SlideShare a Scribd company logo
1 of 6
Kritik Terhadap Paradigma Pendidikan (bagian ke-1)

Sistem pendidikan yang ada sebenarnya untuk mencetak seorang pegawai atau
tentara. Model pendidikan ini sudah ada sejak zaman kerajaan Prusia tahun 1700-an.
Beberapa masalah sistem pendidikan klasik adalah:

   1. gagal dalam menggali kecerdasan yang ada pada anak didik. Padahal menurut
      Gardner baru 8 kecerdasan yang berhasil diidentifikasi. Masih banyak
      kecerdasan lainnya yang mungkin bisa dieksplorasi. Saya yakin inilah kelak
      menjadi eksplorasi terbesar melampaui eksplorasi ruang angkasa.

   2. bila diajukan pertanyaan mana yang lebih pintar antara Habibie dan Rudi
      Hartono. Saya yakin kebanyakan akan menjawab bahwa Habibie lebih cerdas
      dari Rudi Hartono. Pernahkah kita bertanya juga bisa nggak Habibie main
      badminton hingga berprestasi seperti Rudi Hartono atau sebaliknya. Pasti tidak
      bisa. Seolah-olah ukuran kecerdasan adalah matematika dan bahasa. Disinilah
      letak akar permasalahan pertama: gagal menggali jenis kecerdasan manusia.
      Sistem pendidikan kita gagal menggali jenis kecerdasan yang ada dalam diri
      anak didik. Sistem pendidikan kita hanya mengenal satu jenis kecerdasan
      (paling banyak 2) yaitu kecerdasan matematis dan linguistik-verbal. Sementara
      kecerdasan lain diabaikan.

   3. Dilarang membuat kesalahan. Padahal kesalahan adalah wajar karena itulah
      proses belajar. Kalau mau sukses sering-seringlah membuat kesalahan dan
      belajar darinya. Ini masalah budaya. Budaya kita memang tidak menyukai orang
      berbuat salah atau gagal. Bukankah salah dan gagal hanyalah sementara dan itu
      merupakan persepsi atau sudut pandang belaka?

   4. Tidak memperkenalkan sudut pandang yang berbeda. Saya ambil contoh: 1 + 1
      = 2 dan 1 + 1 bukan selain 2. inilah salah satu contoh sudut pandang pertama
      yang selama berabad-abad telah menjejali pikiran kita. Bukan masalah hasilnya
      pasti 4 atau bukan selain 2 tapi adalah cara, proses dan persepsi berpikir.
      Apakah mungkin 1 + 1 = 10 atau 6. bisa saja bila 1 (mobil – dengan 5 ban
      termasuk ban serep) bila ditambah 1 menjadi 10 ban serep. Jadi 1 mobil + 1
      mobil = 5 ban ??

   5. Sistem pendidikan kita = sistem eliminasi.
6. Bila poin 3, 4 dan 5 diambil intinya, maka sistem pendidikan kita benar-benar
       tidak menghargai sebuah kreatifitas. Bukankah teori-teori relativitas, gravitasi
       dan hukum Archimedes tercipta karena kreatifitas. Inilah akar permasalahan
       kedua: pemasungan kreatifitas.

Apa dampak dari itu semua?

Rasa takut: takut salah, takut mengemukakan pendapat, takut miskin, takut bermimpi
dan bahkan takut pada manusia dan aturan-aturan yang telah dibuatnya.

Sebelum mengenyam pendidikan anak-anak kita adalah anak-anak yang rasa ingin
tahunya besar, anak-anak belajar dalam lompatan kuantum. Mereka belajar dengan
sepenuh hati dan seluruh jenis kecerdasan yang dimilikinya. Dasar pengetahuan
mereka berlipat setiap detik. Segala sesuatu yang dapat mereka tangkap adalah hal
baru dan mengherankan, dan ditambahkan di dalam bank data mereka, tanpa diedit,
tanpa syarat dan tanpa prasangka. Mereka menyerap apa saja tentang kehidupan ini.
Tapi apa yang terjadi setelah mereka masuk dalam sistem pendidikan formal kita
sekarang. Cara belajar dan apa yang mereka mau pelajari dan sukai telah digantikan
menjadi sesuatu yang tidak ada gunanya dan membosankan.

Sistem pendidikan formal kita hanya mengakui satu atau dua jenis kecerdasan yaitu
linguistik verbal dan matematis dari tujuh kecerdasan yang lain. Mengenai ketujuh
kecerdasan itu dapat dibaca dalam buku yang berjudul Frames of Mind karya Howard
Gardner. Dengan demikian sistem pendidikan kita dirancang untuk mengajar beberapa
anak, tetapi tidak dirancang untuk mengajar semua anak.

Atau dengan kata lain sistem sekolah yang ada sesungguhnya bukan sistem pendidikan
yang sebenarnya namun lebih merupakan sistem eliminasi. Mereka mulai merasa tidak
aman secara mental dan emosional karena bertahan agar tidak tereliminasi. Rasa
takut telah menyelimuti mereka. Mereka benci dicap ”bodoh” atau ”tidak mampu
beradaptasi” dan istilah cap lainnya yang membuat mental, emosi dan fisik anak-anak
dirugikan tanpa pernah disadari. Disinilah awal pola pikir kita dibentuk. Akhirnya
seperti sekarang... sebagian besar manusia diliputi oleh rasa takut. Kalau rasa takut
sudah membelenggu kita apakah layak manusia sebagai makhluk yang merdeka?

Bersambung...
2.      kunci kesuksesan adalah nilai-nilai IQ (rapor, indeks prestasi dan lain-lain) yang
     berkenaan dengan matematis dan linguistik verbal.

Dampak keduanya adalah seperti bola salju.

Kemampuan linguistik verbal matematis ”merajai” dunia. Jarang penghargaan
diberikan kepada penulis puisi, novelis, dramawan, olahragawan atau pelukis sebagai
orang-orang yang cerdas. Kelompok kedua ini lebih kerap menjadi kelompok kedua
dalam klasifikasi orang-orang cerdas.

Mereka lupa Einstein pun pernah dianggap bodoh dan dikeluarkan dari kelasnya. Nilai-
nilai rapor Einstein sangat rendah sehingga guru SD nya menganggap ia terlalu bodoh.
Di kemudian hari terbukti, nilai-nilai rapor itu kunci kesuksesan Einstein.

Di Indonesia, dengan model pendidikannya yang berubah setiap kali ganti menteri, pun
tidak terlepas dari ”pendewaan” terhadap kecerdasan linguistik verbal – matematis
dan IQ. Tidak puas dengan penerapan ”kecerdasan rapor” di pendidikan dasar dan
menengah, di bangku kuliahpun ”kecerdasan rapor” itu dipakai.

Padahal kemampuan memecahkan masalah – problem solver tidak hanya ditentukan
oleh ”kecerdasan rapor” tersebut. Tapi banyak jenis kecerdasan lainnya.

Titik berat pendidikan di Indonesia yang hanya memberi kesempatan berkembang pada
otak kiri itu, membuat otak kanan terbengkalai. Evaluasi Akhir Semester atau ujian
akhir, sekedar contoh saja, hanya sanggup mengukur otak kiri anak didik. Dengan cara
ini sistem pendidikan kita hanya mengakui satu atau dua jenis kecerdasan saja (sistem
eliminasi). Hasil EAS bukan gambaran utuh kecerdasan anak didik. Karena itu,
alangkah baiknya EAS bukan indikator kelulusan.

Padahal    menurut    Robert   Cooper,    ”kecerdasan    rapor”   atau   IQ   itu   hanya
menyumbangkan sekitar 4 % bagi keberhasilan hidup. Paling penting, keberhasilan 90 %
ditentukan oleh kecerdasan-kecerdasan lain yang dikemukakan oleh Gardner.

Konsekuensi paling tragis atas pendewaan otak kiri itu adalah hilangnya kearifan dari
diri manusia. Eksploitasi, baik terhadap alam maupun diri manusia itu sendiri,
berkembang pesat.

Betapapun kesadaran pentingnya otak kanan dan menjadi tren, tanpa perubahan
paradigma, hal itu tidak akan berlangsung lama. Paradigma otak kiri harus diubah.
Paling sedikit, misalnya mengubah kebiasaan memecah-mecah fakta atau objek
menjadi kebiasaan mengutuhkan fakta atau objek. Kebiasaan melihat hutan dari
pohon-pohonnya saja harus dilengkapi dengan memandang hutan dari atas atau dari
luar.

Paradigma otak kanan akan menghasilkan dunia yang lebih luas. Untuk memperoleh
sesuatu yang lebih bermakna, manusia harus belajar melihat sesuatu secara terpadu
(integral) dan menyeluruh (holistik). Cara berpikir linear yang tipikal otak kiri cukup
baik, tetapi corak itu tidaklah cukup untuk menjawab permasalahan manusia.

Dalam banyak hal, sejak manusia berada di bumi, cara berpikir otak kiri telah cukup
banyak menolong. Bukti-bukti arkeologis dan antropologi menunjukkan bahwa berpikir
linear, sekunsial, otomatis, merupakan ciri khas makhluk-makhluk bersyaraf pada
masa-masa awal kehidupan. Pada masa modern pun, berpikir linear memberi banyak
keuntungan. Termasuk memudahkan manusia. Karena pola-pola yang sudah terpatri
dalam otak yang bereaksi secara otomatis terhadap rangsangan dari luar telah
membantu manusia untuk dapat bertahan hidup. Adanya ancaman-ancaman dari luar
dan respon cepat manusia memungkinkan ia dapat hidup seperti ini.

Dalam dunia sains, berpikir linear juga telah menghasilkan banyak penemuan
berharga. Tiruan jaringan saraf manusia, yang disebut komputer, adalah salah satu
contoh hasil berpikir manusia secara linear. Bahkan, mesin bekerja dengan cara
meniru mekanisme pikiran linear itu. Ilmuwan Einstein atau Roger Sperry, misalnya,
juga memakai otak mereka secara linear dan ternyata menghasilkan penemuan
berharga bagi umat manusia.

Walaupun begitu, beberapa ilmuwan yang menyadari bahwa berpikir linear itu sangat
baik, tetapi tidaklah cukup. Ada juga yang menyebut bahwa dengan hanya berpikir
linear, manusia hanya menggunakan setengah otaknya.

Dengan kesadaran seperti di atas itu, misalnya bila dilihat dari aspek pendidikan, cara
belajar dan cara berpikir harus lebih luas dalam memakai dua belahan otak manusia.
Untuk operasionalisasi kesadaran itu, pekerjaan yang mula-mula adalah kesadaran
akan potensi-potensi dasar manusia yang semuanya berkait erat dengan otak.

Komponen-komponen itu meliputi: (1) indra, (2) rasio, (2) emosi, dan (4) instuisi.
Belahan-belahan otak sendiri telah menjadi ”tempat” bagi komponen-komponen dasar
tersebut. Konsekuensi logisnya, gerakan-gerakan tubuh (kinestetis), kecakapan
pemecahan masalah, kematangan emosi, dan kepiawaian menggali alam bawah sadar
merupakan keterampilan utama cara mengubah belajar dan cara berpikir. Gilirannya
nanti, mengubah manusia secara keseluruhan.

Perjuangan membesarkan empat komponen dasar itu bukanlah sesuatu yang baru.
Plato, Socrates, Aristoteles, Henri Borgson, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, adalah
sedikit   orang   yang   telah   memulainya.   Al-Ghazali,   misalnya   telah   berani
memperkenalkan istilah al-’aql, al-ruh, al-nafs, al-qalb, dan dzauq untuk menyebut
komponen-komponen penting dalam diri manusia, atau Ibn Qayyim Al-Jauziyyah yang
memperkenalkan keberadaan firasah dalam kegiatan berpikir manusia. Firasah adalah
indra, akal, instuisi, ilham dan wahyu merupakan sumber-sumber pengetahuan bagi
manusia. Sumber-sumber ini merupakan alat bagi manusia untuk mengkaji alam yang
bertingkat itu.

More Related Content

Viewers also liked

Steve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heartSteve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heartEry Arifullah
 
Once upon a time in tokyo
Once upon a time in tokyoOnce upon a time in tokyo
Once upon a time in tokyoEry Arifullah
 
Sequence stratigraphy & ichnology
Sequence stratigraphy & ichnologySequence stratigraphy & ichnology
Sequence stratigraphy & ichnologyEry Arifullah
 
Steve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heartSteve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heartEry Arifullah
 
Ichnological characteristic of modern mahakam delta
Ichnological characteristic of modern mahakam deltaIchnological characteristic of modern mahakam delta
Ichnological characteristic of modern mahakam deltaEry Arifullah
 
Kritik thd pendidikan 2
Kritik thd pendidikan 2Kritik thd pendidikan 2
Kritik thd pendidikan 2Ery Arifullah
 

Viewers also liked (7)

Steve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heartSteve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heart
 
Once upon a time in tokyo
Once upon a time in tokyoOnce upon a time in tokyo
Once upon a time in tokyo
 
Sequence stratigraphy & ichnology
Sequence stratigraphy & ichnologySequence stratigraphy & ichnology
Sequence stratigraphy & ichnology
 
Steve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heartSteve jobs follow your heart
Steve jobs follow your heart
 
Ichnological characteristic of modern mahakam delta
Ichnological characteristic of modern mahakam deltaIchnological characteristic of modern mahakam delta
Ichnological characteristic of modern mahakam delta
 
Kritik thd pendidikan 2
Kritik thd pendidikan 2Kritik thd pendidikan 2
Kritik thd pendidikan 2
 
Kesadaran geologi
Kesadaran geologiKesadaran geologi
Kesadaran geologi
 

Similar to Kritik thd pendidikan 1

8004852 perbezaan-individu
8004852 perbezaan-individu8004852 perbezaan-individu
8004852 perbezaan-individuFiqrie Shamsuri
 
Presentation chapter report
Presentation chapter reportPresentation chapter report
Presentation chapter reportAgussalim Masry
 
konsep indikator iq (kelompok 1)
konsep indikator iq (kelompok 1)konsep indikator iq (kelompok 1)
konsep indikator iq (kelompok 1)Zara Neur
 
Pembelajaran berbasis multiple intelligence
Pembelajaran berbasis multiple intelligencePembelajaran berbasis multiple intelligence
Pembelajaran berbasis multiple intelligenceUmi Salamah Anwari
 
Buku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep Matriks
Buku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep MatriksBuku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep Matriks
Buku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep MatriksAisyah Turidho
 
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan IlmuPengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan IlmuND Arisanti
 
Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)
Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)
Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)windi rahmawati
 
MODUL SENI DALAM PENDIDIKAN
MODUL SENI DALAM PENDIDIKANMODUL SENI DALAM PENDIDIKAN
MODUL SENI DALAM PENDIDIKANAmran Aris
 
Pertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptx
Pertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptxPertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptx
Pertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptxitafitriyana2
 
Psikologi pendidikan
Psikologi pendidikanPsikologi pendidikan
Psikologi pendidikanIndah Sari
 
Isi makalah intelegensi
Isi makalah intelegensiIsi makalah intelegensi
Isi makalah intelegensiDevia Titania
 
Pandai pntar dan cerdas
Pandai pntar dan cerdasPandai pntar dan cerdas
Pandai pntar dan cerdasEman Msm
 

Similar to Kritik thd pendidikan 1 (20)

8004852 perbezaan-individu
8004852 perbezaan-individu8004852 perbezaan-individu
8004852 perbezaan-individu
 
Presentation chapter report
Presentation chapter reportPresentation chapter report
Presentation chapter report
 
Satlan full version rizti febrining tyas
Satlan full version rizti febrining tyasSatlan full version rizti febrining tyas
Satlan full version rizti febrining tyas
 
Kecerdasan anak usia dini
Kecerdasan anak usia diniKecerdasan anak usia dini
Kecerdasan anak usia dini
 
Kecerdasan anak usia dini
Kecerdasan anak usia diniKecerdasan anak usia dini
Kecerdasan anak usia dini
 
konsep indikator iq (kelompok 1)
konsep indikator iq (kelompok 1)konsep indikator iq (kelompok 1)
konsep indikator iq (kelompok 1)
 
Pembelajaran berbasis multiple intelligence
Pembelajaran berbasis multiple intelligencePembelajaran berbasis multiple intelligence
Pembelajaran berbasis multiple intelligence
 
Buku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep Matriks
Buku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep MatriksBuku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep Matriks
Buku sebagai Penunjang Siswa dalam Menemukan Konsep Matriks
 
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan IlmuPengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
Pengertian, Peran, dan Tantangan Pengembangan Ilmu
 
Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)
Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)
Kecerdasan majemuk (MULTIPLE INTELEGENCES)
 
MODUL SENI DALAM PENDIDIKAN
MODUL SENI DALAM PENDIDIKANMODUL SENI DALAM PENDIDIKAN
MODUL SENI DALAM PENDIDIKAN
 
Pengantar Filsafat Ilmu
Pengantar Filsafat IlmuPengantar Filsafat Ilmu
Pengantar Filsafat Ilmu
 
Si genius bandung 2001
Si genius bandung 2001Si genius bandung 2001
Si genius bandung 2001
 
Penalaran
PenalaranPenalaran
Penalaran
 
Pertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptx
Pertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptxPertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptx
Pertemuan 6-intelegensi-kognisi-dan-metakognisi.pptx
 
Penalaran
PenalaranPenalaran
Penalaran
 
Psikologi pendidikan
Psikologi pendidikanPsikologi pendidikan
Psikologi pendidikan
 
Triana Savitri
Triana SavitriTriana Savitri
Triana Savitri
 
Isi makalah intelegensi
Isi makalah intelegensiIsi makalah intelegensi
Isi makalah intelegensi
 
Pandai pntar dan cerdas
Pandai pntar dan cerdasPandai pntar dan cerdas
Pandai pntar dan cerdas
 

More from Ery Arifullah

Pola pikir gol 3 bag 1
Pola pikir gol 3 bag 1Pola pikir gol 3 bag 1
Pola pikir gol 3 bag 1Ery Arifullah
 
Sistem administrasi negara ri
Sistem administrasi negara riSistem administrasi negara ri
Sistem administrasi negara riEry Arifullah
 
Nasib kedaulatan ekonomi indonesia
Nasib kedaulatan ekonomi indonesiaNasib kedaulatan ekonomi indonesia
Nasib kedaulatan ekonomi indonesiaEry Arifullah
 
Tips dalam presentasi
Tips dalam presentasiTips dalam presentasi
Tips dalam presentasiEry Arifullah
 
Wawasan kebangsaan simple
Wawasan kebangsaan simpleWawasan kebangsaan simple
Wawasan kebangsaan simpleEry Arifullah
 
Kerucut pembelajaran
Kerucut pembelajaranKerucut pembelajaran
Kerucut pembelajaranEry Arifullah
 
Akar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannyaAkar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannyaEry Arifullah
 
Pola pikir sederhana
Pola pikir sederhanaPola pikir sederhana
Pola pikir sederhanaEry Arifullah
 
Finansial Independent
Finansial IndependentFinansial Independent
Finansial IndependentEry Arifullah
 

More from Ery Arifullah (14)

Pola pikir gol 3 bag 1
Pola pikir gol 3 bag 1Pola pikir gol 3 bag 1
Pola pikir gol 3 bag 1
 
Sistem administrasi negara ri
Sistem administrasi negara riSistem administrasi negara ri
Sistem administrasi negara ri
 
Korupsi gol 3
Korupsi gol 3Korupsi gol 3
Korupsi gol 3
 
Story telling
Story tellingStory telling
Story telling
 
Revolusi pola pikir
Revolusi pola pikirRevolusi pola pikir
Revolusi pola pikir
 
Nasib kedaulatan ekonomi indonesia
Nasib kedaulatan ekonomi indonesiaNasib kedaulatan ekonomi indonesia
Nasib kedaulatan ekonomi indonesia
 
Tips dalam presentasi
Tips dalam presentasiTips dalam presentasi
Tips dalam presentasi
 
Komunikasi efektif
Komunikasi efektifKomunikasi efektif
Komunikasi efektif
 
Wawasan kebangsaan simple
Wawasan kebangsaan simpleWawasan kebangsaan simple
Wawasan kebangsaan simple
 
Kerucut pembelajaran
Kerucut pembelajaranKerucut pembelajaran
Kerucut pembelajaran
 
Akar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannyaAkar masalah korupsi dan pemberantasannya
Akar masalah korupsi dan pemberantasannya
 
Pola pikir sederhana
Pola pikir sederhanaPola pikir sederhana
Pola pikir sederhana
 
Finansial Independent
Finansial IndependentFinansial Independent
Finansial Independent
 
Aturan Main Berubah
Aturan Main BerubahAturan Main Berubah
Aturan Main Berubah
 

Kritik thd pendidikan 1

  • 1. Kritik Terhadap Paradigma Pendidikan (bagian ke-1) Sistem pendidikan yang ada sebenarnya untuk mencetak seorang pegawai atau tentara. Model pendidikan ini sudah ada sejak zaman kerajaan Prusia tahun 1700-an. Beberapa masalah sistem pendidikan klasik adalah: 1. gagal dalam menggali kecerdasan yang ada pada anak didik. Padahal menurut Gardner baru 8 kecerdasan yang berhasil diidentifikasi. Masih banyak kecerdasan lainnya yang mungkin bisa dieksplorasi. Saya yakin inilah kelak menjadi eksplorasi terbesar melampaui eksplorasi ruang angkasa. 2. bila diajukan pertanyaan mana yang lebih pintar antara Habibie dan Rudi Hartono. Saya yakin kebanyakan akan menjawab bahwa Habibie lebih cerdas dari Rudi Hartono. Pernahkah kita bertanya juga bisa nggak Habibie main badminton hingga berprestasi seperti Rudi Hartono atau sebaliknya. Pasti tidak bisa. Seolah-olah ukuran kecerdasan adalah matematika dan bahasa. Disinilah letak akar permasalahan pertama: gagal menggali jenis kecerdasan manusia. Sistem pendidikan kita gagal menggali jenis kecerdasan yang ada dalam diri anak didik. Sistem pendidikan kita hanya mengenal satu jenis kecerdasan (paling banyak 2) yaitu kecerdasan matematis dan linguistik-verbal. Sementara kecerdasan lain diabaikan. 3. Dilarang membuat kesalahan. Padahal kesalahan adalah wajar karena itulah proses belajar. Kalau mau sukses sering-seringlah membuat kesalahan dan belajar darinya. Ini masalah budaya. Budaya kita memang tidak menyukai orang berbuat salah atau gagal. Bukankah salah dan gagal hanyalah sementara dan itu merupakan persepsi atau sudut pandang belaka? 4. Tidak memperkenalkan sudut pandang yang berbeda. Saya ambil contoh: 1 + 1 = 2 dan 1 + 1 bukan selain 2. inilah salah satu contoh sudut pandang pertama yang selama berabad-abad telah menjejali pikiran kita. Bukan masalah hasilnya pasti 4 atau bukan selain 2 tapi adalah cara, proses dan persepsi berpikir. Apakah mungkin 1 + 1 = 10 atau 6. bisa saja bila 1 (mobil – dengan 5 ban termasuk ban serep) bila ditambah 1 menjadi 10 ban serep. Jadi 1 mobil + 1 mobil = 5 ban ?? 5. Sistem pendidikan kita = sistem eliminasi.
  • 2. 6. Bila poin 3, 4 dan 5 diambil intinya, maka sistem pendidikan kita benar-benar tidak menghargai sebuah kreatifitas. Bukankah teori-teori relativitas, gravitasi dan hukum Archimedes tercipta karena kreatifitas. Inilah akar permasalahan kedua: pemasungan kreatifitas. Apa dampak dari itu semua? Rasa takut: takut salah, takut mengemukakan pendapat, takut miskin, takut bermimpi dan bahkan takut pada manusia dan aturan-aturan yang telah dibuatnya. Sebelum mengenyam pendidikan anak-anak kita adalah anak-anak yang rasa ingin tahunya besar, anak-anak belajar dalam lompatan kuantum. Mereka belajar dengan sepenuh hati dan seluruh jenis kecerdasan yang dimilikinya. Dasar pengetahuan mereka berlipat setiap detik. Segala sesuatu yang dapat mereka tangkap adalah hal baru dan mengherankan, dan ditambahkan di dalam bank data mereka, tanpa diedit, tanpa syarat dan tanpa prasangka. Mereka menyerap apa saja tentang kehidupan ini. Tapi apa yang terjadi setelah mereka masuk dalam sistem pendidikan formal kita sekarang. Cara belajar dan apa yang mereka mau pelajari dan sukai telah digantikan menjadi sesuatu yang tidak ada gunanya dan membosankan. Sistem pendidikan formal kita hanya mengakui satu atau dua jenis kecerdasan yaitu linguistik verbal dan matematis dari tujuh kecerdasan yang lain. Mengenai ketujuh kecerdasan itu dapat dibaca dalam buku yang berjudul Frames of Mind karya Howard Gardner. Dengan demikian sistem pendidikan kita dirancang untuk mengajar beberapa anak, tetapi tidak dirancang untuk mengajar semua anak. Atau dengan kata lain sistem sekolah yang ada sesungguhnya bukan sistem pendidikan yang sebenarnya namun lebih merupakan sistem eliminasi. Mereka mulai merasa tidak aman secara mental dan emosional karena bertahan agar tidak tereliminasi. Rasa takut telah menyelimuti mereka. Mereka benci dicap ”bodoh” atau ”tidak mampu beradaptasi” dan istilah cap lainnya yang membuat mental, emosi dan fisik anak-anak dirugikan tanpa pernah disadari. Disinilah awal pola pikir kita dibentuk. Akhirnya seperti sekarang... sebagian besar manusia diliputi oleh rasa takut. Kalau rasa takut sudah membelenggu kita apakah layak manusia sebagai makhluk yang merdeka? Bersambung...
  • 3.
  • 4. 2. kunci kesuksesan adalah nilai-nilai IQ (rapor, indeks prestasi dan lain-lain) yang berkenaan dengan matematis dan linguistik verbal. Dampak keduanya adalah seperti bola salju. Kemampuan linguistik verbal matematis ”merajai” dunia. Jarang penghargaan diberikan kepada penulis puisi, novelis, dramawan, olahragawan atau pelukis sebagai orang-orang yang cerdas. Kelompok kedua ini lebih kerap menjadi kelompok kedua dalam klasifikasi orang-orang cerdas. Mereka lupa Einstein pun pernah dianggap bodoh dan dikeluarkan dari kelasnya. Nilai- nilai rapor Einstein sangat rendah sehingga guru SD nya menganggap ia terlalu bodoh. Di kemudian hari terbukti, nilai-nilai rapor itu kunci kesuksesan Einstein. Di Indonesia, dengan model pendidikannya yang berubah setiap kali ganti menteri, pun tidak terlepas dari ”pendewaan” terhadap kecerdasan linguistik verbal – matematis dan IQ. Tidak puas dengan penerapan ”kecerdasan rapor” di pendidikan dasar dan menengah, di bangku kuliahpun ”kecerdasan rapor” itu dipakai. Padahal kemampuan memecahkan masalah – problem solver tidak hanya ditentukan oleh ”kecerdasan rapor” tersebut. Tapi banyak jenis kecerdasan lainnya. Titik berat pendidikan di Indonesia yang hanya memberi kesempatan berkembang pada otak kiri itu, membuat otak kanan terbengkalai. Evaluasi Akhir Semester atau ujian akhir, sekedar contoh saja, hanya sanggup mengukur otak kiri anak didik. Dengan cara ini sistem pendidikan kita hanya mengakui satu atau dua jenis kecerdasan saja (sistem eliminasi). Hasil EAS bukan gambaran utuh kecerdasan anak didik. Karena itu, alangkah baiknya EAS bukan indikator kelulusan. Padahal menurut Robert Cooper, ”kecerdasan rapor” atau IQ itu hanya menyumbangkan sekitar 4 % bagi keberhasilan hidup. Paling penting, keberhasilan 90 % ditentukan oleh kecerdasan-kecerdasan lain yang dikemukakan oleh Gardner. Konsekuensi paling tragis atas pendewaan otak kiri itu adalah hilangnya kearifan dari diri manusia. Eksploitasi, baik terhadap alam maupun diri manusia itu sendiri, berkembang pesat. Betapapun kesadaran pentingnya otak kanan dan menjadi tren, tanpa perubahan paradigma, hal itu tidak akan berlangsung lama. Paradigma otak kiri harus diubah. Paling sedikit, misalnya mengubah kebiasaan memecah-mecah fakta atau objek
  • 5. menjadi kebiasaan mengutuhkan fakta atau objek. Kebiasaan melihat hutan dari pohon-pohonnya saja harus dilengkapi dengan memandang hutan dari atas atau dari luar. Paradigma otak kanan akan menghasilkan dunia yang lebih luas. Untuk memperoleh sesuatu yang lebih bermakna, manusia harus belajar melihat sesuatu secara terpadu (integral) dan menyeluruh (holistik). Cara berpikir linear yang tipikal otak kiri cukup baik, tetapi corak itu tidaklah cukup untuk menjawab permasalahan manusia. Dalam banyak hal, sejak manusia berada di bumi, cara berpikir otak kiri telah cukup banyak menolong. Bukti-bukti arkeologis dan antropologi menunjukkan bahwa berpikir linear, sekunsial, otomatis, merupakan ciri khas makhluk-makhluk bersyaraf pada masa-masa awal kehidupan. Pada masa modern pun, berpikir linear memberi banyak keuntungan. Termasuk memudahkan manusia. Karena pola-pola yang sudah terpatri dalam otak yang bereaksi secara otomatis terhadap rangsangan dari luar telah membantu manusia untuk dapat bertahan hidup. Adanya ancaman-ancaman dari luar dan respon cepat manusia memungkinkan ia dapat hidup seperti ini. Dalam dunia sains, berpikir linear juga telah menghasilkan banyak penemuan berharga. Tiruan jaringan saraf manusia, yang disebut komputer, adalah salah satu contoh hasil berpikir manusia secara linear. Bahkan, mesin bekerja dengan cara meniru mekanisme pikiran linear itu. Ilmuwan Einstein atau Roger Sperry, misalnya, juga memakai otak mereka secara linear dan ternyata menghasilkan penemuan berharga bagi umat manusia. Walaupun begitu, beberapa ilmuwan yang menyadari bahwa berpikir linear itu sangat baik, tetapi tidaklah cukup. Ada juga yang menyebut bahwa dengan hanya berpikir linear, manusia hanya menggunakan setengah otaknya. Dengan kesadaran seperti di atas itu, misalnya bila dilihat dari aspek pendidikan, cara belajar dan cara berpikir harus lebih luas dalam memakai dua belahan otak manusia. Untuk operasionalisasi kesadaran itu, pekerjaan yang mula-mula adalah kesadaran akan potensi-potensi dasar manusia yang semuanya berkait erat dengan otak. Komponen-komponen itu meliputi: (1) indra, (2) rasio, (2) emosi, dan (4) instuisi. Belahan-belahan otak sendiri telah menjadi ”tempat” bagi komponen-komponen dasar tersebut. Konsekuensi logisnya, gerakan-gerakan tubuh (kinestetis), kecakapan pemecahan masalah, kematangan emosi, dan kepiawaian menggali alam bawah sadar
  • 6. merupakan keterampilan utama cara mengubah belajar dan cara berpikir. Gilirannya nanti, mengubah manusia secara keseluruhan. Perjuangan membesarkan empat komponen dasar itu bukanlah sesuatu yang baru. Plato, Socrates, Aristoteles, Henri Borgson, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, adalah sedikit orang yang telah memulainya. Al-Ghazali, misalnya telah berani memperkenalkan istilah al-’aql, al-ruh, al-nafs, al-qalb, dan dzauq untuk menyebut komponen-komponen penting dalam diri manusia, atau Ibn Qayyim Al-Jauziyyah yang memperkenalkan keberadaan firasah dalam kegiatan berpikir manusia. Firasah adalah indra, akal, instuisi, ilham dan wahyu merupakan sumber-sumber pengetahuan bagi manusia. Sumber-sumber ini merupakan alat bagi manusia untuk mengkaji alam yang bertingkat itu.