1. MAKALAH ANALISIS:
PANCASILA SEBAGAI NILAI INTEGRATIF
PANCASILA DI ERA GLOBALISASI
Mata Kuliah: Pendidikan Kewarganegaraan, Pancasila dan Anti Korupsi
Oleh:
Dewi Annisa Putri
140904080
Semester I
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
2. Perwujudan Pancasila sebagai Kesepakatan atau Nilai
Integratif Bangsa
Pancasila sebagai nilai integratif, sebagai sarana pemersatu dan prosedur penyelesaian
konflik perlu pula dijabarkan dalam praktik kehidupan bernegara. Pancasila sebagai sarana
pemersatu dalam masyarakat dan prosedur penyelesaian konflik itulah yang terkandung
dalam nilai integratif Pancasila. Pancasila sudah diterima oleh masyarakat Indonesia
sebagai sarana pemersatu, artinya sebagai suatu kesepakatan bersama bahwa nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya disetujui sebagai milik bersama. Pancasila menjadi semacam
social ethics dalam masyarakat yang heterogen.
Pancasila adalah kata kesepakatan dalam masyarakat bangsa. Kata kesepakatan ini
mengandung makna pula sebagai konsensus bahwa dalam hal konflik maka lembaga
politik yang diwujudkan bersama akan memainkan peran sebagai penengah. Jadi, apakah
pancasila dapat digunakan secara langsung mempersatukan masyarakat dan mencegah
konflik? Tidak, tetapi prosedur penyelesaian konflik yang dibuat bersama, baik meliputi
lembaga maupun aturan itulah yang diharapkan mampu menyelesaikan konflik yang
terjadi di masyarakat. Fungsi Pancasila di sini adalah bahwa dalam hal pembuatan
prosedur penyelesaian konflik, nilai-nilai pancasila menjadi acuan normatif bersama.
Nilai-nilai Pancasila hendaknya mewarnai setiap prosedur penyelesaian konflik
yang ada di masyarakat. Secara normatif dapat dinyatakan sebagai berikut; bahwa
penyelesaian suatu konflik hendaknya dilandasi oleh nilai-nilai religius, menghargai derajat
kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mendasarkan pada prosedur demokratis dan
berujung pada terciptanya keadilan.
Studi Kasus: Memudarnya Integrasi Nasional
I. Latar Belakang
Hal yang paling ditakuti negara didunia ini, yakni Krisis moneter. Krisis Moneter
yang disertai krisis ekonomi dan politik di Indonesia yang berlangsung sejak pertengahan
1997, membawa implikasi ganda, baik yang bersifat positif maupun negatif, bagi masa
depan politik Indonesia. Aspek positif dari krisis tersebut adalah timbulnya gelombang
tuntutan reformasi total, khususnya di bidang politik, ekonomi dan hukum. Mundurnya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah memberikan kesempatan emas bagi rakyat dan
bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem politik, ekonomi, dan hukum ke arah yang
lebih sehat, adil, dan demokratis. Meski di tengah euforia politik saat ini masih terdapat
gejolak politik di antara mereka yang pro pemerintah dan yang anti pemerintah,
diharapkan transisi menuju demokrasi ini akan dapat dilalui secara damai seperti yang
dicita-citakan sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia tampaknya tidak
menginginkan terulangnya kembali lingkaran setan suatu proses dari tirani menuju ke
demokrasi, anarki politik dan kembali ke tirani lagi, seperti yang terjadi pada proses
pergantian kepemimpinan nasional dari Soekarno ke Soeharto.
Sisi negatif, di tengah euforia politik tersebut muncul kembali aspirasi sebagian
masyarakat di beberapa propinsi di Indonesia seperti di Irian Jaya, Aceh, Timor Timur, dan
Riau yang menghendaki kemerdekaan, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kejatuhan rezim Soeharto yang otoriter, represif, dan cenderung menafikan aspirasi lokal,
tampaknya dipandang sebagai momentum oleh sebagian masyarakat di daerah-daerah
3. tersebut untuk menyuarakan aspirasi dan kepentingan mereka yang diabaikan selama
sekitar 30 tahun Orde Baru. Dalam perkembangan terakhir, pemberian kesempatan bagi
rakyat Timor Timur untuk memilih dua opsi yang ditawarkan Presiden Habibie, yakni
status khusus dengan otonomi luas atau lepas dari RI, menjadi momentum baru untuk
sebagian masyarakat di tiga daerah lainnya untuk menuntut perlakuan yang sama.
Potensi disintegrasi politik di Irian Jaya, Aceh, dan Timor Timur memang memiliki
akar yang amat mendalam. Di Irian Jaya, misalnya, keinginan sebagian masyarakat Irian
untuk lepas dari Indonesia memiliki sejarah yang panjang, bahkan sebelum propinsi
tersebut resmi menjadi bagian dari Indonesia pada 1 Maret 1963. Meski gerakan-gerakan
separatisme, atau nasionalisme Papua, bersifat sangat sporadis dan kadang-kadang tidak
ada hubungan satu sama lain, semua gerakan tersebut cenderung menggunakan nama
gerakan yang sama, yaitu Organisasi Papua Merdeka .
Bahkan akhir-akhir ini merebak isu bahwa Provinsi Yogyakarta akan memisahkan
diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena juga masalah politik. Ini terlihat dari
awal dari bergabungnya Sultan Hamengkubuwono kedalam Organisasi milik Surya Paloh
yang dinamakan ‘Nasional Demokrat ‘. Ini secara kasat mata mungkin hanya sepele, dan
tidak akan mengganggu kestabilan dan kekuasaan Partai Demokrat yang saat ini menjadi
Partai terbesar karena figur Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, dilihat dari
perkembangan Nasional Demokrat, bukan tidak mungkin Organisasi milik Surya Paloh itu
akan menjadi sebuah Partai. Partai yang menggabungkan Golkar dengan Demokrat. Pidato
SBY yang sedang, kemudian dilebih lebihkan oleh media menjadi poros permasalahan,
seakan Presiden RI tersebut sangat tidak setuju dengan Keistimewaan Yogyakarta. Dan itu
akan segera dicabut. Tokoh masyarakat Yogyakarta pun terusik, sehingga melahirkan
gerakan-gerakan yang mendukung terus Keistimewaan Yogyakarta. Padahal, ditilik dari
perjuangan DIY mengatasi penjajah, dahulu kala sangat pantas untuk diapresiasi. Apalagi
pidato dari HB yang mengungkapkan bahwa ‘ Yogyakarta lebih dulu ada, daripada Negara
ini’ sangat menguatkan posisi Yogyakarta untuk mendapatkan Keistimewaan. Namun,
gonjang-ganjing mrotolnya anggota Partai Demokrat seakan permasalahan ini terus
berkobar hebat, sorotan tertuju kepada Adik Hamengkubuwono yang secara resmi telah
menanggalkan jabatan sebagai salah satu anggota Partai Demokrat. Hanya tinggal waktu
saja, bagaimana kelanjutannya setelah Presiden RI kembali berpidato untuk meluruskan
apa yang telah beliau ucapkan kemarin lusa.
Sementara itu di propinsi paling barat Indonesia, Daerah Istimewa Aceh, sejarah
perlawanan rakyat terhadap pemerintah pusat jauh lebih lama lagi, yakni sejak masa
kolonial Belanda. Pada intinya, rakyat Aceh memiliki suatu harga diri yang tinggi dan ingin
membangun suatu negara berdasarkan Islam. Pada masa awal kemerdekaan Indonesia,
masyarakat Aceh termasuk yang pertama mendukung kemerdekaan nasional melalui
simbolisme pemberian pesawat Dakota (DC 3) kepada pemerintah republik yang berpusat
di Yogyakarta. Kurangnya apresiasi pemerintah terhadap para pemimpin lokal Aceh,
menyebabkan timbulnya pemberontakan Daud Beureuh. Pemberontakan tersebut
berhenti setelah Pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa kepada Aceh. Namun
demikian, hal itu tidak mengurangi perlawanan sebagian masyarakat Aceh terhadap
pemerintah pusat di Jakarta, seperti yang dilakukan oleh Hasan Tiro melalui Gerakan Aceh
Merdeka.
Timor Timur bukanlah bagian dari wilayah bekas Hindia Belanda, sehingga secara
historis daerah itu tidak pernah pula menjadi bagian dari Republik Indonesia yang
diproklamirkan sejak 17 Agustus 1945. Sejarah “integrasi”, atau tepatnya aneksasi, Timor
Timur ke dalam wilayah RI yang penuh dengan pertumpahan darah telah menimbulkan
trauma politik yang amat mendalam di hati sanubari sebagian masyarakat Timor Timur
4. terhadap Indonesia dan menjadi salah satu alasan bagi mereka untuk lepas dari Indonesia.
Belum adanya pengakuan internasional (PBB) atas “integrasi” Timor Timur ke dalam
wilayah Indonesia, menambah harapan bangsa Maubere untuk berdiri sendiri sebagai
sebuah negara yang merdeka.
Yang terjadi di Riau sangat berbeda dengan di ketiga propinsi tersebut diatas. Riau
termasuk propinsi pinggiran yang kaya di Indonesia seperti halnya Aceh dan Irian Jaya.
Namun demikian, masyarakat Riau relatif tidak memiliki kesadaran etnik yang kuat dan
kurang memiliki keberanian untuk melakukan gerakan pemisahan diri dibandingkan
dengan tiga daerah lainnya. Walaupun demikian, kasus Riau tetap dipilih sebagai salah
satu kasus dalam kajian potensi disintegrasi nasional dalam rangka menguji, apakah teori
gerakan pemisahan diri yang selama ini berlaku, masih valid. Di samping itu, kasus Riau
juga bermanfaat untuk mengetahui, apakah masyarakat Riau sungguh-sungguh ingin
merdeka dan memisahkan diri dari RI, atau sekedar “unjuk rasa” dalam rangka
memperoleh perhatian yang lebih besar dari pemerintah pusat di Jakarta.
II. Permasalahan
Permasalahan yang meracuni bangsa ini, hilangnya Integrasi ( Disintegrasi ) daerah
sangat kompleks, sehingga menjadi perhatian dan sumber kekhawatiran yang luas, baik di
kalangan masyarakat, intelektual, maupun kalangan pemerintah. Sumber kekhawatiran itu
tidak hanya bersumber dari tuntutan pemisahan diri sebagian rakyat di tiga / empat
daerah diatas, tetapi juga lantaran maraknya kerusuhan sosial di beberapa kota besar dan
kecil belum lama ini. Di beberapa daerah seperti di Jakarta (Ketapang), Kupang (NTT),
Ambon dan Maluku pada umumnya, serta Sambas di Kalimantan Barat, kerusuhan sosial
berkembang menjadi pertentangan yang berbau sentimen SARA (suku, agama, ras, dan
antargolongan). Ratusan orang tewas secara sia-sia dan tak terhitung harta benda yang
dirusak, terbakar ataupun dibakar. Sementara itu di Aceh Utara, Aceh Timur, dan Pidie,
rakyat setempat secara terbuka melawan aparat negara bersenjata lengkap yang selama
masa berlakunya Daerah Operasi Militer dianggap bertanggung-jawab membunuhi
keluarga mereka secara biadab dan di luar batas-batas kemanusiaan.
Bisa diakui bahwa gerakan pemisahan diri cenderung terjadi di daerah-daerah
pinggiran (periphery) yang jauh dari pusat pemerintahan (centre), kaya akan sumber alam,
dan memiliki perasaan etnik yang kuat serta berbeda dengan elite politik yang
memerintah. Namun demikian di dalam suatu negara yang tengah bergolak dan
mengalami transisi demokratis seperti Indonesia, potensi disintegrasi bisa bersumber dari
berbagai faktor atau variabel lain yang tidak terduga. Struktur politik yang sentralistik dan
menafikan aspirasi lokal di satu pihak, dan di pihak lain cenderung korup, kolusif, nepotis,
dan monopolistik, bisa jadi merupakan faktor yang memperbesar potensi disintegrasi
tersebut.
Belum lama ini, pengalaman dari saya yang melihat langsung dan berkomunikasi
dengan seorang intelektual namun berdoktrin ‘membenci apa yang berhubungan dengan
jawa’, dia berselancar di dunia jejaring social dan masuk di rum ‘ boso jowo’. Dia berkata -
kata kurang enak, dan saya mengajak berkomunikasi. Dan dari komunikasi yang kami jalin
bisa saya simpulkan bahwa : dia sangat membenci jawa karena pemerintahan berisi paling
dominant ras dari Jawa. Sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan Pulau Jawa
pasti cepat. Misal: bencana alam. Selain itu segala kebutuhan Penduduk dijawa hampir
setiap hari tercukupi. Dan sebagainya. Namun berbeda dengan pulau yang ia tinggali, Irian
jaya. Dia menjelaskan bahwa Irian jaya sangat dipandang sebelah mata, padahal SDA yang
terkandung didalam bumi Irian sangat besar. Sampai-sampai dijual ke luar negeri, tapi apa
5. yang didapat oleh penduduk sekitar? Hanya limbah-limbah yang didapat. Contoh konkrit,
yakni ‘Freeport’. Kontrak dari PT yang konon bermarkas di Amerika itu hanya digunakan
pensejahteraan orang jawa. Sungguh ironi. Jika dendam dan doktrin ini semakin
berkembang, bukan tak mungkin gerakan-gerakan maupun pemberontakan yang mungkin
sekarang sudah melemah, akan kembali kuat, dan siap untuk mencuri perhatian
pemerintah pusat Jakarta.
Permasalahan Rumusan
Masalah yang ingin dikaji dalam studi ini mengacu kepada beberapa pertanyaan
pokok: 1. Pertama, seberapa besar sebenarnya potensi disintegrasi nasional di Yogyakarta,
Aceh, Irian Jaya? Kedua, faktor-faktor apa sebenarnya yang melatarbelakangi semakin
kuatnya gerakan pemisahan diri di berbagai wilayah di Indonesia? Ketiga, bagaimana cara
Mengembalikan Integrasi Nasional Dengan Nasionalisme Tanpa Sifat Kedaerahan?
Keempat, bagaimana mencegah disintegrasi nasional?
III. Pembahasan
A. Integrasi : Perspektif Teoritis
Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi dan nasional. Istilah integrasi
mempunyai arti pembauran/penyatuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh / bulat.
Istilah nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat bangsa sendiri, meliputi suatu
bangsa seperti cita-cita nasional, tarian nasional, perusahaan nasional (Kamus Besar
Bahasa Indonesia: 1989 dalam Suhady 2006: 36). Hal-hal yang menyangkut bangsa dapat
berupa adat istiadat, suku, warna kulit, keturunan,
agama,budaya,1wilayah/daerahadanasebagainya.
Sehubungan dengan penjelasan kedua istilah di atas maka integritas nasional identik
dengan integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses penyatuan atau
pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan
identitas nasional atau bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 1989 dalam Suhady 2006:
36-37) yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan kesimbangan
dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa.
Integritas nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada aliran pemikiran/paham
integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770- 1831 dalam Suhady 2006: 38) yang
berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu harus
dicari kaitannya dengan yang lain dan untuk mengenal manusia harus dikaitkan dengan
masyarakat di sekitarnya dan untuk mengenal suatu masyarakat harus dicari kaitannya
dengan proses sejarah.
Menurut James J. Coleman dan Carl G. Rosberg, ada dua dimensi utama konsep
integrasi, yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal. Integrasi vertikal sering disebut
sebagai integrasi politik yang mencakup masalah yang timbul dalam hubungan negara
dengan masyarakat. Sedangkan integrasi horizontal lebih bersifat kultural dan karena itu
mencakup persoalan ketegangan hubungan diantara berbagai kelompok kultural di dalam
masyarakat itu sendiri.
Namun demikian, Myron Weiner tidak sepenuhnya setuju pada pembedaan secara
tajam antara integrasi vertikal di satu pihak dan integrasi horizontal di lain pihak. Ia justru
memandang penting semua aspek integrasi yang mencakup 5 (lima) persoalan sekaligus,
6. yaitu integrasi bangsa, integrasi wilayah, integrasi elite massa, integrasi nilai, dan perilaku
integratif.
Kelima aspek integrasi inilah yang disebut oleh Weiner sebagai integrasi politik.
Dengan pemahaman demikian, Weiner tampaknya memandang bahwa integrasi politik
tidak akan pernah bisa dicapai apabila salah satu dari kelima aspek integrasi tersebut
diabaikan.
Sementara itu menurut Howard Wriggins, terdapat sekurang-kurangnya lima
faktor yang menentukan berhasilnya integrasi bangsa. Faktor-faktor itu adalah: (1) upaya
penciptaan musuh bersama dari luar; (2) gaya politik para pemimpin yang memperkecil
perbedaan, dan pemberian penghargaan serta rasa hormat terhadap semua suku bangsa
yang berbeda-beda; (3) lembaga-lembaga politik, partai politik, dan birokrasi nasional,
termasuk militer, yang aspiratif, luwes dan akomodatif terhadap perbedaan dan
keanekaragaman daerah; (4) ideologi nasional yang menentukan tujuan dan cara-cara
pencapaiannya; dan (5) pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada perluasan
kesempatan bagi semua orang secara adil.
Dalam konteks Indonesia, integrasi politik itu lazim disebut sebagai integrasi
nasional, yang cakupan dimensinya bukan saja integrasi bangsa dan integrasi wilayah
(teritorial), melainkan juga integrasi penguasa (elite) dengan rakyat yang dikuasai (massa).
Dengan menggunakan perspektif Coleman dan Rosberg, William Liddle melihat persoalan
integrasi nasional di Indonesia berkaitan dengan dua masalah utama yang berpeluang
menjadi potensi disintegrasi, yaitu : pertama, adanya pembelahan horizontal yang berakar
pada perbedaan suku, ras, agama, dan geografi. Kedua, pembelahan yang bersifat vertikal
yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang pandangan antara elite yang berorientasi
perkotaan dan massa yang masih berorientasi pedesaan serta tradisional.
Sementara itu dari perspektif historis, para ahli menunjuk berbagai faktor
penyebab yang cenderung berbeda dalam melihat berbagai kasus yang dianggap
mengancam disintegrasi nasional di Indonesia. Studi Nawawi yang memusatkan diri pada
konflik regional memandang bahwa faktor kesukuan dan stagnasi yang diperdalam oleh
dampak kekuasaan kolonial merupakan akar regionalisme dalam kasus Republik Maluku
Selatan (RMS), Sulawesi Selatan (Darul Islam), dan Aceh (Darul Islam). Herbert Feith
melihat kurangnya konsensus tentang tujuan dan gagasan sosial dari dua budaya politik
utama “aristokrasi Jawa” dan “wiraswasta Islam” sebagai faktor penyebab rendahnya
tingkat integrasi. Sementara Hans Schmitt berpendapat bahwa sumber konflik politik yang
terjadi pada tahun 1950-an terletak pada perbedaan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa.
Persoalannya, apakah perspektif teoritis para ahli tersebut masih relevan dalam
melihat potensi disintegrasi negara Orde Baru dan pasca Orde Baru yang ditinggalkan
mantan Presiden Soeharto?
B. Demokrasi, Desentralisasi, maupun Integrasi
Teoritis yang diajukan Weiner, Indonesia pasca Orde Baru tampaknya menghadapi
dilema integrasi yang amat kompleks, yang mencakup hampir semua aspek integrasi :
integrasi bangsa, integrasi elite massa, integrasi nilai, integrasi wilayah, dan perilaku
integratif. Ironisnya, berbagai upaya dalam bentuk kebijakan politik maupun ekonomi
yang diterapkan oleh Orde Baru, justru makin memperbesar potensi disintegrasi
ketimbang memperkokohnya. Faktor utama di balik kecenderungan tersebut adalah
praktek politik otoritarianisme yang lebih berorientasi pada integrasi kekuasaan diantara
elite penguasa ketimbang integrasi nasional dalam pengertian yang sesungguhnya.
Dari perspektif teoritis Wriggins, Orde Baru gagal memperkokoh integrasi bangsa
karena cenderung melakukan manipulasi atas hampir semua faktor integratif. Selama
7. lebih dari 30 tahun rezim Soeharto menciptakan hantu komunisme, ekstrem kiri, dan
ekstrem kanan, yang tidak pernah sungguh-sungguh terbukti secara empirik karena
diciptakan untuk membenarkan represi atas masyarakat. Dalam gaya kepemimpinan,
hampir semua elite politik di semua tingkat dalam struktur politik Orde Baru cenderung
melakukan pembodohan atas masyarakat ketimbang mengakomodasi aspirasi dan
kepentingan mereka. Begitu pula, lembaga-lembaga politik seperti DPR dan partai politik
dikontrol dan diintervensi oleh negara, sehingga tidak ada peluang bagi munculnya
aspirasi alternatif dan berbeda dari mainstream kekuasaan. Sementara itu ideologi negara
Pancasila yang mestinya bisa menjadi faktor dinamik bagi perubahan, tidak hanya
dimonopoli penafsirannya oleh negara melalui misalnya indoktrinasi dalam bentuk P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila), melainkan juga cenderung dijadikan
alat pembenaran bagi setiap penyimpangan kekuasaan yang dilakukan elite penguasa di
satu pihak, serta juga untuk memisahkan “kawan” dan “lawan” politik bagi pihak lain.
Masih dari perspektif Wriggins, betapa pun pertumbuhan ekonomi Orde Baru relatif tinggi
selama tiga dekade (rata-rata 6 – 7 persen pertahun), tetapi tidak ada peluang,
kesempatan, dan akses yang sama, adil, dan proporsional bagi semua pihak untuk
menikmati pertumbuhan itu. Daerah-daerah yang memberikan kontribusi besar bagi
pertumbuhan ekonomi Orde Baru seperti Aceh, Irian Jaya, dan Riau, justru terlantar secara
ekonomi.
Oleh karena itu dalam rangka memperkokoh integrasi nasional, kajian ini
mengambil posisi bahwa penegakan sistem demokrasi merupakan jalan keluar bagi
Indonesia pasca Orde Baru dalam upaya mempertahankan keberadaannya. Demokrasi
yang dimaksudkan itu tidak hanya sekedar dalam pengertian perluasan partisipasi rakyat
dalam proses politik, melainkan juga distribusi kekuasaan dan kekayaan secara adil serta
proporsional bagi daerah-daerah. Dengan kata lain, desentralisasi politik dan ekonomi
merupakan jalan keluar yang penting untuk mempertahankan keutuhan negara bangsa
Indonesia yang amat beragam secara sosial, kultural, dan politik.
Persoalannya, secara konseptual, arah desentralisasi dalam kebijakan otonomi
daerah di Indonesia cenderung tidak jelas. Dalam kebijakan tentang otonomi daerah
seperti dianut UU No. 5 tahun 1974 misalnya, tidak begitu jelas, apakah pemerintah
hendak mengimplementasikan desentralisasi politik (political decentralization) ataukah
desentralisasi administratif (administrative decentralization). Di sisi lain, betapa pun di
daerah ada DPRD I dan II, lembaga perwakilan tersebut justru menjadi bagian dari
pemerintah daerah itu sendiri. Padahal, secara teoritis, pemerintah daerah dengan
lembaga perwakilan (local representative government) dan pemerintah daerah tanpa
lembaga perwakilan (local non representative government), adalah dua kategori yang
berbeda dengan implikasi politik dan administratif yang berbeda-beda pula. Oleh karena
itu pula, model otonomi daerah yang dianut UU No. 5 tahun 1974 sebenarnya sangat
kabur, dan tidak seluruhnya mengikuti model local self government yang diterapkan
negara-negara Anglo Saxon yakni suatu pemerintahan daerah berfungsi majemuk dengan
lembaga perwakilan.
Urgensi perluasan otonomi bagi daerah-daerah dalam rangka distribusi kekuasaan
dan kekayaan di satu pihak, dan dalam upaya memperkokoh integrasi nasional di lain
pihak, terlihat jelas di sini. Kecenderungan elite politik Jakarta maupun pemerintah pusat
untuk terus mengeksploitasi sumber daya ekonomi daerah tanpa mempertimbangkan
aspirasi politik masyarakat daerah secara adil, tampaknya harus segera diakhiri. Tuntutan
pemisahan diri sebagian rakyat di daerah-daerah, yang menjadi fokus kajian ini cenderung
akan terus berlangsung selama tidak ada upaya serius untuk mengakomodasi aspirasi
mereka melalui pemberian hak otonomi bagi daerah. Ironisnya, kendati sejak 1974
8. pemerintah dan DPR menerbitkan Undang-Undang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
dalam praktiknya hampir tidak ada kewenangan bagi daerah untuk ikut menata masa
depan daerah mereka secara otonom tanpa intervensi pusat. Selama 25 tahun UU No. 5
tahun 1974 “tidur” dan ditidurkan oleh rezim Soeharto sementara eksploitasi terhadap
sumber daya ekonomi daerah berlangsung terus.
Di sisi lain, UU No. 5 tahun 1974 itu sendiri secara substantif tidak memberikan
peluang kepada daerah untuk mengurus rumah tangga daerahnya masing-masing. Malah
UU tersebut menciptakan ketergantungan permanen dan hampir mutlak pemerintah
daerah, khususnya Dati II, kepada pemerintah pusat. Hal itu tidak hanya tercermin dari
introduksi prinsip “otonomi yang nyata dan bertanggung -jawab” di dalam UU tersebut,
melainkan juga pada hampir semua materi tentang hubungan pusat dan daerah di
dalamnya. Kecenderungan ke arah sentralisasi kekuasaan maupun eksploitasi sumber
daya ekonomi daerah tampak jelas dari lemahnya kedudukan pemerintah daerah tingkat II
dan DPRD II dalam berhadapan, baik dengan pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah diatasnya (propinsi). Persoalannya, hampir semua kewenangan penting yang
berhubungan dengan masa depan daerah tetap ditentukan oleh pemerintah pusat melalui
asas dekonsentrasi. Penentuan kepala daerah pun, walaupun dipilih oleh DPRD, tetap
berada di tangan Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Begitu pula pertanggung-jawaban
kepala daerah, tidak diberikan kepada DPRD, melainkan kepada Presiden melalui
Mendagri. Sentralisasi yang dibungkus dengan asas dekonsentrasi terlihat dl hampir
semua sektor kehidupan, mulai dari keuangan, perpajakan, perijinan, kepegawaian, dan
seterusnya. Di tingkat kebijakan, semuanya disiapkan oleh pemerintah pusat secara
seragam tanpa memperhitungkan kebutuhan dan perbedaan karakteristik, kultur, dan
sejarah dari setiap daerah. Meminjam ungkapan J.D. Legge, kebijakan rezim Soeharto
tentang otonomi daerah tampaknya masih diwarnai oleh colonial flavour.
C. Mengembalikan Integrasi Nasional Dengan Nasionalisme
Persatuan dan kesatuan terasa begitu sangat indah. Dilihat dari kata-katanya saja
kita bisa membayangkan kehidupan di dalamnya akan sangat penuh dengan kebahagian,
ketenangan dan saling bersatu. Inilah yang selalu di dambakan dan diimpikan oleh
masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Integrasi nasional yang dimaksud disini adalah kesatuan dan persatuan negara.
Melihat keadaan dan kondisi dari Indonesia dewasa ini, integrasi nasional tidak bisa
diwujudkan dengan mudah atau seperti membalikkan telapak tangan, ini semua
disebabkan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Dilihat dari sejarah Indonesia, sebelum atau pra-kemerdekaan, bangsa Indonesia
sangat bersatu baik dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun dalam
mempertahankan identitas nasionalnya. Sumpah pemuda yang dikumandangkan oleh
para pemuda dan pemudi Indonesia mencerminkan bahwa persatuan dan kesatuan itu
merupakan suatu tujuan mutlak untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia akhirnya tercapai yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. setelah
kemerdekaan dikumandangkan keseluruh pelosok Indonesia, disusunlah UUD Negara dan
Dasar Negara, dimana di dalamnya dicantumkan dengan jelas kata-kata persatuan dan
kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan tersebut memang terwujud karena pada saat
itu persatuan dan kesatuan itu memang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.
Melihat Indonesia sekarang ini, akan timbul sebuah pertanyaan besar, apakah
masih ada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sekarang ini?. Pertanyaan ini bisa
9. dijawab oleh diri kita masing-masing, apakah kita benar telah melaksanakan dan
mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan tersebut.
Menurut pengamatan yang saya lihat di dalam kehidupan bermasyarakat bangsa
Indonesia sekarang ini, rasa persatuan dan kesatuan Indonesia bisa dikatakan tidak ada,
kita lebih mementingkan kepentingan individu dari pada kepentingan bersama sebagai
wujud bahwa kita negara yang benar-benar bersatu.
Contohnya bahwa persatuan dan kesatuan itu tidak ada dapat kita lihat di dalam
masyarakat. Paratai-partai politik yang terdapat di Indonesia sangatlah banyak, partai -
partai itu saling berebut untuk mendapatkan posisi yang paling tinggi dengan cara apapun,
dari sini bisa memicu suatu perkelahian massa yang sangat banyak. Misalnya satu partai
melaksanakan kampanye disuatu daerah, kemudian di daerah tersebut pendukung partai
ini bisa dikatakan hanya sepertiga dari masyarakat di daerah itu, maka bila ada pendukung
partai itu melakukan suatu kegiatan yang dipandang oleh masyarakat sangat tidak
menyenangkan maka akan terjadi perkelahian massa yang akan menimbulkan korban.
Tidak hanya itu saja sifat kedaerahan yang kita anut juga sebenarnya adalah
penyebab dari tidak terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa di
dalam diri kita. Kita hanya selalu membanggakan daerah kita masing-masing, selalu hanya
membela daerah kita apabila ada masalah, tapi apabila negara kita dalam masalah kita
hanya bisa mengatakan bahwa itu urusan pemerintah, ini yang salah pada diri kita, urusan
negara bukan hanya urusan pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab kita
sebagai masyarakat bangsa Indonesia.
Hilangkanlah rasa kedaerahan yang sangat melekat dalam diri kita, jangan hanya
kita berbangga menjadi penduduk suatu daerah tetapi berbanggalah bahwa kita adalah
bangsa Indonesia, janganlah masalah bangsa Indonesia kita tumpahkan hanya kepada
pemerintah tetapi pikullah masalah itu dan jadikan sebagai masalah kita bersama, karena
dengan bersama kita bisa menyelesaikannya.
Kebersamaan yang kita bangun dan rasa nasionalisme yang kita junjung tinggi
dalam diri kita masing-masing, ini merupakan suatu jalan untuk mengembalikan integrasi
nasional kita dan memajukan Indonesia itu sendiri. Dengan kemajuan bagi Indonesia maka
kita sebagai masyarakat yang hidup di dalam negara Indoneisa ini juga akan menjadi
masyarakat yang maju dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang utuh.
D. Mencegah Disintegrasi Nasional
Kekhawatiran tentang perpecahan (disintegrasi) nasional agaknya berangkat dari
kondisi di tanah air dewasa ini yang dapat digambarkan sebagai penuh konflik dan
pertikaian. Gelombang reformasi telah menimbulkan berbagai kecederungan dan realitas
baru, seperti dihujat dan dibongkarnya format politik Orde Baru, munculnya aliansi
ideologi dan politik yang ditandai dengan menjamurnya partai politik baru, lahirnya
tuntutan daerah di luar Jawa agar mendapatkan otonomi yang lebih luas atau merdeka
sendiri, serta terjadinya konflik dan benturan antara etnik dengan segala
permasalahannya. Saat negeri ini belum bisa mengatasi krisis nasional yang masih
berlangsung, terutama krisis ekonomi, fenomena politik dewasa ini telah benar-benar
meningkatkan derajat kekhawatiran atas kukuhnya integrasi nasional kita.
Membangundan mempertahankan integrasi nasional adalah agenda yang belum
terselesaikan. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi, kesungguhan, dan sekaligus
kesabaran. Agar upaya pembinaan itu efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan,
perangkat dan kebijakan yang tepat. Framework yang hendak kita bangun dalam upoaya
memperkukuh integrasi nasional paling tidak menyangkut lima faktor penting.
10. Pertama, membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran, dan
kehendak untuk bersatu. Perjalanan panjang bangsa Indonesia untuk menyatukan dirinya,
sebutlah mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumaph Pemuda 1928, Proklamasi
Kemerdekaan 1945, dan rangkaian upaya menumpas pemberontakan dan saparatisme,
harus terus dilahirkan dalam hati sanubari dan alam pikiran bangsa Indonesia.
Kedua, menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun
konsensus. Kompromi dan kesepakatan adalah jiwa musyawarah dan sesungguhnya juga
demokrasi. Iklim dan budaya yang demikian itu, bagi Indonesia yang amat majemuk,
sangat diperlukan. Tentunya, penghormatan dan pengakuan kepada mayoritas
dibutuhkan, tetapi sebaliknya perlindungan terhadap minoritas tidak boleh diabaikan.
Yang kita tuju adalah harmoni dan hubungan simetris, dan bukan hegemoni. Karena itu,
premis yang mengatakan “The minority has its say, the majority has its way” harus kita
pahami secara arif dan kontekstual.
Ketiga, membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan pada nilai dan norma
yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Menyuburkan integrasi nasional tidak
hanya dilakukan secara struktural tetapi juga kultural. Pranata itu kelak harus mampu
membangun mekanisme peleraian konflik (conflict management) guna mencegah
kecenderungan langkah-langkah yang represif untuk menyelesaikan konflik.
Keempat, merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam
segala aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan semua
pihak, semua wilayah. Kebijakan otonomi daerah, desentralisasi, keseimbangan pusat
daerah, hubungan simetris mayoritas-minoritas, perlindungan kaum minorotas,
permberdayaan putra daerah, dan lain-lain pengaturan yang sejenis amat diperlukan.
Disisi lain undang-undang dan perangkat regulasi lain yang lebih tegas agar gerakan
sparatisme, perlawanan terhadap ideologi negara, dan kejahatan yang berbau SARA tidak
berkembang dengan luluasa, harus dapat kita rumuskan dengan jelas.
Kelima, upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan
kepemimpinan yang arif dan efektif. Setiap pemimpin di negeri ini, baik formal maupun
informal, harus memilikim kepekaan dan kepedulian tinggi serta upaya sungguh-sungguh
untuk terus membina dan memantapkan integrasi nasional. Kesalahan yang lazim terjadi,
kita sering berbicara tentang kondisi objektif dari kurang kukuhnya integrasi nasional di
negeri ini, serta setelah itu ᪽bermimpi᪽ tentang kondisi yang kita tuju (end state), tetapi
kita kurang tertarik untuk membicarakan prose dan kerja keras yang harus kita lakukan.
Kepemimpinan yang efektif di semua ini akhirnya merupakan faktor penentu yang bisa
menciptakan iklim dan langkah bersama untuk mengukuhkan integrasi nasional.
IV. Kesimpulan
*Persoalan tentang Yogyakarta dilatari oleh faktor terutama dari luar. Pernyataan
Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa apakah
Yogyakarta akan terus menjadi daerah monarki seiring dengan jaman semakin maju, dan
penggalakan tentang Demokrasi yang dipegang negara RI. Membuat penduduk yang
semula sudah tentram dengan sistem pemerintah tersebut dibuat gusar, seolah doktrin
penduduk bahwa SBY akan merubah system pemerintahan monarki, menjadi demokrasi
akan segera dilaksanakan. Penolakan warga asli maupun pendatang ini menjadi pelajaran
dan contoh, bahwa demokrasi itu seolah busuk. Pidato sang Presiden itu juga seolah ingin
menaruh kekuasaan di Yogyakarta, agar lebih mudah dalam menjalankan Pemerintahan,
11. dan kepentingan politik juga tentunya, sehingga pada akhirnya kesuksesan masa depan
pemerintah dan partai politik yang dipimpinnya bisa sejalan. Seandainya sistem monarki di
DIY dirubah, maka bukan tidak mungkin rakyat jogja tidak akan makmur. Karena memang
faktanya, sistem demokrasi itu hanya untuk ajang mencari kekuasaan dan uang. Jika itu
didapat, rakyat dilupakan. Sungguh ironi.
*Persoalan tentang Aceh dilandasi oleh banyak faktor yang saling tumpang tindih.
Betapa pun masyarakat daerah ini memiliki tradisi resistensi yang sangat kuat.
Tampaknya, kontribusi besar itu yang diabaikan oleh pemerintah pusat. Jakarta merasa
cukup hanya dengan memberikan status “istimewa” bagi daerah yang dikenal sebagai
Serambi Mekkah tersebut sebagai “imbalan” atas jasa masyarakat Aceh. Namun ironisnya,
dalam praktek, “keistimewaan” Aceh hanya tertuang di atas kertas, karena pemerintah
pusat pada akhirnya melakukan penyeragaman, termasuk bagi Aceh. Sementara itu dalam
bidang ekonomi, kekecewaan rakyat Aceh makin mendalam lantaran kekayaan alam Aceh
berupa gas alam dan minyak bumi tidak pernah dinikmati secara adil dan proporsional
oleh masyarakat Aceh.
* Irian Jaya adalah propinsi Indonesia yang paling bungsu, karena baru menjadi
bagian dari Indonesia secara penuh pada 1963. Daerah yang kaya akan emas, nikel, dan
tembaga ini sebenarnya bergolak sejak pertengahan 1960-an, tak lama setelah Irian Barat
(waktu itu) kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Latar belakang tuntutan pemi sahan diri
sebagian rakyat Irian Jaya tampaknya berkisar pada soal distribusi hasil eksploitasi atas
kekayaan alam mereka yang dirasakan tidak adil dan proporsional. Pendekatan keamanan
yang represif, seperti juga yang dilakukan atas rakyat Aceh, merupakan faktor lain
mengapa soal integrasi rakyat Irian tak kunjung bisa diselesaikan. Lebih jauh lagi, bagian
ini akan memetakan berbagai faktor separatisme yang kurang diakomodasi pemerintah
pusat dalam penyelesaian tuntutan masyarakat di Irian Jaya.
12. Aktualisasi pancasila di era globalisasi
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Globalisasi memang sebuah keniscayaan waktu yang mau tidak mau dihadapi oleh negara
manapun di dunia. Ia mampu memberikan paksaan kepada tiap negara untuk membuka diri
terhadap pasar bebas. Hampir tiap negara mengalami hal serupa dalam era globalisasi yang
serba terbuka ini. Pihak yang diuntungkan dalam perkembangan situasi ini tak lain adalah
negara maju yang memiliki tingkat kemapanan jauh di atas negara berkembang.
Dalam globalisasi, negara-negara berkembang mau tidak mau, suka tidak suka, harus
berinteraksi dengan negara-negara maju. Melalui interaksi inilah negara maju pada
akhirnya melakukan hegemoni dan dominasi terhadap negara-negara berkembang dalam
relasi ekonomi politik internasional.
Globalisasi yang hampir menenggelamkan setiap bangsa tentunya memberikan tantangan
yang mau tidak mau harus bangsa ini taklukkan. Era keterbukaan sudah dan mulai
mengakar kuat, identitas nasional adalah barang mutlak yang harus dipegang agar tidak ikut
arus sama dan seragam yang melenyapkan warna lokal serta tradisional bersamanya. Perlu
dipahami bahwa identitas nasional, dalam hal ini Pancasila mempunyai tugas menjadi ciri
khas, pembeda bangsa kita dengan bangsa lain selain setumpuk tugas-tugas mendasar
lainnya. Pancasila bukanlah sesuatu yang beku dan statis, Pancasila cenderung terbuka,
dinamis selaras dengan keinginan maju masyarakat penganutnya. Implikasinya ada pada
identitas nasional kita yang terkesan terbuka, serta terus berkembang untuk diperbaharui
maknanya agar relevan dan fungsional terhadap keadaan sekarang
Ketika globalisasi tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ia akan mengancam
eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang
bermula dari luar, sedangkan pluralisme sebagai tantangan dari dalam yang jika tidak
disikapi secara bijak tentu berpotensi menjadi masalah yang bisa meledak suatu saat nanti.
Berhasil atau tidaknya kita menjawab tantangan keterbukaan zaman itu tergantung dari
bagaimana kita memaknai dan menempatkan Pancasila dalam berpikir dan bertindak.
Salah satu lokomotif globalisasi adalah teknologi informasi dan komunikasi. Teknologi ini
berimplikasi pada cepatnya proses informasi dan komunikasi di seluruh belahan dunia.
Kalau dulu pernah ada slogan “dunia tak selebar daun kelor” maka di era globalisasi slogan
itu sebenarnya telah usang, karena kenyataannya memang “dunia selebar daun kelor”,
Dunia menjadi sedemikian sempit dan kecil. Semua peristiwa yang terjadi di suatu belahan
dunia dapat langsung disaksikan detik itu juga di penjuru dunia lain, sekecil apapun
kejadian itu, dari peristiwa pemilihan presiden sampai perselingkuhan seorang wakil rakyat.
Begitu pula apa yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dunia dapat juga
dilakukan oleh komunitas lainnya dalam model dan kualitas yang tidak berbeda.
Beberapa ciri penting (sekaligus sebagai implikasi) globalisasi adalah: Pertama, hilangnya
batas antarnegara (borderless world), maraknya terobosan (breakthough) teknologi canggih,
telekomunikasi dan transportasi, sangat memudahkan penduduk bumi dalam beraktivitas.
Dengan berdiam di rumah atau di ruang kantor, seseorang bisa bebas selancar ke seluruh isi
dunia, sampai-sampai rencana pembunuhan pun bisa diketahui sebelumnya.
13. Secara alamiah, tanah air kita memiliki tiga karakteristik utama, yaitu secara geografis
sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau dan ratusan ribu kilometer garis
pantai serta terletak pada “posisi silang” antara dua benua dan dua samudra, memiliki
kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Serta secara demografis memiliki
keanekaragaman yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan seperti
ras/etnis,agama, bahasa, kultur, sosial, ekonomi dan lain-lain. Faktor letak strategis dan
kekayaan sumber daya alam tadi akan semakin penting manakala aspek geoekonomi,
geopolitik dan geostrategi menjadi bahan tinjauan. 90% energi yang dibutuhkan Jepang
dikapakan melalu perairan Indonesa. 60% ekspor Austalia dikirim ke Asia melalui perairan
Indonesia. Amerika Serikat minta innocentpassage melinta dari timur ke barat di dalam
wilayah perairan territorial indonesia, bagi pemelihara hegemoni dan aksesnya ke sumber
minyak di TimurTengah, tidak heran jika banyak negara berkepentingan terhadap
kestabilan atau instabilitas indonesia yang kaya akan minyak, mineral, hutan dan aneka
ragam kekayaan laut. Oleh karenaya salah satu konsekuensi dari ciri letak strategis dan
kekayaan SDA tadi adalah masuknya berbagai pekentingan asing ke dalam negeri kita.
Pergesekan antar berbagai kepentingan asing tersebut selain aneka kepentingan internal /
nasional dapat dilahirkan berbagai macam konflik di Indonesia. Sedangkan secara
demografis dengan 1072 etnik yang menghuni kepulauan Indonesia serta ribuan macam
adat-budaya, ratusan macam bahasa serta sekian banyak agama yang menjadi ciri
pluriformitas bangsa,sudah barang tentu selain menyimpan berbagai macam kekayaan
budaya, juga sekaligus mengandung berbagai potensi dan sumber konflik.
Tanpa disadari sebenarnya saat ini bangsa Indonesia sedang terlibat dalam suatu
peperangan dalam kondisi terdesak hampir terkalahkan. Kita dapat saksikan dengan kasat
mata terpinggirkannya nilai-nilai luhur budaya bangsa seperti kekeluargaan, gotong-royong,
toleransi, musyawarah mufakat dan digantikan oleh individualisme, kebebasan
tanpa batas, sistem one man one vote dan sebagainya.
II. RUMUSAN MASALAH
Masalah yang ingin dikaji dalam studi ini mengacu kepada beberapa pertanyaan pokok:
1. Dapatkah Pancasila diletakkan pada era globalisasi saat ini?
2. Langkah apasaja yang bisa dilakukan agar Pancasila tetap kuat menghadapi perubahan?
III. PEMBAHASAN
AKTUALISASI PENGAMALAN PANCASILA DAN UUD 1945
Sebagai suatu paradigma, Pancasila merupakan model atau pola berpikir yang mencoba
memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai manusia personal dan komunal
dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan satuan dari sila-silanya harus menjadi
sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan.
Aktualisasi pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu aktualisasi secara obyektif dan
subyektif. Aktualisasi pancasila secara obyektif yaitu aktualisas i pancasila dalam berbagai
bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan Negara, bidang politik, bidang
ekonomi dan bidang hukum. Sedangkan aktualisasi pancasila secara subyektif yaitu
aktualisasi pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya
dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat
Pancasila itu menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa plural, yang
14. secara otomatis menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa kita. Ideologi
Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam berbangsa dan bernegara.
Para founding father kita dengan cerdas dan jitu telah merumuskan formula alat perekat
yang sangat ampuh bagi negara bangsa yang spektrum kebhinekaannya teramat lebar
(multfi- facet natio state) seperti Indonesia. Alat perekat tersebut tiada lain daripada
Pancasila yang berfungsi pula sebagai ideologi, dasar negara serta jatidiri bangsa. Sampai
kiniPancasila diyakini sebagai yang terbaik dari sekian alternatif yang ada,merupakan
ramuan yang tepat dan mujarab dalam mempersatukan bangsa, sehinggaProf. Dr. Syafi'i
Maarif menyebutnya sebagai “Indonesia Masterpiece” (Karya Agung Bangsa Indonesia).
Namun demikian Pancasila tidak akan dapat memberimanfaat apapun manakala
keberadannya hanya bersifat sebagai konsep atau software belaka. Untuk dapat berfungsi
penuh sebagai perekat bangsa. Pancasila harus diimplementasikan dalam segala tingkat
kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
(Pancasila), dan dalam segala aspek meliputi politik, ekonomi, budaya, hukum dan
sebagainya.
1. Bidang Politik
Landasan aksiologis (sumber nilai) system politik Indonesia adalah dalam pembukaan
UUD 1945 alenia IV “….. maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang Berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa, Kemasusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat indonesia”.Sehingga system politik
Indonesia adalah Demokrasi pancasila .
Dimana demokrasi pancasila itu merupakan system pemerintahan dari rakyat dalam arti
rakyat adalah awal mula kekuasaan Negara sehingga rakyat harus ikut serta dalam
pemerintahan untuk mewujudkan suatu cita-cita. Organisasi sosial politik adalah wadah
pemimpin-pemimpin bangsa dalam bidangnya masing-masing sesuai dengan keahliannya,
peran dan tanggung jawabnya. Sehingga segala unsur-unsur dalam organisasi sosial politik
seperti para pegawai Republik Indonesia harus mengikuti pedoman pengamalan Pancasial
agar berkepribadian Pancasila karena mereka selain warga negara Indonesia, juga sebagai
abdi masyarakat, dengan begitu maka segala kendala akan mudah dihadapi dan tujuan serta
cita-cita hidup bangsa Indonesia akan terwujud.
Nilai dan ruh demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat:
a. kebebasan, terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika
dan norma kehidupan
b. kebijakan politik atas dasar nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang
memperjuangkan kepentingan rakyat , kontrol publik,
c. Pemilihan umum yang lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnya
d. supremasi hukum.
Begitu pula standar demokrasinya yang :
a. bermekanisme ‘checks and balances’, transparan, akuntabel,
b. berpihak kepada ‘social welfare’, serta
15. c. meredam konflik dan utuhnya NKRI.
perbaikan moral tiap individu yang berimbas pada budaya anti-korupsi serta melaksanakan
tindakan sesuai aturan yang berlaku adalah sedikit contoh aktualisasi Pancasila secara
Subjektif. Aktualisasi secara objektif seperti perbaikan di tingkat penyelenggara
pemerintahan. Lembaga-lembaga negara mesti paham betul bagaimana bekerja sesuai
dengan tatanan Pancasila. Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus terus berubah
seiring tantangan zaman.
(Kompas, 01 April 2003). “Demokrasi sebagai suatu sistem kehidupan didalam masyarakat
dijamin keleluasaannya untuk mengekspresikan kepentingan”. Pada kalimat itulah yang
kemudian berkembang bahwa kepentingan kelompok cenderung akan lebih besar daripada
kepentingan nasional. Demi kepentingan kelompok/partai, mereka rela menggunakan
segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan untuk memperbesar cengkeramannya
pada upaya penguasaan bangsa. Pada kenyataannya kepentingan rakyat dan kepentingan
Nasional justru diabaikan pada hal mereka itu adalah konstituen yang harusnya mendapat
perhatian dan kesejahteraan.
Penyelenggaraan negara yang menyimpang dari ideologi pancasila dan mekanisme Undang
Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga
negara dan makin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan yang ditandai
dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absoluth karena wewenang dan
kekuasaan Presiden berlebih (The Real Executive ) yang melahirkan budaya Korupsi kolusi
dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multidimensional pada hampir seluruh aspek
kehidupan.
Ini bisa dilihat betapa banyaknya pejabat yang mengidap penyakit “amoral” meminjam
istilah Sri Mulyani-moral hazard. Hampir tiap komunitas (BUMN maupun BUMS),
birokrasi, menjadi lumbung dan sarang “bandit” yang sehari-hari menghisap uang negara
dengan praktik KKN atau kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Sejak Republik Indonesia berdiri, masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu muncul ke
permukaan. Bermacam-macam usaha dan program telah dilakukan oleh setiap
pemerintahan yang berkuasa dalam memberantas korupsi tetapi secara umum hukuman
bagi mereka tidak sebanding dengan kesalahannya, sehingga gagal untuk membuat mereka
kapok atau gentar. Mengapa tidak diterapkan, misalnya hukuman mati atau penjara 150
tahun bagi yang terbukti.
Para elit politik dan golongan atas seharusnya konsisten memegang dan mengaplikasikan
nilai- nilai Pancasila dalam setiap tindakan. Dalam era globalisasi saat ini , pemerintah tidak
punya banyak pilihan. Karena globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka
pemerintah perlu bersikap. ”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death of
Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan berperan dalam
paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan seharusnya segera diubah
menjadi public services management
2. Bidang Ekonomi
Pengaktualisasian pancasila dalam bidang ekonomi yaitu dengan menerapkan sistem
ekonomi Pancasila yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan social (sistem
ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar yang bersasaran ekonomi kerakyatan
agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was,
dan rasa diperlakukan tidak adil yang memosisikan pemerintah memiliki asset
produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting
16. bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Sehingga perlu pengembangan
Sistem Ekonomi Pancasila sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan
koperasi serta usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM).selain itu ekonomi yang
berdasarkan Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Manusia
tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk memenuhi semua kebutuhanya
tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan dimana orang lain tidak diharapkan ada atau
turut campur.
Ekonomi menurut pancasila adalah berdasarkan asas kebersamaan, kekeluargaan artinya
walaupun terjadi persaingan namun tetap dalam kerangka tujuan bersama sehingga tidak
terjadi persaingan bebas yang mematikan. Dengan demikian pelaku ekonomi di Indonesia
dalam menjalankan usahanya tidak melakukan persaingan bebas, meskipun sebagian dari
mereka akan mendapat keuntungan yang lebih besar dan menjanjikan. Hal ini dilakukan
karena pengamalan dalam bidang ekonomi harus berdasarkan kekeluargaan. Jadi interaksi
antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan.
Pilar Sistem Ekonomi Pancasila yang meliputi:
1. ekonomika etik dan ekonomika humanistik
2. nasionalisme ekonomi & demokrasi ekonomi
3. ekonomi berkeadilan social.
Namun pada kenyataannya, sejak pertengahan 1997 krisis ekonomi yang menimpa
Indonesia masih terasa hingga hari ini. Di tingkat Asia, Indonesia yang oleh sebuah studi
dari The World Bank (1993) disebut sebagai bagian dari Asia miracle economics, the
unbelieveble progress of development, ternyata perekonomiannya tidak lebih dari sekedar
economic bubble, yang mudah sirna begitu diterpa badai krisis (World Bank, 1993).
Krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia Orde Baru dan Orde Lama
yang dialami sekarang ini telah mencuatkan tuntutan reformasi total dan mendasar
(radically). Bermula dari krisis moneter (depresi rupiah) merambah ke lingkungan
perbankan hingga ke lingkup perindustrian.
Kebijakan perekonomian Indonesia yang diterapkan tidak membumi, hanya sebatas
“membangun rumah di atas langit” dan akibatnya upaya pemberdayaan ekonomi
masyarakat menjadi tersingkirkan. Rakyat masih terus menjadi korban kegagalan kebijakan
pemerintah.
Potret perekonomian Indonesia semakin buram, memperhatikan kebijakan pemerintah yang
selalu “pasrah” dengan Bank Dunia atau pun International Monetary Fund (IMF) dalam
mencari titik terang perbaikan ekonomi Indonesia. Belum lagi menumpuknya utang luar
negeri semakin menghimpit nafas bangsa Indonesia, sampai-sampai seorang bayi baru lahir
pun telah harus menanggung hutang tidak kurang dari 7 juta rupiah.
Seorang pengamat Ekonomi Indonesia, Prof. Laurence A. Manullang, mengatakan bahwa
selama bertahun-tahun berbagai resep telah dibuat untuk menyembuhkan penyakit utang
Internasional, tetapi hampir disepakati bahwa langkah pengobatan yang diterapkan pada
krisis utang telah gagal. Fakta yang menyedihkan adalah Indonesia sudah mencapai tingkat
ketergantungan (kecanduan) yang sangat tinggi terhadap utang luar negeri. Sampai sejauh
ini belum ada resep yang manjur untuk bisa keluar dari belitan utang. Penyebabnya adalah
berbagai hambatan yang melekat pada praktik yang dijalankan dalam sistem pinjaman
internasional, tepatnya negara-negara donor (Bogdanowicz-Bindert, 1993).
Keputusan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa dalam mengambil kebijakan untuk
17. segera memasuki industrialisasi dengan meninggalkan agraris, telah menciptakan masalah
baru bagi national economic development. Bahkan menurut sebagian pakar langkah Orde
baru dinilai sebagai langkah spekulatif seperti mengundi nasib, pasalnya, masyarakat
Indonesia yang sejak dahulu berbasis agraris Sebagai konsekuensinya, hasil yang didapat,
setelah 30 tahun dicekoki ideologi ‘ekonomisme’ itu justru kualitas hidup masyarakat
Indonesia semakin merosot tajam (dekadensia).
Jika hingga saat ini kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang
signifikan, tidak menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan mahadasyat dari arus
globalisasi. Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses pemberdayaan
masyarakat lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara kemanjaan
(ketergantungan) pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan akomodasi bentuk
perekonomian masyarakat yang tersebar (diversity of economy style) di seluruh pelosok
negeri tidak tersentuh. Hal ini juga terlihat jelas pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang
tidak proporsional, tidak mencerminkan model perekonomian yang telah dibangun oleh
para Founding Father terdahulu. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus, misalnya,
pencabutan subsidi di tengah masyarakat yang sedang sulit mencari sesuap nasi,
mengelabuhi masyarakat dengan raskin (beras untuk rakyat miskin), atau jaring pengaman
sosial (JPS) lain yang selalu salah alamat.
3. Bidang Sosial Budaya
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum,
adat-istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia
sebagai anggota masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 172).
Aktualisasi Pancasila dalam bidang social budaya berwujud sebagai pengkarakter sosial
budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai religi, kekeluargaan, kehidupan
yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan profil sosial budaya Pancasila dalam
kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan
sebagai sesuatu yang dibutuhkan proses pembangunan budaya yang
dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan dalam tatanan kehidupan,
bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi, serta penguatkan kembali proses
integrasi nasional baik secara vertical maupun horizontal.
Begitu luasnya cakupan kebudayaan tetapi dalam pengamalan Pancasila kebudayaan
bangsa Indonesia adalah budaya ketimuran, yang sangat menjunjung tinggi sopan santun,
ramah tamah, kesusilaan dan lain-lain. Budaya Indonesia memang mengalami
perkembangan misalnya dalam hal Iptek dan pola hidup, perubahan dan perkembangan ini
didapat dari kebudayaan asing yang berhasil masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia.
Semua kebudayaan asing yang diterima adalah kebudayaan yang masih sejalan dengan
Pancasila. Walaupun begitu tidak jarang kebudayaan yang jelas-jelas bertentangan dengan
budaya Indonesia dapat berkembang di Indonesia.
Seperti terjadinya pergeseran gaya hidup (life style) yang oleh sejumlah pakar gejala ini
termasuk jenis kemiskinan sosial-budaya. Beberapa indikasi dapat dikemukakan di sini,
antara lain: manusia hidup cenderung materialistik dan individualistik,menurunnya rasa
solidaritas, persaudaraan, rasa senasib-sepenanggungan, keharusan mengganti mata
pencaharian, pelecehan terhadap institusi adat, dan bahkan pengikisan terhadap nilai-nilai
tertentu ajaran agama. Ciri ini telah ada dan berkembang hingga ke daerah-daerah. Dulu
masih dapat dinikmati indahnya hubungan kekeluargaan (silaturrahim), realitas sekarang
18. semua itu sudah tergantikan dengan komunikasi jarak jauh. Misalnya, kebiasaan
berkunjung ke daerah untuk merayakan lebaran atau hari-hari penting lainnya, telah
tergantikan dengan telpon atau e-mail. Mestinya kondisi ini tidak perlu terjadi pada bangsa
yang dikenal ramah, santun, dan religius.
Perobahan sosial berikutnya bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi
dimasa yang akan datang kemajemukan masyarakt Indonesia yang sangat heterogen
ditandai dengan adanya sinergi dari peran, fungsi dan profesionalisme individu atau
kelompok. Sehingga kontribusi profesi individu/kelompok itulah yang akan mendapat
tempat dimanapun mereka berprestasi.
Ini menunjukan bahwa filter Pancasila tidak berperan optimal, itu terjadi karena
pengamalan Pancasila tidak sepenuhnya dilakukan oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu
harus ada tindakan lanjut agar budaya bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila.
Pembudayaan Pancasila tidak hanya pada kulit luar budaya misalnya hanya pada tingkat
propaganda, pengenalan serta pemasyarakatan akan tetapi sampai pada tingkat kemampuan
mental kejiwaan manusia yaitu sampai pada tingkat akal, rasa dan kehendak manusia.
4. Bidang Hukum
Pertahanan dan Keamanan Negara harus berdasarkan pada tujuan demi tercapainya hidup
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, harus menjamin hak-hak dasar, persamaan
derajat serta kebebasan kemanusiaan dan hankam. Pertahanan dan keamanan harus
diletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai soatu Negara hukum dan bukannya suatu
Negara yang berdasarkan kekuasaan.
Pertahanan dan Keamanan, Pancasila dapat dijadikan sebagai margin of appreciation akan
mengandung fungsi-fungsi sebagai: the line at which supervision should give way to State’s
discretion in enacting or enforcing its law, striking(menemukan) a balance between a right
quaranteed and a permitted derogation (limitation), Move principle of justification than
interpretation, Preventing unneccesarry restriction, To avoid damaging dispute, A Uniform
Standard of Protection, Gives flexibility needed to avoid damaging confrontantions.
Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation di bidang hukum akan mewarnai segala
sub sistem di bidang hukum, baik substansi hukum yang bernuansa “law making process”,
struktur hukum yang banyak bersentuhan dengan “law enforcement” maupun budaya
hukum yang berkaitan dengan “law awareness”. Peranan Pancasila sebagai margin of
appreciation yang mengendalikan kontekstualisasi dan implementasinya telah terjadi pada:
1. Pada saat dimantabkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada saat 4 kali proses amandemen
2. Pada saat merumuskan HAM dalam hukum positif Indonesia
3. Pada saat proses internal di mana The Founding Fathers menentukan urutan Pancasila.
Mengingat TNI sebagai bagian integral bangsa Indonesia senantiasa memegang teguh jati
diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional berperan serta mewujudkan
keadaan aman dan rasa aman masyarakat, sesuai perannya sebagai alat petahanan NKRI.
TNI sebagai bagian dari rakyat berjuang bersama rakyat, senantiasa menggugah kepedulian
TNI untuk mendorong terwujudnya kehidupan demokrasi, juga terwujudnya hubungan sipil
militer yang sehat dan persatuan kesatuan bangsa melalui pemikiran, pandangan, dan
langkah-langkah reformasi internal ini.
Beberapa arah kebijakan negara yang tertuang dalam GBHN, dan yang harus segera
direlisasikan, khususnya dalam bidang hukum antara lain:
19. 1. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan
menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbarui Undang-undang warisan
kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan
ketidak sesuaiaannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan para penegak hukum, termasuk
Kepolisian RI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan
kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang
efektif.
3. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan
pihak manapun.
4. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya
kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara
hukum.
Satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya
semua lembaga, institusi maupun person yang ada di dalamnya harus tunduk dan patuh
pada hukum. Maka ketika hukum di Indonesia betul-betul ditegakkan dengan tegas, dan
dikelola dengan jujur, adil dan bijaksana, insya Allah negeri ini akan makmur dan tentram
Namun saat ini betapa rapuhnya sistem dan penegakkan hukum (law enforcement) di negeri
ini dan karena itu merupakan salah satu kendala utama yang menghambat kemajuan
bangsa, sistem hukum yang masih banyak mengacu pada sistem hukum kolonial,
penegakkan hukum yang masih terkesan tebang pilih, belum konsisten merupakan mega
pekerjaan rumah serta jalan panjang yang harus ditempuh dalam bidang hukum,
Kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum, termasuk lembaga-lembaga penegak
hukum, kian terpuruk . contohnya setelah putusan Kasasi Akbar Tanjung, sebagian besar
masyarakat menganggap putusan Mahkamah Agung itu mengusik keadilan masyarakat
sehingga menimbulkan rasa kekecewaan yang sangat besar. Akibatnya, kini ada
kecenderungan munculnya sinisme masyarakat terhadap setiap gagasan dan upaya
pembaharuan hukum yang dimunculkan oleh negara maupun civil society.
Patut kita jadikan referensi tersendiri kasus-kasus menarik MA, berawal dari isu kolusi
dalam kasus Ghandi Memorial School (GMS), yang menjadi sangat menarik karena kasus
ini justru berasal dari Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Dan kasus korupsi dana non
bagiter bulog senilai 40 miliar, yang menjadi tersangka utama ketua DPR RI, yang
sekaligus Ketua Umum Partai yang berlambang pohon beringin, Akbar Tanjung. Yang
kesemuanya itu merupakan representasi dari berbagai putusan pengadilan atas kasus-kasus
korupsi lainnya yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan sense of crisis. Sejak
komitmen reformasi dicanangkan tahun 1998, mandat reformasi hukum paling utama
adalah “ Membersihkan sapu kotor” agar mampu Membersihkan “lantai kotor”. Sapu kotor
menggambarkan institusi penegak hukum kita kepolisian, kejaksaan, dan peradilan yang
belum steril dari praktek korupsi sehingga menyulitkan untuk melaksanakan mandat
penegakan hukum secara tidak diskriminatif.
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
Tidak ada yang dapat mengelakan arus globalisasi yang menghampiri kita bahkan negeri
20. ini, Globalisasi adalah tantangan bangsa ini yang bermula dari luar dan tentunya
memberikan tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi bangsa ini. Ketika globalisasi
tidak disikapi dengan cepat dan tepat maka hal ini akan mengancam eksistensi kita sebagai
sebuah bangsa.
Indonesia sesungguhnya memiliki satu pamungkas yang menyatukan sekian potensi lokal
dalam sebuah perahu untuk mengarungi arus globalisasi, yakni Pancasila. namun dengan
begitu derasnya arus globalisasi yang menerpa bangsa ini, seakan memudarkan nilai- nilai
pancasila yang seharusnya dapat diaktualisasikan oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam
berbagai bidang.
Dalam bidang Politik Indonesaia menganut system demokrasi pancasila yang bertumpu
pada kedaulatan rakyat sehingga rakyatlah yang harus ikut serta dalam pemerintahan untuk
mewujudkan suatu cita-cita. Namun masalahnya adalah ketika sudah menjadi seorang
penguasa atau pejabat pemerintahan semua cita-cita yang di amanatkan pancasila dan UUD
1945 seakan sirna dengan kemewahan dan kesenangan pribadi atupun kelompok.
Bidang Ekonomi aktualisasian pancasila dalam ini yaitu dengan menerapkan sistem
ekonomi Pancasila yang menekankan pada harmoni mekanisme harga dan social (sistem
ekonomi campuran), bukan pada mekanisme pasar yang bersasaran ekonomi kerakyatan
agar rakyat bebas dari kemiskinan, keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was,
dan rasa diperlakukan tidak adil yang memosisikan pemerintah memiliki asset
produksi dalam jumlah yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting
bagi negara dan yang menyangkut hidup orang banyak. Ekonomi menurut pancasila adalah
berdasarkan asas kebersamaan, kekeluargaan artinya walaupun terjadi persaingan namun
tetap dalam kerangka tujuan bersama sehingga tidak terjadi persaingan bebas yang
mematikan. Sehingga perlu pengembangan Sistem Ekonomi Pancasila sehingga dapat
menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta usaha menengah, kecil, dan
mikro (UMKM).
Pada era globalisasi ini dimana persaingan dalam berbagai bidang, khususnya yang
bersentuhan dengan ekonomi sangatlah kompetitif, terutama dalam bidang usaha dan
perdagangan. Kesalahan dalam memilih orang pada posisi-posisi penting ekonomi akan
membawa akibat fatal. Mereka hanya memperpanjang daftar penderitaan rakyat, jika
mereka tidak memiliki rasa simpati yang ditingkatkan menjadi empati terhadap denyut nadi
kehidupan rakyat,dengan menyederhanakan birokrasi dalam berbagai perizinan, menghapus
berbagai pungutan dan retribusi yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi, menciptakan
rasa aman dan sebagainya yang akan membuahkan suasana kondusif bagi dunia usaha
untuk meningkatkan kinerjanya.
Dalam bidang Sosial Budaya Aktualisasi Pancasila dalam bidang social budaya berwujud
sebagai pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai
religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan profil sosial
budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan, nilai, dan
norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan proses
pembangunan budaya yang dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan diseimbangkan
dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari generasi ke generasi, serta
penguatkan kembali proses integrasi nasional baik secara vertical maupun horizontal.
Dalam bidang hukum, Pertahanan dan Keamanan Negara harus berdasarkan pada tujuan
demi tercapainya hidup manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, harus menjamin
hak-hak dasar, persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan dan hankam. Pertahanan
dan keamanan harus diletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai soatu Negara hukum
dan bukannya suatu Negara yang berdasarkan kekuasaan.
21. Pertahanan dan Keamanan, Pancasila dapat dijadikan sebagai margin of appreciation akan
mengandung fungsi-fungsi sebagai: the line at which supervision should give way to State’s
discretion in enacting or enforcing its law, striking(menemukan) a balance between a right
quaranteed and a permitted derogation (limitation), Move principle of justification than
interpretation, Preventing unneccesarry restriction, To avoid damaging dispute, A Uniform
Standard of Protection, Gives flexibility needed to avoid damaging confrontantions.
2. Saran
Dari paparan pembahasan di atas, Indonesia perlu menata kekuatan struktural guna
melakukan proses penguatan potensi local. Selain penguatan struktural, pembenahan mental
(kultural) bangsa ini pun perlu dipikirkan. Harus jujur dan lapang dada kita akui bahwa saat
ini bangsa Indonesia memiliki kebiasaan kultural “mentalitas orang kalah”. Kerap kali kita
terlalu terbuka menerima pengaruh dari luar. Ironisnya, pengaruh luar yang masuk ditelan
begitu saja.
Dengan berlandasan falsafat pancasila,yang berisi nilai-nilai luhur yang bersifat universal
dan landasan Undang Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar nasional, yang menentukan
cita-cita perjuangan bangsa Indonesia ke dalam dan ke luar negeri yang dilandasi oleh
prinsip-prinsip cinta damai ,meskipun lebih cinta kepada kemerdekaan, diabdikan kepada
kepentingan nasional dengan tetap menghormati dan memperhatikan kepentingan negara-negara
luar, serta membuka pintu lebar-lebar bagi kerjasama internasional atas dasar saling
hormat-menghormati dan saling menguntungkan.
Selain itu perlu pula digalakkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses
pendidikan dan keteladanan. Beberapa langkah mengantisipasi arus globalisasi yang kian
datang menerpa, diantaranya:
1. kembali ke pancasila dan spirit dasar pembukaanUUD 1945
2. membangun nasionalisme
3. mengembangkan kembali konsep wawasan nusantara
4. mengangkat ‘budaya' sebagai leading sector pembangunan nasional.
5. menghargai kearifan lokal (local wisdom)
6. kanalisasi arus globalisasi