1. PERBEDAAN KEJADIAN FLUOR ALBUS PATOLOGIS ANTARA YANG
MENGGUNAKAN DENGAN YANG TIDAK MENGGUNAKAN SABUN
ANTISEPTIK DAUN SIRIH PADA WUS DI DESA POJOK WILAYAH KERJA
PUSKESMAS SUKORAME KEDIRI TAHUN 2011.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sabun Antiseptik Daun Sirih
2.1.1 Pengertian
Sabun Antiseptik Daun Sirih adalah sabun dari daun sirih yang memiliki kandungan
minyak atsiri yang berfungsi sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006).
2.1.2 Kandungan Kimia Sabun Antiseptik Daun Sirih
Sabun antiseptik daun sirih mengandung minyak atsiri. Minyak atsiri daun sirih
mengandung fenol dan kavinol. Fenol yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih
merupakan senyawa golongan alkohol, yang memiliki daya antiseptik lima kali lebih
lama dari pada senyawa fenol biasa. Senyawa Kavinol, akan semakin membantu
sebagai antiseptik. Selain itu, sabun anti septik daun sirih mengandung arecolin,
euginol, tannin, pati, vitamin c yang berfungsi sebagai antioksida, anti jamur atau
bakteri (Dalimartha, 2006).
2.1.3 Manfaat Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Moeljanto (2003), sabun antiseptik daun sirih memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Antiseptik.
2. Antioksida.
3. Anti jamur atau bakteri.
2. 4. Menjaga PH atau derajat keasaman agar tetap netral.
5. Mengatasi masalah keputihan.
2.1.4 Efek Samping Sabun Antiseptik Daun Sirih
Penggunaan sabun pembersih vagina secara berlebihan bisa mengurangi keasaman
vagina. Secara alamiah, dalam setiap vagina terdapat bakteri baik (flora normal vagina).
Flora normal itu berfungsi mengusir kuman yang merugikan. Pemakaian sabun vagina
berlebihan justru membunuh bakteri baik yang kemudian mempermudah kuman masuk
ke vagina.
Sabun antiseptik daun sirih, sebaiknya hanya digunakan pada saat tertentu saja, seperti
saat sesudah menstruasi atau setelah hubungan seks. Jadi sebenarnya tidak
diperlukan bahan khusus untuk membersihkannya, cukup dengan air bersih.
Namun, untuk kasus tertentu, pada keputihan gatal, produk pembersih dapat
digunakan. Karena biasanya sabun pembersih tersebut mengandung antiseptik yang
berfungsi untuk membunuh kuman. Produk pembersih daerah kewanitaan hendaknya
dipilih yang memiliki pH kurang lebih sama dengan pH organ intim wanita yakni sekitar
4,5. Pada pH tersebut, kuman-kuman tidak dapat tumbuh dan berkembang biak
(Fadilah, 2010).
2.1.5 Cara Kerja Sabun Antiseptik Daun Sirih
Nurswida (2010) membuktikan bahwa ekstrak daun sirih yang terkandung dalam sabun
antiseptik daun sirih, pada konsentrasi 3,25% sudah terjadi penghambatan
pertumbuhan candida albican, tetapi hambatan total (tidak didapatkan koloni kuman)
baru terjadi pada konsentrasi 7,5%. Efek hambat ekstrak daun sirih yang terkandung
dalam sabun antiseptik daun sirih terhadap pertumbuhan candida albican, disebabkan
3. komponen derivate fenol, seperti eugenol, isueugenol, allypirocathechol, chavichol,
safrol, anethole, cavibetol, carvacrol, betlefenol. Fenol adalah denaturan protein yang
poten. Mekanisme kerja phenolic melalui perusakan membran plasma, inaktivasi enzim,
dan denaturasi protein, sehingga kuman mati.
2.2 Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
2.2.1 Pengertian
Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) adalah sebuah tanaman obat (Fitofarmaka)
(Dalimartha, 2006).
Tanaman Daun Sirih (Piper Betle) adalah jenis tanaman memanjat dengan tinggi 5 – 15
meter (Bangun, 2008).
2.2.2 Klasifikasi
Menurut Dalimartha (2006), klasifikasi tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Divisi :Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Piperales
Famili : Piperaceae
Genus : Piper
Spesies : Piper Betle
4. 2.2.3 Morfologi Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
Menurut Dalimartha (2006), Morfologi tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai berikut:
1. Daun
Bentuk daun sirih adalah tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh
berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas.
Panjangnya sekitar 5 - 8 cm dan lebar 2 - 5 cm.
2. Batang
Batang sirih berwarna cokelat kehijauan,berbentuk bulat, beruas dan merupakan
tempat keluarnya akar.
3. Bunga
Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat daun pelindung ± 1 mm berbentuk
bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang
sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 1,5 - 6 cm dimana
terdapat kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau kekuningan.
4. Akar
Akarnya tunggang, bulat dan berwarna cokelat kekuningan.
5. Buah
Buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-abuan.
5. Gambar 2.1 Tanaman Daun Sirih Jawa (Piper Betle).
Gambar 2.2 Tanaman Daun Sirih Merah (Piper Betle).
2.2.4 Sifat Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
Menurut Dalimartha (2006), sifat tanaman daun sirih (Piper Betle) adalah Hangat dan
pedas.
2.2.5 Perkembangbiakan
Menurut Ratna (2008), cara perkembangbiakan tanaman sirih merah (Piper Betle) lebih
umum dikembangbiakkan secara vegetatif atau aseksual. Secara alami tanaman sirih
merah sulit diperbanyak dengan biji. Perbanyakan dengan cara tersebut mempunyai
keuntungan yang terpenting adalah mewarisi sifat genetik dari tanaman induknya.
Perkembangbiakan secara vegetatif, antara lain :
6. 1. Stek
Menggunakan potongan organ vegetatif (akar, batang, daun, dll) tanaman yang
digunakan untuk perbanyakan tanaman, dengan maksud agar bagian tersebut
membentuk akar.
2. Cangkok (Marcottage atau Air layerage)
Perbanyakan sirih merah dapat juga dilakukan dengan cara mencangkok. Cangkok
pada prinsipnya adalah mengusahakan perakaran dari suatu cabang tanaman tanpa
memotong cabang tersebut dari tanaman induknya. Perbanyakan dengan cara ini
memiliki kelebihan diantaranya, tanaman memiliki sifat-sifat unggul tanaman induknya
dan tanaman lebih cepat berproduksi.
3. Merunduk (Layering)
Perbanyakan sirih merah ini dapat pula menggunakan sistem runduk. Prinsip dari
perundukan adalah merangsang (menstimulasi) terbentuknya akar atau tunas sebelum
dipisahkan dari induknya.
2.2.6 Kandungan Kimia
Menurut Dalimartha (2006), kandungan kimia tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai
berikut:
1. Fenol atau Kavikol
Fenol yang dihasilkan dari ekstrak daun sirih merupakan senyawa golongan alkohol,
yang memiliki daya antiseptik lima kali lebih lama dari pada senyawa fenol biasa.
Senyawa Kavinol, akan semakin membantu sebagai antiseptik. Pada minyak atsiri daun
sirih (Piper Betle), mengandung senyawa Fenol dan Kavinol.
2. Arecoline
7. Zat ini terdapat pada seluruh bagian tanaman daun sirih (Piper Betle). Zat ini
bermanfaat untuk merangsang saraf pusat dan daya pikir, meningkatkan gerakan
peristaltik, dan meredakan dengkuran.
3. Eugenol
Eugenol, terdapat pada daun, yang mampu mencegah ejakulasi dini, membasmi jamur
Candida albicans, dan bersifat analgesik (meredakan rasa nyeri).
4. Tannin
Tannin, juga terdapat pada daun, yang bermanfaat mengurangi sekresi cairan pada
vagina, melindungi fungsi hati, dan mencegah diare.
5. Gula
6. Pati
Pada minyak atsiri daun sirih (Piper Betle), mengandung pati.
7. Asam Amino
8. Tiamin
9. Riboflavin dan Vitamin C (Asam Askorbat)
2.2.7 Cara Pemanfaatan Tanaman Daun Sirih (Piper Betle)
Menurut penelitian dari Sjoekoer, dkk (Peneliti Mikrobiologi dari FK Unibraw) bahwa
infusum sirih dapat menghambat pertumbuhan E.coli, Staphylococcus koagulase positif,
Salmonella Typhosa, bahkan Pseudomonas aeruginosa yang kerap kali resisten
terhadap antibiotik. Menurut penelitian penulis, sebenarnya pada konsentrasi 3,25%
sudah terjadi penghambatan pertumbuhan Candida albicans, tetapi hambatan total
(tidak didapatkan koloni kuman) baru terjadi pada konsentrasi 7,5% (Nurswida, 2010).
8. Selain hal tersebut di atas, menurut Nurswida (2010), bahwa infusum sirih memiliki
manfaat lain. Manfaat tersebut yaitu, menyebabkan kematian kuman, yang disebabkan
karena adanya perusakan membran plasma, inaktivasi enzim, dan denaturasi protein.
Menurut Hariana (2006), cara memanfaatkan tanaman daun sirih (Piper Betle), sebagai
berikut:
1. Diminum
Hasil air rebusan tanaman daun sirih (Pepir Betle), setelah dingin, dapat diminum.
2. Irigasi
Digunakan untuk membasuh vagina.
3. Digulung
Untuk mengobati mimisan pada hidung.
4. Dikunyah
Untuk mencegah bau mulut.
2.2.8 Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan (Pemanfaatan) Tanaman Daun Sirih (Piper
Betle)
Menurut Redaksi Agromedia (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi kecenderungan
pemanfaatan tanaman obat adalah, sebagai berikut:
1. Pengetahuan
Pengetahuan akan manfaat atau khasiat daun sirih (Piper Betle) bagi kesehatan serta
efek samping pemakaian obat modern.
2. Sosial Ekonomi
Harga obat-obatan buatan pabrik, saat ini semakin mahal, sehingga masyarakat mulai
menerima alternatif yang mudah, murah tetapi memiliki khasiat yang hampir sama.
9. 3. Kepercayaan
Alasan pemakaian obat tradisional, merupakan kebiasaan keluarga, mudah didapat dan
murah serta lebih yakin akan khasiatnya.
2.3 Keputihan (Fluor Albus)
2.3.1 Pengertian
Keputihan (Leukorea, White Discharge, Fluor Albus) adalah gejala penyakit yang
ditandai oleh keluarnya cairan dari organ reproduksi, dan bukan berupa darah (Indarti,
2009).
Keputihan (Fluor Albus) adalah keluarnya cairan dari vagina, selain darah. Sumber
cairan ini dapat berasal dari sekresi vulva, sekresi serviks atau sekresi tuba fallopii yang
dipengaruhi ovarium (Mansjoer, 2001).
Keputihan (Fluor Albus) adalah cairan yang keluar dari vagina, bukan darah dengan
sifat yang bermacam-macam, baik warna, bau maupun jumlahnya (Manuaba, 2008).
2.3.2 Jenis Fluor Albus
Menurut Manuaba (2008), jenis Fluor Albus dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Fluor Albus fisiologis.
2. Fluor Albus patologis.
2.3.3 Ciri atau Klasifikasi Fluor Albus
2.3.3.1. Fluor Albus Fisiologis
Tidak gatal dan tidak berbau (Boyke, 2010). Selain itu, warnanya putih atau bening, sifat
khas Fluor Albus seperti krim (Rabe, 2002). Pengaruh estrogen dari plasenta terhadap
uterus dan vagina janin, terdapat pada bayi baru lahir sampai umur ± 10 hari; saat
menarche karena pengaruh estrogen, biasanya hilang dengan sendirinya, rangsangan
10. seksual sebelum dan pada waktu koitus, akibat transudasi dinding vagina; saat ovulasi,
berasal dari sekret kelenjar serviks uteri yang menjadi lebih encer; saat kehamilan;
perubahan mood (perasaan hati); stres; saat pemakaian kontrasepsi hormonal;
pembilasan vagina secara rutin.
2.3.3.2 Fluor Albus Patologis
Jumlah meningkat atau banyak; berubah warna ( putih keabu-abuan atau hijau
kekuning-kuningan dengan gelembung, kekuningan dan purulen, bias berwarna
kecoklatan atau diwarnai dengan darah); sifat khas Fluor Albus (kental dengan plak,
sangat banyak, berbusa dan purulen atau lengket); jika infeksi berasal dari jamur, Fluor
Albus tidak berbau, jika infeksi berasal dari bakteri, parasit atau virus, atau infeksi flora
campuran, baunya agak atau sangat menusuk; gatal (Rabe, 2002).
2.3.4 Penyebab Fluor Albus
2.3.4.1. Faktor Endogen
Menurut Sugi (2009), pada bayi atau anak, yang menjadi penyebab keputihan (Fluor
Albus) yaitu kelainan pada lubang kemaluan, diantaranya:
1. Bibir kemaluan belum berkembang
2. Kemaluan belum ditumbuhi rambut
3. Letak lubang kemaluan pada bayi atau anak masih dekat dengan anus
4. pH atau keasaman vagina cenderung netral dan basa (alkalis)
2.3.4.2. Faktor Eksogen
11. 1. Infeksi
1) Bakteri
Menurut Ramayanti (2004), faktor eksogen karena infeksi bakteri, disebabkan oleh
bakteri seperti di bawah:
a. Gonococcus
Cairan yang keluar dari vagina pada infeksi yang lebih dikenal dengan nama
Gonorrhoea ini berwarna kekuning-kuningan yang sebetulnya merupakan nanah yang
terdiri dari sel darah putih yang mengandung Neisseria gonorrhoea berbentuk
pasangan dua-dua pada sitoplasma sel. Gambaran ini kadang dapat dilihat pada
pemeriksaan Pap smear, tetapi biasanya bakteri ini diketahui pada pemeriksaan
sediaan apus dengan pewarnaan gram. Bakteri ini mudah mati, bila terkena sabun,
alkohol, detergen dan sinar matahari. Cara penularan penyakit kelamin ini melalui
senggama.
b. Clamydia trakhomatis
Bakteri ini sering menyebabkan penyakit mata yang dikenal dengan trakhoma. Bakteri
ini dapat juga ditemukan pada cairan vagina dan terlihat melalui mikroskop setelah
diwarnai dengan pewarnaan giemsa. Bakteri ini membentuk suatu badan inklusi yang
berada dalam sitoplasma sel-sel vagina. Pada pemeriksaan Pap smear sukar
ditemukan adanya perubahan sel akibat infeksi Clamydia ini karena siklus hidupnya
yang tidak mudah dilacak.
c. Gardnerella vaginalis
Gardnerella vaginalis menyebabkan peradangan vagina yang tidak spesifik dan kadang
dianggap sebagai bagian dari mikro organisme normal dalam vagina karena seringnya
12. ditemukan. Bakteri ini biasanya mengisi penuh sel epitel vagina dengan membentuk
bentukan khas dan disebut sebagai Clue sel. Gardnerella vaginalis menghasilkan
asam amino yang diubah menjadi senyawa amin yang menimbulkan bau amis seperti
ikan. Cairan vagina tampak berwarna keabu-abuan.
d. Treponema Pallidum
Bakteri ini merupakan penyebab penyakit Sifilis. Pada perkembangan penyakit dapat
terlihat sebagai kutil-kutil kecil di vulva dan vagina yang disebut kondiloma lata. Bakteri
berbentuk spiral dan tampak bergerak aktif pada pemeriksaan mikroskopis lapangan
gelap.
e. Corynebacterium Vaginae
Bakteri ini menyebabkan Servisitis dan Vaginitis. Cairan vagina berwarna seperti susu,
kental, lengket, sangat banyak, tidak berbau (Mansjoer, 2001).
2) Jamur
Jamur yang menyebabkan Fluor Albus adalah dari spesies Candida albican. Cairan
yang keluar dari vagina biasanya encer, berwarna putih dan sering disertai rasa gatal,
berbau apek, tampak kemerahan akibat proses peradangan (Mansjoer, 2001). Dengan
KOH 10% tampak sel ragi (Blastospora) atau hifa semu. Beberapa keadaan yang ada
merupakan tempat yang subur bagi pertumbuhan jamur ini adalah kehamilan, penyakit
Diabetes mellitus, pemakai pil kontrasepsi. Suami atau pasangan penderita biasanya
juga akan menderita penyakit jamur ini. Keadaan yang saling menularkan antara
pasangan suami istri ini disebut sebagai fenomena pingpong (Ramayanti, 2004).
3) Parasit
13. Etiologi Fluor Albus terbanyak karena parasit biasanya disebabkan Trichomonas
vaginalis. Parasit ini berbentuk lonjong dan mempunyai bulu getar dan dapat bergerak
berputar-putar dengan cepat. Gerakan ini dapat dipantau dengan mikroskop. Cara
penularan penyakit ini melalui senggama. Walaupun jarang dapat juga ditularkan
melalui perlengkapan mandi, seperti handuk atau bibir kloset. Cairan yang ke luar dari
vagina biasanya banyak, berbuih menyerupai air sabun, berwarna kuning kehijauan
dan berbau busuk. Fluor Albus oleh parasit ini tidak terlalu gatal, tetapi vagina tampak
kemerahan dan timbul rasa nyeri bila ditekan atau perih bila berkemih (Ramayanti,
2004).
4) Virus
Fluor Albus akibat infeksi virus sering disebabkan oleh Kondiloma akuminata dan
Herpes simpleks tipe 2. Kondiloma ditandai dengan tumbuhnya kutil-kutil yang kadang
sangat banyak dan dapat bersatu membentuk jengger ayam yang berukuran besar.
Penyebabnya adalah Human Papiloma Virus. Cairan di vagina sering berbau, tanpa
rasa gatal. Penyakit ini ditularkan melalui senggama dengan gambaran secara klinis
menjadi lebih buruk bila disertai dengan gangguan sistem imun tubuh, seperti
kehamilan, pemakaian steroid yang lama seperti pada pasien dengan gagal ginjal atau
setelah transplantasi ginjal, serta penderita AIDS.
Virus lain yang menyebabkan Fluor Albus adalah virus Herpes simpleks tipe 2, yang
juga merupakan penyakit yang ditularkan melalui senggama. Pada awal infeksi tampak
kelainan kulit seperti melepuh terkena air panas yang kemudian pecah dan
menimbulkan luka seperti borok, dan pasien merasa sakit (Ramayanti, 2004).
5) Neoplasma atau Keganasan
14. Kanker akan menyebabkan Fluor Albus patologis akibat gangguan pertumbuhan sel
normal yang berlebihan sehingga menyebabkan sel bertumbuh sangat cepat secara
abnormal dan mudah rusak, akibatnya terjadi pembusukan dan perdarahan akibat
pecahnya pembuluh darah yang bertambah untuk memberikan makanan dan oksigen
pada sel kanker tersebut. Pada keadaan seperti ini, akan terjadi pengeluaran cairan
yang banyak disertai bau busuk akibat terjadinya proses pembusukan tadi dan sering
kali diserta oleh adanya darah yang tidak segar (Ramayanti, 2004).
6) Erosi
Wanita pada masa reproduksi, umumnya epitel kolumner endoserviks lebih keluar
kearah porsio sehingga tampak bagian merah mengelilingi bagian ostium uteri
internum. Bila daerah merah ini terkelupas, akan memudahkan terjadinya infeksi
penyerta dari flora normal di vagina sehingga timbul Fluor Albus. Menurut Harmperl dan
Kaufman (1959), penyebab erosi ini tidak diketahui, kemungkinan terjadi akibat
kenaikan estrogen (Ramayanti, 2004).
2. Non Infeksi
Menurut Maharani (2009), faktor eksogen karena non infeksi, sebagai berikut:
1) Benda Asing
Adanya benda asing di dalam vagina, baik disengaja atau tidak, seperti tertinggalnya
kondom atau pemakaian kontrasepsi IUD. Jika rangsangan ini menimbulkan luka, akan
sangat mungkin terjadi infeksi penyerta dari flora normal yang berada di dalam vagina
sehingga timbul Fluor Albus.
2) Personal Hygiene
15. Cebok tidak bersih, celana dalam yang lembab, sehingga menibulkan tumbuhnya
jamur, yang merupakan penyebab Fluor Albus.
3) Sistem Imun Tubuh
Beberapa penelitian telah dilakukan tentang hubungan Fluor Albus dan sistem imun
tubuh. Sistem imun (imunologi) adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari kekebalan
tubuh serta interaksinya dengan benda asing (imunogen atau antigen). Kekebalan
(imunitas) tubuh terhadap benda asing, diperlukan untuk melindungi tubuh kita dari
berbagai patogen.
Sistem imun terdiri atas komponen sel dan molekul yang tersebar di seluruh tubuh dan
bekerja sama satu dengan yang lainnya secara terkoordinir. Peranan sistem imun, jelas
terlihat pada penyakit infeksi, reaksi dalam penolakan jaringan dalam transplantasi,
eliminasi sel tumor, dan lain-lain. Gangguan sistem imun yang mengakibatkan ketidak
seimbangan respon imun, juga dapat menimbulkan kelainan, seperti terlihat pada reaksi
hipersensitifitas, alergi atau penyakit auto imun.
4) Kelainan endokrin atau hormon
Kelainan endokrin terjadi pada penderita Diabetes mellitus.
5) Menopouse
Fluor Albus pada menopause, tidak semuanya patologis. Saat menopause, sel-sel pada
serviks uteri dan vagina mengalami hambatan dalam pematangan sel akibat tidak
adanya hormon pemacu, yaitu estrogen. Vagina menjadi kering dan lapisan sel menjadi
tipis, kadar glikogen menurun dan basil doderlein berkurang. Keadaan ini memudahkan
terjadinya infeksi karena tipisnya lapisan sel epitel, sehingga mudah menimbulkan luka
dan akibatnya timbul Fluor Albus.
16. 6) Kondisi Tubuh (Stres)
Kondisi tubuh yang selalu tegang, cemas, dan kurang istirahat, dapat menyebabkan
Fluor Albus.
7) Kelelahan kronis
2.3.5. Diagnosis Keputihan (Fluor Albus)
Menurut Ramayanti (2004), diagnosis keputihan (Fluor Albus), sebagai berikut:
1. Anamnesa
Dalam anamnesa, yang harus diperhatikan, antara lain:
1) Usia
Bayi wanita atau pada wanita dewasa, Fluor Albus yang terjadi mungkin karena
pengaruh estrogen yang tinggi dan merupakan Fluor Albus yang fisiologis. Wanita
dalam usia reproduksi harus dipikirkan kemungkinan suatu penyakit hubungan seksual
(PHS) dan penyakit infeksi lainnya. Pada wanita dengan usia yang lebih tua, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya keganasan, terutama kanker serviks.
2) Metode Kontrasepsi Yang Dipakai
Pada penggunaan kontrasepsi hormonal, dapat meningkatkan sekresi kelenjar serviks.
Keadaan ini dapat diperberat dengan adanya infeksi jamur. Pemakaian IUD juga dapat
menyebabkan infeksi atau iritasi pada serviks yang merangsang sekresi kelenjar
serviks menjadi meningkat.
3) Kontak Seksual
17. Untuk mengantisipasi Fluor Albus akibat PHS, seperti Gonorrhoea, Kondiloma
akuminata, Herpes genitalis, dan sebagainya. Hal yang perlu ditanyakan adalah kontak
seksual terakhir.
4) Perilaku
Pasien yang tinggal di asrama bersama teman-temannya, kemungkinan tertular
penyakit infeksi yang menyebabkan Fluor Albus cukup besar. Contoh kebiasaan yang
kurang baik adalah tukar-menukar alat mandi atau handuk.
5) Sifat Fluor Albus
Yang harus ditanyakan adalah jumlah, bau, warna, konsistensinya, keruh atau jernih,
ada tidaknya darah, frekuensi, dan telah berapa lama kejadian tersebut berlangsung.
Hal ini perlu ditanyakan secara detail karena dengan mengetahui hal-hal tersebut,
dapat diperkirakan kemungkinan etiologinya.
6) Menanyakan Kepada Pasien, Kemungkinan Hamil Atau Menstruasi
Pada kedua keadaan ini, Fluor Albus yang terjadi biasanya merupakan hal yang
fisiologis.
7) Masa Inkubasi
Bila Fluor Albus timbulnya akut, dapat diduga akibat infeksi atau pengaruh zat kimia
ataupun pengaruh rangsangan fisik.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik secara umum harus dilakukan, untuk mendeteksi adanya
kemungkinan penyakit kronis, gagal ginjal, infeksi saluran kemih atau infeksi lainnya
yang mungkin berkaitan dengan Fluor Albus. Pemeriksaan khusus yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan genetalia, meliputi: inspeksi dan palpasi genetalia
18. eksterna, pemeriksaan speculum untuk melihat vagina dan serviks; pemeriksaan pelvis
bimanual. Untuk menilai cairan dinding vagina, hindari kontaminasi dengan lendir
serviks.
Pada infeksi karena Gonococcus, kelainan yang dapat ditemui adalah orifisium urethra
eksternum merah, edema dan sekret yang mukopurulen, labia mayora dapat bengkak,
merah dan nyeri tekan. Kadang-kadang kelenjar bartholini ikut meradang dan terasa
nyeri waktu berjalan atau duduk. Pada pemeriksaan melalui spekulum, terlihat serviks
merah dengan erosi dan sekret mukopurulen.
Pada Trikomonas vaginalis, dinding vagina tampak merah dan sembab. Kadang
terbentuk abses kecil pada dinding vagina dan serviks, yang tampak sebagai granulasi
berwarna merah dan dikenal sebagai strawberry appearance. Bila sekret banyak di
keluarkan dan menimbulkan iritasi pada lipat paha atau sekitar genetalia eksterna.
Infeksi Gardnerella vaginalis, memberikan gambaran vulva dan vagina yang berwarna
hyperemis, sekret yang melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau berkilau. Pada pemeriksaan serviks dapat ditemukan erosi, disertai lendir
bercampur darah yang keluar dari ostium uteri internum.
Pada Candidiasis vagina, dapat ditemukan peradangan pada vulva dan vagina. Pada
dinding vagina sering terdapat membran-membran kecil berwarna putih, yang jika
diangkat meninggalkan bekas yang agak berdarah.
Pada kanker serviks awal, akan terlihat bercak berwarna merah dengan permukaan
tidak licin. Gambaran ini, dapat berkembang menjadi granuler, berbenjol-benjol dan
ulseratif disertai adanya jaringan nekrotik. Disamping itu, tampak sekret yang kental
berwarna coklat dan berbau busuk. Pada kanker serviks lanjut, serviks menjadi
19. nekrosis, berbenjol-benjol dan ulseratif serta permukaan bergranuler, memberikan
gambaran seperti bunga kol.
Gambaran seperti bunga kol ini, juga dapat ditemui pada kondiloma akuminata di vulva,
bahkan sampai ke luar dari vagina maupun serviks.
Pada Herpes genitalis akan terlihat adanya vesikel-vesikel pada vulva, labia mayora,
labia minora, vagina dan serviks. Pada keadaan lebih lanjut, dapat dilihat adanya ulkus-
ulkus pada vagina dan serviks.
Adanya benda asing dapat dilihat dengan adanya benda yang mengiritasi, seperti IUD,
tampon vagina, pesarium, kondom yang tertinggal dan sebagainya.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:
1) Penentuan pH
Penentuan pH, dengan kertas indikator pH (normal : 3,0 – 4,5).
2) Penilaian Sediaan Basah
Penilaian diambil untuk pemeriksaan sediaan basah dengan KOH 10%, dan
pemeriksaan sediaan basah dengan garam fisiologis.
Trichomonas vaginalis, akan terlihat jelas dengan garam fisiologis sebagai parasit
berbentuk lonjong, dengan flagellanya dan gerakannya yang cepat, sedangkan
Candida albican, dapat dilihat jelas dengan KOH 10% tampak sel ragi (Blastospora)
atau hifa semu.
Vaginitis non spesifik yang disebabkan Gardnerella vaginalis, pada sediaan dapat
ditemukan beberapa kelompok basil, leukosit yang tidak seberapa banyak dan banyak
20. sel-sel epitel, yang sebagian besar permukaannya berbintik-bintik. Sel ini disebut Clue
cell, yang merupakan ciri khas infeksi Gardnerella vaginalis.
3) Pewarnaan Gram
Neisserea gonorrhoea, memberikan gambaran adanya Gonococcus intra dan ekstra
seluler. Gardnerella vaginalis, memberikan gambaran batang-batang berukuran kecil,
gram negatif yang tidak dapat dihitung jumlahnya dan banyaknya sel epitel dengan
koko basil, tanpa ditemukan laktobasil.
4) Kultur
Dengan kultur akan ditemukan kuman penyebab secara pasti, tetapi sering kali kuman
tidak tumbuh, sehingga harus hati-hati dalam penafsiran.
5) Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan ini dapat digunakan, untuk mendeteksi Herpes genitalis dan Human
Papiloma Virus (HPV) dengan pemeriksaan Elisa.
6) Tes Pap smear
Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi adanya keganasan pada serviks, infeksi
termasuk Human Papiloma Virus (HPV), peradangan, sitologi hormonal dan evaluasi
hasil terapi.
2.3.6. Faktor Yang Mempengaruhi Keputihan (Fluor Albus)
2.3.6.1. Faktor Endogen
Menurut Sugi (2009), faktor endogen disebabkan oleh kelainan pada lubang kemaluan.
21. 2.3.6.2. Faktor Eksogen
Menurut Ramayanti (2004), faktor eksogen disebabkan antara lain:
1. Infeksi
a. Bakteri
b. Jamur
c. Parasit
d. Virus
e. Neoplasma atau Keganasan
f. Erosi
2. Non Infeksi
a. Benda Asing
Tertinggalnya kondom dalam vagina, benang pada pengguna kontrasepsi IUD.
b. Personal Hygiene
c. Sistem Imun Tubuh
d. Kelainan endokrin atau hormon
e. Menopouse
f. Kondisi Tubuh (Stres)
g. Kelelahan Kronis
3. Faktor lain
a. Usia
22. Bayi wanita atau pada wanita dewasa, Fluor Albus yang terjadi mungkin karena
pengaruh estrogen yang tinggi dan merupakan Fluor Albus yang fisiologis. Wanita
dalam usia reproduksi harus dipikirkan kemungkinan suatu penyakit hubungan seksual
(PHS) dan penyakit infeksi lainnya. Pada wanita dengan usia yang lebih tua, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya keganasan, terutama kanker serviks.
b. Perilaku
Pasien yang tinggal di asrama bersama teman-temannya, kemungkinan tertular
penyakit infeksi yang menyebabkan Fluor Albus cukup besar. Contoh kebiasaan yang
kurang baik adalah tukar-menukar alat mandi atau handuk.
2.4 Wanita Usia Subur
2.4.1 Pengertian
Wanita usia subur adalah wanita pada masa atau periode dimana dapat mengalami
proses reproduksi. Ditandai masih mengalami menstruasi umur (15-45) tahun (Anggiz,
2007).
Wanita usia subur adalah wanita yang berusia 15 sampai dengan 49 tahun termasuk
ibu hamil atau nifas, calon pengantin, remaja puteri (dalam atau luar sekolah), pekerja
wanita, dan wanita usia subur yang tidak hamil (Pradipta, 2005).
2.4.2 Remaja
2.4.2.1 Pengertian
Remaja adalah Suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa
yang ditandai oleh perubahan-perubahan fisik umum serta perkembangan kognitif dan
sosial (Desmita, 2008).
23. Masa remaja adalah masa transisi yang ditandai oleh adanya perubahan fisik, emosi
dan psikis (Widyastuti, 2009).
2.4.2.2 Batasan Usia Remaja
Menurut Desmita (2008), batasan usia remaja, sebagai berikut:
1. Masa pra remaja atau pra pubertas
Antara usia 10-12 tahun.
2. Masa remaja awal atau pubertas
Antara usia 12-15 tahun.
3. Masa remaja pertengahan
Antara usia 15-18 tahun.
4. Masa remaja akhir
Antara usia 18-21 tahun.
2.4.2.3 Pertumbuhan Fisik Remaja
1. Perubahan dalam tinggi dan berat
Tinggi rata-rata anak perempuan pada usia 12 tahun adalah sekitar 60 inci. Tetapi pada
usia 18 tahun , tinggi rata-rata remaja perempuan hanya 64 inci Selain itu, percepatan
pertumbuhan badan juga terjadi dalam penambahan berat badan, yaitu 10 kilogram
bagi anak-anak perempuan. Meskipun berat badan juga mengalami peningkatan
selama masa remaja, namun ia lebih mudah dipengaruhi oleh diet, latihan, dan gaya
hidup umumnya (Desmita, 2008).
2. Perubahan dalam proporsi tubuh
Seiring dengan pertambahan tinggi dan berat badan, percepatan pertumbuhan selam
masa remaja juga terjadi pada proporsi tubuh. Perubahan proporsi tubuh terlihat dari
24. pertumbuhan tangan dan kaki, ciri wajah, seperti dahi yang semula sempit sekarang
menjadi lebih luas, mulut lebar, dan bibir menjadi lebih penuh (Desmita, 2008).
3. Perubahan pubertas
1) Perubahan ciri seks primer
a. Pengertian perubahan ciri seks primer
Perubahan ciri seks primer adalah perubahan menunjuk pada organ tubuh secara
langsung berhubungan dengan proses reproduksi (Desmita, 2008).
b. Ciri seks primer anak perempuan
Yaitu menarche atau mengalami menstruasi (Widyastuti, 2009 ).
2) Perubahan ciri seks sekunder
a. Pengertian perubahan ciri seks sekunder
Perubahan ciri seks sekunder adalah perubahan menunjuk pada tanda-tanda
jasmaniah yang tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi (Desmita,
2008).
b. Ciri seks sekunder anak perempuan
Menurut Desmita (2008), ciri seks sekunder anak perempuan, antara lain: Payudara
membesar; Pinggul membesar; Suara menjadi halus; Tumbuh bulu ketiak; Tumbuh bulu
di sekitar kemaluan; Kulit menjadi halus (Widyastuti, 2009). Kelenjar lemak dan kelenjar
keringat menjadi lebih aktif (Widyastuti, 2009).
2.4.3 Perkembangan Remaja
Menurut Ali (2008), perkembangan remaja, antara lain:
1. Perkembangan intelek
25. Pada masa ini remaja telah mampu mewujudkan suatu keseluruhan dalam
pekerjaannya yang merupakan hasil berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga
telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya.
2. Perkembangan kreativitas
Perkembangan kreativitas sangat erat kaitannya dengan perkembangan kognitif
individu karena kreativitas sesungguhnya merupakan perwujudan dari pekerjaan otak.
Perkembangan kreativitas remaja berada pada posisi seiring dengan tahapan
operasional formal. Artinya, perkembangan kreativitasnya, sedang berada pada tahap
amat potensial bagi perkembangan kreativitas.
3. Perkembangan emosi
Masa remaja biasanya memiliki energi yang besar, emosi yang berkobar-kobar,
sedangkan pengendalian diri belum sempurna. Remaja juga sering mengalami
perasaan tidak aman, tidak tenang dan khawatir kesepian. Pada tahap praremaja,
mudah tersinggung, cengeng, cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak; pada
tahap remaja awal, kontrol terhadap diri bertambah sulit dan cepat marah, mengalami
kesukaran dalam menyesuaikan diri sehingga cenderung menyendiri; pada remaja
tengah, membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik dan
pantas untuk dikembangkan dikalangan mereka sendiri; pada tahap remaja akhir, mulai
mampu menunjukkan pemikiran, sikap, perilaku yang semakin dewasa, emosinya mulai
stabil.
4. Perkembangan bakat khusus
Remaja memiliki bakat yang berbeda pada setiap individu. Bakat khusus yang dimiliki
remaja antara lain, bakat untuk bekerja dalam angka-angka, logika bahasa, dalam
26. bidang kreatif-produktif, seperti menciptakan sesuatu yang baru; bakat dalam bidang
seni, seperti menciptakan musik; bakat dalam kinestetik atau psikomotorik, seperti oleh
raga; bakat dalam bidang sosial, seperti koneksi, berkomunikasi, kepemimpinan.
5. Perkembangan hubungan sosial
Karakteristik hubungan sosial remaja yaitu berkembangnya kesadaran akan kesunyian
dan dorongan pergaulan, adanya upaya memilih nilai-nilai sosial, meningkatnya
ketertarikan pada lawan jenis, mulai tampak kecenderungan untuk memilih karier
tertentu.
6. Perkembangan kemandirian
Perkembangan kemandirian pada remaja, menyebar pada tingkat sadar diri, tingkat
saksama, tingkat individualistis, tingkat mandiri. Pada tingkat mandiri, remaja telah
memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis,
mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk
menyelesaikan konflik dalam diri, menghargai kemandirian orang lain, sadar akan
adanya saling ketergantungan, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh
kayakinan dan keceriaan.
7. Perkembangan bahasa
Karakteristik perkembangan bahasa remaja telah mencapai tahap kompetensi lengkap.
8. Perkembangan nilai, moral dan sikap
Masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha melepaskan diri dari
lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya, maka masa remaja menjadi suatu
periode yang penting dalam pembentukan nilai. Remaja sudah merasakan pentingnya
tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai baru yang sangat diperlukan sebagai
27. pedoman, pegangan atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri untuk
menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang matang.
Karakteristik yang menonjol dalam perkembangan moral remaja yaitu mulai mampu
berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat hipotesis,
maka pemikiran remaja terhadap suatu permasalahan tidak lagi hanya terikat pada
waktu, tempat dan situasi, tetapi juga pada sumber moral yang menjadi dasar hidup
mereka. Hal ini dicirikan dengan mulai tumbuh kesadaran akan kewajiban. Perubahan
sikap yang mencolok sebagai karakter remaja adalah sikap menentang nilai-nilai dasar
hidup orang tua dan orang dewasa lainnya.
2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Remaja
Menurut Widyastuti (2009), faktor yang mempengaruhi kesehatan remaja, antara lain:
1. Masalah gizi
a. Anemia dan kurang gizi kronis;
b. Pertumbuhan yang terhambat pada remaja puteri.
2. Masalah pendidikan
a. Buta huruf;
b. Pendidikan rendah.
3. Masalah Lingkungan dan Pekerjaan
a. Lingkungan dan suasana yang kurang memperhatikan kesehatan remaja dan bekerja
yang akan mengganggu kesehatan remaja;
b. Lingkungan sosial yang kurang sehat dapat menghambat bahkan merusak kesehatan
fisik, mental dan emosional remaja.
4. Masalah Seks dan Seksualitas
28. a. Pengetahuan yang tidak lengkap tentang masalah seksualitas;
b. Kurangnya bimbingan untuk bersikap positif dalam hal yang berkaitan dengan
seksualitas;
c. Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA yang mengarah pada penularan HIV/
AIDS;
d. Penyalahgunaan seksual;
e. Kehamilan remaja;
f. Kehamilan pra nikah atau di luar ikatan pernikahan
5. Masalah Kesehatan Reproduksi Remaja
a. Ketidakmatangan secara fisik dan mental;
b. Risiko komplikasi dan kematian ibu dan janin lebih besar;
c. Kehilangan kesempatan untuk pengembangan diri;
d. Risiko bertambah untuk melakukan aborsi yang tidak aman
2.4.5 Masa Dewasa Awal
2.4.5.1 Pengertian
Masa dewasa awal adalah wanita yang berusia antara 20-40 tahun (Haditono, 2004).
2.4.5.2 Pertumbuhan Fisik Masa Dewasa Awal
Menurut Ali (2008), pertumbuhan fisik masa dewasa awal, antara lain:
1. Kesehatan badan
Bagi kebanyakan orang, awal masa dewasa ditandai dengan memuncaknya
kemampuan dan kesehatan fisik. Mulai sekitar usia 18 hingga 25 tahun, individu
29. memiliki kekuatan yang terbesar, gerak reflek sangat cepat. Kemampuan reproduktif
berada di tingkat paling tinggi.
Meskipun pada awal masa dewasa, kondisi kesehatan fisik mencapai puncaknya,
namun selama periode ini penurunan keadaan fisik juga terjadi. Perubahan
fisik,sebagian besar lebih bersifat kuantitatif dari pada kualitatif. Secara berangsur,
kekuatan fisik mengalami kemunduran, sehingga lebih mudah terserang penyakit. Akan
tetapi, seseorang masih cukup mampu untuk melakukan aktivitas normal.
Pada masa dewasa tengah. Mulai terjadi perubahan dalam hal kemampuan reproduktif.
2. Sensor dan perseptual
Pada masa dewasa awal, penurunan fungsi penglihatan dan pendengaran belum terlalu
signifikan.
Pada masa dewasa tengah,mulai terjadi perubahan dalam penglihatan dan
pendengaran.
3. Otak
Pada masa dewasa awal, sel-sel otak juga berangsur berkurang, tetapi perkembangan
koneksi neural, khususnya bagi orang yang tetap aktif, membantu sel-sel yang hilang.
2.4.5.3 Perkembangan Masa Dewasa Awal
Menurut Ali (2008), perkembangan masa dewasa awal, terdiri dari:
1. Perkembangan mental dan motorik
Masa dewasa awal, mempunyai potensi yang besar untuk melaksanakan tugas
perkembangan dengan sukses karena perkembangan mental dan motorik mencapai
puncaknya. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan tugas perkembangan
30. dengan baik. Mengalami penyesuaian pribadi, seperti waktu harus dibagi antara
pekerjaan dan urusan rumah tangga, peran sebagai orang tua, perubahan dalam
tekanan budaya dan lingkungan.
2. Perkembangan kemandirian
Perkembangan kemandirian pada dewasa awal, pada tingkat mandiri. Pada tingkat
mandiri, masa dewasa awal telah memiliki pandangan hidup sebagai suatu
keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis, mampu mengintergrasikan nilai-nilai yang
bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan konflik dalam diri, menghargai
kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling ketergantungan, mampu
mengekspresikan perasaannya dengan penuh kayakinan dan keceriaan.
3. Perkembangan bahasa
Karakteristik perkembangan bahasa dewasa awal telah mencapai tahap kompetensi
lengkap.
4. Perkembangan nilai, moral dan sikap
Masa dewasa awal sudah mengerti pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai
baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dan telah
memiliki kepribadian yang matang. Karakteristik perkembangan moral dewasa awal
yaitu mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat
hipotesis, sudah mengerti akan hak dan kewajiban.
2.4.6 Masa Dewasa Madya
2.4.6.1 Pengertian
31. Masa dewasa madya adalah seseorang yang berusia 40-60 tahun) (Haditono, 2004).
2.4.6.2 Pertumbuhan Fisik Masa Dewasa Madya
Menurut Ali (2008), pertumbuhan fisik masa dewasa madya, antara lain:
1. Kesehatan badan
Pada masa dewasa madya. Mulai terjadi perubahan dalam hal kemampuan reproduktif.
2. Sensor dan perseptual
Pada masa dewasa madya, mulai terjadi perubahan dalam penglihatan dan
pendengaran.
3. Otak
Pada masa dewasa madya, sel-sel otak berangsur berkurang, tetapi perkembangan
koneksi neural, khususnya bagi orang yang tetap aktif, membantu sel-sel yang hilang.
2.4.6.3 Perkembangan Masa Dewasa Madya
Menurut Ali (2008), perkembangan masa dewasa madya, terdiri dari:
1. Perkembangan mental dan motorik
Masa dewasa madya, mulai mengalami perubahan mental, mengembangkan kegiatan-
kegiatan untuk mengisi waktu senggang.
2. Perkembangan kemandirian
Perkembangan kemandirian pada dewasa madya, pada tingkat mandiri, telah memiliki
pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan, bersikap obyektif dan realistis, mampu
mengintergrasikan nilai-nilai yang bertentangan, ada keberanian untuk menyelesaikan
konflik dalam diri, menghargai kemandirian orang lain, sadar akan adanya saling
32. ketergantungan, mampu mengekspresikan perasaannya dengan penuh kayakinan dan
keceriaan.
3. Perkembangan bahasa
Karakteristik perkembangan bahasa dewasa madya, telah mencapai tahap kompetensi
lengkap.
4. Perkembangan nilai, moral dan sikap
Masa dewasa madya, sudah mengerti pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-
nilai baru yang sangat diperlukan sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dan telah
memiliki kepribadian yang matang. Karakteristik perkembangan moral dewasa madya
yaitu mampu berfikir abstrak dan mampu memecahkan masalah-masalah yang bersifat
hipotesis, sudah mengerti akan hak dan kewajiban.
2.5 Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan
yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Keputihan (Fluor Albus), disebabkan oleh faktor endogen dan faktor eksogen
serta adanya faktor lain yang dapat mempengaruhi. Faktor eksogen yang terdiri dari
faktor infeksi (infeksi bakteri, parasit, jamur, virus, Neoplasma atau keganasan, erosi)
dan non infeksi (personal hygiene, sistem imun tubuh, kelainan endokrin atau hormone,
menopause, kondisi tubuh [stres], kelaianan kronis), keduanya dapat menyebabkan
terjadinya keputihan (Fluor Albus). Selain itu, faktor usia dan perilaku, juga dapat
mempengaruhi terjadinya keputihan (Fluor Albus) (Ramayanti, 2004).
Sabun sirih adalah sabun antiseptik (Dalimartha, 2006). Minyak atsiri daun sirih,
mengandung fenol, pati, diastase, dan zat kavinol. Zat inilah yang berkhasiat untuk
mematikan kuman, sebagai zat antioksida dan anti jamur (Dalimartha, 2006).
33. Semua khasiat sabun sirih, terkait dengan kandungan senyawa alkohol yang
terdapat pada daun sirih., baik fenol, maupun kavikol. Fenol yang dihasilkan dari
ekstrak daun sirih, merupakan senyawa golongan alkohol yang memiliki daya antiseptik
lima kali lebih, dari pada senyawa fenol biasa. Senyawa kavinol, akan semakin
membantu sebagai antiseptik (Dalimartha, 2006).
Wanita, perlu menjaga kebersihan organ intim. Organ intim wanita, seperti
vagina sangat sensitif dengan kondisi lingkungan karena letaknya tersembunyi dan
tertutup, vagina memerlukan suasana kering. Kondisi lembab akan mengundang
berkembangbiaknya jamur dan bakteri patogen. Kebersihan organ intim wanita, dapat
dilakukan dengan cara menjaga kebersihan diri. Salah satu cara untuk menjaga
kebersihan organ intim wanita, yaitu dengan menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
Penyebab Keputihan dan Tips Menghindari Keputihan
Share Artikel ini melalui:
Diterbitkan pada tanggal 19 - 11 - 2009 | 155 komentar
DokterSehat - Keputihan sungguh mengganggu aktifitas sehari-hari apalagi terkadang
disertai dengan adanya rasa gatal. Keputihan mempunyai beberapa penyebab
diantaranya adalah :
a. Jamur Candidas atau Monilia
Warnanya putih susu, kental, berbau agak keras, disertai rasa gatal pada kemaluan.
Akibatnya, mulut vagina menjadi kemerahan dan meradang. Biasanya, kehamilan,
penyakit kencing manis, pemakaian pil KB, dan rendahnya daya tahan tubuh menjadi
pemicu. Bayi yang baru lahir juga bisa tertular keputihan akibat Candida karena saat
persalinan tanpa sengaja menelan cairan ibunya yang menderita penyakit tersebut.
b. Parasit Trichomonas Vaginalis
Ditularkan lewat hubungan seks, perlengkapan mandi, atau bibir kloset. Cairan
keputihan sangat kental, berbuih, berwarna kuning atau kehijauan dengan bau anyir.
Keputihan karena parasit tidak menyebabkan gatal, tapi liang vagina nyeri bila ditekan.
c. Bakteri Gardnella
34. Infeksi ini menyebabkan rasa gatal dan mengganggu. Warna cairan keabuan, berair,
berbuih, dan berbau amis. Beberapa jenis bakteri lain juga memicu munculnya penyakit
kelamin seperti sifilis dan gonorrhoea.
d. Virus
Keputihan akibat infeksi virus juga sering ditimbulkan penyakit kelamin, seperti
condyloma, herpes, HIV/AIDS. Condyloma ditandai tumbuhnya kutil-kutil yang sangat
banyak disertai cairan berbau. Ini sering pula menjangkiti wanita hamil. Sedang virus
herpes ditularkan lewat hubungan badan. Bentuknya seperti luka melepuh, terdapat di
sekeliling liang vagina, mengeluarkan cairan gatal, dan terasa panas. Gejala keputihan
akibat virus juga bisa menjadi faktor pemicu kanker rahim.
Berikut tips menghindari keputihan
Jalani diet yang seimbang dan banyak minum
Konsumsi yoghurt, batasi konsumsi gula
Cukup tidur dan istirahat
Jangan menggaruk vagina sekalipun gatal
Jaga kesehatan daerah kewanitaan seperti sering lebih sering ganti
pembalut/tampon, memakai celana dalam adri bahan katun dan tidak ketat
Cuci pakaian dalam dengan sabun ringan dan jangan gunakan
pembalut/pewangi pakaian
Jaga kebersihan tubuh, hindari pembersih vagina yang mengandung parfum
Gunakan obat keputihan yang diberikan dokter secara teratur walaupun gejala
sudah hilang karena kemungkinan infeksi masih terjadi
(Read more: http://doktersehat.com/penyebab-
keputihan-dan-tips-menghindari-
keputihan/#ixzz1n5umvdYT)
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Out
Come
Out
Put
36. Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian .
Berdasarkan gambar 3.1 kerangka konseptual di atas, menunjukkan bahwa
faktor yang mempengaruhi wanita usia subur untuk menggunakan atau tidak
menggunakan sabun antiseptik daun sirih, yaitu faktor pengetahuan, sosial ekonomi
dan kepercayaan. Dengan menggunakan sabun antiseptik daun sirih, diharapkan
kejadian Fluor Albus Patologis menurun sehingga kejadian infertilitas, Kehamilan
ektopik, Kanker serviks, serta kematian dapat menurun.
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah Ada Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis
Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun
Sirih Pada Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame
Kediri Tahun 2011, selanjutnya dirumuskan dalam bentuk statistik, yang berbunyi, Tidak
Ada Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan
yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada Wanita Usia Subur di
Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
BAB 4
37. METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan dalam penelitian ini dijelaskan berdasarkan berbagai perspektif yaitu:
1. Berdasarkan lingkup penelitian, menggunakan rancangan penelitian inferensial.
2. Berdasarkan tempat penelitian, termasuk jenis penelitian lapangan.
3. Berdasarkan waktu pengumpulan data, termasuk jenis rancangan “cross sectional”.
4. Berdasarkan cara mengumpulkan data, termasuk jenis observasi.
5. Berdasarkan ada tidaknya perlakuan, termasuk jenis rancangan penelitian “expost facto”.
6. Berdasarkan tujuan penelitian, termasuk jenis analitik komparasi.
7. Berdasarkan sumber data, termasuk rancangan penelitian primer.
8. Berdasarkan jenis data, termasuk jenis kualitatif.
4.2 Populasi, Sampel, Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011. Jumlah populasi yaitu 4.449 Orang.
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian Wanita Usia Subur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini, sebagai berikut:
38. 1) Responden yang bersedia diteliti.
2) Wanita usia 15 – 49 tahun.
2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1) Responden yang tidak bersedia diteliti.
2) Wanita yang menggunakan pembersih organ intim, selain sabun antiseptik daun sirih.
3) Wanita yang sedang hamil.
4) Wanita yang sakit atau sedang menderita penyakit (kencing manis, kista atau penyakit organ
reproduksi lainnya).
Besar sampel dalam penelitian ini adalah 2% dari jumlah populasi, yaitu 89 responden.
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu secara non probability sampling dengan
jenis consecitive sampling.
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua variabel tergantung, yaitu Kejadian Fluor
Albus Patologis Antara yang Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih dengan yang Tidak
Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih.
Definisi operasional penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah.
39. Tabel 4.1 Definisi Operasional Penelitian
No. Variabel Definisi
Operasional
Indikator Alat
Ukur
Skala
1.
2.
Kejadian fluor
albus
patologis
yang
menggunakan
sabun
antiseptik
daun sirih
Kejadian fluor
albus
patologis
yang tidak
menggunakan
sabun
antiseptik
Suatu keadaan
keluarnya cairan
dari vagina, bukan
darah dengan sifat
yang bermacam-
macam, baik
jumlah, bau,
warna,
konsistensinya,
keruh atau jernih,
ada tidaknya
darah, frekuensi,
dan telah berapa
lama kejadian
tersebut
berlangsung dalam
bentuk tidak
mengalami fluor
albus patologis
dan fluor albus
patologis pada
wanita yang
menggunakan
sabun antiseptik
daun sirih.
Suatu keadaan
keluarnya cairan
dari vagina, bukan
darah dengan sifat
yang bermacam-
macam, baik
jumlah, bau,
warna,
konsistensinya,
keruh atau jernih,
ada tidaknya
darah, frekuensi,
dan telah berapa
lama kejadian
1. Jumlah
2. Warna
3. Sifat
khas
4. Bau
5. Gejala
1. Jumlah
2. Warna
3. Sifat
Check
list
Check
Ordinal
Tidak
Fluor
Albus
Patologis
Mengalami
Fluor
Albus
Patologis
Ordinal
Tidak
Fluor
Albus
Patologis
40. daun sirih tersebut
berlangsung dalam
bentuk tidak
mengalami fluor
albus patologis
dan fluor albus
patologis pada
wanita yang tidak
menggunakan
sabun antiseptik
daun sirih.
khas
4. Bau
5. Gejala
list
Mengalami
Fluor
Albus
Patologis
4.4 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar check list.
4.5 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data kejadian Fluor Albus Patologis
Antara yang Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih,
peneliti menggunakan lembar check list.
Spesifikasi Blue Print Instrumen.
Tabel 4.2 Blue print check list
No. Variabel Aspek No. item Jumlah
1. Penggunaan sabun
antiseptik daun sirih
Penggunaan
sabun
antiseptik daun
sirih
Ciri atau selain
sabun
antiseptic daun
sirih
1 1
41. 2. Kejadian keputihan (fluor
albus) patologis
Kejadian
keputihan
Jumlah
keputihan
Warna
keputihan
Sifat Keputihan
Bau Keputihan
Gejala
Keputihan
2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, 12
11
Total Jumlah Soal 12
4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian di Desa Pojok Wilayah Kerja Puskesmas Sukorame Kediri.
Waktu penelitian bulan september Tahun 2011.
4.7 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Adapun prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini melalui tahap sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
Dalam tahap persiapan, peneliti melakukan beberapa kegiatan meliputi:
a. Menentukan sasaran atau populasi
b. Menetapkan sampel
c. Memperbanyak check list
42. 2. Tahap Pelaksanaan
a. Menyerahkan surat ijin penelitian dari institusi Pendidikan kepada Dinas Kesehatan Kota Kediri
dan tempat penelitian yaitu Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
b. Memberikan inform consent kepada calon responden, setelah calon responden bersedia
menjadi responden, kemudian peneliti memberikan surat pernyataan kesediaan penelitian
kepada responden.
c. Peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman check list.
Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui tahapan sebagai
berikut:
1. Editing
Setelah data terkumpul dan sebelum diolah, data tersebut di edit terlebih dahulu oleh peneliti
untuk menghindari kesalahan atau hal yang meragukan, agar mendapatkan data yang
berkualitas, serta peneliti melakukan pengamatan satu per satu tentang kelengkapan pengisian
untuk keperluan proses berikutnya.
2. Coding
Langkah selanjutnya yang dilakukan adalah menulis kode pada setiap pengamatan, mulai dari
nomor 1, nomor 2 pada lembar pengamatan berikutnya sampai terakhir, begitu seterusnya
sampai pengamatan yang terakhir. Setelah itu, menuliskan kode untuk setiap variabel. Untuk
mengukur variabel dependen pertama dan ke dua, digunakan teknik sebagai berikut, data
umum terdiri dari :
a. Untuk data umum yaitu umur, di beri kode U, dimana:
1) 15-17 tahun kode 1
43. 2) 18-20 tahun kode 2
3) 21-39 tahun kode 3
4) 40-49 tahun kode 4
b. Untuk data umum yaitu pekerjaan, di beri kode R, dimana:
1) PNS kode 1
2) Swasta kode 2
3) Wiraswasta kode 3
4) Ibu rumah tangga kode 4
5) Pelajar kode 5
c. Untuk data umum yaitu suku, di beri kode S, dimana:
1) Jawa kode 1
2) Madura kode 2
3) Sunda kode 3
4) Lainnya kode 4
d. Untuk data responden yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih:
1) Yang tidak mengalami fluor albus patologis kode 1
2) Yang mengalami fluor albus patologis kode 2
44. e. Untuk data responden yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih:
1) Yang tidak mengalami fluor albus patologis kode 1
2) Yang mengalami fluor albus patologis kode 2
3. Skoring
Pada penelitian ini, skoring menggunakan skala guttman yang sudah dimodifikasi untuk
menentukan skor. Jadi, setiap pertanyaan tersebut diberikan 2 jawaban pilihan yang sesuai
dengan inti masalah dalam pertanyaan tersebut. Tiap jawaban diberi nilai skor 0 sampai dengan
1. Untuk mengukur variabel tersebut, menggunakan skoring yaitu: skor 1 (ya), skor 0 (tidak).
4. Tabulating
Setelah pernyataan diberi kode, maka dibuat dalam tabel distribusi frekuensi dan dilakukan
pembahasan terhadap kedua variabel dependen, untuk mempermudah mengidentifikasi data
sehingga memudahkan juga dalam pengolahan data.
4.8 Teknik Analisa Data
1. Analisa Univariat
Dari hasil teknik skoring untuk masing-masing variabel dependen, yaitu kejadian fluor albus
patologis antara yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun
sirih, sebagai berikut:
1) Untuk penggunaan sabun antiseptik daun sirih, dengan menggunakan kriteria:
45. a) Menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
b) Tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
2) Untuk kejadian fluor albus patologis, dengan menggunakan kriteria:
a) Tidak mengalami Fluor albus patologis, jika tidak ada cairan berwarna putih, putih kekuningan,
hijau kekuningan, kekuningan, kecokelatan yang ke luar dari organ reproduksi atau organ intim
atau berwarna putih bening, tidak gatal, tidak berbau busuk, sifat khas seperti krim, jumlah
normal.
b) Mengalami Fluor albus patologis, jika gatal; terdapat nyeri; berbau menusuk; sifatnya kental,
berbusa atau lengket;, jumlahnya agak banyak sampai banyak.
Selanjutnya, di klasifikasikan dalam bentuk persentase dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Keterangan :
N : Nilai
SP : Skor yang di dapat dari pengamatan peneliti
SM : Skor tertinggi yang diharapkan
Setelah proses di atas, Menurut Arikunto (2006) hasil pengolahan data dalam bentuk
persentase diinterpretasikan, sebagai berikut:
100 % : Seluruhnya.
76-99 % : Hampir seluruhnya.
51-75 % : Sebagian besar.
50 % : Setengahnya.
46. 26-49 % : Hampir setengahnya.
1-25 % : Sebagian kecil.
0 % : Tak satupun.
2. Analisa Bivariat
Analisa data yang digunakan untuk mengetahui perbedaan kejadian fluor albus patologis antara
yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, dalam
penelitian ini adalah dengan menggunakan statistik non parametric yaitu menggunakan uji
Mann Whitney, karena peneliti malakukan analisis perbedaan antar variabel dependen yang
berskala ordinal, kemudian dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer
(soft ware) SPSS versi 16.0 for windows.
Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
[µ ± ½] -
∑ µ
∂
Z
H
=
Keterangan:
µ : Jumlah ranking
∑ µ : Mean
47. ∂ : Standar deviasi
Jika pada level of significancy α = 0,05 (pengujian pada dua kelompok), hipotesis nol dapat di
terima jika -1,96 ≤ ZH ≤ + 1,96. Hal tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan antar dua
variabel dependen tersebut.
BAB 5
ANALISIS HASIL PENELITIAN
5.1 Data Umum
Bagian ini akan menyajikan karakteristik responden berdasarkan tingkat umur,
pekerjaan dan suku.
5.1.1 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Umur
Tabel 5.1 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus
Patologis Menurut Umur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Umur Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuens
i
%
15 – 17 tahun 0 0 4 4,5 4 4,5
18 – 20 tahun 0 0 12 13,5 12 13,5
21 – 39 tahun 1 1,1 46 51,7 47 52,8
40 – 49 tahun 3 3,3 23 25,9 26 29,2
Total 4 4,4 85 95,6 89 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden yaitu 47
(52,9%) berumur 21 – 39 tahun. Sebagian besar responden, yaitu 46 (51,7%)
responden yang berusia 21 – 39 tahun, tidak mengalami kejadian fluor albus patologis
dan hanya 1 (1,1%) responden yang mengalami kejadian fluor albus patologis.
48. Berdasarkan tabel di atas, kejadian fluor albus patologis terbanyak, terjadi pada umur
40 – 49 tahun, yaitu 3 (3,3) responden.
5.1.2 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Umur
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik
Daun Sirih Menurut Umur di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Umur Penggunaan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuensi % Frekuens
i
% Frekuens
i
%
15 – 17 tahun 1 1,1 3 3,3 4 4,4
18 – 20 tahun 10 11,2 2 2,2 12 13,4
21 – 39 tahun 24 27 23 25,9 47 52,9
40 – 49 tahun 4 4,5 22 24,8 26 29,3
Total 39 43,8 50 56,2 89 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden yaitu 47
(52,9%) berumur 21 – 39 tahun. Hampir setengah responden, yaitu 24 (27%)
responden, menggunakan sabun antiseptik daun sirih dan hampir setengah responden,
yaitu 23 (25,9%) responden yang berusia 21 – 39 tahun, tidak menggunakan sabun
antiseptik daun sirih. Berdasarkan tabel, responden yang tidak menggunakan sabun
antiseptik daun sirih dengan jumlah terbanyak, yaitu pada responden yang beumur
antara 21 – 39 tahun.
5.1.3 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut
Pekerjaan
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus
49. Patologis Menurut Pekerjaan di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Pekerjaan Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
PNS 0 0 0 0 0 0
Swasta 3 3,3 55 61,9 58 65,2
Wiraswasta 1 1,1 4 4,5 5 5,6
Pekerjaan Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Ibu Rumah Tangga 0 0 18 20,2 18 20,2
Pelajar 0 0 8 9 8 9
Total 4 4,4 85 95,6 89 100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui, bahwa sebagian besar responden, yaitu 58
(65,2%) bekerja swasta. 55 responden (61,9 %) tidak mengalami fluor albus patologis
dan 3 responden (3,3%) mengalami fluor albus patologis.
5.1.4 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Pekerjaan
Tabel 5.4 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik
Daun Sirih Menurut Pekerjaan di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Pekerjaan Penggunaan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuensi % Frekuens
i
% Frekuensi %
PNS 0 0 0 0 0 0
Swasta 22 24,8 36 40,4 58 65,2
Wiraswasta 2 2,2 3 3,4 5 5,6
Ibu Rumah Tangga 10 11,2 8 9 18 20,2
Pelajar 5 5,6 3 3,4 8 9
Total 39 43,8 50 56,2 89 100
50. Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui, bahwa sebagian kecil responden, yaitu 22
(24,8%) yang bekerja swasta, menggunakan sabun antiseptik dan merupakan
responden terbanyak yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih.
5.1.5 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus Patologis Menurut Suku
Tabel 5.5 Karakteristik Responden Tentang Kejadian Fluor Albus
Patologis Menurut Suku di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Suku Kejadian Fluor Albus Patologis Total
Terjadi Tidak Terjadi
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Jawa 4 4,5 84 94,4 88 98,9
Madura 0 0 1 1,1 1 1,1
Sunda 0 0 0 0 0 0
Lainnya 0 0 0 0 0 0
Total 4 4,5 85 95,5 89 100
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 88
(98,9%) berasal dari suku jawa. Sebagian responden 84 (94,4%) yang berasal dari
suku jawa, tidak mengalami kejadian Fluor Albus Patologis dan hanya sebagian kecil
dari suku jawa, 4 (4,5%), yang mengalami kejadian fluor albus patologis.
5.1.6 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Menurut Suku
Tabel 5.6 Karakteristik Responden Tentang Penggunaan Sabun Antiseptik
Daun Sirih Menurut Suku di Desa Pojok Wilayah Kerja
Puskesmas Sukorame Kediri Bulan September Tahun 2011.
Suku Penggunaan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuens
i
% Frekuensi % Frekuensi %
Jawa 38 42,7 50 56,2 88 98,9
Madura 1 1,1 0 0 1 1,1
Sunda 0 0 0 0 0 0
51. Lainnya 0 0 0 0 0 0
Total 39 43,8 50 56,2 89 100
Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 88
(98,9%) berasal dari suku jawa. Sebagian besar responden yang berasal dari suku
jawa, yaitu 50 (56,2%) responden, tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih dan
hampir setengah responden, yaitu 38 (42,7%) responden saja yang berasal dari suku
jawa menggunakan sabun antiseptik daun sirih. Berdasarkan tabel, penggunaan sabun
antiseptik daun sirih terbanyak, berasal dari suku jawa.
5.2 Data Khusus
Bagian ini akan menyajikan hasil penelitian tentang penggunaan sabun atiseptik daun
sirih dan kejadian fluor albus patologis serta perbedaan kejadian fluor albus patologis
antara yang menggunakan dengan yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun
sirih.
5.2.1 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Tabel 5.7 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Menggunakan Sabun
Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
Kejadian Fluor Albus Patologis Frekuensi Persentase
Terjadi 2 5,1
Tidak Terjadi 37 94,9
Total 39 100
Berdasarkan tabel 5.7 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 37 (94,9
%) yang menggunakan sabun antiseptik daun sirih, tidak mengalami kejadian fluor
albus patologis.
52. 5.2.2 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun
Sirih
Tabel 5.8 Kejadian Fluor Albus Patologis yang Tidak Menggunakan
Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
Kejadian Fluor Albus
Patologis
Frekuensi Persentase
Terjadi 2 4
TidakTerjadi 48 96
Total 50 100
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui, bahwa hampir seluruh responden, yaitu 48 (96
%) yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, tidak mengalami kejadian fluor
albus patologis.
5.3 Analisis dan Hasil Penelitian
5.3.1 Tabulasi Silang Perbedaan Kejadian Kejadian Fluor Albus Patologis antara yang
Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih
Tabel 5.9 Tabulasi Silang Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang
Menggunakan Dengan yang Tidak Menggunakan Sabun
Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.
Kejadian Fluor
Albus Patologis
Penggunaan Sabun Antiseptik Daun Sirih Total
Menggunakan Tidak
Menggunakan
Frekuensi % Frekuensi % Frekuensi %
Terjadi 2 2,2 2 2,2 4 4,4
Tidak Terjadi 37 41,6 48 54 85 95,6
P Value = 0,800 α = 0,05
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah responden yang menggunakan
sabun antiseptik daun sirih, yaitu 37 (41,6 %), tidak Fluor Albus Patologis dan
53. sebagian besar responden yang tidak menggunakan sabun antiseptik daun sirih, 48
(54%), tidak terjadi Fluor Albus Patologis.
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa P value = 0, 800 pada α = 0, 05. Hal tersebut
menunjukkan bahwa P value > α, sehingga H0 diterima, yang berarti Tidak Ada
Perbedaan Kejadian Fluor Albus Patologis Antara yang Menggunakan Dengan yang
Tidak Menggunakan Sabun Antiseptik Daun Sirih Pada WUS di Desa Pojok Wilayah
Kerja Puskesmas Sukorame Kediri Tahun 2011.