SlideShare a Scribd company logo
1 of 8
Download to read offline
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
DIAGNOSIS EPILEPSI
Oleh : Utoyo Sunaryo
Bagian Neurologi FK UWKS
RSUD Dr Moh . Saleh Kota Probolinggo
ABSTRACT.
The diagnosis of epilepsy is problematic because the routine diagnosis of epilepsy is therefore clinical, and
requires specific clinical knowledge and skills. Recognizing and correctly diagnosing seizures can lead to a
number of effective treatments. In the majority of patients with epilepsy, diagnosis can be made with a detailed
neurologic history and examination, an EEG, and brain imaging. However, in certain patients, diagnosis requires
recording the seizures during inpatient video-EEG monitoring. This article explains an approach for diagnosing
and evaluating this epilepsy patient’s population in the clinics.
Key words: diagnosis of epilepsy, etiology, classification of seizures, classification of epilepsy
syndromes.
ABSTRAK.
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan
pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis
yang benar dapat menjadikan pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat
dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit , pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan
elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi tertentu diperlukan pemeriksaan
melalui rekaman video – EEG. Makalah ini menjelaskan suatu pendekatan cara membuat diagnosis dan evaluasi
pasien epilepsi yang datang berobat ke klinik.
Kata kunci: diagnosis epilepsi, etiologi, klasifikasi serangan kejang, klasifikasi sindrom epilepsi.
PENDAHULUAN
Salah satu masalah dalam penanggulangan
epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis
epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai
diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu
(Mardjono 2003). Diagnosis dan pengobatan
epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab
pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat
dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat
pula (Oguni 2004). Diagnosis epilepsi
berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang
karakteristik , jadi membuat diagnosis tidak
hanya berdasarkan dengan beberapa hasil
pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru
informasi diperoleh sesudah melakukan
wawancara yang lengkap dengan pasien maupun
saksi mata yang mengetahui serangan kejang
tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan
pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu
diperkirakan diagnosis epilepsi telah dibuat
barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan
untuk memastikan diagnosis dengan mencari
penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis
serangan kejang dan sindrom epilepsi
(Anonymous 2003).Tujuan penulisan makalah
ini adalah membahas bagaimana cara – cara
menentukan diagnosis epilepsi yang baik dan
cermat.
ANAMNESIS .
Langkah awal adalah menentukan
untuk membedakan apakah ini serangan
kejang atau bukan , dalam hal ini
memastikannya biasanya dengan melakukan
wawancara baik dengan pasien, orangtua atau
orang yang merawat dan saksi mata yang
mengetahui Alamat Korespondensi. Dr Utoyo
Sunaryo Sp.S RSUD Dr Mohamad Saleh , Jalan
Mayjen Panjaitan 65 Kota ProbolinggoTelp :
0335-433119, fax: 0335-432702. serangan
kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang
perlu diajukan adalah untuk menggambarkan
kejadian sebelum , selama dan sesudah
serangan kejang itu berlangsung. Dengan
mengetahui riwayat kejadian serangan kejang
tersebut biasanya dapat memberikan informasi
yang lengkap dan baik mengingat pada
kebanyakan kasus , dokter tidak melihat sendiri
serangan kejang yang dialami pasien
(Ahmed,Spencer 2004, Mardjono 2003).
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai
berikut (Ahmed,Spencer 2004, Hadi 1993,
Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003 )
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang
yang pertama kali selama ini? Usia serangan
dapat memberi gambaran klasifikasi dan
penyebab kejang. Serangan kejang yang
dimulai pada neonatus biasanya penyebab
sekunder gangguan pada masa perinatal,
kelainan metabolik da malformasi kongenital.
Serangan kejang umum cenderung muncul
pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia
sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang
biasanya ada kemungkinan mempunyai
kelainan patologis di otak seperti stroke atau
tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam
peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan
kejang terjadi? Gejala peringatan yang
dirasakan pasien menjelang serangan kejang
muncul disebut dengan “aura” dimana suatu
“aura” itu bila muncul sebelum serangan
kejang parsial sederhana berarti ada fokus di
otak. Sebagian “ aura” dapat membantu
dimana letak lokasi serangan kejang di otak.
Pasien dengan epilepsi lobus temporalis
dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada
sensasi yang tidak enak di lambung,
gringgingen yang mungkin merupakan
epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan
penglihatan sementara mungkin dialami oleh
pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului
dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat
gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika
“aura” dilaporkan oleh pasien sebelum
serangan kejang umum, sebaiknya dicari
sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang
berlangsung? Bila pasien bukan dengan
serangan kejang sederhana yang kesadaran
masih baik tentu pasien tidak dapat
menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu
wawancara dilakukan dengan saksi mata
yang mengetahui serangan kejang
berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan
kepala kesatu sisi? Apakah pada awal
serangan kejang terdapat gejala aktivitas
motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh?
Apakah pasien dapat berbicara selama
serangan kejang berlangsung? Apakah
mata berkedip berlebihan pada serangan
kejang terjadi? Apakah ada gerakan
“automatism” pada satu sisi ? Apakah ada
sikap tertentu pada anggota gerak tubuh?
Apakah lidah tergigit? Apakah pasien
mengompol ? Serangan kejang yang
berasal dari lobus frontalis mungkin dapat
menyebabkan kepala dan mata deviasi
kearah kontralateral lesi. Serangan kejang
yang berasal dari lobus temporalis sering
tampak gerakan mengecapkan bibir dan
atau gerakan mengunyah. Pada serangan
kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang
berlebihan dan gangguan penglihatan.
Lidah tergigit dan inkontinens urin
kebanyakan dijumpai dengan serangan
kejang umum meskipun dapat dijumpai
pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah
serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung
adalah dikenal dengan istilah “post ictal
period ” Sesudah mengalami serangan
kejang umum tonik klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran
yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan
kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut
“Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan
adanya fokus patologis di otak. Afasia
dengan tidak disertai gangguan kesadaran
menggambarkan gangguan berbahasa di
hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas
tidak ada gangguan disorientasi setelah
serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24
jam sehari? Serangan kejang tonik klonik
dan mioklonik banyak dijumpai biasanya
pada waktu terjaga dan pagi hari.
Serangan kejang lobus temporalis dapat
terjadi setiap waktu, sedangkan serangan
kejang lobus frontalis biasanya muncul
pada waktu malam hari.
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan
kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang
tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi,
faktor makan dan minum yang tidak teratur,
konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum
obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik
dan mental, suara suara tertentu, “drug
abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan
mengetahui faktor pencetus ini dalam
konseling dengan pasien maupun
keluarganya dapat membantu dalam
mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ?
Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan
bila sudah mendapat obat obat anti kejang .
8. Apakah sejak dari awal ada periode bebas
serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba
untuk mencari apakah sebelumnya pasien
sudah mendapat obat anti kejang atau belum
? dan dapat menentukan apakah obat
tersebut yang sedang digunakan bermanfaat
?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari
satu macam? Dengan menanyakan tentang
berbagai jenis serangan kejang dan
menggambarkan setiap jenis serangan
kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh
sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien
yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan
“aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk
mencegah supaya tidak menimbulkan luka
ditubuh akibat serangan kejang atau
mungkin tidak ada “aura“ , sehingga dalam
hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan
upaya - upaya untuk mengurangi bahaya
terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke
unit gawat darurat? Dengan mengetahui
gambaran pasien yang pernah datang ke unit
gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat
beratnya serangan kejang itu terjadi yang
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya
perawatan pasien, ketidakpatuhan minum
obat, ada perubahan minum obat dan
penyakit lain yang menyertai.
Riwayat medik dahulu.
Dengan mengetahui riwayat medik yang
dahulu dapat memberikan informasi yang
berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi
yang berkaitan dengan serangan kejang dan
pengetahuan tentang lesi yang mendasari
dapat membantu untuk pengobatan
selanjutnya (Ahmed,Spencer 2004)
1. Apakah pasien lahir normal dengan
kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami
asfiksia atau “respiratory distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal
sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko
terjadinya epilepsi sesudah serangan
kejang demam sederhana sekitar 2 % dan
serangan kejang demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf
pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau
penyakit infeksi lainnya seperti sepsis,
pneumonia yang disertai serangan kejang.
Dibeberapa negara ada yang diketahui
didapat adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti
fraktur depresi kepala, perdarahan intra
serebral, kesadaran menurun dan amnesia
yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?
Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung
dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini
penting sebagai bagian dari riwayat penyakit
dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (
Ahmed ,Spencer2004).
1. Apa latar belakang pendidikan pasien?
Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin
dapat menggambarkan bagaimana
sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan
baik. Dan juga dapat membantu
mengetahui tingkat dukungan masyarakat
terhadap pasien dan bagaimana potensi
pendidikan kepada pasien tentang cara
menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis
pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
serangan kejangnya terkendali dengan baik
dapat hidup secara normal dan produktif.
Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh
waktu atau penuh waktu. Tetapi bila
serangan kejangnya tidak terkendali dengan
baik untuk memperoleh dan menjalankan
pekerjaan adalah merupakan suatu
tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya
dianjurkan memilih bekerja dikantoran,
sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak
begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang
bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan
pekerjaan yang mengandung risiko tinggi
diperlukan penyuluhan yang jelas untuk
memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya
tidak membahayakan dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan
bermotor? Pasien dengan epilepsi yang
serangan kejangnya tidak terkontrol serta
ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak
mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini
bisa membahayakan dirinya maupun
masyarakat lainnya. Dibeberapa negara
mempunyai peraturan sendiri tentang pasien
epilepsi yang boleh tidaknya mengemudikan
kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi
oral? Apakah pasien merencanakan
kehamilan pada waktu yang akan datang?
Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi
penyuluhan terlebih dahulu tentang efek
teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian
juga beberapa obat anti epilepsi dapat
menurun efektivitasnya bila pasien juga
menggunakan kontrasepsi oral, contohnya
seperti fenitoin, karbamasepin dan
fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang
hamil diperlukan obat tambahan seperti
asam folat untuk mengurangi risiko
terjadinya “ neural tube defects“ pada
bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol
merupakan faktor risiko terjadinya serangan
kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan
minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi
dengan obat-obat anti epilepsi dapat juga
menimbulkan eksaserbasi serangan kejang
khususnya sesudah minum alkohol .
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting
untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi
yang ada kaitannya dengan faktor genetik
dimana manifestasinya adalah serangan
kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic
epilepsy (JME)“,“ familial neonatal
convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan
sindrom serangan kejang umum tonik klonik
disertai kejang demam plus ( Ahmed,Spencer
2004)
Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-
obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan
apakah ini suatu efek samping dari
gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif.
Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan
apakah ini terbatas karena efek fotosensitif
yang disebabkan eksposur dari sinar matahari
atau karena efek hipersensitif yang sifatnya
lebih luas? (Ahmed,Spencer 2004)
Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-
obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa
kali diminum sehari dan berapa lama sudah
diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau
tidak efek sampingnya. (Ahmed,Spencer 2004)
Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.
Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien
sudah dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti elektroensefalografi atau CT Scan
kepala atau MRI (Ahmed,Spencer 2004)
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab-
sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit
sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia
lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi
didaerah leher untuk mendeteksi adanya
penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular
sebaiknya dilakukan pada pertama kali
serangan kejang itu muncul oleh karena
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
banyak kejadian yang mirip dengan serangan
kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular
seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit
juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom
neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “
iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash
leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual
fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada
tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry
hemangioma) pada sturge-weber syndrome.
Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan
dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan
kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka
lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada
hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada
“dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh
karena pemberian fenobarbital jangka lama (
Ahmed,Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni
2004).
Pemeriksaan neurologi meliputi status
mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi
motorik dan sensorik, serta refleks tendon.
Adanya defisit neurologi seperti hemiparese
,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang,
papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya
lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang
terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau
ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari
obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin,
lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada
waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “
dan gangguan belajar mungkin ada kelainan
kromosom, dan gambaran progresif seperti
demensia, mioklonus yang makin memberat
dapat diperkirakan adanya kelainan
neurodegeneratif. Automatism unilateral
kemungkinan bisa menunjukkan kelainan fokus
di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya
distonia bisa menggambarkan kelainan fokus
kontralateral dilobus temporalis (Ahmed,Spencer
2004, Harsono 2001, Oguni 2004,
Sisodiya,Duncan 2000).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
Hiponatremia , hipoglikemia,
hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati
dapat mencetuskan timbulnya serangan
kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama
dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood
Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar
mungkin dapat memberikan petunjuk yang
sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi
serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila
dicurigai adanya “ drug abuse”
(Ahmed,Spencer 2004, Oguni 2004)
PEMERIKSAAN
ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling
sering dilakukan adalah pemeriksaan elektro-
ensefalografi ( EEG). Pemeriksaan EEG rutin
sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu
sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu
tidur, dengan stimulasi fotik dan
hiperventilasi.Pemeriksaan EEG ini adalah
pemeriksaan laboratorium yang penting untuk
membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa
alasan sebagai berikut ( Duncan, Kirkpatrick,
Harsono 2001, Oguni 2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik
utama untuk mengevaluasi pasien dengan
serangan kejang yang jelas atau yang
meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan
membantu dalam membuat diagnosis,
mengklasifikasikan jenis serangan kejang
yang benar dan mengenali sindrom
epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan
fisik dan neurologi , pola epileptiform pada
EEG ( spikes and sharp waves) sangat
mendukung diagnosis epilepsi. Adanya
gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz
spike-wave complexes“ adalah karakteristik
kearah sindrom epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptoge-
nik pada rekaman EEG dapat menjelaskan
manifestasi klinis daripada “ aura “ maupun
jenis serangan kejang . Pada pasien yang
akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG
ini selalu dilakukan dengan cermat.
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat
beberapa alasan keterbatasan dalam menilai
hasil pemeriksaan EEG ini yaitu:
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada
pertama kali pasien dengan kemungkinan
epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya
gelombang epileptiform, apabila dilakukan
pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil
pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil
EEG yang normal, sehingga dalam hal ini
hasil wawancara dan pemeriksaan klinis
adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa
saja tidak menunjukan adanya epilepsi sebab
hal demikian dapat terjadi pada sebagian
kecil orang-orang normal oleh karena itu
hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat
digunakan untuk menetapkan atau
meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi
pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat
berubah menjadi multifokus atau menyebar
secara difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu
aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila
pada pemeriksaan EEG dijumpai baik
gambaran epileptiform difus maupun yang
fokus kadang kadang dapat membingungkan
untuk menentukan klasifikasi serangan
kejang kedalam serangan kejang parsial atau
serangan kejang umum .
PEMERIKSAAN VIDEO – EEG.
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada
keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi
atau serangan kejang yang bukan oleh karena
epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin
EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang
masih saja terjadi , atau juga perlu dikerjakan
bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan
dilakukan terapi pembedahan. Biasanya
pemeriksaan Video - EEG ini berhasil
membedakan apakah serangan kejang oleh
karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus menerus
dalam waktu 72 jam, sekitar 50 – 70 % dari
hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran
serangan kejang epilepsi ( Kirpatrick,
Sisodiya,Duncan 2000, Stefan ,2003).
PEMERIKSAAN RADIOLOGI.
CT Scan ( Computed Tomography Scan
) kepala dan MRI ( Magnetic Resonance
Imaging ) kepala adalah untuk melihat apakah
ada atau tidaknya kelainan struktural diotak
(Harsono 2003, Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: ( Kustiowati
dkk 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang
pertama kali dengan dugaan ada kelainan
struktural di otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia
25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada
kontra indikasi namun demikian pemeriksaan
MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan
otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT
Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis
kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa,
maupun epilepsi refrakter yang sangat
mungkin dilakukan terapi pembedahan.
Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi
“T 1 dan T 2 weighted“ dengan minimal dua
irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan
saggital ( Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk
2003).
PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI.
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan
terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan
akan dilakukan terapi pembedahan .
Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan
apakah ada tidaknya penurunan fungsi
kognitif, demikian juga dengan pertimbangan
bila ternyata diagnosisnya ada dugaan
serangan kejang yang bukan epilepsi(Oguni
2004, Sisodiya 2000).
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
ETIOLOGI.( Anonymous 2003,Kustiowati dkk
2003, Sirven,Ozuna 2005)
1. Idiopatik epilepsi: Biasanya berupa epilepsi
dengan serangan kejang umum, penyebab-
nya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik
epilepsi mempunyai inteligensi normal dan
hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya
predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi: Dianggap simptomatik
tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanya-
kan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi
tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi
diotak tidak diketahui. Termasuk disini adalah
sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut
dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis
berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi: Pada simptomatik
terdapat lesi struktural di otak yang menda-
sari , contohnya oleh karena sekunder dari
trauma kepala , infeksi susunan saraf pusat ,
kelainan kongenital, proses desak ruang di
otak, gangguan pembuluh darah diotak,
toksik ( alkohol, obat) , gangguan metabolik
dan kelainan neurodegeneratif.
KLASIFIKASI ILAE 1981
untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi
(Kustiowati dkk 2003, Sirven,Ozuna 2005).
Serangan parsial.
 Serangan parsial sederhana ( kesadaran
baik ).
- Motorik.
- Sensorik.
- Otonom.
- Psikis.
 Serangan parsial kompleks ( kesadaran
terganggu ).
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan
gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
 Serangan umum sekunder.
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik.
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks
menjadi tonik klonik.
 Serangan umum.
- Absans ( lena ).
- Mioklonik .
- Klonik.
- Tonik.
- Atonik.
 Tak tergolongkan.
KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma
epilepsi ( Kustiowati dkk 2003)
Berkaitan dengan letak fokus.
 Idiopatik ( primer ).
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang
paku di sentrotemporal ( Rolandik benigna
).
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal
oksipital.
- Primary reading epilepsy”.
 Simptomatik ( sekunder ).
- Lobus temporalis.
- Lobus frontalis.
- Lobus parietalis.
- Lobus oksipitalis.
- Kronik progresif parsialis kontinua.
 Kriptogenik.
Umum.
 Idiopatik ( primer ).
- Kejang neonatus familial benigna.
- Kejang neonatus benigna.
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi.
- Epilepsi absans pada anak.
- Epilepsi absans pada remaja.
- Epilepsi mioklonik pada remaja.
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik
pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan
acak.
 Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West ( Spasmus infantil dan
hipsaritmia ).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik.
- Epilepsi absans mioklonik.
 Simptomatik.
- Etiologi non spesifik.
- Ensefalopati mioklonik neonatal.
- Sindrom Ohtahara.
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.
wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat
ditentukan fokal atau umum.
 Serangan umum dan fokal.
- Serangan neonatal.
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi.
- Sindroma Taissinare.
- Sindroma Landau Kleffner.
 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.
 Epilepsi berkaitan dengan situasi.
- Kejang demam.
- Berkaitan dengan alkohol.
- Berkaitan dengan obat-obatan.
- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus
spesifik ( reflek epilepsi).
KESIMPULAN.
Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri
karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin
memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan
yang khusus. Dengan mengenali serangan
kejang dan membuat diagnosis yang benar
dapat menjadi pengobatan lebih efektif. Pada
kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat
dibuat dengan mengetahui secara lengkap
riwayat penyakit , pemeriksaan fisik dan
neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan
pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi
tertentu diperlukan pemeriksaan melalui video –
EEG.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed Z, Spencer S.S (2004): An Approach to the
Evaluation of a Patient for
Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal,
103 (1): 49-55.
Anonymous (2003): Diagnosis of Epilepsy,
Epilepsia , 44 (Suppl.6): 23-24.
Duncan R: Diagnosis of Epilepsy in Adults,
available from:
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epil
epsy_supplement/E_Duncan.pdf
Hadi S (1993): Diagnosis dan Diagnosis Banding
Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang :
55-63.
Harsono (2001): Epilepsi, edisi 1, GajahMada
University Press, Yogyakarta .
Kirkpatrick M: Diagnosis of Epilepsy in Children,
available from:
http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/e
pilepsy_supplement/F_Kirkpatrick.pdf
Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A
(editors) (2003): Pedoman Tatalaksana
Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi
Perdossi .
Mardjono M (2003): Pandangan Umum Tentang
Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam
Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi &
Neurologi , Agoes A ( editor ) ; 129 -148.
Oguni H (2004): Diagnosis and Treatment of
Epilepsy, Epilepsia , 48 ( Suppl.8): 13-16.
Sirven J.I, Ozuna J (2005): Diagnosing epilepsy
in older adults, Geriatrics, 60, 10: 30 - 35.
Sisodiya S.M, Duncan J (2000): Epilepsy:
Epidemiology, Clinical Assessment,
Investigation and Natural History,
Medicine International, 00(4); 36-41.
Stefan H (2003): Differential Diagnosis of
Epileptic Seizures and Non Epileptic
Attacks, Teaching Course: Epilepsy,
7thConggres of the European Federation of
Neurological Societies, Helsinki.
48

More Related Content

What's hot

Penicillium Paecilomyces Aspergillus
Penicillium Paecilomyces AspergillusPenicillium Paecilomyces Aspergillus
Penicillium Paecilomyces AspergillusJosua Sitorus
 
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I  PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERILAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I  PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERIAmphie Yuurisman
 
57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)
57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)
57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)chichi mitha
 
Pertumbuhan bakteri semester 2 THP UB
Pertumbuhan bakteri semester 2 THP UBPertumbuhan bakteri semester 2 THP UB
Pertumbuhan bakteri semester 2 THP UBMuhammad Luthfan
 
Amilase dan gama gt
Amilase dan gama gtAmilase dan gama gt
Amilase dan gama gtArini Utami
 
1. PEWARNAAN BAKTERI.ppt
1. PEWARNAAN BAKTERI.ppt1. PEWARNAAN BAKTERI.ppt
1. PEWARNAAN BAKTERI.pptmateripptgc
 
Laporan mikrobiologi menghitung jumlah mikroba
Laporan mikrobiologi   menghitung jumlah mikrobaLaporan mikrobiologi   menghitung jumlah mikroba
Laporan mikrobiologi menghitung jumlah mikrobaMifta Rahmat
 
Ppt imunodefisiensi
Ppt imunodefisiensiPpt imunodefisiensi
Ppt imunodefisiensiInstitution
 
Pendekatan klinis pada pasien ikterus
Pendekatan klinis pada pasien ikterusPendekatan klinis pada pasien ikterus
Pendekatan klinis pada pasien ikterusfikri asyura
 
Laporan resmi emulsi iecoris aselli
Laporan resmi emulsi iecoris aselliLaporan resmi emulsi iecoris aselli
Laporan resmi emulsi iecoris aselliKezia Hani Novita
 
perbedaan gram positif dan gram negatif
perbedaan gram positif dan gram negatifperbedaan gram positif dan gram negatif
perbedaan gram positif dan gram negatifTitis Sari
 

What's hot (20)

Penicillium Paecilomyces Aspergillus
Penicillium Paecilomyces AspergillusPenicillium Paecilomyces Aspergillus
Penicillium Paecilomyces Aspergillus
 
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I  PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERILAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I  PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERI
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI I PEWARNAAN SPORA DAN KAPSUL PADA BAKTERI
 
Rkk22
Rkk22Rkk22
Rkk22
 
Laporan isolasi bakteri
Laporan isolasi bakteriLaporan isolasi bakteri
Laporan isolasi bakteri
 
57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)
57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)
57820602 laporan-lengkap-nitritometri (1)
 
Analisis lemak
Analisis lemakAnalisis lemak
Analisis lemak
 
Pertumbuhan bakteri semester 2 THP UB
Pertumbuhan bakteri semester 2 THP UBPertumbuhan bakteri semester 2 THP UB
Pertumbuhan bakteri semester 2 THP UB
 
Laporan praktikum media
Laporan praktikum mediaLaporan praktikum media
Laporan praktikum media
 
Tugas makalah mikrobiologi
Tugas makalah mikrobiologiTugas makalah mikrobiologi
Tugas makalah mikrobiologi
 
Amilase dan gama gt
Amilase dan gama gtAmilase dan gama gt
Amilase dan gama gt
 
1. PEWARNAAN BAKTERI.ppt
1. PEWARNAAN BAKTERI.ppt1. PEWARNAAN BAKTERI.ppt
1. PEWARNAAN BAKTERI.ppt
 
Laporan mikrobiologi menghitung jumlah mikroba
Laporan mikrobiologi   menghitung jumlah mikrobaLaporan mikrobiologi   menghitung jumlah mikroba
Laporan mikrobiologi menghitung jumlah mikroba
 
Contoh kasus pph pasal 22
Contoh kasus pph pasal 22Contoh kasus pph pasal 22
Contoh kasus pph pasal 22
 
Ppt imunodefisiensi
Ppt imunodefisiensiPpt imunodefisiensi
Ppt imunodefisiensi
 
Pendekatan klinis pada pasien ikterus
Pendekatan klinis pada pasien ikterusPendekatan klinis pada pasien ikterus
Pendekatan klinis pada pasien ikterus
 
Pewarnaan BTA/BTTA
Pewarnaan BTA/BTTA Pewarnaan BTA/BTTA
Pewarnaan BTA/BTTA
 
Laporan resmi emulsi iecoris aselli
Laporan resmi emulsi iecoris aselliLaporan resmi emulsi iecoris aselli
Laporan resmi emulsi iecoris aselli
 
perbedaan gram positif dan gram negatif
perbedaan gram positif dan gram negatifperbedaan gram positif dan gram negatif
perbedaan gram positif dan gram negatif
 
imunoserologi
imunoserologiimunoserologi
imunoserologi
 
Fase kerja toksikan
Fase kerja toksikanFase kerja toksikan
Fase kerja toksikan
 

Similar to Diagnosis epilepsi utoyo sunaryo

Similar to Diagnosis epilepsi utoyo sunaryo (20)

Diagnosis epilepsi lengkap
Diagnosis epilepsi lengkapDiagnosis epilepsi lengkap
Diagnosis epilepsi lengkap
 
Epilepsi
EpilepsiEpilepsi
Epilepsi
 
PPT_State of the Art and Challenges in Epilepsy.pptx
PPT_State of the Art and Challenges in Epilepsy.pptxPPT_State of the Art and Challenges in Epilepsy.pptx
PPT_State of the Art and Challenges in Epilepsy.pptx
 
38128375 epilepsi
38128375 epilepsi38128375 epilepsi
38128375 epilepsi
 
Asuhan keperawatan klien dengan epilepsi
Asuhan keperawatan klien dengan epilepsiAsuhan keperawatan klien dengan epilepsi
Asuhan keperawatan klien dengan epilepsi
 
Penyuluhan Ayu dan Dhesty.pdf
Penyuluhan Ayu dan Dhesty.pdfPenyuluhan Ayu dan Dhesty.pdf
Penyuluhan Ayu dan Dhesty.pdf
 
Referat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
Referat Penurunan Kesadaran_Stase NeurologiReferat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
Referat Penurunan Kesadaran_Stase Neurologi
 
Epilepsi
EpilepsiEpilepsi
Epilepsi
 
Askep anak dengan ensefalitis
Askep anak dengan ensefalitisAskep anak dengan ensefalitis
Askep anak dengan ensefalitis
 
Tugas eke AKPER PEMKAB MUNA
Tugas eke  AKPER PEMKAB MUNATugas eke  AKPER PEMKAB MUNA
Tugas eke AKPER PEMKAB MUNA
 
Epilepsi (sawan)
Epilepsi (sawan)Epilepsi (sawan)
Epilepsi (sawan)
 
CRS EPILEPSI ATONIK MARSYA.pdf
CRS EPILEPSI ATONIK MARSYA.pdfCRS EPILEPSI ATONIK MARSYA.pdf
CRS EPILEPSI ATONIK MARSYA.pdf
 
112165363 51715822-case-migrain
112165363 51715822-case-migrain112165363 51715822-case-migrain
112165363 51715822-case-migrain
 
Patofisologi farmasi semster2
Patofisologi farmasi semster2Patofisologi farmasi semster2
Patofisologi farmasi semster2
 
askep Seizure atau epilepsi
askep Seizure atau epilepsiaskep Seizure atau epilepsi
askep Seizure atau epilepsi
 
Epilepsi 0
Epilepsi 0Epilepsi 0
Epilepsi 0
 
Demam pada anak
Demam pada anakDemam pada anak
Demam pada anak
 
Kejang demam pada anak
Kejang demam pada anakKejang demam pada anak
Kejang demam pada anak
 
Sap epilepsi poli anak
Sap epilepsi poli anakSap epilepsi poli anak
Sap epilepsi poli anak
 
Referat jiwai
Referat jiwaiReferat jiwai
Referat jiwai
 

Recently uploaded

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.pptANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.pptAcephasan2
 
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdfKOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdfnoviarani6
 
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUNPPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUNYhoGa3
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diriandi861789
 
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitasDbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitasariSatya2
 
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptxFarmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptxIrfanNersMaulana
 
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptxProses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptxArdianAdhiwijaya
 
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdfbendaharadakpkmbajay
 
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptxStatistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptxfachrulshidiq3
 
FRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptx
FRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptxFRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptx
FRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptxindah849420
 
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.pptAnatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.pptAcephasan2
 
power point kesehatan reproduksi pria dan wanita
power point kesehatan reproduksi pria dan wanitapower point kesehatan reproduksi pria dan wanita
power point kesehatan reproduksi pria dan wanitaBintangBaskoro1
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiNezaPurna
 
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptxKETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptxZuheri
 
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptxKONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptxDianaayulestari2
 
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.pptPAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.pptssuser551745
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxAcephasan2
 
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptxFRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptxDwiHmHsb1
 
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatanLogic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatanB117IsnurJannah
 

Recently uploaded (20)

ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.pptANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM CARDIOVASKULER.ppt
 
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdfKOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
KOHORT balita 2015 DI PUSKESMAS HARUS DIBUAT.pdf
 
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUNPPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 -  5 TAHUN
PPT KONSEP TUMBUH KEMBANG ANAK DINI 1 - 5 TAHUN
 
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh DiriAsuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
Asuhan Keperawatan Jiwa Resiko Bunuh Diri
 
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitasDbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
Dbd analisis SOAP, tugas Farmakoterapi klinis dan komunitas
 
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptxFarmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
Farmakologi_Pengelolaan Obat pd Lansia.pptx
 
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptxProses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Gawat Darurat.pptx
 
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
#3Sosialisasi Penggunaan e-renggar Monev DAKNF 2024.pdf
 
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptxStatistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
Statistik Kecelakaan Kerja manajemen risiko kecelakaan kerja .pptx
 
FRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptx
FRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptxFRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptx
FRAKTUR CALVARIA FOTO WATERS PERBEDAAN OA RA.pptx
 
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.pptAnatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
Anatomi Fisiologi Sistem Muskuloskeletal.ppt
 
power point kesehatan reproduksi pria dan wanita
power point kesehatan reproduksi pria dan wanitapower point kesehatan reproduksi pria dan wanita
power point kesehatan reproduksi pria dan wanita
 
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasiBLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
BLC PD3I, Surveilans Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
 
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptxKETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
KETIDAKBERDAYAAN DAN KEPUTUSASAAN (1).pptx
 
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptxKONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
KONSEP DASAR KEGAWATDARURATAN MATERNAL NEONATAL.pptx
 
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.pptPAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
PAPARAN TENTANG PENYAKIT TUBERKULOSIS.ppt
 
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptxPPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
PPT.Materi-Pembelajaran-genetika.dasarpptx
 
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdfJenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
Jenis-Jenis-Karakter-Pasien-Rumah-Sakit.pdf
 
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptxFRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
FRAKTUR presentasion patah tulang paripurna OK.pptx
 
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatanLogic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
Logic Model perencanaan dan evaluasi kesehatan
 

Diagnosis epilepsi utoyo sunaryo

  • 1. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 DIAGNOSIS EPILEPSI Oleh : Utoyo Sunaryo Bagian Neurologi FK UWKS RSUD Dr Moh . Saleh Kota Probolinggo ABSTRACT. The diagnosis of epilepsy is problematic because the routine diagnosis of epilepsy is therefore clinical, and requires specific clinical knowledge and skills. Recognizing and correctly diagnosing seizures can lead to a number of effective treatments. In the majority of patients with epilepsy, diagnosis can be made with a detailed neurologic history and examination, an EEG, and brain imaging. However, in certain patients, diagnosis requires recording the seizures during inpatient video-EEG monitoring. This article explains an approach for diagnosing and evaluating this epilepsy patient’s population in the clinics. Key words: diagnosis of epilepsy, etiology, classification of seizures, classification of epilepsy syndromes. ABSTRAK. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadikan pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit , pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi tertentu diperlukan pemeriksaan melalui rekaman video – EEG. Makalah ini menjelaskan suatu pendekatan cara membuat diagnosis dan evaluasi pasien epilepsi yang datang berobat ke klinik. Kata kunci: diagnosis epilepsi, etiologi, klasifikasi serangan kejang, klasifikasi sindrom epilepsi. PENDAHULUAN Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus ditegakkan dulu (Mardjono 2003). Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula (Oguni 2004). Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik , jadi membuat diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik saja, justru informasi diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian baru dilakukan pemeriksaan fisik & neurologi . Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dengan mencari penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi (Anonymous 2003).Tujuan penulisan makalah ini adalah membahas bagaimana cara – cara menentukan diagnosis epilepsi yang baik dan cermat. ANAMNESIS . Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui Alamat Korespondensi. Dr Utoyo Sunaryo Sp.S RSUD Dr Mohamad Saleh , Jalan Mayjen Panjaitan 65 Kota ProbolinggoTelp : 0335-433119, fax: 0335-432702. serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus , dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien (Ahmed,Spencer 2004, Mardjono 2003).
  • 2. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed,Spencer 2004, Hadi 1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003 ) 1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik da malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb. 2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis. 3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks. 4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang. 5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
  • 3. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang. 7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang . 8. Apakah sejak dari awal ada periode bebas serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum ? dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan bermanfaat ? 9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap. 10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin tidak ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya - upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka. 11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai. Riwayat medik dahulu. Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed,Spencer 2004) 1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses persalinannya? 2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”? 3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia? 4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %. 5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis. 6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama? 7. Apakah ada riwayat tumor otak? 8. Apakah ada riwayat stroke? Riwayat sosial. Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi ( Ahmed ,Spencer2004). 1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu. 2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang
  • 4. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 serangan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya. 3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang boleh tidaknya mengemudikan kendaraan bermotor. 4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efektivitasnya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral, contohnya seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya. 5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi dapat juga menimbulkan eksaserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol . Riwayat keluarga. Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus ( Ahmed,Spencer 2004) Riwayat allergi. Bila pasien sebelumnya sudah minum obat- obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed,Spencer 2004) Riwayat pengobatan. Bila pasien sebelumnya sudah minum obat- obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed,Spencer 2004) Riwayat Pemeriksaan penunjang lain. Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI (Ahmed,Spencer 2004) PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI. Pemeriksaan fisik harus menapis sebab- sebab terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena
  • 5. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama ( Ahmed,Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004). Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom, dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Automatism unilateral kemungkinan bisa menunjukkan kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis (Ahmed,Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya,Duncan 2000). PEMERIKSAAN LABORATORIUM. Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed,Spencer 2004, Oguni 2004) PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI. Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektro- ensefalografi ( EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi.Pemeriksaan EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut ( Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004) 1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mengklasifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi. 2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi , pola epileptiform pada EEG ( spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik. 3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptoge- nik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripada “ aura “ maupun jenis serangan kejang . Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.
  • 6. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu: 1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali. 2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi. 3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak. 4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasifikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum . PEMERIKSAAN VIDEO – EEG. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi , atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan Video - EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50 – 70 % dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi ( Kirpatrick, Sisodiya,Duncan 2000, Stefan ,2003). PEMERIKSAAN RADIOLOGI. CT Scan ( Computed Tomography Scan ) kepala dan MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004) Indikasi CT Scan kepala adalah: ( Kustiowati dkk 2003) - Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak. - Perubahan serangan kejang. - Ada defisit neurologis fokal. - Serangan kejang parsial. - Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun. - Untuk persiapan operasi epilepsi. CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi “T 1 dan T 2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital ( Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003). PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI. Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan . Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi(Oguni 2004, Sisodiya 2000).
  • 7. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 ETIOLOGI.( Anonymous 2003,Kustiowati dkk 2003, Sirven,Ozuna 2005) 1. Idiopatik epilepsi: Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebab- nya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik. 2. Kriptogenik epilepsi: Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanya- kan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi diotak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus. 3. Simptomatik epilepsi: Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang menda- sari , contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala , infeksi susunan saraf pusat , kelainan kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik ( alkohol, obat) , gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif. KLASIFIKASI ILAE 1981 untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven,Ozuna 2005). Serangan parsial.  Serangan parsial sederhana ( kesadaran baik ). - Motorik. - Sensorik. - Otonom. - Psikis.  Serangan parsial kompleks ( kesadaran terganggu ). - Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran. - Gangguan kesadaran saat awal serangan.  Serangan umum sekunder. - Parsial sederhana menjadi tonik klonik. - Parsial kompleks menjadi tonik klonik. - Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.  Serangan umum. - Absans ( lena ). - Mioklonik . - Klonik. - Tonik. - Atonik.  Tak tergolongkan. KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi ( Kustiowati dkk 2003) Berkaitan dengan letak fokus.  Idiopatik ( primer ). - Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal ( Rolandik benigna ). - Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital. - Primary reading epilepsy”.  Simptomatik ( sekunder ). - Lobus temporalis. - Lobus frontalis. - Lobus parietalis. - Lobus oksipitalis. - Kronik progresif parsialis kontinua.  Kriptogenik. Umum.  Idiopatik ( primer ). - Kejang neonatus familial benigna. - Kejang neonatus benigna. - Kejang epilepsi mioklonik pada bayi. - Epilepsi absans pada anak. - Epilepsi absans pada remaja. - Epilepsi mioklonik pada remaja. - Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga. - Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.  Kriptogenik atau simptomatik. - Sindroma West ( Spasmus infantil dan hipsaritmia ). - Sindroma Lennox Gastaut. - Epilepsi mioklonik astatik. - Epilepsi absans mioklonik.  Simptomatik. - Etiologi non spesifik. - Ensefalopati mioklonik neonatal. - Sindrom Ohtahara. - Etiologi / sindrom spesifik. - Malformasi serebral. - Gangguan Metabolisme.
  • 8. wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1, Januari 2007, 49-56 Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.  Serangan umum dan fokal. - Serangan neonatal. - Epilepsi mioklonik berat pada bayi. - Sindroma Taissinare. - Sindroma Landau Kleffner.  Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.  Epilepsi berkaitan dengan situasi. - Kejang demam. - Berkaitan dengan alkohol. - Berkaitan dengan obat-obatan. - Eklampsi. - Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik ( reflek epilepsi). KESIMPULAN. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan ketrampilan yang khusus. Dengan mengenali serangan kejang dan membuat diagnosis yang benar dapat menjadi pengobatan lebih efektif. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit , pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi dan pencitraan otak. Akan tetapi pada pasien epilepsi tertentu diperlukan pemeriksaan melalui video – EEG. DAFTAR PUSTAKA Ahmed Z, Spencer S.S (2004): An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103 (1): 49-55. Anonymous (2003): Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia , 44 (Suppl.6): 23-24. Duncan R: Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from: http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epil epsy_supplement/E_Duncan.pdf Hadi S (1993): Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang : 55-63. Harsono (2001): Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta . Kirkpatrick M: Diagnosis of Epilepsy in Children, available from: http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/e pilepsy_supplement/F_Kirkpatrick.pdf Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003): Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi . Mardjono M (2003): Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi , Agoes A ( editor ) ; 129 -148. Oguni H (2004): Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia , 48 ( Suppl.8): 13-16. Sirven J.I, Ozuna J (2005): Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatrics, 60, 10: 30 - 35. Sisodiya S.M, Duncan J (2000): Epilepsy: Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International, 00(4); 36-41. Stefan H (2003): Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks, Teaching Course: Epilepsy, 7thConggres of the European Federation of Neurological Societies, Helsinki. 48