1. Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Jawa: ꦯꦯꦯꦯꦯꦯꦯ;
Thai:
rī wichạy")
adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak
memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand
Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2] Dalam bahasa
Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti "kemenangan" atau
"kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal
mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing,
menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya
prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan
Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah
bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2] di antaranya tahun 1025
serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di
bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi
tahun 1918 dari sejarawan PerancisGeorge Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]
Catatan sejarah
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya
yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang
mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coedès
menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan
beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah
perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa
Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang,
kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat
jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papanperahu yang
terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi.[10] Perahu ini dibuat
dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal
dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara.Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah
artefak-artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat
kayu.[10]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain
Majapahit di Jawa Timur.Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum
nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum
kolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih
atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya
disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj[11] dan Khmer menyebutnya
2. Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit
ditemukan.[2]Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau
Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi
Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman
Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang
menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal,
parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan
manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat
persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar.Di kawasan ini
ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi
pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[12] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai
ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan
tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[13] yang
sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada
kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan
dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan
candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri
Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou
(Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti
pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]
Pembentukan dan pertumbuhan
Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.
3. Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang ditaklukkan Sriwijaya.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi
pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas
kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi
untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan
kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini
biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap
diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu
setempat.[17][18]
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan
Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang.
Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu.Para
ahli berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini.[19]
Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah
menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang berangka
tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan
Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa
Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak
berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa
Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan
Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20]
Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat
Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
4. Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan
dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara.Berdasarkan observasi, ditemukan reruntuhan
candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.Di abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah
timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya.Untuk mencegah hal
tersebut, Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina.Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali
Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja KhmerJayawarman II,
pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama.[2]
Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di
bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi
ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu
menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di
sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792
sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan
ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama
masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada
tahun 825.[2]
Agama
Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang,
Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M.
Sebagai pusat pengajaran BuddhaVajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari
negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke
5. Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I
Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat
pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing,
dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha pada Sakyakirti,
seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[21] Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan
bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha
Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa
pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di
Suvarnadvipa.[22]
Penyebaran ajaran Buddha dari India utara ke bagian lain di Asia, Sriwijaya pernah berperan
sebagai pusat pembelajaran dan penyebaran ajaran Buddha.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu kemudian
diikuti pula oleh agama Buddha.Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan
membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.[23] Raja-raja Sriwijaya
menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan
mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota
Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan
mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar
Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya
sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di
Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah,
6. sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh
menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh
Sriwijaya.
Budaya
Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya sekitar abad ke-9 M.
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang
sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya.
Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual
Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah
Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan
tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan
balatentara Sriwijaya atas Jawa.Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur
bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern.Sejak abad ke-7, bahasa Melayu kuno telah
digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan
beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa.
Hubungan dagang yang dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran
bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang.Sejak saat itu,
bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh banyak penutur di
Kepulauan Nusantara.[24]
7. Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya
meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera.Sangat berbeda
dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak
membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur.Candi-candi
Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi
Muara Takus, dan Biaro Bahal.Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat
dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit
Seguntang, Palembang[25], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[26], Bidor,
Perak[27] dan Chaiya,[28] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca
ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut "Seni Sriwijaya" atau
"Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh
langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).[29]
Perdagangan
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan
Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda.Orang Arab mencatat
bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala,
kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14]
Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassalvassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama
di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China
untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan
bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.[30]
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu
mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya.Keperluan
untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi
militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap
mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka,
Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah
dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan
diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa adanya
8. serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap beberapa pelabuhan di
Champa dan Kamboja.Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada
Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya.Hal ini
merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara
dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya.Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal
perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025M.[31]
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur,
kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8
Masehi.Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu.Cadik tunggal
atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang
membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra
Hindia.Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal
yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan
bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang
mengantarkan surat kepada khalifahUmar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718,
kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan
kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri
Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi
(bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[32]
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song,
perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan
Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan
dari perdagangan ini.
Pada masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus
lanatus (Thunb.)Matsum.&Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.[33][34]
Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari
Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan
seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau
thalasokrasi.Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai
pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di
kawasan.Sebagai kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah
pedalaman.Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan
kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan lautnya di wilayah
Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari
Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300
mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra Hindia.[35]
9. Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa
nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia.Para peneliti meyakini mereka
adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200
tahun yang lalu sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan penelitian DNA mitokondria, suku
pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar
dari Indonesia 1200 tahun yang lalu.[37] Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa
Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini
merupakan sebuah petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal
dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya
mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.[39]
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya nama
Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa,
prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti
Sojomerto dijumpai namaDapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa
Melayu dn bahasa Melayu umumnya dihunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga
wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini masih menunggu
penelitian sampai sekarang.[14]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang
(Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[40] Kemudian Moens menambahkan
kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini
pindah ke Jawa.[41] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari
Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[42] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti
lain di Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.[43][44]
Hubungan dengan kekuatan regional
10. Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta
upeti.[45]
Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman
mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah,
yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan
ajaran dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah
cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah
kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala,
dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak
menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah.Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak
seberapa sebagai tanda persahabatan.Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk
menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[32]
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia
Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah
memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan
mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan
peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan
mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan
tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya
Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
11. Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan perpindahan
Wangsa Sailendra ke Jawa.Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra sebagai anggota
mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa.Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus
atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa.Akan tetapi akibat pertikaian
suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk.[46] Balaputradewa
kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga
beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan
asal-usulnya sebagai keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja
Sriwijaya. Dengan kata lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India,
bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[47] Persaingan antara Sriwijaya di
Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang
Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan penghancuran Medang pada
tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.[48]
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda
berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada
Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti
Leiden disebutkan raja Sriwijaya di KatahaSri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun
sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah
Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan
ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram
mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada
kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut.Namun demikian pada masa ini Sriwijaya
dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa
Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat
Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini disebut dengan namaTien Ching
Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]
Masa keemasan
Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo,
Muarabulian, Jambi, Indonesia.
12. Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim.Mengandalkan hegemoni pada kekuatan
armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun
beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapalkapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di
hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat
Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan
lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan
kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan
India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan namaSribuza. Pada
tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis
catatan tentang Sriwijaya.Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan
besar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak.Disebutkan kapal yang tercepat dalam
waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan
beberapa hasil bumi lainya.[51]
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari
Sujaimana, seorang pedagang Arab.Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan
yang luas hingga ke seberang lautan.[11]
Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan
tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru
dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra dengan namaSan-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama
Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia
Tenggara.Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok.Utusan San-fo-tsi yang
berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya
diserang oleh balatentara Jawa.Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an,
yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.[52]
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali tertahan di
Champa karena negerinya belum aman.Ia meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi
perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992.Ia dikirim oleh
rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.[52]
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun
kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya.Prasasti Hujung
Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap Sumatera.Rangkaian
serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di
13. Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan
kekuatan mandala Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.
Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan
berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk
memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya,
bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.[52]
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi
dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia mengirimkan
utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai dibangun sebuah candi
Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar
Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou
dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[53] (Candi Bungsu, salah satu
bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[15]
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka
Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan
Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa.
Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya
istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja
bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja
Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6][48]
Masa penurunan
Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan,
mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh
1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar
dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu SangramaVijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah
berada dalam pengaruh dinasti Chola.Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan
peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk
kepadanya.[54] Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun
1028.[55]
14. Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur di
Sungai Musi dan beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di
Palembang semakin berkurang.[56] Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan
menjadi tidak strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak berkurang
dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.[11]
Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan
Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu
Sriwijaya, yang ketika pada saat itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke
Kalimantan Selatan.[57]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasan
Keterangan
Pannai
Pannai
Malaiyur
Malayu
Mayirudingam
Ilangasogam
Langkasuka
Mappappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Takkolam
Madamalingam
Tambralingga
Ilamuri-Desam
Lamuri
Nakkavaram
Nikobar
Kadaram
Kedah
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti
Chola.Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-kalo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan
untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul
Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan
pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan
surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi
urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong
pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi
Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Beberapa
daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan
15. baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan
Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar
pada Cina.[58] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi
Cina.[58] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota
lainnya selama periode tersebut.[58] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan
melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya
pada abad ke-11.[59]
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[60] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-JuKua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat
dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya
memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki
15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan
Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka),
Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai
Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya),
Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi),
dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan
Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya.Dari daftar 15 negeri bawahan San-fotsi tersebut, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya.Walaupun sumber Tiongkok
tetap menyebut San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan.Hal ini
karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja
Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian menghadiahkan
Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di
Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini kemudian
dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam
Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak
menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan
Sriwijaya.
Struktur pemerintahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Prasasti Telaga Batu
16. Prasasti Telaga Batu
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.[11] Pembentukan satu
negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa
prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala
dan bhūmi.[61]
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan
mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh
vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat
vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu
kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang
berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat
bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari
bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja
terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan
rājakumāra (pewaris berikutnya).[62]Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan
dalam struktur pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain
diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula
bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada di zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan
pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati
(bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga
Tuha an watak wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1]Adyaksi nijawarna/wasikarana
(pandai besi/ pembuat senjata pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham
(nakhodakapal), waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang
cuci), dan hulun haji (budak raja).[20]
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua.Seperti yang
diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni
yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][62] Maka dari itu, Ahmad
Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah
17. perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi
menjadi dua.[44]
Raja yang memerintah
Para Maharaja Sriwijaya[2][6]
Tahun
671
Nama Raja
Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Ibukota
Srivijaya
Shih-li-fo-shih
Sri Indrawarman
Sriwijaya
Shih-li-t-'o-pa-mo
Shih-li-fo-shih
Rudra Vikraman
Prasasti Kedukan Bukit (683),
Talang Tuo (684), Kota Kapur
(686), Karang Brahi dan Palas
Pasemah
Sriwijaya
Lieou-t'eng-wei-kong
Prasasti, catatan pengiriman
utusan ke Tiongkok serta
peristiwa
Catatan perjalanan I Tsing
pada tahun 671-685,
Penaklukan Malayu,
penaklukan Jawa
Shih-li-fo-shih
702
728
Utusan ke Tiongkok 702-716,
724
Utusan ke Tiongkok 728-742
743774
Belum ada berita pada periode
ini
775
Prasasti Ligor B tahun 775 di
Nakhon Si Thammarat, selatan
Thailand dan menaklukkan
Kamboja
Sri Maharaja
Sriwijaya
Pindah ke Jawa
Wangsa Sailendra
(Jawa Tengah atau
mengantikan Wangsa Sanjaya
Yogyakarta)
778
Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
Jawa
Prasasti Kelurak 782 di sebelah
utara kompleks Candi
Prambanan
Prasasti Kalasan tahun 778 di
Candi Kalasan
782
Samaragrawira atau
Rakai Warak
Jawa
Prasasti Nalanda dan prasasti
Mantyasih tahun 907
18. 792
Samaratungga atau
Rakai Garung
Prasasti Karang Tengah tahun
824,
Jawa
825 menyelesaikan
pembangunan candi Borobudur
Kebangkitan Wangsa Sanjaya,
Rakai Pikatan
840
Kehilangan kekuasaan di Jawa,
dan kembali ke Suwarnadwipa
856
Balaputradewa
Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun 860,
India
861959
960
Belum ada berita pada periode
ini
Sri Udayaditya
Warmadewa
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
Sriwijaya
San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok 980 &
983: dengan raja, Hie-tche
(Haji)
980
Sri Cudamani
Warmadewa
988
Se-li-chu-la-wu-ni-fuma-tian-hwa
1008
Sri MaraVijayottunggawarman
Se-li-ma-la-pi
Sriwijaya
Malayagiri
(Suwarnadwipa)
San-fo-ts'i
San-fo-ts'i
Kataha
990 Jawa menyerang
Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-9921003,
pembangunan candi untuk
kaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou
Prasasti Leiden& utusan ke
Tiongkok 1008
Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok
1017: dengan raja, Ha-ch'i-suwa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar
haji biasanya untuk raja
bawahan
1017
1025
Utusan ke Tiongkok 960, &
962
SangramaVijayottunggawarman
Sriwijaya
Kadaram
Diserang oleh Rajendra Chola
I dan menjadi tawanan
Prasasti Tanjore bertarikh 1030
19. pada candi Rajaraja, Tanjore,
India
1030
Dibawah Dinasti Chola dari
Koromandel
1079
Utusan San-fo-ts'i dengan raja
Kulothunga Chola I (Ti-huaka-lo) ke Tiongkok 1079
membantu memperbaiki candi
Tien Ching di Kuang Cho
(dekat Kanton)
1082
Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi
(Jambi) ke Tiongkok 1082 dan
1088
10891177
Belum ada berita
1178
Laporan Chou-Ju-Kua dalam
buku Chu-fan-chi berisi daftar
koloni San-fo-ts'i
1183
Srimat Trailokyaraja
Maulibhusana
Warmadewa
Dharmasraya
Dibawah Dinasti Mauli,
Kerajaan Melayu, Prasasti
Grahi tahun 1183 di selatan
Thailand
Warisan sejarah
Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan
dan kekayaan Sriwijaya.
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat
terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini
oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan
politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah
bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
20. Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya masih
digunakan sebagai sumber legitimasi politik.Sang Nila Utama yang mengaku sebagai keturunan
bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang
Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan
sejarah China yang ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang
kerajaan Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul
mundur.Akan tetapi serangan Majapahit pada penghujung abad ke-14 telah meruntuhkan
kerajaan ini.Akibatnya rajanya yang terakhir, Parameswara, terpaksa melarikan diri ke
Semenanjung Melayu. Parameswara kemudiannya mendirikan Kesultanan Melaka pada tahun
1402.[59] Kesultanan Melayu Melaka akhirnya menggantikan kedudukan Sriwijaya sebagai kuasa
politik Melayu utama di kawasan.[60][61]
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya.Selama berabad-abad, kekuatan
ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya penggunaan
Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir.Bahasa ini menjadi bahasa
kerja atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di
berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[64] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini
mungkin yang telah membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun
Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.[65]
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber
kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[66] Kegemilangan Sriwijaya telah
menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk
kotaPalembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya,
seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi
masyarakat selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada
keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai
kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di
Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya
(Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang),
Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya
Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk
menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.Pada tanggal
11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya,
Palembang.Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk "Srivijaya the
Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran
sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[67][68]