[Ringkasan]
1. Survei ini bertujuan menggambarkan pandangan jurnalis terhadap serikat pekerja di perusahaan media.
2. Temuan menunjukkan bahwa kebanyakan jurnalis menilai keberadaan serikat pekerja penting dan mendukung pembentukannya.
3. Namun, banyak jurnalis juga yang tidak puas dengan kinerja serikat pekerja dalam memperjuangkan kepentingan pekerja.
PPT IPS Geografi SMA Kelas X_Bab 5_Atmosfer.pptx_20240214_193530_0000.pdf
Masih bertumpu pada sang pelopor
1. Masih Bertumpu Pada
Sang Pelopor
Survei Serikat Pekerja di Perusahaan Media
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
1
2. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
KETERANGAN UMUM SURVEI
Metode riset Survei
Wilayah survei Jakarta, Aceh, Medan, Bandung, Surakarta, Lampung, dan Palu
192 responden survei
Total responden
27 responden indepth interview
Teknik sampling Cluster random samping
Error sampling +/- 6,62% pada interval kepercayaan 95,0%
Pengambilan data Februari-Maret 2010
Desain riset &
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
kuesioner
Analisa data Sigma Research Indonesia
Laporan akhir Sigma Research Indonesia
Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor: Survei Serikat Pekerja di Perusahaan Media
Editor: Winuranto Adhi
Tim Penyusun: Jajang Jamaludin, Asep Komarudin, Winuranto Adhi
Tim Survei: Sigma Reseach Indonesia
Desain: Robby Eebor
Ilustrator Cover dan Isi: Imam Yunianto
Cetakan Pertama: Mei 2010
Penerbit:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jl. Kembang Raya No.6 Kwitang-Senen
Jakarta Pusat 10420 – Indonesia
Tel. +62 21 3151214, Fax. +62 21 3151261
www.ajiindonesia.org
Didukung oleh:
@Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia - 2010
2
3. KATA PENGANTAR
Konsolidasi Serikat Pekerja Media:
“Too little, but not too late”
SELAMA satu dekade ini, kita menyimak ironi dari pertumbuhan
serikat pekerja media di Indonesia. Dari segi jumlah, tak ada pertumbuhan
dramatis, meskipun pertumbuhan industri media di Indoensia mengalami
booming setelah reformasi. Secara kualitatif, kita belum menemukan serikat
pekerja media yang punya posisi tawar kuat di hadapan pengusaha media.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyimak sejumlah serikat
pekerja media masih kehilangan arah perjuangan, meskipun keberadaannya
sudah dicatatkan pada Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Kita kerap menemukan
serikat pekerja tidak dibangun dengan sistem manajemen yang baik. Misalnya,
mengakomodir keanggotaan dengan sistem stelsel pasif (seluruh karyawan
otomatis menjadi anggota), tidak mampu menghimpun iuran anggota, hingga
tidak bisa menunjukkan kemampuannya dalam bernegosiasi.
Serikat seperti tidak tahu apa yang harus diperbuat, bahkan untuk
mempertahankan keberadaannya pun sulit. Akibatnya, konsolidasi serikat
pekerja media kerap berjalan di tempat, involutif, dan perlahan digerus oleh
agresifitas modal pemilik media.
Mungkin karena terlalu lama kata “buruh” absen pada Indonesia
di bawah rezim Suharto, maka kesadaran berserikat bagi buruh dan rakyat
3
4. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
pekerja pun seperti enggan muncul kendati kesempatan secara legal sudah
terbuka. Misalkan, untuk soal penamaan, ada kecenderungan memakai
nama lebih “akomodatif ”.
Ini sekedar contoh, barangkali menghindari kecurigaan dari
manajemen, para aktivis serikat pekerja media “melembutkan” nama
organisasinya agar terdengar lebih “bersahabat”. Para pekerja Tempo,
misalnya, memilih nama Dewan Karyawan Tempo (DeKaT), pekerja di
Kompas menggunakan nama Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK),
pekerja Indosiar memakai nama Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar,
pekerja majalah Swa memakai nama Forum Karyawan Swa (FKS),
pekerja Hukumonline.com memilih nama WorkerHOLic, pekerja di Solo
Pos menggunakan Ikatan Karyawan Solo Pos (Ikaso), atau pekerja Bisnis
Indonesia memakai nama Kerukunan Warga Karyawan Bisnis Indonesia.
Tak ada yang salah memang, isi dan semangat tentu jauh lebih
penting dari sekedar nama.
Tapi, ada yang harus dicermati selaku organisasi berwatak ”serikat
pekerja”, bahwa jurnalis dan pekerja media harus mau mengevaluasi
diri. Perjuangan pekerja media di tahun 2010 ini kian terasa berat.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal
bermunculan di sejumlah media. Jika pada kurun November 2008-April
2009, AJI mencatat hanya ada 100 pekerja media yang dipecat, di tahun ini
data tersebut kian melonjak tajam.
Berdasarkan data AJI Indonesia, PHK massal dan skorsing
bernuansa union busting melanda sedikitnya 200 pekerja stasiun teve
Indosiar, PHK massal juga dialami 144 pekerja koran Berita Kota pasca
diakuisisi Kelompok Kompas Gramedia (KKG), PHK massal terhadap 50-
an pekerja Suara Pembaruan dan grup media kelompok Lippo lainnya, juga
PHK massal atas 40-an pekerja stasiun teve Antv.
4
5. Kata Pengantar
Konflik ketenagakerjaan sebagai imbas dari ketidakjelasan aturan
kerja hingga masalah kesejahteraan juga mulai bermunculan. Hal ini,
misalnya, terjadi di Koran Jakarta—hingga berujung pada pemogokan kerja
sebagian kecil wartawannya.
Di sejumlah daerah kasus seperti ini juga terjadi. Mei 2009 silam,
60 pekerja harian Aceh Independen juga menjadi korban PHK massal. Di
Kendari, sejumlah wartawan Kendari TV juga mengalami nasib serupa.
Untuk itulah, melaui Survei Serikat Pekerja di Perusahan Media
berjudul ”Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor” ini, AJI Indonesia ingin
memberikan gambaran terbaru kondisi serikat pekerja media di Indonesia.
Survei ini dilakukan di tujuh kota Jakarta, Aceh, Medan, Lampung,
Bandung, Surakarta, dan Palu dengan melibatkan 192 responden dan
27 responden indepth interview, berhasil mengungkap sejumlah hal yang
harus diperhatikan oleh serikat pekerja media. Hasilnya, antara lain, cukup
kondusif:
“Sebagian besar (83.7%) responden, misalnya, menegaskan
perlunya serikat pekerja di media mereka. Dukungan
atas pembentukan serikat pekerja media juga dinyatakan
mayoritas responden (97.1%), dan sebanyak 82.8% responden
mengatakan tertarik untuk bergabung menjadi anggota serikat
pekerja. Hanya 3.25% responden saja yang menyatakan tidak
tertarik bergabung dalam serikat pekerja. Bahkan, banyak pula
responden yang menegaskan keinginannya untuk bisa menjadi
pelopor (organisatoris) dalam pendirian serikat pekerja di
perusahan media yang belum memiliki serikat”.
5
6. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Survei ini juga menelaah tingkat keaktifan serikat, efektivitas penyelesaian
masalah yang ditanganinya, serta berbagai aspek yang mestinya diperjuangkan
oleh serikat pekerja media. Termasuk tentang Perjanjian Kerja Bersama, hingga
kepemilikan saham kolektif. Tak hanya itu, survei pun berusaha memotret besaran
upah yang diterima jurnalis, kondisi kerja, hingga kondisi di ruang redaksi.
Mencermati kian intensifnya industri pers, termasuk kemajuan
teknologi informasi yang bisa mengubah relasi industrial antara pemodal dan
pekerja, maka serikat pekerja media harus segera berbenah diri. Pada soal
konvergensi media misalnya, serikat pekerja media semestinya telah bersiap
dengan konsep baru hubungan industrial, dengan mempertimbangkan
kesejahteraan pekerja tak dirugikan.
Memang masih banyak soal internal maupun eksternal yang harus
segera diperbaiki. Butuh usaha ekstra, tapi belum telat memperbaiki dan
membangun kekuatan yang masih terserak di dalam. Banyak pencapaian bisa
kita lakukan dengan memperbaiki berbagai kelemahan. Kita tak ingin semakin
tertinggal ketika mesin kapitalisme media bergerak, dan serikat pekerja menjadi
“too little, and too late” dalam menanggapi problem hubungan industrial.
Semoga hasil survei ini menjadi suatu alat kita ke arah konsolidasi
baru guna memperbaiki kondisi serikat pekerja.
Jakarta, April 2010
Nezar Patria
Ketua Umum AJI Indonesia
6
7. RINGKASAN EKSEKUTIF
1. Latar belakang
Survei ini ingin menggambarkan bagaimana penilaian jurnalis
terhadap kehadiran serikat pekerja di perusahaan media. Survei menyertakan
jurnalis dari media yang memiliki serikat pekerja dan jurnalis dari media
yang tidak memiliki serikat pekerja. Dari survei ini akan didapatkan data
bagaimana pandangan jurnalis terhadap kehadiran serikat pekerja. Untuk
jurnalis dari media yang memiliki serikat pekerja akan ditanyakan tingkat
kepuasan mereka terhadap kehadiran serikat pekerja, termasuk harapan
dan peran apa saja yang diharapkan dapat dilakukan oleh serikat pekerja di
medianya. Sementara untuk jurnalis dari media tidak atau belum memiliki
serikat pekerja akan ditanyakan apakah mereka juga mempunyai keinginan
membentuk serikat pekerja, termasuk hambatan apa saja yang dihadapi
sehingga serikat pekerja belum terbentuk, dan lain sebagainya.
2. Tujuan penelitian
Secara umum, tujuan dari survei ini adalah ingin mendapatkan data
mengenai penilaian jurnalis terhadap serikat pekerja, baik di media yang
sudah memiliki serikat pekerja maupun di media yang tidak atau belum
memiliki serikat pekerja. Selanjutnya, ingin diketahui pula penilaian umum
dari kalangan jurnalis terhadap serikat pekerja, peran yang harus diemban
di dalamnya, kepuasan terhadap manajemen perusahaan dan serikat pekerja
media terkait.
7
8. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
3. Metode penelitian
Survei ini dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terstruktur
(kuesioner). Survei bersifat eksploratif, artinya berusaha menggambarkan
sebanyak mungkin pendapat jurnalis atas berbagai isu yang terkait dengan
serikat pekerja. Populasi dari survei ini adalah semua jurnalis yang bekerja
di tujuh kota di Indonesia. Jurnalis dalam survei ini didefinisikan sebagai
individu yang bekerja mencari, mengolah, dan mempublikasikan berita
di suatu media. Ketujuh kota tersebut adalah Jakarta, Aceh, Medan,
Lampung, Bandung, Surakarta, dan Palu. Adapun teknik penarikan
sampel yang digunakan dalam survei ini adalah teknik acak klaster (cluster
random sampling). Jumlah sampel dalam survei sebanyak 192 responden
survei dan 27 responden indepth interview. Wawancara secara mendalam
dilakukan secara langsung (face to face interviews), dengan cara pewawancara
mendatangi langsung responden yang terpilih.
4. Temuan penelitian
Temuan penelitian yang diperoleh dirangkum dalam poin-poin
berikut ini:
1. Keberadaan serikat pekerja
a. Persepsi responden terhadap keberadaan serikat pekerja di
perusahaan media sebagian besar menilai sangat penting.
b. Sebagian besar responden dari media yang memiliki serikat
pekerja menjawab, manajemen mendukung keberadaan
serikat pekerja di perusahaan media.
2. Pembentukan serikat pekerja
a. Sebagian besar (83.7%) responden menjawab perlu hadirnya
8
9. Ringkasan Eksekutif
serikat pekerja di media tempat mereka bekerja selama ini.
b. Selain mengatakan perlu membentuk serikat pekerja, sebagian
besar responden (97.1%) juga menyatakan mendukung
terhadap pembentukan serikat pekerja di media tempat
mereka bekerja.
c. Banyak responden yang menyatakan bersedia menjadi pelopor
(organisatoris) pembentukan serikat pekerja.
d. Sebagian besar responden (82.8%) mengatakan tertarik untuk
masuk dan bergabung menjadi anggota serikat pekerja. Hanya
3.25% responden yang tidak tertarik.
3. Permasalahan pekerja dan penyelesaiannya oleh serikat pekerja
a. Sebagian besar responden (80% lebih) tidak pernah
mempunyai masalah, baik itu yang disampaikan ke serikat
pekerja atau ke pihak manajemen.
b. Masalah yang sering dialami oleh pekerja media adalah
masalah upah dan asuransi.
c. Bagi mereka yang pernah mempunyai masalah dan meminta
serikat pekerja untuk membantu mengatasi masalah, sebagian
besar merasa puas (58.3%) dengan kerja advokasi yang
dilakukan serikat pekerja.
4. Perjuangan serikat pekerja
a. Dari media yang memiliki serikat pekerja, 60% responden
melihat serikat pekerja di tempat mereka bekerja aktif dalam
memperjuangkan kesejahteraan dan kepentingan pekerja.
b. Sebanyak 36.0% responden menyatakan merasa tidak puas
dan sangat tidak puas dengan kerja serikat pekerja di tempat
9
10. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
mereka bekerja. Sedangkan yang menjawab puas atau sangat
puas tidak ada separuhnya atau hanya 49.0% responden.
c. Sebanyak 31% responden menilai perjuangan serikat pekerja
dirasakan manfaatnya oleh semua pekerja media. Lalu 24%
responden menilai manfaatnya dirasakan sebagian besar
pekerja dan 15% dirasakan hanya sebagian kecil pekerja
media.
d. Aspek yang perlu diperjuangkan serikat pekerja menurut
sebagian besar responden adalah masalah upah atau
kesejahteraan (63%), lalu masalah pemutusan hubungan kerja
(57%), disusul asuransi dan tunjangan kesehatan (47%), dan
status kerja (44%).
5. Aktivitas serikat pekerja
a. Sebesar 51.5% responden melihat serikat pekerja di tempat
mereka bekerja aktif mengadakan kegiatan. Sementara yang
menjawab seriklat pekerja tidak aktif sebesar 31.3%.
b. Serikat pekerja paling banyak mengadakan kegiatan kurang
dari sekali setiap bulan (28.3%).
c. Hanya 26.3% responden yang menyatakan serikat pekerja di
tempat mereka bekerja pernah mengadakan pelatihan internal
untuk meningkatkan kemampuan pekerja dan anggotanya.
d. Sebagian besar responden (68.8%) menjawab tidak ada iuran
bulanan, hanya 31.3% responden yang menjawab ada iuran
bulanan untuk serikat pekerja di tempat mereka bekerja.
6. Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
a. Sebagian besar responden, baik dari kelompok yang memiliki
10
11. Ringkasan Eksekutif
serikat pekerja maupun yang tidak memiliki serikat pekerja
menilai, kesepakatan kerja sebaiknya dilakukan secara kolektif
dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
b. Gaji adalah hal yang dianggap paling perlu diatur dalam PKB
(91.9%), sedangkan masalah panjangnya durasi jam kerja
adalah hal yang paling tinggi diabaikan responden (9.1%).
7. Kepemilikan saham bersama
a. Sebagian besar responden, baik dari kelompok responden dari
media yang memiliki serikat maupun responden dari media
yang tidak mempunyai serikat pekerja menganggap perlu
serikat pekerja memperjuangkan kepemilikan saham secara
kolektif di perusahaan media.
b. Ada sejumlah isu berkaitan dengan saham kolektif ini. Pertama,
soal saham minimum bagi pekerja sebesar 20%. Kedua, adanya
wakil pekerja dalam jajaran direksi di perusahaan media.
8. Upah dan fasilitas kerja
a. Di media yang memiliki serikat pekerja sebagian besar
reponden (71.7%) mengatakan, mereka mendapatkan honor
di luar upah bulanan. Namun di media yang tidak memiliki
serikat pekerja lebih banyak responden (58.1%) yang mengaku
tidak mendapatkan honor di luar upah.
b. Terkait upah, meski semua responden menerimanya setiap
bulan namun hanya sekitar 30% responden saja yang menilai
upah tersebut baik atau sangat baik. Sekitar separuh responden
menilai upah yang mereka terima setiap bulannya biasa saja.
c. Temuan yang juga cukup mengagetkan, ternyata separuh lebih
11
12. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
responden (60%) menilai upah yang mereka dapatkan dari
perusahaan tempatnya bekerja tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
9. Kondisi kerja dan beban kerja
a. Di atas 40% kelompok responden dari media yang memiliki
serikat menilai aturan-aturan seperti status pekerja, cuti, PHK
dan hak cipta sudah baik. Kecuali aturan mengenai jenjang
karier yang lebih banyak dinilai biasa saja oleh responden
(47.4%).
b. Yang menarik dari riset ini, ternyata tidak ada perbedaan beban
kerja di perusahaan responden dari media yang memiliki
serikat dengan perusahaan responden dari media yang tidak
mempunyai serikat pekerja.
12
13. DAFTAR ISI
Ringkasan Eksekutif 7
Daftar Isi 13
Daftar Grafik 17
Daftar Tabel 21
Bab 1 Pendahuluan 25
A. Latar belakang penelitian 25
B. Tujuan penelitian 37
C. Metode penelitian 39
D. Sampel dan responden 39
Bab 2 Profil Responden 45
A. Usia dan jenis kelamin 45
B. Bidang pekerjaan 47
C. Pendidikan 48
D. Lama bekerja 48
E. Keanggotaan di organisasi jurnalis 49
Bab 3 Keberadaan Serikat Pekerja di Perusahaan Media 51
A. Keberadaan serikat pekerja di tempat kerja 51
B. Persepsi terhadap keberadaan serikat pekerja 55
C. Keanggotaan serikat pekerja 57
D. Dukungan direksi/manajemen terhadap keberadaan
serikat pekerja 63
E. Hubungan serikat pekerja dengan manajemen 66
Bab 4 Pembentukan Serikat Pekerja 71
A. Persepsi terhadap pembentukan serikat pekerja 71
13
14. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
B. Dukungan terhadap pembentukan serikat pekerja 72
Bab 5 Permasalahan Pekerja dan Penyelesaiannya oleh Serikat
Pekerja 77
A. Permasalahan/keluhan pekerja di tempat kerja 77
B. Cara penyelesaian masalah 79
C. Serikat pekerja sebagai tempat menyampaikan keluhan 80
D. Kepuasan terhadap tindakan yang dilakukan serikat 80
pekerja 80
E. Kecepatan respons serikat pekerja terhadap keluhan
pekerja 81
F. Keberhasilan serikat pekerja dalam menyeleasikan
masalah 82
G. Penilaian terhadap penyelesaian masalah oleh serikat
pekerja 85
Bab 6 Perjuangan Serikat Pekerja 85
A Keaktifan perjuangan serikat pekerja 85
B. Kepuasan terhadap perjuangan serikat pekerja 86
C. Penilaian terhadap manfaat perjuangan serikat pekerja 88
D. Aspek yang diperjuangkan serikat pekerja 89
E. Penilaian terhadap efektivitas perjuangan serikat
pekerja 95
Bab 7 Aktivitas Serikat Pekerja 97
A. Penilaian terhadap keaktifan serikat pekerja 97
B. Aktivitas serikat pekerja 99
C. Pertemuan serikat pekerja 105
D. Iuran dalam serikat pekerja 107
14
15. Daftar Isi
E. Frekuensi pertemuan serikat pekerja 108
F. Persepsi terhadap aktivitas serikat pekerja 110
G. Keaktifan pekerja dalam aktivitas serikat pekerja 112
Bab 8 Perjanjian Kerja Bersama 115
A. Penilaian terhadap Perjanjian Kerja Bersama 115
B. Aspek dalam Perjanjian Kerja Bersama 118
Bab 9 Kepemilikan Saham Kolektif 121
A. Penilaian terhadap kepemilikan saham kolektif 122
B. Aspek yang perlu diperjuangkan pada kepemilikan
saham kolektif 125
Bab 10 Pendapatan dan Fasilitas Kerja 129
A. Upah 130
B. Upah dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari 139
C. Pendapatan sampingan 145
Bab 11 Kondisi Kerja dan Beban Kerja 147
A. Aturan kerja 147
B. Beban kerja 150
C. Berita yang tidak dimuat 157
D. Kondisi ruang redaksi 160
Bab 12 Kesimpulan Dan Rekomendasi 163
A. Kesimpulan 163
B. Rekomendasi 167
15
17. DAFTAR GRAFIK
Grafik 2.1 Jenis kelamin 46
Grafik 2.2 Usia responden 47
Grafik 2.3 Posisi/jabatan di media 47
Grafik 2.4 Pendidikan 48
Grafik 2.5 Lama bekerja 49
Grafik 2.6 Keanggotaan di organisasi jurnalis 50
Grafik 2.7 Keanggotaan di organisasi jurnalis 50
Grafik 3.1 Keberadaan serikat pekerja 52
Grafik 3.2 Alasan serikat pekerja ada di perusahaan media 52
Grafik 3.3 Alasan serikat pekerja tidak ada di perusahaan
media 53
Grafik 3.4 Persepsi terhadap keberadaan serikat pekerja 54
Grafik 3.5 Alasan serikat pekerja penting 56
Grafik 3.6 Alasan serikat pekerja tidak penting 57
Grafik 3.7 Keanggotaan di serikat pekerja 57
Grafik 3.8 Alasan masuk serikat pekerja 58
Grafik 3.9 Lama keanggotaan di serikat pekerja 59
Grafik 3.10 Sistem keanggotaan dalam serikat pekerja 60
Grafik 3.11 Sistem keanggotaan dalam serikat pekerja 61
Grafik 3.12 Keharusan menjadi anggota serikat pekerja 62
Grafik 3.13 Alasan setuju 62
Grafik 3.14 Alasan tidak setuju 63
Grafik 3.15 Dukungan direksi/manajemen 64
17
18. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Grafik 3.16 Bentuk dukungan direksi/manajemen terhadap
serikat pekerja 65
Grafik 3.17 Direksi/manajemen tidak mendukung serikat
pekerja 66
Grafik 3.18 Mendukung serikat pekerja atau direksi 69
Grafik 4.1 Pembentukan serikat pekerja 72
Grafik 4.2 Dukungan pembentukan serikat pekerja 72
Grafik 4.3 Kesediaan menjadi pelopor 73
Grafik 4.4 Minat menjadi anggota serikat pekerja 74
Grafik 4.5 Alasan berminat menjadi anggota 74
Grafik 4.6 Alasan tidak berminat menjadi anggota serikat
pekerja 75
Grafik 4.7 Dukungan pekerja 76
Grafik 5.1 Permasalahan pekerja media 78
Grafik 5.2 Permasalahan pekerja media 78
Grafik 5.3 Permasalahan pekerja media 79
Grafik 5.4 Cara menyelesaikan masalah 79
Grafik 5.5 Apakah disampaikan ke serikat pekerja 80
Grafik 5.6 Penilaian kepuasan terhadap tindakan serikat
pekerja 81
Grafik 5.7 Kecepatan respons serikat pekerja 82
Grafik 5.8 Keberhasilan serikat pekerja 83
Grafik 6.1 Keaktifan perjuangan serikat pekerja 86
Grafik 6.2 Keanggotaan di organisasi jurnalis 87
Grafik 6.3 Manfaat perjuangan serikat pekerja 89
Grafik 6.4 Aspek yang diperjuangkan serikat pekerja 90
18
19. Daftar Grafik
Grafik 6.5 Aspek yang menjadi prioritas perjuangan serikat
pekerja 94
Grafik 6.6 Efektivitas perjuangan serikat pekerja 95
Grafik 6.7 Alasan perjuangan serikat pekerja tidak efektif 96
Grafik 7.1 Keaktifan serikat pekerja 98
Grafik 7.2 Alasan serikat pekerja tidak aktif 98
Grafik 7.3 Frekuensi aktivitas serikat pekerja 99
Grafik 7.4 Iuran serikat pekerja 108
Grafik 7.5 Persepsi terhadap kegiatan serikat pekerja 111
Grafik 7.6 Keaktifan pekerja pada kegiatan serikat pekerja 113
Grafik 8.1 Penilaian terhadap kesepakatan kerja 116
Grafik 8.2 Alasan kesepakatan kerja dibuat individual 117
Grafik 8.3 Alasan kesepakatan kerja dibuat kolektif 118
Grafik 9.1 Apakah perlu saham kolektif 123
Grafik 9.2 Alasan tidak perlu saham kolektif 124
Grafik 9.3 Keanggotaan di organisasi jurnalis 125
Grafik 10.1 Upah 133
Grafik 10.2 Apakah upah yang diterima sesuai dengan beban
kerja 137
Grafik 10.3 Apakah upah mencukupi kebutuhan hidup sehari-
hari 140
Grafik 10.4 Apakah mempunyai pekerjaan sampingan 145
Grafik 10.5 Lebih besar upah atau pendapatan hasil pekerjaan
sampingan 146
Grafik 11.1 Rata-rata jam kerja dalam sehari 152
Grafik 11.2 Rata-rata hari kerja dalam seminggu 153
19
20. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Grafik 11.3 Penilaian jam kerja ideal dalam sehari 154
Grafik 11.4 Penilaian rata-rata hari kerja ideal dalam seminggu 155
Grafik 11.5 Penilaian atas beban kerja 155
Grafik 11.6 Apakah punya kesempatan beraktivitas di luar
pekerjaan 156
Grafik 11.7 Apakah pernah membuat berita yang tidak disukai 157
Grafik 11.8 Apakah pernah membuat berita dan tidak dimuat 158
Grafik 11.9 Alasan berita yang tidak dimuat 158
20
21. DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Komposisi media dan responden survei
kuantitatif 40
Tabel 1.2 Komposisi media dan responden indepth interview 41
Tabel 3.1 Hal yang terdapat di perusahaan media 67
Tabel 3.2 Hal yang terdapat di perusahaan media 67
Tabel 5.1 Penyelesaian masalah oleh serikat pekerja 84
Tabel 6.1 Keberhasilan perjuangan serikat pekerja 91
Tabel 6.2 Kepuasan terhadap perjuangan serikat pekerja
atas aspek kesejahteraan pekerja 93
Tabel 7.1 Aktivitas yang dilakukan serikat pekerja 100
Tabel 7.2 Aktivitas yang dilakukan serikat pekerja 101
Tabel 7.3 Penilaian aktivitas yang dilakukan serikat pekerja 102
Tabel 7.4 Pernah mengikuti aktivitas serikat pekerja 103
Tabel 7.5 Penilaian manfaat mengikuti aktivitas serikat
pekerja 104
Tabel 7.6 Pertemuan yang dilakukan serikat pekerja 106
Tabel 7.7 Keikutsertaan pekerja dalam pertemuan serikat
pekerja 107
Tabel 7.8 Frekuensi pertemuan serikat pekerja membahas
masalah pekerja 110
Tabel 7.9 Frekuensi keikutsertaan dalam pertemuan tentang
masalah pekerja 109
Tabel 8.1 Aspek dalam kesepakatan bersama (ada serikat) 118
21
22. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Tabel 8.2 Aspek dalam kesepakatan bersama (tidak ada
serikat) 119
Tabel 9.1 Aspek yang diperjuangkan dalam kepemilikan
saham (ada serikat) 126
Tabel 9.2 Aspek yang diperjuangkan dalam kepemilikan
saham (tidak ada serikat) 128
Tabel 10.1 Upah 130
Tabel 10.2 Penilaian atas upah (ada serikat) 132
Tabel 10.3 Penilaian atas upah (tidak ada serikat) 132
Tabel 10.4 Rata-rata upah berdasarkan posisi/jabatan 133
Tabel 10.5 Upah berdasarkan wilayah 134
Tabel 10.6 Upah berdasarkan posisi/jabatan 134
Tabel 10.7 Upah berdasarkan kelompok umur 135
Tabel 10.8 Upah berdasarkan pendidikan terakhir 135
Tabel 10.9 Upah berdasarkan lama bekerja 136
Tabel 10.10 Penilaian kesesuian gaji dengan beban kerja
berdasarkan jenis kelamin, umur, jabatan, lama
bekerja dan wilayah 137
Tabel 10.11 Penilaian apakah upah mencukupi 142
Tabel 10.12 Penilaian apakah upah mencukupi berdasarkan
jenis kelamin, umur, jabatan, lama bekerja dan
wilayah 142
Tabel 10.13 Tunjangan kerja 142
Tabel 10.14 Penilaian terhadap fasilitas yang diterima (ada
serikat) 143
22
23. Daftar Tabel
Tabel 10.15 Penilaian terhadap fasilitas yang diterima (tidak
ada serikat) 144
Tabel 11.1 Aturan kerja (ada serikat) 148
Tabel 11.2 Penilaian aturan kerja (ada serikat) 153
Tabel 11.3 Aturan kerja (tidak ada serikat) 154
Tabel 11.4 Beban kerja (ada serikat) 153
Tabel 11.5 Beban kerja (tidak ada serikat) 154
Tabel 11.6 Tindakan redaktur atas berita yang tidak dimuat
(ada serikat) 159
Tabel 11.7 Tindakan redaktur atas berita yang tidak dimuat
(tidak ada serikat) 160
Tabel 11.8 Kondisi ruang redaksi (ada serikat) 161
Tabel 11.9 Kondisi ruang redaksi (tidak ada serikat) 162
23
25. Bab 1
Pendahuluan
A. Latar belakang penelitian
Siang itu, Kamis, 13 Maret 2010, mestinya menjadi titik balik
yang memberi harapan bagi Budi Laksono, Ketua Serikat Pekerja Suara
Pembaruan. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta memutuskan
kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT Media Interaksi Utama
(MIU) terhadap Budi tidak sah dan batal demi hukum.
Budi, yang sudah mengabdi selama 18 tahun di Suara Pembaruan,
dipecat tak lama setelah mendirikan serikat pekerja di kantornya. Sejumlah
pekerja Suara Pembaruan sepakat membentuk serikat pekerja untuk
mengantisipasi berbagai rencana manajemen, setelah terjadi perubahan
status kepemilikan perusahaan tersebut.
25
26. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Reaksi manajemen seperti perkiraan Budi dan kawan-kawan.
Manajemen meminta pekerja yang menjadi pengurus serikat untuk
memilih, bergabung dengan serikat pekerja atau tetap dengan perusahaan.
Tak ayal, mereka yang memilih aktif di serikat pekerja mendapat sanksi.
Ada yang diturunkan jabatannya dari redaktur menjadi reporter, ada pula
yang diturunkan gajinya. Yang paling sial, ya, Budi. Ia dipecat dari Suara
Pembaruan.
Budi dan kawan-kawan sempat mengadukan perlakuan
manajemen kepada Dinas Tenaga Kerja Jakarta Timur. Mediasi di Dinas
memenangkan Budi dan rekan-rekannya, serta meminta perusahaan kembali
mempekerjakan Budi. Namun, perusahaan tidak mematuhi rekomendasi
Dinas Tenaga Kerja, sampai akhirnya kasus ini bergulir masuk ke Pengadilan
Hubungan Industrial.
Saat membacakan putusannya, Ketua Majelis Hakim PHI Jakarta,
Sapawi, menyatakan, hubungan kerja antara PT MIU dengan Budi belum
putus. Budi harus dipekerjakan kembali seperti semula sebagai wartawan
harian sore Suara Pembaruan.“Tindakan PHK tidak sah secara hukum,” ujar
Sapawi yang didampingi dua hakim anggota, Juanda Pangaribuan dan M.
Sinufa Zebua.
Menurut hakim, pemecatan sepihak Budi bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Selain meminta Budi dipekerjakan kembali, Majelis
Hakim menghukum PT MIU agar membayar gaji Budi sejak Maret 2009
dan membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 200 ribu per hari jika
manajemen Suara Pembaruan melalaikan putusan tersebut.
Menanggapi putusan Majelis Hakim, Budi Laksono
26
27. Bab 1 Pendahuluan
mengaku lega. Selama ini, pimpinan PT MIU selalu sesumbar
bahwa perusahaan tidak bisa dikalahkan karena memiliki banyak
uang. “Ternyata masih ada keadilan di negeri ini yang tidak
bisa dibeli. Putusan ini mematahkan arogansi perusahaan,” ujar Budi.
Perjuangan panjang Budi di jalur hukum memang telah
membuahkan hasil. Tapi, upaya Budi untuk memperoleh haknya tampaknya
masih harus memakan waktu panjang. Pasalnya, perusahaan tempat dia
bekerja berkukuh bahwa pemberhentian itu sudah sesuai peraturan.
“Kami akan mengajukan kasasi,” kata pengacara Suara Pembaruan, Andi
Simangunsong seperti dikutip majalah Tempo edisi 29 Maret-4 April 2010.
Kasus serupa juga terjadi di stasiun televisi Indosiar. Dengan
alasan perusahaan terus merugi, manajemen memecat sepihak sekitar
200 pekerjanya. Manajemen juga menskorsing pekerja yang berunjuk rasa
saat Indosiar merayakan ulang tahun pada Januari lalu. Saat itu, mereka
memprotes kebijakan perusahaan yang tidak menaikkan gaji pekerja sejak
2004. Juru bicara perusahaan, Gufron Sakaril, mengatakan perusahaannya
tengah melakukan efisiensi dengan restrukturisasi usaha dan bisnis.
Untuk menuntut hak dan merespons kebijakan perusahaan, pada
21 April 2008, sekitar 750 orang karyawan Indosiar mendeklarasikan
berdirinya Serikat Karyawan (Sekar) Indosiar. Tapi, tak lama setelah Sekar
berdiri, perusahaan menyokong pendirian serikat pekerja tandingan, Serikat
Karyawan (Sekawan) Indosiar.
Sejak saat itu pula, upaya pengembosan atas serikat pekerja versi
pekerja terus terjadi. Manajer bidang pengamanan (security), misalnya,
secara terang-terangan meminta anak buahnya tidak bergabung dengan
Sekar. Pada saat hampir bersamaan, pimpinan unit pemeliharaan memanggil
27
28. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
satu per satu bawahannya. Hal yang sama dilakukan pimpinan unit art
(seni) di Indosiar. Pesannya sama: agar pekerja bergabung dengan serikat
yang disokong perusahaan. Akibatnya bisa ditebak. Satu per satu anggota
Sekar mundur teratur. Terakhir, pekerja Indosiar yang bertahan di Sekar
tingal 300-an orang.
Namun, semua itu tak menyurutkan langkah aktivis Sekar
untuk memperjuangkan kesejahteraan anggotanya. Berkali-kali mereka
mengajukan permohonan agar perusahaan menyesuaikan gaji karyawan,
paling tidak sesuai laju inflasi tahunan yang jika diakumulasi dari 2004
hingga 2008 saja sudah mencapai 52,82 persen. Namun, semua itu tak
membuahkan hasil.
Pada 7 Januari 2010, aktivis Sekar mengadukan kasusnya
kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar.
Setelah itu, mereka mengadukan kasusnya ke Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia dan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat.
Selain menolak pemecatan sepihak, mereka pun kembali menyuarakan
pentingnya peningkatan kesejahteraan dan perbaikan kondisi kerja.
Dari lembaga negara dan lembaga kuasi negara itulah para aktivis Sekar
mendapatkan dukungan. Meskipun, perkembangan terakhir sampai laporan
ini ditulis, Ketua Sekar, Dicky Irawan; Sekretaris Sekar , Yanri Silitonga, dan
seluruh pengurus Sekar menerima skorsing dari manajemen. Dalihnya, para
aktivis Sekar tidak mau menandatangani surat pemutusan hubungan kerja.
Dua kasus paling anyar ini menunjukkan betapa upaya pekerja
memperjuangkan hak-haknya melalui serikat pekerja tidaklah mudah. Pihak
perusahaan umumnya masih alergi dengan keberadaan serikat pekerja, tak
terkecuali di perusahaan media. Perusahaan kebanyakan belum menganggap
28
29. Bab 1 Pendahuluan
serikat pekerja sebagai salah satu pemangku kepentingan yang mestinya bisa
diajak bersama-sama membangun perusahaan demi kesejahteraan bersama.
Akibatnya, pintu untuk dialog, berunding, atau berembuk kerap dikunci
sebelum pernah dibuka.
Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
mencatat sejumlah pola bagaimana perusahaan mencoba mematahkan
perjuangan pekerja media melalui serikat pekerja:
1. Menghalang-halangi pekerja untuk bergabung di dalam serikat
Sering ditemui manajemen melarang pekerjanya untuk bergabung
di dalam serikat. Selalu dipropagandakan, serikat pekerja tukang
menuntut, membuat hubungan kerja tidak harmonis, dan lain
sebagianya. Intinya, ada upaya untuk memberi stigma bahwa
serikat pekerja adalah perongrong perusahaan.
2. Mengintimidasi
Jika penghalang-halangan tidak berhasil, upaya lanjutan yang
sering dilakukan adalah mengintimidasi pekerja. Saat bergabung
dalam serikat, pekerja diancam tidak mendapatkan kenaikan gaji,
tidak mendapatkan bonus, tunjangan, tidak naik pangkat, diputus
kontrak kerjanya, dan lain sebagainya. Bahkan dijumpai pula ada
perusahaan yang menggunakan aparat kepolisian untuk menakut-
nakuti agar pekerjanya di bagian security tidak bergabung menjadi
anggota serikat.
3. Memutasi pengurus atau anggota serikat
Untuk memecah kekuatan serikat, sering pula dilakukan tindakan
mutasi atau pemindahan kerja secara sepihak. Kasus semacam ini
29
30. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
umumnya dilakukan ketika serikat pekerja sedang memperjuangkan
hak-hak pekerja. Tak tanggung-tanggung, kadang mutasi dilakukan
hingga ke luar pulau. Tujuannya jelas, selain untuk melemahkan
serikat juga untuk menghancurkan mental pekerja-karena ia juga
akan jauh dengan keluarganya.
4. Memutus hubungan kerja
Ini cara lama tapi masih menjadi tren hingga sekarang. Anggota
serikat yang sering menjadi korban dari modus ini adalah yang
berstatus karyawan kontrak. Dengan risiko hukum kecil dan biaya
murah (tidak perlu mengeluarkan pesangon gede), tindakan ini
kerap dijadikan pilihan favorit pihak manajemen. Dampaknya,
pekerja tidak berani lagi untuk bergabung dalam serikat pekerja
dan lambat-laun serikat pun menjadi gembos.
5. Membentuk serikat boneka
Upaya ini dilakukan untuk menandingi keberadaan serikat pekerja
sejati. Tujuannya agar pekerja menjadi bingung, mau memilih
serikat yang mana. Serikat boneka ini umumnya dikendalikan
penuh oleh manajemen, termasuk orang-orang yang menjadi
pengurusnya. Cara mengenali serikat model ini sangat gampang.
Biasanya mereka mendapatkan kemudahan dalam menjalankan
aktivitasnya, sementara serikat sejati selalu dihambat saat akan
melakukan aktivitas. Tak terkecuali tidak mendapatkan izin untuk
melakukan rapat di kantor.
6. Menolak diajak berunding PKB
Saat diajak berunding dalihnya macam-macam. Kadang manajemen
beralasan mau mengecek dulu apakah anggota serikat sudah
30
31. Bab 1 Pendahuluan
memenuhi syarat 50%+1 dari total pekerja, kadang malah tidak
mau berunding karena di dalam perusahaan terdapat dua serikat
pekerja. Padahal kita tahu serikat yang satu adalah serikat boneka
yang selalu membeo kepada perusahan. Semua itu bertujuan agar
pekerja tidak memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
7. Membuat peraturan perusahaan sepihak
Walaupun sudah ada serikat pekerja tapi tetap tidak diakui
keberadaannya. Bahkan, kalau perlu manajemen membuat
pernyataan palsu kepada Dinas atau Kementerian Tenaga Kerja
bahwa di perusahaannya tidak terdapat serikat pekerja. Sehingga
dengan demikian peraturan perusahaan pun langsung disahkan
dan diberlakukan.
Berbagai tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai
union busting (pemberangusan serikat pekerja). Menurut pasal 43
ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Buruh, “Barang siapa menghalang-halangi aktivitas yang
terkait dengan serikat pekerja, dapat dikenai sanksi pidana penjara
paling singkat satu tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100
juta, dan paling banyak Rp 500 juta.”
Bayangkan saja, jika berjuang secara kolektif lewat serikat pekerja
saja menemui banyak kendala, apalagi jika pekerja berjuang secara individual.
Manajemen akan dengan mudah mematahkan dan menyingkirkan individu-
individu yang mereka anggap rewel dan tidak memiliki basis dukungan.
Betapapun banyak kendalanya, upaya meningkatkan kesejahteraan
pekerja secara keseluruhan akan lebih efektif dilakukan secara kolektif
31
32. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
melalui serikat pekerja. Lewat serikat pekerja dukungan internal bisa
digalang sehingga posisi tawar pun bisa terkerek lebih tinggi.
Hal lain yang perlu dicatat, perjuangan lewat serikat pekerja bukan
perjuangan liar.Undang-undang menjamin ruang perjuangan tersebut.
Karena itu, sepanjang berada dalam koridor undang-undang, upaya para
aktivis serikat pekerja kerap mendapat dukungan dari pihak luar, seperti
parlemen dan Komnas HAM.
Perkembangan positif lain, saat ini di Indonesia sudah berdiri
Federasi Serikat Pekerja Media Independen, wadah yang secara khusus
menghimpun serikat pekerja di sektor media massa. Keberadaan federasi
yang pendiriannya difasilitasi AJI ini mestinya bisa menambah daya ungkit
perjuangan serikat pekerja serta memperkuat solidaritas kepada sesama
pekerja media. Dalam kasus Indosiar dan Suara Pembaruan, misalnya,
Federasi ini memberi dukungan penuh kepada serikat pekerja.
Namun, harus diakui, pertumbuhan serikat pekerja media di
Indonesia masih sangat lamban, bahkan jika dibandingkan serikat pekerja
di sektor industri lainnya. Hingga saat ini, tercatat hanya 27 media yang
mempunyai serikat pekerja. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan dengan
jumlah media cetak dan elektronik di seluruh Indonesia yang berjumlah
2.314. Rinciannya sebanyak 1.008 media cetak, 1.297 radio, 79 stasiun
televisi, dan belum lagi belasan media online yang terus bertumbuh.
Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia juga mengidentifikasi sejumlah
faktor yang menyebabkan lambannya pertumbuhan serikat pekerja sektor
media tersebut, yakni:
32
33. Bab 1 Pendahuluan
1. Problem ”kelas” yang belum tuntas
Selama ini mayoritas jurnalis masih mengidentifikasikan dirinya
sebagai kelompok profesional dan eksklusif. Mereka merasa enggan
untuk dikelompokkan menjadi bagian dari kelas buruh. Latar
belakang pendidikan tinggi, kemudahan akses dalam kerja-kerja
jurnalistik, penampilan yang keren dan mentereng adalah beberapa
faktor yang membuat kalangan jurnalis makin membenamkan
dirinya sebagai kelas white collar.
2. Masih bertumpu pada jurnalis
Dalam kepengurusan sebuah serikat pekerja media, jurnalis masih
dianggap sebagai kelompok “kasta brahmana”. Poros sebuah
serikat kerap ditumpukan sepenuhnya kepada kelompok ini.
Sementera pekerja pada bagian lain (administrasi, percetakan,
sirkulasi, marketing, sopir, dll) kerap menempatkan dirinya
sebagai kelompok kasta di bawahnya. Karena itu, dalam pemilihan
pengurus, mayoritas anggota kerap terilusi untuk menempatkan
jurnalis sebagai tumpuan kekuatan di dalam serikat. Mereka
menunggu kepemimpinan dari divisi redaksi atau jurnalis. Padahal,
idealnya, komposisi kepengurusan serikat pekerja media berasal
dari semua lini produksi sehingga kekuatan solidaritasnya bisa
lebih maksimal dan merata.
3. Stigma negatif serikat pekerja
Kerap dilekatkan cap: serikat pekerja-termasuk aktivisnya-adalah
tukang bikin kisruh di perusahaan, suka menuntut dan membuat
disharmoni hubungan kerja. Kerap digambarkan aktivis serikat
juga cenderung jeblok di dalam pekerjaannya. Di samping itu
33
34. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
belum banyaknya contoh kemenangan yang berhasil diraih serikat
pekerja media membuat mayoritas pekerja media enggan untuk
bergabung dalam sebuah serikat. Mereka menganggap belum ada
manfaat konkret berjuang melalui serikat.
4. Lemah secara manajemen dan organisasional
Tak adanya rapat reguler, minimnya perumusan agenda dan
program, hingga lemahnya administrasi keuangan serikat pekerja
media membuat mayoritas anggota mengalami demoralisasi.
Mereka merasa tidak memperoleh keuntungan bergabung dalam
sebuah serikat pekerja. Hal ini tak hanya menyebabkan matinya
serikat, tapi juga merontokkan mental pekerja media.
5. Sanksi dari manajemen
Sanksi yang kerap terjadi pada aktivis maupun anggota serikat
pekerja media adalah mutasi dan penghambatan jenjang karier.
Terkadang manajemen juga memutus kontrak kerja orang-orang
yang teridentifikasi menjadi anggota serikat. Hal ini kian membuat
pekerja media menjadi takut untuk bergabung dalam sebuah
serikat.
6. Rendahnya pembelaan dan solidaritas di dalam serikat
Minimnya pengalaman dan kemampuan bernegosiasi sering
membuat pengurus serikat pekerja media menghindari terlibat
konflik secara langsung dengan manajemen. Akibatnya ketika ada
anggota yang mengadukan masalah, pengurus serikat tak mampu
membantu dan mengadvokasi anggotanya.
7. Terpisah dalam teritori tertentu
Hal ini sering dijumpai pada perusahaan media yang sukses
34
35. Bab 1 Pendahuluan
mengembangkan ekspansi bisnis. Contohnya, selain menerbitkan
media, perusahaan tersebut juga memiliki percetakan sendiri.
Lokasi unit usaha pun dibuat berjauhan. Pemisahan teritori unit
usaha ini menyebabkan pekerja di bagian redaksi dan percetakan
tidak mampu bersatu dan cenderung memilih mendirikan serikat
sendiri-sendiri. Padahal jika kedua basis ini disatukan dalam sebuah
serikat, tentunya akan melahirkan kekuatan besar. Apalagi unit
percetakan media adalah jantung produksi dari perusahaan media
(cetak).
8. Tuntutan kerja tinggi
Tuntutan ekspansi perusahaan sering berimbas pada tuntutan
kerja yang semakin tinggi. Situasi seperti ini membuat lemahnya
konsolidasi dan kerja-kerja organisasi. Tanpa militansi yang tinggi
dari para aktivisnya, kisah sukses serikat pekerja media hanya akan
menjadi tinggal cerita.
9. Bimbang atas pilihan loyalitas
Pekerja media sering merasa bimbang: harus loyal kepada
perusahaan atau kepada serikat pekerja. Jika organisasi serikat kuat
memegang teguh fungsinya, tentu kebimbangan seperti ini akan
dengan mudah bisa dijawab. Sebaliknya bila organisasinya lemah
maka dengan sedikit propaganda hitam saja bisa dipastikan pekerja
media akan menjauhi bahkan meninggalkan serikat.
10. Lemahnya kaderisasi
Ini problem usang yang tak kunjung terpecahkan penyelesaiannya.
Tidak banyak muncul kader-kader baru. Dapat dipastikan, dalam
forum-forum serikat pekerja media, yang sering muncul adalah
35
36. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
wajah-wajah lama. Tanpa adanya kaderisasi, cepat atau lambat akan
membuat serikat pekerja mati.
Dari pemetaan problem di atas terlihat bahwa di luar sikap
manajemen media yang masih kurang terbuka dengan serikat pekerja,
kehadiran dan keaktifan serikat pekerja juga ditentukan oleh kalangan jurnalis
dan pekerja media sendiri. Apakah serikat pekerja memang dianggap sebagai
kebutuhan oleh jurnalis atau tidak. Hingga saat ini, belum ada penelitian
yang secara empiris menunjukkan bagaimana jurnalis menilai kehadiran
serikat pekerja. Apakah jurnalis menganggap serikat pekerja penting. Jika
penting, apa harapan mereka terhadap kehadiran serikat pekerja. Dan
apabila dirasakan tidak penting, apa alasannya, dan sebagainya.
Survei ini ingin menggambarkan bagaimana penilaian jurnalis
terhadap kehadiran serikat pekerja. Agar ada perbandingan, survei ini
menyertakan jurnalis dari media yang memiliki serikat pekerja juga jurnalis
di media yang tidak atau belum mempunyai serikat pekerja. Dari survei ini
akan didapatkan data bagaimana pandangan jurnalis terhadap serikat pekerja.
Untuk jurnalis di media yang memiliki serikat pekerja, akan ditanyakan
kepuasan mereka terhadap kehadiran serikat pekerja. Harapan dan peran
apa yang diharapkan akan dilakukan oleh serikat pekerja. Sementara untuk
jurnalis di media yang tidak terdapat serikat pekerja akan ditanyakan apakah
mereka mempunyai keinginan membentuk serikat pekerja di medianya. Dari
dua sisi sudut pandang ini setidaknya akan semakin memperluas penelitian
tentang survei pekerja media ini.
36
37. Bab 1 Pendahuluan
B. Tujuan penelitian
Survei ini ingin mendapatkan data mengenai penilaian jurnalis
terhadap serikat pekerja, baik dari jurnalis yang medianya memiliki serikat
pekerja maupun yang belum atau tidak terdapat serikat pekerja. Detail
informasi yang digali dalam survei ini adalah sebagai berikut:
1. Media yang mempunyai serikat pekerja
a. Penilaian umum terhadap serikat pekerja. Bagaimana pendapat
jurnalis terhadap serikat pekerja; apakah serikat pekerja memang
dibutuhkan oleh jurnalis; apakah menurut jurnalis setiap media
seharusnya mempunyai serikat pekerja.
b. Peran serikat pekerja. Bagaimana pendapat jurnalis mengenai
peran yang sebaiknya dijalankan oleh serikat pekerja; apakah
sebaiknya serikat pekerja hanya memperjuangkan kesejahteraan
jurnalis atau juga memperjuangkan hal lain, misalnya melakukan
advokasi terhadap pekerja, peningkatan profesionalisme pekerja
dan sebagainya; setuju atau tidak menjalin hubungan dengan
serikat pekerja lain (misalnya, dalam bentuk federasi serikat pekerja
media) ataukah serikat pekerja media sebaiknya hanya mengurusi
masalah internal di medianya masing-masing.
c. Penilaian terhadap serikat pekerja media di tempat kerja.
Apakah responden mengetahui adanya serikat pekerja; apakah
mengetahui kegiatan-kegiatan serikat pekerja; bagaimana penilaian
terhadap serikat pekerja di media masing-masing; apakah serikat
pekerja sudah menjalankan peran sesuai dengan harapan; apa
harapan terhadap peran serikat pekerja media; peran apa yang
37
38. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
diharapkan akan dilakukan oleh serikat pekerja media.
d. Kepuasan terhadap serikat pekerja media di tempat kerja.
Seberapa puas dengan kinerja serikat pekerja di media masing-
masing; bagaimana kepuasan jurnalis dengan perjuangan yang
telah dilakukan oleh serikat pekerja; dan sebagainya.
2. Media yang tidak atau belum mempunyai serikat pekerja
a. Penilaian umum terhadap serikat pekerja. Bagaimana pendapat
jurnalis terhadap serikat pekerja; apakah serikat pekerja memang
dibutuhkan oleh jurnalis; apakah menurut jurnalis setiap media
seharusnya mempunyai serikat pekerja.
b. Hambatan membentuk serikat pekerja. Apakah jurnalis
menginginkan adanya serikat pekerja di media tempat mereka
bekerja; mengapa hingga saat ini belum ada serikat pekerja
media di tempat mereka bekerja; apakah pernah ada upaya untuk
membentuk serikat pekerja; apakah ada hambatan dari manajemen
yang membatasi pembentukan serikat pekerja.
c. Kepentingan jurnalis. Jika saat ini belum ada serikat pekerja,
bagaimana kepentingan jurnalis dan pekerja lainnya selama ini
diperjuangkan; bagaimana mekanisme yang biasa dilakukan
jika terjadi konflik antara jurnalis dengan manajemen media;
bagaimana konflik itu selama ini diselesaikan; misalnya apakah ada
forum antara pekerja dan manajemen untuk menyelesaikan konflik
yang mungkin terjadi.
d. Peran serikat pekerja. Jika nantinya terdapat serikat pekerja di
tempat mereka bekerja, peran apa yang diharapkan dijalankan
oleh serikat pekerja; apakah sebaiknya serikat pekerja
38
39. Bab 1 Pendahuluan
hanya memperjuangkan kesejahteraan jurnalis ataukah juga
memperjuangkan hal lain misalnya melakukan advokasi terhadap
semua pekerja, peningkatan profesionalisme jurnalis dan
sebagainya; apakah setuju atau tidak menjalin hubungan dengan
serikat pekerja lain (misalnya, dalam bentuk federasi serikat pekerja
media) ataukah serikat pekerja media sebaiknya hanya mengurusi
internal di media masing-masing.
C. Metode penelitian
Survei ini dilakukan dengan menggunakan pertanyaan terstruktur
(kuesioner). Survei ini bersifat eksploratif, berusaha menggambarkan
sebanyak mungkin berbagai masalah berdasarkan pendapat jurnalis.
Populasi dari survei ini adalah semua jurnalis yang bekerja di tujuh kota di
Indonesia, yakni Jakarta, Aceh, Medan, Lampung, Bandung, Surakarta, dan
Palu. Jurnalis dalam survei ini didefinisikan sebagai individu yang bekerja
mencari, mengolah dan mempublikasikan berita di suatu media. Pekerja
administrasi atau staf keuangan di satu media tidak dimasukkan dalam
survei ini. Seorang jurnalis freelance juga tidak dimasukkan dalam survei.
Wawancara dilakukan secara langsung (face to face interviews), di mana
pewawancara mendatangi langsung responden terpilih. Untuk menjamin
wawancara dilakukan secara benar, dilakukan spot check, sebanyak 20% dari
jumlah sampel.
D. Sampel dan responden
Teknik penarikan sampel yang dipakai dalam survei ini adalah
teknik acak klaster (cluster random sampling). Teknik penarikan sampel acak
39
40. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
klaster ini dipakai karena dua kondisi. Pertama, tidak tersedia kerangka
sampel (sampling frame) yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam penarikan
sampel acak (random). Kerangka sampel yang dimaksud adalah sebuah
daftar yang memuat nama-nama jurnalis di semua media yang ada di tujuh
kota yang menjadi wilayah survei ini. Jumlah sampel dalam survei ini adalah
sebanyak 192 responden survei dan 27 responden indepth interview. Dengan
jumlah sampel sebesar ini, tingkat kesalahan (sampling error) dalam survei ini
adalah ± 6,62% pada interval kepercayaan 95,0%. Artinya derajat perbedaan
antara 95,0% hasil survei dengan populasi diperkirakan plus minus 6,62%.
Tabel 1.1 Komposisi Media dan Responden Survei Kuantitatif
Media Memiliki Serikat Pekerja Media Tanpa Serikat Pekerja
Wilayah Dki Jakarta (= 124 Responden)
1. Kompas 4 19. Rakyat Merdeka 4
2. Republika 4 20. Indo Pos 4
3. Bisnis Indonesia 4 21. Sinar Harapan 4
4. Jakarta Post 4 22. Pos Metro* -
5. Warta Kota 4 23. Pos Kota 4
6. Kontan 4 24. Media Indonesia 4
7. Koran Tempo 4 25. Berita Kota 4
8. Swa Sembada 4 26. Gatra 4
9. Suara Pembaruan 4 27. Sctv 4
10. Antv 4 28. Trans Tv 4
11. Tpi 4 29. Metro Tv 4
12. Rcti 4 30. Tv One 4
13. Indosiar 4 31. Delta Fm 4
14. Detik.Com 4 32. Sonora Fm 4
15. Hukumonline.Com 4
16. Kantor Berita Antara 4
40
41. Bab 1 Pendahuluan
17. Kantor Berita Radio 68 H 4
18. Smart FM Jakarta 4
Wilayah Bandung (= 8 Responden)
1. Pikiran Rakyat Bandung 4 2. Tribun Jabar 4
Wilayah Surakarta (= 8 Responden)
1. Solo Pos 4 2. Radar Surakarta 4
Wilayah Medan (= 28 Responden)
1. Sumut Post 4 5. Waspada 4
2. Medan Bisnis 4 6. Sinar Indonesia Baru 4
3. Analisa 4 7. Medan Pos 4
4. Smart FM Medan 4
Wilayah Lampung (= 8 Responden)
1. Lampung TV 4 2. Lampung Pos 4
Wilayah Palu (= 8 Responden)
1. Harian Mercusuar Palu 4 2. Radar Sulteng 4
Wilayah Aceh (= 8 Responden)
1. Harian Aceh Independen 4 2. Serambi Indonesia 4
Total 7 Kota (= 192 Responden)
Media Memiliki SP (= 108 Reponden) Media Tidak Ada SP (= 84 Reponden)
*Harian Pos Metro yang awalnya ditargetkan disurvei ternyata sudah tidak terbit lagi.
Tabel 1.2 Komposisi Media dan Responden “Indepth Interview”
No. Kota Wilayah Media Memiliki SP Media Tidak Ada SP
1. DKI Jakarta 8 5
2. Banda Aceh 2 2
3. Medan 1 1
4. Lampung 1 1
5. Bandung 1 1
6. Surakarta 1 1
7. Palu 1 1
Total 15 12
41
42. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Karena daftar nama tidak tersedia, penarikan sampel acak sederhana
(simple random sampling) tidak bisa dipakai. Kedua, kalaupun daftar nama
jurnalis itu tersedia masih diragukan akurasinya. Di samping tidak memuat
nama semua jurnalis, daftar itu acapkali tidak up to date. Karena tiadanya
daftar nama jurnalis tersebut, maka penarikan sampel klaster adalah
alternatif penarikan sampel yang mungkin dilakukan.
MEDIA X
$ $
$ $ $ $
MEDIA Z
$ $
MEDIA Y
Sesuai dengan namanya, penarikan sampel ini didasarkan pada
gugus (klaster). Asumsinya, individu adalah bagian dari gugus atau klaster
tertentu. Kerangka sampel berupa daftar nama individu memang tidak
tersedia, tetapi daftar kelompok (gugus) itu pasti tersedia. Karena itu yang
dilakukan oleh peneliti adalah menarik sampel dari gugus atau klaster itu.
Kemudian dari gugus itu ditarik individu. Dalam survei ini, gugus yang
dimaksud adalah media tempat jurnalis bekerja. Dan daftar nama media di
tujuh kota pasti tersedia. Adapun tahapan penarikan sampel klaster adalah
sebagai berikut:
1. Memilih Primary Sampling Unit (PSU) media
Peneliti memilih media di masing-masing kota. Media yang
42
43. Bab 1 Pendahuluan
diambil diklasifikasikan ke dalam media yang mempunyai serikat
pekerja dan media yang tidak mempunyai serikat pekerja. Dengan
cara ini diharapkan bisa dibuat perbandingan penilaian jurnalis
yang bekerja di media yang terdapat serikat pekerja dan yang tidak
mempunyai serikat pekerja. Untuk media yang mempunyai serikat
pekerja diambil semua sebagai sampel. Total terdapat 27 media
di tujuh kota yang mempunyai serikat pekerja. Sementara untuk
media yang tidak mempunyai serikat pekerja diambil sampel 23
media. Sehingga total ada 50 media di tujuh kota yang diambil
sebagai sampel. Media yang terpilih itu ditempatkan sebagai
Primary Sampling Unit (PSU).
2. Mendata jurnalis di PSU terpilih dan memilih secara acak (random)
wartawan yang akan menjadi sampel
Setelah PSU terpilih, pewawancara (interviewer) mendatangi
masing-masing PSU tersebut. Pewawancara mendata nama semua
jurnalis yang ada di media terpilih.
3. Mengambil secara acak (random) jurnalis di media sampel
Dengan menggunakan lembar yang telah disediakan, pewawancara
memilih secara random (acak) jurnalis yang terpilih sebagai
sampel. Jumlah responden yang diambil di masing-masing media
ditetapkan sebanyak empat orang jurnalis.
43
45. Bab 2
Profil Responden
RESPONDEN yang menjadi sampel dalam survei ini didesain menjadi dua
kelompok responden. Pertama, kelompok yang memiliki serikat pekerja,
yakni responden yang bekerja sebagai pekerja tetap di perusahaan media
yang terdapat serikat pekerja. Kedua, kelompok yang tidak memiliki
serikat pekerja, yaitu mereka yang bekerja sebagai pekerja tetap di
perusahaan media yang tidak memiliki serikat pekerja.
A. Usia dan jenis kelamin
Secara keseluruhan, responden dalam survei ini lebih banyak laki-
laki (85%) dibandingkan dengan perempuan (15%). Tidak ada perbedaan
signifikan perbandingan jenis kelamin responden di media yang memiliki
45
46. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
serikat pekerja dengan media yang tidak memiliki serikat pekerja.
Grafik 2.1 Jenis Kelamin
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Perempuan
, 15.0%
Laki-laki,
85.0%
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
86.0% 83.9%
14.0% 16.1%
Laki-laki Perempuan
“Jenis kelamin responden”
Terkait usia, sebagian besar responden berada dalam rentang usia
antara 26-35 tahun, baik di media yang memiliki serikat pekerja maupun
yang tidak memiliki serikat pekerja. Hanya sebagian kecil responden yang
tergolong berusia tua maupun di bawah 25 tahun.
46
47. Bab 2 Profil Responden
Grafik 2.2 Usia Responden
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
57.1%
44.0%
34.0%
22.0%
12.0%11.0% 10.0%8.8%
0.0% 1.1%
26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 17-25 tahun 56-65 tahun
“Usia responden”
B. Bidang pekerjaan
Responden dalam survei ini sebagian besar bekerja sebagai
reporter/fotografer. Posisi atau jabatan responden yang juga cukup banyak
dalam survei ini adalah redaktur. Paling sedikit adalah sebagai koordinator
reportase.
Grafik 2.3 Posisi/Jabatan di Media
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
59.8%
Reporter/fotografer 76.3%
Penanganggung jawab rubrik 10.3%
1.1%
4.6%
Koordinator reportase 1.1%
23.0%
Redaktur 11.8%
2.3%
Redaktur pelaksana 9.7%
“Jabatan/posisi Anda di media?”
47
48. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
C. Pendidikan
Sementara untuk tingkat pendidikan, sebagian besar responden
(80%) adalah sarjana. Selebihnya, rata di antara mereka yang lulusan SLTA,
akademi dan pascasarjana.
Grafik 2.4 Pendidikan
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
80.0%82.8%
7.0% 7.5% 7.0% 8.6% 6.0%
1.1%
Tamat Sarjana Tamat SLTA Tamat Tamat Pasca
Akademi Sarjana ( S2)
“Pendidikan terakhir”
D. Lama kerja
Di media yang memiliki serikat pekerja, responden dalam survei
ini paling banyak (27%) telah bekerja lebih dari 10 tahun. Sementara
di media yang tidak memiliki serikat pekerja, responden paling banyak
(22.8%) adalah mereka yang bekerja 3-4 tahun. Responden paling sedikit
adalah responden yang bekerja kurang dari satu tahun. Artinya sebagian
besar responden sudah cukup lama bekerja di media tempat mereka bekerja
sekarang ini.
48
49. Bab 2 Profil Responden
Grafik 2.5 Lama Bekerja
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
Lebih dari 10 tahun 27.0%
21.7%
3-4 tahun 19.0%
22.8%
5-6 tahun 15.0%
12.0%
1-2 tahun 14.0%
14.1%
9-10 tahun 13.0%
5.4%
7-8 tahun 12.0%
18.5%
Kurang dari 1 tahun 0.0%
5.4%
“Lama kerja”
E. Keanggotaan di organisasi jurnalis
Hal yang sangat menarik untuk diketahui dari profil responden
dalam survei ini adalah apakah mereka juga menjadi anggota di organisasi
jurnalis. Apakah ada perbedaan antara mereka yang bekerja di media yang
memiliki serikat pekerja dengan mereka yang bekerja di media yang tidak
memiliki serikat pekerja. Ternyata di media yang ada serikat pekerja lebih
banyak yang menjadi anggota organisasi jurnalis, meskipun separuh dari
mereka menyatakan tidak aktif. Sementara di media yang tidak ada serikat
pekerja sebagian besar (55.4%) jurnalis tidak menjadi anggota organisasi
jurnalis.
49
50. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Grafik 2.6 Keanggotaan di Organisasi Jurnalis
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
55.4%
39.0%
31.5%
28.0% 28.0%
9.8%
5.0% 3.3%
Tidak menjadi Ya, anggota Anggota, tidak Tidak tahu /
anggota aktif aktif tidak jawab
“Apakah Anda anggota organisasi jurnalis?“
Responden di media yang memiliki serikat pekerja yang menjadi
anggota organisasi jurnalis, sebagian besar (52.7%) adalah anggota dari
Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sementara responden di media yang
tidak memiliki serikat pekerja, yang menjadi anggota organisasi jurnalis
sebagian besar (54.8%) dari mereka adalah anggota Persatuan Wartawan
Indonesia (PWI).
Grafik 2.7 Keanggotaan di Organisasi Jurnalis
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 52.7%
19.0%
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 27.3%
54.8%
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) 3.6%
7.1%
Karyawan Jurnalis Indonesia (KJI) 3.6%
4.8%
PWI Reformasi 1.8%
2.4%
Forum Komunikasi Serikat Pekerja Media Indonesia 1.8%
(FKSPMI) 0.0%
Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) 1.8%
2.4%
Pewarta Foto Indonesia (PFI) 1.8%
0.0%
Asosiasi Jurnalis Asia (AJA) 1.8%
0.0%
Forum Wartawan Pertanian (Forwatan) 1.8%
0.0%
Siwo 0.0%
2.4%
PRSSNI 0.0%
4.8%
Lainnya, (sebutkan) 5.5%
7.1%
“Apakah Anda anggota organisasi jurnalis?“
50
51. Bab 3
Keberadaan Serikat Pekerja
A. Keberadaan serikat pekerja di tempat kerja
Seluruh responden dalam survei ini mengetahui keberadaan serikat
pekerja di perusahaan tempat mereka bekerja. Dalam penelitian ini, 51.8%
responden bekerja di perusahaan media yang terdapat serikat pekerja.
Selebihnya (48.2%) bekerja di media yang tidak memiliki serikat pekerja.
51
52. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Grafik 3.1 Keberadaan Serikat Pekerja
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada, 51.8% Tidak ada,
48.2%
“Sepengetahuan Anda, apakah ada serikat pekerja di tempat Anda bekerja?”
Keberadaan serikat pekerja di perusahaan tempat responden
bekerja, menurut mereka, karena merupakan aspirasi dari pekerja. Hanya
3.2% responden yang menyatakan bahwa keberadaan serikat pekerja karena
dibentuk oleh manajemen/direksi perusahaan.
Grafik 3.2 Alasan Serikat Pekerja Ada di Perusahaan Media
Base: Ada Serikat Pekerja
Aspirasi dari pekerja 60.0%
Aspirasi pekerja tapi didukung oleh direksi 30.5%
Dibentuk oleh direksi atau pemilik perusahaan 3.2%
Tidak tahu/tidak jawab 6.3%
“Menurut Anda, apa alasan serikat pekerja didirikan di media Anda?”
52
53. Bab 3 Keberadaan Serikat Pekerja
Sementara media yang belum terdapat serikat pekerja, menurut
responden, karena tidak ada orang atau pelopor yang menggerakkan
(38.1%). Alasan kedua adalah tidak diperbolehkan oleh manajemen/
direksi (26.2%). Dan alasan lain menurut mereka adalah tidak ada pekerja
yang berminat.
Grafik 3.3 Alasan Serikat Pekerja Tidak Ada di Perusahaan Media
Base: Ada Serikat Pekerja
Tidak ada orang yang
38.1%
menggerakkan
Tidak diperbolehkan
26.2%
oleh direksi
Tidak ada pekerja
3.6%
yang berminat
Lainnya (sebutkan) 2.4%
Tidak tahu/tidak jawab 31.0%
”Mengapa dimedia tempat Anda bekerja tidak ada serikat pekerja?
Alasan Tidak Ada Serikat Pekerja di Perusahaan Media
Dari hasil wawancara mendalam terhadap sejumlah jurnalis di media
yang tidak memiliki serikat pekerja, diketahui beberapa alasan mengapa di
media mereka tidak ada serikat pekerja. Hal itu, mulai karena ditentang oleh
pihak manajemen hingga tidak ada karyawan yang menggerakkan. Meskipun
ide untuk membentuk serikat pekerja selalu ada, hal itu sulit terealisasi karena
sering berbenturan dengan pihak manajemen yang menentang pembentukan
serikat pekerja.
”Selama ini hubungan manajemen dengan pekerja cukup harmonis, kalau ada
masalah pasti bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Karyawan–
terutama bagian redaksi–memang pernah memiliki pemikiran untuk membentuk
serikat pekerja. Tapi sampai sekarang, ya, begini-begini saja, belum tercapai
program itu. Persoalannya, membentuk serikat kerja enggak gampang. Perlu
koordinasi, diskusi, dan harus menyusun rencana-rencana program. Dan, untuk
53
54. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
memulainya sampai sekarang belum ada yang menggerakkan. Apalagi, membentuk
serikat pekerja ditentang manajemen.” (Laki-laki, Redaktur, Jakarta)
”Usia koran ini memang sudah lama, sekitar 35 tahun. Tapi selama itu pula tidak
pernah ada serikat pekerja. Masalahnya perusahaan memang sama sekali tidak
menginginkan adanya serikat pekerja. Dari sisi bisnis, keberadaan serikat pekerja
dianggap merugikan perusahaan karena seluruh karyawan akan memperoleh
20% saham perusahaan. Ini yang tidak diinginkan manajemen.” (Laki-laki,
Redaktur, Jakarta)
”Dari awal memang tidak ada serikat pekerja. Ada pertentangan antara
kepentingan manajemen dan karyawan. Di satu sisi, manajemen sangat tidak
berkenan atas hadirnya serikat pekerja, sementara di sisi karyawan, pembentukan
serikat pekerja mengundang perlawanan terhadap manajemen. Pasti akan
berhadapan dengan manajemen. Dan rencana pendirian serikat pekerja ditolak
manajemen.” (Laki-laki, Redaktur, Jakarta)
”Enggak ada serikat pekerja. Banyak alasannya. Pertama, dari pihak manajemen
memang tidak menginginkan ada serikat pekerja. Jauh-jauh hari, karyawan
pernah berencana untuk membentuk serikat pekerja, namun hal ini ditentang
keras oleh manajemen. Bentuk reaksi manajemen adalah dengan memanggil
karyawan yang akan membentuk serikat pekerja. Jelas, ada intimidasi dari
manajemen agar tidak membentuk serikat pekerja. Akhirnya enggak jadi. Kedua,
kekompakan antar karyawan kurang. Kita semua tahu, kalau membentuk
serikat pekerja akan berbenturan dengan manajemen. Karyawan juga takut akan
mendapatkan sanksi dari manajemen jika membentuk serikat pekerja. Karena
kondisi ini, sampai sekarang media ini enggak pernah punya serikat pekerja.”
(Laki-laki, Redaktur, Jakarta)
”Sejak awal berdiri, media ini memang tidak memiliki serikat pekerja. Karena
karyawannya tidak punya niat untuk membentuk serikat pekerja.” (Laki-laki,
Redaktur, Jakarta)
”Sepertinya semua karyawan tahu kalau serikat pekerja adalah sesuatu yang
’tabu’ bagi manajemen. Karyawan akan dicap oposisi oleh manajemen. Karena
itu, media ini tidak punya serikat pekerja.” (Laki-laki, Redaktur, Jakarta)
54
55. Bab 3 Keberadaan Serikat Pekerja
B. Persepsi terhadap keberadaan serikat pekerja
Persepsi responden terhadap keberadaan serikat pekerja sebagian
besar menilai sangat penting. Responden dari media yang tidak memiliki
serikat pekerja sebagian besar (54.8%) tetap menilai keberadaan serikat
pekerja sangatlah penting. Tidak ada responden yang menilai keberadaan
serikat pekerja tidak penting sama sekali. Meskipun kecil, ada 9.7% responden
dari media yang tidak memiliki serikat pekerja menilai keberadaan serikat
pekerja kurang penting.
Grafik 3.4 Persepsi terhadap Keberadaan Serikat Pekerja
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
86.0%
Sangat penting 54.8%
11.0%
Cukup penting 33.3%
2.0%
Kurang penting 9.7%
0.0%
Tidak penting
0.0%
1.0%
Tidak tahu/tidak jawab 2.2%
”Menurut penailaian Anda, apakah serikat pekerja di perusahaan media sangat penting,
cukup penting, kurang penting atau tidak penting sama sekali?”
Alasan mereka menganggap penting keberadaan serikat pekerja
media sebagian besar karena serikat pekerja memperjuangkan hak dan
kesejahteraan pekerja. Alasan lain yang cukup banyak dikemukakan
responden adalah dengan adanya serikat pekerja, para pekerja memiliki
posisi tawar dengan perusahaan dan ketika mengalami sengketa ada yang
melindungi.
55
56. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Grafik 3.5 Alasan Serikat Pekerja Penting
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
40.8%
Memperjuangkan hak-hak pekerja 42.7%
28.6%
Memperjuangkan kesejahteraan pekerja 24.4%
16.3%
Memiliki posisi tawar dengan perusahaan media 11.0%
9.2%
Mendapat perlindungan saat mengalami sengketa 14.6%
4.1%
Solidaritas sesama pekerja media 7.3%
1.0%
Tidak tahu/tidak jawab 0.0%
“Mengapa serikat pekerja sangat penting atau cukup penting di perusahaan media?”
Separuh responden (50%) dari media yang memiliki serikat pekerja
yang menjawab keberadaan serikat pekerja kurang penting beralasan, serikat
pekerja tidak efektif dalam memperjuangkan kesejahteraan pekerja, dan
separuh lagi beranggapan kondisi kesejahteraan sudah baik sehingga tidak
perlu diperjuangkan oleh serikat pekerja. Sementara responden dari media
yang tidak memiliki serikat pekerja sebagian besar (72.7%) menganggap,
serikat pekerja kurang penting karena kepentingan mereka sudah diurus oleh
bagian umum atau personalia di perusahaan media. Alasan kedua (27.3%),
serikat pekerja tidak akan efektif dalam memperjuangkan kesejahteraan
pekerja.
56
57. Bab 3 Keberadaan Serikat Pekerja
Grafik 3.6 Alasan Serikat Pekerja Tidak Penting
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
Tidak akan efektif dalam memperjuangkan 50.0%
kesejahteraan pekerja 27.3%
Kondisi kesejehtaraan sudah baik, tidak 50.0%
perlu diperjuangkan 0.0%
Sudah diurus oleh bagian umum atau 0.0%
personalia di perusahaan 72.7%
“ Mengapa keberadaan serikat pekerja kurang penting atau tidak penting sama sekali di
perusahaan media?”
C. Keanggotaan serikat pekerja
Mereka yang bekerja di media yang memiliki serikat pekerja
ditanyakan apakah menjadi anggota serikat pekerja. Sebagian besar (83.%)
responden menjadi anggota serikat pekerja di tempat mereka bekerja.
Hanya 17% responden saja yang menyatakan tidak menjadi anggota serikat
pekerja di tempat mereka bekerja.
Grafik 3.7 Keanggotaan di Serikat Pekerja
Base: Ada Serikat Pekerja
Tidak,
17.0%
Ya, 83.0%
“Apakah Anda menjadi anggota serikat pekerja di media Anda?”
57
58. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Lebih jauh ditanyakan pula kepada mereka yang menjadi anggota
serikat pekerja, mengapa bergabung dalam serikat pekerja. Sebagian besar
responden (51.0%) mengatakan, mereka masuk dan bergabung dengan
serikat pekerja karena kesadaran sendiri. Selebihnya karena diajak oleh
teman (17.8%) dan diwajibkan oleh perusahaan (14.6%). Fakta ini tentunya
cukup menarik. Berkesadaran sendiri bergabung dalam serikat bisa diartikan
sebagai bentuk dukungan langsung terhadap keberadaan serikat pekerja.
Grafik 3.8 Alasan Masuk Serikat Pekerja
Base: Ada Serikat Pekerja
Diwajibkan
Diajak oleh oleh
teman, perusahaan,
17.8% 14.6%
Lainnya,
4.2%
Kesadaran
sendiri,
51.0%
“Alasan Anda bergabung serikat pekerja?”
Dari pertanyaan berapa lama bergabung menjadi anggota serikat
pekerja, ternyata paling banyak adalah mereka yang belum lama menjadi
anggota serikat pekerja. Jika dihubungkan dengan profil lama mereka
bekerja di perusahaan media saat ini, paling banyak kedua adalah mereka
yang bekerja 3-4 tahun. Hal ini berarti sesuai antara berapa lama mereka
bekerja dengan berapa lama mereka menjadi anggota serikat pekerja.
Responden yang menjadi anggota serikat pekerja lebih dari 10 tahun berarti
mereka juga sudah bekerja di perusahaan itu lebih dari 10 tahun.
58
59. Bab 3 Keberadaan Serikat Pekerja
Grafik 3.9 Lama Menjadi Anggota Serikat Pekerja
Base: Ada Serikat Pekerja
L ama menjadi anggota s erikat pekerja (tahun)
22.2%
14.8%
13.6%
11.1%
9.9%
6.2% 6.2%
4.9%
3.7%
2.5% 2.5% 2.5%
<1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 > 10
“Sudah berapa tahun Anda menjadi anggota serikat pekerja di media sekarang?”
Dilihat dari sistem keanggotaan dalam serikat pekerja tempat
responden bekerja, 41.8% responden menjawab berdasarkan sistem stelsel
aktif. Artinya anggota serikat pekerja adalah mereka yang mendaftar menjadi
anggota, pekerja tidak otomatis menjadi anggota serikat pekerja media. Hal
ini berkaitan dari hasil sebelumnya yang menyatakan bahwa sebagian besar
jurnalis menjadi anggota serikat pekerja karena kesadaran sendiri. Artinya,
serikat pekerja memang tidak memaksakan kepada pekerja untuk menjadi
anggota serikat pekerja. Hanya mereka yang tertarik dan mau mendaftar
sajalah yang menjadi anggota serikat pekerja.
Sebesar 30.1% responden menjawab sistem keanggotaan serikat
pekerja di tempat mereka bekerja adalah stelsel pasif, yaitu setiap pekerja yang
bekerja di media itu akan secara otomatis menjadi anggota serikat pekerja.
Sistem ini bisa jadi berkaitan dengan cara jurnalis menjadi anggota serikat
pekerja, yakni karena diwajibkan. Jadi tanpa mendaftar, ketika mereka bekerja
di media itu, mereka secara otomatis akan menjadi anggota serikat pekerja.
59
60. Masih Bertumpu Pada Sang Pelopor
Grafik 3.10 Sistem Keanggotaan dalam Serikat Pekerja
Base: Ada Serikat Pekerja
Stelsel
Aktif,
41.8%
Stelsel Tidak
Pasif, tahu/tidak
30.1% jawab,
28.1%
“Bagaimana sistem keanggotaan serikat pekerja di media Anda, stelsel pasif atau stelsel
aktif?”
Responden dari media yang memiliki serikat pekerja sebagian
besar (59%) menilai, sebaiknya sistem keanggotaan serikat adalah stelsel
aktif. Sementara responden (21.3%) dari media yang tidak memiliki serikat
pekerja menilai, sistem keanggotaan dalam serikat pekerja sebaiknya juga
stelsel aktif. Sebesar 29% responden dari media yang memiliki serikat
pekerja dan 19.1% responden dari media yang tidak memiliki serikat pekerja
menilai, sistem keanggotaan dalam serikat pekerja sebaiknya stelsel pasif.
60
61. Bab 3 Keberadaan Serikat Pekerja
Grafik 3.11 Sistem Keanggotaan dalam Serikat Pekerja
Base: Ada Serikat Pekerja & Tidak Ada Serikat Pekerja (N= 192)
Ada Serikat Pekerja Tidak Ada Serikat Pekerja
59.0%
Stelsel Aktif
21.3%
29.0%
Stelsel Pasif
19.1%
Tidak tahu/tidak 12.0%
jawab 59.6%
“Menurut Anda, sebaiknya sistem keanggotaan serikat pekerja media berupa stelsel pasif
atau stelsel aktif?”
Menyambung pertanyaan sebelumnya menarik untuk diketahui
bagaimana penilaian responden jika di tempat mereka bekerja setiap pekerja
secara otomatis menjadi anggota serikat pekerja. Ternyata lebih banyak yang
setuju jika setiap pekerja secara otomatis atau diwajibkan menjadi anggota
serikat pekerja. Hal ini tentunya berlawanan jika dibandingkan dengan
hasil sebelumnya di mana lebih banyak responden yang menilai sistem
keanggotaan serikat pekerja sebaiknya adalah stelsel aktif, bukan stelsel
pasif. Artinya meskipun lebih banyak mereka yang menilai sebaiknya sistem
keangotaan stelsel aktif, namun jika diharuskan menjadi anggota serikat
mereka setuju dengan cara tersebut.
Sebesar 35% responden dari media yang memiliki serikat pekerja
dan 33.3% responden dari media tidak memiliki serikat pekerja menyatakan,
tidak setuju jika setiap pekerja diwajibkan menjadi anggota serikat pekerja.
61