SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  53
PERBEDAAN KEJADIAN FLUOR ALBUS PATOLOGIS ANTARA YANG
MENGGUNAKAN DENGAN YANG TIDAK MENGGUNAKAN SABUN
ANTISEPTIK DAUN SIRIH PADA WUS DI DESA POJOK WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SUKORAME KEDIRI TAHUN 2011.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sabun Antiseptik Daun Sirih
2.1.1 Pengertian
Sabun Antiseptik Daun Sirih adalah sabun dari daun sirih yang memiliki kandungan
minyak atsiri yang berfungsi sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006).
2.1.2 Kandungan Kimia Sabun Antiseptik Daun Sirih
Sabun antiseptik daun sirih mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri daun sirih
mengandung fenol dan kavinol. Fenol yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih
merupakan senyawa golongan alkohol, yang memiliki daya antiseptik lima kali lebih
lama dari pada senyawa fenol biasa. Senyawa Kavinol, akan semakin membantu
sebagai antiseptik. Selain itu, sabun anti septik daun sirih mengandung arecolin,
euginol, tannin, pati, vitamin c yang berfungsi sebagai antioksida, anti jamur atau
bakteri (Dalimartha, 2006).
2.1.3 Manfaat Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Moeljanto (2003), sabun antiseptik daun sirih memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Antiseptik.
2. Antioksida.
3. Anti jamur atau bakteri.
4. Menjaga PH atau derajat keasaman agar tetap netral.
5. Mengatasi masalah keputihan.
2.1.4 Efek Samping Sabun Antiseptik Daun Sirih
Penggunaan sabun pembersih vagina secara berlebihan bisa mengurangi keasaman
vagina. Secara alamiah, dalam setiap vagina terdapat bakteri baik (flora normal vagina).
Flora normal itu berfungsi mengusir kuman yang merugikan. Pemakaian sabun vagina
berlebihan justru membunuh bakteri baik yang kemudian mempermudah kuman masuk
ke vagina.
Sabun antiseptik daun sirih, sebaiknya hanya digunakan pada saat tertentu saja, seperti
saat sesudah menstruasi atau setelah hubungan seks. Jadi sebenarnya tidak
diperlukan bahan khusus untuk membersihkannya, cukup dengan air bersih.
Namun, untuk kasus tertentu, pada keputihan gatal, produk pembersih dapat
digunakan. Karena biasanya sabun pembersih tersebut mengandung antiseptik yang
berfungsi untuk membunuh kuman. Produk pembersih daerah kewanitaan hendaknya
dipilih yang memiliki pH kurang lebih sama dengan pH organ intim wanita yakni sekitar
4,5. Pada pH tersebut, kuman-kuman tidak dapat tumbuh dan berkembang biak
(Fadilah, 2010).
2.1.5 Cara Kerja Sabun Antiseptik Daun Sirih
Nurswida (2010) membuktikan bahwa ekstrak daun sirih yang terkandung dalam sabun
antiseptik daun sirih, pada konsentrasi 3,25% sudah terjadi penghambatan
pertumbuhan candida albican, tetapi hambatan total (tidak didapatkan koloni kuman)
baru terjadi pada konsentrasi 7,5%. Efek hambat ekstrak daun sirih yang terkandung
dalam sabun antiseptik daun sirih terhadap pertumbuhan candida albican, disebabkan
komponen derivate fenol, seperti eugenol, isueugenol, allypirocathechol, chavichol,
safrol, anethole, cavibetol, carvacrol, betlefenol. Fenol adalah denaturan protein yang
poten. Mekanisme kerja phenolic melalui perusakan membran plasma, inaktivasi enzim,
dan denaturasi protein, sehingga kuman mati.
2.2 Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
2.2.1 Pengertian
Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) adalah sebuah tanaman obat (Fitofarmaka)
(Dalimartha, 2006).
Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) adalah jenis tanaman memanjat dengan tinggi 5 – 15
meter (Bangun, 2008).
2.2.2 Klasifikasi
Menurut Dalimartha (2006), klasifikasi tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Divisi :Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper Betle
2.2.3 Morfologi Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
Menurut Dalimartha (2006), Morfologi tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai berikut:
1. Daun
Bentuk daun sirih adalah tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh
berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas.
Panjangnya sekitar 5 - 8 cm dan lebar 2 - 5 cm.
2. Batang
Batang sirih berwarna cokelat kehijauan,berbentuk bulat, beruas dan merupakan
tempat keluarnya akar.
3. Bunga
Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat daun pelindung ± 1 mm berbentuk
bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang
sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 1,5 - 6 cm dimana
terdapat kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan.
4. Akar
Akarnya tunggang, bulat dan berwarna cokelat kekuningan.
5. Buah
Buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-abuan.
Gambar 2.1 Tanaman Daun Sirih Jawa (Piper Betle).
Gambar 2.2 Tanaman Daun Sirih Merah (Piper Betle).
2.2.4 Sifat Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
Menurut Dalimartha (2006), sifat tanaman daun sirih (Piper Betle) adalah Hangat dan
pedas.
2.2.5 Perkembangbiakan
Menurut Ratna (2008), cara perkembangbiakan tanaman sirih merah (Piper Betle) lebih
umum dikembangbiakkan secara vegetatif atau aseksual. Secara alami tanaman sirih
merah sulit diperbanyak dengan biji. Perbanyakan dengan cara tersebut mempunyai
keuntungan yang terpenting adalah mewarisi sifat genetik dari tanaman induknya.
Perkembangbiakan secara vegetatif, antara lain :
1. Stek
Menggunakan potongan organ vegetatif (akar, batang, daun, dll) tanaman yang
digunakan untuk perbanyakan tanaman, dengan maksud agar bagian tersebut
membentuk akar.
2. Cangkok (Marcottage atau Air layerage)
Perbanyakan sirih merah dapat juga dilakukan dengan cara mencangkok. Cangkok
pada prinsipnya adalah mengusahakan perakaran dari suatu cabang tanaman tanpa
memotong cabang tersebut dari tanaman induknya. Perbanyakan dengan cara ini
memiliki kelebihan diantaranya, tanaman memiliki sifat-sifat unggul tanaman induknya
dan tanaman lebih cepat berproduksi.
3. Merunduk (Layering)
Perbanyakan sirih merah ini dapat pula menggunakan sistem runduk. Prinsip dari
perundukan adalah merangsang (menstimulasi) terbentuknya akar atau tunas sebelum
dipisahkan dari induknya.
2.2.6 Kandungan Kimia
Menurut Dalimartha (2006), kandungan kimia tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai
berikut:
1. Fenol atau Kavikol
Fenol yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih merupakan senyawa golongan alkohol,
yang memiliki daya antiseptik lima kali lebih lama dari pada senyawa fenol biasa.
Senyawa Kavinol, akan semakin membantu sebagai antiseptik. Pada minyak atsiri daun
sirih (Piper Betle), mengandung senyawa Fenol dan Kavinol.
2. Arecoline
Zat ini terdapat pada seluruh bagian tanaman daun sirih (Piper Betle). Zat ini
bermanfaat untuk merangsang saraf pusat dan daya pikir, meningkatkan gerakan
peristaltik, dan meredakan dengkuran.
3. Eugenol
Eugenol, terdapat pada daun, yang mampu mencegah ejakulasi dini, membasmi jamur
Candida albicans, dan bersifat analgesik (meredakan rasa nyeri).
4. Tannin
Tannin, juga terdapat pada daun, yang bermanfaat mengurangi sekresi cairan pada
vagina, melindungi fungsi hati, dan mencegah diare.
5. Gula
6. Pati
Pada minyak atsiri daun sirih (Piper Betle), mengandung pati.
7. Asam Amino
8. Tiamin
9. Riboflavin dan Vitamin C (Asam Askorbat)
2.2.7 Cara Pemanfaatan Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
Menurut penelitian dari Sjoekoer, dkk (Peneliti Mikrobiologi dari FK Unibraw) bahwa
infusum sirih dapat menghambat pertumbuhan E.coli, Staphylococcus koagulase positif,
Salmonella Typhosa, bahkan Pseudomonas aeruginosa yang kerap kali resisten
terhadap antibiotik. Menurut penelitian penulis, sebenarnya pada konsentrasi 3,25%
sudah terjadi penghambatan pertumbuhan Candida albicans, tetapi hambatan total
(tidak didapatkan koloni kuman) baru terjadi pada konsentrasi 7,5% (Nurswida, 2010).
Selain hal tersebut di atas, menurut Nurswida (2010), bahwa infusum sirih memiliki
manfaat lain. Manfaat tersebut yaitu, menyebabkan kematian kuman, yang disebabkan
karena adanya perusakan membran plasma, inaktivasi enzim, dan denaturasi protein.
Menurut Hariana (2006), cara memanfaatkan tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai
berikut:
1. Diminum
Hasil air rebusan tanaman daun sirih (Pepir Betle), setelah dingin, dapat diminum.
2. Irigasi
Digunakan untuk membasuh vagina.
3. Digulung
Untuk mengobati mimisan pada hidung.
4. Dikunyah
Untuk mencegah bau mulut.
2.2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan (Pemanfaatan) Tanaman Daun Sirih (Piper
Betle)
Menurut Redaksi Agromedia (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi kecenderungan
pemanfaatan tanaman obat adalah, sebagai berikut:
1. Pengetahuan
Pengetahuan akan manfaat atau khasiat daun sirih (Piper Betle) bagi kesehatan serta
efek samping pemakaian obat modern.
2. Sosial Ekonomi
Harga obat-obatan buatan pabrik, saat ini semakin mahal, sehingga masyarakat mulai
menerima alternatif yang mudah, murah tetapi memiliki khasiat yang hampir sama.
3. Kepercayaan
Alasan pemakaian obat tradisional, merupakan kebiasaan keluarga, mudah didapat dan
murah serta lebih yakin akan khasiatnya.
2.3 Keputihan (Fluor Albus)
2.3.1 Pengertian
Keputihan (Leukorea, White Discharge, Fluor Albus) adalah gejala penyakit yang
ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi, dan bukan berupa darah (Indarti,
2009).
Keputihan (Fluor Albus) adalah keluarnya cairan dari vagina, selain darah. Sumber
cairan ini dapat berasal dari sekresi vulva, sekresi serviks atau sekresi tuba fallopii yang
dipengaruhi ovarium (Mansjoer, 2001).
Keputihan (Fluor Albus) adalah cairan yang keluar dari vagina, bukan darah dengan
sifat yang bermacam-macam, baik warna, bau maupun jumlahnya (Manuaba, 2008).
2.3.2 Jenis Fluor Albus
Menurut Manuaba (2008), jenis Fluor Albus dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Fluor Albus fisiologis.
2. Fluor Albus patologis.
2.3.3 Ciri atau Klasifikasi Fluor Albus
2.3.3.1. Fluor Albus Fisiologis
Tidak gatal dan tidak berbau (Boyke, 2010). Selain itu, warnanya putih atau bening, sifat
khas Fluor Albus seperti krim (Rabe, 2002). Pengaruh estrogen dari plasenta terhadap
uterus dan vagina janin, terdapat pada bayi baru lahir sampai umur ± 10 hari; saat
menarche karena pengaruh estrogen, biasanya hilang dengan sendirinya, rangsangan
seksual sebelum dan pada waktu koitus, akibat transudasi dinding vagina; saat ovulasi,
berasal dari sekret kelenjar serviks uteri yang menjadi lebih encer; saat kehamilan;
perubahan mood (perasaan hati); stres; saat pemakaian kontrasepsi hormonal;
pembilasan vagina secara rutin.
2.3.3.2 Fluor Albus Patologis
Jumlah meningkat atau banyak; berubah warna ( putih keabu-abuan atau hijau
kekuning-kuningan dengan gelembung, kekuningan dan purulen, bias berwarna
kecoklatan atau diwarnai dengan darah); sifat khas Fluor Albus (kental dengan plak,
sangat banyak, berbusa dan purulen atau lengket); jika infeksi berasal dari jamur, Fluor
Albus tidak berbau, jika infeksi berasal dari bakteri, parasit atau virus, atau infeksi flora
campuran, baunya agak atau sangat menusuk; gatal (Rabe, 2002).
2.3.4 Penyebab Fluor Albus
2.3.4.1. Faktor Endogen
Menurut Sugi (2009), pada bayi atau anak, yang menjadi penyebab keputihan (Fluor
Albus) yaitu kelainan pada lubang kemaluan, diantaranya:
1. Bibir kemaluan belum berkembang
2. Kemaluan belum ditumbuhi rambut
3. Letak lubang kemaluan pada bayi atau anak masih dekat dengan anus
4. pH atau keasaman vagina cenderung netral dan basa (alkalis)
2.3.4.2. Faktor Eksogen
1. Infeksi
1) Bakteri
Menurut Ramayanti (2004), faktor eksogen karena infeksi bakteri, disebabkan oleh
bakteri seperti di bawah:
a. Gonococcus
Cairan yang keluar dari vagina pada infeksi yang lebih dikenal dengan nama
Gonorrhoea ini berwarna kekuning-kuningan yang sebetulnya merupakan nanah yang
terdiri dari sel darah putih yang mengandung Neisseria gonorrhoea berbentuk
pasangan dua-dua pada sitoplasma sel. Gambaran ini kadang dapat dilihat pada
pemeriksaan Pap smear, tetapi biasanya bakteri ini diketahui pada pemeriksaan
sediaan apus dengan pewarnaan gram. Bakteri ini mudah mati, bila terkena sabun,
alkohol, detergen dan sinar matahari. Cara penularan penyakit kelamin ini melalui
senggama.
b. Clamydia trakhomatis
Bakteri ini sering menyebabkan penyakit mata yang dikenal dengan trakhoma. Bakteri
ini dapat juga ditemukan pada cairan vagina dan terlihat melalui mikroskop setelah
diwarnai dengan pewarnaan giemsa. Bakteri ini membentuk suatu badan inklusi yang
berada dalam sitoplasma sel-sel vagina. Pada pemeriksaan Pap smear sukar
ditemukan adanya perubahan sel akibat infeksi Clamydia ini karena siklus hidupnya
yang tidak mudah dilacak.
c. Gardnerella vaginalis
Gardnerella vaginalis menyebabkan peradangan vagina yang tidak spesifik dan kadang
dianggap sebagai bagian dari mikro organisme normal dalam vagina karena seringnya
ditemukan. Bakteri ini biasanya mengisi penuh sel epitel vagina dengan membentuk
bentukan khas dan disebut sebagai Clue sel. Gardnerella vaginalis menghasilkan
asam amino yang diubah menjadi senyawa amin yang menimbulkan bau amis seperti
ikan. Cairan vagina tampak berwarna keabu-abuan.
d. Treponema Pallidum
Bakteri ini merupakan penyebab penyakit Sifilis. Pada perkembangan penyakit dapat
terlihat sebagai kutil-kutil kecil di vulva dan vagina yang disebut kondiloma lata. Bakteri
berbentuk spiral dan tampak bergerak aktif pada pemeriksaan mikroskopis lapangan
gelap.
e. Corynebacterium Vaginae
Bakteri ini menyebabkan Servisitis dan Vaginitis. Cairan vagina berwarna seperti susu,
kental, lengket, sangat banyak, tidak berbau (Mansjoer, 2001).
2) Jamur
Jamur yang menyebabkan Fluor Albus adalah dari spesies Candida albican. Cairan
yang keluar dari vagina biasanya encer, berwarna putih dan sering disertai rasa gatal,
berbau apek, tampak kemerahan akibat proses peradangan (Mansjoer, 2001). Dengan
KOH 10% tampak sel ragi (Blastospora) atau hifa semu. Beberapa keadaan yang ada
merupakan tempat yang subur bagi pertumbuhan jamur ini adalah kehamilan, penyakit
Diabetes mellitus, pemakai pil kontrasepsi. Suami atau pasangan penderita biasanya
juga akan menderita penyakit jamur ini. Keadaan yang saling menularkan antara
pasangan suami istri ini disebut sebagai fenomena pingpong (Ramayanti, 2004).
3) Parasit
Etiologi Fluor Albus terbanyak karena parasit biasanya disebabkan Trichomonas
vaginalis. Parasit ini berbentuk lonjong dan mempunyai bulu getar dan dapat bergerak
berputar-putar dengan cepat. Gerakan ini dapat dipantau dengan mikroskop. Cara
penularan penyakit ini melalui senggama. Walaupun jarang dapat juga ditularkan
melalui perlengkapan mandi, seperti handuk atau bibir kloset. Cairan yang ke luar dari
vagina biasanya banyak, berbuih menyerupai air sabun, berwarna kuning kehijauan
dan berbau busuk. Fluor Albus oleh parasit ini tidak terlalu gatal, tetapi vagina tampak
kemerahan dan timbul rasa nyeri bila ditekan atau perih bila berkemih (Ramayanti,
2004).
4) Virus
Fluor Albus akibat infeksi virus sering disebabkan oleh Kondiloma akuminata dan
Herpes simpleks tipe 2. Kondiloma ditandai dengan tumbuhnya kutil-kutil yang kadang
sangat banyak dan dapat bersatu membentuk jengger ayam yang berukuran besar.
Penyebabnya adalah Human Papiloma Virus. Cairan di vagina sering berbau, tanpa
rasa gatal. Penyakit ini ditularkan melalui senggama dengan gambaran secara klinis
menjadi lebih buruk bila disertai dengan gangguan sistem imun tubuh, seperti
kehamilan, pemakaian steroid yang lama seperti pada pasien dengan gagal ginjal atau
setelah transplantasi ginjal, serta penderita AIDS.
Virus lain yang menyebabkan Fluor Albus adalah virus Herpes simpleks tipe 2, yang
juga merupakan penyakit yang ditularkan melalui senggama. Pada awal infeksi tampak
kelainan kulit seperti melepuh terkena air panas yang kemudian pecah dan
menimbulkan luka seperti borok, dan pasien merasa sakit (Ramayanti, 2004).
5) Neoplasma atau Keganasan
Kanker akan menyebabkan Fluor Albus patologis akibat gangguan pertumbuhan sel
normal yang berlebihan sehingga menyebabkan sel bertumbuh sangat cepat secara
abnormal dan mudah rusak, akibatnya terjadi pembusukan dan perdarahan akibat
pecahnya pembuluh darah yang bertambah untuk memberikan makanan dan oksigen
pada sel kanker tersebut. Pada keadaan seperti ini, akan terjadi pengeluaran cairan
yang banyak disertai bau busuk akibat terjadinya proses pembusukan tadi dan sering
kali diserta oleh adanya darah yang tidak segar (Ramayanti, 2004).
6) Erosi
Wanita pada masa reproduksi, umumnya epitel kolumner endoserviks lebih keluar
kearah porsio sehingga tampak bagian merah mengelilingi bagian ostium uteri
internum. Bila daerah merah ini terkelupas, akan memudahkan terjadinya infeksi
penyerta dari flora normal di vagina sehingga timbul Fluor Albus. Menurut Harmperl dan
Kaufman (1959), penyebab erosi ini tidak diketahui, kemungkinan terjadi akibat
kenaikan estrogen (Ramayanti, 2004).
2. Non Infeksi
Menurut Maharani (2009), faktor eksogen karena non infeksi, sebagai berikut:
1) Benda Asing
Adanya benda asing di dalam vagina, baik disengaja atau tidak, seperti tertinggalnya
kondom atau pemakaian kontrasepsi IUD. Jika rangsangan ini menimbulkan luka, akan
sangat mungkin terjadi infeksi penyerta dari flora normal yang berada di dalam vagina
sehingga timbul Fluor Albus.
2) Personal Hygiene
Cebok tidak bersih, celana dalam yang lembab, sehingga menibulkan tumbuhnya
jamur, yang merupakan penyebab Fluor Albus.
3) Sistem Imun Tubuh
Beberapa penelitian telah dilakukan tentang hubungan Fluor Albus dan sistem imun
tubuh. Sistem imun (imunologi) adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari kekebalan
tubuh serta interaksinya dengan benda asing (imunogen atau antigen). Kekebalan
(imunitas) tubuh terhadap benda asing, diperlukan untuk melindungi tubuh kita dari
berbagai patogen.
Sistem imun terdiri atas komponen sel dan molekul yang tersebar di seluruh tubuh dan
bekerja sama satu dengan yang lainnya secara terkoordinir. Peranan sistem imun, jelas
terlihat pada penyakit infeksi, reaksi dalam penolakan jaringan dalam transplantasi,
eliminasi sel tumor, dan lain-lain. Gangguan sistem imun yang mengakibatkan ketidak
seimbangan respon imun, juga dapat menimbulkan kelainan, seperti terlihat pada reaksi
hipersensitifitas, alergi atau penyakit auto imun.
4) Kelainan endokrin atau hormon
Kelainan endokrin terjadi pada penderita Diabetes mellitus.
5) Menopouse
Fluor Albus pada menopause, tidak semuanya patologis. Saat menopause, sel-sel pada
serviks uteri dan vagina mengalami hambatan dalam pematangan sel akibat tidak
adanya hormon pemacu, yaitu estrogen. Vagina menjadi kering dan lapisan sel menjadi
tipis, kadar glikogen menurun dan basil doderlein berkurang. Keadaan ini memudahkan
terjadinya infeksi karena tipisnya lapisan sel epitel, sehingga mudah menimbulkan luka
dan akibatnya timbul Fluor Albus.
6) Kondisi Tubuh (Stres)
Kondisi tubuh yang selalu tegang, cemas, dan kurang istirahat, dapat menyebabkan
Fluor Albus.
7) Kelelahan kronis
2.3.5. Diagnosis Keputihan (Fluor Albus)
Menurut Ramayanti (2004), diagnosis keputihan (Fluor Albus), sebagai berikut:
1. Anamnesa
Dalam anamnesa, yang harus diperhatikan, antara lain:
1) Usia
Bayi wanita atau pada wanita dewasa, Fluor Albus yang terjadi mungkin karena
pengaruh estrogen yang tinggi dan merupakan Fluor Albus yang fisiologis. Wanita
dalam usia reproduksi harus dipikirkan kemungkinan suatu penyakit hubungan seksual
(PHS) dan penyakit infeksi lainnya. Pada wanita dengan usia yang lebih tua, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya keganasan, terutama kanker serviks.
2) Metode Kontrasepsi Yang Dipakai
Pada penggunaan kontrasepsi hormonal, dapat meningkatkan sekresi kelenjar serviks.
Keadaan ini dapat diperberat dengan adanya infeksi jamur. Pemakaian IUD juga dapat
menyebabkan infeksi atau iritasi pada serviks yang merangsang sekresi kelenjar
serviks menjadi meningkat.
3) Kontak Seksual
Untuk mengantisipasi Fluor Albus akibat PHS, seperti Gonorrhoea, Kondiloma
akuminata, Herpes genitalis, dan sebagainya. Hal yang perlu ditanyakan adalah kontak
seksual terakhir.
4) Perilaku
Pasien yang tinggal di asrama bersama teman-temannya, kemungkinan tertular
penyakit infeksi yang menyebabkan Fluor Albus cukup besar. Contoh kebiasaan yang
kurang baik adalah tukar-menukar alat mandi atau handuk.
5) Sifat Fluor Albus
Yang harus ditanyakan adalah jumlah, bau, warna, konsistensinya, keruh atau jernih,
ada tidaknya darah, frekuensi, dan telah berapa lama kejadian tersebut berlangsung.
Hal ini perlu ditanyakan secara detail karena dengan mengetahui hal-hal tersebut,
dapat diperkirakan kemungkinan etiologinya.
6) Menanyakan Kepada Pasien, Kemungkinan Hamil Atau Menstruasi
Pada kedua keadaan ini, Fluor Albus yang terjadi biasanya merupakan hal yang
fisiologis.
7) Masa Inkubasi
Bila Fluor Albus timbulnya akut, dapat diduga akibat infeksi atau pengaruh zat kimia
ataupun pengaruh rangsangan fisik.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara umum harus dilakukan, untuk mendeteksi adanya
kemungkinan penyakit kronis, gagal ginjal, infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya
yang mungkin berkaitan dengan Fluor Albus. Pemeriksaan khusus yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan genetalia, meliputi: inspeksi dan palpasi genetalia
eksterna, pemeriksaan speculum untuk melihat vagina dan serviks; pemeriksaan pelvis
bimanual. Untuk menilai cairan dinding vagina, hindari kontaminasi dengan lendir
serviks.
Pada infeksi karena Gonococcus, kelainan yang dapat ditemui adalah orifisium urethra
eksternum merah, edema dan sekret yang mukopurulen, labia mayora dapat bengkak,
merah dan nyeri tekan. Kadang-kadang kelenjar bartholini ikut meradang dan terasa
nyeri waktu berjalan atau duduk. Pada pemeriksaan melalui spekulum, terlihat serviks
merah dengan erosi dan sekret mukopurulen.
Pada Trikomonas vaginalis, dinding vagina tampak merah dan sembab. Kadang
terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi
berwarna merah dan dikenal sebagai strawberry appearance. Bila sekret banyak di
keluarkan dan menimbulkan iritasi pada lipat paha atau sekitar genetalia eksterna.
Infeksi Gardnerella vaginalis, memberikan gambaran vulva dan vagina yang berwarna
hyperemis, sekret yang melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau berkilau. Pada pemeriksaan serviks dapat ditemukan erosi, disertai lendir
bercampur darah yang keluar dari ostium uteri internum.
Pada Candidiasis vagina, dapat ditemukan peradangan pada vulva dan vagina. Pada
dinding vagina sering terdapat membran-membran kecil berwarna putih, yang jika
diangkat meninggalkan bekas yang agak berdarah.
Pada kanker serviks awal, akan terlihat bercak berwarna merah dengan permukaan
tidak licin. Gambaran ini, dapat berkembang menjadi granuler, berbenjol-benjol dan
ulseratif disertai adanya jaringan nekrotik. Disamping itu, tampak sekret yang kental
berwarna coklat dan berbau busuk. Pada kanker serviks lanjut, serviks menjadi
nekrosis, berbenjol-benjol dan ulseratif serta permukaan bergranuler, memberikan
gambaran seperti bunga kol.
Gambaran seperti bunga kol ini, juga dapat ditemui pada kondiloma akuminata di vulva,
bahkan sampai ke luar dari vagina maupun serviks.
Pada Herpes genitalis akan terlihat adanya vesikel-vesikel pada vulva, labia mayora,
labia minora, vagina dan serviks. Pada keadaan lebih lanjut, dapat dilihat adanya ulkus-
ulkus pada vagina dan serviks.
Adanya benda asing dapat dilihat dengan adanya benda yang mengiritasi, seperti IUD,
tampon vagina, pesarium, kondom yang tertinggal dan sebagainya.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:
1) Penentuan pH
Penentuan pH, dengan kertas indikator pH (normal : 3,0 – 4,5).
2) Penilaian Sediaan Basah
Penilaian diambil untuk pemeriksaan sediaan basah dengan KOH 10%, dan
pemeriksaan sediaan basah dengan garam fisiologis.
Trichomonas vaginalis, akan terlihat jelas dengan garam fisiologis sebagai parasit
berbentuk lonjong, dengan flagellanya dan gerakannya yang cepat, sedangkan
Candida albican, dapat dilihat jelas dengan KOH 10% tampak sel ragi (Blastospora)
atau hifa semu.
Vaginitis non spesifik yang disebabkan Gardnerella vaginalis, pada sediaan dapat
ditemukan beberapa kelompok basil, leukosit yang tidak seberapa banyak dan banyak
sel-sel epitel, yang sebagian besar permukaannya berbintik-bintik. Sel ini disebut Clue
cell, yang merupakan ciri khas infeksi Gardnerella vaginalis.
3) Pewarnaan Gram
Neisserea gonorrhoea, memberikan gambaran adanya Gonococcus intra dan ekstra
seluler. Gardnerella vaginalis, memberikan gambaran batang-batang berukuran kecil,
gram negatif yang tidak dapat dihitung jumlahnya dan banyaknya sel epitel dengan
koko basil, tanpa ditemukan laktobasil.
4) Kultur
Dengan kultur akan ditemukan kuman penyebab secara pasti, tetapi sering kali kuman
tidak tumbuh, sehingga harus hati-hati dalam penafsiran.
5) Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini dapat digunakan, untuk mendeteksi Herpes genitalis dan Human
Papiloma Virus (HPV) dengan pemeriksaan Elisa.
6) Tes Pap smear
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi adanya keganasan pada serviks, infeksi
termasuk Human Papiloma Virus (HPV), peradangan, sitologi hormonal dan evaluasi
hasil terapi.
2.3.6. Faktor Yang Mempengaruhi Keputihan (Fluor Albus)
2.3.6.1. Faktor Endogen
Menurut Sugi (2009), faktor endogen disebabkan oleh kelainan pada lubang kemaluan.
2.3.6.2. Faktor Eksogen
Menurut Ramayanti (2004), faktor eksogen disebabkan antara lain:
1. Infeksi
a. Bakteri
b. Jamur
c. Parasit
d. Virus
e. Neoplasma atau Keganasan
f. Erosi
2. Non Infeksi
a. Benda Asing
Tertinggalnya kondom dalam vagina, benang pada pengguna kontrasepsi IUD.
b. Personal Hygiene
c. Sistem Imun Tubuh
d. Kelainan endokrin atau hormon
e. Menopouse
f. Kondisi Tubuh (Stres)
g. Kelelahan Kronis
3. Faktor lain
a. Usia
Bayi wanita atau pada wanita dewasa, Fluor Albus yang terjadi mungkin karena
pengaruh estrogen yang tinggi dan merupakan Fluor Albus yang fisiologis. Wanita
dalam usia reproduksi harus dipikirkan kemungkinan suatu penyakit hubungan seksual
(PHS) dan penyakit infeksi lainnya. Pada wanita dengan usia yang lebih tua, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya keganasan, terutama kanker serviks.
b. Perilaku
Pasien yang tinggal di asrama bersama teman-temannya, kemungkinan tertular
penyakit infeksi yang menyebabkan Fluor Albus cukup besar. Contoh kebiasaan yang
kurang baik adalah tukar-menukar alat mandi atau handuk.
2.4 Wanita Usia Subur
2.4.1 Pengertian
Wanita usia subur adalah wanita pada masa atau periode dimana dapat mengalami
proses reproduksi. Ditandai masih mengalami menstruasi umur (15-45) tahun (Anggiz,
2007).
Wanita usia subur adalah wanita yang berusia 15 sampai dengan 49 tahun termasuk
ibu hamil atau nifas, calon pengantin, remaja puteri (dalam atau luar sekolah), pekerja
wanita, dan wanita usia subur yang tidak hamil (Pradipta, 2005).
2.4.2 Remaja
2.4.2.1 Pengertian
Remaja adalah Suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa
yang ditandai oleh perubahan-perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan
sosial (Desmita, 2008).
Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi
dan psikis (Widyastuti, 2009).
2.4.2.2 Batasan Usia Remaja
Menurut Desmita (2008), batasan usia remaja, sebagai berikut:
1. Masa pra remaja atau pra pubertas
Antara usia 10-12 tahun.
2. Masa remaja awal atau pubertas
Antara usia 12-15 tahun.
3. Masa remaja pertengahan
Antara usia 15-18 tahun.
4. Masa remaja akhir
Antara usia 18-21 tahun.
2.4.2.3 Pertumbuhan Fisik Remaja
1. Perubahan dalam tinggi dan berat
Tinggi rata-rata anak perempuan pada usia 12 tahun adalah sekitar 60 inci. Tetapi pada
usia 18 tahun , tinggi rata-rata remaja perempuan hanya 64 inci Selain itu, percepatan
pertumbuhan badan juga terjadi dalam penambahan berat badan, yaitu 10 kilogram
bagi anak-anak perempuan. Meskipun berat badan juga mengalami peningkatan
selama masa remaja, namun ia lebih mudah dipengaruhi oleh diet, latihan, dan gaya
hidup umumnya (Desmita, 2008).
2. Perubahan dalam proporsi tubuh
Seiring dengan pertambahan tinggi dan berat badan, percepatan pertumbuhan selam
masa remaja juga terjadi pada proporsi tubuh. Perubahan proporsi tubuh terlihat dari
pertumbuhan tangan dan kaki, ciri wajah, seperti dahi yang semula sempit sekarang
menjadi lebih luas, mulut lebar, dan bibir menjadi lebih penuh (Desmita, 2008).
3. Perubahan pubertas
1) Perubahan ciri seks primer
a. Pengertian perubahan ciri seks primer
Perubahan ciri seks primer adalah perubahan menunjuk pada organ tubuh secara
langsung berhubungan dengan proses reproduksi (Desmita, 2008).
b. Ciri seks primer anak perempuan
Yaitu menarche atau mengalami menstruasi (Widyastuti, 2009 ).
2) Perubahan ciri seks sekunder
a. Pengertian perubahan ciri seks sekunder
Perubahan ciri seks sekunder adalah perubahan menunjuk pada tanda-tanda
jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi (Desmita,
2008).
b. Ciri seks sekunder anak perempuan
Menurut Desmita (2008), ciri seks sekunder anak perempuan, antara lain: Payudara
membesar; Pinggul membesar; Suara menjadi halus; Tumbuh bulu ketiak; Tumbuh bulu
di sekitar kemaluan; Kulit menjadi halus (Widyastuti, 2009). Kelenjar lemak dan kelenjar
keringat menjadi lebih aktif (Widyastuti, 2009).
2.4.3 Perkembangan Remaja
Menurut Ali (2008), perkembangan remaja, antara lain:
1. Perkembangan intelek
Pada masa ini remaja telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam
pekerjaannya yang merupakan hasil berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga
telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.
2. Perkembangan kreativitas
Perkembangan kreativitas sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif
individu karena kreativitas sesungguhnya merupakan perwujudan dari pekerjaan otak.
Perkembangan kreativitas remaja berada pada posisi seiring dengan tahapan
operasional formal. Artinya, perkembangan kreativitasnya, sedang berada pada tahap
amat potensial bagi perkembangan kreativitas.
3. Perkembangan emosi
Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang berkobar-kobar,
sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami
perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian. Pada tahap praremaja,
mudah tersinggung, cengeng, cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak; pada
tahap remaja awal, kontrol terhadap diri bertambah sulit dan cepat marah, mengalami
kesukaran dalam menyesuaikan diri sehingga cenderung menyendiri; pada remaja
tengah, membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik dan
pantas untuk dikembangkan dikalangan mereka sendiri; pada tahap remaja akhir, mulai
mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa, emosinya mulai
stabil.
4. Perkembangan bakat khusus
Remaja memiliki bakat yang berbeda pada setiap individu. Bakat khusus yang dimiliki
remaja antara lain, bakat untuk bekerja dalam angka-angka, logika bahasa, dalam
bidang kreatif-produktif, seperti menciptakan sesuatu yang baru; bakat dalam bidang
seni, seperti menciptakan musik; bakat dalam kinestetik atau psikomotorik, seperti oleh
raga; bakat dalam bidang sosial, seperti koneksi, berkomunikasi, kepemimpinan.
5. Perkembangan hubungan sosial
Karakteristik hubungan sosial remaja yaitu berkembangnya kesadaran akan kesunyian
dan dorongan pergaulan, adanya upaya memilih nilai-nilai sosial, meningkatnya
ketertarikan pada lawan jenis, mulai tampak kecenderungan untuk memilih karier
tertentu.
6. Perkembangan kemandirian
Perkembangan kemandirian pada remaja, menyebar pada tingkat sadar diri, tingkat
saksama, tingkat individualistis, tingkat mandiri. Pada tingkat mandiri, remaja telah
memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis,
mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk
menyelesaikan konflik dalam diri, menghargai kemandirian orang lain, sadar akan
adanya saling ketergantungan, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh
kayakinan dan keceriaan.
7. Perkembangan bahasa
Karakteristik perkembangan bahasa remaja telah mencapai tahap kompetensi lengkap.
8. Perkembangan nilai, moral dan sikap
Masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya, maka masa remaja menjadi suatu
periode yang penting dalam pembentukan nilai. Remaja sudah merasakan pentingnya
tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai
pedoman, pegangan atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk
menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang matang.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja yaitu mulai mampu
berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis,
maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada
waktu, tempat dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup
mereka. Hal ini dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban. Perubahan
sikap yang mencolok sebagai karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar
hidup orang tua dan orang dewasa lainnya.
2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Remaja
Menurut Widyastuti (2009), faktor yang mempengaruhi kesehatan remaja, antara lain:
1. Masalah gizi
a. Anemia dan kurang gizi kronis;
b. Pertumbuhan yang terhambat pada remaja puteri.
2. Masalah pendidikan
a. Buta huruf;
b. Pendidikan rendah.
3. Masalah Lingkungan dan Pekerjaan
a. Lingkungan dan suasana yang kurang memperhatikan kesehatan remaja dan bekerja
yang akan mengganggu kesehatan remaja;
b. Lingkungan sosial yang kurang sehat dapat menghambat bahkan merusak kesehatan
fisik, mental dan emosional remaja.
4. Masalah Seks dan Seksualitas
a. Pengetahuan yang tidak lengkap tentang masalah seksualitas;
b. Kurangnya bimbingan untuk bersikap positif dalam hal yang berkaitan dengan
seksualitas;
c. Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA yang mengarah pada penularan HIV/
AIDS;
d. Penyalahgunaan seksual;
e. Kehamilan remaja;
f. Kehamilan pra nikah atau di luar ikatan pernikahan
5. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
a. Ketidakmatangan secara fisik dan mental;
b. Risiko komplikasi dan kematian ibu dan janin lebih besar;
c. Kehilangan kesempatan untuk pengembangan diri;
d. Risiko bertambah untuk melakukan aborsi yang tidak aman
2.4.5 Masa Dewasa Awal
2.4.5.1 Pengertian
Masa dewasa awal adalah wanita yang berusia antara 20-40 tahun (Haditono, 2004).
2.4.5.2 Pertumbuhan Fisik Masa Dewasa Awal
Menurut Ali (2008), pertumbuhan fisik masa dewasa awal, antara lain:
1. Kesehatan badan
Bagi kebanyakan orang, awal masa dewasa ditandai dengan memuncaknya
kemampuan dan kesehatan fisik. Mulai sekitar usia 18 hingga 25 tahun, individu
memiliki kekuatan yang terbesar, gerak reflek sangat cepat. Kemampuan reproduktif
berada di tingkat paling tinggi.
Meskipun pada awal masa dewasa, kondisi kesehatan fisik mencapai puncaknya,
namun selama periode ini penurunan keadaan fisik juga terjadi. Perubahan
fisik,sebagian besar lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif. Secara berangsur,
kekuatan fisik mengalami kemunduran, sehingga lebih mudah terserang penyakit. Akan
tetapi, seseorang masih cukup mampu untuk melakukan aktivitas normal.
Pada masa dewasa tengah. Mulai terjadi perubahan dalam hal kemampuan reproduktif.
2. Sensor dan perseptual
Pada masa dewasa awal, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran belum terlalu
signifikan.
Pada masa dewasa tengah,mulai terjadi perubahan dalam penglihatan dan
pendengaran.
3. Otak
Pada masa dewasa awal, sel-sel otak juga berangsur berkurang, tetapi perkembangan
koneksi neural, khususnya bagi orang yang tetap aktif, membantu sel-sel yang hilang.
2.4.5.3 Perkembangan Masa Dewasa Awal
Menurut Ali (2008), perkembangan masa dewasa awal, terdiri dari:
1. Perkembangan mental dan motorik
Masa dewasa awal, mempunyai potensi yang besar untuk melaksanakan tugas
perkembangan dengan sukses karena perkembangan mental dan motorik mencapai
puncaknya. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan tugas perkembangan
dengan baik. Mengalami penyesuaian pribadi, seperti waktu harus dibagi antara
pekerjaan dan urusan rumah tangga, peran sebagai orang tua, perubahan dalam
tekanan budaya dan lingkungan.
2. Perkembangan kemandirian
Perkembangan kemandirian pada dewasa awal, pada tingkat mandiri. Pada tingkat
mandiri, masa dewasa awal telah memiliki pandangan hidup sebagai suatu
keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis, mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang
bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik dalam diri, menghargai
kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling ketergantungan, mampu
mengekspresikan perasaannya dengan penuh kayakinan dan keceriaan.
3. Perkembangan bahasa
Karakteristik perkembangan bahasa dewasa awal telah mencapai tahap kompetensi
lengkap.
4. Perkembangan nilai, moral dan sikap
Masa dewasa awal sudah mengerti pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai
baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dan telah
memiliki kepribadian yang matang. Karakteristik perkembangan moral dewasa awal
yaitu mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat
hipotesis, sudah mengerti akan hak dan kewajiban.
2.4.6 Masa Dewasa Madya
2.4.6.1 Pengertian
Masa dewasa madya adalah seseorang yang berusia 40-60 tahun) (Haditono, 2004).
2.4.6.2 Pertumbuhan Fisik Masa Dewasa Madya
Menurut Ali (2008), pertumbuhan fisik masa dewasa madya, antara lain:
1. Kesehatan badan
Pada masa dewasa madya. Mulai terjadi perubahan dalam hal kemampuan reproduktif.
2. Sensor dan perseptual
Pada masa dewasa madya, mulai terjadi perubahan dalam penglihatan dan
pendengaran.
3. Otak
Pada masa dewasa madya, sel-sel otak berangsur berkurang, tetapi perkembangan
koneksi neural, khususnya bagi orang yang tetap aktif, membantu sel-sel yang hilang.
2.4.6.3 Perkembangan Masa Dewasa Madya
Menurut Ali (2008), perkembangan masa dewasa madya, terdiri dari:
1. Perkembangan mental dan motorik
Masa dewasa madya, mulai mengalami perubahan mental, mengembangkan kegiatan-
kegiatan untuk mengisi waktu senggang.
2. Perkembangan kemandirian
Perkembangan kemandirian pada dewasa madya, pada tingkat mandiri, telah memiliki
pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis, mampu
mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan
konflik dalam diri, menghargai kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling
ketergantungan, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh kayakinan dan
keceriaan.
3. Perkembangan bahasa
Karakteristik perkembangan bahasa dewasa madya, telah mencapai tahap kompetensi
lengkap.
4. Perkembangan nilai, moral dan sikap
Masa dewasa madya, sudah mengerti pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-
nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dan telah
memiliki kepribadian yang matang. Karakteristik perkembangan moral dewasa madya
yaitu mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat
hipotesis, sudah mengerti akan hak dan kewajiban.
2.5 Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan
yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Keputihan (Fluor Albus), disebabkan oleh faktor endogen dan faktor eksogen
serta adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi. Faktor eksogen yang terdiri dari
faktor infeksi (infeksi bakteri, parasit, jamur, virus, Neoplasma atau keganasan, erosi)
dan non infeksi (personal hygiene, sistem imun tubuh, kelainan endokrin atau hormone,
menopause, kondisi tubuh [stres], kelaianan kronis), keduanya dapat menyebabkan
terjadinya keputihan (Fluor Albus). Selain itu, faktor usia dan perilaku, juga dapat
mempengaruhi terjadinya keputihan (Fluor Albus) (Ramayanti, 2004).
Sabun sirih adalah sabun antiseptik (Dalimartha, 2006). Minyak atsiri daun sirih,
mengandung fenol, pati, diastase, dan zat kavinol. Zat inilah yang berkhasiat untuk
mematikan kuman, sebagai zat antioksida dan anti jamur (Dalimartha, 2006).
Semua khasiat sabun sirih, terkait dengan kandungan senyawa alkohol yang
terdapat pada daun sirih., baik fenol, maupun kavikol. Fenol yang dihasilkan dari
ekstrak daun sirih, merupakan senyawa golongan alkohol yang memiliki daya antiseptik
lima kali lebih, dari pada senyawa fenol biasa. Senyawa kavinol, akan semakin
membantu sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006).
Wanita, perlu menjaga kebersihan organ intim. Organ intim wanita, seperti
vagina sangat sensitif dengan kondisi lingkungan karena letaknya tersembunyi dan
tertutup, vagina memerlukan suasana kering. Kondisi lembab akan mengundang
berkembangbiaknya jamur dan bakteri patogen. Kebersihan organ intim wanita, dapat
dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri. Salah satu cara untuk menjaga
kebersihan organ intim wanita, yaitu dengan menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
Penyebab Keputihan dan Tips Menghindari Keputihan
Share Artikel ini melalui:
Diterbitkan pada tanggal 19 - 11 - 2009 | 155 komentar
DokterSehat - Keputihan sungguh mengganggu aktifitas sehari-hari apalagi terkadang
disertai dengan adanya rasa gatal. Keputihan mempunyai beberapa penyebab
diantaranya adalah :
a. Jamur Candidas atau Monilia
Warnanya putih susu, kental, berbau agak keras, disertai rasa gatal pada kemaluan.
Akibatnya, mulut vagina menjadi kemerahan dan meradang. Biasanya, kehamilan,
penyakit kencing manis, pemakaian pil KB, dan rendahnya daya tahan tubuh menjadi
pemicu. Bayi yang baru lahir juga bisa tertular keputihan akibat Candida karena saat
persalinan tanpa sengaja menelan cairan ibunya yang menderita penyakit tersebut.
b. Parasit Trichomonas Vaginalis
Ditularkan lewat hubungan seks, perlengkapan mandi, atau bibir kloset. Cairan
keputihan sangat kental, berbuih, berwarna kuning atau kehijauan dengan bau anyir.
Keputihan karena parasit tidak menyebabkan gatal, tapi liang vagina nyeri bila ditekan.
c. Bakteri Gardnella
Infeksi ini menyebabkan rasa gatal dan mengganggu. Warna cairan keabuan, berair,
berbuih, dan berbau amis. Beberapa jenis bakteri lain juga memicu munculnya penyakit
kelamin seperti sifilis dan gonorrhoea.
d. Virus
Keputihan akibat infeksi virus juga sering ditimbulkan penyakit kelamin, seperti
condyloma, herpes, HIV/AIDS. Condyloma ditandai tumbuhnya kutil-kutil yang sangat
banyak disertai cairan berbau. Ini sering pula menjangkiti wanita hamil. Sedang virus
herpes ditularkan lewat hubungan badan. Bentuknya seperti luka melepuh, terdapat di
sekeliling liang vagina, mengeluarkan cairan gatal, dan terasa panas. Gejala keputihan
akibat virus juga bisa menjadi faktor pemicu kanker rahim.
Berikut tips menghindari keputihan
 Jalani diet yang seimbang dan banyak minum
 Konsumsi yoghurt, batasi konsumsi gula
 Cukup tidur dan istirahat
 Jangan menggaruk vagina sekalipun gatal
 Jaga kesehatan daerah kewanitaan seperti sering lebih sering ganti
pembalut/tampon, memakai celana dalam adri bahan katun dan tidak ketat
 Cuci pakaian dalam dengan sabun ringan dan jangan gunakan
pembalut/pewangi pakaian
 Jaga kebersihan tubuh, hindari pembersih vagina yang mengandung parfum
 Gunakan obat keputihan yang diberikan dokter secara teratur walaupun gejala
sudah hilang karena kemungkinan infeksi masih terjadi
(Read more: http://doktersehat.com/penyebab-
keputihan-dan-tips-menghindari-
keputihan/#ixzz1n5umvdYT)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Out
Come
Out
Put
Pro
ses
In
p
ut
Kerangka konseptual ini dibuat berdasarkan pendekatan sistem. Secara detail dapat
dilihat pada gambar 3.1, di bawah.
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .
Berdasarkan gambar 3.1 kerangka konseptual di atas, menunjukkan bahwa
faktor yang mempengaruhi wanita usia subur untuk menggunakan atau tidak
menggunakan sabun antiseptik daun sirih, yaitu faktor pengetahuan, sosial ekonomi
dan kepercayaan. Dengan menggunakan sabun antiseptik daun sirih, diharapkan
kejadian Fluor Albus Patologis menurun sehingga kejadian infertilitas, Kehamilan
ektopik, Kanker serviks, serta kematian dapat menurun.
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah Ada Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis
Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun
Sirih Pada Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame
Kediri Tahun 2011, selanjutnya dirumuskan dalam bentuk statistik, yang berbunyi, Tidak
Ada Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan
yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada Wanita Usia Subur di
Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan dalam penelitian ini dijelaskan berdasarkan berbagai perspektif yaitu:
1. Berdasarkan lingkup penelitian, menggunakan rancangan penelitian inferensial.
2. Berdasarkan tempat penelitian, termasuk jenis penelitian lapangan.
3. Berdasarkan waktu pengumpulan data, termasuk jenis rancangan “cross sectional”.
4. Berdasarkan cara mengumpulkan data, termasuk jenis observasi.
5. Berdasarkan ada tidaknya perlakuan, termasuk jenis rancangan penelitian “expost facto”.
6. Berdasarkan tujuan penelitian, termasuk jenis analitik komparasi.
7. Berdasarkan sumber data, termasuk rancangan penelitian primer.
8. Berdasarkan jenis data, termasuk jenis kualitatif.
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. Jumlah populasi yaitu 4.449 Orang.
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1) Responden yang bersedia diteliti.
2) Wanita usia 15 – 49 tahun.
2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1) Responden yang tidak bersedia diteliti.
2) Wanita yang menggunakan pembersih organ intim, selain sabun antiseptik daun sirih.
3) Wanita yang sedang hamil.
4) Wanita yang sakit atau sedang menderita penyakit (kencing manis, kista atau penyakit organ
reproduksi lainnya).
Besar sampel dalam penelitian ini adalah 2% dari jumlah populasi, yaitu 89 responden.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu secara non probability sampling dengan
jenis consecitive sampling.
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua variabel tergantung, yaitu Kejadian Fluor
Albus Patologis Antara yang Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih dengan yang Tidak
Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih.
Definisi operasional penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah.
Tabel 4.1 Definisi Operasional Penelitian
No. Variabel Definisi
Operasional
Indikator Alat
Ukur
Skala
1.
2.
Kejadian fluor
albus
patologis
yang
menggunakan
sabun
antiseptik
daun sirih
Kejadian fluor
albus
patologis
yang tidak
menggunakan
sabun
antiseptik
Suatu keadaan
keluarnya cairan
dari vagina, bukan
darah dengan sifat
yang bermacam-
macam, baik
jumlah, bau,
warna,
konsistensinya,
keruh atau jernih,
ada tidaknya
darah, frekuensi,
dan telah berapa
lama kejadian
tersebut
berlangsung dalam
bentuk tidak
mengalami fluor
albus patologis
dan fluor albus
patologis pada
wanita yang
menggunakan
sabun antiseptik
daun sirih.
Suatu keadaan
keluarnya cairan
dari vagina, bukan
darah dengan sifat
yang bermacam-
macam, baik
jumlah, bau,
warna,
konsistensinya,
keruh atau jernih,
ada tidaknya
darah, frekuensi,
dan telah berapa
lama kejadian
1. Jumlah
2. Warna
3. Sifat
khas
4. Bau
5. Gejala
1. Jumlah
2. Warna
3. Sifat
Check
list
Check
Ordinal
Tidak
Fluor
Albus
Patologis
Mengalami
Fluor
Albus
Patologis
Ordinal
Tidak
Fluor
Albus
Patologis
daun sirih tersebut
berlangsung dalam
bentuk tidak
mengalami fluor
albus patologis
dan fluor albus
patologis pada
wanita yang tidak
menggunakan
sabun antiseptik
daun sirih.
khas
4. Bau
5. Gejala
list
Mengalami
Fluor
Albus
Patologis
4.4 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar check list.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data kejadian Fluor Albus Patologis
Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih,
peneliti menggunakan lembar check list.
Spesifikasi Blue Print Instrumen.
Tabel 4.2 Blue print check list
No. Variabel Aspek No. item Jumlah
1. Penggunaan sabun
antiseptik daun sirih
Penggunaan
sabun
antiseptik daun
sirih
Ciri atau selain
sabun
antiseptic daun
sirih
1 1
2. Kejadian keputihan (fluor
albus) patologis
Kejadian
keputihan
Jumlah
keputihan
Warna
keputihan
Sifat Keputihan
Bau Keputihan
Gejala
Keputihan
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, 12
11
Total Jumlah Soal 12
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri.
Waktu penelitian bulan september Tahun 2011.
4.7 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Adapun prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini melalui tahap sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan, peneliti melakukan beberapa kegiatan meliputi:
a. Menentukan sasaran atau populasi
b. Menetapkan sampel
c. Memperbanyak check list
2. Tahap Pelaksanaan
a. Menyerahkan surat ijin penelitian dari institusi Pendidikan kepada Dinas Kesehatan Kota Kediri
dan tempat penelitian yaitu Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
b. Memberikan inform consent kepada calon responden, setelah calon responden bersedia
menjadi responden, kemudian peneliti memberikan surat pernyataan kesediaan penelitian
kepada responden.
c. Peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman check list.
Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui tahapan sebagai
berikut:
1. Editing
Setelah data terkumpul dan sebelum diolah, data tersebut di edit terlebih dahulu oleh peneliti
untuk menghindari kesalahan atau hal yang meragukan, agar mendapatkan data yang
berkualitas, serta peneliti melakukan pengamatan satu per satu tentang kelengkapan pengisian
untuk keperluan proses berikutnya.
2. Coding
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menulis kode pada setiap pengamatan, mulai dari
nomor 1, nomor 2 pada lembar pengamatan berikutnya sampai terakhir, begitu seterusnya
sampai pengamatan yang terakhir. Setelah itu, menuliskan kode untuk setiap variabel. Untuk
mengukur variabel dependen pertama dan ke dua, digunakan teknik sebagai berikut, data
umum terdiri dari :
a. Untuk data umum yaitu umur, di beri kode U, dimana:
1) 15-17 tahun kode 1
2) 18-20 tahun kode 2
3) 21-39 tahun kode 3
4) 40-49 tahun kode 4
b. Untuk data umum yaitu pekerjaan, di beri kode R, dimana:
1) PNS kode 1
2) Swasta kode 2
3) Wiraswasta kode 3
4) Ibu rumah tangga kode 4
5) Pelajar kode 5
c. Untuk data umum yaitu suku, di beri kode S, dimana:
1) Jawa kode 1
2) Madura kode 2
3) Sunda kode 3
4) Lainnya kode 4
d. Untuk data responden yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih:
1) Yang tidak mengalami fluor albus patologis kode 1
2) Yang mengalami fluor albus patologis kode 2
e. Untuk data responden yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih:
1) Yang tidak mengalami fluor albus patologis kode 1
2) Yang mengalami fluor albus patologis kode 2
3. Skoring
Pada penelitian ini, skoring menggunakan skala guttman yang sudah dimodifikasi untuk
menentukan skor. Jadi, setiap pertanyaan tersebut diberikan 2 jawaban pilihan yang sesuai
dengan inti masalah dalam pertanyaan tersebut. Tiap jawaban diberi nilai skor 0 sampai dengan
1. Untuk mengukur variabel tersebut, menggunakan skoring yaitu: skor 1 (ya), skor 0 (tidak).
4. Tabulating
Setelah pernyataan diberi kode, maka dibuat dalam tabel distribusi frekuensi dan dilakukan
pembahasan terhadap kedua variabel dependen, untuk mempermudah mengidentifikasi data
sehingga memudahkan juga dalam pengolahan data.
4.8 Teknik Analisa Data
1. Analisa Univariat
Dari hasil teknik skoring untuk masing-masing variabel dependen, yaitu kejadian fluor albus
patologis antara yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun
sirih, sebagai berikut:
1) Untuk penggunaan sabun antiseptik daun sirih, dengan menggunakan kriteria:
a) Menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
b) Tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
2) Untuk kejadian fluor albus patologis, dengan menggunakan kriteria:
a) Tidak mengalami Fluor albus patologis, jika tidak ada cairan berwarna putih, putih kekuningan,
hijau kekuningan, kekuningan, kecokelatan yang ke luar dari organ reproduksi atau organ intim
atau berwarna putih bening, tidak gatal, tidak berbau busuk, sifat khas seperti krim, jumlah
normal.
b) Mengalami Fluor albus patologis, jika gatal; terdapat nyeri; berbau menusuk; sifatnya kental,
berbusa atau lengket;, jumlahnya agak banyak sampai banyak.
Selanjutnya, di klasifikasikan dalam bentuk persentase dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Keterangan :
N : Nilai
SP : Skor yang di dapat dari pengamatan peneliti
SM : Skor tertinggi yang diharapkan
Setelah proses di atas, Menurut Arikunto (2006) hasil pengolahan data dalam bentuk
persentase diinterpretasikan, sebagai berikut:
100 % : Seluruhnya.
76-99 % : Hampir seluruhnya.
51-75 % : Sebagian besar.
50 % : Setengahnya.
26-49 % : Hampir setengahnya.
1-25 % : Sebagian kecil.
0 % : Tak satupun.
2. Analisa Bivariat
Analisa data yang digunakan untuk mengetahui perbedaan kejadian fluor albus patologis antara
yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan statistik non parametric yaitu menggunakan uji
Mann Whitney, karena peneliti malakukan analisis perbedaan antar variabel dependen yang
berskala ordinal, kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer
(soft ware) SPSS versi 16.0 for windows.
Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
[µ ± ½] -
∑ µ
∂
Z
H
=
Keterangan:
µ : Jumlah ranking
∑ µ : Mean
∂ : Standar deviasi
Jika pada level of significancy α = 0,05 (pengujian pada dua kelompok), hipotesis nol dapat di
terima jika -1,96 ≤ ZH ≤ + 1,96. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan antar dua
variabel dependen tersebut.
BAB 5
ANALISIS HASIL PENELITIAN
5.1 Data Umum
Bagian ini akan menyajikan karakteristik responden berdasarkan tingkat umur,
pekerjaan dan suku.
5.1.1 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Umur
Tabel 5.1 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus
Patologis Menurut Umur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Umur Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuens
i
%
15 – 17 tahun 0 0 4 4,5 4 4,5
18 – 20 tahun 0 0 12 13,5 12 13,5
21 – 39 tahun 1 1,1 46 51,7 47 52,8
40 – 49 tahun 3 3,3 23 25,9 26 29,2
Total 4 4,4 85 95,6 89 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden yaitu 47
(52,9%) berumur 21 – 39 tahun. Sebagian besar responden, yaitu 46 (51,7%)
responden yang berusia 21 – 39 tahun, tidak mengalami kejadian fluor albus patologis
dan hanya 1 (1,1%) responden yang mengalami kejadian fluor albus patologis.
Berdasarkan tabel di atas, kejadian fluor albus patologis terbanyak, terjadi pada umur
40 – 49 tahun, yaitu 3 (3,3) responden.
5.1.2 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Umur
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik
Daun Sirih Menurut Umur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Umur Penggunaan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuensi % Frekuens
i
% Frekuens
i
%
15 – 17 tahun 1 1,1 3 3,3 4 4,4
18 – 20 tahun 10 11,2 2 2,2 12 13,4
21 – 39 tahun 24 27 23 25,9 47 52,9
40 – 49 tahun 4 4,5 22 24,8 26 29,3
Total 39 43,8 50 56,2 89 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden yaitu 47
(52,9%) berumur 21 – 39 tahun. Hampir setengah responden, yaitu 24 (27%)
responden, menggunakan sabun antiseptik daun sirih dan hampir setengah responden,
yaitu 23 (25,9%) responden yang berusia 21 – 39 tahun, tidak menggunakan sabun
antiseptik daun sirih. Berdasarkan tabel, responden yang tidak menggunakan sabun
antiseptik daun sirih dengan jumlah terbanyak, yaitu pada responden yang beumur
antara 21 – 39 tahun.
5.1.3 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut
Pekerjaan
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus
Patologis Menurut Pekerjaan di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Pekerjaan Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
PNS 0 0 0 0 0 0
Swasta 3 3,3 55 61,9 58 65,2
Wiraswasta 1 1,1 4 4,5 5 5,6
Pekerjaan Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Ibu Rumah Tangga 0 0 18 20,2 18 20,2
Pelajar 0 0 8 9 8 9
Total 4 4,4 85 95,6 89 100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden, yaitu 58
(65,2%) bekerja swasta. 55 responden (61,9 %) tidak mengalami fluor albus patologis
dan 3 responden (3,3%) mengalami fluor albus patologis.
5.1.4 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Pekerjaan
Tabel 5.4 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik
Daun Sirih Menurut Pekerjaan di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Pekerjaan Penggunaan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuensi % Frekuens
i
% Frekuensi %
PNS 0 0 0 0 0 0
Swasta 22 24,8 36 40,4 58 65,2
Wiraswasta 2 2,2 3 3,4 5 5,6
Ibu Rumah Tangga 10 11,2 8 9 18 20,2
Pelajar 5 5,6 3 3,4 8 9
Total 39 43,8 50 56,2 89 100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui, bahwa sebagian kecil responden, yaitu 22
(24,8%) yang bekerja swasta, menggunakan sabun antiseptik dan merupakan
responden terbanyak yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
5.1.5 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Suku
Tabel 5.5 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus
Patologis Menurut Suku di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Suku Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Jawa 4 4,5 84 94,4 88 98,9
Madura 0 0 1 1,1 1 1,1
Sunda 0 0 0 0 0 0
Lainnya 0 0 0 0 0 0
Total 4 4,5 85 95,5 89 100
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 88
(98,9%) berasal dari suku jawa. Sebagian responden 84 (94,4%) yang berasal dari
suku jawa, tidak mengalami kejadian Fluor Albus Patologis dan hanya sebagian kecil
dari suku jawa, 4 (4,5%), yang mengalami kejadian fluor albus patologis.
5.1.6 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Suku
Tabel 5.6 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik
Daun Sirih Menurut Suku di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Suku Penggunaan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuens
i
% Frekuensi % Frekuensi %
Jawa 38 42,7 50 56,2 88 98,9
Madura 1 1,1 0 0 1 1,1
Sunda 0 0 0 0 0 0
Lainnya 0 0 0 0 0 0
Total 39 43,8 50 56,2 89 100
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 88
(98,9%) berasal dari suku jawa. Sebagian besar responden yang berasal dari suku
jawa, yaitu 50 (56,2%) responden, tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih dan
hampir setengah responden, yaitu 38 (42,7%) responden saja yang berasal dari suku
jawa menggunakan sabun antiseptik daun sirih. Berdasarkan tabel, penggunaan sabun
antiseptik daun sirih terbanyak, berasal dari suku jawa.
5.2 Data Khusus
Bagian ini akan menyajikan hasil penelitian tentang penggunaan sabun atiseptik daun
sirih dan kejadian fluor albus patologis serta perbedaan kejadian fluor albus patologis
antara yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun
sirih.
5.2.1 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Tabel 5.7 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Menggunakan Sabun
Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
Kejadian Fluor Albus Patologis Frekuensi Persentase
Terjadi 2 5,1
Tidak Terjadi 37 94,9
Total 39 100
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 37 (94,9
%) yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih, tidak mengalami kejadian fluor
albus patologis.
5.2.2 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Tabel 5.8 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Tidak Menggunakan
Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
Kejadian Fluor Albus
Patologis
Frekuensi Persentase
Terjadi 2 4
TidakTerjadi 48 96
Total 50 100
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 48 (96
%) yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, tidak mengalami kejadian fluor
albus patologis.
5.3 Analisis dan Hasil Penelitian
5.3.1 Tabulasi Silang Perbedaan Kejadian Kejadian Fluor Albus Patologis antara yang
Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Tabel 5.9 Tabulasi Silang Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang
Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun
Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
Kejadian Fluor
Albus Patologis
Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Terjadi 2 2,2 2 2,2 4 4,4
Tidak Terjadi 37 41,6 48 54 85 95,6
P Value = 0,800 α = 0,05
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden yang menggunakan
sabun antiseptik daun sirih, yaitu 37 (41,6 %), tidak Fluor Albus Patologis dan
sebagian besar responden yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, 48
(54%), tidak terjadi Fluor Albus Patologis.
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa P value = 0, 800 pada α = 0, 05. Hal tersebut
menunjukkan bahwa P value > α, sehingga H0 diterima, yang berarti Tidak Ada
Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang
Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.

Contenu connexe

Similaire à Sabun Sirih

PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....
PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....
PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....DesiRis1
 
jenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptx
jenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptxjenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptx
jenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptxAbdulAzzis3
 
Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)
Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)
Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)MUHAMMADRAISAKBARAKB
 
The Power of Zingiberaceae - Kartiawati Alipin
The Power of Zingiberaceae  - Kartiawati AlipinThe Power of Zingiberaceae  - Kartiawati Alipin
The Power of Zingiberaceae - Kartiawati Alipinikabiounpad
 
Harumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dll
Harumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dllHarumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dll
Harumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dllradhiani
 
pdf_20220715_124844_0000.pdf
pdf_20220715_124844_0000.pdfpdf_20220715_124844_0000.pdf
pdf_20220715_124844_0000.pdfNurulSdtrrfni
 
Khasiat buah bengkoang
Khasiat buah bengkoangKhasiat buah bengkoang
Khasiat buah bengkoangholilurrahman
 
Presentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining Fitokimia
Presentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining FitokimiaPresentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining Fitokimia
Presentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining Fitokimiafarmasistikes
 
Pengetahuan tentang toga
Pengetahuan tentang togaPengetahuan tentang toga
Pengetahuan tentang togaAgus Tri
 
PPT Imunomodulator PAFI.pptx
PPT Imunomodulator PAFI.pptxPPT Imunomodulator PAFI.pptx
PPT Imunomodulator PAFI.pptxAhmadUdin19
 
57 article text-120-1-10-20180423
57 article text-120-1-10-2018042357 article text-120-1-10-20180423
57 article text-120-1-10-20180423Lailatul Rofiah
 
Tugas aplikasi komputer
Tugas aplikasi komputerTugas aplikasi komputer
Tugas aplikasi komputerMuthia Cimuetz
 
Tanaman Obat Hortikultura
Tanaman Obat HortikulturaTanaman Obat Hortikultura
Tanaman Obat HortikulturaRina Riannur
 

Similaire à Sabun Sirih (20)

Daun sirih
Daun sirihDaun sirih
Daun sirih
 
PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....
PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....
PPT FARMAKOGNOSI UJI MAKRO, MIKRO dan Pembuatan Sediaan Simplisia Daun Sirih....
 
M anfaat jahe
M anfaat jaheM anfaat jahe
M anfaat jahe
 
jenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptx
jenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptxjenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptx
jenis daun dan manfaat untuk kesehatan .pptx
 
Daun kemangi
Daun kemangiDaun kemangi
Daun kemangi
 
Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)
Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)
Tiwi tanaman obat keluarga (subunit 1 jatinom)
 
The Power of Zingiberaceae - Kartiawati Alipin
The Power of Zingiberaceae  - Kartiawati AlipinThe Power of Zingiberaceae  - Kartiawati Alipin
The Power of Zingiberaceae - Kartiawati Alipin
 
Harumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dll
Harumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dllHarumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dll
Harumi hpai atasi masalah kewanitaan mioma myoma kista keputihan dll
 
pdf_20220715_124844_0000.pdf
pdf_20220715_124844_0000.pdfpdf_20220715_124844_0000.pdf
pdf_20220715_124844_0000.pdf
 
Khasiat buah bengkoang
Khasiat buah bengkoangKhasiat buah bengkoang
Khasiat buah bengkoang
 
Hormon tumbuhan fistum
Hormon tumbuhan fistumHormon tumbuhan fistum
Hormon tumbuhan fistum
 
Presentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining Fitokimia
Presentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining FitokimiaPresentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining Fitokimia
Presentasi Praktikum Fitoikimia A4 Skrining Fitokimia
 
Pengetahuan tentang toga
Pengetahuan tentang togaPengetahuan tentang toga
Pengetahuan tentang toga
 
PPT Imunomodulator PAFI.pptx
PPT Imunomodulator PAFI.pptxPPT Imunomodulator PAFI.pptx
PPT Imunomodulator PAFI.pptx
 
57 article text-120-1-10-20180423
57 article text-120-1-10-2018042357 article text-120-1-10-20180423
57 article text-120-1-10-20180423
 
Tugas aplikasi komputer
Tugas aplikasi komputerTugas aplikasi komputer
Tugas aplikasi komputer
 
Kandungan kimia pesnab
Kandungan kimia pesnabKandungan kimia pesnab
Kandungan kimia pesnab
 
Tanaman Obat Hortikultura
Tanaman Obat HortikulturaTanaman Obat Hortikultura
Tanaman Obat Hortikultura
 
Pf
PfPf
Pf
 
Harmony entplus.co.cc
Harmony entplus.co.ccHarmony entplus.co.cc
Harmony entplus.co.cc
 

Plus de Chenk Alie Patrician (20)

Senam hamil
Senam hamilSenam hamil
Senam hamil
 
Ibu bayi sehat
Ibu bayi sehatIbu bayi sehat
Ibu bayi sehat
 
Tanda tanda bahaya nifasdan bbl
Tanda tanda bahaya nifasdan bblTanda tanda bahaya nifasdan bbl
Tanda tanda bahaya nifasdan bbl
 
Tanda tanda bahaya nifasdan bbl
Tanda tanda bahaya nifasdan bblTanda tanda bahaya nifasdan bbl
Tanda tanda bahaya nifasdan bbl
 
Senam nifas
Senam nifasSenam nifas
Senam nifas
 
Senam hamil
Senam hamilSenam hamil
Senam hamil
 
Memandikan bayi
Memandikan bayiMemandikan bayi
Memandikan bayi
 
Memandikan bayi haha
Memandikan bayi hahaMemandikan bayi haha
Memandikan bayi haha
 
Liflet payudara kel 7
Liflet payudara kel 7Liflet payudara kel 7
Liflet payudara kel 7
 
Leaflet tnda bhya
Leaflet tnda bhyaLeaflet tnda bhya
Leaflet tnda bhya
 
Leaflet senam hamil
Leaflet senam hamilLeaflet senam hamil
Leaflet senam hamil
 
Leaflet pemeriksaan ibu hamil
Leaflet pemeriksaan ibu hamilLeaflet pemeriksaan ibu hamil
Leaflet pemeriksaan ibu hamil
 
Leaflet panduan pijat bayi cie
Leaflet panduan pijat bayi cieLeaflet panduan pijat bayi cie
Leaflet panduan pijat bayi cie
 
Leaflet imunisasi
Leaflet imunisasiLeaflet imunisasi
Leaflet imunisasi
 
Leaflet hamil berkualitas
Leaflet hamil berkualitasLeaflet hamil berkualitas
Leaflet hamil berkualitas
 
Leaflet bersalin
Leaflet bersalinLeaflet bersalin
Leaflet bersalin
 
Leaflet perawatan payudarah
Leaflet   perawatan payudarahLeaflet   perawatan payudarah
Leaflet perawatan payudarah
 
Ketidaknyamanan masa kehamilan
Ketidaknyamanan masa kehamilanKetidaknyamanan masa kehamilan
Ketidaknyamanan masa kehamilan
 
Kb kumplit
Kb kumplitKb kumplit
Kb kumplit
 
Kb k omplit
Kb k omplitKb k omplit
Kb k omplit
 

Sabun Sirih

  • 1. PERBEDAAN KEJADIAN FLUOR ALBUS PATOLOGIS ANTARA YANG MENGGUNAKAN DENGAN YANG TIDAK MENGGUNAKAN SABUN ANTISEPTIK DAUN SIRIH PADA WUS DI DESA POJOK WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKORAME KEDIRI TAHUN 2011. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Antiseptik Daun Sirih 2.1.1 Pengertian Sabun Antiseptik Daun Sirih adalah sabun dari daun sirih yang memiliki kandungan minyak atsiri yang berfungsi sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006). 2.1.2 Kandungan Kimia Sabun Antiseptik Daun Sirih Sabun antiseptik daun sirih mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri daun sirih mengandung fenol dan kavinol. Fenol yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih merupakan senyawa golongan alkohol, yang memiliki daya antiseptik lima kali lebih lama dari pada senyawa fenol biasa. Senyawa Kavinol, akan semakin membantu sebagai antiseptik. Selain itu, sabun anti septik daun sirih mengandung arecolin, euginol, tannin, pati, vitamin c yang berfungsi sebagai antioksida, anti jamur atau bakteri (Dalimartha, 2006). 2.1.3 Manfaat Sabun Antiseptik Daun Sirih Menurut Moeljanto (2003), sabun antiseptik daun sirih memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Antiseptik. 2. Antioksida. 3. Anti jamur atau bakteri.
  • 2. 4. Menjaga PH atau derajat keasaman agar tetap netral. 5. Mengatasi masalah keputihan. 2.1.4 Efek Samping Sabun Antiseptik Daun Sirih Penggunaan sabun pembersih vagina secara berlebihan bisa mengurangi keasaman vagina. Secara alamiah, dalam setiap vagina terdapat bakteri baik (flora normal vagina). Flora normal itu berfungsi mengusir kuman yang merugikan. Pemakaian sabun vagina berlebihan justru membunuh bakteri baik yang kemudian mempermudah kuman masuk ke vagina. Sabun antiseptik daun sirih, sebaiknya hanya digunakan pada saat tertentu saja, seperti saat sesudah menstruasi atau setelah hubungan seks. Jadi sebenarnya tidak diperlukan bahan khusus untuk membersihkannya, cukup dengan air bersih. Namun, untuk kasus tertentu, pada keputihan gatal, produk pembersih dapat digunakan. Karena biasanya sabun pembersih tersebut mengandung antiseptik yang berfungsi untuk membunuh kuman. Produk pembersih daerah kewanitaan hendaknya dipilih yang memiliki pH kurang lebih sama dengan pH organ intim wanita yakni sekitar 4,5. Pada pH tersebut, kuman-kuman tidak dapat tumbuh dan berkembang biak (Fadilah, 2010). 2.1.5 Cara Kerja Sabun Antiseptik Daun Sirih Nurswida (2010) membuktikan bahwa ekstrak daun sirih yang terkandung dalam sabun antiseptik daun sirih, pada konsentrasi 3,25% sudah terjadi penghambatan pertumbuhan candida albican, tetapi hambatan total (tidak didapatkan koloni kuman) baru terjadi pada konsentrasi 7,5%. Efek hambat ekstrak daun sirih yang terkandung dalam sabun antiseptik daun sirih terhadap pertumbuhan candida albican, disebabkan
  • 3. komponen derivate fenol, seperti eugenol, isueugenol, allypirocathechol, chavichol, safrol, anethole, cavibetol, carvacrol, betlefenol. Fenol adalah denaturan protein yang poten. Mekanisme kerja phenolic melalui perusakan membran plasma, inaktivasi enzim, dan denaturasi protein, sehingga kuman mati. 2.2 Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) 2.2.1 Pengertian Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) adalah sebuah tanaman obat (Fitofarmaka) (Dalimartha, 2006). Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) adalah jenis tanaman memanjat dengan tinggi 5 – 15 meter (Bangun, 2008). 2.2.2 Klasifikasi Menurut Dalimartha (2006), klasifikasi tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuhan) Divisi :Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Piperales Famili : Piperaceae Genus : Piper Spesies : Piper Betle
  • 4. 2.2.3 Morfologi Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) Menurut Dalimartha (2006), Morfologi tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai berikut: 1. Daun Bentuk daun sirih adalah tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya sekitar 5 - 8 cm dan lebar 2 - 5 cm. 2. Batang Batang sirih berwarna cokelat kehijauan,berbentuk bulat, beruas dan merupakan tempat keluarnya akar. 3. Bunga Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat daun pelindung ± 1 mm berbentuk bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 1,5 - 6 cm dimana terdapat kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan. 4. Akar Akarnya tunggang, bulat dan berwarna cokelat kekuningan. 5. Buah Buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-abuan.
  • 5. Gambar 2.1 Tanaman Daun Sirih Jawa (Piper Betle). Gambar 2.2 Tanaman Daun Sirih Merah (Piper Betle). 2.2.4 Sifat Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) Menurut Dalimartha (2006), sifat tanaman daun sirih (Piper Betle) adalah Hangat dan pedas. 2.2.5 Perkembangbiakan Menurut Ratna (2008), cara perkembangbiakan tanaman sirih merah (Piper Betle) lebih umum dikembangbiakkan secara vegetatif atau aseksual. Secara alami tanaman sirih merah sulit diperbanyak dengan biji. Perbanyakan dengan cara tersebut mempunyai keuntungan yang terpenting adalah mewarisi sifat genetik dari tanaman induknya. Perkembangbiakan secara vegetatif, antara lain :
  • 6. 1. Stek Menggunakan potongan organ vegetatif (akar, batang, daun, dll) tanaman yang digunakan untuk perbanyakan tanaman, dengan maksud agar bagian tersebut membentuk akar. 2. Cangkok (Marcottage atau Air layerage) Perbanyakan sirih merah dapat juga dilakukan dengan cara mencangkok. Cangkok pada prinsipnya adalah mengusahakan perakaran dari suatu cabang tanaman tanpa memotong cabang tersebut dari tanaman induknya. Perbanyakan dengan cara ini memiliki kelebihan diantaranya, tanaman memiliki sifat-sifat unggul tanaman induknya dan tanaman lebih cepat berproduksi. 3. Merunduk (Layering) Perbanyakan sirih merah ini dapat pula menggunakan sistem runduk. Prinsip dari perundukan adalah merangsang (menstimulasi) terbentuknya akar atau tunas sebelum dipisahkan dari induknya. 2.2.6 Kandungan Kimia Menurut Dalimartha (2006), kandungan kimia tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai berikut: 1. Fenol atau Kavikol Fenol yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih merupakan senyawa golongan alkohol, yang memiliki daya antiseptik lima kali lebih lama dari pada senyawa fenol biasa. Senyawa Kavinol, akan semakin membantu sebagai antiseptik. Pada minyak atsiri daun sirih (Piper Betle), mengandung senyawa Fenol dan Kavinol. 2. Arecoline
  • 7. Zat ini terdapat pada seluruh bagian tanaman daun sirih (Piper Betle). Zat ini bermanfaat untuk merangsang saraf pusat dan daya pikir, meningkatkan gerakan peristaltik, dan meredakan dengkuran. 3. Eugenol Eugenol, terdapat pada daun, yang mampu mencegah ejakulasi dini, membasmi jamur Candida albicans, dan bersifat analgesik (meredakan rasa nyeri). 4. Tannin Tannin, juga terdapat pada daun, yang bermanfaat mengurangi sekresi cairan pada vagina, melindungi fungsi hati, dan mencegah diare. 5. Gula 6. Pati Pada minyak atsiri daun sirih (Piper Betle), mengandung pati. 7. Asam Amino 8. Tiamin 9. Riboflavin dan Vitamin C (Asam Askorbat) 2.2.7 Cara Pemanfaatan Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) Menurut penelitian dari Sjoekoer, dkk (Peneliti Mikrobiologi dari FK Unibraw) bahwa infusum sirih dapat menghambat pertumbuhan E.coli, Staphylococcus koagulase positif, Salmonella Typhosa, bahkan Pseudomonas aeruginosa yang kerap kali resisten terhadap antibiotik. Menurut penelitian penulis, sebenarnya pada konsentrasi 3,25% sudah terjadi penghambatan pertumbuhan Candida albicans, tetapi hambatan total (tidak didapatkan koloni kuman) baru terjadi pada konsentrasi 7,5% (Nurswida, 2010).
  • 8. Selain hal tersebut di atas, menurut Nurswida (2010), bahwa infusum sirih memiliki manfaat lain. Manfaat tersebut yaitu, menyebabkan kematian kuman, yang disebabkan karena adanya perusakan membran plasma, inaktivasi enzim, dan denaturasi protein. Menurut Hariana (2006), cara memanfaatkan tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai berikut: 1. Diminum Hasil air rebusan tanaman daun sirih (Pepir Betle), setelah dingin, dapat diminum. 2. Irigasi Digunakan untuk membasuh vagina. 3. Digulung Untuk mengobati mimisan pada hidung. 4. Dikunyah Untuk mencegah bau mulut. 2.2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan (Pemanfaatan) Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) Menurut Redaksi Agromedia (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi kecenderungan pemanfaatan tanaman obat adalah, sebagai berikut: 1. Pengetahuan Pengetahuan akan manfaat atau khasiat daun sirih (Piper Betle) bagi kesehatan serta efek samping pemakaian obat modern. 2. Sosial Ekonomi Harga obat-obatan buatan pabrik, saat ini semakin mahal, sehingga masyarakat mulai menerima alternatif yang mudah, murah tetapi memiliki khasiat yang hampir sama.
  • 9. 3. Kepercayaan Alasan pemakaian obat tradisional, merupakan kebiasaan keluarga, mudah didapat dan murah serta lebih yakin akan khasiatnya. 2.3 Keputihan (Fluor Albus) 2.3.1 Pengertian Keputihan (Leukorea, White Discharge, Fluor Albus) adalah gejala penyakit yang ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi, dan bukan berupa darah (Indarti, 2009). Keputihan (Fluor Albus) adalah keluarnya cairan dari vagina, selain darah. Sumber cairan ini dapat berasal dari sekresi vulva, sekresi serviks atau sekresi tuba fallopii yang dipengaruhi ovarium (Mansjoer, 2001). Keputihan (Fluor Albus) adalah cairan yang keluar dari vagina, bukan darah dengan sifat yang bermacam-macam, baik warna, bau maupun jumlahnya (Manuaba, 2008). 2.3.2 Jenis Fluor Albus Menurut Manuaba (2008), jenis Fluor Albus dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Fluor Albus fisiologis. 2. Fluor Albus patologis. 2.3.3 Ciri atau Klasifikasi Fluor Albus 2.3.3.1. Fluor Albus Fisiologis Tidak gatal dan tidak berbau (Boyke, 2010). Selain itu, warnanya putih atau bening, sifat khas Fluor Albus seperti krim (Rabe, 2002). Pengaruh estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin, terdapat pada bayi baru lahir sampai umur ± 10 hari; saat menarche karena pengaruh estrogen, biasanya hilang dengan sendirinya, rangsangan
  • 10. seksual sebelum dan pada waktu koitus, akibat transudasi dinding vagina; saat ovulasi, berasal dari sekret kelenjar serviks uteri yang menjadi lebih encer; saat kehamilan; perubahan mood (perasaan hati); stres; saat pemakaian kontrasepsi hormonal; pembilasan vagina secara rutin. 2.3.3.2 Fluor Albus Patologis Jumlah meningkat atau banyak; berubah warna ( putih keabu-abuan atau hijau kekuning-kuningan dengan gelembung, kekuningan dan purulen, bias berwarna kecoklatan atau diwarnai dengan darah); sifat khas Fluor Albus (kental dengan plak, sangat banyak, berbusa dan purulen atau lengket); jika infeksi berasal dari jamur, Fluor Albus tidak berbau, jika infeksi berasal dari bakteri, parasit atau virus, atau infeksi flora campuran, baunya agak atau sangat menusuk; gatal (Rabe, 2002). 2.3.4 Penyebab Fluor Albus 2.3.4.1. Faktor Endogen Menurut Sugi (2009), pada bayi atau anak, yang menjadi penyebab keputihan (Fluor Albus) yaitu kelainan pada lubang kemaluan, diantaranya: 1. Bibir kemaluan belum berkembang 2. Kemaluan belum ditumbuhi rambut 3. Letak lubang kemaluan pada bayi atau anak masih dekat dengan anus 4. pH atau keasaman vagina cenderung netral dan basa (alkalis) 2.3.4.2. Faktor Eksogen
  • 11. 1. Infeksi 1) Bakteri Menurut Ramayanti (2004), faktor eksogen karena infeksi bakteri, disebabkan oleh bakteri seperti di bawah: a. Gonococcus Cairan yang keluar dari vagina pada infeksi yang lebih dikenal dengan nama Gonorrhoea ini berwarna kekuning-kuningan yang sebetulnya merupakan nanah yang terdiri dari sel darah putih yang mengandung Neisseria gonorrhoea berbentuk pasangan dua-dua pada sitoplasma sel. Gambaran ini kadang dapat dilihat pada pemeriksaan Pap smear, tetapi biasanya bakteri ini diketahui pada pemeriksaan sediaan apus dengan pewarnaan gram. Bakteri ini mudah mati, bila terkena sabun, alkohol, detergen dan sinar matahari. Cara penularan penyakit kelamin ini melalui senggama. b. Clamydia trakhomatis Bakteri ini sering menyebabkan penyakit mata yang dikenal dengan trakhoma. Bakteri ini dapat juga ditemukan pada cairan vagina dan terlihat melalui mikroskop setelah diwarnai dengan pewarnaan giemsa. Bakteri ini membentuk suatu badan inklusi yang berada dalam sitoplasma sel-sel vagina. Pada pemeriksaan Pap smear sukar ditemukan adanya perubahan sel akibat infeksi Clamydia ini karena siklus hidupnya yang tidak mudah dilacak. c. Gardnerella vaginalis Gardnerella vaginalis menyebabkan peradangan vagina yang tidak spesifik dan kadang dianggap sebagai bagian dari mikro organisme normal dalam vagina karena seringnya
  • 12. ditemukan. Bakteri ini biasanya mengisi penuh sel epitel vagina dengan membentuk bentukan khas dan disebut sebagai Clue sel. Gardnerella vaginalis menghasilkan asam amino yang diubah menjadi senyawa amin yang menimbulkan bau amis seperti ikan. Cairan vagina tampak berwarna keabu-abuan. d. Treponema Pallidum Bakteri ini merupakan penyebab penyakit Sifilis. Pada perkembangan penyakit dapat terlihat sebagai kutil-kutil kecil di vulva dan vagina yang disebut kondiloma lata. Bakteri berbentuk spiral dan tampak bergerak aktif pada pemeriksaan mikroskopis lapangan gelap. e. Corynebacterium Vaginae Bakteri ini menyebabkan Servisitis dan Vaginitis. Cairan vagina berwarna seperti susu, kental, lengket, sangat banyak, tidak berbau (Mansjoer, 2001). 2) Jamur Jamur yang menyebabkan Fluor Albus adalah dari spesies Candida albican. Cairan yang keluar dari vagina biasanya encer, berwarna putih dan sering disertai rasa gatal, berbau apek, tampak kemerahan akibat proses peradangan (Mansjoer, 2001). Dengan KOH 10% tampak sel ragi (Blastospora) atau hifa semu. Beberapa keadaan yang ada merupakan tempat yang subur bagi pertumbuhan jamur ini adalah kehamilan, penyakit Diabetes mellitus, pemakai pil kontrasepsi. Suami atau pasangan penderita biasanya juga akan menderita penyakit jamur ini. Keadaan yang saling menularkan antara pasangan suami istri ini disebut sebagai fenomena pingpong (Ramayanti, 2004). 3) Parasit
  • 13. Etiologi Fluor Albus terbanyak karena parasit biasanya disebabkan Trichomonas vaginalis. Parasit ini berbentuk lonjong dan mempunyai bulu getar dan dapat bergerak berputar-putar dengan cepat. Gerakan ini dapat dipantau dengan mikroskop. Cara penularan penyakit ini melalui senggama. Walaupun jarang dapat juga ditularkan melalui perlengkapan mandi, seperti handuk atau bibir kloset. Cairan yang ke luar dari vagina biasanya banyak, berbuih menyerupai air sabun, berwarna kuning kehijauan dan berbau busuk. Fluor Albus oleh parasit ini tidak terlalu gatal, tetapi vagina tampak kemerahan dan timbul rasa nyeri bila ditekan atau perih bila berkemih (Ramayanti, 2004). 4) Virus Fluor Albus akibat infeksi virus sering disebabkan oleh Kondiloma akuminata dan Herpes simpleks tipe 2. Kondiloma ditandai dengan tumbuhnya kutil-kutil yang kadang sangat banyak dan dapat bersatu membentuk jengger ayam yang berukuran besar. Penyebabnya adalah Human Papiloma Virus. Cairan di vagina sering berbau, tanpa rasa gatal. Penyakit ini ditularkan melalui senggama dengan gambaran secara klinis menjadi lebih buruk bila disertai dengan gangguan sistem imun tubuh, seperti kehamilan, pemakaian steroid yang lama seperti pada pasien dengan gagal ginjal atau setelah transplantasi ginjal, serta penderita AIDS. Virus lain yang menyebabkan Fluor Albus adalah virus Herpes simpleks tipe 2, yang juga merupakan penyakit yang ditularkan melalui senggama. Pada awal infeksi tampak kelainan kulit seperti melepuh terkena air panas yang kemudian pecah dan menimbulkan luka seperti borok, dan pasien merasa sakit (Ramayanti, 2004). 5) Neoplasma atau Keganasan
  • 14. Kanker akan menyebabkan Fluor Albus patologis akibat gangguan pertumbuhan sel normal yang berlebihan sehingga menyebabkan sel bertumbuh sangat cepat secara abnormal dan mudah rusak, akibatnya terjadi pembusukan dan perdarahan akibat pecahnya pembuluh darah yang bertambah untuk memberikan makanan dan oksigen pada sel kanker tersebut. Pada keadaan seperti ini, akan terjadi pengeluaran cairan yang banyak disertai bau busuk akibat terjadinya proses pembusukan tadi dan sering kali diserta oleh adanya darah yang tidak segar (Ramayanti, 2004). 6) Erosi Wanita pada masa reproduksi, umumnya epitel kolumner endoserviks lebih keluar kearah porsio sehingga tampak bagian merah mengelilingi bagian ostium uteri internum. Bila daerah merah ini terkelupas, akan memudahkan terjadinya infeksi penyerta dari flora normal di vagina sehingga timbul Fluor Albus. Menurut Harmperl dan Kaufman (1959), penyebab erosi ini tidak diketahui, kemungkinan terjadi akibat kenaikan estrogen (Ramayanti, 2004). 2. Non Infeksi Menurut Maharani (2009), faktor eksogen karena non infeksi, sebagai berikut: 1) Benda Asing Adanya benda asing di dalam vagina, baik disengaja atau tidak, seperti tertinggalnya kondom atau pemakaian kontrasepsi IUD. Jika rangsangan ini menimbulkan luka, akan sangat mungkin terjadi infeksi penyerta dari flora normal yang berada di dalam vagina sehingga timbul Fluor Albus. 2) Personal Hygiene
  • 15. Cebok tidak bersih, celana dalam yang lembab, sehingga menibulkan tumbuhnya jamur, yang merupakan penyebab Fluor Albus. 3) Sistem Imun Tubuh Beberapa penelitian telah dilakukan tentang hubungan Fluor Albus dan sistem imun tubuh. Sistem imun (imunologi) adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari kekebalan tubuh serta interaksinya dengan benda asing (imunogen atau antigen). Kekebalan (imunitas) tubuh terhadap benda asing, diperlukan untuk melindungi tubuh kita dari berbagai patogen. Sistem imun terdiri atas komponen sel dan molekul yang tersebar di seluruh tubuh dan bekerja sama satu dengan yang lainnya secara terkoordinir. Peranan sistem imun, jelas terlihat pada penyakit infeksi, reaksi dalam penolakan jaringan dalam transplantasi, eliminasi sel tumor, dan lain-lain. Gangguan sistem imun yang mengakibatkan ketidak seimbangan respon imun, juga dapat menimbulkan kelainan, seperti terlihat pada reaksi hipersensitifitas, alergi atau penyakit auto imun. 4) Kelainan endokrin atau hormon Kelainan endokrin terjadi pada penderita Diabetes mellitus. 5) Menopouse Fluor Albus pada menopause, tidak semuanya patologis. Saat menopause, sel-sel pada serviks uteri dan vagina mengalami hambatan dalam pematangan sel akibat tidak adanya hormon pemacu, yaitu estrogen. Vagina menjadi kering dan lapisan sel menjadi tipis, kadar glikogen menurun dan basil doderlein berkurang. Keadaan ini memudahkan terjadinya infeksi karena tipisnya lapisan sel epitel, sehingga mudah menimbulkan luka dan akibatnya timbul Fluor Albus.
  • 16. 6) Kondisi Tubuh (Stres) Kondisi tubuh yang selalu tegang, cemas, dan kurang istirahat, dapat menyebabkan Fluor Albus. 7) Kelelahan kronis 2.3.5. Diagnosis Keputihan (Fluor Albus) Menurut Ramayanti (2004), diagnosis keputihan (Fluor Albus), sebagai berikut: 1. Anamnesa Dalam anamnesa, yang harus diperhatikan, antara lain: 1) Usia Bayi wanita atau pada wanita dewasa, Fluor Albus yang terjadi mungkin karena pengaruh estrogen yang tinggi dan merupakan Fluor Albus yang fisiologis. Wanita dalam usia reproduksi harus dipikirkan kemungkinan suatu penyakit hubungan seksual (PHS) dan penyakit infeksi lainnya. Pada wanita dengan usia yang lebih tua, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya keganasan, terutama kanker serviks. 2) Metode Kontrasepsi Yang Dipakai Pada penggunaan kontrasepsi hormonal, dapat meningkatkan sekresi kelenjar serviks. Keadaan ini dapat diperberat dengan adanya infeksi jamur. Pemakaian IUD juga dapat menyebabkan infeksi atau iritasi pada serviks yang merangsang sekresi kelenjar serviks menjadi meningkat. 3) Kontak Seksual
  • 17. Untuk mengantisipasi Fluor Albus akibat PHS, seperti Gonorrhoea, Kondiloma akuminata, Herpes genitalis, dan sebagainya. Hal yang perlu ditanyakan adalah kontak seksual terakhir. 4) Perilaku Pasien yang tinggal di asrama bersama teman-temannya, kemungkinan tertular penyakit infeksi yang menyebabkan Fluor Albus cukup besar. Contoh kebiasaan yang kurang baik adalah tukar-menukar alat mandi atau handuk. 5) Sifat Fluor Albus Yang harus ditanyakan adalah jumlah, bau, warna, konsistensinya, keruh atau jernih, ada tidaknya darah, frekuensi, dan telah berapa lama kejadian tersebut berlangsung. Hal ini perlu ditanyakan secara detail karena dengan mengetahui hal-hal tersebut, dapat diperkirakan kemungkinan etiologinya. 6) Menanyakan Kepada Pasien, Kemungkinan Hamil Atau Menstruasi Pada kedua keadaan ini, Fluor Albus yang terjadi biasanya merupakan hal yang fisiologis. 7) Masa Inkubasi Bila Fluor Albus timbulnya akut, dapat diduga akibat infeksi atau pengaruh zat kimia ataupun pengaruh rangsangan fisik. 2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik secara umum harus dilakukan, untuk mendeteksi adanya kemungkinan penyakit kronis, gagal ginjal, infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya yang mungkin berkaitan dengan Fluor Albus. Pemeriksaan khusus yang harus dilakukan adalah pemeriksaan genetalia, meliputi: inspeksi dan palpasi genetalia
  • 18. eksterna, pemeriksaan speculum untuk melihat vagina dan serviks; pemeriksaan pelvis bimanual. Untuk menilai cairan dinding vagina, hindari kontaminasi dengan lendir serviks. Pada infeksi karena Gonococcus, kelainan yang dapat ditemui adalah orifisium urethra eksternum merah, edema dan sekret yang mukopurulen, labia mayora dapat bengkak, merah dan nyeri tekan. Kadang-kadang kelenjar bartholini ikut meradang dan terasa nyeri waktu berjalan atau duduk. Pada pemeriksaan melalui spekulum, terlihat serviks merah dengan erosi dan sekret mukopurulen. Pada Trikomonas vaginalis, dinding vagina tampak merah dan sembab. Kadang terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi berwarna merah dan dikenal sebagai strawberry appearance. Bila sekret banyak di keluarkan dan menimbulkan iritasi pada lipat paha atau sekitar genetalia eksterna. Infeksi Gardnerella vaginalis, memberikan gambaran vulva dan vagina yang berwarna hyperemis, sekret yang melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis atau berkilau. Pada pemeriksaan serviks dapat ditemukan erosi, disertai lendir bercampur darah yang keluar dari ostium uteri internum. Pada Candidiasis vagina, dapat ditemukan peradangan pada vulva dan vagina. Pada dinding vagina sering terdapat membran-membran kecil berwarna putih, yang jika diangkat meninggalkan bekas yang agak berdarah. Pada kanker serviks awal, akan terlihat bercak berwarna merah dengan permukaan tidak licin. Gambaran ini, dapat berkembang menjadi granuler, berbenjol-benjol dan ulseratif disertai adanya jaringan nekrotik. Disamping itu, tampak sekret yang kental berwarna coklat dan berbau busuk. Pada kanker serviks lanjut, serviks menjadi
  • 19. nekrosis, berbenjol-benjol dan ulseratif serta permukaan bergranuler, memberikan gambaran seperti bunga kol. Gambaran seperti bunga kol ini, juga dapat ditemui pada kondiloma akuminata di vulva, bahkan sampai ke luar dari vagina maupun serviks. Pada Herpes genitalis akan terlihat adanya vesikel-vesikel pada vulva, labia mayora, labia minora, vagina dan serviks. Pada keadaan lebih lanjut, dapat dilihat adanya ulkus- ulkus pada vagina dan serviks. Adanya benda asing dapat dilihat dengan adanya benda yang mengiritasi, seperti IUD, tampon vagina, pesarium, kondom yang tertinggal dan sebagainya. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah: 1) Penentuan pH Penentuan pH, dengan kertas indikator pH (normal : 3,0 – 4,5). 2) Penilaian Sediaan Basah Penilaian diambil untuk pemeriksaan sediaan basah dengan KOH 10%, dan pemeriksaan sediaan basah dengan garam fisiologis. Trichomonas vaginalis, akan terlihat jelas dengan garam fisiologis sebagai parasit berbentuk lonjong, dengan flagellanya dan gerakannya yang cepat, sedangkan Candida albican, dapat dilihat jelas dengan KOH 10% tampak sel ragi (Blastospora) atau hifa semu. Vaginitis non spesifik yang disebabkan Gardnerella vaginalis, pada sediaan dapat ditemukan beberapa kelompok basil, leukosit yang tidak seberapa banyak dan banyak
  • 20. sel-sel epitel, yang sebagian besar permukaannya berbintik-bintik. Sel ini disebut Clue cell, yang merupakan ciri khas infeksi Gardnerella vaginalis. 3) Pewarnaan Gram Neisserea gonorrhoea, memberikan gambaran adanya Gonococcus intra dan ekstra seluler. Gardnerella vaginalis, memberikan gambaran batang-batang berukuran kecil, gram negatif yang tidak dapat dihitung jumlahnya dan banyaknya sel epitel dengan koko basil, tanpa ditemukan laktobasil. 4) Kultur Dengan kultur akan ditemukan kuman penyebab secara pasti, tetapi sering kali kuman tidak tumbuh, sehingga harus hati-hati dalam penafsiran. 5) Pemeriksaan Serologis Pemeriksaan ini dapat digunakan, untuk mendeteksi Herpes genitalis dan Human Papiloma Virus (HPV) dengan pemeriksaan Elisa. 6) Tes Pap smear Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi adanya keganasan pada serviks, infeksi termasuk Human Papiloma Virus (HPV), peradangan, sitologi hormonal dan evaluasi hasil terapi. 2.3.6. Faktor Yang Mempengaruhi Keputihan (Fluor Albus) 2.3.6.1. Faktor Endogen Menurut Sugi (2009), faktor endogen disebabkan oleh kelainan pada lubang kemaluan.
  • 21. 2.3.6.2. Faktor Eksogen Menurut Ramayanti (2004), faktor eksogen disebabkan antara lain: 1. Infeksi a. Bakteri b. Jamur c. Parasit d. Virus e. Neoplasma atau Keganasan f. Erosi 2. Non Infeksi a. Benda Asing Tertinggalnya kondom dalam vagina, benang pada pengguna kontrasepsi IUD. b. Personal Hygiene c. Sistem Imun Tubuh d. Kelainan endokrin atau hormon e. Menopouse f. Kondisi Tubuh (Stres) g. Kelelahan Kronis 3. Faktor lain a. Usia
  • 22. Bayi wanita atau pada wanita dewasa, Fluor Albus yang terjadi mungkin karena pengaruh estrogen yang tinggi dan merupakan Fluor Albus yang fisiologis. Wanita dalam usia reproduksi harus dipikirkan kemungkinan suatu penyakit hubungan seksual (PHS) dan penyakit infeksi lainnya. Pada wanita dengan usia yang lebih tua, harus dipikirkan kemungkinan terjadinya keganasan, terutama kanker serviks. b. Perilaku Pasien yang tinggal di asrama bersama teman-temannya, kemungkinan tertular penyakit infeksi yang menyebabkan Fluor Albus cukup besar. Contoh kebiasaan yang kurang baik adalah tukar-menukar alat mandi atau handuk. 2.4 Wanita Usia Subur 2.4.1 Pengertian Wanita usia subur adalah wanita pada masa atau periode dimana dapat mengalami proses reproduksi. Ditandai masih mengalami menstruasi umur (15-45) tahun (Anggiz, 2007). Wanita usia subur adalah wanita yang berusia 15 sampai dengan 49 tahun termasuk ibu hamil atau nifas, calon pengantin, remaja puteri (dalam atau luar sekolah), pekerja wanita, dan wanita usia subur yang tidak hamil (Pradipta, 2005). 2.4.2 Remaja 2.4.2.1 Pengertian Remaja adalah Suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan-perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan sosial (Desmita, 2008).
  • 23. Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi dan psikis (Widyastuti, 2009). 2.4.2.2 Batasan Usia Remaja Menurut Desmita (2008), batasan usia remaja, sebagai berikut: 1. Masa pra remaja atau pra pubertas Antara usia 10-12 tahun. 2. Masa remaja awal atau pubertas Antara usia 12-15 tahun. 3. Masa remaja pertengahan Antara usia 15-18 tahun. 4. Masa remaja akhir Antara usia 18-21 tahun. 2.4.2.3 Pertumbuhan Fisik Remaja 1. Perubahan dalam tinggi dan berat Tinggi rata-rata anak perempuan pada usia 12 tahun adalah sekitar 60 inci. Tetapi pada usia 18 tahun , tinggi rata-rata remaja perempuan hanya 64 inci Selain itu, percepatan pertumbuhan badan juga terjadi dalam penambahan berat badan, yaitu 10 kilogram bagi anak-anak perempuan. Meskipun berat badan juga mengalami peningkatan selama masa remaja, namun ia lebih mudah dipengaruhi oleh diet, latihan, dan gaya hidup umumnya (Desmita, 2008). 2. Perubahan dalam proporsi tubuh Seiring dengan pertambahan tinggi dan berat badan, percepatan pertumbuhan selam masa remaja juga terjadi pada proporsi tubuh. Perubahan proporsi tubuh terlihat dari
  • 24. pertumbuhan tangan dan kaki, ciri wajah, seperti dahi yang semula sempit sekarang menjadi lebih luas, mulut lebar, dan bibir menjadi lebih penuh (Desmita, 2008). 3. Perubahan pubertas 1) Perubahan ciri seks primer a. Pengertian perubahan ciri seks primer Perubahan ciri seks primer adalah perubahan menunjuk pada organ tubuh secara langsung berhubungan dengan proses reproduksi (Desmita, 2008). b. Ciri seks primer anak perempuan Yaitu menarche atau mengalami menstruasi (Widyastuti, 2009 ). 2) Perubahan ciri seks sekunder a. Pengertian perubahan ciri seks sekunder Perubahan ciri seks sekunder adalah perubahan menunjuk pada tanda-tanda jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi (Desmita, 2008). b. Ciri seks sekunder anak perempuan Menurut Desmita (2008), ciri seks sekunder anak perempuan, antara lain: Payudara membesar; Pinggul membesar; Suara menjadi halus; Tumbuh bulu ketiak; Tumbuh bulu di sekitar kemaluan; Kulit menjadi halus (Widyastuti, 2009). Kelenjar lemak dan kelenjar keringat menjadi lebih aktif (Widyastuti, 2009). 2.4.3 Perkembangan Remaja Menurut Ali (2008), perkembangan remaja, antara lain: 1. Perkembangan intelek
  • 25. Pada masa ini remaja telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya. 2. Perkembangan kreativitas Perkembangan kreativitas sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif individu karena kreativitas sesungguhnya merupakan perwujudan dari pekerjaan otak. Perkembangan kreativitas remaja berada pada posisi seiring dengan tahapan operasional formal. Artinya, perkembangan kreativitasnya, sedang berada pada tahap amat potensial bagi perkembangan kreativitas. 3. Perkembangan emosi Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang berkobar-kobar, sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian. Pada tahap praremaja, mudah tersinggung, cengeng, cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak; pada tahap remaja awal, kontrol terhadap diri bertambah sulit dan cepat marah, mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri sehingga cenderung menyendiri; pada remaja tengah, membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik dan pantas untuk dikembangkan dikalangan mereka sendiri; pada tahap remaja akhir, mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa, emosinya mulai stabil. 4. Perkembangan bakat khusus Remaja memiliki bakat yang berbeda pada setiap individu. Bakat khusus yang dimiliki remaja antara lain, bakat untuk bekerja dalam angka-angka, logika bahasa, dalam
  • 26. bidang kreatif-produktif, seperti menciptakan sesuatu yang baru; bakat dalam bidang seni, seperti menciptakan musik; bakat dalam kinestetik atau psikomotorik, seperti oleh raga; bakat dalam bidang sosial, seperti koneksi, berkomunikasi, kepemimpinan. 5. Perkembangan hubungan sosial Karakteristik hubungan sosial remaja yaitu berkembangnya kesadaran akan kesunyian dan dorongan pergaulan, adanya upaya memilih nilai-nilai sosial, meningkatnya ketertarikan pada lawan jenis, mulai tampak kecenderungan untuk memilih karier tertentu. 6. Perkembangan kemandirian Perkembangan kemandirian pada remaja, menyebar pada tingkat sadar diri, tingkat saksama, tingkat individualistis, tingkat mandiri. Pada tingkat mandiri, remaja telah memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis, mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik dalam diri, menghargai kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling ketergantungan, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh kayakinan dan keceriaan. 7. Perkembangan bahasa Karakteristik perkembangan bahasa remaja telah mencapai tahap kompetensi lengkap. 8. Perkembangan nilai, moral dan sikap Masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya, maka masa remaja menjadi suatu periode yang penting dalam pembentukan nilai. Remaja sudah merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai
  • 27. pedoman, pegangan atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang matang. Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja yaitu mulai mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis, maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada waktu, tempat dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup mereka. Hal ini dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban. Perubahan sikap yang mencolok sebagai karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya. 2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Remaja Menurut Widyastuti (2009), faktor yang mempengaruhi kesehatan remaja, antara lain: 1. Masalah gizi a. Anemia dan kurang gizi kronis; b. Pertumbuhan yang terhambat pada remaja puteri. 2. Masalah pendidikan a. Buta huruf; b. Pendidikan rendah. 3. Masalah Lingkungan dan Pekerjaan a. Lingkungan dan suasana yang kurang memperhatikan kesehatan remaja dan bekerja yang akan mengganggu kesehatan remaja; b. Lingkungan sosial yang kurang sehat dapat menghambat bahkan merusak kesehatan fisik, mental dan emosional remaja. 4. Masalah Seks dan Seksualitas
  • 28. a. Pengetahuan yang tidak lengkap tentang masalah seksualitas; b. Kurangnya bimbingan untuk bersikap positif dalam hal yang berkaitan dengan seksualitas; c. Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA yang mengarah pada penularan HIV/ AIDS; d. Penyalahgunaan seksual; e. Kehamilan remaja; f. Kehamilan pra nikah atau di luar ikatan pernikahan 5. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja a. Ketidakmatangan secara fisik dan mental; b. Risiko komplikasi dan kematian ibu dan janin lebih besar; c. Kehilangan kesempatan untuk pengembangan diri; d. Risiko bertambah untuk melakukan aborsi yang tidak aman 2.4.5 Masa Dewasa Awal 2.4.5.1 Pengertian Masa dewasa awal adalah wanita yang berusia antara 20-40 tahun (Haditono, 2004). 2.4.5.2 Pertumbuhan Fisik Masa Dewasa Awal Menurut Ali (2008), pertumbuhan fisik masa dewasa awal, antara lain: 1. Kesehatan badan Bagi kebanyakan orang, awal masa dewasa ditandai dengan memuncaknya kemampuan dan kesehatan fisik. Mulai sekitar usia 18 hingga 25 tahun, individu
  • 29. memiliki kekuatan yang terbesar, gerak reflek sangat cepat. Kemampuan reproduktif berada di tingkat paling tinggi. Meskipun pada awal masa dewasa, kondisi kesehatan fisik mencapai puncaknya, namun selama periode ini penurunan keadaan fisik juga terjadi. Perubahan fisik,sebagian besar lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif. Secara berangsur, kekuatan fisik mengalami kemunduran, sehingga lebih mudah terserang penyakit. Akan tetapi, seseorang masih cukup mampu untuk melakukan aktivitas normal. Pada masa dewasa tengah. Mulai terjadi perubahan dalam hal kemampuan reproduktif. 2. Sensor dan perseptual Pada masa dewasa awal, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran belum terlalu signifikan. Pada masa dewasa tengah,mulai terjadi perubahan dalam penglihatan dan pendengaran. 3. Otak Pada masa dewasa awal, sel-sel otak juga berangsur berkurang, tetapi perkembangan koneksi neural, khususnya bagi orang yang tetap aktif, membantu sel-sel yang hilang. 2.4.5.3 Perkembangan Masa Dewasa Awal Menurut Ali (2008), perkembangan masa dewasa awal, terdiri dari: 1. Perkembangan mental dan motorik Masa dewasa awal, mempunyai potensi yang besar untuk melaksanakan tugas perkembangan dengan sukses karena perkembangan mental dan motorik mencapai puncaknya. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan tugas perkembangan
  • 30. dengan baik. Mengalami penyesuaian pribadi, seperti waktu harus dibagi antara pekerjaan dan urusan rumah tangga, peran sebagai orang tua, perubahan dalam tekanan budaya dan lingkungan. 2. Perkembangan kemandirian Perkembangan kemandirian pada dewasa awal, pada tingkat mandiri. Pada tingkat mandiri, masa dewasa awal telah memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis, mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik dalam diri, menghargai kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling ketergantungan, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh kayakinan dan keceriaan. 3. Perkembangan bahasa Karakteristik perkembangan bahasa dewasa awal telah mencapai tahap kompetensi lengkap. 4. Perkembangan nilai, moral dan sikap Masa dewasa awal sudah mengerti pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dan telah memiliki kepribadian yang matang. Karakteristik perkembangan moral dewasa awal yaitu mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis, sudah mengerti akan hak dan kewajiban. 2.4.6 Masa Dewasa Madya 2.4.6.1 Pengertian
  • 31. Masa dewasa madya adalah seseorang yang berusia 40-60 tahun) (Haditono, 2004). 2.4.6.2 Pertumbuhan Fisik Masa Dewasa Madya Menurut Ali (2008), pertumbuhan fisik masa dewasa madya, antara lain: 1. Kesehatan badan Pada masa dewasa madya. Mulai terjadi perubahan dalam hal kemampuan reproduktif. 2. Sensor dan perseptual Pada masa dewasa madya, mulai terjadi perubahan dalam penglihatan dan pendengaran. 3. Otak Pada masa dewasa madya, sel-sel otak berangsur berkurang, tetapi perkembangan koneksi neural, khususnya bagi orang yang tetap aktif, membantu sel-sel yang hilang. 2.4.6.3 Perkembangan Masa Dewasa Madya Menurut Ali (2008), perkembangan masa dewasa madya, terdiri dari: 1. Perkembangan mental dan motorik Masa dewasa madya, mulai mengalami perubahan mental, mengembangkan kegiatan- kegiatan untuk mengisi waktu senggang. 2. Perkembangan kemandirian Perkembangan kemandirian pada dewasa madya, pada tingkat mandiri, telah memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis, mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik dalam diri, menghargai kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling
  • 32. ketergantungan, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh kayakinan dan keceriaan. 3. Perkembangan bahasa Karakteristik perkembangan bahasa dewasa madya, telah mencapai tahap kompetensi lengkap. 4. Perkembangan nilai, moral dan sikap Masa dewasa madya, sudah mengerti pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai- nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dan telah memiliki kepribadian yang matang. Karakteristik perkembangan moral dewasa madya yaitu mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis, sudah mengerti akan hak dan kewajiban. 2.5 Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Keputihan (Fluor Albus), disebabkan oleh faktor endogen dan faktor eksogen serta adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi. Faktor eksogen yang terdiri dari faktor infeksi (infeksi bakteri, parasit, jamur, virus, Neoplasma atau keganasan, erosi) dan non infeksi (personal hygiene, sistem imun tubuh, kelainan endokrin atau hormone, menopause, kondisi tubuh [stres], kelaianan kronis), keduanya dapat menyebabkan terjadinya keputihan (Fluor Albus). Selain itu, faktor usia dan perilaku, juga dapat mempengaruhi terjadinya keputihan (Fluor Albus) (Ramayanti, 2004). Sabun sirih adalah sabun antiseptik (Dalimartha, 2006). Minyak atsiri daun sirih, mengandung fenol, pati, diastase, dan zat kavinol. Zat inilah yang berkhasiat untuk mematikan kuman, sebagai zat antioksida dan anti jamur (Dalimartha, 2006).
  • 33. Semua khasiat sabun sirih, terkait dengan kandungan senyawa alkohol yang terdapat pada daun sirih., baik fenol, maupun kavikol. Fenol yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih, merupakan senyawa golongan alkohol yang memiliki daya antiseptik lima kali lebih, dari pada senyawa fenol biasa. Senyawa kavinol, akan semakin membantu sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006). Wanita, perlu menjaga kebersihan organ intim. Organ intim wanita, seperti vagina sangat sensitif dengan kondisi lingkungan karena letaknya tersembunyi dan tertutup, vagina memerlukan suasana kering. Kondisi lembab akan mengundang berkembangbiaknya jamur dan bakteri patogen. Kebersihan organ intim wanita, dapat dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri. Salah satu cara untuk menjaga kebersihan organ intim wanita, yaitu dengan menggunakan sabun antiseptik daun sirih. Penyebab Keputihan dan Tips Menghindari Keputihan Share Artikel ini melalui: Diterbitkan pada tanggal 19 - 11 - 2009 | 155 komentar DokterSehat - Keputihan sungguh mengganggu aktifitas sehari-hari apalagi terkadang disertai dengan adanya rasa gatal. Keputihan mempunyai beberapa penyebab diantaranya adalah : a. Jamur Candidas atau Monilia Warnanya putih susu, kental, berbau agak keras, disertai rasa gatal pada kemaluan. Akibatnya, mulut vagina menjadi kemerahan dan meradang. Biasanya, kehamilan, penyakit kencing manis, pemakaian pil KB, dan rendahnya daya tahan tubuh menjadi pemicu. Bayi yang baru lahir juga bisa tertular keputihan akibat Candida karena saat persalinan tanpa sengaja menelan cairan ibunya yang menderita penyakit tersebut. b. Parasit Trichomonas Vaginalis Ditularkan lewat hubungan seks, perlengkapan mandi, atau bibir kloset. Cairan keputihan sangat kental, berbuih, berwarna kuning atau kehijauan dengan bau anyir. Keputihan karena parasit tidak menyebabkan gatal, tapi liang vagina nyeri bila ditekan. c. Bakteri Gardnella
  • 34. Infeksi ini menyebabkan rasa gatal dan mengganggu. Warna cairan keabuan, berair, berbuih, dan berbau amis. Beberapa jenis bakteri lain juga memicu munculnya penyakit kelamin seperti sifilis dan gonorrhoea. d. Virus Keputihan akibat infeksi virus juga sering ditimbulkan penyakit kelamin, seperti condyloma, herpes, HIV/AIDS. Condyloma ditandai tumbuhnya kutil-kutil yang sangat banyak disertai cairan berbau. Ini sering pula menjangkiti wanita hamil. Sedang virus herpes ditularkan lewat hubungan badan. Bentuknya seperti luka melepuh, terdapat di sekeliling liang vagina, mengeluarkan cairan gatal, dan terasa panas. Gejala keputihan akibat virus juga bisa menjadi faktor pemicu kanker rahim. Berikut tips menghindari keputihan  Jalani diet yang seimbang dan banyak minum  Konsumsi yoghurt, batasi konsumsi gula  Cukup tidur dan istirahat  Jangan menggaruk vagina sekalipun gatal  Jaga kesehatan daerah kewanitaan seperti sering lebih sering ganti pembalut/tampon, memakai celana dalam adri bahan katun dan tidak ketat  Cuci pakaian dalam dengan sabun ringan dan jangan gunakan pembalut/pewangi pakaian  Jaga kebersihan tubuh, hindari pembersih vagina yang mengandung parfum  Gunakan obat keputihan yang diberikan dokter secara teratur walaupun gejala sudah hilang karena kemungkinan infeksi masih terjadi (Read more: http://doktersehat.com/penyebab- keputihan-dan-tips-menghindari- keputihan/#ixzz1n5umvdYT) BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Out Come Out Put
  • 35. Pro ses In p ut Kerangka konseptual ini dibuat berdasarkan pendekatan sistem. Secara detail dapat dilihat pada gambar 3.1, di bawah.
  • 36. Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian . Berdasarkan gambar 3.1 kerangka konseptual di atas, menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi wanita usia subur untuk menggunakan atau tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, yaitu faktor pengetahuan, sosial ekonomi dan kepercayaan. Dengan menggunakan sabun antiseptik daun sirih, diharapkan kejadian Fluor Albus Patologis menurun sehingga kejadian infertilitas, Kehamilan ektopik, Kanker serviks, serta kematian dapat menurun. 3.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah Ada Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011, selanjutnya dirumuskan dalam bentuk statistik, yang berbunyi, Tidak Ada Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. BAB 4
  • 37. METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Rancangan dalam penelitian ini dijelaskan berdasarkan berbagai perspektif yaitu: 1. Berdasarkan lingkup penelitian, menggunakan rancangan penelitian inferensial. 2. Berdasarkan tempat penelitian, termasuk jenis penelitian lapangan. 3. Berdasarkan waktu pengumpulan data, termasuk jenis rancangan “cross sectional”. 4. Berdasarkan cara mengumpulkan data, termasuk jenis observasi. 5. Berdasarkan ada tidaknya perlakuan, termasuk jenis rancangan penelitian “expost facto”. 6. Berdasarkan tujuan penelitian, termasuk jenis analitik komparasi. 7. Berdasarkan sumber data, termasuk rancangan penelitian primer. 8. Berdasarkan jenis data, termasuk jenis kualitatif. 4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. Jumlah populasi yaitu 4.449 Orang. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. 1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini, sebagai berikut:
  • 38. 1) Responden yang bersedia diteliti. 2) Wanita usia 15 – 49 tahun. 2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1) Responden yang tidak bersedia diteliti. 2) Wanita yang menggunakan pembersih organ intim, selain sabun antiseptik daun sirih. 3) Wanita yang sedang hamil. 4) Wanita yang sakit atau sedang menderita penyakit (kencing manis, kista atau penyakit organ reproduksi lainnya). Besar sampel dalam penelitian ini adalah 2% dari jumlah populasi, yaitu 89 responden. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu secara non probability sampling dengan jenis consecitive sampling. 4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua variabel tergantung, yaitu Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih. Definisi operasional penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah.
  • 39. Tabel 4.1 Definisi Operasional Penelitian No. Variabel Definisi Operasional Indikator Alat Ukur Skala 1. 2. Kejadian fluor albus patologis yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih Kejadian fluor albus patologis yang tidak menggunakan sabun antiseptik Suatu keadaan keluarnya cairan dari vagina, bukan darah dengan sifat yang bermacam- macam, baik jumlah, bau, warna, konsistensinya, keruh atau jernih, ada tidaknya darah, frekuensi, dan telah berapa lama kejadian tersebut berlangsung dalam bentuk tidak mengalami fluor albus patologis dan fluor albus patologis pada wanita yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih. Suatu keadaan keluarnya cairan dari vagina, bukan darah dengan sifat yang bermacam- macam, baik jumlah, bau, warna, konsistensinya, keruh atau jernih, ada tidaknya darah, frekuensi, dan telah berapa lama kejadian 1. Jumlah 2. Warna 3. Sifat khas 4. Bau 5. Gejala 1. Jumlah 2. Warna 3. Sifat Check list Check Ordinal Tidak Fluor Albus Patologis Mengalami Fluor Albus Patologis Ordinal Tidak Fluor Albus Patologis
  • 40. daun sirih tersebut berlangsung dalam bentuk tidak mengalami fluor albus patologis dan fluor albus patologis pada wanita yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih. khas 4. Bau 5. Gejala list Mengalami Fluor Albus Patologis 4.4 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar check list. 4.5 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih, peneliti menggunakan lembar check list. Spesifikasi Blue Print Instrumen. Tabel 4.2 Blue print check list No. Variabel Aspek No. item Jumlah 1. Penggunaan sabun antiseptik daun sirih Penggunaan sabun antiseptik daun sirih Ciri atau selain sabun antiseptic daun sirih 1 1
  • 41. 2. Kejadian keputihan (fluor albus) patologis Kejadian keputihan Jumlah keputihan Warna keputihan Sifat Keputihan Bau Keputihan Gejala Keputihan 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 11 Total Jumlah Soal 12 4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri. Waktu penelitian bulan september Tahun 2011. 4.7 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Adapun prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini melalui tahap sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Dalam tahap persiapan, peneliti melakukan beberapa kegiatan meliputi: a. Menentukan sasaran atau populasi b. Menetapkan sampel c. Memperbanyak check list
  • 42. 2. Tahap Pelaksanaan a. Menyerahkan surat ijin penelitian dari institusi Pendidikan kepada Dinas Kesehatan Kota Kediri dan tempat penelitian yaitu Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. b. Memberikan inform consent kepada calon responden, setelah calon responden bersedia menjadi responden, kemudian peneliti memberikan surat pernyataan kesediaan penelitian kepada responden. c. Peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman check list. Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui tahapan sebagai berikut: 1. Editing Setelah data terkumpul dan sebelum diolah, data tersebut di edit terlebih dahulu oleh peneliti untuk menghindari kesalahan atau hal yang meragukan, agar mendapatkan data yang berkualitas, serta peneliti melakukan pengamatan satu per satu tentang kelengkapan pengisian untuk keperluan proses berikutnya. 2. Coding Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menulis kode pada setiap pengamatan, mulai dari nomor 1, nomor 2 pada lembar pengamatan berikutnya sampai terakhir, begitu seterusnya sampai pengamatan yang terakhir. Setelah itu, menuliskan kode untuk setiap variabel. Untuk mengukur variabel dependen pertama dan ke dua, digunakan teknik sebagai berikut, data umum terdiri dari : a. Untuk data umum yaitu umur, di beri kode U, dimana: 1) 15-17 tahun kode 1
  • 43. 2) 18-20 tahun kode 2 3) 21-39 tahun kode 3 4) 40-49 tahun kode 4 b. Untuk data umum yaitu pekerjaan, di beri kode R, dimana: 1) PNS kode 1 2) Swasta kode 2 3) Wiraswasta kode 3 4) Ibu rumah tangga kode 4 5) Pelajar kode 5 c. Untuk data umum yaitu suku, di beri kode S, dimana: 1) Jawa kode 1 2) Madura kode 2 3) Sunda kode 3 4) Lainnya kode 4 d. Untuk data responden yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih: 1) Yang tidak mengalami fluor albus patologis kode 1 2) Yang mengalami fluor albus patologis kode 2
  • 44. e. Untuk data responden yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih: 1) Yang tidak mengalami fluor albus patologis kode 1 2) Yang mengalami fluor albus patologis kode 2 3. Skoring Pada penelitian ini, skoring menggunakan skala guttman yang sudah dimodifikasi untuk menentukan skor. Jadi, setiap pertanyaan tersebut diberikan 2 jawaban pilihan yang sesuai dengan inti masalah dalam pertanyaan tersebut. Tiap jawaban diberi nilai skor 0 sampai dengan 1. Untuk mengukur variabel tersebut, menggunakan skoring yaitu: skor 1 (ya), skor 0 (tidak). 4. Tabulating Setelah pernyataan diberi kode, maka dibuat dalam tabel distribusi frekuensi dan dilakukan pembahasan terhadap kedua variabel dependen, untuk mempermudah mengidentifikasi data sehingga memudahkan juga dalam pengolahan data. 4.8 Teknik Analisa Data 1. Analisa Univariat Dari hasil teknik skoring untuk masing-masing variabel dependen, yaitu kejadian fluor albus patologis antara yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, sebagai berikut: 1) Untuk penggunaan sabun antiseptik daun sirih, dengan menggunakan kriteria:
  • 45. a) Menggunakan sabun antiseptik daun sirih. b) Tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih. 2) Untuk kejadian fluor albus patologis, dengan menggunakan kriteria: a) Tidak mengalami Fluor albus patologis, jika tidak ada cairan berwarna putih, putih kekuningan, hijau kekuningan, kekuningan, kecokelatan yang ke luar dari organ reproduksi atau organ intim atau berwarna putih bening, tidak gatal, tidak berbau busuk, sifat khas seperti krim, jumlah normal. b) Mengalami Fluor albus patologis, jika gatal; terdapat nyeri; berbau menusuk; sifatnya kental, berbusa atau lengket;, jumlahnya agak banyak sampai banyak. Selanjutnya, di klasifikasikan dalam bentuk persentase dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan : N : Nilai SP : Skor yang di dapat dari pengamatan peneliti SM : Skor tertinggi yang diharapkan Setelah proses di atas, Menurut Arikunto (2006) hasil pengolahan data dalam bentuk persentase diinterpretasikan, sebagai berikut: 100 % : Seluruhnya. 76-99 % : Hampir seluruhnya. 51-75 % : Sebagian besar. 50 % : Setengahnya.
  • 46. 26-49 % : Hampir setengahnya. 1-25 % : Sebagian kecil. 0 % : Tak satupun. 2. Analisa Bivariat Analisa data yang digunakan untuk mengetahui perbedaan kejadian fluor albus patologis antara yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan statistik non parametric yaitu menggunakan uji Mann Whitney, karena peneliti malakukan analisis perbedaan antar variabel dependen yang berskala ordinal, kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer (soft ware) SPSS versi 16.0 for windows. Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut : [µ ± ½] - ∑ µ ∂ Z H = Keterangan: µ : Jumlah ranking ∑ µ : Mean
  • 47. ∂ : Standar deviasi Jika pada level of significancy α = 0,05 (pengujian pada dua kelompok), hipotesis nol dapat di terima jika -1,96 ≤ ZH ≤ + 1,96. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan antar dua variabel dependen tersebut. BAB 5 ANALISIS HASIL PENELITIAN 5.1 Data Umum Bagian ini akan menyajikan karakteristik responden berdasarkan tingkat umur, pekerjaan dan suku. 5.1.1 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Umur Tabel 5.1 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Umur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011. Umur Kejadian Fluor Albus Patologis Total Terjadi Tidak Terjadi Frekuensi % Frekuensi % Frekuens i % 15 – 17 tahun 0 0 4 4,5 4 4,5 18 – 20 tahun 0 0 12 13,5 12 13,5 21 – 39 tahun 1 1,1 46 51,7 47 52,8 40 – 49 tahun 3 3,3 23 25,9 26 29,2 Total 4 4,4 85 95,6 89 100 Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden yaitu 47 (52,9%) berumur 21 – 39 tahun. Sebagian besar responden, yaitu 46 (51,7%) responden yang berusia 21 – 39 tahun, tidak mengalami kejadian fluor albus patologis dan hanya 1 (1,1%) responden yang mengalami kejadian fluor albus patologis.
  • 48. Berdasarkan tabel di atas, kejadian fluor albus patologis terbanyak, terjadi pada umur 40 – 49 tahun, yaitu 3 (3,3) responden. 5.1.2 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Menurut Umur Tabel 5.2 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Menurut Umur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011. Umur Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Total Menggunakan Tidak Menggunakan Frekuensi % Frekuens i % Frekuens i % 15 – 17 tahun 1 1,1 3 3,3 4 4,4 18 – 20 tahun 10 11,2 2 2,2 12 13,4 21 – 39 tahun 24 27 23 25,9 47 52,9 40 – 49 tahun 4 4,5 22 24,8 26 29,3 Total 39 43,8 50 56,2 89 100 Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden yaitu 47 (52,9%) berumur 21 – 39 tahun. Hampir setengah responden, yaitu 24 (27%) responden, menggunakan sabun antiseptik daun sirih dan hampir setengah responden, yaitu 23 (25,9%) responden yang berusia 21 – 39 tahun, tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih. Berdasarkan tabel, responden yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih dengan jumlah terbanyak, yaitu pada responden yang beumur antara 21 – 39 tahun. 5.1.3 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Pekerjaan Tabel 5.3 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus
  • 49. Patologis Menurut Pekerjaan di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011. Pekerjaan Kejadian Fluor Albus Patologis Total Terjadi Tidak Terjadi Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi % PNS 0 0 0 0 0 0 Swasta 3 3,3 55 61,9 58 65,2 Wiraswasta 1 1,1 4 4,5 5 5,6 Pekerjaan Kejadian Fluor Albus Patologis Total Terjadi Tidak Terjadi Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi % Ibu Rumah Tangga 0 0 18 20,2 18 20,2 Pelajar 0 0 8 9 8 9 Total 4 4,4 85 95,6 89 100 Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden, yaitu 58 (65,2%) bekerja swasta. 55 responden (61,9 %) tidak mengalami fluor albus patologis dan 3 responden (3,3%) mengalami fluor albus patologis. 5.1.4 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Menurut Pekerjaan Tabel 5.4 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Menurut Pekerjaan di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011. Pekerjaan Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Total Menggunakan Tidak Menggunakan Frekuensi % Frekuens i % Frekuensi % PNS 0 0 0 0 0 0 Swasta 22 24,8 36 40,4 58 65,2 Wiraswasta 2 2,2 3 3,4 5 5,6 Ibu Rumah Tangga 10 11,2 8 9 18 20,2 Pelajar 5 5,6 3 3,4 8 9 Total 39 43,8 50 56,2 89 100
  • 50. Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui, bahwa sebagian kecil responden, yaitu 22 (24,8%) yang bekerja swasta, menggunakan sabun antiseptik dan merupakan responden terbanyak yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih. 5.1.5 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Suku Tabel 5.5 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Suku di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011. Suku Kejadian Fluor Albus Patologis Total Terjadi Tidak Terjadi Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi % Jawa 4 4,5 84 94,4 88 98,9 Madura 0 0 1 1,1 1 1,1 Sunda 0 0 0 0 0 0 Lainnya 0 0 0 0 0 0 Total 4 4,5 85 95,5 89 100 Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 88 (98,9%) berasal dari suku jawa. Sebagian responden 84 (94,4%) yang berasal dari suku jawa, tidak mengalami kejadian Fluor Albus Patologis dan hanya sebagian kecil dari suku jawa, 4 (4,5%), yang mengalami kejadian fluor albus patologis. 5.1.6 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Menurut Suku Tabel 5.6 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Menurut Suku di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011. Suku Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Total Menggunakan Tidak Menggunakan Frekuens i % Frekuensi % Frekuensi % Jawa 38 42,7 50 56,2 88 98,9 Madura 1 1,1 0 0 1 1,1 Sunda 0 0 0 0 0 0
  • 51. Lainnya 0 0 0 0 0 0 Total 39 43,8 50 56,2 89 100 Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 88 (98,9%) berasal dari suku jawa. Sebagian besar responden yang berasal dari suku jawa, yaitu 50 (56,2%) responden, tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih dan hampir setengah responden, yaitu 38 (42,7%) responden saja yang berasal dari suku jawa menggunakan sabun antiseptik daun sirih. Berdasarkan tabel, penggunaan sabun antiseptik daun sirih terbanyak, berasal dari suku jawa. 5.2 Data Khusus Bagian ini akan menyajikan hasil penelitian tentang penggunaan sabun atiseptik daun sirih dan kejadian fluor albus patologis serta perbedaan kejadian fluor albus patologis antara yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih. 5.2.1 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Tabel 5.7 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. Kejadian Fluor Albus Patologis Frekuensi Persentase Terjadi 2 5,1 Tidak Terjadi 37 94,9 Total 39 100 Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 37 (94,9 %) yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih, tidak mengalami kejadian fluor albus patologis.
  • 52. 5.2.2 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Tabel 5.8 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. Kejadian Fluor Albus Patologis Frekuensi Persentase Terjadi 2 4 TidakTerjadi 48 96 Total 50 100 Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 48 (96 %) yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, tidak mengalami kejadian fluor albus patologis. 5.3 Analisis dan Hasil Penelitian 5.3.1 Tabulasi Silang Perbedaan Kejadian Kejadian Fluor Albus Patologis antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Tabel 5.9 Tabulasi Silang Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. Kejadian Fluor Albus Patologis Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Total Menggunakan Tidak Menggunakan Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi % Terjadi 2 2,2 2 2,2 4 4,4 Tidak Terjadi 37 41,6 48 54 85 95,6 P Value = 0,800 α = 0,05 Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih, yaitu 37 (41,6 %), tidak Fluor Albus Patologis dan
  • 53. sebagian besar responden yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, 48 (54%), tidak terjadi Fluor Albus Patologis. Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa P value = 0, 800 pada α = 0, 05. Hal tersebut menunjukkan bahwa P value > α, sehingga H0 diterima, yang berarti Tidak Ada Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.