1. Kritik Terhadap Paradigma Pendidikan (bagian ke-1)
Sistem pendidikan yang ada sebenarnya untuk mencetak seorang pegawai atau
tentara. Model pendidikan ini sudah ada sejak zaman kerajaan Prusia tahun 1700-an.
Beberapa masalah sistem pendidikan klasik adalah:
1. gagal dalam menggali kecerdasan yang ada pada anak didik. Padahal menurut
Gardner baru 8 kecerdasan yang berhasil diidentifikasi. Masih banyak
kecerdasan lainnya yang mungkin bisa dieksplorasi. Saya yakin inilah kelak
menjadi eksplorasi terbesar melampaui eksplorasi ruang angkasa.
2. bila diajukan pertanyaan mana yang lebih pintar antara Habibie dan Rudi
Hartono. Saya yakin kebanyakan akan menjawab bahwa Habibie lebih cerdas
dari Rudi Hartono. Pernahkah kita bertanya juga bisa nggak Habibie main
badminton hingga berprestasi seperti Rudi Hartono atau sebaliknya. Pasti tidak
bisa. Seolah-olah ukuran kecerdasan adalah matematika dan bahasa. Disinilah
letak akar permasalahan pertama: gagal menggali jenis kecerdasan manusia.
Sistem pendidikan kita gagal menggali jenis kecerdasan yang ada dalam diri
anak didik. Sistem pendidikan kita hanya mengenal satu jenis kecerdasan
(paling banyak 2) yaitu kecerdasan matematis dan linguistik-verbal. Sementara
kecerdasan lain diabaikan.
3. Dilarang membuat kesalahan. Padahal kesalahan adalah wajar karena itulah
proses belajar. Kalau mau sukses sering-seringlah membuat kesalahan dan
belajar darinya. Ini masalah budaya. Budaya kita memang tidak menyukai orang
berbuat salah atau gagal. Bukankah salah dan gagal hanyalah sementara dan itu
merupakan persepsi atau sudut pandang belaka?
4. Tidak memperkenalkan sudut pandang yang berbeda. Saya ambil contoh: 1 + 1
= 2 dan 1 + 1 bukan selain 2. inilah salah satu contoh sudut pandang pertama
yang selama berabad-abad telah menjejali pikiran kita. Bukan masalah hasilnya
pasti 4 atau bukan selain 2 tapi adalah cara, proses dan persepsi berpikir.
Apakah mungkin 1 + 1 = 10 atau 6. bisa saja bila 1 (mobil – dengan 5 ban
termasuk ban serep) bila ditambah 1 menjadi 10 ban serep. Jadi 1 mobil + 1
mobil = 5 ban ??
5. Sistem pendidikan kita = sistem eliminasi.
2. 6. Bila poin 3, 4 dan 5 diambil intinya, maka sistem pendidikan kita benar-benar
tidak menghargai sebuah kreatifitas. Bukankah teori-teori relativitas, gravitasi
dan hukum Archimedes tercipta karena kreatifitas. Inilah akar permasalahan
kedua: pemasungan kreatifitas.
Apa dampak dari itu semua?
Rasa takut: takut salah, takut mengemukakan pendapat, takut miskin, takut bermimpi
dan bahkan takut pada manusia dan aturan-aturan yang telah dibuatnya.
Sebelum mengenyam pendidikan anak-anak kita adalah anak-anak yang rasa ingin
tahunya besar, anak-anak belajar dalam lompatan kuantum. Mereka belajar dengan
sepenuh hati dan seluruh jenis kecerdasan yang dimilikinya. Dasar pengetahuan
mereka berlipat setiap detik. Segala sesuatu yang dapat mereka tangkap adalah hal
baru dan mengherankan, dan ditambahkan di dalam bank data mereka, tanpa diedit,
tanpa syarat dan tanpa prasangka. Mereka menyerap apa saja tentang kehidupan ini.
Tapi apa yang terjadi setelah mereka masuk dalam sistem pendidikan formal kita
sekarang. Cara belajar dan apa yang mereka mau pelajari dan sukai telah digantikan
menjadi sesuatu yang tidak ada gunanya dan membosankan.
Sistem pendidikan formal kita hanya mengakui satu atau dua jenis kecerdasan yaitu
linguistik verbal dan matematis dari tujuh kecerdasan yang lain. Mengenai ketujuh
kecerdasan itu dapat dibaca dalam buku yang berjudul Frames of Mind karya Howard
Gardner. Dengan demikian sistem pendidikan kita dirancang untuk mengajar beberapa
anak, tetapi tidak dirancang untuk mengajar semua anak.
Atau dengan kata lain sistem sekolah yang ada sesungguhnya bukan sistem pendidikan
yang sebenarnya namun lebih merupakan sistem eliminasi. Mereka mulai merasa tidak
aman secara mental dan emosional karena bertahan agar tidak tereliminasi. Rasa
takut telah menyelimuti mereka. Mereka benci dicap ”bodoh” atau ”tidak mampu
beradaptasi” dan istilah cap lainnya yang membuat mental, emosi dan fisik anak-anak
dirugikan tanpa pernah disadari. Disinilah awal pola pikir kita dibentuk. Akhirnya
seperti sekarang... sebagian besar manusia diliputi oleh rasa takut. Kalau rasa takut
sudah membelenggu kita apakah layak manusia sebagai makhluk yang merdeka?
Bersambung...
3.
4. 2. kunci kesuksesan adalah nilai-nilai IQ (rapor, indeks prestasi dan lain-lain) yang
berkenaan dengan matematis dan linguistik verbal.
Dampak keduanya adalah seperti bola salju.
Kemampuan linguistik verbal matematis ”merajai” dunia. Jarang penghargaan
diberikan kepada penulis puisi, novelis, dramawan, olahragawan atau pelukis sebagai
orang-orang yang cerdas. Kelompok kedua ini lebih kerap menjadi kelompok kedua
dalam klasifikasi orang-orang cerdas.
Mereka lupa Einstein pun pernah dianggap bodoh dan dikeluarkan dari kelasnya. Nilai-
nilai rapor Einstein sangat rendah sehingga guru SD nya menganggap ia terlalu bodoh.
Di kemudian hari terbukti, nilai-nilai rapor itu kunci kesuksesan Einstein.
Di Indonesia, dengan model pendidikannya yang berubah setiap kali ganti menteri, pun
tidak terlepas dari ”pendewaan” terhadap kecerdasan linguistik verbal – matematis
dan IQ. Tidak puas dengan penerapan ”kecerdasan rapor” di pendidikan dasar dan
menengah, di bangku kuliahpun ”kecerdasan rapor” itu dipakai.
Padahal kemampuan memecahkan masalah – problem solver tidak hanya ditentukan
oleh ”kecerdasan rapor” tersebut. Tapi banyak jenis kecerdasan lainnya.
Titik berat pendidikan di Indonesia yang hanya memberi kesempatan berkembang pada
otak kiri itu, membuat otak kanan terbengkalai. Evaluasi Akhir Semester atau ujian
akhir, sekedar contoh saja, hanya sanggup mengukur otak kiri anak didik. Dengan cara
ini sistem pendidikan kita hanya mengakui satu atau dua jenis kecerdasan saja (sistem
eliminasi). Hasil EAS bukan gambaran utuh kecerdasan anak didik. Karena itu,
alangkah baiknya EAS bukan indikator kelulusan.
Padahal menurut Robert Cooper, ”kecerdasan rapor” atau IQ itu hanya
menyumbangkan sekitar 4 % bagi keberhasilan hidup. Paling penting, keberhasilan 90 %
ditentukan oleh kecerdasan-kecerdasan lain yang dikemukakan oleh Gardner.
Konsekuensi paling tragis atas pendewaan otak kiri itu adalah hilangnya kearifan dari
diri manusia. Eksploitasi, baik terhadap alam maupun diri manusia itu sendiri,
berkembang pesat.
Betapapun kesadaran pentingnya otak kanan dan menjadi tren, tanpa perubahan
paradigma, hal itu tidak akan berlangsung lama. Paradigma otak kiri harus diubah.
Paling sedikit, misalnya mengubah kebiasaan memecah-mecah fakta atau objek
5. menjadi kebiasaan mengutuhkan fakta atau objek. Kebiasaan melihat hutan dari
pohon-pohonnya saja harus dilengkapi dengan memandang hutan dari atas atau dari
luar.
Paradigma otak kanan akan menghasilkan dunia yang lebih luas. Untuk memperoleh
sesuatu yang lebih bermakna, manusia harus belajar melihat sesuatu secara terpadu
(integral) dan menyeluruh (holistik). Cara berpikir linear yang tipikal otak kiri cukup
baik, tetapi corak itu tidaklah cukup untuk menjawab permasalahan manusia.
Dalam banyak hal, sejak manusia berada di bumi, cara berpikir otak kiri telah cukup
banyak menolong. Bukti-bukti arkeologis dan antropologi menunjukkan bahwa berpikir
linear, sekunsial, otomatis, merupakan ciri khas makhluk-makhluk bersyaraf pada
masa-masa awal kehidupan. Pada masa modern pun, berpikir linear memberi banyak
keuntungan. Termasuk memudahkan manusia. Karena pola-pola yang sudah terpatri
dalam otak yang bereaksi secara otomatis terhadap rangsangan dari luar telah
membantu manusia untuk dapat bertahan hidup. Adanya ancaman-ancaman dari luar
dan respon cepat manusia memungkinkan ia dapat hidup seperti ini.
Dalam dunia sains, berpikir linear juga telah menghasilkan banyak penemuan
berharga. Tiruan jaringan saraf manusia, yang disebut komputer, adalah salah satu
contoh hasil berpikir manusia secara linear. Bahkan, mesin bekerja dengan cara
meniru mekanisme pikiran linear itu. Ilmuwan Einstein atau Roger Sperry, misalnya,
juga memakai otak mereka secara linear dan ternyata menghasilkan penemuan
berharga bagi umat manusia.
Walaupun begitu, beberapa ilmuwan yang menyadari bahwa berpikir linear itu sangat
baik, tetapi tidaklah cukup. Ada juga yang menyebut bahwa dengan hanya berpikir
linear, manusia hanya menggunakan setengah otaknya.
Dengan kesadaran seperti di atas itu, misalnya bila dilihat dari aspek pendidikan, cara
belajar dan cara berpikir harus lebih luas dalam memakai dua belahan otak manusia.
Untuk operasionalisasi kesadaran itu, pekerjaan yang mula-mula adalah kesadaran
akan potensi-potensi dasar manusia yang semuanya berkait erat dengan otak.
Komponen-komponen itu meliputi: (1) indra, (2) rasio, (2) emosi, dan (4) instuisi.
Belahan-belahan otak sendiri telah menjadi ”tempat” bagi komponen-komponen dasar
tersebut. Konsekuensi logisnya, gerakan-gerakan tubuh (kinestetis), kecakapan
pemecahan masalah, kematangan emosi, dan kepiawaian menggali alam bawah sadar
6. merupakan keterampilan utama cara mengubah belajar dan cara berpikir. Gilirannya
nanti, mengubah manusia secara keseluruhan.
Perjuangan membesarkan empat komponen dasar itu bukanlah sesuatu yang baru.
Plato, Socrates, Aristoteles, Henri Borgson, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, adalah
sedikit orang yang telah memulainya. Al-Ghazali, misalnya telah berani
memperkenalkan istilah al-’aql, al-ruh, al-nafs, al-qalb, dan dzauq untuk menyebut
komponen-komponen penting dalam diri manusia, atau Ibn Qayyim Al-Jauziyyah yang
memperkenalkan keberadaan firasah dalam kegiatan berpikir manusia. Firasah adalah
indra, akal, instuisi, ilham dan wahyu merupakan sumber-sumber pengetahuan bagi
manusia. Sumber-sumber ini merupakan alat bagi manusia untuk mengkaji alam yang
bertingkat itu.