1. MAKALAH
"PENDIDIKAN UNTUK SEMUA DAN PENDIDIKAN
SEPANJANG HAYAT"
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Pendidikan
OLEH:
KELOMPOK 2 / KM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Oktober 2011
2. Dalam era globalisasi saat ini, pendidikan memang harus mendapatkan
prioritas. Pendidikan sangatlah penting untuk masa depan anak bangsa. Dengan
adanya perhatian yang serius pada pendidikan, tentu saja sebuah bangsa akan naik
derajatnya. Hal itu karena pembangunan suatu bangsa akan ditentukan oleh
pendidikan. Tunas-tunas bangsalah yang akan membangun sebuah negeri.
Dampak pendidikan yang matang tentu saja membawa hasil kemajuan seperti
yang disebutkan di atas.
Pemerintah dalam hal ini tentu saja harus benar-benar memperhatikan
secara serius persoalan pendidikan. Bangsa yang maju, tidak terlepas dari
kemajuan pendidikannya. Sistem pendidikan yang masih amburadul patut
dibenahi oleh semua pihak yang berwenang tentu saja. Pendidikan untuk
kemajuan, itulah yang harus dicanangkan. Pendidikan untuk kemajuan dalam hal
ini tentu saja bukan untuk golongan atau etnis tertentu, tetapi pendidikan untuk
kemajuan bersama, yaitu kemajuan bangsa dan kemajuan pendidikan itu sendiri.
Pendidikan tak cukup diemban dalam waktu singkat, artinya dalam pendidikan
memerlukan proses, tentu saja proses yang panjang. Proses yang panjang dalam
hal ini bukan berarti sepanjang-panjangnya. Namun, pendidikan disini
memerlukan suatu proses kesabaran, kesadaran. Dalam artian kesabaran,
pendidikan yang memerlukan waktu, hasilnya dapat dirasakan setelah beberapa
tahun. Pendidikan dilaksanakan dengan penuh kesadaran, yaitu bahwa pendidikan
haruslah mendapat ruang kesadaran dari peserta pendidikan itu sendiri. Dalam hal
ini, artinya kesadaran yang tinggi untuk mengenyam pendidikan tentu harus
ditanamkan. Karena hal itu akan menjadi motivasi yang tinggi secara sadar untuk
meningkatkan kualitas kehidupan peserta didik itu sendiri, selain untuk kemajuan
bangsa. Karena selama kita hidup, tentu saja dituntut agar terus belajar.
A. Pendidikan Untuk Semua
Pendidikan Untuk Semua : CIVIL SOCIETY OGANIZATIONS initiative
EDUCATION for ALL (CSOiEFA) adalah konsorsium organisasi sipil yang
peduli akan pentingnya pendidikan untuk semua, terutama untuk perempuan dan
anak-anak perempuan. Lebih dari 40 tahun yang lalu, bangsa-bangsa di dunia,
berbicara melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, menegaskan bahwa:
"Setiap orang memiliki hak untuk pendidikan". Meskipun negara-negara di
3. seluruh dunia mengupayakan untuk menjamin hak pendidikan untuk semua, tetapi
masih saja ditemukan kendala.
Pada saat yang sama, dunia menghadapi masalah yang menakutkan
seperti, beban utang, ancaman stagnasi dan kemunduran ekonomi, pertumbuhan
penduduk yang cepat, pelebaran kesenjangan ekonomi antar bangsa, perang,
pendudukan, perang saudara, kejahatan, kekerasan, kematian yang dapat dicegah
jutaan anak-anak dan meluas ke kerusakan lingkungan. Masalah ini menghambat
upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan belajar dasar. Masalah-masalah ini telah
menyebabkan kemunduran besar dalam pendidikan dasar pada 1980-an di banyak
negara sedang berkembang. Di beberapa negara lain, pertumbuhan ekonomi telah
tersedia untuk membiayai perluasan pendidikan, namun meskipun demikian,
banyak jutaan tetap dalam kemiskinan, tidak mampu bersekolah atau buta huruf.
Di negara-negara industri tertentu juga, penghematan dalam pengeluaran
pemerintah selama tahun 1980-an telah menyebabkan kemerosotan pendidikan.
Akhirnya pada tanggal 5-9 Maret 1990 di Jomtien, Thailand, 115 negara
dan 150 oragnisasi saling bertemu dan mengadakan Konferensi Dunia
membahas Education for All (EFA) atau Pendidikan Untuk Semua (PUS). Dalam
rangka mewujudkan tujuan tersebut, perlu koalisi yang luas dari pemerintah
nasional, masyarakat sipil kelompok, dan lembaga pembangunan seperti
UNESCO dan Bank Dunia. Mereka berkomitmen untuk mencapai enam tujuan
pendidikan yaitu:
1. Memperluas dan meningkatkan perawatan anak usia dini yang komprehensif
dan pendidikan, terutama bagi yang paling rentan dan anak-anak yang
kurang beruntung.
2. Memastikan bahwa pada 2015 semua anak, khususnya anak perempuan, yang
dalam keadaan sulit, dan mereka yang termasuk etnik minoritas, memiliki
akses lengkap dan bebas ke wajib pendidikan dasar yang berkualitas baik.
3. Memastikan bahwa kebutuhan belajar semua pemuda dan dewasa dipenuhi
melalui akses yang adil untuk pembelajaran yang tepat dan program
ketrampilan hidup.
4. 4. Mencapai 50% peningkatan dalam keaksaraan orang dewasa pada tahun
2015, khususnya bagi perempuan, dan akses ke pendidikan dasar dan
pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa secara adil.
5. Menghilangkan perbedaan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada
tahun 2005, dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan dengan
tahun 2015, dengan fokus pada perempuan bahwa mereka dipastikan
mendapat akses penuh dan sama ke dalam pendidikan dasar dengan kualitas
yang baik.
6. Meningkatkan semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulan
semua sehingga diakui dan diukur hasil pembelajaran yang dicapai oleh
semua, khususnya dalam keaksaraan, berhitung dan kecakapan hidup yang
esensial.
Setelah satu dekade, karena lambatnya kemajuan dan banyaknya negara
yang jauh dari keharusan untuk mencapai tujuan tersebut, masyarakat
internasional menegaskan kembali komitmennya terhadap Pendidikan Untuk
Semua di Dakar, Senegal, pada 26-28 April 2000 dan sekali lagi pada bulan
September tahun itu. Pada pertemuan terakhir, 189 negara dan mitra mereka
mengadopsi dua dari delapan tujuan Pendidikan Untuk Semua yang dikenal
dengan nama Millenium Development Goals (MDG) yaitu MDG 2 mengenai
pendidikan dasar dan universal serta MDG 3 mengenai kesetaraan jender dalam
pendidikan pada tahun 2015.
Dalam konferensi tersebut mereka berjanji untuk mencapai "Pendidikan
untuk Semua" pada 2015. Dan untuk memenuhi tujuan tersebut perlu usaha antara
lain:
Menyediakan $11 miliar per tahun untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dan menyekolahkan 72 juta anak.
Meningkatkan kualitas pendidikan dengan pelatihan dan merekrut 18 juta
guru antara sekarang dan 2015, sehingga semua anak memiliki kesempatan
untuk belajar di kelas yang lebih kecil (di bawah 40 anak per guru).
Mendorong pemerintah untuk mendefinisikan dan mengukur standar
minimal pembelajaran, sebagai tonggak utama terhadap peningkatan hasil
pembelajaran dan strategi yang lebih luas untuk menjamin kualitas
5. pendidikan di sekolah-sekolah, sehingga peserta didik terus
mengembangkan keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan dan kontribusi
untuk ekonomi produktif.
Menjangkau semua anak dengan mengembangkan strategi-strategi baru
untuk mencapai sulit dijangkau anak-anak dalam konflik, di daerah
terpencil, dan dari kelompok-kelompok didiskriminasi.
Memperluas kesempatan pendidikan pada semua tingkatan, termasuk
investasi dalam perawatan anak usia dini dan pengembangan, pendidikan
menengah dan penyediaan kesempatan kedua belajar bagi mereka melalui
pendidikan non-formal dan program keaksaraan orang dewasa (gabungan
pendanaan eksternal membutuhkan $ 5 Milyar per tahun).
Menjamin bahwa anak-anak memiliki cukup untuk makan untuk belajar
dan mengembangkan kesehatan melalui penyediaan makanan sekolah atau
program transfer tunai kepada keluarga.
Mendorong pemerintah nasional untuk mempersembahkan paling sedikit
20% dari anggaran nasional untuk pendidikan dan untuk menghapuskan
biaya yang mencegah begitu banyak anak-anak pergi ke sekolah.
Menganjurkan bahwa pemerintah memiliki strategi untuk menjangkau
anak-anak yang paling terpinggirkan, dan bahwa mereka menghadapi
diskriminasi terhadap minoritas dan kelompok-kelompok dikecualikan
lainnya.
Selain konferensi tersebut, ada kegiatan penunjang yang mendukung
Pendidikan Untuk Semua. Kegiatan tersebut antara lain:
1. Global Coordination (Koordinasi Global)
Pada tingkat global, regional dan tingkat nasional, UNESCO memperdalam
kemitraan dan aliansi, membangun konsensus dan menyelaraskan mitra kontribusi
dan partisipasi. Mitra PUS dalam upaya terkoordinasi ini termasuk pemerintah,
organisasi internasional, donor bilateral dan multilateral, masyarakat sipil dan
sektor swasta.
2. The High-Level Group (Perkumpulan Tingkat Tinggi )
Diselenggarakan setiap tahun oleh Direktur Jenderal UNESCO, dengan
diikuti oleh sekitar tiga puluh Menteri Pendidikan dan Kerjasama Internasional,
6. kepala badan-badan pembangunan dan perwakilan dari masyarakat sipil maupun
sektor swasta. Perannya adalah untuk mempertahankan dan mempercepat
momentum politik yang diciptakan pada Forum Pendidikan Dunia dan berfungsi
sebagai tuas untuk mobilisasi sumberdaya.
3. The Working Group on Education for All (Kelompok Kerja PUS)
Kelompok Kerja Pendidikan Untuk Semua memberikan bimbingan teknis
dan mempromosikan pertukaran informasi antara semua mitra dalam Pendidikan
Untuk Semua. Kelompok ini terdiri dari wakil-wakil dari semua pemangku
kepentingan kunci PUS.
4. The Global Action Plan (Rencana Aksi Global)
Rencana Aksi Global adalah strategi global yang dikembangkan untuk
memperbaiki koordinasi tingkat negara yang menuju Pendidikan Untuk Semua.
Rencana ini bertujuan untuk menjelaskan peran dari lima lembaga internasional
menjadi ujung tombak gerakan EFA global (UNDP, UNESCO, UNFPA, UNICEF
dan Bank Dunia) dan memastikan mereka terkoordinasi pada aksi bersama di
tingkat global. Pada akhirnya, hal itu bertujuan untuk mencapai lebih baik dan
lebih bertarget di lapangan maupun di tingkat negara.
5. The EFA Global Monitoring Report (Laporan Pengawasan Global PUS)
Laporan Pengawasan Global tahunan adalah laporan mengenai kemajuan
negara-negara dan lembaga membuat arah tujuan PUS dengan cara menyediakan
data terbaru yang tersedia bersama dengan analisis mendalam. Laporan ini
mencakup Indeks Pembangunan PUS yang mengukur sejauh mana pertemuan
negara-negara tujuan PUS khususnya di pendidikan dasar, keaksaraan dewasa,
paritas gender dan kualitas.
6. EFA Global Action Week (Minggu Aksi Global PUS)
Sebuah kampanye advokasi di seluruh dunia yang diselenggarakan setiap
tahun pada akhir April untuk merayakan ulang tahun Forum Pendidikan Dunia
yang diselenggarakan pada tahun 2000 di Dakar. Ini bertujuan untuk memobilisasi
pemerintah dan masyarakat internasional untuk memenuhi janji mereka untuk
mencapai Pendidikan Untuk Semua pada tahun 2015.
7. Pendidikan Untuk Semua di Indonesia
Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar dalam 20
tahun terakhir ini. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah
mencapai 94 persen. Tapi Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan
hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus
dihadapi, masalah tersebut antara lain:
- Anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
- Kualifikasi guru yang masih kurang.
- Metode pengajaran yang tidak efektif. Yaitu masih berorientasi kepada
guru dan anak didik tidak diberi kesempatan memahami sendiri.
- Manajemen sekolah yang buruk
- Kurangnya keterlibatan masyarakat.
- Kurangnya akses pengembangan dan pembelajaran usia dini bagi sebagian
besar anak usia 3 sampai 6 tahun terutama anak-anak yang tinggal di
pedalaman dan pedesaan.
- Alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai.
- Biaya pendidikan yang tinggi.
Untuk mencapai tujuan Pendidikan Untuk Semua, pemerintah Indonesia
dibantu oleh UNICEF dan UNESCO melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:
1. Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat
UNICEF mendukung langkah-langkah pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan akses pendidikan dasar melalui Sistem Informasi Pendidikan
Berbasis Masyarakat. Sistem ini memungkinkan penelusuran semua anak usia di
bawah 18 tahun yang tidak bersekolah.
2. Program Wajib Belajar 9 tahun
Dalam upayanya mencapai tujuan “Pendidikan untuk Semua” pada 2015,
pemerintah Indonesia saat ini menekankan pelaksanaan program wajib belajar
sembilan tahun bagi seluruh anak Indonesia usia 6 sampai 15 tahun. Dalam hal
ini, UNICEF dan UNESCO memberi dukungan teknis dan dana.
3. Program Menciptakan Masyarakat Peduli Pendidikan Anak (CLCC).
Bersama dengan pemerintah daerah, masyarakat dan anak-anak di delapan
propinsi di Indonesia, UNICEF mendukung program Menciptakan Masyarakat
8. Peduli Pendidikan Anak (CLCC). Proyek ini berkembang pesat dari 1.326
sekolah pada 2004 menjadi 1.496 pada 2005. Kondisi ini membantu 45.454 guru
dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih menantang bagi sekitar 275.078
siswa.
B. Pendidikan Sepanjang Hayat
Pendidikan sepanjang hayat mulai aktual saat topik itu dilontarkan oleh
UNESCO sebagai pandangan tentang pendidikan yang mengantisipasi perubahan-
perubahan yang ada di masyarakat seluruh dunia dan negara berkembang,
UNESCO dan lembaga internasional lainnya mulai melihat problem-problem
ketertinggalan, kemiskinan hanya dapat diatasi dengan pendidikan dalam format
yang menyesuaikan kebutuhan dan dikenakan pada berbagai kelompok umur
termasuk orang dewasa.
UNESCO Institute for Education (UIE Hamburg) menetapkan suatu
definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus:
1)Meliputi seluruh hidup setiap individu
2)Mengarah kepada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan
penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang
dapat meningkatkan kondisi hidupnya.
3)Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment)
setiap individu.
4)Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
5)Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi,
termasuk yang formal, non-formal dan informal.
Dalam latar pendidikan seumur hidup, proses belajar-mengajar di sekolah
seyogyanya mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan
peserta didik dengan efisien dan efektif, dan serantak dengan itu, meningkatkan
kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis dari belajar sepanjang
hayat.
Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat
harus dirancang dan diimplementasi dengan memperhatikan dua dimensi
(Hameyer, 1979:67-81; Sulo Lipu La Sulo, 1990:28-30) sebagai berikut:
9. a. Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: Di samping
keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan persekolahan, harus pula
terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Termasuk dalam
dimensi vertikal itu antara lain pengkajian tentang:
1) Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik ,
termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa depan dan pengintegrasian
masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum.
2) Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan: kurikulum seyogyanya
memungkinkan antisipasi terhadap perubahan sosial-kebudayaan itu
karena peserta didik justru akan hidup dalam sosial-kebudayaan yang
telah berubah setelah menamatkan sekolahnya.
3) “The forecasting curriculum” yakni perangcangan kurikulum berdasarka
suatu prognosi, baik tentang perilaku peserta didik pada saat menamatkan
sekolahnya, pada saat hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku,
maupun pada saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa
depan.
4) Keterpaduan bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan, terutama
dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sedang dipelajari
dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide
bidang studi itu.
5) Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri
maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun
dirinya sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya.
6) Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik,
yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar, dan demikian
seterusnya.
7) Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik
harus dapat melihat kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap
mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang terbuka baginya,
mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadian, dan sebagainya.
10. b. Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah. Termasuk
dalam dimensi horizontal antara lain:
1) Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di
luar sekolah menjadi obyek refleksi teoritis di dalam bahan ajaran di
sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalan-persoalan
pokok yang terdapat di luar sekolah.
2) Memperluas kegiatan belajar ke luar sekolah: kehidupan di luar sekolah
dijadikan tempat kajian empiris, sehingga kegiatan belajar-mengajar
terjadi di dalam dan di luar sekolah.
3) Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar-mengajar,
baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah maupun
dalam kegiatan belajar di luar sekolah.
Saat negara-negara berkembang mulai menerapkan pendidikan dasar
(basic education) yang perwujudannya adalah wajib belajar, maka mulai terasa
bahwa untuk kelompok masyarakat yang kurang beruntung perlu dibantu dengan
format pendidikan sepanjang hayat.
Arti luas pendidikan sepanjang hayat (Lifelong Education) adalah bahwa
pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap berlanjut
sepanjang hidupnya. Pendidikan sepanjang hayat menjadi semakin tinggi
urgensinya pada saat ini karena, manusia perlu terus menerus menyesuaikan diri
supaya dapat tetap hidup secara wajar dalam lingkungan masyarakatnya yang
selalu berubah.
Di Indonesia perwujudan belajar sepanjang hayat telah dijamin dalam
undang-undang. Hal tersebut tertuang pada pasal 4 UU No. 20 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia, nilai keagamaan dan nilai kultural
dan kemajemukan bangsa (ayat 1), pendidikan diselenggarakan sebagai satu
kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna (ayat 2),
pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (pasal 3).
11. Sekolah Sebagai Pusat Belajar Sepanjang Hayat Untuk Semua
Peran sekolah dalam mewujudkan belajar sepanjang hayat. Hal ini
dilakukan melalui pengembangan kerja sama antara sekolah dengan lembaga
keluarga, lembaga bisnis, lembaga lain dalam masyarakat dan masyarakat itu
sendiri. Kaitannya belajar sepanjang hayat, wajib belajar harus ditujukan pada
provisi berbasis pengetahuan, dan pengembangan meta skill untuk belajar. Oleh
karena itu wajib belajar harus memberikan pengetahuan umum untuk
pengembangan kemampuan kognitif, afektif dan perolehan keterampilan belajar
yang diperlukan untuk belajar sepanjang hayat. Sementara itu lembaga keluarga
dapat berfungsi sebagai dukungan dan stimulus untuk meningkatkan pemahaman
makna dan nilai belajar sepanjang hayat. Sebagai contoh, mengembangkan
harapan tinggi pada anak, impian masa depan, penghargaan terhadap kerja keras
sebagai kunci keberhasilan, ketaatan pada aturan rumah tangga, menjalin
komunikasi dengan sekolah. Selain itu sekolah dapat menumbuhkan kesempatan
belajar sepanjang hayat melalui kerja sama dengan keluarga. Hal lain yang
dipandang penting untuk dikembangkan adalah kerjasama dengan dunia bisnis.
Kerjasama ini dapat dikembangkan pada tingkat pengambilan kebijakan,
managemen sekolah, pelatihan para guru, pengiriman anak pada lembaga kerja,
dan pembelajaran di kelas. Untuk lebih mengoptimalkan perwujudan belajar
sepanjang hayat, disamping kerjasama seperti dikemukakan di atas, lembaga
sekolah juga perlu membuka diri untuk menjalin kerjasama dengan berbagai
potensi budaya masyarakat yang sangat beragam, dan lembaga-lembaga lain yang
ada dimasyarakat untuk secara bersama-sama memberi kesempatan belajar bagi
semua peserta didik dan masyarakat.
Kontribusi SMP Terbuka terhadap belajar sepanjang hayat Di Indonesia
SMP Terbuka merupakan bagian dari sistem pendidikan formal yang
ditujukan bagi anak didik usia sekolah SMP yang oleh karena sesuatu hal tidak
dapat menempuh pendidikannya. Penyelenggaraan program ini didasarkan pada
satu premise bahwa untuk mencapai hasil yang sama pada peserta didik yang
kondisi berbeda maka diperlukan perlakuan yang berbeda pula. SMP Terbuka ini
memiliki beberapa keuntungan :
12. a. Mengatasi hambatan geografis
b. Mengoptimalkan sumber belajar lokal
c. Mengatasi kekurangan ruang kelas dan guru
d. Inklusif
e. Mengembangkan kemampuan belajar mandiri
f. Mengembangkan konsep belajar sepanjang hayat
Perkembangan belajar sepanjang hayat tidak terlepas dari perkembangan
masyarakat. Oleh karena itu, untuk memahami dinamika belajar sepanjang hayat
harus diletakkan dalam konteks sosio-kultural-ekonomi-politik dan demogratif.
Dilihat dari segi sosio-ekonomi, secara kasar negara anggota APEC dapat kita
klasifikasi menjadi 3, yaitu negara maju (Amerika, Kanada, dan Australia), negara
maju baru (Taiwan, Hongkong, Korea, Singapura, Malaysia, Cina, New Zealand),
dan negara sedang berkembang (Indonesia, Philipina, Thailand).
Terlepas dari perbedaan yang ada, negara-negara APEC memiliki visi, dan
komitmen yang sama. Mereka berupaya untuk mewujudkan belajar sepanjang
hayat. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang ditempuh, walaupun dengan
kondisi yang berbeda, semua negara berupaya untuk mewujudkan pendidikan
yang demokratis, terbuka, untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi siapa saja,
kapan saja dan dimana saja.
Secara interpretatif, melihat bahwa kebijakan atau program belajar
sepanjang hayat belum memadai mengingat tantangan ke depan yang semakin
kompleks. Untuk mewujudkan belajar sepanjang hayat, secara spekulatif ada
beberapa pemikiran yang harus diperhatikan diantaranya adalah :
a. Pengakuan pengalaman belajar melalui proses akreditasi dan transfer.
Sebagaimana bahwa hasil belajar tidak terbatasi oleh tempat dan waktu
kegiatan belajar dilaksanakan. Di samping itu pengakuan terhadap
pengalaman belajar akan dapat meningkatkan harga dan kepercayaan diri,
meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses belajar. Cara ini nampaknya
patut dipertimbangkan bahkan mungkin segera untuk ditindaklanjuti.
b. Penyelenggaraan program belajar sepanjang hayat secara regional. Bahwa
untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam pengembangan sumber
daya manusianya, perusahaan multinasional sebaiknya melakukannya secara
13. regional. Walaupun ide dasarnya adalah untuk memberikan pelatihan tenaga
kerja di sektor industri, hal ini dapat dikembangkan untuk pemenuhan
kebutuhan belajar secara luas. Cara ini nampaknya perlu mendapat perhatian.
Di samping aspek ekonomis, asebilitas, fleksibilitas, avaliabilitas adalah
aspek lain yang patut dipertimbangkan.
c. Pengembangan kerjasama sekolah-masyarakat dan keluarga. Perlunya
sekolah menjadi pusat pengembangan. Walaupun dengan dimensi yang
berbeda memandang perlu adanya keterpaduan antara lembaga sekolah,
keluarga dan masyarakat.
d. Penggunaan teknologi informasi dan multimedia. Seiring dengan kemajuan
IPTEKS, berkembangnya kebutuhan dan motivasi belajar, dan
keterjangkauan geografis, media ini dipandang sangat relevan. Media ini akan
semakin membuka kesempatan dan askes belajar bagi semua lapisan
masyarakat.