SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  52
Télécharger pour lire hors ligne
Disusun Oleh :
Bramantiyo Marjuki
Laporan Akhir
INTERPRETASI CITRA ALOS AVNIR-2 DAN SPOT 2/4 XS UNTUK PEMETAAN PENGGUNAAN
LAHAN KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2009
Guna Mendukung :
Proyek Kutai Barat Ecological Corridor
World Wildlife Foundation Indonesia ( WWF—Indonesia )
1Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Kegiatan
Konversi hutan di Kalimantan yang semakin mengkhawa rkan saat ini telah menjadi isu global dan menjadi perha an
utama berbagai kalangan. Di Provinsi Kalimantan Timur, semenjak tahun 1985 sampai 1997 telah terjadi penurunan
luas lahan hutan akibat deforestasi sebesar 22,5% (BaplanHut, 2002). Data terakhir dari WWF bahkan menyebutkan
hampir 50% dari luasan hutan sebesar 109 heltar (tahun 2003) di Kalimantan telah terdegradasi (WWF, 2009).
Berkurangnya tutupan hutan dari waktu ke waktu di seluruh belahan bumi tak pelak menjadi salah satu penyebab
terjadinya fenomena pemanasan global yang semakin meningkat akhir—akhir ini. Indonesia sebagai salah satu negara
dengan wilayah hutan terluas nomor ga di dunia (WWF, 2009) diharapkan oleh masyarakat internasional dapat
mempertahankan sisa hutan yang ada. Walaupun demikian, amanat ini bukan merupakan suatu hal yang mudah
dilaksanakan, mengingat dari waktu ke waktu data yang ada justru menunjukkan luasan hutan semakin berkurang.
Gambar 1.1 Perubahan Luasan Hutan di Kalimantan dan Proyeksi pada Tahun 2020 (WWF, 2007)
Pemantauan laju deforestasi dan konversi hutan menjadi non hutan dapat dilakukan dengan cara melakukan pemetaan
penggunaan lahan hutan dan non hutan secara berkala. Peta penggunaan lahan merupakan salah satu peta
fundamental yang harus ada agar perencanaan dan pengelolaan lahan dapat lebih op mal. Peta penggunaan lahan
2 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
juga merupakan peta mul fungsi, yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepen ngan. Dalam kaitannya dengan
aspek kehutanan, peta ini selain dapat menunjukkan sebaran lahan hutan eksis ng, juga dapat digunakan untuk
menghitung neraca karbon. Dengan adanya peta penggunaan lahan tahunan, maka lokasi dan proporsi hutan yang
berubah menjadi penggunaan lahan non hutan dapat diketahui sehingga dapat direncanakan dan diupayakan cara
pencegahan, pengurangan maupun pengembalian status hutan.
Kabupaten Kutai Barat sebagai salah satu Kabupaten termuda di Kalimantan Timur (terbentuk pada tahun 1999
sebagai salah satu pemekaran dari Kabupaten Kutai) juga mengalami masalah kehutanan yang sama dengan sebagian
besar kabupaten lain di Kalimantan, yaitu konversi lahan hutan ke non hutan. Laju pengurangan luas lahan hutan di
Kutai Barat bahkan mencapai 5—6% per tahun (data WALHI).
WWF sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan kerusakan Hutan Kalimantan pada
umumnya dan di Kutai Barat pada khususnya, telah sejak lama mengkampanyekan perlindungan, konservasi dan
rehabilitasi hutan di Kalimantan Timur. Sejak 2009 tercatat banyak program telah dilaksanakan WWF di Kalimantan
Timur, terutama di Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Untuk Kabupaten Kutai Barat telah dilaksanakan
Proyek Kutai Barat Ecological Corridor. Saat ini kegiatan WWF di Kutai Barat masih tetap berlangsung, diantaranya
adalah pendampingan dalam penyusunan RTRW Kabupaten.
Mengacu pada urgensi kebutuhan peta penggunaan lahan tahunan yang up to date guna memonitor dinamika
penggunaan lahan hutan/non hutan di seluruh Pulau Kalimantan pada umumnya, dan Kabupaten Kutai Barat pada
khususnya, maka WWF Indonesia melalui Proyek Kutai Barat Ecological Corridor berinisia f melaksanakan pemetaan
Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat untuk Tahun 2009 berbasis interpretasi citra satelit. Pemetaan ini
dilaksanakan untuk melanjutkan pemetaan serupa yang telah dilaksanakan pada Tahun 2008 bekerjasama dengan
BIOTROP. Diharapkan ke depan kegiatan serupa dapat dilaksanakan dalam basis tahunan, sehingga monitoring hutan
di Kalimantan Timur dan Kutai Barat dapat dilakukan dengan lebih baik.
I.2 Tujuan Kegiatan
Berdasarkan latar belakang adanya kebutuhan Peta Penggunaan Lahan mul temporal Kabupaten Kutai Barat
guna mendukung monitoring luasan hutan, maka tujuan dari kegiatan pemetaan ini adalah:
1. Memetakan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2009 pada Skala
1:100.000 berdasarkan interpretasi citra satelit ALOS AVNIR dan SPOT 2/4, menggunakan skema klasifikasi
menurut WWF-BIOTROP dan SNI Neraca SDA spasial.
2. Memperbarui Peta Penggunaan Lahan yang telah dihasilkan sebelumnya.
3Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
I.3 Keluaran Yang Diharapkan
Berdasarkan latar belakang kebutuhan data dan tujuan dari kegiatan, maka keluaran yang diharapkan dari
kegiatan pemetaan ini adalah :
1. Citra Satelit ALOS AVNIR-2 sebanyak 13 scene dan Citra Satelit SPOT-2 HRV & SPOT-4 HRVIR sebanyak 4 scene
yang sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik.
2. Mosaik seluruh citra yang meliput seluruh wilayah Kabupaten Kutai Barat
3. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Skala 1:100.000 menggunakan skema klasifikasi
penggunaan lahan menurut WWF-BIOTROP.
4. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Skala 1:100.000 menggunakan skema klasifikasi
penggunaan lahan menurut SNI Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Spasial Tahun 2002.
5. Laporan yang menjelaskan tentang deskripsi kronologis tentang metode yang digunakan beserta penjelasan
mengenai karakteris k data spasial yang dihasilkan (metadata spasial).
5Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
BAB II
PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGGUNAAN LAHAN
II.1 Penginderaan Jauh
Menurut Canadian Center of Remote Sensing , penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu (dan juga seni sampai
pada luasan tertentu) yang mempelajari bagaimana cara memperoleh informasi tentang suatu obyek di permukaan
bumi tanpa ada kontak langsung dengan obyek tersebut. Perolehan informasi ini dilakukan dengan cara mengindra
dan merekam energi dari suatu sumber energi yang terpantulkan atau terpancarkan oleh obyek di permukaan bumi,
untuk kemudian diproses, dianalisis dan diaplikasikan untuk kepen$ngan tertentu
Proses penginderaan jauh dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Proses Penginderaan Jauh
Dari gambar dan definisi di atas, dapat diambil beberapa kata kunci tentang penginderaan jauh, yaitu:
A. Sumber energi, sumber energi yang digunakan dalam penginderaan jauh dapat berasal dari matahari (sistem
penginderaan jauh pasif) atau sumber energi buatan yang dipasang pada suatu wahana (sistem penginderaan
jauh ak#f).
B. Energi, yang dimaksud energi disini adalah gelombang elektromagnet yang dipancarkan oleh matahari atau
sumber energi buatan. Gelombang elektromagne#k dari matahari mempunyai karakteris#k tertentu pada
se#ap se#ap julat tertentu dari keseluruhan gelombang yang dipancarkan. Beberapa Julat spektral (atau
disebut spektrum) dari gelombang elektromagne#k yang dipancarkan matahari dapat dimanfaatkan untuk
penginderaan jauh, sedangkan sisanya terhamburkan atau terserap di atmosfer.
6 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 2.2
spektrum elektromagnet, spektrum yang digunakan dalam penginderaan jauh antara lain spektrum Ultraviolet (UV), visible (VIS), Inframerah (IR), dan gelombang Mikro
C. Obyek di Permukaan bumi, obyek permukaan bumi merupakan obyek yang akan diambil informasinya dalam
penginderaan jauh. Se#ap obyek akan mempunyai respon (dalam bentuk perbedaan intensitas pantulan-
serapan) yang berbeda terhadap energi gelombang elektromagne#k yang datang padanya. Selain itu, obyek
yang sama juga akan mempunyai respon berbeda terhadap spektrum yang berbeda. Oleh karena itu, variasi
respon obyek ini yang menjadi sasaran utama dilakukannya “penginderaan jauh” terhadap obyek tersebut,
yang kemudian informasi yang dihasilkan dari proses tersebut digunakan untuk berbagai aplikasi.
Gambar 2.3. Perbedaan respon spektral obyek vegetasi (v), tanah (s) dan air (w) pada spektrum yang berbeda di citra LANDSAT ETM+
7Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
D. Sensor/perekam, Energi elektromagnet yang dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi kemudian dideteksi
dan direkam oleh sensor yang dipasang pada suatu wahana (satelit, pesawat, balon udara dan wahana
lainnya). Sensor – sensor penginderaan jauh mempunyai kapabilitas yang berbeda – beda sesuai dengan
tujuan pengembangan dan aplikasinya.Sensor dapat dibedakan berdasarkan atas berbagai kriteria. Secara
umum sensor penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi dua yaitu fotografis dan elektronis. Keluaran dari
sensor fotografis berupa foto (analog), sedangkan sensor elektronis berupa citra (digital). Se#ap sensor baik
fotografis maupun elektronis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam merekam energi elektromagne#k
yang datang padanya. Ada yang hanya mampu merekam pada julat spektral yang sangat lebar (bisa satu atau
lebih spektrum). Sistem ini disebut pankroma#k. Sedangkan sistem lain bisa merekam pada beberapa julat
spektral (#ga julat atau lebih) yang disebut dengan sistem mul#spektral. Perkembangan dewasa ini sistem
yang dikembangkan sudah ada yang dapat merekam sampai ratusan julat spektral (band). Sistem ini disebut
hiperspektral. Dilihat dari jenis spektrum yang direkam, sensor dapat dibedakan menjadi sensor op#s (bekerja
pada spektrum visible sampai Short Wave Infrared), sensor thermal (bekerja pada spektrum mid infrared
sampai far/thermal infrared), dan sensor gelombang mikro (passive) atau RADAR (ac#ve). Selain dari
karakteris#k spektral, sensor elektronis juga dapat dibedakan berdasarkan kemampuan kede#lan dalam
merekam permukaan bumi atau disebut dengan resolusi spasial, mulai dari resolusi rendah (> 500 meter),
resolusi menengah (50 meter – 500 meter) dan resolusi #nggi (< 50 meter) (CCRS, 1999).
Gambar 2.4. (a) Citra Landsat Pankromatik dan (b) Citra Landsat Multispektral
Gambar 2.5. (a) citra optis, (b) citra termal dan (c) citra radar
8 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 2.6
Perbedaan resolusi spasial dan pengaruhnya pada kedetilan pada (a) Citra Landsat ETM+ dengan resolusi 30 meter, (b) Citra ASTER VNIR dengan resolusi 15 meter, dan (c) Citra
IKONOS dengan resolusi 1 meter
E. Pemrosesan, setelah energi dideteksi dan ditangkap sensor, energi ini kemudian direkam dalam detektor,
untuk kemudian diproses menjadi citra. Untuk sistem fotografi, detektor berupa film yang nan# kemudian
dicetak menjadi foto. Sedangkan untuk sistem elektronis/digital, data yang terekam dikirim ke stasiun
penerima di bumi untuk kemudian diproses menjadi citra digital. Level pemrosesan pada se#ap jenis produk
citra dapat saja berbeda antara satu pengelola layanan citra (vendor) satu dan lainnya. Untuk citra Landsat
misalnya, produk dijual dalam berbagai level pemrosesan mulai dari Level 0 (data mentah), level 1R (terkoreksi
radiometrik), level 1G (terkoreksi radiometrik dan geometrik) sampai level 1T (terkoreksi medan).
F. Analisis citra, yang dimaksud dengan analisis citra disini adalah tahapan kerja (metode) yang diaplikasikan
pada suatu citra agar dapat diambil suatu informasi dari citra tersebut (ekstraksi informasi dari citra). Terdapat
dua jenis metode ekstraksi informasi dari citra satelit, yaitu manual (visual) dan analisis digital terotomasi
dengan bantuan komputer. Ekstraksi informasi secara manual atau dikenal dengan interpretasi visual dilakukan
melalui beberapa tahapan kerja yang dimulai dari deteksi obyek, inden#fikasi obyek, deduksi obyek, analisis,
klasifikasi dan idealisasi (Verstappen, 1977). Deteksi obyek adalah pengamatan suatu obyek (target) pada citra
yang nampak khas dan berbeda dengan latar belakangnya. Pada tahap iden#fikasi, obyek tersebut berusaha
diiden#fikasi karakteris#knya, Iden#fikasi ini mendasarkan pada enam kunci interpretasi citra yang melipu#
bentuk (shape), rona/warna (tone/color), ukuran (size), pola (pa ern), tekstur (texture), bayangan (shadow)
dan asosiasi (associa on). Setelah diketahui karakteris#k obyek tersebut dari hasil iden#fikasi menggunakan
enam kunci interpretasi, pada tahap deduksi disimpulkan obyek tersebut merupakan obyek apa. Setelah tahap
deduksi kemudian baru dilakukan analisis (iden#fikasi sebaran obyek),klasifikasi (deliniasi obyek yang sama)
dan idealisasi (penyajian dalam bentuk peta). Ekstraksi secara digital menggunakan pendekatan yang berbeda
dengan ekstraksi visual. Disini segala pekerjaan mulai dari iden#fikasi sampai klasifikasi dilakukan oleh
komputer secara otoma#s. Operator biasanya hanya perlu memasukkan nilai - nilai parameter sta#s#k yang
akan menjadi dasar komputer dalam menganalisis. Analisis digital juga memasukkan beberapa tahap pra
pemrosesan sebelum citra dianalisis seper# misalnya koreksi radiometrik, koreksi geometrik, image
enhancement, dan transformasi citra.
9Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 2.7. Contoh Hasil Analisis citra digital berupa (a) Citra asli dan (b) Peta penutup lahan hasil analisis.
Gambar 2.8. Proses interpretasi visual pemetaan batuan menggunakan foto udara
G. Aplikasi, Informasi tema#k yang diturunkan dari analisis citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan di
berbagai bidang, misalnya pertanian, kehutanan, perencanaan wilayah, geologi, pertambangan, geografi.
II.B Penggunaan Lahan
Terdapat dua konsep berkaitan dengan penggunaan lahan, yaitu penggunaan lahan itu sendiri (landuse) dan penutup
lahan (landcover). Keduanya sering dicampurkan satu sama lain tapi pada dasarnya keduanya mempunyai konsep yang
berbeda. Penutup lahan (landcover) mengacu pada “benda” yang menutup di atas lahan itu sendiri. Misalnya vegetasi,
tanah terbuka, lahan terbangun, ataupun tubuh air. Sedangkan penggunaan lahan (landuse) mengacu pada
penggunaan dari penutup lahan, seper# misalnya hutan lindung, lahan pertanian, lahan rekreasi, dan lahan konservasi.
Menurut Malingreau (1978), penggunaan lahan didefinisikan sebagai segala macam campur tangan manusia, baik
secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya alam dan sumber daya buatan,
yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual,
ataupun kebutuhan kedua-duanya.
10 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
II.C Penginderaan Jauh Untuk Penggunaan Lahan
Sebagaimana telah diterangkan di muka, penginderaan jauh mampu menyajikan informasi permukaan bumi secara
sinop#k dalam bentuk citra (foto dan non foto). Kemampuan merekam secara sinop#k ini membuat penginderaan jauh
dapat diandalkan untuk mengetahui sebaran dan memetakan obyek – obyek di permukaan bumi baik yang langsung
berkaitan dengan respon spektral (penutup lahan) maupun #dak langsung (misalnya bentuklahan, penggunaan lahan
Penutup lahan merupakan obyek yang dapat langsung bisa diketahui dari citra penginderaan jauh. Bahkan bisa
dikatakan satu – satunya informasi yang terekam dari citra penginderaan jauh adalah informasi sebaran penutup lahan.
Sedangkan informasi lain seper# penggunaan lahan dan bentuklahan dapat diketahui dengan menganalisis pola dan
sebaran penutup lahan (tersirat).
Informasi sebaran penggunaan lahan dari citra penginderaan jauh dapat diketahui dengan melakukan interpretasi dan
analisis terhadap sebaran penutup lahan yang terekam dari citra. Interpretasi citra adalah pengenalan dan analisis citra
pada obyek untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Sutanto, 1986). Interpretasi dapat dilakukan dengan
mendasarkan pada kunci interpretasi yang terdiri dari rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, #nggi dan bayangan,
lokasi dan asosiasi. Proses interpretasi penggunaan lahan biasanya dimulai dari proses interpretasi penutup lahan, lalu
dengan menganalisis lebih lanjut berdasarkan pola, lokasi, perkembangan temporal dan asosiasi, maka dapat diketahui
penggunaan lahannya. Walaupun demikian, penutup lahan terkadang #dak mencerminkan penggunaan lahannya, oleh
karena itu pemetaan berbasis citra penginderaan jauh tetap memerlukan data referensi (anciliary data) dan juga
validasi di lapangan.
Gambar 2.9 Penggunaan Lahan Kawasan Industri dapat diketahui dari penutup lahan lahan terbangun dengan atap bangunan yang seragam, pola teratur, berukuran besar dan
berasosiasi dengan daerah pinggiran kota
Walaupun #dak semua aspek penggunaan lahan dapat diketahui dari citra penginderaan jauh (misalnya aspek sosial
ekonomi dari penggunaan lahan), namun pada saat ini citra penginderaan jauh merupakan sumber informasi utama
dalam pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan citra penginderaan jauh mempunyai beberapa kelebihan
11Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
dibandingkan teknik yang lebih konvensional (pengukuran lapangan dan interview). Yang utama adalah penginderaan
jauh dapat memberikan data sebaran penutup lahan pada wilayah yang luas secara cepat (resolusi temporal yang
baik), sehingga inventarisasi penggunaan lahan dapat lebih mudah dilakukan (mengurangi beban kerja lapangan).
Selain itu monitoring perubahan penggunaan lahan juga dapat lebih cepat dilakukan karena beberapa satelit dapat
memberikan data dengan frekuensi perulangan perekaman sebanyak 12 jam.
Gambar 2.10 Perubahan penggunaan lahan akibat kerja manusia atau bencana alam dapat lebih cepat diketahui dan dipetakan menggunakan Citra Penginderaan Jauh
13Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
BAB III
SISTEM PENGINDERAAN JAUH ALOS DAN SPOT
III.1 ALOS
ALOS (Advanced Land Observa on System) adalah satelit penginderaan jauh yang dikembangkan oleh Pemerintah
Jepang sebagai bagian dari program Earth Observa on mereka. ALOS merupakan penerus dari dua satelit observasi
bumi generasi sebelumnya (ADEOS dan JERS-1). ALOS diluncurkan ke orbit pada tanggal 24 Januari 2006 dengan
membawa ga sensor, yaitu AVNIR-2, PRISM dan PALSAR. AVNIR-2 dan PRISM adalah sensor op k yang masing –
masing bekerja pada mode mul spektral dan pankroma k, Sedangkan PALSAR merupakan sensor SAR (Synthe c
Aperture Radar). ALOS didesain untuk menghasilkan data citra satelit untuk kepen ngan aplikasi kebumian seper
kartografi, penggunaan lahan, kebencanaan, sumberdaya alam, dan monitoring perkotaan.
Gambar 3.1 Overview ALOS (JAXA, 2008)
Berikut ini adalah karakteris k umum ALOS:
Tabel 3.1 Karakteristik Umum ALOS (ALOS User Guide, 2009)
Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006
Lokasi Peluncuran Tenageshima Space Center
Target lama operasi 3 – 5 tahun
Orbit Sinkron Matahari
Resolusi temporal 46 hari
Inklinasi = 98,16 derajat
Ke nggian dari permukaan bumi = 691 Km
Media penyimpan Perekam data Solid State (90 Gb)
14 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
III.2 AVNIR-2
AVNIR -2 (Advanced Visible Near Infra Red type 2) merupakan salah satu sensor mul spektral yang terpasang pada
satelit ALOS. AVNIR-2 adalah sebuah sensor mul spektral dan merupakan generasi kedua dari keluarga sensor AVNIR.
Sensor AVNIR-1 dipasang pada satelit ADEOS. Dibanding pendahulunya, sensor AVNIR-2 memiliki banyak peningkatan,
diantaranya mampu menghasilkan citra mul spektral dengan resolusi spasial 10 meter (sebelumnya 50 meter). AVNIR-
2 juga memiliki kemampuan untuk merekam dalam mode off-nadir sampai 44 derajat. Berikut ini adalah karakteris k
umum sensor AVNIR-2.
Tabel 3.2 Karakteristik AVNIR-2
Gambar 3.2 (a) Overview AVNIR-2 dan (b) Kemampuan merekam off nadir dari AVNIR-2 (JAXA, 2009)
JAXA sebagai pengelola ALOS AVNIR-2 membagi level pemrosesan dari data AVNIR-2 sebagai berikut:
Jumlah saluran (bands) 4 saluran
Panjang gelombang (wavelength) Saluran 1 : 0,42 – 0,5 mikrometer
Saluran 2 : 0,52 – 0,6 mikrometer
Saluran 3 : 0,61 – 0, 69 mikrometer
Saluran 4 : 0,76 – 0, 89 mikrometer
Resolusi spasial 10 meter (pada perekaman nadir)
Swath width 70 km (pada perekaman nadir)
Jumlah detektor 7000 per saluran
Poin ng Angle - 44 sampai +44 derajat
Resolusi spektral 8 Bit
15Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Tabel 3.3 Level Pemrosesan Data PRISM dan AVNIR-2 (JAXA, 2009)
III.2 SPOT
SPOT merupakan Satelit Penginderaan Jauh sumber daya alam milik Prancis yang sudah beroperasi sejak tahun 1986
(tertua kedua setelah Landsat). Sampai saat ini, satelit SPOT yang telah diluncurkan adalah sebanyak 5 satelit. Mulai
dari SPOT-1 tahun 1986 sampai SPOT-5 tahun 2002. Dari kelima satelit, dua satelit sudah dak mampu bekerja lagi,
sehingga sekarang yang masih beroperasi hanya 3 satelit (SPOT-2,4 dan 5). Berikut ini adalah tabel karakteris k satelit
SPOT mulai dari generasi pertama sampai terakhir.
Tabel 3.4 Karakteristik Satelit SPOT 1 sampai 5 (SPOT IMAGE, 2006)
Level 1A Data mentah hasil rekonstruksi langsung dari satelit (level 0 data)
Level 1B1 Koreksi radiometrik telah diterapkan,
Level 1B2R
(Georeferenced)
Sebagian jenis koreksi geometrik telah diterapkan seper koreksi pengaruh
rotasi bumi (skewness), georeferensi ke dalam proyeksi peta yang berlaku
umum (UTM dengan datum WGS-84)
Level 1B2G
(geocoded)
Data telah terkoreksi radiometrik dan geometrik, proyeksi peta sudah
diterapkan, arah utara piksel citra sudah mengiku arah utara sebenarnya,
parameter rotasi sudah diterapkan.
Paramater Satelit
SPOT-5 SPOT-4 SPOT-1,2,3
Peluncuran 4 Mei 2002 24 Maret 1998 1. 22 Februari 1986
2. 22 Januari 1990
3. 20 September 1993
Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun
Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari
Waktu melintasi ekuator (waktu
lokal)
10.30 10.30 10.30
Ke)nggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km
Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit
Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat
Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari
Instrumen Resolusi )nggi
- Saluran spektral
- Julat Spektral
- Luas Liputan
- Resolusi Radiometrik
- Resolusi Temporal
2 Sensor HRG
- 2 pankroma k (5m) yang bisa dikombinasikan menjadi 1
pankroma k (2,5 m)
- 3 VNIR (10m)
- 1 SWIR (20m)
- P : 0,48-0,71 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- 60 x 60 km atau 60 x 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
2 Sensor HRVIR
- 1 Saluran Merah Resolusi 10m
- 3 VNIR (20m)
- 1 SWIR (20m)
- M : 0,61-0,68 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm
- 60 x 60 km atau 60 x 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
2 Sensor HRV
- 1 Pankroma (10m)
- 3 VNIR (20m)
- P : 0,48-0,71 μm
- B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm
- B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm
- B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm
- 60 x 60 km atau 60 x 80 km
- 8 bits
- 2 hingga 3 hari
16 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Dari generasi ke generasi, kapabilitas sensor pada se ap satelit selalu mengalami perbaikan. Pada saat SPOT 1 sampai 3
diluncurkan, teknologi perekaman masih menggunakan sensor HRV, dan sekarang sudah sampai ke sensor HRG (High
Resolu on Ground) dan HRS (High Resolu on Stereoscopic). Aspek resolusi spasial dan spektral juga meningkat dengan
tambahan kemampuan mereka band SWIR sejak SPOT-4, sehingga penggunaan citra SPOT dapat dikembangkan ke
aplikasi yang semakin luas.
Sensor pada se ap generasi satelit SPOT terdiri dari dua sensor iden k yang mampu diatur arahnya sehingga memiliki
kapabilitas perekaman off nadir. Kapabilitas perekaman off nadir ini memungkinkan dapat dihasilkannya citra stereo
jenis across track. Citra stereo ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk berbagai aplikasi seper pembuatan DEM, dan
interpretasi citra stereoskopik.
SPOT IMAGE memproduksi dan mendiseminasi citra SPOT dalam berbagai jenis ngkat pemrosesan sebagai berikut :
Tabel 3.5 Deskripsi Tingkat Pemrosesan Data SPOT (SPOT IMAGE, 2006)
Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi posisi
1A Normalisasi respon CCD untuk
memperbaiki variasi radiometrik yang
dikarenakan perbedaan sensi vitas
detektor
Pengaruh eksternal (atmosfer) belum
dikoreksi.
- N/A < 50 meter
1B Sama dengan 1A Distorsi geometrik sistema k sudah
terkoreksi (distorsi panoramik, efek
rotasi bumi, variasi ke nggian orbit)
< 30 meter
2A Sama dengan 1A Pemrosesan level 1B
Transformasi koordinat ke UTM
Orthorek fikasi tanpa menggunakan
GCP, hanya menggunakan informasi
ephemeris sensor plus DEM dengan
resolusi 1 km
< 30 meter
2B
(Precision)
Sama dengan 1A Pemrosesan Level 2A
Penggunaan GCP untuk koreksi
geometrik guna memperoleh keteli an
posisi yang lebih baik
Tergantung
akurasi GCP
3 (Ortho) Sama dengan 1A Pemrosesan Level 2A
Orthorek fikasi menggunakan DEM
berkualitas nggi dan GCP untuk
mengkoreksi distorsi geometrik akibat
pengaruh medan
< 10 meter,
tergantung
akurasi GCP dan
DEM
17Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Tabel 3.5 Deskripsi Tingkat Pemrosesan Data SPOT (SPOT IMAGE, 2006)
19Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
BAB III
DESKRIPSI WILAYAH PEMETAAN
IV.1 Karakteris k Administra f dan Geografis
Kabupaten Kutai Barat merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalan wilayah administrasi Provinsi Kalimantan
Timur Indonesia. Kabupaten ini merupakan salah satu Kabupaten di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan
Malaysia. Secara geografis, Kabupaten Kutai Barat terletak pada 1130 45’ 05” – 1160 31’ 19” BT serta diantara 10 31’
35” LU dan 10 10’ 16” LS. Adapun batas wilayah secara administrasi adalah Kabupaten Malinau dan Negara Serawak
(Malaysia Timur) di sebalah Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah Timur, Kabupaten Pasir di sebelah Selatan
dan Propinsi Kalimantan Tengah serta Propinsi Kalimantan Barat di sebelah Barat. Dengan luas wilayah sebesar
31.628,70 km2
(kurang lebih 15% dari Propinsi Kalimantan Timur), Kabupaten Kutai Barat memiliki 21 kecamatan dan
223 kampung. Berikut ini adalah tabel pembagian wilayah administra6f di Kabupaten Kutai Barat.
Gambar 4.1 Lokasi dan Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Kutai Barat
No Kecamatan Luas Wilayah (km2)
1 Bongan 2.274,40
2 Jempang 654,40
3 Penyinggahan 271,90
4 Muara Pahu 496,68
5 Muara Lawa 444,50
6 Damai 1.750,43
7 Barong Tongkok 492,21
8 Melak 287,87
9 Long Iram 1.462,01
10 Long Hubung 530,90
11 Long Bagun 4.971,20
12 Long Pahangai 3.420,40
13 Long Apari 5.490,70
14 Bentian Besar 886,40
15 Linggang Bigung 699,30
16 Siluq Ngurai 2.015,58
17 Nyuatan 1.740,70
18 Sekolaq Darat 165,46
19 Manoor Bulatn 867,70
20 Tering 1.804,16
21 Laham 901,80
20 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
IV.2 Karakteris k Iklim dan Topografis
Dilihat dari aspek klimatologi, Kabupaten Kutai barat termasuk dalam kategori iklim tropika humida, dengan rata-rata
curah hujan ter6nggi pada bulan April dan terendah di bulan Agustus serta 6dak menunjukkan adanya bulan kering.
Dengan kata lain, sepanjang bulan dalam satu tahun selalu terdapat sekurang-kurangnya tujuh hari hujan. Namun
demikian dalam tahun-tahun terakhir ini, keadaan iklim di Kabupaten Kutai Barat menjadi 6dak menentu. Pada bulan-
bulan yang seharusnya turun hujan dalam kenyataannya 6dak hujan, atau sebaliknya pada bulan bulan yang
seharusnya kemarau bahkan terjadi hujan dengan dengan musim yang lebih panjang. Temperatur minimum umumnya
terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Januari sedangkan temperatur maksimum terjadi antara bulan Juli sampai
dengan bulan Agustus. Daerah beriklim seper6 ini 6dak mempunyai perbedaan yang jelas antara musim hujan dan
musim kemarau. Pada musim angin barat hujan turun sekitar sekitar bulan Agustus sampai bulan Maret, sedangkan
pada musim 6mur hujan rela6f kurang, hal ini terjadi pada sekitar bulan April sampai bulan September.
Berdasarkan data topografi, Kabupaten Kutai Barat dengan luas wilayah mencapai 316.287.000,00 hektar, didominasi
oleh lahan dengan topografi sangat curam (50,16%) dan curam (6,11%) dan selebihnya dengan kondisi datar, dan
bergelombang. Wilayah dengan topografi pegunungan mencapai 1.586.552,08 hektar atau lebih dari 50% dari luas
seluruhnya tersebut, berada di bagian Barat Laut Kabupaten Kutai Barat. Sedangkan luas wilayah dengan topografi
datar hanya sebesar 10,35% atau 327.400,84 hektar dan terletak di bagian Tenggara Kabupaten Kutai Barat.
Gambar 4.2 Kondisi topografi Kabupaten Kutai Barat
IV.3 Karakteris k Kependudukan
Penduduk Kabupaten Kutai Barat saat ini adalah sekitar 150.000 warga dengan 31000 Kepala
keluarga. Kepadatan penduduk ter6nggi adalah di kalan barong tongkok. Rata—rata kepadatan
penduduk adalah sekitar 4 orang per kilometer persegi.
21Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Adapun kecamatan—kecamatan dengan kepadatan penduduk ter6nggi adalah Barong Tongkok (26 jiwa/km), Melak (15
jiwa/km) dan Penyinggahan (13 jiwa/km). Dari aspek ekonomi dan pendapatan daerah, pendapatan perkapita
Kabupaten Kutai Barat sebesar Rp 6 juta dan PDRB pada tahun yang sama sebesar Rp 7.9 juta per kapita. Mata
pencaharian penduduk umumnya adalah sebagai petani ladang, petani karet, penambang emas, dan sarang burung
walet. Penduduk biasanya 6dak hanya memiliki satu mata pencaharian. Mata pencaharian alterna6f mencakup
berburu, pengumpul damar dan hasil hutan non kayu lainnya, beternak, kerajinan rotan, dan wisata.
IV.4 Karakteris k Penggunaan Lahan Eksis ng
Berdasarkan Peta Penggunaan Lahan Kutai Barat yang dibuat oleh WWF dan BIOTROP Tahun 2008, penggunaan lahan
di Kutai Barat dapat dirinci menjadi 4 bentuk penggunaan lahan utama, yaitu kawasan budidaya non kehutanan,
kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Yang termasuk dalam kawasan
budidaya non kehutanan antara lain adalah penggunaan lahan permukiman, pertanian, pertambangan, dan ak6vitas
non kehutanan lainnya. Sedangkan kawasan hutan produksi antara lain perkebunan kelapa sawit, karet, produksi kayu,
dan lainnya. Secara keseluruhan, Kawasan budidaya non kehutanan mempunyai proporsi sebesar 29% dari seluruh luas
wilayah. Kawasan hutan produksi memiliki proporsi paling besar, yaitu sebesar 47%. Sedangkan kawasan lain seper6
kawasan hutan lindung proporsinya sebesar 23% dan sisanya adalah kawasan hutan konservasi.
Gambar 4.3 Kondisi Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat
23Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
BAB V
METODE PELAKSANAAN PEMETAAN
V.1 Alat dan Bahan Yang Digunakan
Pekerjaan pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat berbasis interpretasi citra satelit menggunakan alat dan
bahan sebagai berikut:
IV.1.A Alat
Alat yang digunakan dalam penyelesaian pekerjaan melipu :
1. Seperangkat Komputer dengan spesifikasi Processor Intel Dual core E2160 1,8 Ghz, 2GB RAM, VGA ATI Radeon
HD 4665, monitor LCD 18 inch dan perlengkapan pendukung.
2. So3ware ArcGIS versi 10 untuk pelaksanaan pemetaan dan interpretasi citra.
3. So3ware ENVI versi 4.8 dan ER Mapper versi 2011 untuk pelaksanaan pengolahan citra digital (restorasi citra,
mosaik, kompresi citra)
4. So3ware OpenOffice suite 3.2 untuk penulisan laporan.
IV.1.B Bahan
Bahan yang digunakan untuk melaksanakan pemetaan melipu :
1. Peta Rupabumi digital Kabupaten Kutai Barat Skala 1: 50.000. Peta ini berfungsi sebagai peta dasar dan
sumber GCP (ground control point) dalam koreksi geometrik citra.
2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2008 dari Biotrop – WWF. Peta ini berfungsi sebagai
informasi tambahan (auxiliary data) dan referensi dalam pemetaan.
3. Citra ALOS AVNIR-2 dan PRISM level pemrosesan L1B2R (terkoreksi radiometrik dan geometrik), sebanyak 13
scene yang meliput wilayah Kabupaten Kutai Barat. Waktu perekaman citra berkisar antara tahun 2009 sampai
2010. Satu scene citra terdiri dari 10 file yang melipu file citra (ditandai dengan nama IMG), metadata citra
(ditandai dengan nama LED) dan file lainnya dalam format TXT (lisensi penggunaan citra, rangkuman
metadata).
Gambar 5.1 Rincian file dalam Satu Scene Citra ALOS level 1B2R
24 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
4. Citra SPOT-2 dan SPOT-4 level pemrosesan L2A (terkoreksi radiometrik dan geometrik) sebanyak 4 scene citra
mul spektral. Waktu perekaman berkisar antara tahun 2008 – 2010. Format citra SPOT yang digunakan adalah
format DIMAP (digital image map). Format DIMAP merupakan format diseminasi citra yang dikembangkan
oleh perusahaan SPOT IMAGE sebagai standar diseminasi citra dari beberapa sensor seper SPOT dan
FORMOSAT. Dalam format DIMAP, metadata citra disimpan sebagai file XML dengan ekstensi *.DIM
(metadata.DIM). Sedangkan file citranya sendiri disimpan dalam format *.TIF (Imagery. f). Selain metadata,
informasi pendukung lain juga dilampirkan seper quicklook citra dalam format JPG dan keterangan penjelas
(readme.html).
Gambar 5.2 Rincian file dalam Satu Scene Citra SPOT 2-HRV dan SPOT 4-HRVIR Format DIMAP
Gambar 5.3 Contoh Hasil Parsing file metadata citra (file DIM) dalam browser Internet Explorer
IV.2 Metode Pelaksanaan Pemetaan dan Interpretasi
IV.2.A Tinjauan Umum Citra Satelit ALOS dan SPOT yang digunakan dalam Pemetaan.
Kegiatan pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 berbasis interpretasi citra satelit ini
menggunakan Citra SPOT-2 HRV, Citra SPOT-4 HRVIR, dan ALOS AVNIR-2 sebagai sumber datanya. Citra yang diperoleh
masing – masing telah terproses sampai Level 2A untuk SPOT, dan Level 1B2R untuk ALOS AVNIR-2. Dari segi kualitas
citra untuk keperluan pemetaan penggunaan lahan, citra yang digunakan tampaknya mempunyai kelebihan dan
kekurangan, baik dari aspek radiometrik maupun geometrik. Berikut ini adalah njauan umum mengenai karakteris k
citra yang digunakan beserta analisis kelemahan dan kelebihannya.
25Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
IV.2.A.1 Citra ALOS -AVNIR 2 L1B2R
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tabel .... pada bab 2, JAXA selaku vendor ALOS telah membagi produk ALOS AVNIR-
2 menjadi beberapa ngkat pemrosesan. Adapun citra yang digunakan dalam pemetaan ini telah diproses sampai Level
1B2R. Level 1B2 mengar kan bahwa citra telah terkoreksi radiometrik sistema s dan ter-georeferensi ke dalam bidang
proyeksi peta. Terkoreksi radiometrik sistema s berar nilai spektral citra sudah terkalibrasi secara absolut sesuai
dengan acuan kalibrasi, ukuran piksel sudah rela f seragam, se ap saluran sudah ter-coregistrasi ( dak ada perbedaan
posisi/misalignment) dan bentuk citra sudah terekonstruksi. Sedangkan yang dimaksud tergeoreferensi disini adalah
citra sudah terproyeksi ke dalam koordinat peta (proyeksi UTM).
Selain itu, pengaruh rotasi bumi dan kesalahan geometrik sistema s lain dari geometris bumi dan sensor juga sudah
terkoreksi. Walaupun demikian, untuk level 1B2R ini masih terdapat beberapa kesalahan yang masih belum dikoreksi,
diantaranya adalah piksel masih belum di-resampling (gambar....), dan distorsi geometrik yang disebabkan pengaruh
topografis (relief displacement). Untuk itu, evaluasi akurasi geometrik citra L1B2R perlu dilakukan untuk memas kan
citra sudah terkoreksi secara akurat dan dapat digunakan untuk menurunkan data dengan ngkat akurasi posisional
yang baik. Koreksi radiometrik terhadap pengaruh atmosfer, baik yang bersifat rela f (misalnya dark pixel substrac on)
maupun absolut (pembuatan citra reflektansi) dalam pemetaan ini dak akan dilakukan. Hal ini mengingat metode
pemetaan yang akan digunakan adalah interpretasi visual, yang mana dak memerlukan nilai spektral citra yang
seakurat mungkin. Yang dipen ngkan adalah citra mempunyai kontras yang cukup sehingga dapat diinterpretasi
dengan jelas. Oleh karena itu, manipulasi radiometrik yang akan dilakukan nan nya lebih terfokus pada operasi
penajaman dan perbaikan kualitas radiometrik citra (image enhancement)
Dari sebanyak 13 Scene ALOS AVNIR-2 yang diperoleh, semuanya dak ada yang bersih dari awan. Keberadaan awan
pada se ap scene bervariasi mulai dari 15% sampai 75% wilayah liputan. Sebarannya pun bervariasi, ada yang tersebar
dan ada yang mengumpul pada bagian tertentu dari citra. Dalam kaitannya dengan pemetaan penggunaan lahan,
keberadaan awan ini merupakan faktor yang diperkirakan akan cukup menganggu jalannya interpretasi (banyak area
yang dak dapat diinterpretasi karena tertutup awan). Oleh karena itu kegiatan interpretasi nan nya akan lebih
difokuskan pada upda ng data yang sudah ada dan uji akurasi hasil interpretasi.
IV.2.A.2 CITRA SPOT-2 HRV DAN SPOT-4 HRVIR Level 2A
Citra SPOT dengan level pemrosesan 2A mempunyai karakteris k antara lain sudah terkoreksi radiometrik dan
geometrik. Untuk aspek keteli an geometrik, citra sudah terproses secara ortho, namun dalam prosesnya belum
digunakan k kontrol tanah (ground control points). Orthorek fikasi hanya dilakukan berdasarkan informasi
ephemeris dari sensor dan parameter elevasinya berasal dari DEM global dengan resolusi 1 kilometer. Mengingat
pemetaan ini dilakukan pada daerah dengan topografi bergunung, maka akurasi dan konsistensi geometrik dari citra
SPOT level 2A masih perlu dievaluasi dan diuji akurasinya karena orthorek fikasi tanpa GCP dengan kualitas baik
biasanya belum mampu menghasilkan citra dengan akurasi yang cukup.
26 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Koreksi radiometrik tambahan selain yang telah dilakukan oleh vendor citra (misalnya koreksi atmosfer)
diper mbangkan dak perlu dilakukan, mengingat pemetaan dak dilakukan secara digital.
Jumlah scene citra SPOT yang digunakan dalam pemetaan ini sebanyak 4 scene, yang terdiri dari 1 Scene SPOT-2
dengan resolusi 20 meter dan 3 Scene SPOT-4 dengan resolusi 20 meter. Ke empat scene yang digunakan dak ada
yang bersih dari awan. Keberadaan awan bervariasi mulai dari 10% sampai 40% dari luas liputan citra.
IV.2.B Restorasi Citra (Koreksi Geometrik)
Karena penginderaan jauh bukan merupakan sebuah sistem yang ideal, maka hasil proses penginderaan jauh yang
berupa citra atau foto mengandung beberapa kesalahan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor – faktor
penyebab adanya kesalahan pada citra ini dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu aspek geometrik citra dan aspek
radiometrik citra. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat, berbagai macam distorsi/kesalahan
ini harus dihilangkan dan dikoreksi.
Sesuai dengan hasil njauan umum terhadap citra yang digunakan, maka dalam pekerjaan pemetaan ini analisis
kesalahan radiometrik dan koreksi radiometrik citra dak dilakukan karena akurasi nilai spektral dak terlalu
dibutuhkan. Yang lebih dipen ngkan adalah kontras citra yang baik agar interpretasi dapat lebih mudah dilakukan.
Yang termasuk dalam sumber kesalahan geometrik pada citra antara lain : pengaruh rotasi bumi, topografi bergunung,
kelengkungan bumi, variasi gerakan sensor, medan pandang yang luas. Faktor – faktor tersebut menyebabkan citra
mengandung beberapa kesalahan seper pergeseran posisi obyek (relief displacement) dan ukuran piksel yang dak
seragam (Richards, 2006).
Untuk mengkoreksi kesalahan – kesalahan diatas, terdapat dua metode yang umum digunakan dalam penginderaan
jauh, yaitu metode fisis dengan cara memodelkan se ap jenis kesalahan beserta parameter koreksinya dan kemudian
diaplikasikan pada citra, dan yang kedua adalah metode empiris berupa penggunaan model matema s polynomial
untuk menghubungkan koordinat piksel pada citra (baris dan kolom) dengan koordinat piksel tersebut di lapangan
(koordinat peta) (Richards, 2006).
Karena citra yang digunakan sudah berada pada ngkat terkoreksi radiometrik dan geometrik (SPOT level 2A dan ALOS
AVNIR-2 Level 1B2R) maka koreksi geometrik pada pemetaan ini lebih difokuskan pada evaluasi akurasi koreksi
geometrik yang dilakukan vendor citra, dengan menggunakan Peta RBI terbitan BAKOSURTANAL Skala 1:50.000 sebagai
referensi dan pembanding. Jika hasil koreksi geometrik dari vendor mempunyai akurasi yang sama dengan Peta RBI,
maka koreksi geometrik tambahan dak perlu dilakukan. Namun sebaliknya jika ditemui masih terdapat kesalahan
geometrik, maka akan dilakukan koreksi geometrik tambahan dengan menggunakan transformasi polynomial dua
dimensi. Berikut ini adalah skema strategi koreksi geometrik yang akan dilakukan :
27Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 5.4 Skema Strategi Koreksi Geometrik
Kriteria yang digunakan pada tahap Uji Akurasi untuk mengetahui hasil koreksi geometrik dari vendor citra dapat
diterima atau dak adalah dengan membandingkan kenampakan Jalan dan Sungai pada citra dengan pada peta. Jika
kenampakan pada citra tepat berimpit sempurna pada peta berar citra dianggap sudah akurat dan dak perlu
dikoreksi lagi. Sedangkan jika kenampakan dak berimpit sempurna, maka koreksi geometrik dari vendor dianggap
kurang akurat dan dilakukan koreksi tambahan dengan menggunakan transformasi polynomial orde 1 (affine). Adapun
rumus persamaan polynomial umum yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
u,v = koordinat citra
x,y = koordinat peta (Richards, 2006)
IV.2.C Penajaman Kontras (Contrast Stretching)
Hasil perekaman citra satelit dijital seringkali mempunyai rentang nilai dijital (DN) yang rela f sempit. Jika dibandingkan
dengan ruang yang tersedia untuk penyimpanan data (0 – 255 untuk citra 8 BIT dan 0 – 4026 untuk 11BIT). Hal ini
menyebabkan citra tampak rela f gelap dan kurang kontras. Untuk kepen ngan interpretasi citra diperlukan citra
dengan kontras yang baik. Untuk itu perlu dilakukan penajaman kontras (contrast enhancement) dengan cara
manipulasi histogram citra (CCRS, 1999).
Gambar 5.5 Penajaman Kontras (CCRS, 1999)
28 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Penajaman kontras dapat dapat dibagi dua, yaitu linier dan non linier. Penajaman kontras non linier selanjutnya dapat
dibagi lagi menjadi beberapa metode seper penyamaan histogram (histogram equaliza on), penajaman gaussian dan
penajaman berbasis standar deviasi (ERDAS Field Guide).
Dalam kegiatan pemetaan ini, penajaman kontras diperlukan agar citra yang digunakan dapat memiliki kontras yang
baik, sehingga representasi obyek akan lebih jelas dan lebih mudah diinterpretasi. Strategi yang digunakan adalah
dengan mencoba mengaplikasikan beberapa teknik penajaman kontras yang umum digunakan dalam pengolahan citra
dijital, yaitu :
1. Penajaman kontras linier (linear contrast stretching)
2. Penajaman berbasis standar deviasi (standard devia on stretching)
3. Penyetaraan Histogram (Histogram Equaliza on)
Metode terbaik dinilai secara subyek f visual dengan cara membandingkan kontras citra hasil penajaman. Citra dengan
kontras yang paling baik yang akan dipakai untuk kegiatan interpretasi.
IV.2.D Penyesuaian Histogram (Histogram Matching)
Penyesuaian Histogram merupakan salah satu teknik manipulasi citra dengan tujuan menyamakan karakteris k
radiometrik antara satu citra dan citra lain, sehingga kualitas radiometriknya menjadi rela f seragam. Citra yang
direkam pada waktu berbeda seringkali mempunyai ngkat kecerahan yang dak sama yang diakibatkan antara lain
adalah perbedaan kondisi atmosfer (Richards, 2006) . Hal ini dapat menjadi masalah jika citra akan dimosaik dengan
citra lain. Tingkat kecerahan citra menjadi kurang selaras dan hasil mosaik menjadi kurang terpadu (seamless) (ERDAS
Field Guide). Walaupun demikian, penerapan histogram matching yang sukses se daknya memerlukan ga syarat
(ERDAS Field Guide), yaitu :
1. Bentuk umum histogram antara citra – citra yang akan diproses rela f seragam
2. Kenampakan gelap dan cerah pada se ap citra idealnya merupakan obyek yang sejenis.
3. Untuk aplikasi tertentu, resolusi spasial citra mungkin harus sama.
4. Jika terdapat awan pada satu citra dan yang lain bersih awan, maka keberadaan awan pada salah satu citra
harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum dilakukan histogram matching.
Teknik penyesuaian histogram dilakukan dengan cara membuat Lookup Table dari citra referensi. Lookup table ini
berisi informasi nilai kecerahan pada citra referensi dan asosiasi gradasi keabuannya. Kemudian citra masukan yang
akan disesuaikan histogramnya diplotkan ke dalam lookup table ini sesuai dengan gradasi nilai keabuan dari citra
referensi. Dan proses diakhiri dengan rekonstruksi histogram hasil plo ng nilai spektral citra masukan (ERDAS Field
Guide). Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
29Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 5.6 (a) Histogram citra masukan, (b) lookup table citra referensi dan (c) hasil perkiraan histogram output
Dikarenakan salah satu keluaran dari pemetaan ini adalah mosaik citra yang meliput seluruh wilayah Kabupaten Kutai
Barat, maka sebelum citra dimosaik perlu dilakukan penyesuaian histogram agar citra mosaik dalam lebih terpadu
kualitas radiometriknya. Dan memper mbangkan juga bahwa se ap citra yang digunakan terdapat perawanan serta
meliput daerah dengan karakteris k penutup lahan dominan yang seragam, maka koreksi penghilangan awan sebelum
proses matching dipandang dak perlu dilakukan karena julat nilai spektral pada se ap citra rela f sama.
IV.2.E Pembuatan Mosaik Citra (Mosaicking)
Mosaicking atau pembuatan mosaik citra merupakan proses penggabungan banyak citra untuk membentuk satu citra
yang meliput wilayah lebih luas (ERDAS Field Guide). Mosaik citra diperlukan biasanya untuk melihat sebaran obyek
dalam cakupan yang lebih luas dari cakupan konvensional citra.
Pembuatan mosaik citra dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu mosaik terkontrol dan mosaik dak
terkontrol (Sutanto, 1986). Mosaik terkontrol menggunakan citra yang sudah tergeoreferensi sebagai masukannya,
sehingga proses mosaik dilakukan secara otoma s sesuai dengan koordinat masing – masing citra penyusun. Akurasi
hasil mosaik terkontrol akan sangat tergantung pada akurasi geometrik citra penyusunnya. Kesalahan yang umum
terjadi dari penggunaan teknik mosaik terkontrol adalah munculnya ke dak selarasan (displacement) dari obyek –
obyek yang sama pada bagian tepi citra atau pada bagian citra yang bertampalan (overlap). Hal ini diakibatkan citra
yang dimosaik mempunyai akurasi yang dak seragam, sehingga dak tepat bertampalan. Untuk menghindari
kesalahan tersebut, citra harus dipas kan mempunyai akurasi yang seragam dan berada dalam batas toleransi
kesalahan yang dapat diterima satu sama lain.
Sedangkan mosaik dak terkontrol menggunakan pendekatan yang berkebalikan dengan mosaik terkontrol. Teknik ini
menggunakan citra yang belum terkoreksi sebagai masukannya, sehingga proses mosaik dilakukan secara manual atau
otoma s dengan menggunakan algoritma tertentu. Kelebihan dari teknik ini adalah adanya ke dak selarasan obyek
dapat dihindari karena proses mosaik dilakukan secara manual. Namun demikian teknik ini bukan berar tanpa
kelemahan. Kelemahan dari teknik ini muncul ke ka citra direk fikasi. Sebagai akibat dari mosaik citra yang kesalahan
geometriknya belum dikoreksi, maka hasil mosaik citra akan mengakumulasikan kesalahan – kesalahan geometrik dari
citra – citra penyusunnya, sehingga pada tahap koreksi geometrik biasanya dak dapat diselesaikan dengan persamaan
polynomial orde rendah (affine), melainkan menggunakan orde nggi (lebih dari 3). Semakin nggi orde yang
digunakan, semakin banyak k kontrol tanah yang dibutuhkan, dan persamaan akan menjadi semakin sensi f
terhadap sebaran k kontrol. Area yang dak terdapat k kontrol akan mempunyai kesalahan posisi yang besar.
30 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Dalam pemetaan ini, metode mosaicking yang digunakan adalah pendekatan mosaik terkontrol. Untuk mengan sipasi
adanya perbedaan posisi obyek antara satu citra dengan citra lain, dalam tahap koreksi geometrik akan dipas kan
bahwa citra mempunyai akurasi yang seragam dan dak ada perbedaan posisi obyek pada bagian – bagian yang
bertampalan.
IV.2.F Interpretasi Penggunaan Lahan
IV.2.F.1 Proses Interpretasi Penggunaan Lahan dan Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan yang digunakan
Pembuatan Peta Penggunaan Lahan berbasis interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan menggunakan dua
metode, yaitu intepretasi visual dan klasifikasi dijital (Sutanto, 1986). Interpretasi visual biasanya dilakukan pada data
penginderaan jauh yang berformat analog/cetakan atau dijital melalui digitasi pada layar monitor. Pada proses
interpretasi visual, interpreter berusaha mengenali obyek di permukaan bumi dengan mendasarkan pada kunci
interpretasi yang terdiri dari rona/warna, bentuk, pola, tekstur, bayangan, ukuran, asosiasi dan situs (Sutanto, 1986).
Obyek yang teriden fikasi kemudian di deliniasi batasnya dan akhirnya dihasilkan sebuah peta tema k sebaran obyek
hasil iden fikasi. Sedangkan pada klasifikasi dijital, proses pengenalan obyek dilakukan secara otoma s oleh komputer.
Komputer mengenali obyek hanya berdasarkan pada dua aspek, yaitu atribut spektral/warna dan atribut spasial/
tekstur. Oleh karena itu penggunaan klasifikasi dijital hanya terbatas untuk pemetaan penutup lahan atau penggunaan
lahan yang mempunyai tekstur spesifik saja.
Dalam kegiatan pemetaan ini, metode yang digunakan adalah interpretasi visual. Interpretasi visual dipilih karena
informasi yang ingin diperoleh adalah informasi penggunaan lahan yang mana lebih tepat diperoleh menggunakan
pendekatan interpretasi visual. Selain itu, peta referensi yang digunakan berformat data vektor, sehingga untuk
menjaga konsistensi, dipilih interpretasi visual yang keluaran utamanya adalah data vektor juga.
Proses interpretasi dilakukan dengan cara menampalkan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2008
yang dibuat oleh WWF-BIOTROP di atas citra, kemudian diinterpretasi kesesuaian hasil deliniasi penggunaan lahan
dengan kenampakan pada citra. Jika ada perubahan penggunaan lahan, peta kemudian didijitasi ulang sesuai dengan
perubahan yang ada. Untuk meningkatkan kualitas interpretasi, digunakan juga beberapa data tambahan seper hasil
groundcheck penggunaan lahan di lapangan oleh WWF dan peta Konsensi Perkebunan di Kutai Barat.
Pemetaan penggunaan lahan dilakukan dengan mengacu pada klasifikasi penggunaan lahan menurut WWF-BIOTROP
sebagai berikut:
31Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan BIOTROP—WWF untuk Wilayah Kutai Barat (2008)
Kelompok
Penggunaan Lahan
Utama
Rincian semi de/l Rincian De/l
Permukiman - Permukiman - Permukiman
Pertanian - Sawah
- Pertanian campuran
- Sawah
- Pertanian campuran
Pertanian lahan kering - Pertanian lahan kering - Tegalan
- Ladang
Kebun - Kebun - Kebun Campuran
Perkebunan - Perkebunan Besar
- Perkebunan Kecil
- Perkebunan Hutan Industri Kayu
- Perkebunan Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria)
- Perkebunan Kelapa Sawit
- Perkebunan Kelapa Sawit muda
- Perkebunan Akasia
- Perkebunan Karet
- Perkebunan Karet skala kecil
Pertambangan - Pertambangan - Pertambangan batubara
- Pertambangan Emas
Hutan - Hutan Dataran Rendah Kering
- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir
- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa
- Hutan pada daerah berawa air tawar
- Hutan pada daerah berawa gambut
- Belukar (forest regrowth)
- Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi sangat terbuka
- Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi setengah terbuka
- Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi cenderung tertutup
- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi sangat terbuka
- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi setengah terbuka
- Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi cenderung tertutup
- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi sangat terbuka
- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi setengah terbuka
- Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi cenderung tertutup
- Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi sangat terbuka
- Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi setengah terbuka
- Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi cenderung tertutup
- Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi sangat terbuka
- Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi setengah terbuka
- Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi cenderung tertutup
- Belukar
- Belukar pada lahan berawa
Lahan terbuka - Lahan terbuka rusak (bare land)
- Lahan terbakar (burnt)
- Bukaan Lahan (cleared)
- Lahan terbuka rusak
- Lahan terbakar (burnt)
- Bukaan lahan
- Bukaan lahan untuk Industri Hutan Industri/produksi
- Bukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit
Padang - Padang rumput
- Semak
-Padang rumput
- Semak
- Semak pada Hutan berbatuan Batupasir
- Semak pada lahan berawa (fernland)
- Bukaan lahan bekas semak (overgrowing clear-cut shrubs)
Tubuh Air - Tubuh air - Tubuh air
Lain – lain - Lain – lain
- Sungai
- Jalan
- Rel KA
- Lain - lain
- Sungai
- Jalan
- Rel KA
32 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Pada saat ini skema klasifikasi penggunaan lahan di Indonesia telah distandarisasi dengan terbitnya SNI nomor 19-
6728.3-2002 Tahun 2002 tentang Penyusunan Neraca Sumberdaya Lahan Spasial. Oleh karena itu, hasil pemetaan
penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 selain menggunakan skema klasifikasi menurut BIOTROP-WWF,
juga akan dibuat dengan mengacu pada Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan menurut SNI. Jadi keluaran dari pekerjaan
pemetaan ini terdiri dari dua Peta Penggunaan Lahan. Adapun rincian skema klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI
adalah sebagai berikut:
Tabel Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut SNI 19-6728.3-2002
Peta Tingkat Nasional Peta Tingkat Provinsi Peta Tingkat Kabupaten/kota
Permukiman - Permukiman - Permukiman perkotaan
- Permukiman perdesaan
Sawah - Sawah Irigasi
- Sawah tadah hujan
- Sawah pasang surut
- Sawah irigasi teknis
- Sawah irigasi setengah teknis
- Sawah irigasi sederhana
- Sawah tadah hujan
- Sawah pasang surut
Pertanian lahan kering - Pertanian lahan kering - Tegalan
- Ladang
Kebun - Kebun - Kebun Campuran
- Kebun Sejenis ( sayuran )
- Kebun Sejenis ( Bunga-bungaan)
- Kebun Sejenis ( Buah-buahan)
Perkebunan - Perkebunan Besar
- Perkebunan Rakyat
- Perkebunan Besar (jenis komodi )
- Perkebunan Rakyat (jenis komodi )
Pertambangan terbuka - Pertambangan terbuka - Pertambangan terbuka (dirinci menurut bahan galian)
Industri dan Pariwisata - Industri/Pariwisata
- Tempat/lokasi pariwisata
- Industri (dirinci menurut jenis industri, atau pertanian/non pertanian)
- Tempat/lokasi pariwisata
Perhubungan - Pelabuhan/Bandara
- Pelabuhan laut
- Pelabuhan sungai
- Terminal
- Stasiun Kereta Api
- Pelabuhan/Bandara
- Pelabuhan laut
- Pelabuhan sungai
- Terminal
- Stasiun Kereta Api
Lahan berhutan - Lahan berhutan - Lahan berhutan lebat
- Lahan berhutan belukar
- Lahan berhutan sejenis
Lahan terbuka - Lahan terbuka - Lahan terbuka tandus
- Lahan terbuka kri s
- Lahan bukaan sementara
Padang - Padang rumput
- Alang – alang
- Semak
-Padang rumput (dirinci menurut penggunaan)
- Alang – alang
- Semak
Perairan Darat - Danau/Situ/Telaga
- Waduk/Bendungan
- Rawa
- Kolam ikan air tawar
- Tambak
- Penggaraman
- Danau/Situ/Telaga
- Waduk/Bendungan
- Rawa
- Kolam ikan air tawar
- Tambak
- Penggaraman
Lain – lain - Lain – lain
- Sungai
- Jalan
- Rel KA
- Lain - lain
- Sungai
- Jalan
- Rel KA
33Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
IV.2.F.2 Strategi Interpretasi Penggunaan Lahan
Pembuatan peta penggunaan lahan dalam kegiatan ini menggunakan dua skema klasifikasi penggunaan lahan yang
sedikit banyak cukup berbeda. Agar hasil interpretasi dapat lebih op mal dan konsisten antara kedua skema, maka
interpretasi akan dilakukan dengan menggunakan satu skema terlebih dahulu, kemudian hasil pemetaan dikonversikan
kepada skema yang lainnya. Skema yang digunakan dalam interpretasi adalah skema klasifikasi penggunaan lahan
menurut BIOTROP—WWF. Adapun dasar per mbangannya adalah skema klasifikasi penggunaan lahan menurut
WWF—BIOTROP dipandang lebih rinci dan lebih mencerminkan berbagai macam aspek penggunaan lahan (terutama
aspek sosial ekonomi). Sementara klasifikasi menurut SNI lebih bersifat umum dan luas, sehingga dalam konversi skema
dirasa akan lebih mudah.
Berikut ini adalah diagram alir strategi interpretasi dan pemetaan:
Gambar 5.7 Strategi Pelaksanaan Interpretasi Penggunaan Lahan
34 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
IV.2.G Diagram Alir Pemetaan
Sebagai penutup dari pembahasan mengenai metode pemetaan, berikut ini adalah diagram alir dari kegiatan
pemetaan yang dilakukan :
Gambar 5.8 Diagram Alir Pemetaan
35Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan metode yang telah dijabarkan di bab sebelumnya, bagian ini akan membahas hasil—hasil yang diperoleh
dari kegiatan pemetaan, beserta evaluasi dan analisis di se ap tahapan guna memberikan hasil peta penggunaan lahan
terbaik dengan kesalahan yang seminimal mungkin., baik kesalahan tema/informasi maupun kesalahan yang bersifat
posisional.
VI.1 Hasil Koreksi Geometrik
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, citra satelit yang digunakan untuk kegiatan pemetaan telah diproses sampai
level 2A (untuk SPOT) dan L1B2R (untuk ALOS AVNIR-2 kelas B). Citra yang telah diproses sampai pada level tersebut
biasanya sudah terkoreksi, baik radiometrik maupun geometrik. Walaupun demikian, kualitas dan akurasi posisinya
akan sangat tergantung pada kondisi topografis dan kualitas data tambahan yang digunakan. Untuk memas kan bahwa
citra yang digunakan sudah konsisten dan terkoreksi geometrik, maka citra dicek terlebih dahulu kualitas dan akurasi
geometriknya. Skenario dan metode evaluasi hasil koreksi geometrik vendor citra mengiku skema pada Subbab IV.2.B
Berdasarkan hasil evaluasi koreksi geometrik dengan menggunakan Peta RBI skala 1: 50.000 sebagai data referensi,
dapat diketahui bahwa hasil koreksi geometrik yang dilakukan oleh vendor masih mengandung kesalahan posisional
(gambar 6.1 dan gambar 6,2) . Adapapun jenis kesalahan yang dominan terjadi adalah pergeseran posisi (shi ing) dari
data referensi, dengan besarnya pergeseran bervariasi (4 sampai 15 piksel). Kesalahan jenis ini dapat dikoreksi dengan
menggunakan rek fikasi polynomial dua dimensi orde satu yang lebih dikenal dengan nama transformasi affine
(Richards, 2006). Dari 17 scene citra yang digunakan, 16 citra masih mengandung kesalahan posisi geometrik, sehingga
diterapkan rek fikasi ulang. Sedangkan satu citra dak mengandung kesalahan posisi yang besar (masih dalam batas
toleransi kesalahan posisi dari standar kesalahan posisi peta skala 1:100.000), sehingga dak dilakukan rek fikasi ulang.
Rincian citra yang direk fikasi ulang dan yang dak direk fikasi ulang dapat dilihat pada tabel 6.1.
Koreksi dilakukan dengan mentranslasikan citra yang belum terkoreksi menggunakan minimal 2 k kontrol tanah
(Ground control point) ke posisi yang lebih akurat sesuai dengan data referensi (Peta RBI). Pemilihan k kontrol
diupayakan berada pada posisi yang memungkinkan agar residual dari transformasi dapat seminimal mungkin, yaitu di
sudut—sudut citra. Jika transformasi menggunakan dua k ikat, maka diusahakan k ikat yang diambil adalah pada
sudut kanan atas dan kiri bawah, atau kiri atas dan kanan bawah, demikian seterusnya.
36 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.1 Perbandingan citra sebelum dan sesudah rektifikasi ulang dengan data sungai dari Peta dasar
Gambar 6.2 Perbandingan citra sebelum dan sesudah rektifikasi ulang pada bagian tepi citra
Gambar 6.3 menunjukkan sebaran k ikat yang digunakan untuk mentranslasikan citra yang masih memiliki distorsi
geometrik. Ti k ikat yang digunakan untuk merek fikasi ulang citra berjumlah antara 2 sampai 4 k ikat per citra,
sesuai dengan kebutuhan transformasi affine.
37Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.3 Sebaran titik ikat yang digunakan untuk merektifikasi citra
Tabel 6.1 Daftar Citra yang direktifikasi ulang dan tidak direktifikasi ulang
ID citra Sensor direktifikasi ulang tidak direktifikasi ulang
20090811SP4299349S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V
20090905SP4300351S0G2AXS SPOT-2 HRV V
20100215SP4299351S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V
20100403SP4298350S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V
alav2a070023610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V
alav2a179863600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V
alav2a195033620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V
alav2a217643620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V
alav2a235293610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V
alav2a244483600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V
ALOS AV2 A D0993580 0 1B2 24Sep08 ALOS AVNIR-2 V
ALOS AV2 A D0993590 0 1B2 24Jun08 ALOS AVNIR-2 V
ALOS AV2 A D1003570 0 1B2 24May07 ALOS AVNIR-2 V
ALOS AV2 A D1003580 0 1B2 24Nov07 ALOS AVNIR-2 V
ALOS AV2 A D1003590 0 1B2 26Nov08 ALOS AVNIR-2 V
ALOS AV2 A D1013570 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 V
ALOS AV2 A D1013580 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 V
38 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
VI.2 Penajaman Kontras (Contrast Enhancement)
Penajaman kontras diperlukan agar citra yang akan diinterpretasi mempunyai kontras yang baik, sehingga se ap
obyek yang nampak pada citra dapat diinden fikasi dengan baik. Teknik penajaman kontras melipu teknik
penajaman linier maupun non linier. Masing—masing memberikan hasil penajaman yang berbeda, dan se ap metode
belum tentu dapat memberikan penajaman yang baik untuk se ap citra. Hal ini dikarenakan se ap citra mempunyai
karakteris k radiometrik yang berbeda—beda, sehingga satu algoritma yang menghasilkan penajaman yang baik
untuk satu citra, belum tentu hasilnya baik juga untuk citra lain. Selain itu, cara pengambilan contoh histogram untuk
penyusunan lookup table juga dapat memberikan hasil penajaman yang berbeda—beda. Oleh karena itu dikenal juga
kategorisasi penajaman kontras global dan penajaman kontras lokal/piecewise.
Dalam kegiatan pemetaan ini, terdapat ga algoritma penajaman kontras yang diuji, yaitu: penajaman kontras linier,
penajaman kontras berbasis standar deviasi, penajaman kontras gaussian, dan penajaman kontras penyesuaian
histogram. Strategi pengambilan contoh histogram untuk penyusunan lookup table dak hanya menggunakan
histogram global seluruh citra, namun juga histogram lokal melalui pengambilan sampel histogram pada area
tertentu. Pelibatan penajaman kontras berbasis histogram lokal dimaksudkan untuk mengeksplorasi sampai sejauh
mana teknik penajaman kontras mampu membedakan berbagai obyek yang nampak pada citra, terutama pada citra
yang tutupan awannya sangat besar. Hasil pemilihan metode penajaman kontras terbaik untuk se ap citra dapat
dilihat pada tabel 6.2. Sedangkan contoh—contoh hasil penajaman kontras dapat dilihat pada gambar 6.3, 6.4 dan 6.5.
Tabel 6.2 Jenis Penajaman Kontras yang Diaplikasikan Untuk Setiap Citra
ID citra Sensor Algoritma Penajaman Kontras yang diterapkan
20090811SP4299349S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza on
20090905SP4300351S0G2AXS SPOT-2 HRV Global Histogram Equaliza on
20100215SP4299351S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza on
20100403SP4298350S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza on
alav2a070023610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut
alav2a179863600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut
alav2a195033620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza on
alav2a217643620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza on
alav2a235293610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza on
alav2a244483600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut
ALOS AV2 A D0993580 0 1B2 24Sep08 ALOS AVNIR-2 Global Histogram Equaliza on
ALOS AV2 A D0993590 0 1B2 24Jun08 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut
ALOS AV2 A D1003570 0 1B2 24May07 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut
ALOS AV2 A D1003580 0 1B2 24Nov07 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching
ALOS AV2 A D1003590 0 1B2 26Nov08 ALOS AVNIR-2 Local standar devia on stretching
ALOS AV2 A D1013570 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 Local Gaussian Stretching
ALOS AV2 A D1013580 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 Global Histogram Equaliza on
39Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.3 Penerapan Teknik Penajaman Kontras dapat memperbaiki kontras citra.
40 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.4 Hasil Penajaman Kontras Citra ALOS AVNIR-2 Komposit warna semu pada daerah dengan tutupan awan besar.
Metode terbaik adalah Histogram Equalization Stretching
41Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.5 Hasil Contrast Enhancement pada Citra ALOS AVNIR-2 Komposit Warna Alami pada daerah dengan tutupan awan sedikit.
Hasil terbaik adalah Piecewise Linear Stretching 2% cut
42 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Berdasarkan hasil pemrosesan, tampak bahwa metode terbaik untuk menajamkan sebuah citra dak selalu sama.
Suatu metode yang dapat memberikan hasil penajaman yang baik untuk sebuah citra belum tentu baik juga pada citra
yang lain. Hal ini dikarenakan kualitas radiometrik citra (yang sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer pada saat citra
direkam) dak sama. Secara umum dari hasil pemrosesan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa untuk citra
dengan perawanan yang sedikit dengan kondisi atmosfer yang bersih, metode penajaman kontras linear dapat
memberikan hasil penajaman yang baik (gambar 6.5). Sedangkan metode penyesuaian histogram memberikan hasil
yang terlalu tajam sehingga banyak piksel yang tersaturasi dan menyebabkan kontras citra jadi kurang baik.
Metode penyesuaian histogram bekerja dengan baik pada citra dengan kondisi tutupan awan yang besar. Hal ini
dikarenakan pada citra dengan perawanan besar, histogram citra cenderung mengumpul pada satu region, sehingga
penajaman linier dak dapat bekerja maksimal. Sedangkan pada citra dengan kondisi atmosfer yang kotor dan
berkabut, histogram citra akan cenderung terdistribusi normal, sehingga penajaman gaussian akan bekerja maksimal
pada citra dengan histogram seper ini.
Citra yang telah ditajamkan kemudian digunakan untuk intepretasi penggunaan lahan. Sedangkan untuk pembuatan
mosaik citra dak digunakan citra yang kontrasnya ditajamkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan citra untuk mosaik
adalah citra yang mempunyai keterpaduan secara radiometrik (seamless) sehingga penajaman untuk citra mosaik nan
akan dilakukan dengan menggunakan operasi penyamaan histogram (histogram matching).
VI.3 Penyesuaian Histogram (Histogram Matching)
Operasi penyesuaian histogram dilakukan untuk mendekatkan nilai kecerahan antara citra—citra yang akan dimosaik,
sehingga iluminasinya lebih seragam. Iluminasi yang rela f seragam akan menghasilkan citra yang lebih terpadu
(seamless) ke ka citra dimosaik. Walaupun demikian, histogram matching pada dasarnya adalah operasi yang cukup
kompleks, dimana terdapat beberapa syarat agar algoritma dapat bekerja maksimal. Syarat tersebut dijelaskan pada
subbab IV.2.D.
Dalam kenyataanya, citra yang mencakup daerah pemetaan sebagian besar mempunyai tutupan awan yang tebal dan
merata. Dengan keberadaan tutupan awan yang besar dan keterbatasan waktu pemetaan, eliminasi tutupan awan
dak dapat dilakukan. Hal ini membawa permasalahan tersendiri dalam proses histogram matching. Dalam
kenyataannya, hampir 80% citra menjadi kurang baik tampilan warnanya setelah disesuaikan histogramnya dengan
citra lain. Citra menjadi terlalu terang (banyak piksel tersaturasi) atau malah terlalu gelap (kontras rendah). Penyebab
utama dari kegagalan proses histogram matching adalah histogram antar satu citra dengan citra lain mempunyai pola
dan sebaran yang berbeda, sehingga ke ka dilakukan proses matching, keluaran histogramnya dak sama persis
dengan histogram referensi. Contoh histogram dan tampilan citra yang berhasil dan gagal dalam proses matching dapat
dilihat pada gambar 6.6 dan 6.7. Perbedaan bentuk dan pola histogram pada se ap citra disebabkan oleh perbedaan
kondisi atmosfer dan proporsi tutupan awan.
43Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.6 Contoh citra yang berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik
44 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.7 Perbandingan kenampakan citra yang berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik dan contoh histogram yang telah disesuaikan
VI.4 Pembuatan Mosaik Citra (Mosaicking)
Mosaik citra merupakan salah satu keluaran yang dihasilkan dari kegiatan pemetaan. Guna dari mosaik citra adalah
untuk memberikan gambaran mengenai penutup lahan/penggunaan lahan dalam cakupan yang lebih luas dari cakupan
standar citra. Mosaik citra disusun menggunakan pendekatan mosaik terkontrol. Yang ar nya, proses mosaik dilakukan
dengan mendasarkan pada informasi georeferensi pada se ap citra dan proses dilakukan secara otoma s. Sebagai
masukan dari proses mosaicking adalah citra yang sudah melalui proses histogram matching (untuk beberapa scene).
Keluaran citra mosaik terdiri dari dua dataset, yaitu mosaik citra komposit warna alami (natural color composite) dan
mosaik citra komposit warna semu (false color composite). Adapun per mbangan kenapa dihasilkan dua mosaik karena
citra SPOT dan ALOS mempunyai komposisi dan urutan band yang berbeda. ALOS AVNIR-2 terdiri dari empat saluran
mul spektral mulai dari spektrum biru sampai inframerah dekat, SPOT-2 terdiri dari ga saluran mul spektral mulai
dari spektrum hijau sampai inframerah dekat, dan SPOT-4 terdiri dari empat saluran mul spektral mulai dari spektrum
hijau sampai infra merah gelombang pendek (SWIR). Perbedaan komposisi saluran menyebabkan citra dari ke ga
sensor dak dapat langsung dimosaik secara bersamaan.
45Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.8 Contoh citra yang tidak berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik
46 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Untuk pembuatan citra komposit warna alami, dari citra ALOS AVNIR digunakan saluran 1 sampai 3. Sementara, karena
citra SPOT dak mempunyai saluran biru yang diperlukan dalam pembuatan citra komposit warna alami, maka saluran
biru disimulasikan dengan meggunakan saluran hijau dan merah menggunakan algoritma simulasi saluran biru yang
terdapat dalam perangkat lunak ERDAS IMAGINE. Untuk pembuatan citra komposit warna semu, dari Citra ALOS AVNIR
-2 digunakan saluran 2 sampai 4, dan dari citra SPOT 2/4 digunakan saluran 1 sampai 3. Untuk pembuatan mosaik citra
komposit warna semu, proses histogram matching dak dilakukan. Hal ini dikarenakan pada beberapa scene proses
histogram matching menyebabkan citra menjadi terdistorsi dan hasil mosaik secara keseluruhan menjadi dak baik.
Tidak dilakukannya proses histogram matching pada citra komposit warna semu menyebabkan mosaik citra nampak
kurang terpadu nilai kecerahannya (patchy images). Hasil proses mosaik dapat dilihat pada gambar 6.10 dan 6.11.
VI.5 Hasil Interpretasi Penggunaan Lahan
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab V.2.F, teknik yang digunakan dalam interpretasi penggunaan lahan adalah
interpretasi visual. Teknis pelaksanaannya adalah dengan cara menampalkan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai
Barat yang dibuat oleh WWF-BIOTROP tahun 2008 diatas citra satelit ALOS dan SPOT, kemudian kenampakan—
kenampakan yang berbeda/berubah dideliniasi ulang secara on-screen digi zing. Setelah penggunaan lahan terkini
selesai dipetakan, kemudian dibuat peta kedua dengan menggunakan klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI.
Proses pembuatannya adalah dengan menyusun terlebih dahulu tabel konversi penggunaan lahan antara klasifikasi
BIOTROP dan SNI (dapat dilihat pada tabel ...), kemudian hasil pemetaan penggunaan lahan menggunakan klasifikasi
BIOTROP diubah menjadi klasifikasi SNI menurut tabel tersebut.
VI.5.1. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Menurut Klasifikasi WWF-BIOTROP
Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 mengacu pada peta yang sama tahun
sebelumnya yang dibuat oleh WWF-BIOTROP dengan mendasarkan pada interpretasi citra LANDSAT. Berdasarkan hasil
interpretasi, kenampakan yang banyak berubah adalah banyaknya ditemui pembukaan lahan baru (land clearing) di
area—area yang sebelumnya merupakan hutan lebat. Pembukaan lahan ditemui di banyak tempat di sepanjang
wilayah Kabupaten Kutai Barat, baik berupa pembukaan lahan dengan luasan besar maupun kecil. Dengan ditemuinya
banyak sekali kenampakan pembukaan lahan, maka salah satu fokus revisi peta untuk tahun 2009 ini adalah
mengiden fikasi dan memetakan ulang pembukaan lahan baru. Selain itu juga teriden fikasi adanya perubahan dan
penambahan luasan lahan industri perkebunan kayu, karet dan kelapa sawit, sehingga fokus kedua dari revisi
pemetaan penggunaan lahan tahun 2009 ini adalah iden fikasi dan upda ng penggunaan lahan perkebunan industri
komersial. Fokus ke ga dan terakhir dari pemetaan penggunaan lahan Kab. Kutai Barat ini adalah reinterpretasi dan
redeliniasi ulang kenampakan permukiman dan lahan terbangun. Hal ini didasarkan pada temuan bahwa terdapat
banyak kenampakan lahan terbangun yang belum terdeliniasi pada peta penggunaan lahan sebelumnya. Hal ini dapat
dimaklumi karena pemetaan penggunaan lahan sebelumnya menggunakan citra yang lebih kasar daripada yang
digunakan dalam pemetaan ini.
47Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.9 Mosaik Citra Komposit Warna Alami
Gambar 6.10 Mosaik Citra Komposit Warna Semu
48 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Untuk menambah akurasi dan interpretabilitas dari kenampakan lahan terbangun, juga digunakan data tambahan
berupa data k sebaran lahan terbangun hasil cek lapangan (groundcheck) oleh m WWF Kutai Barat. Selain dari
ke ga jenis penggunaan lahan yang menjadi fokus interpretasi, penggunaan lahan lain dak terlalu banyak mengalami
perubahan. Hasil pemetaan penggunaan lahan revisi tahun 2009 dan penggunaan lahan tahun sebelumnya dapat
dilihat pada gambar 6.10 dan 6.11.
VI.5.2. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Menurut Klasifikasi SNI 19-6728.3-2002
Peta penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat tahun 2009 berdasarkan klasifikasi SNI nomor 19-6728.3— 2002
merupakan keluaran kedua dari kegiatan pemetaan penggunaan lahan Kutai Barat Tahun 2009. Peta ini disusun dari
keluaran sebelumnya, yaitu Peta Penggunaan Lahan Kutai Barat Tahun 2009 menggunakan skema klasifikasi BIOTROP-
WWF. Peta ini dihasilkan dengan cara mengubah definisi kelas—kelas penggunaan lahan dari skema klasifikasi
BIOTROP ke definisi kelas—kelas penggunaan lahan menurut SNI dengan menggunakan tabel konversi. Proses teknis
pengubahannya dalam Sistem Infornasi Geografi menggunakan operasi query dan edi ng data atribut. Tabel konversi
yang digunakan untuk mengubah definisi penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran , sedangkan hasil pemetaan
dapat dilihat pada gambar 6.13
Dalam penyusunan tabel konversi, diupayakan semaksimal mungkin agar definisi penggunaan lahan dari se ap kelas
dan skema klasifikasi dapat terkonversi tanpa ada perubahan definisi, walaupun demikian karena memang pada
dasarnya kedua jenis klasifikasi memiliki konsepsi dan definisi penggunaan lahan yang berbeda, maka perubahan dan
generalisasi kelas penggunaan lahan dak dapat dihindari, Perubahan yang paling nyata terlihat adalah untuk jenis
penggunaan lahan hutan, dimana kelas—kelas penggunaan lahan yang lebih rinci menurut BIOTROP pada akhirnya
tergeneralisasi menjadi satu atau dua kelas di skema klasifikasi penggunaan lahan SNI. Hal ini dak dapat dihindari
karena dalam skema SNI dak ada pembedaan hutan berdasarkan topografi dan litologi, melainkan hanya berdasarkan
kerapatan vegetasi saja. Itupun pendefinisian kelas penggunaan lahannya lebih umum dari pada skema BIOTROP.
49Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.11 Peta Penggunaan Lahan Sebelum Reinterpretasi (tahun 2008)
Gambar 6.12 Peta Penggunaan Lahan Sesudah Reinterpretasi (tahun 2009)
50 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Tabel 6.3 Konversi Penggunaan Lahan antara Skema BIOTROP dan SNI
51Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Lanjutan Tabel 6.3..........
52 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.13 Peta Penggunaan Lahan Akhir Menurut Skema BIOTROP-WWF
53Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
Gambar 6.14 Peta Penggunaan Lahan Akhir Menurut Skema SNI
54Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
BAB VII
PENUTUP DAN MASUKAN
Pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat tahun 2009 berbasis pendekatan interpretasi citra penginderaan
jauh SPOT dan ALOS AVNIR dilaksanakan menggunakan pendekatan interpretasi visual. Sebagai data dasar dan acuan
dalam pemetaan digunakan peta penggunaan lahan tahun sebelumnya yang dibuat oleh BIOTROP menggunakan
interpretasi citra LANDSAT. Revisi dalam pemetaan ini difokuskan pada deliniasi kenampakan pembukaan lahan baru,
lahan perkebunan, dan lahan terbangun, dimana pada pemetaan sebelumnya banyak yang belum teriden fikasi.
Dengan menggunakan data ALOS dan SPOT yang secara resolusi spasial lebih baik dari LANDSAT, maka kenampakan
yang sebelumnya ngkat interpretabilitasnya kurang dapat dipetakan dengan data dasar yang lebih baik ini. Walaupun
demikian, kendala tetap ditemui dalam pemetaan ini, terutama dari aspek kualitas citra yang digunakan. Adanya
perawanan yang cukup tebal pada beberapa scene citra menyebabkan interpretasi citra kurang op mal, sehingga
prak s daerah yang dapat diinterpretasi secara efek f hanya 70% dari luas wilayah Kabupaten Kutai Barat.
Penggunaan citra penginderaan jauh op s dalam pemetaan penggunaan lahan untuk daerah tropis memang biasanya
paling terkendala oleh kondisi atmosfer dan perawanan. Hal ini dikarenakan energi elektromagne k pada spektrum
visibel sampai inframerah gelombang pendek yang digunakan dalam penginderaan jauh op s biasanya dak dapat
menembus awan dan atmosfer yang kotor/hazy.
Untuk pengembangan ke depan, pemetaan dengan menggunakan sistem penginderaan jauh gelombang mikro, RADAR
dan LIDAR perlu untuk dicoba diterapkan di wilayah tropis seper Kabupaten Kutai Barat. Kemampuan spektrum
gelombang mikro untuk menembus awan dan cuaca serta kemampuan mul phase pada sensor—sensor SAR terkini
berpotensi dapat memberikan informasi pendukung dan pelengkap untuk pemetaan penggunaan lahan daripada hanya
mendasarkan pada produk citra dari sistem penginderaan op k pasif saja.
56Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009
Laporan Akhir
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2010. Kabupaten Kutai Barat Dalam Angka 2010. Sendawar. BPS Kutai Barat.
BSN. 2002. Standar Nasional Indonesia Nomor 19-6728.3-2002 tentang Penyusunan neraca sumber daya – Bagian 3:
Sumber daya lahan spasial. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
CCRS. 1999. Fundamentals of Remote Sensing. Diakses dari : http://www.ccrs.nrcan.gc.ca/resource/tutor/fundam/pdf/
fundamentals_e.pdf
ERDAS. 2010. ERDAS Field Guide vol.1 and 2. diakses dari : http://www.erdas.com/Libraries/Tech_Docs/
ERDAS_Field_Guide.sflb.ashx
JAXA. 2008 . ALOS Data User Handbook. Diakses dari : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/doc/fdata/
ALOS_HB_RevC_EN.pdf
Kementerian Kehutanan. 2008. Sta5s5k Kehutanan Indonesia 2008. diakses dari : http://www.dephut.go.id/files/
Khan, Aziz. ___ . Hutan Kutai Barat, Takaran Proses Par5sipa5f. Yayasan Pembangunan Berkelanjutan. Diakses dari :
http://www.forplid.net/studi-kasus/15-kehutanan-kehutanan-/130-hutan-kutai-barat-.pdf
Pemda Kutai Barat. ____. Profil Umum Kabupaten Kutai Barat. Diakses dari : http://www.kubarkab.go.id/profil.php
GTZ, WWF. 2009. Briefing Paper No. 1: Kerjasama Indonesia - Jerman dalam Bidang Kehutanan - Meningkatkan
Pengelolaan Kolabora5f di Wilayah Konservasi. Diakses dari : http://assets.wwfid.panda.org/downloads/
brief_paper1_introduction_pengelolaan_kolaboratif.pdf
Richards, J. A., dan Jia, X.P. 2006. Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduc5on (4th edi5on). Berlin: Springer-
Verlag.
SPOT IMAGE. 2010. DIMAP Technical Sheet. Diakses dari : http://www.spotimage.com/automne_modules_files/standard/
public/p235_28da3faa3b8cc43710f1e055074d6003FormatDIMAP_eng_Sept2010.pdf.
SPOT IMAGE. 2006. SPOT User Guide. Diakses dari : http://www.spotimage.fr/
automne_modules_files_standard_publicp229_14f50983b6319ae4d5ec6becb005a0c5SPOT_IMAGE_QUALIT
Y_PERFORM_20070415.pdf
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
WWF. 2009. Hutan Indonesia: Penyerap atau Pelepas Emisi Gas Rumah Kaca? (Factsheet). Diakses dari http://
assets.wwfid.panda.org/downloads/lembar_fakta_deforestasi_tanpa_foto.pdf
WWF. 2007. Borneo: Treasure Island at Risk (Maps). Diakses dari : http://www.worldwildlife.org/what/wherewework/
borneo/WWFBinaryitem7590.pdf

Contenu connexe

Tendances

Analisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsat
Analisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsatAnalisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsat
Analisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsatmataraga nay
 
IDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRA
IDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRAIDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRA
IDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRAjariri arroah manda
 
229006726 rpp-yestita-karisna
229006726 rpp-yestita-karisna229006726 rpp-yestita-karisna
229006726 rpp-yestita-karisnaHildiana Gusti
 
B 5 inderaja interpretasi citra geologi
B 5 inderaja interpretasi citra geologiB 5 inderaja interpretasi citra geologi
B 5 inderaja interpretasi citra geologiJihad Brahmantyo
 
Survey (geoteknologi kel.3)
Survey (geoteknologi   kel.3)Survey (geoteknologi   kel.3)
Survey (geoteknologi kel.3)ineu28
 
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunanOperator Warnet Vast Raha
 
SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)
SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)
SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)Amos Pangkatana
 
Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...
Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...
Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...Demianus Nawipa
 
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunanOperator Warnet Vast Raha
 
Resume metode geomagnet
Resume metode geomagnetResume metode geomagnet
Resume metode geomagnetMuhammad Arief
 
Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8
Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8
Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8Wachidatin N C
 
96144 makalah-fotogrametri
96144 makalah-fotogrametri96144 makalah-fotogrametri
96144 makalah-fotogrametriridhooo9898
 
28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udara
28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udara28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udara
28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udaraAhmadSundoko
 
Makalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaan
Makalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaanMakalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaan
Makalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaanBondan the Planter of Palm Oil
 

Tendances (20)

Analisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsat
Analisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsatAnalisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsat
Analisis persebaran hutan mangrove di bali dengan memanfaatkan citra landsat
 
IDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRA
IDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRAIDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRA
IDENTIFIKASI LUAS BENCANA TSUNAMI DENGAN MENGGUNAKAN SEGMENTASI CITRA
 
229006726 rpp-yestita-karisna
229006726 rpp-yestita-karisna229006726 rpp-yestita-karisna
229006726 rpp-yestita-karisna
 
B 5 inderaja interpretasi citra geologi
B 5 inderaja interpretasi citra geologiB 5 inderaja interpretasi citra geologi
B 5 inderaja interpretasi citra geologi
 
eksplorasi batubara
eksplorasi batubaraeksplorasi batubara
eksplorasi batubara
 
Survey (geoteknologi kel.3)
Survey (geoteknologi   kel.3)Survey (geoteknologi   kel.3)
Survey (geoteknologi kel.3)
 
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
 
SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)
SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)
SIG dan Pemetaan Pertemuan ke III (Konsep Dasar Penginderaan Jauh)
 
118 343-3-pb
118 343-3-pb118 343-3-pb
118 343-3-pb
 
Bab 2 geomagnetik
Bab 2 geomagnetikBab 2 geomagnetik
Bab 2 geomagnetik
 
Project gps navigation
Project gps navigationProject gps navigation
Project gps navigation
 
Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...
Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...
Pengolahan Data Gempabumi Untuk Penentuan Nilai Percepatan Tanah Maksimum (PG...
 
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
55422614 an-jauh-dasar-kontribusi-penginderaan-jauh-dalam-pembangunan
 
Resume metode geomagnet
Resume metode geomagnetResume metode geomagnet
Resume metode geomagnet
 
Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8
Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8
Penginderaan Jauh : Koreksi Geometrik Citra Landsat 8
 
Inderaja dan sig
Inderaja dan sigInderaja dan sig
Inderaja dan sig
 
96144 makalah-fotogrametri
96144 makalah-fotogrametri96144 makalah-fotogrametri
96144 makalah-fotogrametri
 
28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udara
28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udara28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udara
28 management hutan kota dengan menggunakan drone lidar dan drone-foto udara
 
Makalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaan
Makalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaanMakalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaan
Makalah_41 Supervised unsupervised kartografi dan pemetaan
 
3512100004
35121000043512100004
3512100004
 

En vedette

Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI SoftwareTutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Softwarebramantiyo marjuki
 
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM (SIGI-PU) U...
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM  (SIGI-PU) U...APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM  (SIGI-PU) U...
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM (SIGI-PU) U...bramantiyo marjuki
 
Membuat map packages di ArcGIS
Membuat map packages di ArcGISMembuat map packages di ArcGIS
Membuat map packages di ArcGISbramantiyo marjuki
 
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...bramantiyo marjuki
 
Modul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PU
Modul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PUModul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PU
Modul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PUbramantiyo marjuki
 
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016bramantiyo marjuki
 
Kompresi Citra RGB dengan Transformasi Wavelet
Kompresi Citra RGB dengan Transformasi WaveletKompresi Citra RGB dengan Transformasi Wavelet
Kompresi Citra RGB dengan Transformasi WaveletDanurdoro Punto
 
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?bramantiyo marjuki
 
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)Achmad Wahid
 
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, IndonesiaDisaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Indonesiabramantiyo marjuki
 
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, IndonesiaDisaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, Indonesiabramantiyo marjuki
 
Tutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI SoftwareTutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI Softwarebramantiyo marjuki
 
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...bramantiyo marjuki
 
Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008
Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008
Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008bramantiyo marjuki
 
Analisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria Analysis
Analisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria AnalysisAnalisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria Analysis
Analisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria Analysisbramantiyo marjuki
 
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problemsSedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problemsbramantiyo marjuki
 
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...bramantiyo marjuki
 

En vedette (20)

Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI SoftwareTutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery Orthorectification Using ENVI Software
 
Modul gps Garmin oregon 550
Modul gps Garmin oregon 550Modul gps Garmin oregon 550
Modul gps Garmin oregon 550
 
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM (SIGI-PU) U...
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM  (SIGI-PU) U...APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM  (SIGI-PU) U...
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS INFRASTRUKTUR PEKERJAAN UMUM (SIGI-PU) U...
 
Membuat map packages di ArcGIS
Membuat map packages di ArcGISMembuat map packages di ArcGIS
Membuat map packages di ArcGIS
 
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
Role of Public Infrastructure Investment in Development Theory and its releva...
 
Modul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PU
Modul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PUModul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PU
Modul Quantum GIS 1.8 Pusdata Kementerian PU
 
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
Modul GIS (QGIS) Diklat GPS dan GIS BPSDM Kementerian PUPR, April 2016
 
Kompresi Citra RGB dengan Transformasi Wavelet
Kompresi Citra RGB dengan Transformasi WaveletKompresi Citra RGB dengan Transformasi Wavelet
Kompresi Citra RGB dengan Transformasi Wavelet
 
Geomagz201309s
Geomagz201309sGeomagz201309s
Geomagz201309s
 
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
Mengapa Gameloft Memilih Yogyakarta?
 
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
Georisk buku pedoman analisis risiko (penanggulangan bencana)
 
Jurnal
JurnalJurnal
Jurnal
 
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, IndonesiaDisaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, Indonesia
 
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, IndonesiaDisaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, Indonesia
Disaster Risk Mapping Project, 2013, Kolaka , Sulawesi Tenggara, Indonesia
 
Tutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI SoftwareTutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI Software
Tutorial ASTER Imagery DEM Extraction Using ENVI Software
 
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan ...
 
Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008
Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008
Metode Pemetaan Risiko Bencana Daerah Istimewa Yogyakarta 2008
 
Analisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria Analysis
Analisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria AnalysisAnalisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria Analysis
Analisa Rencana Trase Jalan menggunakan Multi Criteria Analysis
 
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problemsSedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
Sedimentation in Tempe Lake Sulawesi and its future problems
 
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
 

Similaire à PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN KUTAI BARAT

Inling 2018
Inling 2018Inling 2018
Inling 2018tereamap
 
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Luhur Moekti Prayogo
 
PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...
PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...
PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...fikrul islamy
 
iv-penginderaan-jauh.pptx
iv-penginderaan-jauh.pptxiv-penginderaan-jauh.pptx
iv-penginderaan-jauh.pptxrioprayogo2
 
AnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdf
AnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdfAnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdf
AnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdfssuser919e01
 
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)Luhur Moekti Prayogo
 
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdfAsri Renggo
 
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdfAsri Renggo
 
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan UtaraFGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utarabramantiyo marjuki
 
ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...
ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...
ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...rikitristanto
 
TRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR B
TRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR BTRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR B
TRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR Boriza steva andra
 
Bab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptx
Bab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptxBab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptx
Bab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptxKurikulumwaSman14
 
Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)
Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)
Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)Anisa Aulia Sabilah
 
Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...
Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...
Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...Luhur Moekti Prayogo
 
DATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PU
DATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PUDATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PU
DATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PUMgs Zulfikar Rasyidi
 
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)Luhur Moekti Prayogo
 
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...Luhur Moekti Prayogo
 

Similaire à PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN KUTAI BARAT (20)

Inling 2018
Inling 2018Inling 2018
Inling 2018
 
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
Makalah Penginderaan Jauh Kelautan - Citra Penginderaan Jauh (Resolusi Rendah...
 
PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...
PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...
PERMODELAN TSUNAMI UNTUK PENENTUAN ZONA MITIGASI DAN ANALISIS DAMPAK TERHADAP...
 
iv-penginderaan-jauh.pptx
iv-penginderaan-jauh.pptxiv-penginderaan-jauh.pptx
iv-penginderaan-jauh.pptx
 
AnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdf
AnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdfAnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdf
AnalisisIklimProvinsiSulawesiTengah.pdf
 
Laporan kerja praktek MEQ
Laporan kerja praktek MEQLaporan kerja praktek MEQ
Laporan kerja praktek MEQ
 
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Maryoko)
 
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
 
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
21039-Article Text-73598-2-10-20181119.pdf
 
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan UtaraFGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
FGD Sosialisasi Analisis HCV - Landcover Mapping, WWF Indonesia Kalimantan Utara
 
ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...
ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...
ANALISIS PERAMALAN DAN PERIODE ULANG GELOMBANG DI PERAIRAN BAGIAN TIMUR PULAU...
 
TRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR B
TRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR BTRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR B
TRACKING JALUR EVAKUASI TSUNAMI KOTA PADANG SEKTOR B
 
Bab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptx
Bab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptxBab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptx
Bab 3 Geo XII PEMANFAATAN PETA DAN SIG.pptx
 
Penggabungan citra
Penggabungan citraPenggabungan citra
Penggabungan citra
 
Pasut lwmtl
Pasut lwmtlPasut lwmtl
Pasut lwmtl
 
Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)
Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)
Remote Sensing Technologies & Data Processing Algorithms (Krapivin et al. 2015)
 
Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...
Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...
Laporan Praktikum Penginderaan Jauh - Dasar Pengolahan Citra Digital (By Ivam...
 
DATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PU
DATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PUDATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PU
DATA PETA DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PU
 
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)
Penginderaan Jauh - Prinsip Dasar Penginderaan Jauh (By. Saiful Mukminin)
 
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...
Study of Tidal Characteristics in The South and North Coastal of Sumenep Rege...
 

Plus de bramantiyo marjuki

Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrintPemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrintbramantiyo marjuki
 
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processingHow to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processingbramantiyo marjuki
 
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography PracticesCrowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography Practicesbramantiyo marjuki
 
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...bramantiyo marjuki
 
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID bramantiyo marjuki
 
Mapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR ImageryMapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR Imagerybramantiyo marjuki
 
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?bramantiyo marjuki
 
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017bramantiyo marjuki
 
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALILaporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALIbramantiyo marjuki
 
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...bramantiyo marjuki
 
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization PracticesStakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization Practicesbramantiyo marjuki
 
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus DistrictJenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus Districtbramantiyo marjuki
 
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in IndonesiaPlanning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesiabramantiyo marjuki
 
Planning theory in Waster Management
Planning theory in Waster ManagementPlanning theory in Waster Management
Planning theory in Waster Managementbramantiyo marjuki
 
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...bramantiyo marjuki
 
A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata, A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata, bramantiyo marjuki
 
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...bramantiyo marjuki
 
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 TahunPerkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahunbramantiyo marjuki
 
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline  urban regenerationCritical review insights debate about urban decline  urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline urban regenerationbramantiyo marjuki
 
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan YogyakartaPembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakartabramantiyo marjuki
 

Plus de bramantiyo marjuki (20)

Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrintPemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
Pemanfaatan Citra Satelit Medium Resolution Untuk Pemetaan Urban FootPrint
 
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processingHow to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
How to choose SAR satellite imagery for a good interferometric processing
 
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography PracticesCrowsource Mapping, Captures Neography Practices
Crowsource Mapping, Captures Neography Practices
 
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK  MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
PENERAPAN TEKNIK PEMETAAN PARTISIPATIF UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN BASIS DATA...
 
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
Pan Sharpening (Transkrip Kuliah Telegram) di Group Telegram GIS.ID
 
Mapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR ImageryMapping Water features from SAR Imagery
Mapping Water features from SAR Imagery
 
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
Ingin Belajar Penginderaan Jauh Bersama Saya ?
 
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
Final Report WWF Landcover and High Conservation Area Mapping, North Borneo 2017
 
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALILaporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
Laporan KKL PPW 2016 MPWK UNDIP, BALI
 
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
Wonogiri Development, Reduce Disparity, Reduce Inequity (Final Report Plannin...
 
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization PracticesStakeholder Approach benefits in Organization Practices
Stakeholder Approach benefits in Organization Practices
 
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus DistrictJenang Cluster Local Development in Kudus District
Jenang Cluster Local Development in Kudus District
 
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in IndonesiaPlanning theory in Toll Road Provision in Indonesia
Planning theory in Toll Road Provision in Indonesia
 
Planning theory in Waster Management
Planning theory in Waster ManagementPlanning theory in Waster Management
Planning theory in Waster Management
 
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
Implementation of Planning and development theories to Waster Management in K...
 
A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata, A translation paper about Cellular Automata,
A translation paper about Cellular Automata,
 
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
Pembangunan dan Pengelolaan Infrastruktur Wilayah, an Fieldwork Report study ...
 
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 TahunPerkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
Perkembangan Infrastruktur Provinsi Jawa Tengah Selama 10 Tahun
 
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline  urban regenerationCritical review insights debate about urban decline  urban regeneration
Critical review insights debate about urban decline urban regeneration
 
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan YogyakartaPembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
Pembiayaan Infrastruktur Transportasi di Kawasan Perkotaan Yogyakarta
 

PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN KUTAI BARAT

  • 1. Disusun Oleh : Bramantiyo Marjuki Laporan Akhir INTERPRETASI CITRA ALOS AVNIR-2 DAN SPOT 2/4 XS UNTUK PEMETAAN PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2009 Guna Mendukung : Proyek Kutai Barat Ecological Corridor World Wildlife Foundation Indonesia ( WWF—Indonesia )
  • 2. 1Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kegiatan Konversi hutan di Kalimantan yang semakin mengkhawa rkan saat ini telah menjadi isu global dan menjadi perha an utama berbagai kalangan. Di Provinsi Kalimantan Timur, semenjak tahun 1985 sampai 1997 telah terjadi penurunan luas lahan hutan akibat deforestasi sebesar 22,5% (BaplanHut, 2002). Data terakhir dari WWF bahkan menyebutkan hampir 50% dari luasan hutan sebesar 109 heltar (tahun 2003) di Kalimantan telah terdegradasi (WWF, 2009). Berkurangnya tutupan hutan dari waktu ke waktu di seluruh belahan bumi tak pelak menjadi salah satu penyebab terjadinya fenomena pemanasan global yang semakin meningkat akhir—akhir ini. Indonesia sebagai salah satu negara dengan wilayah hutan terluas nomor ga di dunia (WWF, 2009) diharapkan oleh masyarakat internasional dapat mempertahankan sisa hutan yang ada. Walaupun demikian, amanat ini bukan merupakan suatu hal yang mudah dilaksanakan, mengingat dari waktu ke waktu data yang ada justru menunjukkan luasan hutan semakin berkurang. Gambar 1.1 Perubahan Luasan Hutan di Kalimantan dan Proyeksi pada Tahun 2020 (WWF, 2007) Pemantauan laju deforestasi dan konversi hutan menjadi non hutan dapat dilakukan dengan cara melakukan pemetaan penggunaan lahan hutan dan non hutan secara berkala. Peta penggunaan lahan merupakan salah satu peta fundamental yang harus ada agar perencanaan dan pengelolaan lahan dapat lebih op mal. Peta penggunaan lahan
  • 3. 2 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir juga merupakan peta mul fungsi, yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepen ngan. Dalam kaitannya dengan aspek kehutanan, peta ini selain dapat menunjukkan sebaran lahan hutan eksis ng, juga dapat digunakan untuk menghitung neraca karbon. Dengan adanya peta penggunaan lahan tahunan, maka lokasi dan proporsi hutan yang berubah menjadi penggunaan lahan non hutan dapat diketahui sehingga dapat direncanakan dan diupayakan cara pencegahan, pengurangan maupun pengembalian status hutan. Kabupaten Kutai Barat sebagai salah satu Kabupaten termuda di Kalimantan Timur (terbentuk pada tahun 1999 sebagai salah satu pemekaran dari Kabupaten Kutai) juga mengalami masalah kehutanan yang sama dengan sebagian besar kabupaten lain di Kalimantan, yaitu konversi lahan hutan ke non hutan. Laju pengurangan luas lahan hutan di Kutai Barat bahkan mencapai 5—6% per tahun (data WALHI). WWF sebagai salah satu lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan kerusakan Hutan Kalimantan pada umumnya dan di Kutai Barat pada khususnya, telah sejak lama mengkampanyekan perlindungan, konservasi dan rehabilitasi hutan di Kalimantan Timur. Sejak 2009 tercatat banyak program telah dilaksanakan WWF di Kalimantan Timur, terutama di Kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang. Untuk Kabupaten Kutai Barat telah dilaksanakan Proyek Kutai Barat Ecological Corridor. Saat ini kegiatan WWF di Kutai Barat masih tetap berlangsung, diantaranya adalah pendampingan dalam penyusunan RTRW Kabupaten. Mengacu pada urgensi kebutuhan peta penggunaan lahan tahunan yang up to date guna memonitor dinamika penggunaan lahan hutan/non hutan di seluruh Pulau Kalimantan pada umumnya, dan Kabupaten Kutai Barat pada khususnya, maka WWF Indonesia melalui Proyek Kutai Barat Ecological Corridor berinisia f melaksanakan pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat untuk Tahun 2009 berbasis interpretasi citra satelit. Pemetaan ini dilaksanakan untuk melanjutkan pemetaan serupa yang telah dilaksanakan pada Tahun 2008 bekerjasama dengan BIOTROP. Diharapkan ke depan kegiatan serupa dapat dilaksanakan dalam basis tahunan, sehingga monitoring hutan di Kalimantan Timur dan Kutai Barat dapat dilakukan dengan lebih baik. I.2 Tujuan Kegiatan Berdasarkan latar belakang adanya kebutuhan Peta Penggunaan Lahan mul temporal Kabupaten Kutai Barat guna mendukung monitoring luasan hutan, maka tujuan dari kegiatan pemetaan ini adalah: 1. Memetakan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2009 pada Skala 1:100.000 berdasarkan interpretasi citra satelit ALOS AVNIR dan SPOT 2/4, menggunakan skema klasifikasi menurut WWF-BIOTROP dan SNI Neraca SDA spasial. 2. Memperbarui Peta Penggunaan Lahan yang telah dihasilkan sebelumnya.
  • 4. 3Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir I.3 Keluaran Yang Diharapkan Berdasarkan latar belakang kebutuhan data dan tujuan dari kegiatan, maka keluaran yang diharapkan dari kegiatan pemetaan ini adalah : 1. Citra Satelit ALOS AVNIR-2 sebanyak 13 scene dan Citra Satelit SPOT-2 HRV & SPOT-4 HRVIR sebanyak 4 scene yang sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik. 2. Mosaik seluruh citra yang meliput seluruh wilayah Kabupaten Kutai Barat 3. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Skala 1:100.000 menggunakan skema klasifikasi penggunaan lahan menurut WWF-BIOTROP. 4. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Skala 1:100.000 menggunakan skema klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI Penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Spasial Tahun 2002. 5. Laporan yang menjelaskan tentang deskripsi kronologis tentang metode yang digunakan beserta penjelasan mengenai karakteris k data spasial yang dihasilkan (metadata spasial).
  • 5. 5Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir BAB II PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGGUNAAN LAHAN II.1 Penginderaan Jauh Menurut Canadian Center of Remote Sensing , penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu (dan juga seni sampai pada luasan tertentu) yang mempelajari bagaimana cara memperoleh informasi tentang suatu obyek di permukaan bumi tanpa ada kontak langsung dengan obyek tersebut. Perolehan informasi ini dilakukan dengan cara mengindra dan merekam energi dari suatu sumber energi yang terpantulkan atau terpancarkan oleh obyek di permukaan bumi, untuk kemudian diproses, dianalisis dan diaplikasikan untuk kepen$ngan tertentu Proses penginderaan jauh dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Proses Penginderaan Jauh Dari gambar dan definisi di atas, dapat diambil beberapa kata kunci tentang penginderaan jauh, yaitu: A. Sumber energi, sumber energi yang digunakan dalam penginderaan jauh dapat berasal dari matahari (sistem penginderaan jauh pasif) atau sumber energi buatan yang dipasang pada suatu wahana (sistem penginderaan jauh ak#f). B. Energi, yang dimaksud energi disini adalah gelombang elektromagnet yang dipancarkan oleh matahari atau sumber energi buatan. Gelombang elektromagne#k dari matahari mempunyai karakteris#k tertentu pada se#ap se#ap julat tertentu dari keseluruhan gelombang yang dipancarkan. Beberapa Julat spektral (atau disebut spektrum) dari gelombang elektromagne#k yang dipancarkan matahari dapat dimanfaatkan untuk penginderaan jauh, sedangkan sisanya terhamburkan atau terserap di atmosfer.
  • 6. 6 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 2.2 spektrum elektromagnet, spektrum yang digunakan dalam penginderaan jauh antara lain spektrum Ultraviolet (UV), visible (VIS), Inframerah (IR), dan gelombang Mikro C. Obyek di Permukaan bumi, obyek permukaan bumi merupakan obyek yang akan diambil informasinya dalam penginderaan jauh. Se#ap obyek akan mempunyai respon (dalam bentuk perbedaan intensitas pantulan- serapan) yang berbeda terhadap energi gelombang elektromagne#k yang datang padanya. Selain itu, obyek yang sama juga akan mempunyai respon berbeda terhadap spektrum yang berbeda. Oleh karena itu, variasi respon obyek ini yang menjadi sasaran utama dilakukannya “penginderaan jauh” terhadap obyek tersebut, yang kemudian informasi yang dihasilkan dari proses tersebut digunakan untuk berbagai aplikasi. Gambar 2.3. Perbedaan respon spektral obyek vegetasi (v), tanah (s) dan air (w) pada spektrum yang berbeda di citra LANDSAT ETM+
  • 7. 7Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir D. Sensor/perekam, Energi elektromagnet yang dipantulkan oleh obyek di permukaan bumi kemudian dideteksi dan direkam oleh sensor yang dipasang pada suatu wahana (satelit, pesawat, balon udara dan wahana lainnya). Sensor – sensor penginderaan jauh mempunyai kapabilitas yang berbeda – beda sesuai dengan tujuan pengembangan dan aplikasinya.Sensor dapat dibedakan berdasarkan atas berbagai kriteria. Secara umum sensor penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi dua yaitu fotografis dan elektronis. Keluaran dari sensor fotografis berupa foto (analog), sedangkan sensor elektronis berupa citra (digital). Se#ap sensor baik fotografis maupun elektronis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam merekam energi elektromagne#k yang datang padanya. Ada yang hanya mampu merekam pada julat spektral yang sangat lebar (bisa satu atau lebih spektrum). Sistem ini disebut pankroma#k. Sedangkan sistem lain bisa merekam pada beberapa julat spektral (#ga julat atau lebih) yang disebut dengan sistem mul#spektral. Perkembangan dewasa ini sistem yang dikembangkan sudah ada yang dapat merekam sampai ratusan julat spektral (band). Sistem ini disebut hiperspektral. Dilihat dari jenis spektrum yang direkam, sensor dapat dibedakan menjadi sensor op#s (bekerja pada spektrum visible sampai Short Wave Infrared), sensor thermal (bekerja pada spektrum mid infrared sampai far/thermal infrared), dan sensor gelombang mikro (passive) atau RADAR (ac#ve). Selain dari karakteris#k spektral, sensor elektronis juga dapat dibedakan berdasarkan kemampuan kede#lan dalam merekam permukaan bumi atau disebut dengan resolusi spasial, mulai dari resolusi rendah (> 500 meter), resolusi menengah (50 meter – 500 meter) dan resolusi #nggi (< 50 meter) (CCRS, 1999). Gambar 2.4. (a) Citra Landsat Pankromatik dan (b) Citra Landsat Multispektral Gambar 2.5. (a) citra optis, (b) citra termal dan (c) citra radar
  • 8. 8 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 2.6 Perbedaan resolusi spasial dan pengaruhnya pada kedetilan pada (a) Citra Landsat ETM+ dengan resolusi 30 meter, (b) Citra ASTER VNIR dengan resolusi 15 meter, dan (c) Citra IKONOS dengan resolusi 1 meter E. Pemrosesan, setelah energi dideteksi dan ditangkap sensor, energi ini kemudian direkam dalam detektor, untuk kemudian diproses menjadi citra. Untuk sistem fotografi, detektor berupa film yang nan# kemudian dicetak menjadi foto. Sedangkan untuk sistem elektronis/digital, data yang terekam dikirim ke stasiun penerima di bumi untuk kemudian diproses menjadi citra digital. Level pemrosesan pada se#ap jenis produk citra dapat saja berbeda antara satu pengelola layanan citra (vendor) satu dan lainnya. Untuk citra Landsat misalnya, produk dijual dalam berbagai level pemrosesan mulai dari Level 0 (data mentah), level 1R (terkoreksi radiometrik), level 1G (terkoreksi radiometrik dan geometrik) sampai level 1T (terkoreksi medan). F. Analisis citra, yang dimaksud dengan analisis citra disini adalah tahapan kerja (metode) yang diaplikasikan pada suatu citra agar dapat diambil suatu informasi dari citra tersebut (ekstraksi informasi dari citra). Terdapat dua jenis metode ekstraksi informasi dari citra satelit, yaitu manual (visual) dan analisis digital terotomasi dengan bantuan komputer. Ekstraksi informasi secara manual atau dikenal dengan interpretasi visual dilakukan melalui beberapa tahapan kerja yang dimulai dari deteksi obyek, inden#fikasi obyek, deduksi obyek, analisis, klasifikasi dan idealisasi (Verstappen, 1977). Deteksi obyek adalah pengamatan suatu obyek (target) pada citra yang nampak khas dan berbeda dengan latar belakangnya. Pada tahap iden#fikasi, obyek tersebut berusaha diiden#fikasi karakteris#knya, Iden#fikasi ini mendasarkan pada enam kunci interpretasi citra yang melipu# bentuk (shape), rona/warna (tone/color), ukuran (size), pola (pa ern), tekstur (texture), bayangan (shadow) dan asosiasi (associa on). Setelah diketahui karakteris#k obyek tersebut dari hasil iden#fikasi menggunakan enam kunci interpretasi, pada tahap deduksi disimpulkan obyek tersebut merupakan obyek apa. Setelah tahap deduksi kemudian baru dilakukan analisis (iden#fikasi sebaran obyek),klasifikasi (deliniasi obyek yang sama) dan idealisasi (penyajian dalam bentuk peta). Ekstraksi secara digital menggunakan pendekatan yang berbeda dengan ekstraksi visual. Disini segala pekerjaan mulai dari iden#fikasi sampai klasifikasi dilakukan oleh komputer secara otoma#s. Operator biasanya hanya perlu memasukkan nilai - nilai parameter sta#s#k yang akan menjadi dasar komputer dalam menganalisis. Analisis digital juga memasukkan beberapa tahap pra pemrosesan sebelum citra dianalisis seper# misalnya koreksi radiometrik, koreksi geometrik, image enhancement, dan transformasi citra.
  • 9. 9Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 2.7. Contoh Hasil Analisis citra digital berupa (a) Citra asli dan (b) Peta penutup lahan hasil analisis. Gambar 2.8. Proses interpretasi visual pemetaan batuan menggunakan foto udara G. Aplikasi, Informasi tema#k yang diturunkan dari analisis citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan di berbagai bidang, misalnya pertanian, kehutanan, perencanaan wilayah, geologi, pertambangan, geografi. II.B Penggunaan Lahan Terdapat dua konsep berkaitan dengan penggunaan lahan, yaitu penggunaan lahan itu sendiri (landuse) dan penutup lahan (landcover). Keduanya sering dicampurkan satu sama lain tapi pada dasarnya keduanya mempunyai konsep yang berbeda. Penutup lahan (landcover) mengacu pada “benda” yang menutup di atas lahan itu sendiri. Misalnya vegetasi, tanah terbuka, lahan terbangun, ataupun tubuh air. Sedangkan penggunaan lahan (landuse) mengacu pada penggunaan dari penutup lahan, seper# misalnya hutan lindung, lahan pertanian, lahan rekreasi, dan lahan konservasi. Menurut Malingreau (1978), penggunaan lahan didefinisikan sebagai segala macam campur tangan manusia, baik secara menetap ataupun berpindah-pindah terhadap suatu kelompok sumber daya alam dan sumber daya buatan, yang secara keseluruhan disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan baik material maupun spiritual, ataupun kebutuhan kedua-duanya.
  • 10. 10 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir II.C Penginderaan Jauh Untuk Penggunaan Lahan Sebagaimana telah diterangkan di muka, penginderaan jauh mampu menyajikan informasi permukaan bumi secara sinop#k dalam bentuk citra (foto dan non foto). Kemampuan merekam secara sinop#k ini membuat penginderaan jauh dapat diandalkan untuk mengetahui sebaran dan memetakan obyek – obyek di permukaan bumi baik yang langsung berkaitan dengan respon spektral (penutup lahan) maupun #dak langsung (misalnya bentuklahan, penggunaan lahan Penutup lahan merupakan obyek yang dapat langsung bisa diketahui dari citra penginderaan jauh. Bahkan bisa dikatakan satu – satunya informasi yang terekam dari citra penginderaan jauh adalah informasi sebaran penutup lahan. Sedangkan informasi lain seper# penggunaan lahan dan bentuklahan dapat diketahui dengan menganalisis pola dan sebaran penutup lahan (tersirat). Informasi sebaran penggunaan lahan dari citra penginderaan jauh dapat diketahui dengan melakukan interpretasi dan analisis terhadap sebaran penutup lahan yang terekam dari citra. Interpretasi citra adalah pengenalan dan analisis citra pada obyek untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Sutanto, 1986). Interpretasi dapat dilakukan dengan mendasarkan pada kunci interpretasi yang terdiri dari rona/warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, #nggi dan bayangan, lokasi dan asosiasi. Proses interpretasi penggunaan lahan biasanya dimulai dari proses interpretasi penutup lahan, lalu dengan menganalisis lebih lanjut berdasarkan pola, lokasi, perkembangan temporal dan asosiasi, maka dapat diketahui penggunaan lahannya. Walaupun demikian, penutup lahan terkadang #dak mencerminkan penggunaan lahannya, oleh karena itu pemetaan berbasis citra penginderaan jauh tetap memerlukan data referensi (anciliary data) dan juga validasi di lapangan. Gambar 2.9 Penggunaan Lahan Kawasan Industri dapat diketahui dari penutup lahan lahan terbangun dengan atap bangunan yang seragam, pola teratur, berukuran besar dan berasosiasi dengan daerah pinggiran kota Walaupun #dak semua aspek penggunaan lahan dapat diketahui dari citra penginderaan jauh (misalnya aspek sosial ekonomi dari penggunaan lahan), namun pada saat ini citra penginderaan jauh merupakan sumber informasi utama dalam pemetaan penggunaan lahan. Hal ini dikarenakan citra penginderaan jauh mempunyai beberapa kelebihan
  • 11. 11Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir dibandingkan teknik yang lebih konvensional (pengukuran lapangan dan interview). Yang utama adalah penginderaan jauh dapat memberikan data sebaran penutup lahan pada wilayah yang luas secara cepat (resolusi temporal yang baik), sehingga inventarisasi penggunaan lahan dapat lebih mudah dilakukan (mengurangi beban kerja lapangan). Selain itu monitoring perubahan penggunaan lahan juga dapat lebih cepat dilakukan karena beberapa satelit dapat memberikan data dengan frekuensi perulangan perekaman sebanyak 12 jam. Gambar 2.10 Perubahan penggunaan lahan akibat kerja manusia atau bencana alam dapat lebih cepat diketahui dan dipetakan menggunakan Citra Penginderaan Jauh
  • 12. 13Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir BAB III SISTEM PENGINDERAAN JAUH ALOS DAN SPOT III.1 ALOS ALOS (Advanced Land Observa on System) adalah satelit penginderaan jauh yang dikembangkan oleh Pemerintah Jepang sebagai bagian dari program Earth Observa on mereka. ALOS merupakan penerus dari dua satelit observasi bumi generasi sebelumnya (ADEOS dan JERS-1). ALOS diluncurkan ke orbit pada tanggal 24 Januari 2006 dengan membawa ga sensor, yaitu AVNIR-2, PRISM dan PALSAR. AVNIR-2 dan PRISM adalah sensor op k yang masing – masing bekerja pada mode mul spektral dan pankroma k, Sedangkan PALSAR merupakan sensor SAR (Synthe c Aperture Radar). ALOS didesain untuk menghasilkan data citra satelit untuk kepen ngan aplikasi kebumian seper kartografi, penggunaan lahan, kebencanaan, sumberdaya alam, dan monitoring perkotaan. Gambar 3.1 Overview ALOS (JAXA, 2008) Berikut ini adalah karakteris k umum ALOS: Tabel 3.1 Karakteristik Umum ALOS (ALOS User Guide, 2009) Tanggal Peluncuran 24 Januari 2006 Lokasi Peluncuran Tenageshima Space Center Target lama operasi 3 – 5 tahun Orbit Sinkron Matahari Resolusi temporal 46 hari Inklinasi = 98,16 derajat Ke nggian dari permukaan bumi = 691 Km Media penyimpan Perekam data Solid State (90 Gb)
  • 13. 14 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir III.2 AVNIR-2 AVNIR -2 (Advanced Visible Near Infra Red type 2) merupakan salah satu sensor mul spektral yang terpasang pada satelit ALOS. AVNIR-2 adalah sebuah sensor mul spektral dan merupakan generasi kedua dari keluarga sensor AVNIR. Sensor AVNIR-1 dipasang pada satelit ADEOS. Dibanding pendahulunya, sensor AVNIR-2 memiliki banyak peningkatan, diantaranya mampu menghasilkan citra mul spektral dengan resolusi spasial 10 meter (sebelumnya 50 meter). AVNIR- 2 juga memiliki kemampuan untuk merekam dalam mode off-nadir sampai 44 derajat. Berikut ini adalah karakteris k umum sensor AVNIR-2. Tabel 3.2 Karakteristik AVNIR-2 Gambar 3.2 (a) Overview AVNIR-2 dan (b) Kemampuan merekam off nadir dari AVNIR-2 (JAXA, 2009) JAXA sebagai pengelola ALOS AVNIR-2 membagi level pemrosesan dari data AVNIR-2 sebagai berikut: Jumlah saluran (bands) 4 saluran Panjang gelombang (wavelength) Saluran 1 : 0,42 – 0,5 mikrometer Saluran 2 : 0,52 – 0,6 mikrometer Saluran 3 : 0,61 – 0, 69 mikrometer Saluran 4 : 0,76 – 0, 89 mikrometer Resolusi spasial 10 meter (pada perekaman nadir) Swath width 70 km (pada perekaman nadir) Jumlah detektor 7000 per saluran Poin ng Angle - 44 sampai +44 derajat Resolusi spektral 8 Bit
  • 14. 15Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Tabel 3.3 Level Pemrosesan Data PRISM dan AVNIR-2 (JAXA, 2009) III.2 SPOT SPOT merupakan Satelit Penginderaan Jauh sumber daya alam milik Prancis yang sudah beroperasi sejak tahun 1986 (tertua kedua setelah Landsat). Sampai saat ini, satelit SPOT yang telah diluncurkan adalah sebanyak 5 satelit. Mulai dari SPOT-1 tahun 1986 sampai SPOT-5 tahun 2002. Dari kelima satelit, dua satelit sudah dak mampu bekerja lagi, sehingga sekarang yang masih beroperasi hanya 3 satelit (SPOT-2,4 dan 5). Berikut ini adalah tabel karakteris k satelit SPOT mulai dari generasi pertama sampai terakhir. Tabel 3.4 Karakteristik Satelit SPOT 1 sampai 5 (SPOT IMAGE, 2006) Level 1A Data mentah hasil rekonstruksi langsung dari satelit (level 0 data) Level 1B1 Koreksi radiometrik telah diterapkan, Level 1B2R (Georeferenced) Sebagian jenis koreksi geometrik telah diterapkan seper koreksi pengaruh rotasi bumi (skewness), georeferensi ke dalam proyeksi peta yang berlaku umum (UTM dengan datum WGS-84) Level 1B2G (geocoded) Data telah terkoreksi radiometrik dan geometrik, proyeksi peta sudah diterapkan, arah utara piksel citra sudah mengiku arah utara sebenarnya, parameter rotasi sudah diterapkan. Paramater Satelit SPOT-5 SPOT-4 SPOT-1,2,3 Peluncuran 4 Mei 2002 24 Maret 1998 1. 22 Februari 1986 2. 22 Januari 1990 3. 20 September 1993 Masa Kerja 5 tahun 5 tahun 3 tahun Orbit Sinkron Matahari Sinkron Matahari Sinkron Matahari Waktu melintasi ekuator (waktu lokal) 10.30 10.30 10.30 Ke)nggian orbit (ekuator) 822 km 822 km 822 km Periode Orbit 101,4 menit 101,4 menit 101,4 menit Sudut inklinasi 98,7 derajat 98,7 derajat 98,7 derajat Siklus Orbit 26 hari 26 hari 26 hari Instrumen Resolusi )nggi - Saluran spektral - Julat Spektral - Luas Liputan - Resolusi Radiometrik - Resolusi Temporal 2 Sensor HRG - 2 pankroma k (5m) yang bisa dikombinasikan menjadi 1 pankroma k (2,5 m) - 3 VNIR (10m) - 1 SWIR (20m) - P : 0,48-0,71 μm - B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm - B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm - B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm - B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm - 60 x 60 km atau 60 x 80 km - 8 bits - 2 hingga 3 hari 2 Sensor HRVIR - 1 Saluran Merah Resolusi 10m - 3 VNIR (20m) - 1 SWIR (20m) - M : 0,61-0,68 μm - B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm - B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm - B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm - B4 (SWIR) : 1,58-1,75 μm - 60 x 60 km atau 60 x 80 km - 8 bits - 2 hingga 3 hari 2 Sensor HRV - 1 Pankroma (10m) - 3 VNIR (20m) - P : 0,48-0,71 μm - B1 (Hijau) : 0,50-0,59 μm - B2 (Merah) : 0,61-0,68 μm - B3 (NIR) : 0,78-0,89 μm - 60 x 60 km atau 60 x 80 km - 8 bits - 2 hingga 3 hari
  • 15. 16 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Dari generasi ke generasi, kapabilitas sensor pada se ap satelit selalu mengalami perbaikan. Pada saat SPOT 1 sampai 3 diluncurkan, teknologi perekaman masih menggunakan sensor HRV, dan sekarang sudah sampai ke sensor HRG (High Resolu on Ground) dan HRS (High Resolu on Stereoscopic). Aspek resolusi spasial dan spektral juga meningkat dengan tambahan kemampuan mereka band SWIR sejak SPOT-4, sehingga penggunaan citra SPOT dapat dikembangkan ke aplikasi yang semakin luas. Sensor pada se ap generasi satelit SPOT terdiri dari dua sensor iden k yang mampu diatur arahnya sehingga memiliki kapabilitas perekaman off nadir. Kapabilitas perekaman off nadir ini memungkinkan dapat dihasilkannya citra stereo jenis across track. Citra stereo ini dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk berbagai aplikasi seper pembuatan DEM, dan interpretasi citra stereoskopik. SPOT IMAGE memproduksi dan mendiseminasi citra SPOT dalam berbagai jenis ngkat pemrosesan sebagai berikut : Tabel 3.5 Deskripsi Tingkat Pemrosesan Data SPOT (SPOT IMAGE, 2006) Level Koreksi Radiometrik Koreksi Geometrik Akurasi posisi 1A Normalisasi respon CCD untuk memperbaiki variasi radiometrik yang dikarenakan perbedaan sensi vitas detektor Pengaruh eksternal (atmosfer) belum dikoreksi. - N/A < 50 meter 1B Sama dengan 1A Distorsi geometrik sistema k sudah terkoreksi (distorsi panoramik, efek rotasi bumi, variasi ke nggian orbit) < 30 meter 2A Sama dengan 1A Pemrosesan level 1B Transformasi koordinat ke UTM Orthorek fikasi tanpa menggunakan GCP, hanya menggunakan informasi ephemeris sensor plus DEM dengan resolusi 1 km < 30 meter 2B (Precision) Sama dengan 1A Pemrosesan Level 2A Penggunaan GCP untuk koreksi geometrik guna memperoleh keteli an posisi yang lebih baik Tergantung akurasi GCP 3 (Ortho) Sama dengan 1A Pemrosesan Level 2A Orthorek fikasi menggunakan DEM berkualitas nggi dan GCP untuk mengkoreksi distorsi geometrik akibat pengaruh medan < 10 meter, tergantung akurasi GCP dan DEM
  • 16. 17Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Tabel 3.5 Deskripsi Tingkat Pemrosesan Data SPOT (SPOT IMAGE, 2006)
  • 17. 19Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir BAB III DESKRIPSI WILAYAH PEMETAAN IV.1 Karakteris k Administra f dan Geografis Kabupaten Kutai Barat merupakan salah satu kabupaten yang masuk dalan wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Timur Indonesia. Kabupaten ini merupakan salah satu Kabupaten di Kalimantan yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Secara geografis, Kabupaten Kutai Barat terletak pada 1130 45’ 05” – 1160 31’ 19” BT serta diantara 10 31’ 35” LU dan 10 10’ 16” LS. Adapun batas wilayah secara administrasi adalah Kabupaten Malinau dan Negara Serawak (Malaysia Timur) di sebalah Utara, Kabupaten Kutai Kartanegara di sebelah Timur, Kabupaten Pasir di sebelah Selatan dan Propinsi Kalimantan Tengah serta Propinsi Kalimantan Barat di sebelah Barat. Dengan luas wilayah sebesar 31.628,70 km2 (kurang lebih 15% dari Propinsi Kalimantan Timur), Kabupaten Kutai Barat memiliki 21 kecamatan dan 223 kampung. Berikut ini adalah tabel pembagian wilayah administra6f di Kabupaten Kutai Barat. Gambar 4.1 Lokasi dan Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Kutai Barat No Kecamatan Luas Wilayah (km2) 1 Bongan 2.274,40 2 Jempang 654,40 3 Penyinggahan 271,90 4 Muara Pahu 496,68 5 Muara Lawa 444,50 6 Damai 1.750,43 7 Barong Tongkok 492,21 8 Melak 287,87 9 Long Iram 1.462,01 10 Long Hubung 530,90 11 Long Bagun 4.971,20 12 Long Pahangai 3.420,40 13 Long Apari 5.490,70 14 Bentian Besar 886,40 15 Linggang Bigung 699,30 16 Siluq Ngurai 2.015,58 17 Nyuatan 1.740,70 18 Sekolaq Darat 165,46 19 Manoor Bulatn 867,70 20 Tering 1.804,16 21 Laham 901,80
  • 18. 20 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir IV.2 Karakteris k Iklim dan Topografis Dilihat dari aspek klimatologi, Kabupaten Kutai barat termasuk dalam kategori iklim tropika humida, dengan rata-rata curah hujan ter6nggi pada bulan April dan terendah di bulan Agustus serta 6dak menunjukkan adanya bulan kering. Dengan kata lain, sepanjang bulan dalam satu tahun selalu terdapat sekurang-kurangnya tujuh hari hujan. Namun demikian dalam tahun-tahun terakhir ini, keadaan iklim di Kabupaten Kutai Barat menjadi 6dak menentu. Pada bulan- bulan yang seharusnya turun hujan dalam kenyataannya 6dak hujan, atau sebaliknya pada bulan bulan yang seharusnya kemarau bahkan terjadi hujan dengan dengan musim yang lebih panjang. Temperatur minimum umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Januari sedangkan temperatur maksimum terjadi antara bulan Juli sampai dengan bulan Agustus. Daerah beriklim seper6 ini 6dak mempunyai perbedaan yang jelas antara musim hujan dan musim kemarau. Pada musim angin barat hujan turun sekitar sekitar bulan Agustus sampai bulan Maret, sedangkan pada musim 6mur hujan rela6f kurang, hal ini terjadi pada sekitar bulan April sampai bulan September. Berdasarkan data topografi, Kabupaten Kutai Barat dengan luas wilayah mencapai 316.287.000,00 hektar, didominasi oleh lahan dengan topografi sangat curam (50,16%) dan curam (6,11%) dan selebihnya dengan kondisi datar, dan bergelombang. Wilayah dengan topografi pegunungan mencapai 1.586.552,08 hektar atau lebih dari 50% dari luas seluruhnya tersebut, berada di bagian Barat Laut Kabupaten Kutai Barat. Sedangkan luas wilayah dengan topografi datar hanya sebesar 10,35% atau 327.400,84 hektar dan terletak di bagian Tenggara Kabupaten Kutai Barat. Gambar 4.2 Kondisi topografi Kabupaten Kutai Barat IV.3 Karakteris k Kependudukan Penduduk Kabupaten Kutai Barat saat ini adalah sekitar 150.000 warga dengan 31000 Kepala keluarga. Kepadatan penduduk ter6nggi adalah di kalan barong tongkok. Rata—rata kepadatan penduduk adalah sekitar 4 orang per kilometer persegi.
  • 19. 21Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Adapun kecamatan—kecamatan dengan kepadatan penduduk ter6nggi adalah Barong Tongkok (26 jiwa/km), Melak (15 jiwa/km) dan Penyinggahan (13 jiwa/km). Dari aspek ekonomi dan pendapatan daerah, pendapatan perkapita Kabupaten Kutai Barat sebesar Rp 6 juta dan PDRB pada tahun yang sama sebesar Rp 7.9 juta per kapita. Mata pencaharian penduduk umumnya adalah sebagai petani ladang, petani karet, penambang emas, dan sarang burung walet. Penduduk biasanya 6dak hanya memiliki satu mata pencaharian. Mata pencaharian alterna6f mencakup berburu, pengumpul damar dan hasil hutan non kayu lainnya, beternak, kerajinan rotan, dan wisata. IV.4 Karakteris k Penggunaan Lahan Eksis ng Berdasarkan Peta Penggunaan Lahan Kutai Barat yang dibuat oleh WWF dan BIOTROP Tahun 2008, penggunaan lahan di Kutai Barat dapat dirinci menjadi 4 bentuk penggunaan lahan utama, yaitu kawasan budidaya non kehutanan, kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Yang termasuk dalam kawasan budidaya non kehutanan antara lain adalah penggunaan lahan permukiman, pertanian, pertambangan, dan ak6vitas non kehutanan lainnya. Sedangkan kawasan hutan produksi antara lain perkebunan kelapa sawit, karet, produksi kayu, dan lainnya. Secara keseluruhan, Kawasan budidaya non kehutanan mempunyai proporsi sebesar 29% dari seluruh luas wilayah. Kawasan hutan produksi memiliki proporsi paling besar, yaitu sebesar 47%. Sedangkan kawasan lain seper6 kawasan hutan lindung proporsinya sebesar 23% dan sisanya adalah kawasan hutan konservasi. Gambar 4.3 Kondisi Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat
  • 20. 23Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir BAB V METODE PELAKSANAAN PEMETAAN V.1 Alat dan Bahan Yang Digunakan Pekerjaan pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat berbasis interpretasi citra satelit menggunakan alat dan bahan sebagai berikut: IV.1.A Alat Alat yang digunakan dalam penyelesaian pekerjaan melipu : 1. Seperangkat Komputer dengan spesifikasi Processor Intel Dual core E2160 1,8 Ghz, 2GB RAM, VGA ATI Radeon HD 4665, monitor LCD 18 inch dan perlengkapan pendukung. 2. So3ware ArcGIS versi 10 untuk pelaksanaan pemetaan dan interpretasi citra. 3. So3ware ENVI versi 4.8 dan ER Mapper versi 2011 untuk pelaksanaan pengolahan citra digital (restorasi citra, mosaik, kompresi citra) 4. So3ware OpenOffice suite 3.2 untuk penulisan laporan. IV.1.B Bahan Bahan yang digunakan untuk melaksanakan pemetaan melipu : 1. Peta Rupabumi digital Kabupaten Kutai Barat Skala 1: 50.000. Peta ini berfungsi sebagai peta dasar dan sumber GCP (ground control point) dalam koreksi geometrik citra. 2. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2008 dari Biotrop – WWF. Peta ini berfungsi sebagai informasi tambahan (auxiliary data) dan referensi dalam pemetaan. 3. Citra ALOS AVNIR-2 dan PRISM level pemrosesan L1B2R (terkoreksi radiometrik dan geometrik), sebanyak 13 scene yang meliput wilayah Kabupaten Kutai Barat. Waktu perekaman citra berkisar antara tahun 2009 sampai 2010. Satu scene citra terdiri dari 10 file yang melipu file citra (ditandai dengan nama IMG), metadata citra (ditandai dengan nama LED) dan file lainnya dalam format TXT (lisensi penggunaan citra, rangkuman metadata). Gambar 5.1 Rincian file dalam Satu Scene Citra ALOS level 1B2R
  • 21. 24 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir 4. Citra SPOT-2 dan SPOT-4 level pemrosesan L2A (terkoreksi radiometrik dan geometrik) sebanyak 4 scene citra mul spektral. Waktu perekaman berkisar antara tahun 2008 – 2010. Format citra SPOT yang digunakan adalah format DIMAP (digital image map). Format DIMAP merupakan format diseminasi citra yang dikembangkan oleh perusahaan SPOT IMAGE sebagai standar diseminasi citra dari beberapa sensor seper SPOT dan FORMOSAT. Dalam format DIMAP, metadata citra disimpan sebagai file XML dengan ekstensi *.DIM (metadata.DIM). Sedangkan file citranya sendiri disimpan dalam format *.TIF (Imagery. f). Selain metadata, informasi pendukung lain juga dilampirkan seper quicklook citra dalam format JPG dan keterangan penjelas (readme.html). Gambar 5.2 Rincian file dalam Satu Scene Citra SPOT 2-HRV dan SPOT 4-HRVIR Format DIMAP Gambar 5.3 Contoh Hasil Parsing file metadata citra (file DIM) dalam browser Internet Explorer IV.2 Metode Pelaksanaan Pemetaan dan Interpretasi IV.2.A Tinjauan Umum Citra Satelit ALOS dan SPOT yang digunakan dalam Pemetaan. Kegiatan pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 berbasis interpretasi citra satelit ini menggunakan Citra SPOT-2 HRV, Citra SPOT-4 HRVIR, dan ALOS AVNIR-2 sebagai sumber datanya. Citra yang diperoleh masing – masing telah terproses sampai Level 2A untuk SPOT, dan Level 1B2R untuk ALOS AVNIR-2. Dari segi kualitas citra untuk keperluan pemetaan penggunaan lahan, citra yang digunakan tampaknya mempunyai kelebihan dan kekurangan, baik dari aspek radiometrik maupun geometrik. Berikut ini adalah njauan umum mengenai karakteris k citra yang digunakan beserta analisis kelemahan dan kelebihannya.
  • 22. 25Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir IV.2.A.1 Citra ALOS -AVNIR 2 L1B2R Sebagaimana telah dijelaskan dalam tabel .... pada bab 2, JAXA selaku vendor ALOS telah membagi produk ALOS AVNIR- 2 menjadi beberapa ngkat pemrosesan. Adapun citra yang digunakan dalam pemetaan ini telah diproses sampai Level 1B2R. Level 1B2 mengar kan bahwa citra telah terkoreksi radiometrik sistema s dan ter-georeferensi ke dalam bidang proyeksi peta. Terkoreksi radiometrik sistema s berar nilai spektral citra sudah terkalibrasi secara absolut sesuai dengan acuan kalibrasi, ukuran piksel sudah rela f seragam, se ap saluran sudah ter-coregistrasi ( dak ada perbedaan posisi/misalignment) dan bentuk citra sudah terekonstruksi. Sedangkan yang dimaksud tergeoreferensi disini adalah citra sudah terproyeksi ke dalam koordinat peta (proyeksi UTM). Selain itu, pengaruh rotasi bumi dan kesalahan geometrik sistema s lain dari geometris bumi dan sensor juga sudah terkoreksi. Walaupun demikian, untuk level 1B2R ini masih terdapat beberapa kesalahan yang masih belum dikoreksi, diantaranya adalah piksel masih belum di-resampling (gambar....), dan distorsi geometrik yang disebabkan pengaruh topografis (relief displacement). Untuk itu, evaluasi akurasi geometrik citra L1B2R perlu dilakukan untuk memas kan citra sudah terkoreksi secara akurat dan dapat digunakan untuk menurunkan data dengan ngkat akurasi posisional yang baik. Koreksi radiometrik terhadap pengaruh atmosfer, baik yang bersifat rela f (misalnya dark pixel substrac on) maupun absolut (pembuatan citra reflektansi) dalam pemetaan ini dak akan dilakukan. Hal ini mengingat metode pemetaan yang akan digunakan adalah interpretasi visual, yang mana dak memerlukan nilai spektral citra yang seakurat mungkin. Yang dipen ngkan adalah citra mempunyai kontras yang cukup sehingga dapat diinterpretasi dengan jelas. Oleh karena itu, manipulasi radiometrik yang akan dilakukan nan nya lebih terfokus pada operasi penajaman dan perbaikan kualitas radiometrik citra (image enhancement) Dari sebanyak 13 Scene ALOS AVNIR-2 yang diperoleh, semuanya dak ada yang bersih dari awan. Keberadaan awan pada se ap scene bervariasi mulai dari 15% sampai 75% wilayah liputan. Sebarannya pun bervariasi, ada yang tersebar dan ada yang mengumpul pada bagian tertentu dari citra. Dalam kaitannya dengan pemetaan penggunaan lahan, keberadaan awan ini merupakan faktor yang diperkirakan akan cukup menganggu jalannya interpretasi (banyak area yang dak dapat diinterpretasi karena tertutup awan). Oleh karena itu kegiatan interpretasi nan nya akan lebih difokuskan pada upda ng data yang sudah ada dan uji akurasi hasil interpretasi. IV.2.A.2 CITRA SPOT-2 HRV DAN SPOT-4 HRVIR Level 2A Citra SPOT dengan level pemrosesan 2A mempunyai karakteris k antara lain sudah terkoreksi radiometrik dan geometrik. Untuk aspek keteli an geometrik, citra sudah terproses secara ortho, namun dalam prosesnya belum digunakan k kontrol tanah (ground control points). Orthorek fikasi hanya dilakukan berdasarkan informasi ephemeris dari sensor dan parameter elevasinya berasal dari DEM global dengan resolusi 1 kilometer. Mengingat pemetaan ini dilakukan pada daerah dengan topografi bergunung, maka akurasi dan konsistensi geometrik dari citra SPOT level 2A masih perlu dievaluasi dan diuji akurasinya karena orthorek fikasi tanpa GCP dengan kualitas baik biasanya belum mampu menghasilkan citra dengan akurasi yang cukup.
  • 23. 26 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Koreksi radiometrik tambahan selain yang telah dilakukan oleh vendor citra (misalnya koreksi atmosfer) diper mbangkan dak perlu dilakukan, mengingat pemetaan dak dilakukan secara digital. Jumlah scene citra SPOT yang digunakan dalam pemetaan ini sebanyak 4 scene, yang terdiri dari 1 Scene SPOT-2 dengan resolusi 20 meter dan 3 Scene SPOT-4 dengan resolusi 20 meter. Ke empat scene yang digunakan dak ada yang bersih dari awan. Keberadaan awan bervariasi mulai dari 10% sampai 40% dari luas liputan citra. IV.2.B Restorasi Citra (Koreksi Geometrik) Karena penginderaan jauh bukan merupakan sebuah sistem yang ideal, maka hasil proses penginderaan jauh yang berupa citra atau foto mengandung beberapa kesalahan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Faktor – faktor penyebab adanya kesalahan pada citra ini dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu aspek geometrik citra dan aspek radiometrik citra. Agar dapat digunakan sebagai sumber data spasial yang akurat, berbagai macam distorsi/kesalahan ini harus dihilangkan dan dikoreksi. Sesuai dengan hasil njauan umum terhadap citra yang digunakan, maka dalam pekerjaan pemetaan ini analisis kesalahan radiometrik dan koreksi radiometrik citra dak dilakukan karena akurasi nilai spektral dak terlalu dibutuhkan. Yang lebih dipen ngkan adalah kontras citra yang baik agar interpretasi dapat lebih mudah dilakukan. Yang termasuk dalam sumber kesalahan geometrik pada citra antara lain : pengaruh rotasi bumi, topografi bergunung, kelengkungan bumi, variasi gerakan sensor, medan pandang yang luas. Faktor – faktor tersebut menyebabkan citra mengandung beberapa kesalahan seper pergeseran posisi obyek (relief displacement) dan ukuran piksel yang dak seragam (Richards, 2006). Untuk mengkoreksi kesalahan – kesalahan diatas, terdapat dua metode yang umum digunakan dalam penginderaan jauh, yaitu metode fisis dengan cara memodelkan se ap jenis kesalahan beserta parameter koreksinya dan kemudian diaplikasikan pada citra, dan yang kedua adalah metode empiris berupa penggunaan model matema s polynomial untuk menghubungkan koordinat piksel pada citra (baris dan kolom) dengan koordinat piksel tersebut di lapangan (koordinat peta) (Richards, 2006). Karena citra yang digunakan sudah berada pada ngkat terkoreksi radiometrik dan geometrik (SPOT level 2A dan ALOS AVNIR-2 Level 1B2R) maka koreksi geometrik pada pemetaan ini lebih difokuskan pada evaluasi akurasi koreksi geometrik yang dilakukan vendor citra, dengan menggunakan Peta RBI terbitan BAKOSURTANAL Skala 1:50.000 sebagai referensi dan pembanding. Jika hasil koreksi geometrik dari vendor mempunyai akurasi yang sama dengan Peta RBI, maka koreksi geometrik tambahan dak perlu dilakukan. Namun sebaliknya jika ditemui masih terdapat kesalahan geometrik, maka akan dilakukan koreksi geometrik tambahan dengan menggunakan transformasi polynomial dua dimensi. Berikut ini adalah skema strategi koreksi geometrik yang akan dilakukan :
  • 24. 27Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 5.4 Skema Strategi Koreksi Geometrik Kriteria yang digunakan pada tahap Uji Akurasi untuk mengetahui hasil koreksi geometrik dari vendor citra dapat diterima atau dak adalah dengan membandingkan kenampakan Jalan dan Sungai pada citra dengan pada peta. Jika kenampakan pada citra tepat berimpit sempurna pada peta berar citra dianggap sudah akurat dan dak perlu dikoreksi lagi. Sedangkan jika kenampakan dak berimpit sempurna, maka koreksi geometrik dari vendor dianggap kurang akurat dan dilakukan koreksi tambahan dengan menggunakan transformasi polynomial orde 1 (affine). Adapun rumus persamaan polynomial umum yang akan digunakan adalah sebagai berikut: u,v = koordinat citra x,y = koordinat peta (Richards, 2006) IV.2.C Penajaman Kontras (Contrast Stretching) Hasil perekaman citra satelit dijital seringkali mempunyai rentang nilai dijital (DN) yang rela f sempit. Jika dibandingkan dengan ruang yang tersedia untuk penyimpanan data (0 – 255 untuk citra 8 BIT dan 0 – 4026 untuk 11BIT). Hal ini menyebabkan citra tampak rela f gelap dan kurang kontras. Untuk kepen ngan interpretasi citra diperlukan citra dengan kontras yang baik. Untuk itu perlu dilakukan penajaman kontras (contrast enhancement) dengan cara manipulasi histogram citra (CCRS, 1999). Gambar 5.5 Penajaman Kontras (CCRS, 1999)
  • 25. 28 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Penajaman kontras dapat dapat dibagi dua, yaitu linier dan non linier. Penajaman kontras non linier selanjutnya dapat dibagi lagi menjadi beberapa metode seper penyamaan histogram (histogram equaliza on), penajaman gaussian dan penajaman berbasis standar deviasi (ERDAS Field Guide). Dalam kegiatan pemetaan ini, penajaman kontras diperlukan agar citra yang digunakan dapat memiliki kontras yang baik, sehingga representasi obyek akan lebih jelas dan lebih mudah diinterpretasi. Strategi yang digunakan adalah dengan mencoba mengaplikasikan beberapa teknik penajaman kontras yang umum digunakan dalam pengolahan citra dijital, yaitu : 1. Penajaman kontras linier (linear contrast stretching) 2. Penajaman berbasis standar deviasi (standard devia on stretching) 3. Penyetaraan Histogram (Histogram Equaliza on) Metode terbaik dinilai secara subyek f visual dengan cara membandingkan kontras citra hasil penajaman. Citra dengan kontras yang paling baik yang akan dipakai untuk kegiatan interpretasi. IV.2.D Penyesuaian Histogram (Histogram Matching) Penyesuaian Histogram merupakan salah satu teknik manipulasi citra dengan tujuan menyamakan karakteris k radiometrik antara satu citra dan citra lain, sehingga kualitas radiometriknya menjadi rela f seragam. Citra yang direkam pada waktu berbeda seringkali mempunyai ngkat kecerahan yang dak sama yang diakibatkan antara lain adalah perbedaan kondisi atmosfer (Richards, 2006) . Hal ini dapat menjadi masalah jika citra akan dimosaik dengan citra lain. Tingkat kecerahan citra menjadi kurang selaras dan hasil mosaik menjadi kurang terpadu (seamless) (ERDAS Field Guide). Walaupun demikian, penerapan histogram matching yang sukses se daknya memerlukan ga syarat (ERDAS Field Guide), yaitu : 1. Bentuk umum histogram antara citra – citra yang akan diproses rela f seragam 2. Kenampakan gelap dan cerah pada se ap citra idealnya merupakan obyek yang sejenis. 3. Untuk aplikasi tertentu, resolusi spasial citra mungkin harus sama. 4. Jika terdapat awan pada satu citra dan yang lain bersih awan, maka keberadaan awan pada salah satu citra harus dikoreksi terlebih dahulu sebelum dilakukan histogram matching. Teknik penyesuaian histogram dilakukan dengan cara membuat Lookup Table dari citra referensi. Lookup table ini berisi informasi nilai kecerahan pada citra referensi dan asosiasi gradasi keabuannya. Kemudian citra masukan yang akan disesuaikan histogramnya diplotkan ke dalam lookup table ini sesuai dengan gradasi nilai keabuan dari citra referensi. Dan proses diakhiri dengan rekonstruksi histogram hasil plo ng nilai spektral citra masukan (ERDAS Field Guide). Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
  • 26. 29Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 5.6 (a) Histogram citra masukan, (b) lookup table citra referensi dan (c) hasil perkiraan histogram output Dikarenakan salah satu keluaran dari pemetaan ini adalah mosaik citra yang meliput seluruh wilayah Kabupaten Kutai Barat, maka sebelum citra dimosaik perlu dilakukan penyesuaian histogram agar citra mosaik dalam lebih terpadu kualitas radiometriknya. Dan memper mbangkan juga bahwa se ap citra yang digunakan terdapat perawanan serta meliput daerah dengan karakteris k penutup lahan dominan yang seragam, maka koreksi penghilangan awan sebelum proses matching dipandang dak perlu dilakukan karena julat nilai spektral pada se ap citra rela f sama. IV.2.E Pembuatan Mosaik Citra (Mosaicking) Mosaicking atau pembuatan mosaik citra merupakan proses penggabungan banyak citra untuk membentuk satu citra yang meliput wilayah lebih luas (ERDAS Field Guide). Mosaik citra diperlukan biasanya untuk melihat sebaran obyek dalam cakupan yang lebih luas dari cakupan konvensional citra. Pembuatan mosaik citra dapat dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu mosaik terkontrol dan mosaik dak terkontrol (Sutanto, 1986). Mosaik terkontrol menggunakan citra yang sudah tergeoreferensi sebagai masukannya, sehingga proses mosaik dilakukan secara otoma s sesuai dengan koordinat masing – masing citra penyusun. Akurasi hasil mosaik terkontrol akan sangat tergantung pada akurasi geometrik citra penyusunnya. Kesalahan yang umum terjadi dari penggunaan teknik mosaik terkontrol adalah munculnya ke dak selarasan (displacement) dari obyek – obyek yang sama pada bagian tepi citra atau pada bagian citra yang bertampalan (overlap). Hal ini diakibatkan citra yang dimosaik mempunyai akurasi yang dak seragam, sehingga dak tepat bertampalan. Untuk menghindari kesalahan tersebut, citra harus dipas kan mempunyai akurasi yang seragam dan berada dalam batas toleransi kesalahan yang dapat diterima satu sama lain. Sedangkan mosaik dak terkontrol menggunakan pendekatan yang berkebalikan dengan mosaik terkontrol. Teknik ini menggunakan citra yang belum terkoreksi sebagai masukannya, sehingga proses mosaik dilakukan secara manual atau otoma s dengan menggunakan algoritma tertentu. Kelebihan dari teknik ini adalah adanya ke dak selarasan obyek dapat dihindari karena proses mosaik dilakukan secara manual. Namun demikian teknik ini bukan berar tanpa kelemahan. Kelemahan dari teknik ini muncul ke ka citra direk fikasi. Sebagai akibat dari mosaik citra yang kesalahan geometriknya belum dikoreksi, maka hasil mosaik citra akan mengakumulasikan kesalahan – kesalahan geometrik dari citra – citra penyusunnya, sehingga pada tahap koreksi geometrik biasanya dak dapat diselesaikan dengan persamaan polynomial orde rendah (affine), melainkan menggunakan orde nggi (lebih dari 3). Semakin nggi orde yang digunakan, semakin banyak k kontrol tanah yang dibutuhkan, dan persamaan akan menjadi semakin sensi f terhadap sebaran k kontrol. Area yang dak terdapat k kontrol akan mempunyai kesalahan posisi yang besar.
  • 27. 30 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Dalam pemetaan ini, metode mosaicking yang digunakan adalah pendekatan mosaik terkontrol. Untuk mengan sipasi adanya perbedaan posisi obyek antara satu citra dengan citra lain, dalam tahap koreksi geometrik akan dipas kan bahwa citra mempunyai akurasi yang seragam dan dak ada perbedaan posisi obyek pada bagian – bagian yang bertampalan. IV.2.F Interpretasi Penggunaan Lahan IV.2.F.1 Proses Interpretasi Penggunaan Lahan dan Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan yang digunakan Pembuatan Peta Penggunaan Lahan berbasis interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan menggunakan dua metode, yaitu intepretasi visual dan klasifikasi dijital (Sutanto, 1986). Interpretasi visual biasanya dilakukan pada data penginderaan jauh yang berformat analog/cetakan atau dijital melalui digitasi pada layar monitor. Pada proses interpretasi visual, interpreter berusaha mengenali obyek di permukaan bumi dengan mendasarkan pada kunci interpretasi yang terdiri dari rona/warna, bentuk, pola, tekstur, bayangan, ukuran, asosiasi dan situs (Sutanto, 1986). Obyek yang teriden fikasi kemudian di deliniasi batasnya dan akhirnya dihasilkan sebuah peta tema k sebaran obyek hasil iden fikasi. Sedangkan pada klasifikasi dijital, proses pengenalan obyek dilakukan secara otoma s oleh komputer. Komputer mengenali obyek hanya berdasarkan pada dua aspek, yaitu atribut spektral/warna dan atribut spasial/ tekstur. Oleh karena itu penggunaan klasifikasi dijital hanya terbatas untuk pemetaan penutup lahan atau penggunaan lahan yang mempunyai tekstur spesifik saja. Dalam kegiatan pemetaan ini, metode yang digunakan adalah interpretasi visual. Interpretasi visual dipilih karena informasi yang ingin diperoleh adalah informasi penggunaan lahan yang mana lebih tepat diperoleh menggunakan pendekatan interpretasi visual. Selain itu, peta referensi yang digunakan berformat data vektor, sehingga untuk menjaga konsistensi, dipilih interpretasi visual yang keluaran utamanya adalah data vektor juga. Proses interpretasi dilakukan dengan cara menampalkan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2008 yang dibuat oleh WWF-BIOTROP di atas citra, kemudian diinterpretasi kesesuaian hasil deliniasi penggunaan lahan dengan kenampakan pada citra. Jika ada perubahan penggunaan lahan, peta kemudian didijitasi ulang sesuai dengan perubahan yang ada. Untuk meningkatkan kualitas interpretasi, digunakan juga beberapa data tambahan seper hasil groundcheck penggunaan lahan di lapangan oleh WWF dan peta Konsensi Perkebunan di Kutai Barat. Pemetaan penggunaan lahan dilakukan dengan mengacu pada klasifikasi penggunaan lahan menurut WWF-BIOTROP sebagai berikut:
  • 28. 31Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan BIOTROP—WWF untuk Wilayah Kutai Barat (2008) Kelompok Penggunaan Lahan Utama Rincian semi de/l Rincian De/l Permukiman - Permukiman - Permukiman Pertanian - Sawah - Pertanian campuran - Sawah - Pertanian campuran Pertanian lahan kering - Pertanian lahan kering - Tegalan - Ladang Kebun - Kebun - Kebun Campuran Perkebunan - Perkebunan Besar - Perkebunan Kecil - Perkebunan Hutan Industri Kayu - Perkebunan Kayu Sengon (Paraserianthes Falcataria) - Perkebunan Kelapa Sawit - Perkebunan Kelapa Sawit muda - Perkebunan Akasia - Perkebunan Karet - Perkebunan Karet skala kecil Pertambangan - Pertambangan - Pertambangan batubara - Pertambangan Emas Hutan - Hutan Dataran Rendah Kering - Hutan pada daerah berbatuan batu pasir - Hutan pada daerah berbatuan ultra basa - Hutan pada daerah berawa air tawar - Hutan pada daerah berawa gambut - Belukar (forest regrowth) - Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi sangat terbuka - Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi setengah terbuka - Hutan Dataran Rendah Kering dengan tutupan kanopi cenderung tertutup - Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi sangat terbuka - Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi setengah terbuka - Hutan pada daerah berbatuan batu pasir dengan tutupan kanopi cenderung tertutup - Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi sangat terbuka - Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi setengah terbuka - Hutan pada daerah berbatuan ultra basa dengan tutupan kanopi cenderung tertutup - Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi sangat terbuka - Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi setengah terbuka - Hutan pada daerah berawa air tawar dengan tutupan kanopi cenderung tertutup - Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi sangat terbuka - Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi setengah terbuka - Hutan pada daerah berawa gambut dengan tutupan kanopi cenderung tertutup - Belukar - Belukar pada lahan berawa Lahan terbuka - Lahan terbuka rusak (bare land) - Lahan terbakar (burnt) - Bukaan Lahan (cleared) - Lahan terbuka rusak - Lahan terbakar (burnt) - Bukaan lahan - Bukaan lahan untuk Industri Hutan Industri/produksi - Bukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit Padang - Padang rumput - Semak -Padang rumput - Semak - Semak pada Hutan berbatuan Batupasir - Semak pada lahan berawa (fernland) - Bukaan lahan bekas semak (overgrowing clear-cut shrubs) Tubuh Air - Tubuh air - Tubuh air Lain – lain - Lain – lain - Sungai - Jalan - Rel KA - Lain - lain - Sungai - Jalan - Rel KA
  • 29. 32 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Pada saat ini skema klasifikasi penggunaan lahan di Indonesia telah distandarisasi dengan terbitnya SNI nomor 19- 6728.3-2002 Tahun 2002 tentang Penyusunan Neraca Sumberdaya Lahan Spasial. Oleh karena itu, hasil pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 selain menggunakan skema klasifikasi menurut BIOTROP-WWF, juga akan dibuat dengan mengacu pada Skema Klasifikasi Penggunaan Lahan menurut SNI. Jadi keluaran dari pekerjaan pemetaan ini terdiri dari dua Peta Penggunaan Lahan. Adapun rincian skema klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI adalah sebagai berikut: Tabel Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut SNI 19-6728.3-2002 Peta Tingkat Nasional Peta Tingkat Provinsi Peta Tingkat Kabupaten/kota Permukiman - Permukiman - Permukiman perkotaan - Permukiman perdesaan Sawah - Sawah Irigasi - Sawah tadah hujan - Sawah pasang surut - Sawah irigasi teknis - Sawah irigasi setengah teknis - Sawah irigasi sederhana - Sawah tadah hujan - Sawah pasang surut Pertanian lahan kering - Pertanian lahan kering - Tegalan - Ladang Kebun - Kebun - Kebun Campuran - Kebun Sejenis ( sayuran ) - Kebun Sejenis ( Bunga-bungaan) - Kebun Sejenis ( Buah-buahan) Perkebunan - Perkebunan Besar - Perkebunan Rakyat - Perkebunan Besar (jenis komodi ) - Perkebunan Rakyat (jenis komodi ) Pertambangan terbuka - Pertambangan terbuka - Pertambangan terbuka (dirinci menurut bahan galian) Industri dan Pariwisata - Industri/Pariwisata - Tempat/lokasi pariwisata - Industri (dirinci menurut jenis industri, atau pertanian/non pertanian) - Tempat/lokasi pariwisata Perhubungan - Pelabuhan/Bandara - Pelabuhan laut - Pelabuhan sungai - Terminal - Stasiun Kereta Api - Pelabuhan/Bandara - Pelabuhan laut - Pelabuhan sungai - Terminal - Stasiun Kereta Api Lahan berhutan - Lahan berhutan - Lahan berhutan lebat - Lahan berhutan belukar - Lahan berhutan sejenis Lahan terbuka - Lahan terbuka - Lahan terbuka tandus - Lahan terbuka kri s - Lahan bukaan sementara Padang - Padang rumput - Alang – alang - Semak -Padang rumput (dirinci menurut penggunaan) - Alang – alang - Semak Perairan Darat - Danau/Situ/Telaga - Waduk/Bendungan - Rawa - Kolam ikan air tawar - Tambak - Penggaraman - Danau/Situ/Telaga - Waduk/Bendungan - Rawa - Kolam ikan air tawar - Tambak - Penggaraman Lain – lain - Lain – lain - Sungai - Jalan - Rel KA - Lain - lain - Sungai - Jalan - Rel KA
  • 30. 33Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir IV.2.F.2 Strategi Interpretasi Penggunaan Lahan Pembuatan peta penggunaan lahan dalam kegiatan ini menggunakan dua skema klasifikasi penggunaan lahan yang sedikit banyak cukup berbeda. Agar hasil interpretasi dapat lebih op mal dan konsisten antara kedua skema, maka interpretasi akan dilakukan dengan menggunakan satu skema terlebih dahulu, kemudian hasil pemetaan dikonversikan kepada skema yang lainnya. Skema yang digunakan dalam interpretasi adalah skema klasifikasi penggunaan lahan menurut BIOTROP—WWF. Adapun dasar per mbangannya adalah skema klasifikasi penggunaan lahan menurut WWF—BIOTROP dipandang lebih rinci dan lebih mencerminkan berbagai macam aspek penggunaan lahan (terutama aspek sosial ekonomi). Sementara klasifikasi menurut SNI lebih bersifat umum dan luas, sehingga dalam konversi skema dirasa akan lebih mudah. Berikut ini adalah diagram alir strategi interpretasi dan pemetaan: Gambar 5.7 Strategi Pelaksanaan Interpretasi Penggunaan Lahan
  • 31. 34 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir IV.2.G Diagram Alir Pemetaan Sebagai penutup dari pembahasan mengenai metode pemetaan, berikut ini adalah diagram alir dari kegiatan pemetaan yang dilakukan : Gambar 5.8 Diagram Alir Pemetaan
  • 32. 35Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan metode yang telah dijabarkan di bab sebelumnya, bagian ini akan membahas hasil—hasil yang diperoleh dari kegiatan pemetaan, beserta evaluasi dan analisis di se ap tahapan guna memberikan hasil peta penggunaan lahan terbaik dengan kesalahan yang seminimal mungkin., baik kesalahan tema/informasi maupun kesalahan yang bersifat posisional. VI.1 Hasil Koreksi Geometrik Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, citra satelit yang digunakan untuk kegiatan pemetaan telah diproses sampai level 2A (untuk SPOT) dan L1B2R (untuk ALOS AVNIR-2 kelas B). Citra yang telah diproses sampai pada level tersebut biasanya sudah terkoreksi, baik radiometrik maupun geometrik. Walaupun demikian, kualitas dan akurasi posisinya akan sangat tergantung pada kondisi topografis dan kualitas data tambahan yang digunakan. Untuk memas kan bahwa citra yang digunakan sudah konsisten dan terkoreksi geometrik, maka citra dicek terlebih dahulu kualitas dan akurasi geometriknya. Skenario dan metode evaluasi hasil koreksi geometrik vendor citra mengiku skema pada Subbab IV.2.B Berdasarkan hasil evaluasi koreksi geometrik dengan menggunakan Peta RBI skala 1: 50.000 sebagai data referensi, dapat diketahui bahwa hasil koreksi geometrik yang dilakukan oleh vendor masih mengandung kesalahan posisional (gambar 6.1 dan gambar 6,2) . Adapapun jenis kesalahan yang dominan terjadi adalah pergeseran posisi (shi ing) dari data referensi, dengan besarnya pergeseran bervariasi (4 sampai 15 piksel). Kesalahan jenis ini dapat dikoreksi dengan menggunakan rek fikasi polynomial dua dimensi orde satu yang lebih dikenal dengan nama transformasi affine (Richards, 2006). Dari 17 scene citra yang digunakan, 16 citra masih mengandung kesalahan posisi geometrik, sehingga diterapkan rek fikasi ulang. Sedangkan satu citra dak mengandung kesalahan posisi yang besar (masih dalam batas toleransi kesalahan posisi dari standar kesalahan posisi peta skala 1:100.000), sehingga dak dilakukan rek fikasi ulang. Rincian citra yang direk fikasi ulang dan yang dak direk fikasi ulang dapat dilihat pada tabel 6.1. Koreksi dilakukan dengan mentranslasikan citra yang belum terkoreksi menggunakan minimal 2 k kontrol tanah (Ground control point) ke posisi yang lebih akurat sesuai dengan data referensi (Peta RBI). Pemilihan k kontrol diupayakan berada pada posisi yang memungkinkan agar residual dari transformasi dapat seminimal mungkin, yaitu di sudut—sudut citra. Jika transformasi menggunakan dua k ikat, maka diusahakan k ikat yang diambil adalah pada sudut kanan atas dan kiri bawah, atau kiri atas dan kanan bawah, demikian seterusnya.
  • 33. 36 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.1 Perbandingan citra sebelum dan sesudah rektifikasi ulang dengan data sungai dari Peta dasar Gambar 6.2 Perbandingan citra sebelum dan sesudah rektifikasi ulang pada bagian tepi citra Gambar 6.3 menunjukkan sebaran k ikat yang digunakan untuk mentranslasikan citra yang masih memiliki distorsi geometrik. Ti k ikat yang digunakan untuk merek fikasi ulang citra berjumlah antara 2 sampai 4 k ikat per citra, sesuai dengan kebutuhan transformasi affine.
  • 34. 37Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.3 Sebaran titik ikat yang digunakan untuk merektifikasi citra Tabel 6.1 Daftar Citra yang direktifikasi ulang dan tidak direktifikasi ulang ID citra Sensor direktifikasi ulang tidak direktifikasi ulang 20090811SP4299349S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V 20090905SP4300351S0G2AXS SPOT-2 HRV V 20100215SP4299351S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V 20100403SP4298350S0G2AXI SPOT-4 HRVIR V alav2a070023610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a179863600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a195033620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a217643620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a235293610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V alav2a244483600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D0993580 0 1B2 24Sep08 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D0993590 0 1B2 24Jun08 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1003570 0 1B2 24May07 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1003580 0 1B2 24Nov07 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1003590 0 1B2 26Nov08 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1013570 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 V ALOS AV2 A D1013580 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 V
  • 35. 38 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir VI.2 Penajaman Kontras (Contrast Enhancement) Penajaman kontras diperlukan agar citra yang akan diinterpretasi mempunyai kontras yang baik, sehingga se ap obyek yang nampak pada citra dapat diinden fikasi dengan baik. Teknik penajaman kontras melipu teknik penajaman linier maupun non linier. Masing—masing memberikan hasil penajaman yang berbeda, dan se ap metode belum tentu dapat memberikan penajaman yang baik untuk se ap citra. Hal ini dikarenakan se ap citra mempunyai karakteris k radiometrik yang berbeda—beda, sehingga satu algoritma yang menghasilkan penajaman yang baik untuk satu citra, belum tentu hasilnya baik juga untuk citra lain. Selain itu, cara pengambilan contoh histogram untuk penyusunan lookup table juga dapat memberikan hasil penajaman yang berbeda—beda. Oleh karena itu dikenal juga kategorisasi penajaman kontras global dan penajaman kontras lokal/piecewise. Dalam kegiatan pemetaan ini, terdapat ga algoritma penajaman kontras yang diuji, yaitu: penajaman kontras linier, penajaman kontras berbasis standar deviasi, penajaman kontras gaussian, dan penajaman kontras penyesuaian histogram. Strategi pengambilan contoh histogram untuk penyusunan lookup table dak hanya menggunakan histogram global seluruh citra, namun juga histogram lokal melalui pengambilan sampel histogram pada area tertentu. Pelibatan penajaman kontras berbasis histogram lokal dimaksudkan untuk mengeksplorasi sampai sejauh mana teknik penajaman kontras mampu membedakan berbagai obyek yang nampak pada citra, terutama pada citra yang tutupan awannya sangat besar. Hasil pemilihan metode penajaman kontras terbaik untuk se ap citra dapat dilihat pada tabel 6.2. Sedangkan contoh—contoh hasil penajaman kontras dapat dilihat pada gambar 6.3, 6.4 dan 6.5. Tabel 6.2 Jenis Penajaman Kontras yang Diaplikasikan Untuk Setiap Citra ID citra Sensor Algoritma Penajaman Kontras yang diterapkan 20090811SP4299349S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza on 20090905SP4300351S0G2AXS SPOT-2 HRV Global Histogram Equaliza on 20100215SP4299351S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza on 20100403SP4298350S0G2AXI SPOT-4 HRVIR Global Histogram Equaliza on alav2a070023610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut alav2a179863600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut alav2a195033620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza on alav2a217643620-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza on alav2a235293610-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Histogram Equaliza on alav2a244483600-o1b2r_u ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut ALOS AV2 A D0993580 0 1B2 24Sep08 ALOS AVNIR-2 Global Histogram Equaliza on ALOS AV2 A D0993590 0 1B2 24Jun08 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut ALOS AV2 A D1003570 0 1B2 24May07 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching 2% cut ALOS AV2 A D1003580 0 1B2 24Nov07 ALOS AVNIR-2 Local Linear Stretching ALOS AV2 A D1003590 0 1B2 26Nov08 ALOS AVNIR-2 Local standar devia on stretching ALOS AV2 A D1013570 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 Local Gaussian Stretching ALOS AV2 A D1013580 0 1B2 15Jun09 ALOS AVNIR-2 Global Histogram Equaliza on
  • 36. 39Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.3 Penerapan Teknik Penajaman Kontras dapat memperbaiki kontras citra.
  • 37. 40 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.4 Hasil Penajaman Kontras Citra ALOS AVNIR-2 Komposit warna semu pada daerah dengan tutupan awan besar. Metode terbaik adalah Histogram Equalization Stretching
  • 38. 41Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.5 Hasil Contrast Enhancement pada Citra ALOS AVNIR-2 Komposit Warna Alami pada daerah dengan tutupan awan sedikit. Hasil terbaik adalah Piecewise Linear Stretching 2% cut
  • 39. 42 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Berdasarkan hasil pemrosesan, tampak bahwa metode terbaik untuk menajamkan sebuah citra dak selalu sama. Suatu metode yang dapat memberikan hasil penajaman yang baik untuk sebuah citra belum tentu baik juga pada citra yang lain. Hal ini dikarenakan kualitas radiometrik citra (yang sangat dipengaruhi oleh kondisi atmosfer pada saat citra direkam) dak sama. Secara umum dari hasil pemrosesan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa untuk citra dengan perawanan yang sedikit dengan kondisi atmosfer yang bersih, metode penajaman kontras linear dapat memberikan hasil penajaman yang baik (gambar 6.5). Sedangkan metode penyesuaian histogram memberikan hasil yang terlalu tajam sehingga banyak piksel yang tersaturasi dan menyebabkan kontras citra jadi kurang baik. Metode penyesuaian histogram bekerja dengan baik pada citra dengan kondisi tutupan awan yang besar. Hal ini dikarenakan pada citra dengan perawanan besar, histogram citra cenderung mengumpul pada satu region, sehingga penajaman linier dak dapat bekerja maksimal. Sedangkan pada citra dengan kondisi atmosfer yang kotor dan berkabut, histogram citra akan cenderung terdistribusi normal, sehingga penajaman gaussian akan bekerja maksimal pada citra dengan histogram seper ini. Citra yang telah ditajamkan kemudian digunakan untuk intepretasi penggunaan lahan. Sedangkan untuk pembuatan mosaik citra dak digunakan citra yang kontrasnya ditajamkan. Hal ini dikarenakan kebutuhan citra untuk mosaik adalah citra yang mempunyai keterpaduan secara radiometrik (seamless) sehingga penajaman untuk citra mosaik nan akan dilakukan dengan menggunakan operasi penyamaan histogram (histogram matching). VI.3 Penyesuaian Histogram (Histogram Matching) Operasi penyesuaian histogram dilakukan untuk mendekatkan nilai kecerahan antara citra—citra yang akan dimosaik, sehingga iluminasinya lebih seragam. Iluminasi yang rela f seragam akan menghasilkan citra yang lebih terpadu (seamless) ke ka citra dimosaik. Walaupun demikian, histogram matching pada dasarnya adalah operasi yang cukup kompleks, dimana terdapat beberapa syarat agar algoritma dapat bekerja maksimal. Syarat tersebut dijelaskan pada subbab IV.2.D. Dalam kenyataanya, citra yang mencakup daerah pemetaan sebagian besar mempunyai tutupan awan yang tebal dan merata. Dengan keberadaan tutupan awan yang besar dan keterbatasan waktu pemetaan, eliminasi tutupan awan dak dapat dilakukan. Hal ini membawa permasalahan tersendiri dalam proses histogram matching. Dalam kenyataannya, hampir 80% citra menjadi kurang baik tampilan warnanya setelah disesuaikan histogramnya dengan citra lain. Citra menjadi terlalu terang (banyak piksel tersaturasi) atau malah terlalu gelap (kontras rendah). Penyebab utama dari kegagalan proses histogram matching adalah histogram antar satu citra dengan citra lain mempunyai pola dan sebaran yang berbeda, sehingga ke ka dilakukan proses matching, keluaran histogramnya dak sama persis dengan histogram referensi. Contoh histogram dan tampilan citra yang berhasil dan gagal dalam proses matching dapat dilihat pada gambar 6.6 dan 6.7. Perbedaan bentuk dan pola histogram pada se ap citra disebabkan oleh perbedaan kondisi atmosfer dan proporsi tutupan awan.
  • 40. 43Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.6 Contoh citra yang berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik
  • 41. 44 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.7 Perbandingan kenampakan citra yang berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik dan contoh histogram yang telah disesuaikan VI.4 Pembuatan Mosaik Citra (Mosaicking) Mosaik citra merupakan salah satu keluaran yang dihasilkan dari kegiatan pemetaan. Guna dari mosaik citra adalah untuk memberikan gambaran mengenai penutup lahan/penggunaan lahan dalam cakupan yang lebih luas dari cakupan standar citra. Mosaik citra disusun menggunakan pendekatan mosaik terkontrol. Yang ar nya, proses mosaik dilakukan dengan mendasarkan pada informasi georeferensi pada se ap citra dan proses dilakukan secara otoma s. Sebagai masukan dari proses mosaicking adalah citra yang sudah melalui proses histogram matching (untuk beberapa scene). Keluaran citra mosaik terdiri dari dua dataset, yaitu mosaik citra komposit warna alami (natural color composite) dan mosaik citra komposit warna semu (false color composite). Adapun per mbangan kenapa dihasilkan dua mosaik karena citra SPOT dan ALOS mempunyai komposisi dan urutan band yang berbeda. ALOS AVNIR-2 terdiri dari empat saluran mul spektral mulai dari spektrum biru sampai inframerah dekat, SPOT-2 terdiri dari ga saluran mul spektral mulai dari spektrum hijau sampai inframerah dekat, dan SPOT-4 terdiri dari empat saluran mul spektral mulai dari spektrum hijau sampai infra merah gelombang pendek (SWIR). Perbedaan komposisi saluran menyebabkan citra dari ke ga sensor dak dapat langsung dimosaik secara bersamaan.
  • 42. 45Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.8 Contoh citra yang tidak berhasil disesuaikan histogramnya dengan baik
  • 43. 46 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Untuk pembuatan citra komposit warna alami, dari citra ALOS AVNIR digunakan saluran 1 sampai 3. Sementara, karena citra SPOT dak mempunyai saluran biru yang diperlukan dalam pembuatan citra komposit warna alami, maka saluran biru disimulasikan dengan meggunakan saluran hijau dan merah menggunakan algoritma simulasi saluran biru yang terdapat dalam perangkat lunak ERDAS IMAGINE. Untuk pembuatan citra komposit warna semu, dari Citra ALOS AVNIR -2 digunakan saluran 2 sampai 4, dan dari citra SPOT 2/4 digunakan saluran 1 sampai 3. Untuk pembuatan mosaik citra komposit warna semu, proses histogram matching dak dilakukan. Hal ini dikarenakan pada beberapa scene proses histogram matching menyebabkan citra menjadi terdistorsi dan hasil mosaik secara keseluruhan menjadi dak baik. Tidak dilakukannya proses histogram matching pada citra komposit warna semu menyebabkan mosaik citra nampak kurang terpadu nilai kecerahannya (patchy images). Hasil proses mosaik dapat dilihat pada gambar 6.10 dan 6.11. VI.5 Hasil Interpretasi Penggunaan Lahan Sebagaimana telah dijelaskan pada bab V.2.F, teknik yang digunakan dalam interpretasi penggunaan lahan adalah interpretasi visual. Teknis pelaksanaannya adalah dengan cara menampalkan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat yang dibuat oleh WWF-BIOTROP tahun 2008 diatas citra satelit ALOS dan SPOT, kemudian kenampakan— kenampakan yang berbeda/berubah dideliniasi ulang secara on-screen digi zing. Setelah penggunaan lahan terkini selesai dipetakan, kemudian dibuat peta kedua dengan menggunakan klasifikasi penggunaan lahan menurut SNI. Proses pembuatannya adalah dengan menyusun terlebih dahulu tabel konversi penggunaan lahan antara klasifikasi BIOTROP dan SNI (dapat dilihat pada tabel ...), kemudian hasil pemetaan penggunaan lahan menggunakan klasifikasi BIOTROP diubah menjadi klasifikasi SNI menurut tabel tersebut. VI.5.1. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Menurut Klasifikasi WWF-BIOTROP Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 mengacu pada peta yang sama tahun sebelumnya yang dibuat oleh WWF-BIOTROP dengan mendasarkan pada interpretasi citra LANDSAT. Berdasarkan hasil interpretasi, kenampakan yang banyak berubah adalah banyaknya ditemui pembukaan lahan baru (land clearing) di area—area yang sebelumnya merupakan hutan lebat. Pembukaan lahan ditemui di banyak tempat di sepanjang wilayah Kabupaten Kutai Barat, baik berupa pembukaan lahan dengan luasan besar maupun kecil. Dengan ditemuinya banyak sekali kenampakan pembukaan lahan, maka salah satu fokus revisi peta untuk tahun 2009 ini adalah mengiden fikasi dan memetakan ulang pembukaan lahan baru. Selain itu juga teriden fikasi adanya perubahan dan penambahan luasan lahan industri perkebunan kayu, karet dan kelapa sawit, sehingga fokus kedua dari revisi pemetaan penggunaan lahan tahun 2009 ini adalah iden fikasi dan upda ng penggunaan lahan perkebunan industri komersial. Fokus ke ga dan terakhir dari pemetaan penggunaan lahan Kab. Kutai Barat ini adalah reinterpretasi dan redeliniasi ulang kenampakan permukiman dan lahan terbangun. Hal ini didasarkan pada temuan bahwa terdapat banyak kenampakan lahan terbangun yang belum terdeliniasi pada peta penggunaan lahan sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena pemetaan penggunaan lahan sebelumnya menggunakan citra yang lebih kasar daripada yang digunakan dalam pemetaan ini.
  • 44. 47Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.9 Mosaik Citra Komposit Warna Alami Gambar 6.10 Mosaik Citra Komposit Warna Semu
  • 45. 48 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Untuk menambah akurasi dan interpretabilitas dari kenampakan lahan terbangun, juga digunakan data tambahan berupa data k sebaran lahan terbangun hasil cek lapangan (groundcheck) oleh m WWF Kutai Barat. Selain dari ke ga jenis penggunaan lahan yang menjadi fokus interpretasi, penggunaan lahan lain dak terlalu banyak mengalami perubahan. Hasil pemetaan penggunaan lahan revisi tahun 2009 dan penggunaan lahan tahun sebelumnya dapat dilihat pada gambar 6.10 dan 6.11. VI.5.2. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan Menurut Klasifikasi SNI 19-6728.3-2002 Peta penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat tahun 2009 berdasarkan klasifikasi SNI nomor 19-6728.3— 2002 merupakan keluaran kedua dari kegiatan pemetaan penggunaan lahan Kutai Barat Tahun 2009. Peta ini disusun dari keluaran sebelumnya, yaitu Peta Penggunaan Lahan Kutai Barat Tahun 2009 menggunakan skema klasifikasi BIOTROP- WWF. Peta ini dihasilkan dengan cara mengubah definisi kelas—kelas penggunaan lahan dari skema klasifikasi BIOTROP ke definisi kelas—kelas penggunaan lahan menurut SNI dengan menggunakan tabel konversi. Proses teknis pengubahannya dalam Sistem Infornasi Geografi menggunakan operasi query dan edi ng data atribut. Tabel konversi yang digunakan untuk mengubah definisi penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran , sedangkan hasil pemetaan dapat dilihat pada gambar 6.13 Dalam penyusunan tabel konversi, diupayakan semaksimal mungkin agar definisi penggunaan lahan dari se ap kelas dan skema klasifikasi dapat terkonversi tanpa ada perubahan definisi, walaupun demikian karena memang pada dasarnya kedua jenis klasifikasi memiliki konsepsi dan definisi penggunaan lahan yang berbeda, maka perubahan dan generalisasi kelas penggunaan lahan dak dapat dihindari, Perubahan yang paling nyata terlihat adalah untuk jenis penggunaan lahan hutan, dimana kelas—kelas penggunaan lahan yang lebih rinci menurut BIOTROP pada akhirnya tergeneralisasi menjadi satu atau dua kelas di skema klasifikasi penggunaan lahan SNI. Hal ini dak dapat dihindari karena dalam skema SNI dak ada pembedaan hutan berdasarkan topografi dan litologi, melainkan hanya berdasarkan kerapatan vegetasi saja. Itupun pendefinisian kelas penggunaan lahannya lebih umum dari pada skema BIOTROP.
  • 46. 49Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.11 Peta Penggunaan Lahan Sebelum Reinterpretasi (tahun 2008) Gambar 6.12 Peta Penggunaan Lahan Sesudah Reinterpretasi (tahun 2009)
  • 47. 50 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Tabel 6.3 Konversi Penggunaan Lahan antara Skema BIOTROP dan SNI
  • 48. 51Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Lanjutan Tabel 6.3..........
  • 49. 52 Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.13 Peta Penggunaan Lahan Akhir Menurut Skema BIOTROP-WWF
  • 50. 53Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir Gambar 6.14 Peta Penggunaan Lahan Akhir Menurut Skema SNI
  • 51. 54Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir BAB VII PENUTUP DAN MASUKAN Pemetaan penggunaan lahan Kabupaten Kutai Barat tahun 2009 berbasis pendekatan interpretasi citra penginderaan jauh SPOT dan ALOS AVNIR dilaksanakan menggunakan pendekatan interpretasi visual. Sebagai data dasar dan acuan dalam pemetaan digunakan peta penggunaan lahan tahun sebelumnya yang dibuat oleh BIOTROP menggunakan interpretasi citra LANDSAT. Revisi dalam pemetaan ini difokuskan pada deliniasi kenampakan pembukaan lahan baru, lahan perkebunan, dan lahan terbangun, dimana pada pemetaan sebelumnya banyak yang belum teriden fikasi. Dengan menggunakan data ALOS dan SPOT yang secara resolusi spasial lebih baik dari LANDSAT, maka kenampakan yang sebelumnya ngkat interpretabilitasnya kurang dapat dipetakan dengan data dasar yang lebih baik ini. Walaupun demikian, kendala tetap ditemui dalam pemetaan ini, terutama dari aspek kualitas citra yang digunakan. Adanya perawanan yang cukup tebal pada beberapa scene citra menyebabkan interpretasi citra kurang op mal, sehingga prak s daerah yang dapat diinterpretasi secara efek f hanya 70% dari luas wilayah Kabupaten Kutai Barat. Penggunaan citra penginderaan jauh op s dalam pemetaan penggunaan lahan untuk daerah tropis memang biasanya paling terkendala oleh kondisi atmosfer dan perawanan. Hal ini dikarenakan energi elektromagne k pada spektrum visibel sampai inframerah gelombang pendek yang digunakan dalam penginderaan jauh op s biasanya dak dapat menembus awan dan atmosfer yang kotor/hazy. Untuk pengembangan ke depan, pemetaan dengan menggunakan sistem penginderaan jauh gelombang mikro, RADAR dan LIDAR perlu untuk dicoba diterapkan di wilayah tropis seper Kabupaten Kutai Barat. Kemampuan spektrum gelombang mikro untuk menembus awan dan cuaca serta kemampuan mul phase pada sensor—sensor SAR terkini berpotensi dapat memberikan informasi pendukung dan pelengkap untuk pemetaan penggunaan lahan daripada hanya mendasarkan pada produk citra dari sistem penginderaan op k pasif saja.
  • 52. 56Pemetaan Penggunaan Lahan Kabupaten Kutai Barat Tahun 2009 Laporan Akhir DAFTAR PUSTAKA BPS. 2010. Kabupaten Kutai Barat Dalam Angka 2010. Sendawar. BPS Kutai Barat. BSN. 2002. Standar Nasional Indonesia Nomor 19-6728.3-2002 tentang Penyusunan neraca sumber daya – Bagian 3: Sumber daya lahan spasial. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. CCRS. 1999. Fundamentals of Remote Sensing. Diakses dari : http://www.ccrs.nrcan.gc.ca/resource/tutor/fundam/pdf/ fundamentals_e.pdf ERDAS. 2010. ERDAS Field Guide vol.1 and 2. diakses dari : http://www.erdas.com/Libraries/Tech_Docs/ ERDAS_Field_Guide.sflb.ashx JAXA. 2008 . ALOS Data User Handbook. Diakses dari : http://www.eorc.jaxa.jp/ALOS/en/doc/fdata/ ALOS_HB_RevC_EN.pdf Kementerian Kehutanan. 2008. Sta5s5k Kehutanan Indonesia 2008. diakses dari : http://www.dephut.go.id/files/ Khan, Aziz. ___ . Hutan Kutai Barat, Takaran Proses Par5sipa5f. Yayasan Pembangunan Berkelanjutan. Diakses dari : http://www.forplid.net/studi-kasus/15-kehutanan-kehutanan-/130-hutan-kutai-barat-.pdf Pemda Kutai Barat. ____. Profil Umum Kabupaten Kutai Barat. Diakses dari : http://www.kubarkab.go.id/profil.php GTZ, WWF. 2009. Briefing Paper No. 1: Kerjasama Indonesia - Jerman dalam Bidang Kehutanan - Meningkatkan Pengelolaan Kolabora5f di Wilayah Konservasi. Diakses dari : http://assets.wwfid.panda.org/downloads/ brief_paper1_introduction_pengelolaan_kolaboratif.pdf Richards, J. A., dan Jia, X.P. 2006. Remote Sensing Digital Image Analysis, An Introduc5on (4th edi5on). Berlin: Springer- Verlag. SPOT IMAGE. 2010. DIMAP Technical Sheet. Diakses dari : http://www.spotimage.com/automne_modules_files/standard/ public/p235_28da3faa3b8cc43710f1e055074d6003FormatDIMAP_eng_Sept2010.pdf. SPOT IMAGE. 2006. SPOT User Guide. Diakses dari : http://www.spotimage.fr/ automne_modules_files_standard_publicp229_14f50983b6319ae4d5ec6becb005a0c5SPOT_IMAGE_QUALIT Y_PERFORM_20070415.pdf Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh Jilid 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. WWF. 2009. Hutan Indonesia: Penyerap atau Pelepas Emisi Gas Rumah Kaca? (Factsheet). Diakses dari http:// assets.wwfid.panda.org/downloads/lembar_fakta_deforestasi_tanpa_foto.pdf WWF. 2007. Borneo: Treasure Island at Risk (Maps). Diakses dari : http://www.worldwildlife.org/what/wherewework/ borneo/WWFBinaryitem7590.pdf