengan maksud memberdayakan petani tetapi yang diuntungkan malah petani yang
punya modal besar seperti pemilik huller, koperasi dan para penikmat bunga
pinjaman/tabungan di bank. Sedangkan sistem penyaluran kredit tidak pernah
dipermudah, apalagi sebagian besar petani gurem tidak punya pengetahuan tentang
seluk beluk peminjaman uang di bank. Bagitu juga oleh koperasi peminjaman kredit
tidak pernah mencapai pinjaman yang diinginkan petani, sehingga pinjaman kredit
tidak bisa digunakan dengan optimal untuk produksi (...) dalam pemberian kredit
yang dibutuhkan petani haruslah bekerja sama dengan lembaga bank atau koperasi
dan diawasi atau dikontrol oleh Depkeu. Pemberian dana kredit itu haruslah
dengan persyaratan adaministrasi yang sesederhana mungkin, karena sama-sama
kita ketahui tingkat pendidikan yang rendah oleh petani tidak akan bisa mengikuti
sistem kredit yang sekarang. Penyaluran kredit sebaiknya melalui bank seperti BRI
yang telah jauh menjangkau pelosok tanah air untuk menghindari penyimpangan,
jika hal penyaluran ini diberikan kepada koperasi. Sebagai contoh administrasi yang
sederhana yaitu dengan menunjukan KTP dan surat PBB yang asli untuk
menentukan tingkat plafon pinjaman agar bisa berproduksi optimal.
Persyaratan adminitrasi yang sederhana dan tingkat pinjaman yang wajar ini
harus dilakukan oleh pemerintah untuk menghindari keagresipan tengkulak dalam
memberikan pinjaman pada petani. Karena pengalaman selama ini petani juga
telah meminjam uang kepada tengkulak untuk menggarap lahan pertaniannya
hanya dengan dasar saling percaya dan itu yang harus diimbangi oleh pemerintah
jika kredit itu betul-betul ada sebanyak yang tertera di kertas kebijakan itu uang
yang disediakan. Sebab dari yang kita lihat selama ini petani masih sanggup
mengembalikan pinjaman pada tengkulak walaupun dengan bunga yang tinggi. Dan
ini harus menjadi acuan bagi bank dan pemerintah untuk memberikan pinjaman
pada petani. Mungkin juga ada petani yang tidak bisa mengembalikan pinjamannya
tapi bukan malas mengembalikannya melainkan karena tekanan harga panen yang
rendah, dan juga lantaran gagal panen. Inilah kasus yang ditemui dalam survei PAN
Indonesia di Kabupaten Indramayu, tepatnya Desa Kedokan Agung dan Desa
Kedokan Bundar pada Bulan Maret 2000 (Tjahjadi dan rekan, 2001).
Kredit pertanian ke ternak dan ikan
Bank Indonesia (tanpa tahun, tt) mempertegas gambaran alur di atas. Untuk
sektor pertanian, pinjaman ke sumber bank lebih besar pada komoditas sub sektor
peternakan dan perikanan (sapi perah dan teri nasi), sedangkan pada komoditas
sub sektor tanaman pangan cenderung lebih kecil.
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 9
10. Penelitian oleh CEMSED Fakultas Ekonomi UKSW Salatiga yang dipublikasikan
Bank Indonesia tersebut mendapati bahwa sumber modal eksternal komoditas
pertanian lebih banyak mengandalkan pada sumber LKBB institusi dan informal
yang menawarkan pinjaman dengan pendekatan yang lebih fleksibel sehingga
sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik usahatani. Beberapa sumber ini
memberikan pinjaman dalam bentuk saprodi dan sistem pengembalian mengikuti
ketersediaan cash flow usahatani yang terkait dengan siklus usahatani. Hal ini
ditemui pada kasus komoditas padi sawah, bawang merah dan sapi perah.
Petani padi = swa-investor
Jauh sebelum studi Brahmantio Isdijoso (tt) di halaman awal, untuk melakukan
verifikasi terhadap angka kebutuhan dana untuk program KUT tahun anggaran
1999/2000, sudah tampak gejala, bahwa petani adalah investor swadana. Hal ini
ditunjukkan dari berbagai temuan pantauan lapang PAN Indonesia pada dekade
1990-an hingga 2004 terhadap petani padi yang mayoritas panenannya selalu
termasuk dalam perdagangan beras secara lokal di wilayahnya. Inipun dapat
dikaitkan dengan pernyataan Prof. Sayogyo selang bertahun-tahun kemudian - yang
baru menyatakan: “Kalau anda melihat kondisi saat ini, sebetulnya yang melakukan
budidaya beras itu pengusaha beras atau petani murni, karena kebanyakan dari
petani, kan sudah menjadi buruh tani. Ya, di Jawa, 30% petani menghasilkan 70%
sampai 80% produksi. Sedangkan sebagian besar petani sisanya adalah petani
gurem produksinya hanya 20% sampai 30%. Jadi yang menentukan itu kan
sejumlah kecil petani yang rata-rata memiliki 1 hektar sawah. Sedangkan yang
sebagian besar itu hanya cukup beberapa bulan saja produksinya. Padahal, dia
sendiri kan juga membutuhkan beras untuk komsumsi sendiri. Jadi, mereka juga
menjadi konsumen” (Hapuskan Petani Gurem. Majalah Tropis 2001).
Pantauan lapang PAN Indonesia terhadap petani padi di 3 desa di Kecamatan
Labuhan Maringai Lampung Tengah yang berlangsung dari 22 September sampai 1
Oktober 1995 menunjukkan modal petani adalah swadana (swa-investor). Akses
modal kerja, tak satupun dari 34 responden menyebut lelaki mengeluarkan modal
secara mandiri, sedang 32,35% disediakan oleh perempuan, dan 67,65% berdua -
suami dan isteri, maksudnya (…) Permodalan ini berkaitan dengan penjualan (lihat
tabel pembagian kerja) dan sistem penyimpanan hasil panen (tabel penentuan
keputusan) yang hampir sebagian besar dilakukan perempuan pedesaan.
Siapakah mereka? Separuh 34 responden adalah keluarga besar (extended
family) beranak 4-6 orang, dan semua keluarga itu mempunyai lahan sawah,
ladang, atau keduanya. Luasnya sangat berbeda-beda (…) Yang diwawancarai
secara intensif adalah perempuan (…) , yang benar-benar melakukan pekerjaan
rutin dalam sektor pertanian dan menguasai atau memiliki lahan pertanian berupa
ladang (huma) maupun sawah (sawah rawa). Dari 34 sampel perempuan tersebut 5
petani adalah etnis Lampung asli dan 29 petani transmigran, yakni berasal dari
Jawa Tengah dan Jawa Barat (Terompet No. 17 Tahun IV/1996: Perempuan
10 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
11. Berpengaruh dalam Penyimpanan dan Penjualan Panenan, tapi tidak dapat
Informasi dari PPL dan Pasar).
Masih soal permodalan yang dihadapi oleh petani padi tergambar dari pantauan
lapang terhadap situasi perdagangan beras oleh PAN Indonesia pada tahun 1998 di
49 desa yang tersebar di provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan
Riau. Praktek sistem ijon terdapat pada hampir separuh (47,4%) responden di Jawa
Tengah. dan Jawa Barat, tetapi sedikit sekali terjadi (15,0%) di Sumatera Barat dan
Riau. Pemilik penggilingan padi (huller) membiayai hampir separuh (45,5%) petani
padi di Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sedangkan di Sumatera Barat, dan Riau
modal pribadi lebih banyak berasal dari petani sendiri. Yaitu modal pemilik huller
cuma kurang dari sepertiga (27, 9%), sedangkan modal pribadi lebih dari separuh
(58,1%). Ini adalah modal dalam pengertian diperluas ke dalam konteks Hubungan
petani dan lahan, yang dipilah menjadi (1) pribadi, (2) Campur (petani punya lahan,
modal dari pemilik huller), dan (3) Sewa.
Petani yang melakukan sewa lahan hanya seperlima dari total responden
(22,7%) tetapi yang terbanyak terjadi di Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Adapun
sewa lahan di Sumatera Barat, dan Riau adalah sepersepuluh lebih sedikit (14,0%)
dari total responden. Sebagai catatan terdapat perbedaan yang cukup mencolok
dalam hal hasil panenan: 10 ton beras per tahun di Jawa Tengah, dan Jawa Barat,
sementara di Sumatera Barat, dan Riau adalah 4,523 ton per tahun. Harap maklum
saja, petani responden di Jawa Tengah dan Jawa Barat adalah penduduk desa
berkualifikasi Madya (16 desa), adapun petani Sumatera Barat dan Riau adalah
mewakili Desa yang Masih Terbelakang (33 desa) (PAN Indonesia 1998: Petani
Padi (masih) Malang Nasipmu. Siaran Pers berkenaan dengan Hari Pangan
Sedunia. Jakarta, 15 Oktober 1998; lihat juga Rice Farmers are Still Losser. A
monitoring during Early of August – Early October 1998. Rice Farmers
Situationer by PAN Indonesia with additionals from YLKI. Circulated to
participants of the Seacon Conference on People Responses to Food Crisis in the
Southeast Asia. Kuala Lumpur, Malaysia, February 1999, dan lihat juga di
Terompet No. 21/Tahun IV/1999).
Modal berikut sumber dananya bukan masalah utama bagi mayoritas petani
padi, 68.5% sebagaimana temuan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung oleh
Bustanul Arifin dan rekan pada 1999 (Seacon, 2001) terhadap 61 petani padi
berbenih unggul, dan 191 pedagang beras di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur,
dan Lampung. Seacon (2005) juga mengangkat temuan Biotani PAN Indonesia
(2004) yang menyatakan juga modal berikut sumber dananya bukan masalah
utama bagi petani padi, petani kentang, maupun petani tebu di Jawa Barat. Bagi
petani padi mutlak tidak memerlukan sumber dana bagi modalnya bertani, tetapi
itu kemestian bagi sebagian kecil petani kentang, dan petani tebu. Rincinya, petani
padi 0%, petani kentang 10%, serta petani tebu 16%. Ini konsisten dengan jawaban
lainnya, bahwa sebagian besar (75%) petani responden tidak melakukan
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 11
12. peminjaman uang sebagai modal. Bagi petani sumber dana akan menjadi masalah,
ketika mereka ingin memperluas lahan taninya – seperti yang dikemukakan hampir
sepertiga (32%) total responden. Demikian data dari Laporan Akhir ke BioTani
PAN Indonesia, 23 Januari 2005, sebagai bagian dari penelitian mengenai The
Impact of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on Small Men and Women Farmer
in Indonesia di 4 negara ASEAN yang tergolong “maju” dalam hal perberasan
(Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam).
Manakala dirangkum dalam 4 negara ASEAN “maju”, maka masalah utama
yang dihadapi petani memperoleh jawabannya beragam. Namun petani Vietnam,
terbesar (53,6%) menyatakan soal terbatasnya sumber modal kerja untuk
berproduksi. Petani Indonesia terbesar (39,5%) menyatakan tingginya biaya
produksi, sebagaimana juga halnya dikatakan sebagian kecil petani Malaysia
(12,9%). Sementara itu petani Thailand (26,0%) menyatakan rendahnya harga jual
panenannya. Tetapi masalah terbesar yang dihadapi petani Thailand adalah soal
hutang kepada orang lain (33,6%).
Tabel 4. Masalah utama yang dihadapi petani
What do you consider to be your major problem for small farmer * Crop Crosstabulation
Crop
Paddy Pottato Sugarcane Total
What do indebtedness/owe Count 2 2
you people money % within Crop 1.6% .9%
consider limited sources of capital Count 4 1 5
to be for productions % within Crop
your 3.2% 2.0% 2.1%
major
problem lack of water Count 16 16
for small % within Crop 27.6% 6.9%
farmer calamity/natural disester Count 2 2
% within Crop 1.6% .9%
landlessness/no land Count 3 3
% within Crop 5.2% 1.3%
competition with cheaper Count 16 16
imported products % within Crop 27.6% 6.9%
high production expense Count 61 18 13 92
% within Crop 48.8% 36.0% 22.4% 39.5%
high cost input Count 35 5 40
% within Crop 28.0% 10.0% 17.2%
low price of product Count 15 10 25
% within Crop 12.0% 20.0% 10.7%
high land rental Count 6 6
% within Crop 4.8% 2.6%
no sources of capital for Count 16 10 26
productions % within Crop 32.0% 17.2% 11.2%
Total Count 125 50 58 233
% within Crop 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
Sumber: Hidayat, A.R. (2005) dalam The Impact of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on Small
Men and Women Farmer in Indonesia. Laporan Akhir ke BioTani PAN Indonesia. Jakarta, 23
Januari 2005, lihat juga: Riza V. Tjahjadi (2005) AFTA Indonesia Context Summary (Review and
12 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
13. Compile a Field Research). BioTani Indonesia Foundation. A slideshow presentation. Adelaide, 27
Sept. 2005.
Bagian yang tak kalah penting, dan dapat membantu pamahaman mengapa
petani tidak memerlukan modal dari luar keluarga petani, ialah penyimpanan
benih. Ini dapat dilihat dari besarnya jumlah petani padi (80,o%) yang memiliki
kebiasaan menyimpan benih untuk musim tanam berikutnya, dan petani kentang
(96,o%) , sebaliknya petani tebu (1,7%) di Indonesia, maupun juga dibandingkan
dengan petani padi dalam lingkup 3 negara ASEAN “maju” (Tjahjadi, 2005).
Temuan Brahmantio Isdijoso (tt) - meskipun angkanya tak sampai separuh total
responden petani – hampir disamai oleh petani Filipina (42,3%) sementara petani
Thailand (28,4%), Malaysia (15,0), dan Vietnam (6,0%). Bukan hanya modal dari
mereka sendiri, tetapi mereka pun tetap mentradisikan menyimpan benih sebagai
bagian dari hak petani (Farmers’ Rights) sejak dahulu meskipun mereka tak
mengerti, bahwa itu adalah hak, dan juga soal kompensasi/imbalan dari tradisi itu.
Sebaliknya, di kalangan analis dan perencana penyebaearan benih unggul hanya
memahami, bahwasanya petani daya serapnya rendah terhadap benih berlabel..!
Penelitian ini dilakukan serentak di 4 negara ASEAN “maju” pada bulan Maret
hingga Mei, dan September 2004 silam terhadap petani kecil, yaitu berlahan usaha
tani dengan luas maksimal 3 hektar, dan petani responden adalah telah lebih dari
10 tahun bertani. Di Indonesia lokasi survei lapang terhadap petani dilakukan di
Garut, Pengalengan, Cirebon, dan Subang. Petani responden adalah bertanam padi
(125 orang, terdiri dari perempuan 50 orang, pria 75 orang), tebu (58 orang, 8
perempuan dan 50 pria), serta kentang (50 orang, 20 perempuan dan 40 pria).
Pada tiga negara ASEAN lainnya survei dilakukan pada 3 komoditas juga. Padi,
jagung, dan ikan laut di Filipina, kemudian padi, dan kedele di Thailand, dan
jagung-kopi-biji mete di Vietnam, sementara di Malaysia hanya padi, dan ikan laut
saja.
Status lahan petani gurem dewasa ini di lima negara ASEAN pada umumnya
adalah lahannya sendiri. Petani Vietnam terbesar (98,7%), disusul Malaysia
(60,6%), Thailand (48,6%), Indonesia (46,4%), dan Filipina (33,6%). Tetapi petani
sebagai penyewa pun (leaseholder) tak kalah banyak. Petani Filipina yang terbesar
(36,0%), Malaysia (35,4%), dan Indonesia (33,6%). Adapun Malaysia yang terkecil
(1,2%). Petani Malaysia lebih banyak sebagai penggarap lahan (33,9%), disusul
Filipina (27,3%), dan Indonesia (18,5%).
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 13
14. Tabel 5. Lokasi dan Responden
INDONESIA Target Sample Actual Sample
Respondent Location
Total Sample 250 233
Rice:
1. Garut Male 50 Male 35
Female 35 Female 25
2. Subang Male 25 Male 40
Female 15 Female 25
Total – Rice 125 125
Sugar cane:
1. Cirebon Male 30 Male 50
Female 15 Female 8
2. Subang Male 20 Male 0
Female 10 Female 0
75 58
Total – Sugar cane
Potato:
1. Bandung Male 15 Male 10
Female 10 Female 15
2. Garut Male 15 Male 20
Female 10 Female 5
Total – Potato 50 50
Total Actual 233
Sumber: Riza V. Tjahjadi (2005) Sebagian Besar Petani ASEAN Tak Sadari AFTA. Biotani
PAN Indonesia. Jakarta, 29 Januari 2005.
Dapat ditambahkan, dalam perspektif rantai-nilai (value chain – yang sering
definisikan sebagai sekuensi kegiatan menambahkan nilai, dari tahap produksi
hingga konsumsi, melalui pengolahan dan komersialisasi), jika dikaitkan dengan
temuan Calvin Miller and Carlos da Silva (2007) sejajar dengan temuan lapang
PAN Indonesia tahun 1998 pada petani padi di Jawa Tengah dan Jawa Barat pada
tahun 1998, tetapi tidak sepenuhnya benar dalam temuan Bustanul Arifin dan rekan
(1999) terhadap petani padi di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung - yang
diterbitkan Seacon (2001) - dan juga tidak benar pada temuan Biotani PAN
Indonesia terhadap petani padi di Jawa Barat pada 2004. Besar kemungkinan
rantai perdagangan dan permodalan dari benih ke gabah hingga beras di negara lain
tidak se-njelimet soal saluran, dan para pelakunya (Channels and Actors Involved)
di Indonesia. Miller dan da Silva (2007) menyatakan (…) the case studies found that
millers played the central financing role for rice in Asia and wholesalers were
central in financing within the rice chain in Africa. Adapun pantauan PAN
Indonesia 1998 itu sendiri dimaksudkan untuk melihat interaksi antara Negara dan
swasta dalam perdagangan beras pada tataran petani.
14 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
15. Kredit, info kekinian
Informasi terakhir soal kredit mungkin tidak mudah dipahami kalomatnya oleh
kalangan petani. Begini bunyi ringkasannya: “Subsidi pertanian (pupuk, benih,
kredit) dapat disusun dan diarahkan langsung untuk diterima petani tanpa melalui
subsidi terhadap produknya. “ Demikian kalimat yang bersumber dari Nota
Keuangan dan RAPBN 2010 mengutip BPS: Pendataan Usaha tani (PUT) 2009.
Kantor Menko Perekonomiam/Departemen Keuangan RI. Press Conference. 3
Agustus 2009. Yang jelas, Kementrian Pertanian menempatkan kredit pada urutan
keempat pada Tantangan Pembangunan Pertanian. Isinya: (...) 4) Membuka akses
pembiayaan pertanian dengan suku bunga rendah bagi petani/peternak kecil.
Serupa tetapi lebih bernuansa pelayanan soal modal bagi petani menjadi salah
satu permasalahan yang dikemukakan dalam uraian ringkas oleh Departemen
(Kementrian, kini) Pertanian yang bertajuk Membangun Sistem Pertanian
Indonesia Menuju Swasembada Pangan. Uraian itu menyebutkan Permodalan,
khususnya pelayanan khas untuk petani alam upaya mencapai swasembada pangan.
Dalam uraian itu tercatat jumlah permasalahan pertanian adalah sebanyak 10 butir.
Yang agak mudah dipahami adalah Pedoman Umum Pelaksanaan Pemanfaatan
Dana Kredit untuk Membiayai Sektor Pertanian terbitan Departemen Pertanian
tahun 2006. Petikannya: Salah satu faktor penunjang untuk dapat meningkatkan
produksi dan produktivitas hasil produksi pertanian adalah aspek permodalan.
Dengan modal yang cukup maka para petani dan peternak dapat menerapkan paket
teknologi rekomendasi sehingga produktivitas hasil dapat ditingkatkan dan
akhirnya pendapatan dan kesejahteraan petani dan peternak menjadi lebih baik.
Sumber permodalan yang berasal dari kredit program seperti Kredit Ketahanan
Pangan (KKP) terbatas untuk membiayai komoditas strategis dan hanya untuk
usaha budidaya saja. Oleh karena itu untuk mendukung dan membiayai aspek hulu
dan hilir khususnya untuk membiayai alat dan mesin pertanian maka pemerintah
telah menyediakan Skim Kredit Usaha Mikro dan Kecil (KUMK) yang sumber
dananya berasal dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP). KUMK selain untuk
membiayai usaha budidya tanaman dan peternakan yang belum dibiayai oleh KKP
juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai alsintan, aspek pengadaan saprodi,
sapronak dan pengadaan hasil produksi. Tujuan penyediaan KUMK adalah agar
Usaha Mikro dan Kecil yang berusaha dibidang pertanian dapat lebih mudah
mengakses kredit kepada lembaga perbankan dengan persyaratan yang ringan dan
terjangkau. KUMK ini sudah dapat dimanfaatkan mulai tahun 2004 dengan suku
bunga dibawah suku bunga pasar. Pola penyaluran kreditnya adalah Executing
mengingat resiko kredit sepenuhnya menjadi tanggung jawab perbankan, sehingga
keputusan kredit berada pada lembaga perbankan.
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 15
16. Prioritas pemanfaatan KUMK sektor pertanian adalah untuk membiayai : (1)
usaha budidaya yang belum dibiayai KKP, (2) pengadaan sarana produksi dan
pengadaan hasil produksi, serta (3) alat dan mesin pertanian… dan seterusnya.
Alternatif kredit, sekaligus pasar
Gambaran umum yang kita saksikan di atas pada umumnya petani kecil atau
halusnya dikatakan rumah tangga petani gurem (RPTG) masih bertumpu pada
modal dari keluarganya atau kerabatnya. Sebaliknya setiap kali kita melakukan
wawancara kepada pengusaha terutama pengusaha kecil usaha kecil dan menengah
(UKM), maka jawabnya pasti kekurangan modal, sehingga usahanya tidak maju.
(...) 3. Cara memperoleh Dana yang Dibutuhkan
Seringkali kita memerlukan dana yang lebih besar untuk menjalankan
usaha dibandingkan dengan dana yang kita miliki. guna menjalankan gagasan
kita lebih banyak daripada jumlah yang kita miliki. Kalau hal itu terjadi, tidak
banyak bedanya apakah kita mendekati pihak bank, pemilik modal, investor
pribadi, atau pemerintah. Percayalah, tidak akan ada yang sudi memberi kita
pinjaman atau dukungan modal tanpa sebuah rencana bisnis yang sudah
dipikirkan dengan matang. Akan tetapi kalau kita memiliki rencana semacam
itu, kita akan memperoleh dana yang kita perlukan (Penyusunan Rencana
Usaha, Business Plan. Ebookpangan.com 2006).
Dengan mengutip laporan BPS, Dr. Dibyo Prabowo (2004) menegaskan
kembali bahwa 35,10% UKM menyatakan kesulitan permodalan, kemudian diikuti
oleh kepastian pasar yang cuma sebesar 25,9%, dan kesulitan bahan baku 15,4%.
Jika kita ikuti jawaban tersebut sebenarnya kesulitan permodalan adalah resultante
dari kesulitan mendapatkan kepastian pasar karena ketidakmampuan menjamin
kepastian produksi. Oleh karena itu pemecahan masalah pembiayaan UKM tidak
sebatas masalah kekurangan modal, sehingga diperlukan pemecahan yang
komprehensif. Hal yang mungkin agak kurang dipahami adalah praktek terbaik
dimanapun pembiayaan usaha, terutama pemula, selalu didahului dengan sumber
modal sendiri atau modal keluarga atau jika tidak bersumber dari sudut pandang
Modal.
Kerangka pandang UKM, lalu dibidik oleh sebuah koperasi bernafaskan
syariah disebut populernya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) di satu kota
kecamatan, untuk diancangkan prakteknya bersama petani gurem dalam satu Pola
Kemitraan Terpadu (PKT). Koperasi ini sudah sejak 2006 dalam satu unit usahanya
bergerak dalam sebagai pemasok jagung ke pedagang besar, dan pemasok beras ke
hotel dan restoran. Merasa perlunya penyempurnaan usaha, maka PKT digadang-
gadang oleh BMT ini sebagai unggulan usaha yang berkerangkakan dapat
menggambarkan kesetaraan bagi para pihak.
16 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
17. PKT ini merupakan kerjasama kemitraan dalam bidang usaha melibatkan
empat unsur, yaitu (1) Petani (2) Kelompok Tani, (3) BMT, sebagai lembaga
Pendamping, dan (4) Pemodal tapi bukan orang tani (investor ). Saat ini PKT
sedang bergulir tetapi usianya kurang dari setengah tahun – sehingga identitasnya
tidak saya rinci saat ini.
Perincian 4 unsur itu, ialah petani yang ikut dalam kegiatan usaha ini terdiri
atas (a) Petani yang akan menggunakan lahan usaha pertaniannya untuk
penanaman padi semi organik (b) Petani yang telah melakukan budidaya tanaman
padi semi organik, tetapi ingin meningkatkan skala usahanya. Pokoknya, swadana
petani plus dana dari bukan orang tani - begitulah
Para petani menggabungkan diri dalam kelompok dalam jumlah 10 sampai 25
petani. Sebagai peserta PKT, maka terlebih dahulu ia harus terdaftar menjadi
anggota BMT. Maksudnya, dana yang bisa dicairkan hanya bagi para petani yang
terkoordinir oleh BMT melalui kelompok tani.
Kelompok tani menjalankan usaha layanan bagi para petani anggotanya antara
lain, membantu pengadaan sarana produksi padi (saprodi), penyediaan alat dan
mesin pertanian (Alsintan) seperti traktor tangan, mesin perontok padi, dan mesin
penggilingan padi. Kelompok tani akan mendapatkan pendapatan dari jasa yang
disediakan oleh BMT.
BMT merupakan lembaga inti dalam PKT ini, yang bertanggungjawab penuh
atas kelancaran program mulai dari proses perencanaan, penyediaan saprotan,
pengawasan, pengolahan paska panen sampai kepada pemasaran produk. BMT
bertanggung jawab untuk menyusun laporan kemajuan kepada pihak investor
secara berkala. BMT menyiapkan tenaga teknis untuk melakukan pembinaan teknis
usaha dan membantu dalam pengadaan sarana produksi untuk keperluan petani
(Kelompok tani). Meskipun demikian petani/ kelompok tani dimungkinkan untuk
mengolah hasil panennya, yang kemudian dijual kepada BMT. Selain itu BMT akan
menerima pendapatan dari jasa pengolahan paska panen, pengemasan,
pergudangan, pemasaran, transportasi, dan jasa keuangan.
Dalam pengadaan dana BMT mematok pengembalian dana pinjaman dengan
tenggang masa bebas bayar (grace period) adalah 2 musim tanam (6 bulan), lama
pinjaman 3 tahun dan pembayaran angsuran dan bagi hasil - entah untung atau
rugi (profit lost sharing) - kepada investor dilakukan pada setiap 6 bulan.
Investor bukan orang tani adalah penanam modal bertindak sebagai penggerak
kemitraan berdasarkan adanya kelayakan usaha antara pihak kelompok petani
dengan BMT, kemudian melibatkan diri untuk pengadaan modal kerja berupa
tambahan modal kerja pengadaan saprotan, modal kerja pembelian beras dari
petani, pengadaan alat dan mesin pertanian, dan pengadaan alat transportasi
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 17
18. Investor bukan orang tani ini melakukan analisis terhadap kelayakan aspek-
aspek budidaya (produksi) yang diperlukan, termasuk kelayakan keuangan pihak
investor dalam mengadakan pantauan dan evaluasi. Ia pun harus memastikan
bagaimana pengelolaan dana dan persyaratan lainnya yang diperlukan sehingga
dapat menunjang keberhasilan kegiatan usaha. Skim bagi hasil yang digunakan
untuk pembiayaan ini mendasarkan analisis usaha yang dilakukan oleh BMT.
Dalam pelaksanaannya, investor menyediakan dana sesuai dengan analisis
BMT dan studi kelayakan yang dilakukan oleh investor. Investor mencairkan
dananya melalui BMT yang selanjutnya BMT menyampaikan dana, dan mengelola
dana tersebut secara profesional dan transparan.
Tujuan utama usaha KT ini adalah upaya meningkatkan kesejahteraan petani
melalui peningkatan mutu keanekaragaman hayati biologi regional melalui cara-
cara mengurangi penggunaan energi tinggi (pupuk kimia, racun kimia) dalam
proses produksi pertanian, mengupayakan pengadaan pangan yang kurang
mengandung cemaran kimia bagi konsumen; serta pemberdayaan petani dan
konsumen dalam proses pengambilan keputusan bidang pertanian dan pangan.
Adapun tujuan spesifiknya, ialah (1) mengembangkan hasil produksi tanaman
pangan yang secara kualitas dan kuantitasyang relatif ramah lingkungan dan
membantu meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat petani;
dengan cara mengurangi dampak negatif pada lahan baik fisik kimia dan biologi,
sehingga diharapkan produktivitas lahan meningkat dan terciptanya arah
kestabilan, (2) Mengurangi resistensi dan persistensi hama penyakit akibat
penggunaan pestisida, dengan penekanannya lebih mengarah kepada pengendalian
hayati, (3) Meningkatkan upaya pemulihan kesehatan ekosistem pertanian,
sehingga diharapkan upaya masyarakat dan petani untuk sehat juga meningkat. (4)
Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan berupa sarana produksi dari
luar, sehingga pemanfaatan sumberdaya lokal semakin meningkat, (5)
Meningkatkan pendapatan lain-lain dari sektor pertanian bertradisi ramah
lingkungan melalui sistem budidaya minapadi.
Dengan kata lain PKT adalah Kemitraan Modal & Pasar Bersama. Adapun
sasaran tembaknya: (1) Membantu para petani dalam aspek permodalan, teknologi
budidaya, pengolahan pasca panen dan pemasaran komodatas pertanian sehingga
dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, (2) Menjaga kontinuitas
pasokan pada konsumen, (3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen, (4)
Membantu petani mendapat harga yang optimal, dan (5) Menciptakan lapangan
kerja baru sektor pertanian.
Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), Panduan Deptan
Benih Unggul Bermutu dan sistem tanam
Pemupukan Berimbang & Organik
Pengairan efisien
Alsintan
18 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
19. Komponen Teknologi PTT Padi Sawah
Dasarnya
1) Varietas unggul baru
2) Benih bermutu dan berlabel
3) Peningkatan populasi tanaman melalui tanam pindah jajar legowo
4) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah
5) Pengendalian hama penyakit dengan pendekatan PHT
6) Pemberian bahan organik
Pilihannya
1) Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
2) Penanaman bibit muda (<21 hari)
3) Tanam bibit 1-3 batang per rumpun
4) Pengairan berselang
5) Penyiangan dengan landak atau gasrok
6) Panen tepat waktu, gabah segera dirontok
Perkiraan keuntungan PKT dalam produksi:
1. Produksi Gabah padi semi organik per Ha lahan lebih tinggi hingga mencapai
10 ton dibanding padi konvensional yang hanya 7 ton;
2. Harga jual gabah padi semi organik lebih tinggi sekitar Rp. 2.600 dibanding
padi konvensional yang hanya Rp. 2.400/Kg;
3. Masa tanam padi semi organik hingga dipanen lebih pendek sekitar 90 hari,
dibandingkan dengan padi konvensional sekitar 110 hari.
Adapun kendala dalam pengembangan Padi Semi organik antara lain:
1. Kebiasaan petani dalam mengelola padi konvensional yang instan, yang sangat
berbeda dibandingkan pengelolaan padi semi organik baik dalam pengolahan
lahan, penanganan hama, sampai pemupukan, dsb.
2. Sering terjadi kurangnya ketersediaan benih.
3. Kurangnya sosialisasi dan penyuluhan baik dari pemerintah maupun pihak-
pihak terkait akan pentingnya pengembangan padi semi organik.
Hasil padi semi organik di wilayah kabupaten ini dikenal memiliki kualitas
yang baik. Varietas padi yang dikembangkan yaitu S berkualitas sedang, yaitu agak
pulen, sedikit wangi, dan butirannya agak besar.
PKT ini diharapkan dapat memberikan hasil yang menguntungkan bagi semua
pihak yang mengikatkan diri dalam program kemitraan ini. Adapun pembagian
keuntungan dari program ini adalah:
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 19
20. a. BMT menggunakan dana dari investor dalam hal pembiayaan modal
kerja produksi kepada para petani terutama benih dan pupuk. Dari modal kerja
yang diberikan, para petani wajib membayarnya pada saat panen.
b. Para petani menjual hasil produksi kepada BMT melalui kelompok tani
dengan harga sesuai dengan yang ditentukan dalam MoU yang telah disepakati.
Harga dasar tersebut telah memperhitungkan bagian keuntungan pihak petani.
c. BMT bersama-sama dengan petani menetukan besarnya harga jual
terendah yang akan dijual oleh BMT kepada pembeli. BMT menjual hasil produksi
kepada mitra pemasaran BMT berdasarkan harga yang berlaku. Bila terjadi
kelebihan harga jual yang sangat signifikan, maka selisih harga jual tersebut dibagi
untuk BMT, investor dan petani. Sebagai contoh BMT membuat perjanjian dengan
petani untuk membeli padi semi organik dari petani dengan harga Rp. 4.500/ kg
dan akan dijual kembali oleh BMT dengan harga Rp. 5.000/ kg. Jika ternyata harga
berlaku pada saat itu Rp. 6.000, maka selisih Rp. 1.000/ kg dibagi untuk BMT,
Kelompok Tani dan Petani.
Ilustrasi sederhana skema PKT beras
Gabah Basah 7 ton Penggilingan 3.5 ton Beras siap kirim = 3,43
50% susut ton
1 Ha = 7 ton gabah beras
(termasuk biaya) susut sortir 2%
Basah
Gabah Basah Penggilingan Beras siap kirim = 10 ton
3 Ha = 21 ton, 50% susut bersih utk 3 Ha, atau 35
10 Ha = 70 ton (termasuk biaya) ton utk 10 Ha, …dst
Produksi
Lahan inti jasa fasilitasi jual
Petani
Minimal Pasar:
12 Ha PokTan BMT Hotel,
Petani Jaminan fidusia & Resto
Ditambah Lahan
Dana untuk paket pembiayaan terdiri Paket budi-daya Bagi hasil 50:50, &
Pertanian semi organik, Paket Perdagangan , Paket angsuran pokok
Sektor Pendukung (Alat Pertanian dan Pupuk Organik)
Investor
Analisis Usaha Perdagangan 40 ton Beras: Pengeluaran Rp56.900 jt, penjualan Rp60.900jt.
Keuntungan kotor Rp 4jt. Pembagian keuntungan pada hitungan keuntungan bersihnya.
Modal Perdagangan untuk 40 ton beras (bulan ke 4) 50,400,000 X 4 = 201,600,000 =
Pinjaman selama 14 bulan dari investor ke BMT
20 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
21. Luas lahan yang rencananya diikutsertakan seluas 10 hektar, dengan jumlah
petani 20 orang.
Pembelajaran komitmen
Dalam pantauan pada awal April secara umum menunjukkan indikasi awal,
bahwa arah sudah berkesesuaian dengan tujuan PKT. Namun pada proses awal
terlihat betapa tidak mudahnya membingkai kerangka kemitraan terpadu sambil
meniti, minimal, 2 resiko yang diametrikal. Resiko pembinaan petani – dengan
semangat kerelawanan ornop, dan resiko berbisnis murni – cari untung apapun
potensinya. Beberapa contohnya: Pasokan terbilang lancar dari BMT kepada pasar,
khususnya hotel, dan restoran - setiap kali ada permintaan nyaris terpenuhi dengan
batas keterlambatan 1-2 hari saja. Hanya saja untuk pasar yang bersifat pasar
khusus belum tergarap. Namun yang getir, ialah ketika harga jual beras di pasar
lokal masih menggiurkan bagi petani peserta, maka menimbulkan persoalan
tersendiri. Contohnya pembelian secara tunai oleh BMT kepada petani peserta lebih
sering “terkocok” oleh kenaikan harga lokal, yang mau tak mau harus dipenuhi oleh
BMT kepada petani.
Pada sisi semangat, ketika PKT dimulai, rekan pegiat BMT dihimpit pemahaman
"halo effect" dari kabar yang tersebar di kalangan petani - yang intinya pemasaran
padi organik wilayah itu dewasa itui tidak jauh berbeda dengan pemasaran padi
konvensional. Hal ini didasarkan pada banyaknya lembaga dan perusahaan yang
bersedia menampung, bahkan sudah melakukan permintaan padi organik, di
antaranya PT. Berindo (Anak Perusahaan Bulog), swalayan, CV. DP, Dewan Tani
Indonesia ( DTI ), rumah makan di ibukota provinsi, dan para calon pedagang
eceran beras organik. Permintaan dari berbagai lembaga atau perusahan tersebut
masih belum bisa terpenuhi oleh produksi yang ada saat ini. Namun kabarnya
dalam bayangan petani ialah apabila pada suatu saat terjadi kelebihan produksi
padi organik, maka kelebihan ini dapat diekspor dengan iming-iming harga yang
sangat menarik - meskipun entah bagaimana para petani akan memahami, dan
menyetujui cara-cara penetapan suatu batasan awal guna menentukan harga dasar
beras organik di tempat itu.
Hal lainnya, penyusutan dari gabah ke beras jauh lebih besar dari perhitungan
semula. Dan, yang cukup mengejutkan, pada sisi keuangan secara akumulatif
terjadi ketekoran yang lumayan nilainya, sehingga besar kemungkinan jatuh
temponya berbagi keuntungan untuk kali pertama dalam waktu dekat ini, adalah
berbagi kerugian (profit lost sharing) antara BMT dan investor.
Pengalaman awal yang getir ini tentu akan melecut semangat untuk melakukan
berbagai perbaikan pada perjalanan berikutnya demi dapat meraih keuntungan bagi
para pihak. Salah satu yang sudah tampak adalah dibuatnya satu unit toko
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 21
22. penjualan beras secara eceran, yang dimaksudkan juga sebagai instrumen
pemantau harga beras lokal.
Itulah gambaran upaya kecil dan bukan model baru dari segelintir rekan yang
tengah berupaya memecahkan masalah modal yang mungkin saja petani padi,
ketika mereka ingin menambahkan nilai pada rantai produksinya, termasuk di
antaranya mengkritisi antara kewajiban dan hak petani dengan membedah
Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Perijinan Usaha Budidaya Tanaman.
Semoga saja mereka menapaki titian menuju arah suatu kesuksesan di masa
depan.
27 April 2010
22 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010
23. Rujukan
Arif R. Hidayat (2005) The Impact of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) on Small
Men and Women Farmer in Indonesia. Laporan Akhir ke BioTani PAN Indonesia
kepada Southeast Asian Council for Food Security and Fair Trade (SEA Council).
Jakarta, 23 Januari 2005.
Aurora Alarde-Regalado (2005) Impact of AFTA on ASEAN Economies & Small
Producers. Southeast Asian Council for Food Security and Fair Trade (SEA Council)
Selangor D. E., Malaysia. 2005.
Bank Indonesia (tanpa tahun) Hasil Penelitian Peran Lembaga Keuangan Bank dan
Non Bank dalam Pembiayaan Komoditas Terpilih UMKM dari Tiga Sektor
Penyumbang PDRB Terbesar di Jawa Tengah. Bank Indonesia. Tanpa tahun.
Merupakan executive summary Hasil Penelitian Kantor Bank Indonesia Semarang
bekerjasama dengan Center for Micro and Small Enterprise Dynamics (CEMSED)
Fakultas Ekonomi UKSW Salatiga.
Brahmantio Isdijoso (tanpa tahun, tt) Perkiraan Plafond Kredit Usaha Tani (KUT)
Pada Tahun Penyediaan (TP) 1999/2000. Depertemen keuangan.
Bustanul Arifin, Achmad Munir, Enny Sri Hartati, and Didik J. Rachbini (1999)
Food Security and Markets in Indonesia: State-Private Sector Interaction in Rice
Trade. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Jakarta,
October 22, 1999; lihat juga, judul sama. Management and Organizational for
Empowerment (Mode), Inc. and Southeast Asia Council for Food Security and Fair
Trade (Seacon). 2001
Calvin Miller and Carlos da Silva (2007) Value Chain Financing in Agriculture.
Southeast Asian Regional Conference on Agricultural Value Chain Financing
Conference Proceeding. December 12–14, 2007 Kuala Lumpur, Malaysia. Asian
Productivity Organization (APO)
Departemen Pertanian (2006) Pedoman Umum Pelaksanaan Pemanfaatam Dana
Kredit untuk Membiayai Sektor Pertanian. Pusat Pembiayaan Pertanian, Sekretariat
Jenderal Departemen Pertanian, 2006.
PAN Indonesia (1998) Petani Padi (masih) Malang Nasipmu. Siaran Pers berkenaan
dengan Hari Pangan Sedunia. Jakarta, 15 Oktober 1998; lihat juga Rice Farmers
are Still Losser. A monitoring during Early of August – Early October 1998. Rice
Farmers Situationer by PAN Indonesia with additionals from YLKI. Circulated to
participants of the Seacon Conference on People Responses to Food Crisis in the
Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010 23
24. Southeast Asia. Kuala Lumpur, Malaysia. February 1999, dan lihat juga di
Terompet No. 21/Tahun IV/1999).
PAN Indonesia (2001) Harga Beras Murah, KUT dikemplang? konspirasi
Tengkulak Apakah sudah dilupakan dalam URUS KUT? Ulasan PAN Indonesia.
Jakarta 20 Februari 2001,
Riza V. Tjahjadi (1992) Hasil Penelitian di 17 Desa Terhadap Kebijakan Pangan.
Laporan Penelitian kepada Walhi Jakarta, dan juga kepada PAU UGM. Yogyakarta.
PAN Indonesia. Jakarta, 21 Oktober 1992.
Riza V. Tjahjadi, Agus Salim, Efendi YS (2001) Implementasi dan Dampak
Perjanjian Pertanian (AoA) WTO Bagi Indonesia. Tinjauan Pada Perubahan
Kebijakan dan Situasi Lapang (Khusus Pada Beras dan Petani Padi). Laporan Studi
Penjajakan. PAN Indonesia. Jakarta, 31 Januari 2001.
Riza V. Tjahjadi (2005) Sebagian Besar Petani ASEAN Tak Sadari AFTA. Biotani
PAN Indonesia. Jakarta, 29 Januari 2005.
Riza V. Tjahjadi (2005) AFTA, Indonesia Context Summary (Review and Compile a
Field Research). BioTani Indonesia Foundation. Adelaide, 27 Sept. 2005
Terompet No. 17 Tahun IV/1996: Perempuan Berpengaruh dalam Penyimpanan
dan Penjualan Panenan, tapi tidak dapat Informasi dari PPL dan Pasar. Kalawarta
PAN Indonesia. Jakarta, 1996.
☺ Riza V. Tjahjadi, direktur eksekutif Biotani & Bahari Indonesia, salah seorang
pendiri Seacon, dan anggota Badan Pengarah Jaker PO (2005-2008, 2008-2011),
pengenal dan pemrakarsa sertifikasi pertanian organik bagi ornop di Indonesia.
24 Riza V. Tjahjadi/ Petani dan akses kredit/Makalah 27 April 2010