Biotani Bahari Indonesia turut menandatangani petisi ini, dan hadir sejenak dalam diskusi Pakar dengan tema Membangun Indonesia dengan Keadilan Agraria di Hotel Bidakara pada Kamis, 7 Februari 2013
Keadilan Agraria, Forum
1. Surat
Terbuka
Forum
Indonesia
untuk
Keadilan
Agraria
kepada
Presiden
Republik
Indonesia
untuk
Penyelesaian
Konflik
Agraria
Bapak
Presiden
yang
kami
hormati,
Setelah
mengikuti
dengan
saksama
perkembangan
yang
terjadi
akhir-‐akhir
ini
terkait
dengan
konflik
agraria
di
berbagai
wilayah
kepulauan
Indonesia,
maka
kami
sebagai
pengajar,
peneliti
dan
pemerhati
studi
agraria
di
Indonesia
yang
bergabung
dalam
Forum
Indonesia
untuk
Keadilan
Agraria,
menyatakan
keprihatinan
yang
mendalam.
Berdasarkan
kajian,
pengalaman
dan
pengamatan
kami
terhadap
persoalan
agraria,
kami
sampaikan
pendapat
dan
usulan
kepada
Bapak,
sebagaimana
butir-‐butir
di
bawah
ini.
1. Pembukaan
Undang-‐undang
Dasar
1945
menyatakan
tujuan
pembentukan
Pemerintahan
Negara
Indonesia
antara
lain
adalah
untuk
melindungi
segenap
bangsa
Indonesia
dan
seluruh
tumpah
darah
Indonesia.
Berdasarkan
tujuan
tersebut
implementasi
Pasal
33
ayat
(3)
UUD
1945
sepenuhnya
menjadi
tanggung
jawab
negara.
Penguasaan
bumi,
air
dan
kekayaan
alam
yang
terkandung
di
dalamnya
adalah
untuk
sebesar-‐besar
kemakmuran
rakyat
baik
untuk
generasi
saat
ini
maupun
masa
mendatang
yang
harus
dimaknai
ke
dalam
empat
prinsip:
(i)
kemanfaatan
dan
pemerataan
sumberdaya
alam
bagi
rakyat;
(ii)
perlindungan
atas
hak
azasi
manusia;
(iii)
partisipasi
rakyat
dalam
menentukan
akses,
alokasi
dan
distribusi
sumberdaya
alam,
serta;
(iv)
penghormatan
terhadap
hak
rakyat
secara
turun-‐temurun
dalam
memanfaatkan
sumberdaya
alam.
2. Fungsi
legislasi,
regulasi,
perencanaan,
dan
alokasi
pemanfaatan
serta
pengendalian
pemanfaatan
ruang
dan
penguasaan
tanah
dan
sumberdaya
alam
oleh
negara
harus
berlandaskan
pada
mandat
yang
diberikan
oleh
UUD
1945
yang
sudah
ditetapkan
pada
angka
1
yaitu
untuk
sebesar-‐besarnya
perlindungan
terhadap
hak-‐hak
bangsa
Indonesia,
termasuk
kelompok
masyarakat
rentan,
yakni
masyarakat
hukum
adat,
golongan
miskin,
perempuan,
petani
dan
nelayan.
3. Pembangunan
ekonomi
yang
sehat
memerlukan
penataan
penguasaan
dan
pemanfaatan
tanah
dan
sumber
daya
alam
yang
adil
dan
berkelanjutan
sebagai
basis
penguatan
ekonomi
rakyat.
Demikian
pula
diperlukan
partisipasi
masyarakat
secara
hakiki.
Untuk
mencapai
hal
tersebut,
diperlukan
kemauan
politik
yang
sungguh-‐sungguh
dan
konsisten
serta
jaminan
perlindungan
hukum
yang
nyata
terhadap
kelompok
masyarakat
rentan,
utamanya
masyarakat
tak
bertanah
(tunakisma)
dan
tidak
memiliki
akses
terhadap
tanah
dan
sumberdaya
alam.
4. Reformasi
hukum
dan
kebijakan
yang
komprehensif
yang
mengacu
pada
prinsip-‐
prinsip
pembaruan
agraria
dan
pengelolaan
sumberdaya
alam
belum
1
2. dilaksanakan.
Empat
hal
mengindikasikan
situasi
ini:
i)
adanya
beberapa
ketentuan
dalam
undang-‐undang
yang
bertentangan
dengan
UUD
1945;
(ii)
adanya
ketidak-‐harmonisan
dan
ketidak-‐sinkronan
diantara
peraturan
perundang-‐undangan
yang
mengatur
tentang
sumberdaya
alam
dan
lingkungan
hidup;
iii)
adanya
ketidak-‐sinkronan
antara
peraturan
perundangan-‐undangan
sumberdaya
alam
dan
lingkungan
dengan
peraturan
yang
mendukung
percepatan
pertumbuhan
ekonomi;
iv)
banyaknya
peraturan
daerah
yang
bersifat
eksploitatif
dan
bermotif
kepentingan
jangka
pendek.
Sebagai
akibatnya,
keberlanjutan
pembangunan
Indonesia
terancam.
Bencana
lingkungan
dan
degradasi
sumber
daya
alam
meluas
ke
berbagai
wilayah
Indonesia.
5. Kebijakan
dan
praktik
penerbitan
izin,
khususnya
bagi
usaha
skala
besar,
yang
ada
selama
ini
–
di
satu
pihak
-‐-‐
belum
mengindahkan
prinsip
hukum
dan
tata
kelola
yang
baik,
sarat
korupsi,
melampaui
daya
dukung
lingkungan,
tidak
mengakui
hak-‐hak
dan
membatasi
akses
kelompok
masyarakat
rentan
utamanya
mereka
yang
tidak
bertanah
(tunakisma).
Di
lain
pihak,
terdapat
konsentrasi
penguasaan
tanah
pada
segelintir
orang/badan
hukum
yang
mengakibatkan
lebarnya
kesenjangan
penguasaan
dan
pemilikan
tanah.
Demikian
pula
terdapat
sejumlah
perjanjian
investasi
dan
perdagangan
bilateral
dan
multilateral
yang
berseberangan
dengan
semangat
keberlanjutan
sosial
dan
lingkungan
hidup.
6. Masalah-‐masalah
pada
angka
4
dan
5
tersebut
menjadi
penyebab
muncul,
bereskalasi
dan
tidak
terselesaikannya
konflik
agraria
serta
tidak
diatasinya
kerusakan
sumberdaya
alam
dan
lingkungan
hidup.
Penyelesaian
konflik
lebih
mengedepankan
penyelesaian
legal
formal
dengan
mengabaikan
keadilan
substantif.
Akibatnya,
konflik
agraria
justru
semakin
meningkat.
Sebagai
gambaran,
Badan
Pertanahan
Nasional
(BPN)
RI
menyatakan
ada
sekitar
8.000
konflik
pertanahan
yang
belum
terselesaikan.
Sawit
Watch
menyebutkan
adanya
sekitar
660
konflik
di
perkebunan
kelapa
sawit
dan
Koalisi
Rakyat
untuk
Keadilan
Perikanan
(KIARA)
menyebut
konflik
agraria
di
sektor
perikanan
sepanjang
2012
melibatkan
sedikitnya
60
ribu
nelayan.
Sementara
Konsorsium
Pembaruan
Agraria
(KPA)
menemukan
sekitar
1.700
konflik
agraria,
mencakup
kasus-‐kasus
perkebunan,
kehutanan
dan
pertambangan.
Khusus
di
tahun
2012,
KPA
mencatat
156
petani
ditahan
tanpa
proses
hukum
yang
benar,
55
orang
terluka
dan
dianiaya,
25
petani
tertembak
dan
3
orang
tewas
akibat
konflik
agraria.
7. Konflik
agraria
semakin
tidak
terdeteksi
secara
dini
karena
belum
optimalnya
penanganan
pengaduan
konflik.
Di
samping
itu,
konflik
bereskalasi
karena
tindak
kekerasan
yang
diduga
dilakukan
oleh
aparat
keamanan
yang
seharusnya
berdiri
di
atas
semua
pihak,
tetapi
pada
umumnya
justru
melindungi
kepentingan
pemodal
dengan
cara
yang
patut
diduga
bekerja
sama
dengan
perusahaan-‐perusahaan
besar
untuk
menguasai
tanah/sumber
daya
alam
yang
diklaim
oleh
masyarakat
hukum
adat
atau
masyarakat
lokal
lain.
8. Pembangunan
Indonesia
yang
berprinsip
pada
keseimbangan
pertumbuhan
ekonomi,
keadilan
sosial,
kesetaraan,
dan
pelestarian
fungsi
lingkungan
tidak
akan
mencapai
tujuannya
jika
konflik
agraria
tidak
diselesaikan
atau
diselesaikan
hanya
dengan
cara
represif.
Untuk
mendukung
hal
tersebut
diperlukan
kemauan
politik
yang
kuat,
sungguh-‐sungguh,
konsisten,
progresif,
dan
memberikan
perlindungan
kepada
kelompok
rentan;
disertai
implementasi
2
3. kebijakan
yang
tepat
dengan
dukungan
akademisi,
masyarakat
madani,
dan
aparat
keamanan.
9. Terkait
dengan
butir-‐butir
pandangan
di
atas,
kami
mengusulkan
kepada
Bapak
Presiden
hal-‐hal
berikut.
A. Melaksanakan
seluruh
arah
kebijakan
dan
mandat
Ketetapan
MPR
RI
No.
IX/MPR/2001
tentang
Pembaruan
Agraria
dan
Pengelolaan
Sumberdaya
Alam
secara
konsisten
dan
memantau
pelaksanaannya
secara
transparan,
berkelanjutan
dan
akuntabel
dengan
membentuk
jaringan
pemantau
antar
pemangku
kepentingan.
B. Mengupayakan
penyelesaian
konflik
agraria
secara
berkesinambungan,
intensif
dan
terkoordinasi
dengan
cara:
1. Membentuk
lembaga
independen
dengan
tugas:
a) Mendaftar,
mengadministrasikan
dan
memverifikasi
kasus-‐kasus
konflik
agraria
yang
diadukan
oleh
kelompok
masyarakat
secara
kolektif;
b) Melakukan
audit
atas
ijin-‐ijin
pemanfaatan
tanah
dan
sumberdaya
alam
yang
diberikan
Kementerian,
Lembaga
dan
Pemerintah
Daerah
yang
menimbulkan
konflik-‐konflik
agraria;
c) Membuat
dan
menyampaikan
rekomendasi
penyelesaian
kasus-‐
kasus
konflik
agraria
tersebut
kepada
para
pihak
yang
terlibat
di
dalam
konflik;
d) Memfasilitasi
penyelesaian
konflik
melalui
mediasi,
negosiasi
dan
arbitrasi;
e) Melakukan
sosialisasi,
koordinasi
dan
kerjasama
dengan
kementerian
dan
lembaga
pemerintah
non-‐Kementerian.
2. Mendorong
Kepala
Pemerintah
Daerah
Provinsi/Kabupaten/Kota
untuk:
a) Identifikasi
dan
inventarisasi
konflik-‐konflik
yang
sedang
berlangsung
serta
deteksi
dini
potensi
konflik
pengelolaan
sumberdaya
alam;
b) Fasilitasi
proses-‐proses
penyelesaian
konflik
agraria
yang
berlangsung
di
daerah
masing-‐masing;
c) Identifikasi
dan
verifikasi
masyarakat
hukum
adat
dalam
rangka
pengakuan
terhadap
keberadaan
masyarakat
hukum
adat.
3. Merevisi
Instruksi
Presiden
(Inpres)
No.2
Tahun
2013
tentang
Penanganan
Gangguan
Keamanan
Dalam
Negeri
karena:
(i)
Inpres
ini
lebih
fokus
pada
penyelesaian
konflik
yang
timbul
di
permukaan
melalui
pendekatan
keamanan
tetapi
tidak
mengupayakan
tindakan
korektif
terhadap
akar
konfliknya;
(ii)
Inpres
ini
tidak
dapat
digunakan
untuk
menyelesaikan
konflik
agraria
karena
tidak
melibatkan
menteri-‐menteri
terkait
dengan
pengelolaan
sumber
daya
alam.
4. Memerintahkan
Kapolri
dan
Panglima
TNI
untuk:
a) Mengusut
tuntas
tindak
kekerasan
yang
dilakukan
oleh
aparat
Polri/TNI
terhadap
masyarakat
dan
aktivis
LSM
terkait
dengan
konflik-‐konflik
agraria;
b) Menghentikan
penggunaan
cara-‐cara
kekerasan
oleh
aparat;
dan
c) Membebaskan
aktivis
LSM
warga
masyarakat
hukum
adat,
petani
3
4. dan
nelayan
yang
saat
ini
ditangkap
dan
ditahan
oleh
aparat
kepolisian.
C. Menugaskan
Menteri
Hukum
dan
Hak
Asasi
Manusia
untuk
memimpin
pengkajian
ulang
terhadap
seluruh
peraturan
perundang-‐undangan
di
bidang
agraria
dan
pengelolaan
sumberdaya
alam
yang
tumpang
tindih
dan
bertentangan
satu
sama
lain,
dengan
melibatkan
akademisi
dan
masyarakat
madani.
Pengkajian
ulang
dilakukan
berlandaskan
prinsip-‐prinsip
Pembaruan
Agraria
dan
Pengelolaan
Sumberdaya
Alam.
Dalam
rangka
pengkajian
ulang
perlu
diterbitkan
Peraturan
Presiden
sebagai
landasan
moratorium
penyusunan
peraturan
perundangan-‐undangan
di
bidang
agraria
dan
sumberdaya
alam.
Menteri
Hukum
dan
Hak
Asasi
Manusia
mengkoordinasikan
revisi
peraturan
perundang-‐undangan
yang
dimaksud.
D. Menugaskan
kepada
Pimpinan
kementerian
terkait
dengan
sumberdaya
agraria
dan
Badan
Pertanahan
Nasional
untuk:
a) Melakukan
moratorium
pemberian
ijin
pemanfaatan
sumberdaya
alam
atau
hak
atas
tanah
selama
dilakukan
audit
oleh
lembaga
independen;
b) Mengembangkan
dan
melaksanakan
kebijakan
yang
dapat
mencegah
dampak
negatif
terhadap
lingkungan
hidup
dan
konflik
agraria;
c) Melaksanakan
Undang-‐Undang
Nomor
14
Tahun
2008
tentang
Keterbukaan
Informasi
Publik.
E. Mendorong
Kementerian
terkait
dan
Badan
Pertanahan
Nasional
untuk:
a) Mendukung
percepatan
pembentukan
Undang-‐Undang
yang
mengatur
tentang
Pengakuan
dan
Perlindungan
Masyarakat
Hukum
Adat;
b) Mendukung
Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota
melakukan
proses
identifikasi
dan
verifikasi
keberadaan
masyarakat
hukum
adat.
F. Menugaskan
kepada
Menteri
Kehutanan
untuk
segera
menyelesaikan
konflik
pada
desa-‐desa
di
dalam,
berbatasan
dan
sekitar
kawasan
hutan.
G. Membentuk
kementerian
yang
bertanggung
jawab
mengkoordinasikan
kebijakan
dan
implementasi
kebijakan
di
bidang
pertanahan,
sumberdaya
alam
dan
lingkungan
hidup.
Jakarta
7
Februari
2013
Forum
Indonesia
untuk
Keadilan
Agraria
(nama-‐nama
terlampir)
4
5.
Lampiran
nama-‐nama:
1. Prof.
Dr.
Sediono
M.P.
Tjondronegoro
(Sajogyo
Institute)
2. Prof.
Dr.
Gunawan
Wiradi
(Sajogyo
Institute)
3. Prof.
Dr.
Maria
S.W.
Sumardjono,
S.H.,
MCL,
MPA
(Universitas
Gadjah
Mada)
4. Prof.
Arie
Sukanti
Hutagalung,
S.H.,
MLI
(Universitas
Indonesia)
5. Prof.
Soetandyo
Wignjosoebroto,
MPA
(Universitas
Airlangga)
6. Prof.
Dr.
Nurhasan
Ismail,
S.H.,
M.Si
(Universitas
Gadjah
Mada)
7. Prof.
Dr.
Ir.
Hariadi
Kartodihardjo
(Institut
Pertanian
Bogor)
8. Prof.
Dr.
Suhariningsih,
S.H.,
SU
(Universitas
Brawijaya)
9. Dr.
Ida
Nurlinda,
S.H.,
M.H.
(Universitas
Padjadjaran)
10. Dr.
Soeryo
Adiwibowo
(Institut
Pertanian
Bogor)
11. Prof.
Dr.
Hj.
Farida
Patittingi,
S.H.,
M.Hum
(Universitas
Hasanuddin)
12. Prof.
Dr.
Ronald
Z.
Titahelu,
S.H.,
M.S
(Universitas
Pattimura)
13. Prof.
Dra.
M.A.
Yunita.
T.
Winarto,
M.S.,
M.Sc,
Ph.D
(Universitas
Indonesia)
14. Prof.
Dr.
Endriatmo
Sutarto
(Institut
Pertanian
Bogor)
15. Prof.
Dr.
Muhammad
Bakri,
S.H.,
M.S
(Universitas
Brawijaya)
16. Prof.
Dr.
Ir.
Joenil
Kahar
(Institut
Teknologi
Nasional
Bandung)
17. Prof.
Dr.
Ir.
Udiansyah,
M.S
(Universitas
Lambung
Mangkurat)
18. Myrna
A.
Safitri,
Ph.D
(Universitas
Presiden)
19. Dr.
Kurnia
Warman,
S.H.,
M.Hum
(Universitas
Andalas)
20. Dr.
Abdul
Wahib
Situmorang
(Universitas
Sriwijaya)
21. Dr.
Taqwaddin
Husin,
S.H.,
S.E.,
M.S
(Universitas
Syiah
Kuala)
22. Noer
Fauzi
Rachman,
Ph.D
(Sajogyo
Institute)
23. Dr.
Satyawan
Sunito
(Institut
Pertanian
Bogor)
24. Mia
Siscawati,
Ph.D
(Sajogyo
Institute)
25. Joeni
Arianto
Kurniawan,
S.H.,
M.A
(Universitas
Airlangga)
26. P.
Donny
Danardono,
S.H.,
M.A
(Unika
Soegijapranata)
27. Awaluddin
Marwan,
S.H.,
M.H.,
M.A
(Universitas
Diponegoro)
28. Feri
Amsari,
S.H.,
M.H
(Universitas
Andalas)
29. Yance
Arizona,
S.H.
M.H
(Epistema
Institute)
30. Mumu
Muhajir,
S.H
(Epistema
Institute]
31. R.
Herlambang
Perdana
Wiratraman,
S.H.,
M.A
(Universitas
Airlangga)
32. Lilis
Mulyani,
S.H.,
LL.M
(Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia)
33. Dr.
Herry
Yogaswara,
M.A
(Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia)
34. Dr.
Abdul
Aziz,
SR,
M.Si
(Center
for
Election
and
Political
Party,
FISIP
UI)
35. Andiko,
S.H.,
M.H
(Peneliti,
HuMa)
36. Feby
Ivalerina
Kartikasari,
S.H.,
LL.M
(Unika
Parahyangan)
37. Deni
Bram,
S.H.,
M.H.
(Universitas
Pancasila)
38. Tristam
P.
Moeliono,
Ph.D
(Unika
Parahyangan)
39. Armen
Yasir,
S.H.,
M.Hum
(Universitas
Lampung)
40. Maret
Priyanta,
S.H.,
M.H
(Universitas
Padjadjaran)
41. Hengki
Andora,
SH.,
LL.M
(Universitas
Andalas)
42. Dr.
Christine
Wulandari
(Universitas
Lampung)
43. A.
Joni
Minulyo,
S.H.,
M.H
(Unika
Parahyangan)
44. Dr.
Cornelius
Tangkere,
S.H.,
M.H
(Universitas
Sam
Ratulangi)
45. Rosnidar
Sembiring,
S.H.,
M.Hum
(Universitas
Sumatera
Utara)
46. Dr.
Shidarta,
S.H.,
M.Hum
(Universitas
Bina
Nusantara)
47. Dr.
Hufron,
S.H.,
M.H
(Pusat
Studi
Hukum
dan
Desentralisasi)
5