SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  149
Télécharger pour lire hors ligne
1
DAFTAR ISI
MAKAN GRATIS DI AMSTERDAM
Komaruddin Hidayat 4
AKAR RADIKALISME
Moh Mahfud MD 6
PEREMPUAN MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN
Nuraini Ahmad 9
PEMIKIR DAN PENULIS YANG SOEKARNOIS
Ahmad Millah Hasan 12
CELANA
Sarlito Wirawan Sarwono 15
PESTA BIKINI: MENIRU NENEK-NENEK?
Dedi Mulyadi 18
SK MENPORA MENGGANTUNG BOLA
W Riawan Tjandra 21
BATAS KEPEMIMPINAN
Rudolf Tjandra 24
REFLEKSI ENAM BULAN NAWACITA
Rhenald Kasali 27
GOLF DAN REFORMASI
Komaruddin Hidayat 31
DIALEKTIKA MEGA-JOKOWI
Muhammad Takdir 33
IDE ABSURD LOKALISASI & SERTIFIKASI PSK
Faisal Ismail 36
GURU HONORER, SIAPA PEDULI?
Jejen Musfah 39
MARSINAH DAN TEOLOGI PEMBEBASAN BURUH
Tom Saptaatmaja 42
BUBURUH DI HARI BURUH
Dedi Mulyadi 45
KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MELALUI GERBANG DESA
2
Uu Ruzhanul Ulum 48
INVESTASI UNTUK INDUSTRI HIJAU
Ali Masykur Musa 51
THE GEOGRAPHY OF THOUGHT
Komaruddin Hidayat 54
NEPAL MASA TRANSISI
Elfindri 57
HUKUM YANG TIDAK ADIL BUKANLAH HUKUM
Noer Fauzi Rachman 60
RAKYAT BELAJAR BERDAULAT
Mohamad Sobary 63
KUTUKAN PERMISSIVENESS
Faisal Ismail 66
SEMIOTIKA ISRA-MIKRAJ
Muhbib Abdul Wahab 69
TEROR GAYA HIDUP
Komaruddin Hidayat 73
BOLA DI LAGA POLITIK MENPORA
W Riawan Tjandra 75
RUMITNYA MASALAH ROHINGYA
Dinna Wisnu 79
MEMIMPIN KEBANGKITAN
M Arief Rosyid Hasan 82
HAK ASUH ATAU PENGASUHAN
Reza Indragiri Amriel 85
NASIB MALANG PRT MIGRAN
Anis Hidayah 88
KOTA PINTAR BUKAN SEKADAR TOMBOL DAN TEKNOLOGI
TINGGI
Handi Sapta Mukti 91
PESANTREN DALAM SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL
A Halim Iskandar 94
MERDEKA! BELUM MERDEKA! BELUUUUUM...!
Mohamad Sobary 97
3
KAUM MUDA DAN KEKUASAAN
Mohammad Nasih 100
MENANTI KIPRAH KAUM MUDA
Biyanto 103
KEJAHATAN AKADEMIK
Sudjito 106
MENYELAMATKAN ROHINGYA
Dinna Wisnu 109
KPK ITU ASET REFORMASI
Mohamad Sobary 112
PANSEL KPK
Rhenald Kasali 115
KOMUNITAS BATU AKIK
Komaruddin Hidayat 118
PARADOKS JUAL-BELI IJAZAH
Rakhmat Hidayat 120
BERAS PALSU DAN SPIRIT BARU PANGAN LOKAL
Posman Sibuea 123
CICAK SEKECIL ITU PUN DIMUSUHI
Mohamad Sobary 127
PESAN WAISAK LAWAN KEBIADABAN
Tom Saptaatmaja 130
SEPAK BOLA DAN TATA KELOLA DUNIA
Dinna Wisnu 133
GENGSI GELAR IJAZAH PALSU
Laode Ida 136
TOPENG BERNAMA IJAZAH
Komaruddin Hidayat 139
BERAS PLASTIK DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
Abustan 141
RASA KEMANUSIAAN KITA
Helmy Faishal Zaini 144
DERITA ROHINGYA, PANGGILAN KEMANUSIAAN
Anna Luthfie 147
4
Makan Gratis di Amsterdam
Koran SINDO
24 April 2015
Pekan lalu saya berjumpa dengan sahabat lama, biasa saya sapa dengan panggilan Pak Rivai.
Dalam usianya sekitar 70 tahunan, sebagai mantan aktivis mahasiswa dan pengusaha, dia
masih rajin membaca buku dan mengikuti perkembangan politik baik dalam maupun luar
negeri.
Dalam obrolannya itu ada cerita yang menarik dan lucu yang ingin saya bagi dengan
pembaca. Dalam satu kunjungannya sekian tahun lalu ke Belanda bersama teman-teman
bisnisnya, dia masuk ke restoran di Amsterdam. Pemilik restoran segera tahu mereka ini
rombongan dari Indonesia. Terjadi dialog yang akrab antara rombongan dan pemilik
restoran.
Pak Rivai mengemukakan kesan kekagumannya dalam hal penataan kota yang rapi, terutama
dalam pengendalian air dengan membuat kanal-kanal, sehingga Kota Amsterdam bebas dari
banjir meski letaknya menempel ke laut. Bahkan kanal itu juga menjadi sarana rekreasi bagi
para turis. Siapa pun yang berjalan-jalan ke Belanda rasanya belum lengkap kalau belum
putar-putar menelusuri Kota Amsterdam dengan kapal lewat jalur kanal.
Obrolan Pak Rivai dan pemilik restoran juga menyinggung sejarah panjang masa penjajahan
dan eksploitasi Belanda atas kekayaan alam Nusantara. Amsterdam ini tak akan bagus seperti
yang Anda lihat tanpa kekayaan alam Indonesia yang diangkut ke sini di masa penjajahan,
kata pemilik restoran.
Mereka yang pernah ke Amsterdam akan melihat bangunan-bangunan tua dengan bahan kayu
jati, padahal Belanda tidak punya hutan. Bahkan orang Belanda punya ungkapan, Tuhan
menciptakan seluruh negeri, kecuali Belanda. Karena Belanda dibangun oleh orang Belanda
sendiri dengan mengubah laut menjadi daratan.
Demikiankah obrolan akrab dan terbuka antara rombongan Pak Rivai dengan pemilik
restoran yang membuat pemilik restoran tidak mau dibayar atas semua jamuan yang
dihidangkannya. Saya malu menerima uang Anda karena sesungguhnya kami banyak utang
budi dan materi kepada Indonesia, katanya.
Dialog singkat tadi membuat saya menerawang jauh. Sebuah potret imajiner bangsa dan
wilayah yang demikian luas dan kaya dikuasai Belanda, sebuah negara kecil di Eropa.
Sekarang ini para intelektual Belanda pun kalau ingin pikirannya mengglobal, mereka mesti
menuliskannya dalam bahasa Inggris.
5
Di Indonesia bahasa Belanda mati pelan-pelan sejak negeri ini merdeka. Sebuah budaya dan
bahasa, bahkan juga agama, tak akan tumbuh kuat tanpa dukungan demografis dan politik
yang kuat. Begitu pun nasib bahasa Belanda di Indonesia dan Eropa kalah bersaing dengan
bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.
Di samping faktor demografis, kekuatan iptek dan ekonomi sebuah negara akan menjadi pilar
penyangga eksistensi dan penyebaran bahasanya. Di Jepang meski negaranya kecil, banyak
orang asing tertarik belajar bahasanya karena faktor kemajuan iptek dan ekonominya. Yang
paling fenomenal adalah penyebaran bahasa Mandarin. Di samping kekuatan ekonomi,
adalah faktor diaspora orang China ke berbagai negara dunia. Indonesia dengan kekayaan
alam, budaya, dan jumlah penduduk serta pengalaman melakukan eksperimentasi demokrasi
sangat potensial membuat bangsa dan negara asing untuk belajar bahasa Indonesia.
Dibanding dengan masa pendudukan Belanda, pendudukan Jepang tentu sangat
pendek. Namun dominasi automotif dalam pasar Indonesia justru semakin kuat dan
menggurita. Ditambah lagi pendatang baru Korea.
Kalau saja desain Belanda dalam membangun kereta api dilestarikan dan dikembangkan ke
seluruh Nusantara, wajah Indonesia akan lain. Subsidi bahan bakar untuk kendaraan
automotif tidak akan membengkak seperti sekarang. Dananya bisa dialihkan untuk
pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi. Tapi apa mau dikata. Tampaknya sejarah
bangsa ini merupakan potongan-potongan fragmen peristiwa yang diwarnai like or dislike
atau suka tidak suka serta balas dendam akibat perebutan kekuasaan warisan Ken Arok
dengan Keris Empu Gandring untuk saling menikam. Semua yang lama dibuang, padahal
yang baru belum tentu lebih baik.
Sebuah negara yang terdiri atas gugusan kepulauan dan potongan-potongan memori dan
agenda pembangunan yang tidak dirajut dengan solid, kokoh, rapi, dan indah. Mau sampai
kapan kondisi bangsa ini dalam kondisi rapuh dan sakit meskipun wajah luar terlihat sehat
dengan seremoni senyum ramai-ramai?
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
6
Akar Radikalisme
Koran SINDO
25 April 2015
Pekan lalu, sebagai anggota pengurus Yayasan Wahid Institute (WI), saya hadir di kantor
institut yang bergerak di bidang penguatan kebangsaan melalui toleransi dan kedamaian
antaragama itu.
Di kantor yang terletak di kawasan Taman Amir Hamzah itu kami berdiskusi tentang banyak
hal, dipimpin oleh direktur eksekutifnya, Yenny Wahid. Kami senang karena dalam
keserbaterbatasannya, yayasan yang ingin melanjutkan ide-ide perjuangan Gus Dur dalam
merawat NKRI itu masih bisa terus berkiprah, bahkan mampu membentuk jejaring kerja
sama dengan berbagai negara lain. Tagline The Wahid Intitute sebagai pernyataan kebulatan
ide dan perjuangan Gus Dur adalah Seeding Plural and Peaceful Islam.
Di antara hal-hal yang didiskusikan saat itu adalah fakta lapangan yang berhasil digali dan
dianalisis WI tentang radikalisme dan terorisme. Ada temuan, bibit radikalisme dan terorisme
sangat potensial tumbuh dan berkembang di lingkungan yang intoleran terhadap perbedaan,
terutama dalam urusan agama dan keyakinan.
Secara sekilas temuan ini terasa biasa, tetapi sesungguhnya ia teramat penting sebagai bahan
untuk menangani radikalisme dan terorisme yang selama ini sering menghantui kita. Soalnya,
selama ini kita lebih meributkan radikalisme dan terorisme sebagai fakta yang harus
diperangi secara represif tanpa secara serius memotong akarnya, yakni intoleransi terhadap
perbedaan.
Padahal kalau akan serius menangkal dan memerangi radikalisme dan atau terorisme, kita
harus menggunting akar-akarnya dan sikap intoleran terhadap perbedaan ini merupakan salah
satu akar tunjang yang harus dibereskan di negara kita. Tak akan banyak gunanya perang
langsung atau represi terhadap radikalisme dan terorisme kalau tidak disertai, bahkan
didahului, penyelesaian terhadap tumbuhnya sikap intoleransi terhadap perbedaan, terutama
perbedaan atas keyakinan.
Sesungguhnya pula bibit-bibit radikalisme dan terorisme itu ada pada setiap agama, bukan
hanya pada agama tertentu. Ekspresinya memang bergantung pada lingkungan sosial dan
politik, misalnya seberapa besar pengikut (mayoritas dan minoritas) di setiap negara.
Upaya memberi pengertian kepada umat dari sudut Islam bahwa perbedaan adalah fitrah
(melekat pada manusia dan masyarakatnya serta tak bisa dihindari) telah dilakukan secara
mati-matian oleh Gus Dur yang kini dilanjutkan, antara lain, oleh WI. Kami selalu
7
menjelaskan bahwa menurut kitab suci Alquran sebagaimana tercantum di dalam Surat Al-
Maidah ayat 48, perbedaan itu sengaja diciptakan oleh Allah. Oleh sebab itu tak boleh ada
kekerasan karena perbedaan, apalagi mengatasnamakan perintah Tuhan atau membela
agama.
Kalau Allah menghendaki manusia di dunia hanya sejenis, misalnya hanya mau satu ras dan
satu agama, Allah pasti bisa melakukannya. Kalau tidak bisa melakukan itu berarti Dia bukan
Tuhan. Yang beriman kepada Allah dan kemahakuasaannya harus yakin pula bahwa
perbedaan itu diciptakan oleh Allah sendiri. Untuk apa? Untuk ujian bagi yang
memperjuangkan kebenaran dan agar manusia bisa berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.
Pemuka agama apa pun perlu menyampaikan hal yang sama kepada umat masing-masing.
Lisa Wahid, putri sulung Gus Dur, yang juga hadir pada pertemuan itu memberi pandangan
yang menarik. Katanya, di lapangan ada problem pendekatan dalam mengatasi tindak
kekerasan sehingga tampak ambigu dan mengawang.
Secara hukum dan konstitusi ada dua hal yang sekilas tampak berbeda dalam menyikapi
intoleransi dengan tindak kekerasan. Pada satu sisi ada ketentuan tentang hak asasi manusia
yang menurut konstitusi melekat pada setiap orang dan harus dilindungi oleh negara,
termasuk hak untuk beragama dan berkeyakinan. Pada sisi lain aparat penegak hukum seperti
Polri diarahkan oleh konstitusi kita untuk menjaga ketertiban, mengayomi masyarakat, dan
menyelesaikan masalah secara damai dan harmonis.
Di lapangan, kecuali dalam dugaan dan pendugaan terorisme, dalam menghadapi kasus
konkret tindakan intoleran dan tindak kekerasan kerap kali aparat penegak hukum lebih
memilih menyelesaikan secara kompromi, tidak melakukan tindakan tegas, bahkan terasa
sering mengalah, terhadap pelaku kekerasan; misalnya membubarkan forum dialog atau ritual
yang seharusnya dilindungi. Kepentingan untuk menjaga ketertiban ”bersama” dan tidak
melanjutkan keributan kerap kali didahulukan dari perintah konstitusi untuk melindungi hak
asasi ”orang” dalam berkeyakinan dan berdiskusi untuk bertukar pikiran. Kata Lisa, dilema
dan ambiguitas pendekatan seperti itu harus dikaji secara cermat untuk menemukan format
yang tepat agar perintah konstitusi terpenuhi.
Yang juga mempermudah provokasi bagi radikalisme dan terorisme adalah kemiskinan dan
ketidakadilan. Saya pernah mendapat beberapa SMS aneh dari nomor yang tak saya kenal
pemiliknya dan mungkin dia hanya iseng. Pengirim SMS meminta dicarikan channel ke
pimpinan ISIS karena dia akan mendaftar masuk ISIS. Alasannya, kata dia, kalau masuk ISIS
bisa mendapat 20 juta rupiah sebulan, sedangkan di Indonesia hidupnya sangat susah karena
miskin.
Terlepas dari kemungkinan dikirim karena iseng, SMS itu mengonfirmasi bahwa ”hidup fakir
dan miskin bisa mendorong orang melakukan kejahatan, termasuk terorisme”. Kata Nabi
Muhammad, ”Kaada al faqru an yakuuna kufran,”kemiskinan (kefakiran) itu mendorong
8
orang menjadi kafir (melanggar, bertindak nekat). Begitu pun ketidakadilan sering kali
dijadikan umpan oleh para radikalis untuk mengajak orang melakukan tindak kekerasan.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
9
Perempuan Menghadapi Tantangan Zaman
Koran SINDO
25 April 2015
Peringatan Hari Kartini sebagai pahlawan nasional bertepatan dengan hari dan tanggal
kelahiran RA Kartini, yaitu setiap tanggal 21 April setiap tahunnya. Peringatan Hari Kartini
tersebut kemudian diperingati secara nasional oleh segenap bangsa ini.
Kartini adalah lambang perjuangan kaum perempuan Indonesia untuk memajukan diri.
Penetapan nama RA Kartini sebagai pahlawan nasional akhir-akhir ini banyak menuai
kritikan dari kalangan ahli sejarah. Umumnya mereka menggugat kenapa Kartini, sementara
banyak tokoh perempuan lain. Namun penulis tidak dalam kapasitas mempersoalkan
penokohan Kartini, biarlah ahli sejarah yang meluruskannya.
Bagi penulis, penetapan nama RA Kartini sesungguhnya adalah suatu bentuk penghormatan
atau sebagai simbol dari bentuk pengakuan anak bangsa ini terhadap jasa-jasa kaum
perempuan yang telah berjuang dalam mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia.
Penghormatan itu tentu tidak berhenti pada Kartini, tapi semua perempuan Indonesia yang
memperjuangkan hak kaumnya untuk maju.
Ada beberapa tokoh pejuang perempuan lain yang tentu harus kita kenang dan ikuti
perjuangannya, di antaranya Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Siti Manggopoh, Rasuna Said,
Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyah, Martha Christina Tiahahu, Maria Walanda Maramis,
Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Nyi Ahmad Dahlan, dan masih banyak pejuang perempuan
tanah air yang tak mungkin disebutkan namanya satu persatu.
Perempuan Berdiri Sejajar
Kiranya sudah tak pantas adanya kata marginalisasi buat kaum perempuan dewasa ini.
Kenapa? Menurut hemat penulis sejauh ini perempuan Indonesia telah bergerak dan
berkiprah dalam segala bidang kehidupan dan berdiri sejajar dengan kaum pria. Sumbangsih
mereka dalam memajukan bangsa Indonesia sangat penting.
Lihat saja di bidang politik Indonesia sudah punya presiden perempuan, yaitu Megawati
Soekarno Putri. Menteri-menteri perempuan pun sangat banyak dan tidak hanya mengurusi
urusan perempuan. Kita juga punya puluhan kepala daerah perempuan. Bahkan Walikota
Surabaya Tri Rismaharini masuk Wali Kota kelas dunia.
Di tingkat dunia kita juga kenal seorang perempuan bernama Sri Mulyani Indrawati, seorang
mantan menteri kita yang menjadi pimpinan Bank Dunia. Bidang pertahanan keamanan
10
banyak bermunculan nama-nama perempuan, bahkan sudah beberapa orang telah
menyandang pangkat Jendral berbintang. Bidang yang sangat langka di masa lalu, kini
Kartini-Kartini kita sudah banyak menjadi serdadu, bahkan berpangkat jenderal.
Dalam bidang pendidikan sudah banyak perempuan Indonesia yang bergelar profesor dan
doktor di segala bidang. Bahkan tak sedikit yang menjadi rektor dan pembantu rektor dan
tidak sedikit pula yang menjabat sebagai dekan dan pembantu dekan. Pada bidang kesehatan
sudah banyak yang bergelar, profesor, doktor dan para tenaga-tenaga dan spesialis di bidang
kesehatan. Entrepreneur perempuan pun terus lahir dan membuktikan diri bahwa jenis
kelamin tak mempengaruhi kesuksesan mereka. Masih banyak contoh-contoh di berbagai
sector lain.
Kartini dan Tantangan Globalisasi
Pada era globalisasi di mana dunia semakin kecil yang dikenal dengan era kesejagatan, sekat-
sekat negara sudah mulai hilang. Ideologi dan budaya negara asing akan masuk ke Indonesia
tanpa bisa dibendung. Bagaimanakah peran perempuan dan bagaimana pula perempuan
menghadapi tantangan yang datang bersama perubahan zaman ini?
Era ini ditandai dengan semakin majunya bidang teknologi. Kita jadi mengenal era digital
dan era internet yang membuat semua hal mudah diakses. Hal ini sangat menguntungkan
dalam segala bidang, termasuk komunikasi bidang pendidikan, perdagangan, perekonomian
politik, dan sebagainya, tetapi di samping dampak positif tentu juga ada dampak negatifnya
(Alwi Shihab, Islam Inklusif, 1997).
Kartini Indonesia harus mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Para Kartini-Kartini
terutama yang berusia muda harus bisa meningkatkan ilmu pengetahuan menjadi sarjana-
sarjana yang hebat yang bisa diperhitungkan dunia. Kartini kita harus mampu bersaing dan
mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, minimal menjadi pengguna teknologi
yang baik dan memanfaatkan teknologi itu dengan baik untuk diri sendiri, keluarga, jangan
sampai menjadi korban kemajuan teknologi. Kesempatan terbuka lebar untuk perempuan
berkiprah dalam segala bidang kehidupan, kini tinggal pada kemampuan dan kemauan kaum
perempuan saja.
Kaum perempuan Indonesia harus eksis dan bisa bersaing dengan penduduk dunia lainnya,
namun ia harus berkarakter sebagai orang Indonesia yang dikenal agamais, ramah, santun,
berjiwa sosial serta saling menghargai. Untuk itu diperlukan Kartini yang kuat di ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kuat iman dan takwanya (imtak). Imtak yang kuat
akan mampu menjadi benteng dalam kehidupannya dan tak jarang kita temui perempuan
yang menjadi penopang kehidupan keluarga sekaligus menjadi kepala keluarga pencari rezeki
akibat perceraian hidup atau perceraian mati.
Tak jarang kita jumpai ibu-ibu yang hidup sendirian/janda, bisa hidup dengan layak dan
berhasil mendidik dan mengantarkan anak-anak mereka pada tingkat pendidikan yang tinggi
11
bahkan sampai memperoleh kesarjanaan dan mampu mendapatkan pekerjaan yang layak,
bahkan menciptakan lapangan pekerjaan yang baru semuanya tak lepas dari bimbingan dan
perjuangan serta kerja keras sang ibu (Kartini pejuang).
Mari kita berdayakan kaum perempuan agar mampu mengatasi persoalan hidupnya sebagai
guru pertama dari semua anak Indonesia. Selamat Hari Kartini. Jadilah Kartini-Kartini yang
kuat, tangguh, mandiri serta menjaga harga diri. Jayalah Indonesiaku.
NURAINI AHMAD
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah
12
Pemikir dan Penulis yang Soekarnois
Koran SINDO
25 April 2015
Sekitar 30.000 kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia melakukan doa bersama untuk
keselamatan bangsa bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Masjid Al Akbar, Surabaya,
Jumat malam, 17 April 2015.
Doa bersama Presiden Jokowi ini merupakan puncak rangkaian Harlah PMII ke-55.
Peringatan harlah ke-55 yang bertajuk ”Pembela Bangsa Penegak Agama” memberikan pesan
bahwa PMII adalah organisasi kemahasiswaan yang akan menjadi benteng Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) dan menyebarkan nilai Islam rahmatan lil alamin.
PMII adalah salah satu karya dan peninggalan Pak Mahbub Djunaedi yang berprofesi sebagai
jurnalis, esais, sastrawan, penerjemah dan politikus tersohor. Mahbub merupakan salah satu
aktivis yang membidani kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekaligus
ketua umum pertamanya, juga sempat menjabat di GP Ansor dan PBNU.
55 tahun lalu, Pak Mahbub bersama 13 mahasiswa NU membidani berdirinya PMII. Mereka
adalah Sahabat Cholid Mawardi, Sahabat Said Budairy (Jakarta), Sahabat M. Makmun Syukri
BA (Bandung), Sahabat Hilman (Bandung), Sahabat H. Ismail Makky (Yogyakarta), Sahabat
Munsif Nahrawi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidy HA (Surakarta), Sahabat Laily Mansur
(Surakarta), Sahabat Abd. Wahab Jailani (Semarang), Sahabat Hisbullah Huda (Surabaya),
Sahabat M. Cholid Narbuko (Malang), dan Sahabat Ahsan Husain (Makasar).
Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ baru di Yayasan Khadijah
Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi
nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tidak berselang lama, tahun 1961
PMII melaksanakan Kongres I di Tawangmangu, Solo yang menghasilkan Deklarasi
Tawangmangu. Dari sini dimulailah kiprah PMII dalam percaturan nasional.
Tahun 1963 Kongres II PMII digelar di Yogyakarta. Kongres ini menegaskan kembali esensi
Deklarasi Tawangmangu yang dikenal dengan Penegasan Yogyakarta. Tahun 1965 PMII
mengadakan TC II di Megamendung, Bogor, untuk menyikapi problem kehidupan
masyarakat dan negara.
Sebagai kader PMII, penulis lebih sering merenungkan tentang tulisan Pak Mahbub. Itu
karena nama besar Pak Mahbub melebihi nama besar PMII. Orang lebih tahu Pak Mahbub
sebagai penulis dan jurnalis ketimbang pendiri PMII. Pak Mahbub pernah menduduki kursi
Ketua Umum PWI Pusat (1955-1970), di bidang jurnalistik ini beliau meraih popularitasnya
13
sebagai penulis esai kelas wahid di Indonesia.
Pak Mahbub pernah menjadi kolumnis tetap di Tempo dan Kompas. Ciri khas tulisannya
adalah humor, kreativitas berbahasa, serta mampu menyajikan persoalan dengan sederhana.
Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul Dari Hari ke Hari. Pada tahun 1974
roman ini mandapatkan penghargaan sebagai roman terbaik dari DewanKesenian Jakarta
beserta Angin Musim.
KH Hasyim Muzadi adalah salah satu tokoh yang mengenal dekat Pak Mahbub. Ia juga
mengikutinya masuk pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi mahasiswa
yang berafiliasi dengan NU yang kemudian membesarkan namanya Kiai Hasyim masuk
menjadi kader PMII dengan mula-mula mengikuti pendidikan dan pelatihan yang digelar
Pengurus Besar PMII di Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, tahun 1964.
Kegiatan itu diikuti mahasiswa terbaik dan terpilih dari seluruh penjuru Tanah Air. Kiai
Hasyim dan beberapa teman mewakili PMII kota Malang. Saat kegiatan itulah, Kiai Hasyim
mulai mengenal lebih dekat pendiri PMII, yaitu Mahbub Junaidi dan kawan-kawannya. Ia
bahkan juga memahami dan mendalami pemikiran serta gerakan Pak Mahbub sebagai pendiri
dan aktivis PMII. Pak Mahbub, katanya, menggabungkan pemikiran kelompok nasionalis dan
keislaman.
Kiai Hasyim bercerita, Pak Mahbub itu seorang soekarnois. Pemikirannya menggabungkan
pemikiran nasionalis dan keislaman. Itu pula yang menjadi dasar gerakan PMII.
Pada masa awal berdirinya, PMII berkembang pesat. Sebab, Himpuan Mahasiswa Islam
(HMI) yang lebih awal berdiri dianggap banyak kalangan terlalu radikal, sehingga para
mahasiswa NU, enggan masuk HMI. Maka lahirlah PMII yang dibawa Mahbub dengan
konsep baru. PMII bisa mewadahi kelompok mahasiswa yang tak mau bergabung dengan
HMI. Karena itulah perkembangan PMII sangat cepat. Jumlah massa PMII di banyak kampus
bahkan hampir sama dengan HMI.
Di antara tugas kader PMII ke depan adalah melestarikan dan menjaga pemikiran dan karya-
karya Pak Mahbub. Pertama, sebagai penulis Pak Mahbub adalah pemikir yang moderat.
Islam yang ramah bukan marah. Maka tak salah jika Jokowi menyorot soal ISIS saat hadir
pada perayaan Harlah ke-55. Kedua, Pak Mahbub sebagai politisi. NU tak perlu khawatir
bahwa PMII masih terus melahirkan banyak politisi ulung dan tersohor. Sebut saja, nama
Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Imam Nahrowi, Hanif Dakhiri, Nusron
Wahid, Marwan Jafar, Lukman Hakim Saifuddin, mereka semua adalah kader terbaik PMII
di eranya yang kini jadi penerus Pak Mahbub sebagai politisi. Bahkan sebagian dari mereka
menjadi menteri.
Ketiga, Pak Mahbub sebagai penulis dan jurnalis. Kini lumayan banyak kader PMII yang
terjun ke dunia jurnalistik dan tulis-menulis. Karena itu, karya tulis perlu menjadi bagian dari
pengaderan PMII. Dengan demikian, ke depan semua mahasiswa yang mengaku sebagai
14
kader PMII dan Pak Mahbub adalah penulis.
Satu hal yang belum bisa dilampaui kader PMII bahwa tulisan Pak Mahbub bisa jadi menjadi
”bacaan wajib” tiap pagi. Tak hanya itu, pak Mahbub diundang ke Istana untuk berdiskusi
lebih dalam tentang isi tulisan Pak Mahbub. Teman-teman Pak Mahbub sangat mengenang
beliau yang selalu bilang ”saya ingin menulis hingga tak lagi mampu menulis,” katanya.
AHMAD MILLAH HASAN
Tenaga Ahli Menteri Sosial Bidang Komunikasi dan Media; Kader PMII
15
Celana
Koran SINDO
26 April 2015
Antara 1973-1975, Provinsi Papua (ketika itu namanya masih Irian Jaya) pernah dipimpin
seorang gubernur bernama Acub Zainal (1927-2009).
Gubernur yang brigjen TNI dan sebelumnya menjabat sebagai pangdam XVII/Cenderawasih
(1970-1973) ini adalah seorang kepala daerah yang luar biasa. Dalam era kepemimpinannya,
baik sebagai pangdam maupun sebagai gubernur, Acub Zainal telah membangun provinsi ini
secara besar-besaran, termasuk membangun perumahan dan perkantoran untuk pemda dan
militer, pertukaran misi olahraga dan kebudayaan dengan PNG (Papua Nugini) yang waktu
itu baru saja merdeka, memugar Stadion Mandala, dan membangun tim sepak bola, si
“Mutiara Hitam” Persipura yang selalu masuk delapan besar kejuaraan nasional PSSI dan
akhirnya menjadi juara PSSI tahun 1975/1976. Bukan itu saja, Persipura bahkan pernah
mewakili PSSI dalam sebuah turnamen di Saigon dan berhasil masuk final, walaupun
akhirnya kalah tipis 2-1 dari Vietnam.
Namun, saya di sini bukan mau bicara tentang Acub Zainal, melainkan tentang kampanye
anti-koteka yang dijalankan sejak Gubernur Frans Kasiepo (pendahulu Gubernur Acub
Zainal) di Papua. Pada masa itu, koteka yang dianggap ”kurang berbudaya” dialihkan ke
celana. Maka pada tahun 1971, di saat Acub Zainal menjabat pangdam XVII/Cenderawasih,
digelarlah ”Operasi Koteka” yang memaksa kaum laki-laki mengganti koteka mereka dengan
celana.
Sepintas tidak ada yang salah dengan gagasan celanasisasi itu. Di luar Papua, semua orang
pakai celana. Baik laki-laki maupun perempuan. Baik celana luar maupun celana dalam.
Kalau orang tidak bercelana, malah disangka gelandangan schizophrenia. Apalagi, celana itu
dibagi cuma-cuma oleh pemerintah. Jadi sudah pas lah proyek celanasisasi ketika itu.
Buktinya, sekarang celana sudah biasa buat orang Papua. Laksamana Numberi dan Menteri
Yohana Yembise adalah putera-puteri Papua yang bercelana. Tidak ada masalah.
Tetapi pada waktu Operasi Koteka digelar, banyak laki-laki kena penyakit kulit, karena
dipaksa mengenakan celana. Pasalnya, orang Papua tidak terbiasa dengan air (kecuali untuk
minum). Mereka bukan etnis yang berbudaya air. Memasak pun mereka menggunakan teknik
bakar batu (tidak ada teknik rebus, atau kukus seperti di Jawa).
Maka mereka tidak mencuci celana mereka. Akibatnya sakit kulitlah mereka. Sementara
dengan koteka, mereka tidak memerlukan air. Untuk menghindari gigitan serangga atau
nyamuk malaria, mereka cukup melumuri diri dengan lumpur dan mereka tetap sehat
16
walafiat.
Lebih celaka lagi, ketika anak-anak Papua diwajibkan sekolah, mereka pun wajib
mengenakan seragam sekolah, kemeja putih dan celana merah. Akibatnya anak-anak Papua
tetap tidak bisa bersekolah karena tidak serta-merta bisa berubah dari koteka (atau belum
berkoteka) ke celana.
Sekarang ini negara perlu mengimpor beras. Pemerintah berupaya keras untuk mengatasi
kekurangan stok beras dengan meningkatkan produktivitas petani, tetapi sulit sekali. Padahal,
orang Papua dan Ambon aslinya makan pepeda yang terbuat dari sagu, orang Madura dan
NTT makan jagung, dan orang Gunung Kidul, DIY, makan singkong sebagai makanan utama
mereka.
Sejak era Soeharto, semua diarahkan untuk makan nasi. Nasi dianggap lebih berbudaya
sebagai makanan pokok dari pada non-nasi. Bahkan, banyak orang Indonesia yang merasa
masih belum makan kalau perutnya belum kemasukan nasi (walaupun sudah makan french
fries, atau hamburger).
Ketika orang-orang di Gunung Kidul kembali ke singkong (nama lokalnya ”tiwul”) untuk
mengganti beras yang langka atau mahal, media massa langsung menuding bahwa
pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat, dan BEM pun mengerahkan massa
mahasiswa untuk berdemo sambil membawa slogan-slogan turunkan presiden!
Padahal tiwul sudah jadi makanan orang Gunung Kidul sejak mereka belum mengenal nasi.
Bahkan, sekarang ini banyak ragam makanan dan camilan berbahan dasar singkong yang
dikemas secara modern, diiklankan di TV, dan dijual di supermarket dengan harga mahal,
dan tidak ada yang protes.
Bayangkan kalau masyarakat sudah makan keong! Mahasiswa akan mengerahkan massa
lebih banyak lagi ke Istana Presiden. Padahal, keong itu di restoran-restoran Prancis namanya
escargot dan harganya seporsi (isi beberapa ekor keong) hampir sama dengan steak daging
sapi.
Saya hanya kegelian, jika saya diundang orang Prancis, di restoran Prancis, dan melihat si
Prancis mencutik-cutik daging escargot dari cangkangnya dan kemudian menyeruputnya
dengan nikmat. Lebih baik saya fokus ke lobster pesanan saya yang harganya bisa untuk
membayar uang kos mahasiswa di Jakarta selama satu bulan.
Jadi yang ingin saya katakan adalah bahwa pakaian, makanan, dan apa pun yang dilakukan
atau diyakini orang adalah bagian dari budaya. Tidak bisa dilepaskan perilaku dari budaya.
Jadi, penyeragaman perilaku adalah sesuatu yang non-budaya. Keseragaman dan
penyeragaman di lingkungan militer, misalnya, ditekankan dan dipaksakan dalam waktu
tertentu melalui sekolah atau akademi militer. Keluar dari pendidikan militer, perilaku
menjadi seragam, ”Siap! Hormat, grak! Laksanakan!”, tetapi begitu dia menengok orang tua
17
di kampung, dia kembali mencium tangan orang tuanya, lupa pada ”Siap, hormat grak!”. Si
tentara kembali kepada budaya aslinya.
Pembangunan Indonesia banyak sekali melupakan pembangunan budaya. Program
transmigrasi sangat berjaya di era Soeharto. Banyak penduduk asal Pulau Jawa, Bali, atau
Madura menjadi transmigran sukses di tempatnya yang baru di pulau-pulau lain. Tetapi tidak
dipikirkan bagaimana akulturasi budaya antaretnik yang saling berinteraksi itu, sehingga
pasca-Soeharto, banyak sekali terjadi kerusuhan atau konflik antar etnik.
Budaya itu bukan sekadar memakai celana atau makan nasi, tetapi menyangkut cara berpikir,
sikap dan kebiasaan-kebiasaan terkait memakai celana atau makan nasi tersebut yang dalam
ilmu tentang budaya (antropologi) disebut artifak.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
18
Pesta Bikini: Meniru Nenek-Nenek?
Koran SINDO
27 April 2015
Ujian nasional merupakan ritual tahunan yang menegangkan dalam sistem pendidikan yang
kita jalani. Ujian tersebut seolah menjadi peristiwa penentu perjalanan hidup dan kehidupan
seorang siswa.
Berbagai cara dilakukan oleh siswa, guru dan orangtua untuk dapat melewati peristiwa sakral
dan menegangkan tersebut. Sebut saja bimbel, mencari bocoran soal, sampai hal-hal yang
berbau mistis seperti mencari wangsit ke kuburan dan menggandeng dukun, dari mulai dukun
tradisional yang menggunakan mantra dan sesajen sampai dukun lulusan luar negeri yang
menggunakan metodologi berpikir rasional berbasis teknologi informasi.
Kekalutan orang terhadap ujian nasional dimanfaatkan oleh para pihak yang melihat itu
sebagai sisi keuntungan, maka terjadilah kebocoran soal yang mengguncang jagat pendidikan
Indonesia dan dianggap aib yang menampar dunia pendidikan kita. Padahal masalah
kebocoran adalah hal yang ”biasa” dalam siklus perjalanan pembangunan
Indonesia. Kontraktor bikin bangunan rata-rata atapnya bocor, bikin toilet di lantai dua juga
sering bocor, pipa PDAM tidak jarang mengalami kebocoran, jaringan listrik juga sering
bocor di perjalanan.
Kebocoran bukan hanya melanda hal-hal yang biasa, tetapi juga melanda wilayah-wilayah
yang dianggap paling sakral dan dijaga oleh ratusan pasukan. Berapa kali kita mendengar
pembicaraan presiden yang dianggap rahasia sekalipun sering bocor terdengar ke luar,
bahkan sampai ke negeri Australia dan Amerika Serikat. KPK, lembaga anti-rasuah yang
paling ditakuti di negeri ini, surat penetapan status tersangkanya pada seseorang pernah bocor
sebelum diumumkan. Jadi kenapa kita harus panik terhadap soal ujian nasional yang bocor
kalau kebocoran di negeri ini sudah dianggap hal yang wajar?
***
Perjalanan pendidikan yang melelahkan dan berpuncak pada ujian nasional telah melahirkan
peserta didik yang depresi. Bukan hanya peserta didiknya, bahkan pendidiknya pun banyak
yang mengalami depresi disebabkan oleh kebingungan mereka dalam mengartikulasikan
seluruh ide dan gagasan tentang hakikat pendidikan yang sering kali berbenturan dengan
doktrin administratif pendidikan yang berbasis kurikulum bongkar muat.
Ciri-ciri peserta didik yang depresi itu sangat mudah diidentifikasi, ketika ada pengumuman
bahwa mereka bebas untuk tidak masuk sekolah (libur), maka tepuk tangan mereka
19
menggema di ruang kelas disertai dengan senyum bahagia para gurunya. Jadi secara umum
kalau murid ditanya pelajaran apa yang disukai di sekolah, sebenarnya bukan pelajaran
matematika, fisika, kimia, atau biologi yang mereka sukai, tetapi pelajaran bebaslah yang
menjadi pelajaran favorit. Hal tersebut menunjukkan betapa sistem pelajaran di sekolah telah
menjadi monster yang menakutkan dan mencekam.
Tumpah ruah kebahagiaan atas selesainya seluruh jenjang pendidikan yang dijalani oleh
siswa, banyak diekspresikan dalam berbagai tingkah polah yang sering kali bertentangan
dengan spirit pendidikan itu sendiri. Ekspresi itu banyak diwujudkan dengan ritual berkonvoi
di jalanan, coret-coret baju seragam, sampai pesta minuman keras, bahkan kita mendengar
saat ini tidak sedikit anak sekolah yang melakukan pesta seks. Sebuah ironi dari spirit
kemuliaan pendidikan yang mengajarkan nilai luhur tentang makna keutuhan manusia.
Pada akhirnya, kekerasan doktrin pendidikan berbanding terbalik dengan realitas produk
pendidikan yang telah kehilangan substansi dan terperosok ke dalam lubang seremoni
pendidikan atas nama kualitas dan atas nama kompetensi seseorang. Seluruh kompetensi
yang menjadi kebanggaan dan alat ukur pendidikan kita, kini terperosok ke dalam pendidikan
yang terkerangkeng dan sibuk memuja metodologi serta melupakan substansi dari arah dan
tujuan pendidikan itu sendiri.
***
Pertanyaan unik dapat kita ajukan dalam tesis yang sangat sederhana, betulkah pendidikan
formal yang berpuncak pada ujian nasional adalah jaminan mutu bagi masa depan seseorang?
Tapi mengapa para pengusaha sukses banyak lahir tanpa latar belakang pendidikan
profesinya, para penemu banyak lahir dari orang-orang yang tidak sepenuhnya mengikuti
pendidikan formal?
Tukang kuli bangunan mampu mewujudkan sisi pembangunan yang indah tanpa pendidikan
sekolah bangunan, tetapi justru kebudayaan mereka dalam memahami bangunan porak-
poranda oleh orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi berdasarkan karakter yang
lebih menekankan pada titik keuntungan dibanding watak peradaban.
Istana Negara dan Istana Cipanas sebagai simbol kebanggaan masyarakat Indonesia justru
dibangun melalui kerja rodi. Gedung Sate yang tinggi megah sebagai ikonnya masyarakat
Jawa Barat juga dibangun dengan kerja rodi. Jalan Anyer-Panarukan, jalur kereta api dari
Jakarta hingga Surabaya, juga dibangun oleh kekuatan pekerja yang tak bersekolah.
Yang lebih unik lagi, karya-karya musik dan lagu yang berkualitas banyak diciptakan dan
dinyanyikan oleh orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan musik secara formal, tetapi
mengutamakan imajinasi dan rasa serta pengalaman hidup yang membuat mereka unggul
dalam kreativitas. Silakan ditanyakan kepada Bang Haji Rhoma Irama si Raja Dangdut, Iwan
Fals, Ebiet G Ade, Slank, dan Melly Goeslaw, mereka sekolah musik di mana? Jawabannya
”tanyakan kepada rumput yang bergoyang,” begitulah kata Ebiet G Ade, ”Terlalu,” kata Bang
20
Haji Rhoma Irama, “Bongkar,” itulah kata Iwan Fals, “Ada Apa dengan Cinta,” begitulah
Melly Goeslaw mengatakan.
Ketika hari menjelang senja, Ma Icih berkata dengan nada penuh makna kepada Mang Udin
suami tercintanya, ”Udin, saya tidak mengerti, katanya pendidikan dasar 9 tahun tapi kenapa
pemerintah melaksanakan ujian di kelas 6...? Terus sekarang pendidikan yang baik 12 tahun,
kenapa harus ada ujian nasional di kelas 9...? Selanjutnya dari kelas 6 ke kelas 7 mah bukan
lulus, tapi naik... dari kelas 9 ke kelas 10 juga sama, bukan kelulusan tapi kenaikan.”
Mang Udin menimpali sambil tersenyum, ”Iya Icih, saya juga tidak mengerti, buat apa
sampai bimbel segala ya? Kalau bimbel dianggap efektif dan merupakan cara mudah untuk
lulus ujian, sebaiknya sekolah dihapus saja diganti dengan bimbel, terus ujian. Kan jadi
murah biaya pendidikan Indonesia.”
Ma Icih kembali menimpali, ”Betul, Din. Kelihatannya cucu-cucu kita sekarang banyak
mengalami stres, karena terlalu seriusnya belajar di sekolah. Bajunya serius, bukunya serius.
Bahkan saking seriusnya itu buku, sebelum masuk ke sekolah tidak pernah dibaca dulu oleh
pejabat yang menangani bukunya, sehingga gambar porno, ajaran agama abal-abal bisa
masuk ke buku. Kalau buku yang menentukan arah pembelajaran di kelas, nanti mah sekolah
guru harus dihapus karena tidak bermanfaat lagi ketika mengajar. Guru tidak lagi
menyampaikan pemahaman pengetahuan yang dia miliki hasil dari kuliahnya, mereka hanya
sekedar menyampaikan isi buku kepada murid-muridnya. Jadi guru sudah tidak lagi mewakili
pengetahuan yang dimilikinya, tetapi dia lebih mewakili pesan percetakan yang dititipkan
kepadanya.”
Ma Icih menambahkan, ”Nini (Nenek) sekarang itu lagi ada kebahagiaan, ternyata anak-anak
sekolah di Jakarta kayanya sudah bosan dan pusing dengan berbagai teori yang membuat
mereka menjadi semakin asing dengan dirinya, bahkan mereka sudah bosan dengan
peradaban pakaian perkotaan yang membuat mereka menjadi tersiksa. Mereka ingin hidup
sederhana seperti Nini, pake baju cukup kutang wungkul sehingga diadakan pesta sebagai
wujud kebahagiaan tamatnya mereka sekolah. Padahal kalau uang untuk biaya sekolah
mereka itu diberikan kepada Nini, Nini bisa beli kutang baru karena kutang lama kancingnya
sudah copot sebelah,” ujar Ma Icih menutup pembicaraan.
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
21
SK Menpora Menggantung Bola
Koran SINDO
27 April 2015
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) akhirnya membekukan kepengurusan PSSI hasil
Kongres Luar Biasa melalui Surat Keputusan Nomor 01307 Tahun 2015 tertanggal 17 April
2015.
Cukup banyak pihak menilai bahwa surat Menpora tersebut sejatinya salah alamat karena
seharusnya ditujukan kepada PT Liga Indonesia, bukan kepada PSSI. Surat itu berisi
pembekuan PSSI karena tidak menanggapi surat teguran pertama (8 April) dan tidak
memberikan jawaban yang relevan dengan isi surat teguran kedua (15 April). PSSI juga tidak
menjawab surat peringatan ketiga (16 April) sampai tenggat 24 jam berakhir.
Semua surat teguran tersebut berkaitan dengan kisruh kompetisi Liga Super Indonesia (LSI).
PSSI dan PT Liga Indonesia dinilai mengabaikan rekomendasi Badan Olahraga Profesional
Indonesia yang mencoret Arema Cronus dan Persebaya Surabaya dari daftar peserta
kompetisi LSI 2015 karena adanya klaim kepemilikan ganda. Namun ternyata kedua klub
tetap melaksanakan dua pertandingan di kandang masing-masing.
Secara yuridis dan organisatoris, kewenangan menanggapi rekomendasi pencoretan Arema
dan Persebaya dari BOPI ada pada PT Liga Indonesia selaku operator Liga Super Indonesia
alias QNB League. Seharusnya Kementerian Pemuda dan Olahraga melalui BOPI
memberikan kesempatan lagi bagi Arema dan Persebaya yang hanya tinggal menuntaskan
urusan administrasi mengenai proses rekonsiliasi kepengurusan di klub masing-masing.
***
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
disebutkan, ormas hanya bisa dibubarkan bila melanggar ideologi negara dan melakukan
tindakan makar. Sebagai ormas, PSSI hanya bisa dibubarkan oleh pengurusnya menurut
ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PSSI. Dalam sepak bola Indonesia
tidak terjadi pelanggaran atas dua alasan hukum yang memungkinkan dilakukannya
pembubaran PSSI sebagai suatu ormas tersebut.
Sebagai ormas, PSSI tidak bisa dibubarkan oleh Menpora. Soal kelembagaan ormas,
kewenangannya ada di Kementerian Hukum dan HAM RI, bukan berada di Kementerian
Pemuda dan Olahraga. Di titik inilah sejatinya Menpora perlu meninjau ulang surat
keputusan (beschikking) yang telah telanjur ditetapkannya tersebut.
22
Dalam teori hukum administrasi negara, suatu keputusan tata usaha negara yang telah
dikeluarkan oleh seorang pejabat tata usaha negara selalu terbuka kemungkinan untuk dicabut
kembali oleh pejabat tata usaha negara yang menetapkannya melalui mekanisme executive
review. Jika Menpora tidak bersedia mencabutnya, UU Administrasi Pemerintahan membuka
peluang bagi pengurus PSSI yang baru untuk mengajukan upaya administratif terhadap SK
tersebut melalui langkah pengajuan keberatan (administratieve bezwaar) kepada pejabat yang
menetapkan (Menpora) maupun banding administratif (administratieve beroep) kepada
atasan pejabat yang menetapkan suatu keputusan tata usaha negara (baca: Presiden RI).
Jika setelah melalui kedua langkah tersebut upaya hukum PSSI belum membuahkan hasil,
masih tersedia upaya hukum bagi pengurus PSSI untuk menggugat Surat Keputusan Menpora
Nomor 01307 Tahun 2015 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
***
Badan sepak bola dunia (FIFA) yang bermarkas di Zurich, Swiss, belum bisa memberikan
komentar lebih jauh tentang pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI)
yang dilakukan Menpora Imam Nahrawi. David Noemi, salah seorang juru bicara FIFA,
menyatakan sedang memantau dan mempelajari situasi mengenai pembekuan PSSI tersebut
sehingga belum bisa memberikan komentar atau mengambil sikap tertentu.
Noemi hanya mengingatkan bahwa pada tanggal 10 April 2015 FIFA telah mengirim surat
kepada Menteri Imam Nahrawi tentang kriteria yang ditetapkan pemerintah terhadap klub-
klub yang hendak berpartisipasi dalam Liga Super Indonesia.
Dalam surat itu, FIFA menginformasikan kepada Menteri Nahrawi bahwa para anggota FIFA
harus mengelola urusan mereka secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga
seperti diatur dalam Pasal 13 dan 17 Statuta FIFA. Selanjutnya, FIFA mengingatkan bahwa
hanya anggota FIFA (atau liga yang terafiliasi) yang bisa memberi lisensi dan bertanggung
jawab mengatur dan memaksakan kriteria yang harus dipenuhi klub yang berpartisipasi
sebagaimana diatur pada butir kedua dan ketiga pada Peraturan Perizinan Klub FIFA.
Berkaitan dengan hal itulah, substansi surat tersebut selanjutnya menyebutkan bahwa FIFA
meminta Pemerintah Republik Indonesia menahan diri agar tidak mencampuri urusan PSSI
dan memungkinkan PSSI memenuhi kewajibannya sebagai anggota FIFA. Noemi
menyampaikan bahwa kegagalan Pemerintah Indonesia melakukan hal untuk tidak
mencampuri urusan PSSI akan membuat FIFA tidak punya pilihan selain menjatuhkan sanksi
kepada PSSI.
Sejatinya, dunia sepakbola Tanah Air, khususnya liga profesional, kini sedang merangkak
naik untuk mulai menapaki jalur prestasi. Pembekuan PSSI oleh Kementerian Pemuda dan
Olahraga (Kemenpora) merugikan sepak bola nasional. Kerugian itu berupa sanksi yang bisa
saja dijatuhkan FIFA karena adanya intervensi pemerintah. Sepak bola Tanah Air akan mati
23
jika FIFA menjatuhkan sanksi, ketika SK Menpora ”menggantung” bola.
DR W RIAWAN TJANDRA, SH, MHUM
Pengajar Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya
Yogyakarta
24
Batas Kepemimpinan
Koran SINDO
28 April 2015
“Ketika seorang pemimpin yang efektif menyelesaikan pekerjaannya, orang-orang
mengatakan bahwa itu terjadi secara alami.”- Lao Tzu
Pemimpin dan kepemimpinan menjadi salah satu isu yang paling penting belakangan ini.
Kepemimpinan bangsa dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepemimpinan Ibu Kota
dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kepemimpinan Ibu Risma dalam
penanganan bencana AirAsia yang patut dipuji serta kepemimpinan dari berbagai organisasi
publik, pemerintah maupun swasta telah menjadikan saat ini waktu yang tepat untuk
melakukan refleksi: sejauh manakah para pemimpin mampu melakukan perubahan dan
seberapa banyak perubahan dan/atau transformasi yang dapat kita harapkan dari para
pemimpin kita?
“Manajemen adalah melakukan dengan benar, kepemimpinan adalah melakukan hal yang
benar,” kata Peter Drucker. Namun batasan antara kedua hal tersebut menjadi kabur ketika
kini muncul tuntutan agar manajer juga menjadi pemimpin yang efektif dan pemimpin juga
sekaligus menjadi manajer yang andal. Tuntutan akan kepemimpinan yang mampu
memberikan visi yang relevan dan memastikan visi tersebut terterapkan dengan efektif
menjadi semakin besar karena baik dia seorang pemimpin bangsa dengan 250 juta penduduk,
kota megapolitan dengan jumlah penduduk mencapai 20 juta, perusahaan multinasional
dengan 1.000 profesional. Atau perusahaan kecil dengan 20 karyawan; semuanya adalah
organisasi yang membutuhkan atau lebih tepatnya menempatkan sederet harapan kepada para
pemimpinnya.
Jadi apakah sebenarnya yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang efektif?
Keterampilan, kekuatan, dan kepribadian seperti apa yang dibutuhkan seseorang untuk dapat
memberikan hasil yang nyata?
Kita melihat literatur kepemimpinan penuh dengan kata-kata seperti “karisma”,
“determinasi”, “komitmen”, “passion/hasrat”, dan “visi”. Apakah benar demikian adanya?
Apa semua pemimpin efektif mutlak memiliki trait atau karakter seperti tertera di atas?
Hasil riset berpuluh tahun yang dilakukan Prof Brian Morgan dari Cardiff Business School
ternyata membuktikan hal berbeda. Tidak ada yang konsisten dari daftar descriptor yang
dapat membantu kita mengidentifikasi pemimpin yang luar biasa. Pemimpin sukses ternyata
sangat beragam. Beberapa eksentrik, yang lain konformis, beberapa khawatiran, beberapa
25
sangat santai, beberapa sangat memesona dan hangat, beberapa memiliki kepribadian sangat
kaku dan cenderung pendiam.
Hasil riset ini sejalan dengan 20 tahun pengalaman saya sebagai profesional di berbagai
organisasi. Saya malah cenderung berpendapat bahwa tidak ada kepemimpinan yang bebas
konteks dan efektivitas kepemimpinan sebagian besar sangat bersifat situasional.
Pandangan saya ini sejalan dengan teori kepemimpinan yang menyatakan, baik model
kepemimpinan transaksional maupun transformasional tidak dapat dipastikan selalu efektif
dalam segala situasi dan semua waktu. Filosofi seorang pemimpin harus cukup fleksibel
untuk dapat beradaptasi dengan situasi dan perubahan zaman.
Kita membutuhkan campuran teknik kepemimpinan transaksional dan transformasional untuk
dapat menyelesaikan pekerjaan. Ide dasar di balik teori tersebut adalah seseorang harus
mampu menyesuaikan strategi dengan kondisi yang selalu berubah. Hidup didefinisikan
dengan cerdas adalah suatu pencarian tanpa akhir terhadap pengetahuan. Jadi jika Anda
berpikir bahwa mengetahui segalanya yang ada, Anda mungkin telah sampai ke akhir.
Seorang pemimpin harus selalu membuka mata dan telinganya secara terus menerus untuk
selalu terbuka dalam menyerap pemikiran dan ide-ide baru, terlepas dari mana pun mereka
berasal. Semua kesempatan untuk belajar keterampilan baru tidak boleh diabaikan begitu saja
karena itu akan memberikan dorongan untuk berkembang. Manajemen dan kepemimpinan
adalah bidang yang sangat dinamis. Gaya lama dan ideologi-ideologi menjadi kuno dan yang
baru akan menggantikan mereka. Apa yang berfungsi saat itu mungkin tidak akan berfungsi
sekarang.
Bisnis saat ini menuntut pendekatan manajemen yang berbeda. Semua pemimpin tidak
memiliki cara yang sama dalam memandang suatu hal. Beberapa memilih pendekatan carrot,
sementara yang lainnya memilih pendekatan stick. Beberapa melihat kebebasan sebagai cara
mengembangkan kreativitas dan pemikiran individu, sementara yang lain percaya bahwa
sejumlah kontrol diperlukan untuk mencapai target dan menyelesaikan pekerjaan.
Seorang pemimpin yang efektif harus mampu dan bersedia untuk mengerti dan bekerja dalam
keterbatasan dari lingkungan tempat dia bekerja. Hal ini karena tidak ada sebuah lingkungan
yang sepenuhnya selalu kondusif sehingga proses menghubungkan kinerja dengan
kepemimpinan tidak pernah mudah.
Pemimpin harus sangat bersemangat untuk membuat poin di mana mereka dapat membentuk
visi yang jelas dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengomunikasikan
rencana mereka ke seluruh organisasi sehingga akan muncul kinerja luar biasa meski dalam
kenyataannya apa yang terjadi tidak akan pernah jelas sepenuhnya. Ini terjadi karena dalam
urat nadi organisasi yang kompleks kepemimpinan dan pimpinan akan selalu berhadapan
dengan keterbatasan.
26
Beberapa pemicu keterbatasan tersebut dapat dilihat dari beberapa fakta. Pertama, fakta
bahwa strategic choice sering membutuhkan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun
untuk muncul. Perubahan sering kali dimulai dari single-loop, pendekatan win-win daripada
evolusi double-loops atau triple-loops.
Chris Argyris (2002) mendefinisikan pembelajaran single-loop sebagai pendeteksi dan
koreksi kesalahan tanpa mengubah nilai dan kultur organisasi. Sebagai contoh, termostat
diprogram untuk menyala ketika suhu di dalam ruangan dingin, matikan api jika ruangan
menjadi terlalu panas. Termostat adalah pembelajaran double-loops jika dapat menanyakan
mengapa dia diprogram untuk mengukur suhu, kemudian menyesuaikan suhu tersebut.
Sebagai catatan perubahan yang diperlukan dalam double-loops membutuhkan sebuah
aktualisasi Revolusi Mental ala Presiden Jokowi yang seharusnya berarti perubahan menuntut
kita melihat, mempertanyakan dan bila perlu mengubah nilai-nilai dan kultur yang selama ini
berlaku.
Sumber kedua yang berpotensi membatasi peran kepemimpinan dapat ditelusuri dari
perbedaan tingkat urgensi tahap proses evolusi perusahaan yang berbeda. Organisasi yang
sedang dalam kesulitan dan/atau organisasi baru mungkin akan jauh lebih bersedia untuk
beradaptasi dengan cepat dibandingkan dengan organisasi yang sudah berumur dan organisasi
yang sudah sukses. Ini terjadi karena perilaku yang konsisten diikuti sekian lama akan
terakumulasi menjadi sebuah konsensus, sebuah kebiasaan. Di saat itu dibutuhkan keberanian
yang luar biasa untuk membangun sebuah organisasi kelas dunia.
Salah satu aspek yang paling menantang dari kepemimpinan adalah menciptakan
keseimbangan yang tepat antara pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin dan
pembentukan atmosfer di mana visi yang jelas dikomunikasikan dengan baik ke seluruh urat
nadi organisasi. Visi yang dikomunikasikan dengan baik harus meliputi komitmen dari
pimpinan organisasi kepada semua anggota organisasi tersebut dan sebaliknya.
Menghargai dan rasa peduli yang nyata kepada orang-orang dalam organisasi Anda adalah
satu hal mendasar dari kepemimpinan yang baik. Manusia adalah aset yang paling berharga
dalam organisasi sehingga ini menjadi sangat esensial bagi seorang pemimpin untuk
menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk mengembangkan mereka dengan memberikan
kesempatan-kesempatan yang ada, pengakuan jangka pendek maupun panjang dan rasa
memiliki yang kuat.
DR RUDOLF TJANDRA
Chief Marketing Officer & Director Softex Indonesia
27
Refleksi Enam Bulan Nawacita
Koran SINDO
30 April 2015
Banyak penggemar sepak bola yang tidak habis mengerti bagaimana tim sehebat Brasil bisa
dibantai 1-7 oleh Jerman pada Piala Dunia 2014. Apalagi pertandingan itu dilakukan di
Brasil. Juga bagaimana Spanyol yang juara Piala Dunia 2010 dan juara Piala Eropa 2012 bisa
takluk telak 1-5 kepada Belanda?
Di tingkat klub-klub Eropa sampai sekarang kita masih bingung dengan Barcelona yang
kalah 0-7 secara agregat dari Bayern Muenchen pada semifinal Liga Champions
2012/2013. Atau Bayern Muenchen yang ditumbangkan Real Madrid 0-4 pada pertemuan
kedua semifinal Liga Champions 2013/2014.
Jawabannya kita tahu beberapa waktu kemudian. Baik pelatih tim Brasil, Spanyol, Barcelona
atau Bayern Muenchen mengakui mereka salah menerapkan strategi. Begitulah, tim sehebat
apa pun, penuh dengan pemain bertalenta, bisa tak berkutik ketika sang dirigen, pelatihnya,
salah menerapkan strategi.
Kasus di Perusahaan
Kasus serupa terjadi di dunia bisnis. Saya bersahabat dengan banyak eksekutif, baik di
lingkungan BUMN maupun swasta. Beberapa di antaranya terkesan sangat hebat dalam
mengkritik program orang lain. Ia paham betul tentang industrinya. Kita bisa terkagum-
kagum mendengarkan paparannya.
Tapi apa yang terjadi ketika dia diminta memimpin perusahaan yang tengah bermasalah atau
yang industrinya agak bergejolak? Kinerja perusahaannya ternyata kurang optimal. Ini sama
persis dengan menteri-menteri yang terkesan hebat. Ada apa?
Kita tahu, memimpin perusahaan besar, apalagi kementerian, tak bisa lagi memakai gaya one
man show. Semua harus diurus bersama. Kita tak membutuhkan superman, tetapi superteam.
Kata Henry Ford, “Coming together is a beginning. Keeping together is progress. Working
together is success.” Usahakanlah mimpi di kasur yang sama ya harus sama, supaya selaras.
Dalam banyak kasus, saya lihat persoalan utama yang dihadapi para CEO adalah soal
membangun culture dan chemistry. Sebagai CEO, teman saya yang lain, membangun suasana
kerja yang informal dan organisasi yang flat agar pengambilan keputusan bisa cepat. Untuk
itu ia ingin mengembangkan robbust discussion di perusahaannya.
28
Dalam robbust discussion, sebelum rapat diselenggarakan, isu-isu penting harus dibahas dulu
secara informal dalam suasana yang santai. Sambil minum kopi, bisa di ruang kerja, kafe,
bahkan sambil makan siang. Intinya kesepakatan sudah harus dicapai sebelum kita masuk
ruang rapat. Jadi begitu di ruang rapat, kita hanya tinggal ketok palu.
Tapi, itu ternyata tidak terjadi. Para eksekutif yang ada di bawahnya telanjur terbentuk dalam
kultur yang agak birokratis. Mereka terlalu takut mengambil keputusan. Mereka lebih suka
keputusan diambil bersama-sama di ruang rapat yang ada notulensi dan kata putus disertai
ketukan palu. Akibatnya banyak hal mesti diambil lewat jalur formal. Bahkan untuk masalah-
masalah sepele sekalipun.
Anda tahu akibatnya? Pertama, agenda rapat jadi bertumpuk-tumpuk. Sebentar-sebentar
rapat. Tapi, celakanya ini rupanya cocok betul dengan selera para eksekutif tadi. Sebab
dengan mengikuti banyak rapat, dia jadi kelihatan sibuk bekerja. Kedua, begitu masuk rapat,
suasana pun jadi serbaformal. Diskusi tidak cair. Debat menjadi kurang hangat. Hanya begitu
ada ucapan yang menyinggung satu pihak, mereka akan ngotot habis-habisan
mempertahankan argumentasinya. Bukan demi kebaikan perusahaan, tapi lebih memanjakan
egonya.
Begitulah, dengan suasana yang semacam itu, akhirnya terlalu banyak formalitas di
perusahaan tersebut. Suasana menjadi kaku. Pengambilan keputusan menjadi lambat. Pada
gilirannya kinerja perusahaan pun menjadi kurang optimal.
Culture dan Chemistry
Mengurus negara sebetulnya mirip dengan mengurus tim sepak bola atau perusahaan. Kita
perlu membangun dan memiliki culture dan chemistry kerja yang sama. Itulah yang kurang
terlihat dalam jajaran Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo.
Coba saja Anda amati. Dalam rapat kabinet, suasananya masih sama. Semua menteri (betul
bahwa seharusnya demikian) hadir lebih dulu dengan Presiden dan Wakil Presiden menyusul
kemudian setelah semua lengkap. Tapi, ketika Presiden dan Wakil Presiden akan memasuki
ruang rapat, mereka berdiri dan mengambil sikap sempurna. Apa bedanya suasana yang
seperti itu dengan rapat-rapat pemerintahan terdahulu? Nyaris tidak ada.
Saya melihat banyak menteri yang masih sering pontang-panting, takut sekali kalau dipanggil
Presiden. Apalagi sekarang, oknum politisi dari partai pengusungnya (dan juga dari lawan-
lawannya) tak henti-hentinya bicara wacana reshuffle. Sudah ngebet betul tampaknya untuk
merebut jabatan menteri. Tapi ini sekaligus mengganggu kondisi psikologis orang kerja dari
kelompok profesional yang tak punya dukungan politik kuat.
Maaf saja, kini banyak beredar SMS di berbagai kementerian, di kalangan birokrat tingkat
tinggi, bahwa jabatan bapak atau ibu menterinya sudah di ujung tanduk. Mereka meramalkan
29
bosnya hanya bertahan paling lama setahun atau dua tahun. Maka jangan heran kalau
pembangkangan akan mulai jadi biasa, merusak spirit tim dan chemistry organisasi.
Pada banyak organisasi, untuk memudahkan penilaian kinerja, sudah lama diaplikasikan
balanced scorecard. Melalui aplikasi ini, setiap orang akan memiliki key performance
indicator (KPI) atau target-target yang mesti dicapainya. Ini saya lihat juga belum muncul.
Padahal dulu ada di Kantor UKP4 yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.
Beruntung Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin Susi Pudjiastuti yang “orang
swasta”. Mereka kini mulai menerapkan appliques balanced scorecard. Kementerian lain?
Padahal, balanced scorecard bukan hanya aplikasi pengukur kinerja. Aplikasi ini juga
memungkinkan kita “berkomunikasi dengan bahasa yang sama”. Jadi ketika kita menilai
kinerja seseorang, alat ukurnya sama. Bukan sekadar adu kuat argumentasi atau pencitraan
belaka.
Alat inilah yang mestinya dipakai Presiden Jokowi jika ingin me-reshuffle kabinetnya. Bukan
hanya berdasarkan bisikan, tekanan media, serbuan pasukan cyber, atau serangan balik
kelompok yang terancam.
Oleh karena belum “berkomunikasi dengan memakai bahasa yang sama”, kita lihat beberapa
potret kinerja pemerintahan masih kurang sesuai dengan Nawacita. Contohnya, dalam
Nawacita, pemerintahan Jokowi-JK ingin memperkuat daya saing produk kita di pasar
internasional. Bagaimana realisasinya? Ekspor produk kita selama Januari-Maret 2015 turun
sampai 11,67% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Memang ini baru enam
bulan, tapi baik juga sinyal ini kita perhatikan agar tidak nyungsep lagi.
Masih dari Nawacita, pemerintah ingin menggencarkan upaya pemberantasan korupsi.
Nyatanya? Di mana-mana kita justru membaca berita tentang pelemahan KPK dan serangan
polisi terhadap pejuang anti-korupsi. Pemerintah menargetkan wajib belajar 12 tahun yang
bebas dari pungutan. Nyatanya pungutan masih terjadi. Bahkan dalam kemasan yang lebih
beragam.
Melalui Nawacita, pemerintah ingin melakukan penegakan hukum yang bebas dari korupsi,
bermartabat, dan tepercaya. Cobalah Anda bertanya kepada Nenek Asyani. Itukah yang ia
rasakan? Kita pasti ingin memiliki tim sepak bola yang hebat. Untuk itu kita mesti memiliki
PSSI yang hebat pula. Celakanya yang terjadi pemerintah malah membekukan PSSI.
Koordinasi tampaknya masih menjadi persoalan besar di pemerintahan kita. Betul, warisan
lama bukan main gawatnya. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi Asia sedang mengalami
ujian berat, indeks harga komoditas masih melemah.
Banyak pekerjaan rumah yang kini sudah rampung di tangan pemerintahan baru. Geraknya
terasa cepat. Tapi timnya (terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi)
belum bergerak seirama, chemistry-nya belum terbentuk, dan mereka belum pandai membaca
30
sinyal kecuali beberapa menteri. Terlepas dari rongrongan politisi, saya lihat Kementerian
BUMN malah bagus. Karena kelak BUMN ini akan menjadi motor penggerak yang penting
bagi pertumbuhan ekonomi.
Saya merasa Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla belum sepenuhnya menjadi dirigen
dari sebuah orkestra besar yang bernama Indonesia. Sebab, di sana, masih “terlalu banyak
kelompok yang bermain”. Kata Lee Iacocca, “I have always found that the speed of the boss
is the speed of the team.“ Saya khawatir, kalau chemistry ini tak diperbaiki, kali ini Iacocca
keliru.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
31
Golf dan Reformasi
Koran SINDO
1 Mei 2015
Saya mendapat teman baru yang mengasyikkan dalam bermain golf: Saiful Mujani, dosen
FISIP UIN Jakarta yang lebih dikenal sebagai konsultan politik ternama di Tanah Air.
Dengan modal data survei, teori, pengalaman serta naluri politiknya yang tajam dan dingin,
bermain golf sambil ngobrol berbagai isu politik menjadi tak terasa capai menapaki lapangan
rumput hijau sekitar 7 km panjangnya. Sebagai pemain pemula yang baru mulai pegang stik
lima bulan lalu, kemajuannya sangat mengesankan karena hampir setiap hari berlatih driving
dengan pelatih profesional.
Dalam bermain golf sesungguhnya hanya ada dua prinsip atau tantangan, yaitu power untuk
memukul bola agar terbang mencapai jarak yang diinginkan dan arah (direction) agar bola
tepat mendekati titik lokasi yang dituju. Untuk menentukan jarak, pemain tinggal memilih
stik atau club yang masing-masing sudah terukur, berapa jauh bola akan melayang selagi
pukulannya benar.
Problem yang selalu dihadapi golfer, terlebih pemain baru, adalah memukul bola agar terbang
lurus mendekati titik yang dituju. Dalam konteks inilah Saiful Mujani merasa kesal dan
tertantang. Ayunan pukulannya sudah powerful dan jauh, tetapi bola meleset menyimpang
sehingga jauh dari target. “Pukulannya mirip dengan arah reformasi politik,” katanya.
Mengapa? Dari segi power dan energi, kata Saiful, reformasi politik ini mendapat sumber
kekuatan yang melimpah. Partisipasi dan harapan rakyat sangat tinggi. Jumlah parpol tak
pernah surut dan tetap punya semangat tinggi. Instrumen lembaga-lembaga negara komplet,
bahkan jumlah komisioner bermunculan, lembaga yang tidak dikenal semasa Orde Baru.
Dukungan dana pun meningkat baik yang bersumber dari APBN maupun partisipasi rakyat,
terutama kalangan pengusaha. Tak kalah pentingnya adalah iklim kebebasan berpendapat
yang difasilitasi media massa seperti televisi yang jumlahnya juga selalu bertambah.
Salah satu problem reformasi adalah tak mampu mengelola kekuatan dan semangat rakyat
untuk mendekati target yang ditawarkan dan disepakati bersama rakyat. Tak ubahnya pukulan
saya yang melesat jauh, tapi melenceng dari green dan hole. Alih-alih mendapatkan skor par,
bogey pun hilang. Paling banter double atau tripple.
Ibarat permainan golf, begitu bola sudah masuk zona green mendekati hole, yang diperlukan
adalah soft power. Mesti cermat, penuh perhitungan, tepat dalam membaca arah rumput dan
32
kemiringan permukaan green karena pada zona green benar-benar diperlukan akurasi
matematis. Jika itu pertandingan, persaingan kian ketat dan tajam meski tampak bersahabat.
Begitulah politik, semakin mendekati pusat dan puncak kekuasaan, persaingan kian
memerlukan soft skill dan soft power.
Ketika posisi bola di bawah 100 meter dari hole yang jadi sasaran akhir, soft skill, feeling
habit, dan pengendalian emosi sangat ditekankan. Jika salah chipping dan putting, perjuangan
panjang yang telah mengeluarkan tenaga akan sia-sia.
Dalam konteks politik, pemilu bisa dianalogikan dengan tee off. Memukul bola sejauh dan
selurus mungkin ke depan. Tapi setelah mendekati green dan hole, ibarat politik sudah
sampai di puncak kekuasaan, jika tidak fokus dan tidak punya determinasi, bola meleset.
Putting sampai tiga kali di zona green adalah sebuah kegagalan yang menyesakkan.
Demikianlah, pemerintahan Jokowi sudah memenangi pertarungan dan menggiring bola ke
zona green. Tapi kelihatannya gagal dalam melakukan putting. Skor par tidak tercapai, bogey
hilang, yang diraih skor double dan tripple. Sebuah skor yang memalukan bagi pemain pro
dengan handycap single. Ibarat golfer, siapa pun yang jadi presiden dan menteri mesti
memiliki kompetensi untuk mengarahkan bola agar meraih par. Syukur-syukur birdie. Yang
sekarang terjadi kekuatan dan legalitas politik kuat, tetapi jalannya tidak terarah. Ibarat bola
sudah in the green, tapi sampai empat kali putting.
Dalam permainan golf, pemain akan merasa lelah dan kesal akibat kesalahan sendiri. Suasana
yang mestinya ceria berubah jadi keluh kesah dan bahkan banyak yang mengumpat
menyalahkan caddy. Sudah 17 tahun reformasi, rakyat mulai lelah yang bisa berujung pada
kemarahan.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
33
Dialektika Mega-Jokowi
Koran SINDO
1 Mei 2015
Tajuk KORAN SINDO berjudul ”Megawati dan Jokowi ” (13/4/2015) menyajikan banyak hal.
Anomali intrik kekuasaan yang ditata serampangan. Presiden yang rikuh dan Megawati yang
dominan. Semua dikemas dalam sorotan media penuh interpretasi. Publik pun dibuat curious,
menganga dan bertanya-tanya. Ada apa sesungguhnya di antara kedua tokoh politik satu
partai ini?
KORAN SINDO memberikan kritik halus yang penting diperhatikan. Jokowi dan Megawati
disarankan kembali duduk bersama. Keduanya mesti mendiskusikan platform politik
Nawacita yang dulu mereka tawarkan sepanjang kampanye.
Kesenjangan das sein dan das solen selama lima bulan terakhir ini telah menggerogoti
wibawa Presiden. Menurunkan rating kredibilitas Presiden Jokowi yang disanjung setinggi
langit selama musim kampanye. Lebih fatal lagi, serangkaian blunder kebijakan yang dibuat
menjadikannya teralienasi dari konstituennya, termasuk PDIP, pilar politik yang
memperjuangkannya.
Megasentris
Salah satu dari banyak hal yang menarik diulas untuk menjelaskan tafsiran tajuk KORAN
SINDO adalah sikap dan pengaruh Megawati. Dari sekilas gesture yang selalu diperlihatkan
Presiden Jokowi ketika berada di sekitar Mega, Ketua PDIP itu terekspos sangat dominan dan
mobis.
Megawati tidak menggubris Jokowi ketika duduk di sampingnya pada saat Kongres PDIP
baru lalu. Bahkan sebagai presiden pun Jokowi tidak diberi kesempatan berpidato. Sesuatu
yang selama ini sebenarnya telah menjadi tradisi ketika Presiden RI hadir dalam berbagai
perhelatan sebuah parpol.
Persoalannya, sikap Mega terhadap Jokowi, khususnya atas keputusan-keputusan politik
maupun kebijakan pemerintah yang diambil Jokowi, lebih banyak dipertontonkan seperti
drama. Ada intrik, agitasi, kompetisi internal, by pass, pengkhianatan, stubbornness,
pembusukan, power game, dan lain-lain.
Dari serangkaian peristiwa politik yang mempertautkan kepentingan maupun kedudukan
keduanya, Megawati jarang atau tidak pernah tampil ke depan menjelaskan concern,
keberatan, atau pandangan-pandangannya. Kalaupun dilakukan, hal itu selalu melalui orang
34
ketiga, pengurus partai, orang kepercayaan, atau putrinya sendiri.
Sebaliknya, Jokowi hanya menyinggungnya ketika ditanya media dengan keterangan
minimal. Bahasa yang digunakan Jokowi pun tipikal khas dia: guyon dan bercanda. Hal itu
membuat absensi politik Megawati—sikapnya yang diam dan pasif—sedikit agak terbantu
tertutupi oleh gaya politik populis Jokowi yang disukai publik.
Sebenarnya, untuk menyudahi ”unnecessary error” dan ”exhausted drama” antara kedua
tokoh politik, termasuk pula dengan figur-figur politik lain, sikap interaktif Megawati
terhadap Presiden Jokowi harusnya lebih terbuka dan komunikatif. Pengertian terbuka tidak
harus diartikan selalu dilakukan di hadapan publik atau media. Tetapi arahnya lebih terbuka
kepada Presiden dan tidak mendiamkannya ketika terjadi miskomunikasi ataupun keputusan
yang tidak dapat mereka terima.
Bagaimana pun, Presiden Jokowi tidak dapat ”dipaksa” untuk bersikap akomodatif atau
outreach terhadap seluruh kepentingan partai politik. Karena semua itu sudah memiliki
saluran tersendiri di parlemen dan KIH sebagai ruling coalition. Lagi pula, sebagai presiden,
Jokowi tidak lagi menjadi representasi kekuasaan PDIP, melainkan telah menjadi milik dan
aset seluruh rakyat Indonesia.
Kecenderungan megasentris yang membayangi pemerintahan Jokowi mesti dikikis. Jika pun
tidak dapat dikurangi, Mega mesti meletakkan kontrolnya terhadap kekuasaan Jokowi tetap
sebagai parpol biasa. Sama dengan parpol lain, baik di KIH ataupun KMP. Bukan sebagai
perwujudan refleksi relasi ketua partai dan petugas partai. Bila ini terjadi, Mega hanya
membuat double jeopardy bagi dirinya, maupun terhadap popularitas dan kredibilitas
Presiden.
Trust Deficit
Heboh munculnya istilah ”the messenger”, ”menusuk dari belakang”, ”sembelih” dan
“petugas partai” terus menambah kekisruhan dialektika kekuasaan Megawati dan Jokowi. Hal
yang paling dikhawatirkan adalah jika kekisruhan itu justru bukan akibat buruknya
komunikasi politik keduanya.
Publik pun sebenarnya mesti fair terhadap Mega atau Jokowi. Kita juga harus memberikan
benefit of the doubt. Bisa jadi hubungan dingin tercipta di luar kontrol mereka. Tetapi
dikarenakan power play yang sengaja dimainkan atau setting yang diciptakan oleh spin
doctor di sekitar Megawati ataupun Jokowi. Ucapan Presiden soal ”the messenger”
menyiratkan hal tersebut.
Dipastikan bahwa kekisruhan berlarut-larut seperti ini hanya mengebiri efektivitas Presiden
dalam menjalankan agenda-agenda yang dipercayakan rakyat kepadanya. Jokowi
memerlukan ruang manuver yang tenang untuk mewujudkan janji-janjinya. Megawati harus
memberikan ketenangan atmosfer yang dibutuhkan, termasuk menghindari uneasiness yang
35
timbul akibat kompleksitas hubungan tersebut.
Dominasi penguatan kontrol PDIP terhadap aktivitas Presiden tidak boleh lagi dilakukan
secara careless dan provokatif. Sebagai seorang figur politik baru di tingkat nasional,
turbulensi kekuasaan hanya akan membuat kenaifan atau karut-marut pemerintahan Jokowi
menjadi lebih terekspos.
Sebaliknya, dukungan dan confidence kita terhadap Jokowi jangan terus digerus oleh blunder
kebijakan yang dibuat oleh para pembantunya ataupun Presiden sendiri. Hal itu hanya akan
melanggengkan ”trust deficit” yang akan sangat memengaruhi sikap bersama publik vis-a-vis
Jokowi, baik bagi yang berafiliasi maupun oposisi.
Penting bagi Jokowi untuk bersikap prudent, hati-hati, dan cautious dalam menjalankan
kekuasaannya. Semakin noisy urusan di sekitar Jokowi, semakin tinggi probabilitas terjadinya
gaffe politik yang berimplikasi pada kepercayaan publik.
Cara mengelola hubungan yang rumit dengan Mega ataupun para pentolan koalisi KIH,
termasuk KMP, adalah test case terhadap masa depan dan kesinambungan kekuasaan
Jokowi. Manajemennya bukan lagi bertumpu pada trial and error. Kekuasaan yang diraih
sejak awal sudah sarat pertarungan. Maka kelanggengannya sangat tergantung pada
konsistensi righteous path yang ditempuh Jokowi dan koalisi politiknya. Kepercayaan publik
sebagai fondasi paling utama dari koalisi itu menjadi satu-satunya legitimasi yang dapat
menyelamatkan keterpurukan tersebut. Kapitalisasinya tidak dapat digantikan oleh manuver
politik apa pun, termasuk pencitraan yang sudah telanjur dipahami publik sebagai klise.
Baik Jokowi maupun Megawati, tidak ada yang lebih penting daripada menyelamatkan
reputasi mereka berdua. Reputasi itu juga akan sangat menentukan masa depan PDIP sebagai
partai wong cilik dalam ajang pemilu mendatang. Nilai plus-minus kepemimpinan mereka
tidak akan mudah dilupakan konstituen. Hanya dengan cara itu publik akan belajar dalam
memilih rasionalitas politik terbaik yang dapat mewakili, memperjuangkan, dan menjaga
kepentingan mereka sebagai pemegang kedaulatan negeri ini.
MUHAMMAD TAKDIR
Policy Scenario Analyst di Swiss
36
Ide Absurd Lokalisasi & Sertifikasi PSK
Koran SINDO
2 Mei 2015
Kematian tragis pekerja seks komersial (PSK) Deudeuh Alfisahrin (alias Tata Chubby) di
rumah kosnya di Tebet (Jakarta) semakin membuka praktik-praktik haram prostitusi di Ibu
Kota. Menyusul terbongkarnya kasus ini, sejumlah PSK yang beroperasi di rumah-rumah kos
dan di Apartemen Kalibata City dirazia dan ditangkap oleh Satpol PP.
Menyaksikan bisnis esek-esek yang semakin menjamur ini, Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama (akrab disapa Ahok) mencetuskan ide untuk melokalisasi prostitusi dan melakukan
sertifikasi para PSK di DKI Jakarta. Di lokasi prostitusi itu nanti, kata Gubernur lebih lanjut,
akan dipasang peringatan: ”Orang yang merasa suci tidak boleh masuk.” Ide ini, kata
Gubernur, untuk memusatkan tempat praktik pelacuran di satu lokasi (dan para pelacur itu
nanti akan diberi sertifikat) agar mudah dikontrol sehingga prostitusi tidak terjadi di mana-
mana.
Ide Ahok menuai reaksi keras dari kalangan agamawan dan kaum moralis. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menolak keras ide Pak Gubernur. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB) menyuarakan pandangan yang sama. Tak ketinggalan Mensos Khofifah Indar
Parawansa tidak setuju dengan ide kontroversial Ahok. Mensos berargumen, tak ada jaminan
prostitusi tidak akan terjadi di mana-mana jika seandainya praktik mesum itu dilokalisasi.
Lokalisasi prostitusi bukan solusi untuk meredam praktik tunasusila itu. Demikian inti
penolakan kalangan agamawan dan kaum moralis terhadap gagasan nyleneh Ahok yang
hendak melokalisasi prostitusi dan melakukan sertifikasi PSK di DKI Jakarta.
Saya menilai ide Gubernur DKI yang hendak melokalisasi pelacuran dan memberi sertifikat
kepada para pelacur adalah ide yang absurd. Pertama, pelacuran (dan perbuatan amoral atau
asusila lainnya) tidak mengenal istilah “dilokalisasi” atau “tidak dilokalisasi”. Di mana saja
ada (potensi) praktik pelacuran (dan perbuatan amoral dan asusila lainnya), semua elemen
masyarakat bermoral dan aparat keamanan harus bekerja sama mencegah, meminimalisasi,
dan memberantasnya.
Jika logika absurd Ahok itu diikuti, perzinaan, kumpul kebo (living together), aborsi,
pornografi, free sex, korupsi (dan perbuatan tidak bermoral lainnya), perlu juga dilokalisasi
agar tidak menyebar ke mana-mana dan tidak terjadi di mana-mana. Ide Ahok adalah jelas
ide sekuler dan sekularisme sudah sepantasnya tidak boleh berkembang dan tidak boleh
dikembangkan di Bumi Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
37
Kedua, melokalisasi prostitusi berarti melegalisasi perbuatan amoral dan asusila di lokasi itu.
Laki-laki yang mau berbuat mesum dan bersetubuh dengan perempuan (PSK) di lokasi itu
adalah sah dan legal. Ini sama artinya dengan memberi kebebasan dan menyediakan fasilitas
bagi prostitute dan bagi kaum laki-laki pelanggannya.
Ini sama artinya dengan apa yang disebut dalam kitab suci ”taa’wanu alal itsmi” (bekerja
sama dalam perbuatan dosa). Praktik-praktik prostitusi di lokasi itu akan menjadi dosa
massal, dosa turunan, dosa struktural, dan dosa institusional. Pejabat dan jajarannya yang
memfasilitasi dan melakukan lokalisasi prostitusi paling bertanggung jawab kepada Tuhan di
akhirat kelak.
Ketiga, prostitusi menyebar ke mana-mana di DKI Jakarta bukan karena penutupan
lokalisasinya oleh Sutiyoso (gubernur saat itu). Bisnis esek-esek menyebar karena jumlah
PSK bertambah banyak dan mereka sudah mahir menggunakan jejaring sosial dan lebih
mudah menjajakan diri mereka secara on line. Yang penting adalah pencegahan dini dan
pengawasan yang ketat, koordinatif, dan terukur.
Keempat, jikapun di lokasi prostitusi itu dipasang imbauan dan peringatan ”Orang yang
merasa suci tidak boleh masuk,” cara seperti itu tidak menjamin berdampak efektif bagi
(calon) PSK maupun bagi (calon) pelanggannya yang datang ke lokasi prostitusi
itu. Alfisahrin, misalnya, dalam membela diri sebagai PSK, ia mencibir: ”Nerakaku bukan
urusanmu. Apalagi surga belum tentu jadi tempatmu.” Cibiran ini dapat dipandang mewakili
pembelaan para PSK pada umumnya.
Sedangkan laki-laki yang (mau) datang ke lokasi prostitusi itu sudah tahu dan memahami
ajaran kitab suci bahwa perbuatan asusila adalah perbuatan tercela dan terlarang. Bagi orang
yang mematuhi ajaran agama (meminjam kata-kata Ahok ”orang suci atau merasa suci”)
tidak punya urusan dengan pelacuran karena perbuatan mesum seperti itu memang dilarang
didekati.
Kelima, ide sertifikasi PSK di lokalisasi prostitusi itu juga merupakan ide yang absurd.
Sertifikat tersebut, kalau ide ini jadi dilaksanakan, akan ditandatangani oleh Gubernur DKI
atau pejabat bawahannya yang diberi kewenangan untuk itu.
Saya yakin para prostitute tidak akan mau didata dan diberi sertifikat sebagai PSK. Sertifikat
biasanya diberikan kepada orang-orang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang usaha,
bisnis, keilmuan, olahraga, kesenian, pertanian, perdagangan, tata pemerintahan, atau bidang-
bidang lain yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Misalnya sertifikasi guru,
sertifikasi dosen, sertifikasi peneliti, sertifikasi hakim, atau sertifikasi profesi-profesi lainnya
sebagai penghargaan. Bisa juga sertifikat itu diberikan kepada orang yang telah lulus kursus
(ujian) atau mengikuti program pelatihan. Pemberian sertifikat itu dimaksudkan untuk
mendorong penerimanya untuk lebih terpacu berdedikasi dan berprestasi di bidangnya
masing-masing dan memberikan inspirasi dan motivasi kepada orang lain untuk
38
mencontohnya. Para penerima sertifikat itu sangat senang dan bangga menerima sertifikat itu
karena dedikasi dan prestasi mereka merasa diperhatikan dan dihargai.
Sertifikat bagi PSK? Itu ide absurd.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
39
Guru Honorer, Siapa Peduli?
Koran SINDO
2 Mei 2015
Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap 2 Mei. Pada kesempatan ini, ada baiknya
mengulas tentang nasib guru honorer.
Mengapa? Tidak ada yang membantah bahwa guru merupakan kunci utama mutu pendidikan.
Pendidikan yang bermutu merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang
mengabaikan guru akan selamanya menjadi negara yang terbelakang. Bangsa yang maju
memiliki guru yang profesional dan sejahtera.
Dalam beberapa kesempatan, di depan ribuan guru, Mendikbud Anies Baswedan kerap
berjanji akan memperbaiki kualitas guru. Perbaikan kualitas guru bisa melalui pelatihan,
beasiswa studi, atau pemberian gaji yang layak. Namun, janji tinggallah janji. Hingga saat ini,
kehidupan guru honorer masih memilukan. Penantian panjangnya tak kunjung berakhir, dari
pengangkatan sebagai guru PNS hingga pemberian gaji sesuai upah minimum kabupaten,
kota, provinsi, atau regional. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun belum ada titik terang.
Harapan guru pada Anies sebagai pemecah masalah tersebut sangat besar karena ia dianggap
(sangat) memahami persoalan guru. Sebelum menjadi menteri, ia dikenal dengan program
Indonesia Mengajar. Faktanya, dalam hal UN dan K-13, Anies berani mengambil kebijakan
yang berarti; tapi ketika menghadapi nasib guru honorer, ia terkesan tak berdaya.
Memelihara Harapan
Pertanyaannya, mengapa guru honorer bertahan pada profesinya, padahal gaji sangat kecil?
Setidaknya ada empat jawaban tentang ini. Pertama, guru sangat berharap menjadi PNS.
Menjadi PNS merupakan dambaan mayoritas masyarakat karena dianggap menjanjikan
kesejahteraan dan jaminan hari tua. Karena itu, apa pun akan dilakukan untuk bisa menjadi
PNS, bahkan ketika harus menyuap sekalipun.
Menjadi guru honorer merupakan satu cara untuk menjadi PNS dengan pertimbangan telah
mengabdi (loyal) sampai waktu tertentu. Namun, meski sudah mengabdi 20 tahun sekalipun,
belum ada jaminan guru bisa diangkat menjadi PNS. Sebaliknya, banyak guru yang
pengabdiannya baru seumur jagung diangkat PNS.
Hal ini yang menimbulkan setidaknya dua kesan: kolusi dan nepotisme pada lapis pertama,
dan ketidakadilan pejabat berwenang pada lapis kedua. Akibatnya, guru berulang kali merasa
kecewa terhadap sistem perekrutan guru PNS khususnya, dan kepada pemerintah umumnya.
40
Meski mengalami kekecewaan berat, guru tidak lantas beralih ke profesi lain setidaknya
karena tiga alasan: masih berharap suatu saat giliran dirinya yang ”lolos” sebagai PNS, tidak
punya keterampilan lain selain mengajar, dan terakhir sulit mencari pekerjaan.
Ketika pemerintah abai terhadap nasib guru yang sudah mengabdi hingga puluhan tahun,
mengharapkan guru berkinerja baik merupakan suatu hal yang berlebihan—untuk tidak
mengatakan mustahil. Perubahan Kurikulum KTSP (2006) ke Kurikulum 2013 yang
menuntut guru melaksanakan pembelajaran yang aktif dan penilaian otentik misalnya, sangat
besar kemungkinan gagal, karena guru masih sibuk dengan kebutuhan dasarnya alias belum
sejahtera.
Kedua, guru mengajar lebih dari satu sekolah. Untuk menutupi kebutuhan pokoknya, guru
”terpaksa” mengajar di dua bahkan tiga sekolah. Hasil mengajar di tiga sekolah lumayan
untuk menyambung hidup. Pada masa lalu, hal ini berjalan baik. Setelah kebijakan sertifikasi
guru yang mewajibkan guru harus mengajar minimal 24 jam pelajaran selama satu minggu,
guru honorer yang belum tersertifikasi ”berebut” jam pelajaran dengan guru yang
bersertifikat.Kelas atau ”lahan” yang selama ini menjadi sumber pendapatan guru honorer
diambil guru bersertifikat. Sekolah tidak berdaya karena memang aturannya demikian.
Sekolah secara perlahan dengan cara halus maupun ”kasar” mulai memarjinalkan guru
honorer, sekalipun sudah mengabdi belasan tahun. Ekonomi guru honorer pun semakin
sulit. Apalagi, Anies mengeluarkan kebijakan yang kontroversial: ”Dana BOS tidak bisa lagi
dibayarkan untuk honor guru honorer.”
Ketika guru mengajar di dua atau lebih sekolah, apalagi jarak antara kedua sekolah cukup
jauh, maka akan memengaruhi kualitas proses pembelajaran. Guru mengajar dengan tenaga
sisa karena kelelahan. Dalam keadaan capai, tidak menutup kemungkinan, keadaan sepele
semisal siswa kurang perhatian kepada pembelajaran yang sedang berlangsung, guru
meresponsnya dengan cara emosional tinimbang rasional atau mendidik.
Ketiga, guru memiliki pekerjaan lain selain mengajar. Pekerjaan lain itu bisa jadi karena
memang keadaan menuntut guru mencari tambahan penghasilan, atau sebelumnya ia
pedagang atau peternak, misalnya. Pada kedua kondisi tersebut, jelas ini tidak baik bagi
profesi guru. Ini bisa terjadi, di samping karena gaji guru kecil, juga karena guru belum
menjadi profesi pertama dan utama yang diimpikan generasi muda Indonesia. Ketika gaji
guru ala kadarnya saja, pekerjaan lain itu yang akan menjadi fokus utamanya.
Padahal, mengajar bukan semata menyampaikan apa yang tertulis di buku pelajaran.
Mengajar memerlukan persiapan matang dan kesanggupan guru memecahkan kesulitan-
kesulitan siswa, baik melalui mini riset maupun diskusi mendalam dengan para guru
serumpun atau lintas ilmu. Hal ini sangat tidak mungkin dilakukan guru yang fokus
profesinya tidak hanya pada pendidikan.
Bukan karena hal ini mustahil atau kurang kepedulian guru bersangkutan, melainkan itu
semua membutuhkan waktu dan pikiran yang jernih. Tanpa nyambi di luar sekolah pun, guru
41
ideal sudah disibukkan oleh hal-hal administratif yang menggunung, apalagi ia punya side
job lain yang dianggapnya lebih penting karena lebih menjanjikan kesejahteraan. Guru hanya
menjadi pekerjaan sampingan.
Keempat, mengajar sebagai panggilan jiwa. Tentu tidak sedikit guru honorer yang mengajar
tanpa pamrih. Mengajar semata dengan tujuan mencerdaskan generasi bangsa, tanpa
terpengaruh oleh besar-kecilnya imbalan. Karena itu, guru semacam ini tak terlalu cemas
dengan status guru honorer abadi atau pendapatan yang kecil. Bisa jadi, ia juga tak menggebu
harus menjadi PNS.
Guru tipe ini yang bersedia mengajar belasan hingga puluhan tahun bahkan hingga sampai
akhir hayatnya. Godaan alih profesi yang lebih menjanjikan ditepisnya demi setia mengajar
anak-anak membaca, menulis, dan berhitung. Meski sadar menjadi guru harus rela hidup sulit
atau hidup sederhana, ia sanggup melewatinya karena hati sudah yakin: ”Hidup dan matiku
untuk pendidikan, agar anak-anak kelak berhasil sehingga hidupnya lebih baik dari diriku.”
Kemauan Baik
Menghadapi persoalan di atas, peran pemerintah dua hal. Pertama, memperbaiki sistem
perekrutan guru honorer menjadi guru PNS. Jika ada kemauan baik dari pemerintah, tak sulit
memberantas mafia (jika ada) atau oknum yang memperjualbelikan formasi PNS kepada para
guru. Perbaikan data jumlah guru juga perlu dilakukan, agar tidak ada data berbeda antara
pemerintah dengan pihak di luar pemerintah.
Kedua, tingkatkan pendapatan guru honorer. Ketika guru lain bicara cara pengembangan
guru, guru honorer masih berkutat dengan persoalan gaji kecil yang sangat jauh dari kategori
layak atau sejahtera. Jangankan biaya untuk pengembangan diri, untuk kebutuhan sehari-hari
saja guru honorer harus pinjam uang; gali lubang tutup lubang.
Gaji kecil guru tidak bisa dibiarkan terus berlanjut karena gaji memengaruhi kinerja guru.
Kinerja guru yang buruk akan memengaruhi standar kompetensi siswa. Generasi yang
kompetensinya rendah akan menjadi beban bangsa di masa depan. Lalu, siapa peduli guru
honorer?
JEJEN MUSFAH
Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan UIN Jakarta
42
Marsinah dan Teologi Pembebasan Buruh
Koran SINDO
2 Mei 2015
Menjelang perayaan May Day tahun ini, berbagai elemen buruh mengusulkan gelar pahlawan
nasional bagi Marsinah. Elemen buruh dan mahasiswa di Surabaya yang mengenakan kaus
merah bergambar Marsinah juga berunjuk rasa mengelilingi jalan-jalan protokol Surabaya,
menyuarakan pahlawan dari unsur buruh, Kamis (30/4).
Tentang Marsinah sendiri, pasti banyak yang lupa. Padahal dalam dasawarsa 1990-an, tiada
kasus yang sedemikian menyedot perhatian luar biasa kecuali kasus Marsinah. Sekadar
menyegarkan ingatan, Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo.
Ia menggalang demo menuntut kenaikan upah. Marsinah menuntut kenaikan upah dari
Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Demi tuntutan itu, pada 4 Mei 1993, para buruh PT CPS
mogok total.
Sampai dengan 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam unjuk rasa
dan negosiasi. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 perwakilan karyawan yang
bernegosiasi dengan pihak perusahaan.
Pada 5 Mei 1993 siang, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Kodim Sidoarjo. Mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh
menggelar rapat gelap dan mengganggu stabilitas negara. Marsinah sempat mendatangi
Kodim guna menanyakan keberadaan teman-temannya. Anehnya, sekitar pukul 10 malam
pada 5 Mei, Marsinah lenyap. Konon ia diculik. Lalu tubuhnya ditemukan penuh bekas
siksaan pada 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan,
Nganjuk.
Berbagai skenario dibuat, termasuk menuduh bos PT CPS sebagai pembunuh Marsinah
sebagaimana diungkapkan Trimoelja D Soerjadi. Menurut pengacara senior asal Surabaya itu,
kasus Marsinah sulit diungkap karena melibatkan militer. Maka sebagaimana kasus
pembunuhan Munir masih tertutup kabut misteri, demikian juga kasus Marsinah. Bandingkan
dengan betapa cepatnya tuduhan dalam kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua
KPK Antasari Azhar. Hingga kini kasus Marsinah masih terdaftar di ILO sebagai kasus
bernomor 1773.
Marsinah pantas diberi gelar pahlawan, terlebih karena keberaniannya berunjuk rasa
memperjuangkan kenaikan upah di era ketika rezim Soeharto melarang segala bentuk unjuk
rasa. Setiap bentuk unjuk rasa dianggap melawan rezim. Dan tentu bagi kaum buruh, posisi
Marsinah tetaplah istimewa karena dia menjadi simbol dari keberanian di tengah penindasan.
43
***
Semangat Marsinah jelas masih relevan ketika buruh di zaman ini, setelah 16 tahun
reformasi, tak kunjung membaik. Masih banyak soal yang menyandera dan membelenggu
mereka sehingga kaum buruh tidak bahagia, mulai dari upah yang masih di bawah standar
UMK karena banyaknya pengusaha yang meminta penundaan hingga kondisi kerja yang
membahayakan.
Naiknya kapitalisme setelah ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis
atau pemilik modal berinvestasi dan berjaya di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Bagi
mereka, uang jauh lebih penting daripada martabat orang.
Dalam situasi seperti ini, selain butuh semangat keberanian seperti dimiliki Marsinah, kaum
buruh juga perlu menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor Dominikan kelahiran
Peru 8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan.
Menurut Gutierrez, ”pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama. Pertama, mencakup
pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan
dan ketidakadilan.
Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marginal. Mereka yang
terinjak-injak dan tertindas dari ”segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk
mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”. Ketiga, teologi pembebasan
mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan
Allah dan orang lain. Teologi pembebasan selalu memperjuangkan nasib kaum miskin atau
tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil karena ketidakadilan yang terstruktur
menyebabkan buruh lemah, selalu dieksploitasi, dan menjadi korban (A Theology of
Liberation: History, Politics, and Salvation, tr. and rev. Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.).
Gutierrez bersuara lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini,
buruh memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu
ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka: dari kemiskinan dan ketidakadilan. Tapi
bagaimana membebaskan kaum buruh? Apakah lewat jalan kekerasan saja seperti demo-
demo para buruh yang anarkistis?
Teologi pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai
pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan. Apalagi pada awal sejarahnya ditengarai ada
pengaruh marxisme pada teologi ini. Soal pengaruh Marx ini memang diakui ada, tetapi
ajaran Marx hanya dimanfaatkan dalam menganalisis susunan dualistis, bangunan atas
bangunan bawah: pemodal dan buruh. Gutierrez menegaskan keberpihakan teologi
pembebasan pada kaum tertindas harus tetap menolak segala inisiatif yang termanifestasi
dalam kekerasan, sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain.
Pembebasan dalam teologi adalah lewat proses penyadaran. Maka itu, unjuk rasa yang
44
dilakukan ratusan ribu buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei
2015 tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan menjebak buruh
di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit. Akibatnya, tujuan utama untuk
memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan.
Pada May Day tahun ini buruh memiliki 10 tuntutan secara nasional yang tampaknya sesuai
dengan apa yang diperjuangkan Marsinah dan teologi pembebasan. Sepuluh tuntutan yang
diusung buruh jelas akan lebih mudah diakomodasi bila terjalin relasi yang lebih manusiawi
dan saling menghargai antara buruh dan pengusaha. Bukan relasi yang hendak saling
meniadakan seperti ketika rezim Orba meniadakan Marsinah.
Selain itu, di balik sistem kapitalis yang dianggap ”jahat” sekalipun, sebenarnya masih
muncul pengusaha yang memiliki hati dan menganggap buruh sebagai mitra serta aset
berharga.
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
45
Buburuh di Hari Buruh
Koran SINDO
4 Mei 2015
Buruh dalam pemahaman orang Sunda dapat dimaknai sebagai upah atau bayaran. Kata itu
sering terdengar ketika menyuruh anak-anak untuk melakukan sesuatu, sering terungkap
kalimat, ”sok, engké diburuhan” (silakan, nanti diberi upah).
Kata “buruhan” (diupah) lebih mencerminkan ihwal yang bersifat sekadarnya atau seadanya,
tidak memiliki standardisasi berapa nilai yang harus diberikan. Hubungan yang memberi
buruh/upah dengan yang diburuhan lebih bersifat hubungan emosional, yang bersifat
sukarela dan didasarkan pada faktor kedekatan.
Upah yang diberikan bersifat sangat subjektif, bergantung kualifikasi personal si pemberi
upah. Kalau pemberi upahnya memiliki sifat yang murah hati, seringkali upahnya sangat
tinggi dan yang diupahnya pun tidak diberi beban yang begitu berat. Sebaliknya, apabila sang
pemberi upah punya penyakit pelit, memberi upahnya pun biasanya kecil dan pekerjaannya
kadang-kadang melebihi kapasitas yang diberi upah.
Proses hubungan timbal balik yang bersifat subjektif tersebut berlangsung dalam dunia
buburuh di perdesaan sampai saat ini. Seorang buruh tani memiliki jam kerja selama sabedug
(waktu pagi hingga zuhur). Buruh tani memulai pekerjaan dengan sarapan pagi satu gelas
kopi dan makanan pengganjal perut seperti goreng pisang, goreng singkong, atau goreng ubi
sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan kalori bagi seorang buruh tani. Itu pun kalau yang
punya sawahnya baik. Kalau pelit, ya kelasnya di bawah itu.
Pada pukul 10.00 WIB mereka dianteuran (diantarkan makanan) untuk mendapatkan makan
yang berisi nasi, ikan, sambal, dan lalap ala makan perdesaan. Mereka makan di saung
(gubuk kecil di sawah) setelah badannya bercucuran keringat. Ketika makan, mereka makan
sambil ngobrol dengan pemilik sawah diiringi oleh semilir angin dan gemericik air laksana
musik abadi. Burung-burung berkicau, bersembunyi di balik rimbunnya daun seakan ingin
memberikan ketegasan bahwa akulah vokalis sejati.
Gelak tawa seringkali membelah suasana, di tengah-tengah senda gurau penganan apa
adanya. Biasanya mereka bercerita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kampungnya,
dari mulai cerita tentang tetangga sampai politik kekuasaan ala perdesaan. Dengan penutup
kalimat yang sering terucap, ”urang mah kumaha nu dibendo wé” (terserah penguasa),
betapapun mereka kecewa terhadap keadaan politik dan kekuasaan, pada akhirnya mereka
pasrah pada yang dibendo, diiket, diblankon, dipeci (penguasa). Tak ada sedikit pun watak
pemberontakan dalam pikiran kaum tani perdesaan.
46
Pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00, yang ditandai dengan beduk zuhur, mereka
menghentikan seluruh kegiatan buburuh-nya (kuli). Mereka kembali ke rumahnya setelah
sebelumnya mandi di pancuran atau di sungai, membersihkan seluruh tubuhnya yang berbalut
tanah.
Siang hari berbagai aktivitas mereka lakukan setelah selesai melaksanakan salat zuhur. Ada
yang pergi ke kebun, ada yang menyabit rumput untuk ternak peliharaannya, ada yang pergi
mencari ikan ke sungai. Sore hari, pemilik sawah atau ladang mengantar makanan ke
rumahnya sebagai ungkapan terima kasih atas seluruh energi yang telah dicurahkan oleh para
kuli macul (kuli cangkul) dari pagi sampai siang.
***
Apabila kita mencermati hal tersebut, betapa hubungan antara pemberi pekerjaan dan
pekerjanya terbangun secara harmonis, dari mulai pemberian makan sebanyak dua kali plus
satu kali ngopi, komunikasi yang berjalan secara harmonis sampai waktu bekerja yang hanya
enam jam dipotong satu kali istirahat, kurang lebih setengah jam.
Realitas tersebut mengalahkan sistem perburuhan yang berjalan hari ini, di mana jumlah jam
kerja sebanyak delapan jam dikurangi satu jam istirahat, plus jatah makan yang hanya sekali
dalam sehari. Itu pun banyak perusahaan yang tidak menyiapkan makan atau perusahaan
mengurangi asupan gizi yang harus diberikan kepada para karyawannya.
Spirit buruh dan majikan dalam sistem perburuhan modern menjadi spirit yang berhadapan
antara kaum kapitalis dan kaum proletar. Kaum kapitalis melakukan penguatan relasi dengan
kekuasaan untuk memperkuat basis tawarnya sebagai lembaga kapital yang
terorganisasi. Sedangkan kaum proletar (buruh) melakukan konsolidasi yang bersifat gerakan
massa untuk melakukan penekanan agar seluruh keringat bahkan darahnya dapat dihitung
secara manusiawi untuk mendapatkan hak-hak kesejahteraan.
Peristiwa Hari Buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day seringkali menjadi kenduri
yang menegangkan. Suasana terbangun mencekam, seolah terjadi gelombang manusia yang
ingin memperlihatkan kekuatannya kepada dunia.
Ma Icih tersenyum ketika mendengar komentar seorang tokoh buruh yang berapi-api
menyuarakan seluruh tuntutan yang menjadi aspirasi perjuangannya. Dengan senyum
dikulum Ma Icih berkata, ”Asa ku teu ngarti aing mah (saya agak kurang mengerti). Katanya
tokoh buruh mewakili orang susah, tapi rambutnya klimis, mukanya bersih, kelihatan orang
yang suka ke salon, badannya kelihatan subur, penuh gizi dan vitalitas. Katanya akan
menyampaikan tuntutan buruhnya agar didengar oleh Presiden, tapi di lain waktu dia
bercerita sering ketemu Presiden. Kata Ema yang bodoh, kalau memang sering ketemu dan
sering ngobrol sama Presiden, kenapa harus ngerahin orang segala?”
47
Mang Udin menimpali sambil menggosok-gosokkan batu ali kesayangannya, ”Bener Icih,
kadang-kadang Aki juga suka tidak ngerti sama kelakuan tokoh-tokoh palinter
(pandai). Membahas masalah kemiskinan, rapatnya di hotel berbintang. Membahas
swasembada pangan, rapatnya di gedung perkantoran. Malahan hari kemarin, Aki harus rapat
di Bandung dengan para penyuluh, Aki dinasehatin bagaimana cara bertani yang bagus oleh
orang pintar. Nasihatnya pakai laptop, melihatnya di layar, seperti nonton film aja. Dilihat
oleh Aki, tangannya mulus, kakinya bersih, mukanya putih, berbicara penuh dengan
semangat, dasi meni panjang ngagebay (panjang menjurai).”
Si Ikin, tetangga Mang Udin, yang kebetulan datang sambil bersiul, ikut berbicara sambil
ketawa-ketiwi, ”Betul sekali Aki, Nini, apa yang diomongkan. Dipikir-pikir, buruh yang
terorganisasi banyak yang membela dan memperjuangkannya, tapi kuli cuci pakaian, kuli
masak, kuli ngasuh anak, buruh tani, siapa yang memperjuangkannya? Kalau sakit, siapa
yang mengobati? Kalau terkena golok, siapa yang ngurus? Nanti kalau sudah tua tidak bisa
jadi buruh, siapa yang ngasih upah?
“Ah, dalam hal ini saya dan kerabat tukang kuli, tapi bukan, tidak ada harinya. Katanya Hari
Buruh, tapi tetap saja kuli nyangkul, istri saya harus kuli nyuci pakaian sebab kalau tidak kuli,
tidak akan punya upah. Tidak ada yang menjamin, yang menjanjikan menjaminnya hanya
datang lima tahun sekali, hanya diupah kaos tipis. Dari mulai pemilihan sampai sekarang,
tidak pernah nongol, lantaran selalu ribut saja di Jakarta. Enggak tahu memperebutkan apa.”
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
48
Keberhasilan Pembangunan melalui Gerbang
Desa
Koran SINDO
6 Mei 2015
Pembangunan di Kabupaten Tasikmalaya saat ini memberikan porsi lebih besar pada bidang
pertanian dan pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Ini agar masyarakat memiliki
penghasilan untuk meningkatkan kehidupan perekonomian. Pembangunan itu disebar merata
ke semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Tasikmalaya seperti
pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, gedung sekolah, dan fasilitas lain untuk
menunjang aktivitas dan kreativitas masyarakat.
Selama periode 2011/2016 Kabupaten Tasikmalaya memiliki program Gerbang Desa yakni
pembangunan yang berasal dari desa demi kemajuan masyarakat di sana. Data menyebutkan
lebih dari 20% rakyat miskin dan pengangguran di kabupaten ini berada di desa yang jarang
tersentuh program pembangunan dan pemberdayaan. Bagi saya, omong kosong jika seorang
pemimpin berbicara pembangunan daerah tidak dimulai dari desa yang jadi ujung tombak
pembangunan.
Karena itu, konsep pembangunan yang saya bawa dimulai dari desa, pedagang kecil, petani
dan buruh tani, serta nelayan. Tujuannya agar mereka tidak perlu lagi mengikuti arus
urbanisasi jika semua telah tersedia di desa.
Dua kebijakan yang saya lakukan saat mengawali memimpin pemerintahan adalah penataan
birokrasi sesuai keahlian dan kemampuannya. Ditambah dengan penataan jalan desa dan
memberikan perhatian terhadap pedagang kecil demi meningkatkan kesejahteraan
hidup. Kemudian melakukan perubahan sistem karena tidak jarang anggaran di dinas yang
tidak terserap. Saya pun membuat miniatur Pemkab Tasikmalaya di kecamatan demi
memudahkan pelayanan masyarakat.
Pada awal pemerintahan saya pula Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kabupaten Tasikmalaya membahas rancangan pembangunan jangka menengah daerah
(RPJMD) bersama seluruh dinas dan elemen masyarakat dalam musyawarah rencana
pembangunan (musrenbang). RPJMD menghasilkan visi pembangunan Kabupaten
Tasikmalaya yang religius/islami, maju, dan sejahtera pada 2025. RPJMD itu membuahkan
empat misi yakni mewujudkan masyarakat berkualitas, beriman, dan mandiri. Kemudian
mewujudkan perekonomian tangguh berbasis keunggulan agribisnis, mewujudkan tata
pemerintahan yang baik (good governance), dan mewujudkan infrastruktur lebih merata
dengan memperhatikan aspek lingkungan asri dan lestari.
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015
(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Contenu connexe

En vedette

TBJ 2014 JAB Article
TBJ 2014 JAB ArticleTBJ 2014 JAB Article
TBJ 2014 JAB ArticleJeff Bandini
 
Algorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed Sensing
Algorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed SensingAlgorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed Sensing
Algorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed SensingAqib Ejaz
 
Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!
Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!
Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!michalip
 
Calling for Change: BME Oxford Students Speak Out
Calling for Change: BME Oxford Students Speak OutCalling for Change: BME Oxford Students Speak Out
Calling for Change: BME Oxford Students Speak OutOUSU-CRAE
 
Filtation water services pool depth reduction.to private leisure centre
Filtation water services pool depth reduction.to private leisure centreFiltation water services pool depth reduction.to private leisure centre
Filtation water services pool depth reduction.to private leisure centreDAVID GREEN
 
Presentación de Flickr
Presentación de Flickr Presentación de Flickr
Presentación de Flickr dtene68
 
Magazine cover
Magazine coverMagazine cover
Magazine coverRoseBishay
 
Storm Topaz case study
Storm Topaz case studyStorm Topaz case study
Storm Topaz case studyCraig Ellis
 

En vedette (15)

TBJ 2014 JAB Article
TBJ 2014 JAB ArticleTBJ 2014 JAB Article
TBJ 2014 JAB Article
 
Diseno de paginas web
Diseno de paginas webDiseno de paginas web
Diseno de paginas web
 
Serie 23
Serie 23Serie 23
Serie 23
 
Algorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed Sensing
Algorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed SensingAlgorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed Sensing
Algorithms for Sparse Signal Recovery in Compressed Sensing
 
Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!
Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!
Odzyskiwanie danych po formacie – 3 darmowe i skuteczne sposoby!
 
Ltr of Rec 3 SR
Ltr of Rec 3 SRLtr of Rec 3 SR
Ltr of Rec 3 SR
 
Calling for Change: BME Oxford Students Speak Out
Calling for Change: BME Oxford Students Speak OutCalling for Change: BME Oxford Students Speak Out
Calling for Change: BME Oxford Students Speak Out
 
Filtation water services pool depth reduction.to private leisure centre
Filtation water services pool depth reduction.to private leisure centreFiltation water services pool depth reduction.to private leisure centre
Filtation water services pool depth reduction.to private leisure centre
 
Presentación de Flickr
Presentación de Flickr Presentación de Flickr
Presentación de Flickr
 
Magazine cover
Magazine coverMagazine cover
Magazine cover
 
Letter of Recommendation4 MD
Letter of Recommendation4 MDLetter of Recommendation4 MD
Letter of Recommendation4 MD
 
Darwing leon
Darwing leonDarwing leon
Darwing leon
 
Storm Topaz case study
Storm Topaz case studyStorm Topaz case study
Storm Topaz case study
 
Flikcr
FlikcrFlikcr
Flikcr
 
Bear Rocks
Bear RocksBear Rocks
Bear Rocks
 

Similaire à (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

Media Umat edisi 115
Media Umat edisi 115Media Umat edisi 115
Media Umat edisi 115Rizky Faisal
 
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014ekho109
 
Perjuangan organisasi pergerakan kebangsaan
Perjuangan organisasi pergerakan kebangsaanPerjuangan organisasi pergerakan kebangsaan
Perjuangan organisasi pergerakan kebangsaanUniversity OxFord
 
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsaPancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsaVieRgo NaYa
 
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsaPancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsaVieRgo NaYa
 
Sinar islam cetak edisi 2014
Sinar islam cetak edisi 2014Sinar islam cetak edisi 2014
Sinar islam cetak edisi 2014Arjuna Ahmadi
 
Majalah Experience Salavie ED : xi 2013
Majalah Experience Salavie ED : xi 2013Majalah Experience Salavie ED : xi 2013
Majalah Experience Salavie ED : xi 2013Roziq Bahtiar
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016ekho109
 
Piagam perjuangan kebangsaan cetakan pertama
Piagam perjuangan kebangsaan cetakan pertamaPiagam perjuangan kebangsaan cetakan pertama
Piagam perjuangan kebangsaan cetakan pertamaMorenk Beladro
 
Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)
Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)
Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)Arief Rahman Hakim
 

Similaire à (sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015 (20)

Media Umat edisi 115
Media Umat edisi 115Media Umat edisi 115
Media Umat edisi 115
 
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
(sindonews.com) Opini sosial budaya 10 oktober 2016-18 november 2016
 
Kepelbagaian budaya
Kepelbagaian budayaKepelbagaian budaya
Kepelbagaian budaya
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 10 juli 2014-22 agustus 2014
 
Perjuangan organisasi pergerakan kebangsaan
Perjuangan organisasi pergerakan kebangsaanPerjuangan organisasi pergerakan kebangsaan
Perjuangan organisasi pergerakan kebangsaan
 
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsaPancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa
 
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsaPancasila sebagai alat pemersatu bangsa
Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa
 
ISLAM WASATHIYAH
ISLAM WASATHIYAHISLAM WASATHIYAH
ISLAM WASATHIYAH
 
Pendahuluan
PendahuluanPendahuluan
Pendahuluan
 
Biografi pahlawan
Biografi pahlawanBiografi pahlawan
Biografi pahlawan
 
Bab 6 (2)
Bab 6 (2)Bab 6 (2)
Bab 6 (2)
 
Sinar islam cetak edisi 2014
Sinar islam cetak edisi 2014Sinar islam cetak edisi 2014
Sinar islam cetak edisi 2014
 
Selasar Edisi 06
Selasar Edisi 06Selasar Edisi 06
Selasar Edisi 06
 
Globalisasi
GlobalisasiGlobalisasi
Globalisasi
 
Majalah Experience Salavie ED : xi 2013
Majalah Experience Salavie ED : xi 2013Majalah Experience Salavie ED : xi 2013
Majalah Experience Salavie ED : xi 2013
 
Ilusi negara-islam
Ilusi negara-islamIlusi negara-islam
Ilusi negara-islam
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
 
Piagam perjuangan kebangsaan cetakan pertama
Piagam perjuangan kebangsaan cetakan pertamaPiagam perjuangan kebangsaan cetakan pertama
Piagam perjuangan kebangsaan cetakan pertama
 
Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)
Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)
Bulletin ARH Library News edisi 3 (15 Maret 2013)
 
Selasar edisi 17
Selasar edisi 17Selasar edisi 17
Selasar edisi 17
 

Dernier

Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxMateri Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxc9fhbm7gzj
 
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdfPerbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdfAgungNugroho932694
 
POKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AW
POKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AWPOKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AW
POKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AWKafe Buku Pak Aw
 
“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal Faizin
“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal  Faizin“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal  Faizin
“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal FaizinKanaidi ken
 
CERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptx
CERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptxCERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptx
CERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptxpolianariama40
 
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptxbahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptxvincentptk17
 
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxhentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxKalpanaMoorthy3
 
Materi B.indo (Penyusunan Paragraf).pptx
Materi B.indo (Penyusunan Paragraf).pptxMateri B.indo (Penyusunan Paragraf).pptx
Materi B.indo (Penyusunan Paragraf).pptxafkarzidan98
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdfHendroGunawan8
 
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptxUNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptxFranxisca Kurniawati
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxHeriyantoHeriyanto44
 
Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3
Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3
Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3SatriaPamungkas18
 
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptxHalomoanHutajulu3
 
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docxKISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docxjohan effendi
 
Elemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptx
Elemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptxElemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptx
Elemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptxGyaCahyaPratiwi
 
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptxAksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptxdonny761155
 
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...Kanaidi ken
 
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdfJaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdfHendroGunawan8
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdfAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdfHeriyantoHeriyanto44
 
(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaru
(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaru(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaru
(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaruSilvanaAyu
 

Dernier (20)

Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptxMateri Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
Materi Kuliah Ramadhan WARISAN SYAWAL 1444.pptx
 
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdfPerbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
Perbaikan ekonomi zaman Habibie (Offering A - 4-6) Pertemuan - 10.pdf
 
POKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AW
POKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AWPOKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AW
POKOK BAHASAN DEMOKRASI MATAKULIA PKN - DJOKO AW
 
“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal Faizin
“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal  Faizin“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal  Faizin
“Mohon Maaf Lahir & Batin” ... Minal Aidin Wal Faizin
 
CERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptx
CERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptxCERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptx
CERAMAH SINGKAT RAMADHAN RIFKI TENTANG TAUBAT.pptx
 
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptxbahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
bahasa-indonesia-penyusunan-paragraf.pptx
 
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptxhentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
hentikan buli danGANGGUAN SEKSUAL UNTUK MURID.pptx
 
Materi B.indo (Penyusunan Paragraf).pptx
Materi B.indo (Penyusunan Paragraf).pptxMateri B.indo (Penyusunan Paragraf).pptx
Materi B.indo (Penyusunan Paragraf).pptx
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-1.pdf
 
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptxUNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
UNSUR - UNSUR, LUAS, KELILING LINGKARAN.pptx
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptxAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pptx
 
Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3
Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3
Penyusunan Paragraf Primakara Informatika IFPagi3
 
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
704747337-Ppt-materi-Presentasi-Program-Kerja-Organisasi-kangguru.pptx
 
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docxKISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
KISI-KISI Soal PAS Geografi Kelas XII.docx
 
Elemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptx
Elemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptxElemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptx
Elemen Jurnalistik Ilmu Komunikasii.pptx
 
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptxAksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
Aksi Nyata PERENCANAAN BERBASIS DATA.pptx
 
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
Silabus Pelatihan _Peranan dan Implementasi "Dual Banking Leverage Model (DBL...
 
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdfJaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan PTT Pertemuan Ke-1.pdf
 
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdfAKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
AKSI NYATA MODUL 1.3 VISI GURU PENGGERAK.pdf
 
(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaru
(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaru(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaru
(NEW) Template Presentasi UGM yang terbaru
 

(sindonews.com) Opini sosial-budaya 24 april-5 juni 2015

  • 1. 1 DAFTAR ISI MAKAN GRATIS DI AMSTERDAM Komaruddin Hidayat 4 AKAR RADIKALISME Moh Mahfud MD 6 PEREMPUAN MENGHADAPI TANTANGAN ZAMAN Nuraini Ahmad 9 PEMIKIR DAN PENULIS YANG SOEKARNOIS Ahmad Millah Hasan 12 CELANA Sarlito Wirawan Sarwono 15 PESTA BIKINI: MENIRU NENEK-NENEK? Dedi Mulyadi 18 SK MENPORA MENGGANTUNG BOLA W Riawan Tjandra 21 BATAS KEPEMIMPINAN Rudolf Tjandra 24 REFLEKSI ENAM BULAN NAWACITA Rhenald Kasali 27 GOLF DAN REFORMASI Komaruddin Hidayat 31 DIALEKTIKA MEGA-JOKOWI Muhammad Takdir 33 IDE ABSURD LOKALISASI & SERTIFIKASI PSK Faisal Ismail 36 GURU HONORER, SIAPA PEDULI? Jejen Musfah 39 MARSINAH DAN TEOLOGI PEMBEBASAN BURUH Tom Saptaatmaja 42 BUBURUH DI HARI BURUH Dedi Mulyadi 45 KEBERHASILAN PEMBANGUNAN MELALUI GERBANG DESA
  • 2. 2 Uu Ruzhanul Ulum 48 INVESTASI UNTUK INDUSTRI HIJAU Ali Masykur Musa 51 THE GEOGRAPHY OF THOUGHT Komaruddin Hidayat 54 NEPAL MASA TRANSISI Elfindri 57 HUKUM YANG TIDAK ADIL BUKANLAH HUKUM Noer Fauzi Rachman 60 RAKYAT BELAJAR BERDAULAT Mohamad Sobary 63 KUTUKAN PERMISSIVENESS Faisal Ismail 66 SEMIOTIKA ISRA-MIKRAJ Muhbib Abdul Wahab 69 TEROR GAYA HIDUP Komaruddin Hidayat 73 BOLA DI LAGA POLITIK MENPORA W Riawan Tjandra 75 RUMITNYA MASALAH ROHINGYA Dinna Wisnu 79 MEMIMPIN KEBANGKITAN M Arief Rosyid Hasan 82 HAK ASUH ATAU PENGASUHAN Reza Indragiri Amriel 85 NASIB MALANG PRT MIGRAN Anis Hidayah 88 KOTA PINTAR BUKAN SEKADAR TOMBOL DAN TEKNOLOGI TINGGI Handi Sapta Mukti 91 PESANTREN DALAM SEJARAH KEBANGKITAN NASIONAL A Halim Iskandar 94 MERDEKA! BELUM MERDEKA! BELUUUUUM...! Mohamad Sobary 97
  • 3. 3 KAUM MUDA DAN KEKUASAAN Mohammad Nasih 100 MENANTI KIPRAH KAUM MUDA Biyanto 103 KEJAHATAN AKADEMIK Sudjito 106 MENYELAMATKAN ROHINGYA Dinna Wisnu 109 KPK ITU ASET REFORMASI Mohamad Sobary 112 PANSEL KPK Rhenald Kasali 115 KOMUNITAS BATU AKIK Komaruddin Hidayat 118 PARADOKS JUAL-BELI IJAZAH Rakhmat Hidayat 120 BERAS PALSU DAN SPIRIT BARU PANGAN LOKAL Posman Sibuea 123 CICAK SEKECIL ITU PUN DIMUSUHI Mohamad Sobary 127 PESAN WAISAK LAWAN KEBIADABAN Tom Saptaatmaja 130 SEPAK BOLA DAN TATA KELOLA DUNIA Dinna Wisnu 133 GENGSI GELAR IJAZAH PALSU Laode Ida 136 TOPENG BERNAMA IJAZAH Komaruddin Hidayat 139 BERAS PLASTIK DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Abustan 141 RASA KEMANUSIAAN KITA Helmy Faishal Zaini 144 DERITA ROHINGYA, PANGGILAN KEMANUSIAAN Anna Luthfie 147
  • 4. 4 Makan Gratis di Amsterdam Koran SINDO 24 April 2015 Pekan lalu saya berjumpa dengan sahabat lama, biasa saya sapa dengan panggilan Pak Rivai. Dalam usianya sekitar 70 tahunan, sebagai mantan aktivis mahasiswa dan pengusaha, dia masih rajin membaca buku dan mengikuti perkembangan politik baik dalam maupun luar negeri. Dalam obrolannya itu ada cerita yang menarik dan lucu yang ingin saya bagi dengan pembaca. Dalam satu kunjungannya sekian tahun lalu ke Belanda bersama teman-teman bisnisnya, dia masuk ke restoran di Amsterdam. Pemilik restoran segera tahu mereka ini rombongan dari Indonesia. Terjadi dialog yang akrab antara rombongan dan pemilik restoran. Pak Rivai mengemukakan kesan kekagumannya dalam hal penataan kota yang rapi, terutama dalam pengendalian air dengan membuat kanal-kanal, sehingga Kota Amsterdam bebas dari banjir meski letaknya menempel ke laut. Bahkan kanal itu juga menjadi sarana rekreasi bagi para turis. Siapa pun yang berjalan-jalan ke Belanda rasanya belum lengkap kalau belum putar-putar menelusuri Kota Amsterdam dengan kapal lewat jalur kanal. Obrolan Pak Rivai dan pemilik restoran juga menyinggung sejarah panjang masa penjajahan dan eksploitasi Belanda atas kekayaan alam Nusantara. Amsterdam ini tak akan bagus seperti yang Anda lihat tanpa kekayaan alam Indonesia yang diangkut ke sini di masa penjajahan, kata pemilik restoran. Mereka yang pernah ke Amsterdam akan melihat bangunan-bangunan tua dengan bahan kayu jati, padahal Belanda tidak punya hutan. Bahkan orang Belanda punya ungkapan, Tuhan menciptakan seluruh negeri, kecuali Belanda. Karena Belanda dibangun oleh orang Belanda sendiri dengan mengubah laut menjadi daratan. Demikiankah obrolan akrab dan terbuka antara rombongan Pak Rivai dengan pemilik restoran yang membuat pemilik restoran tidak mau dibayar atas semua jamuan yang dihidangkannya. Saya malu menerima uang Anda karena sesungguhnya kami banyak utang budi dan materi kepada Indonesia, katanya. Dialog singkat tadi membuat saya menerawang jauh. Sebuah potret imajiner bangsa dan wilayah yang demikian luas dan kaya dikuasai Belanda, sebuah negara kecil di Eropa. Sekarang ini para intelektual Belanda pun kalau ingin pikirannya mengglobal, mereka mesti menuliskannya dalam bahasa Inggris.
  • 5. 5 Di Indonesia bahasa Belanda mati pelan-pelan sejak negeri ini merdeka. Sebuah budaya dan bahasa, bahkan juga agama, tak akan tumbuh kuat tanpa dukungan demografis dan politik yang kuat. Begitu pun nasib bahasa Belanda di Indonesia dan Eropa kalah bersaing dengan bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Di samping faktor demografis, kekuatan iptek dan ekonomi sebuah negara akan menjadi pilar penyangga eksistensi dan penyebaran bahasanya. Di Jepang meski negaranya kecil, banyak orang asing tertarik belajar bahasanya karena faktor kemajuan iptek dan ekonominya. Yang paling fenomenal adalah penyebaran bahasa Mandarin. Di samping kekuatan ekonomi, adalah faktor diaspora orang China ke berbagai negara dunia. Indonesia dengan kekayaan alam, budaya, dan jumlah penduduk serta pengalaman melakukan eksperimentasi demokrasi sangat potensial membuat bangsa dan negara asing untuk belajar bahasa Indonesia. Dibanding dengan masa pendudukan Belanda, pendudukan Jepang tentu sangat pendek. Namun dominasi automotif dalam pasar Indonesia justru semakin kuat dan menggurita. Ditambah lagi pendatang baru Korea. Kalau saja desain Belanda dalam membangun kereta api dilestarikan dan dikembangkan ke seluruh Nusantara, wajah Indonesia akan lain. Subsidi bahan bakar untuk kendaraan automotif tidak akan membengkak seperti sekarang. Dananya bisa dialihkan untuk pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi. Tapi apa mau dikata. Tampaknya sejarah bangsa ini merupakan potongan-potongan fragmen peristiwa yang diwarnai like or dislike atau suka tidak suka serta balas dendam akibat perebutan kekuasaan warisan Ken Arok dengan Keris Empu Gandring untuk saling menikam. Semua yang lama dibuang, padahal yang baru belum tentu lebih baik. Sebuah negara yang terdiri atas gugusan kepulauan dan potongan-potongan memori dan agenda pembangunan yang tidak dirajut dengan solid, kokoh, rapi, dan indah. Mau sampai kapan kondisi bangsa ini dalam kondisi rapuh dan sakit meskipun wajah luar terlihat sehat dengan seremoni senyum ramai-ramai? PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 6. 6 Akar Radikalisme Koran SINDO 25 April 2015 Pekan lalu, sebagai anggota pengurus Yayasan Wahid Institute (WI), saya hadir di kantor institut yang bergerak di bidang penguatan kebangsaan melalui toleransi dan kedamaian antaragama itu. Di kantor yang terletak di kawasan Taman Amir Hamzah itu kami berdiskusi tentang banyak hal, dipimpin oleh direktur eksekutifnya, Yenny Wahid. Kami senang karena dalam keserbaterbatasannya, yayasan yang ingin melanjutkan ide-ide perjuangan Gus Dur dalam merawat NKRI itu masih bisa terus berkiprah, bahkan mampu membentuk jejaring kerja sama dengan berbagai negara lain. Tagline The Wahid Intitute sebagai pernyataan kebulatan ide dan perjuangan Gus Dur adalah Seeding Plural and Peaceful Islam. Di antara hal-hal yang didiskusikan saat itu adalah fakta lapangan yang berhasil digali dan dianalisis WI tentang radikalisme dan terorisme. Ada temuan, bibit radikalisme dan terorisme sangat potensial tumbuh dan berkembang di lingkungan yang intoleran terhadap perbedaan, terutama dalam urusan agama dan keyakinan. Secara sekilas temuan ini terasa biasa, tetapi sesungguhnya ia teramat penting sebagai bahan untuk menangani radikalisme dan terorisme yang selama ini sering menghantui kita. Soalnya, selama ini kita lebih meributkan radikalisme dan terorisme sebagai fakta yang harus diperangi secara represif tanpa secara serius memotong akarnya, yakni intoleransi terhadap perbedaan. Padahal kalau akan serius menangkal dan memerangi radikalisme dan atau terorisme, kita harus menggunting akar-akarnya dan sikap intoleran terhadap perbedaan ini merupakan salah satu akar tunjang yang harus dibereskan di negara kita. Tak akan banyak gunanya perang langsung atau represi terhadap radikalisme dan terorisme kalau tidak disertai, bahkan didahului, penyelesaian terhadap tumbuhnya sikap intoleransi terhadap perbedaan, terutama perbedaan atas keyakinan. Sesungguhnya pula bibit-bibit radikalisme dan terorisme itu ada pada setiap agama, bukan hanya pada agama tertentu. Ekspresinya memang bergantung pada lingkungan sosial dan politik, misalnya seberapa besar pengikut (mayoritas dan minoritas) di setiap negara. Upaya memberi pengertian kepada umat dari sudut Islam bahwa perbedaan adalah fitrah (melekat pada manusia dan masyarakatnya serta tak bisa dihindari) telah dilakukan secara mati-matian oleh Gus Dur yang kini dilanjutkan, antara lain, oleh WI. Kami selalu
  • 7. 7 menjelaskan bahwa menurut kitab suci Alquran sebagaimana tercantum di dalam Surat Al- Maidah ayat 48, perbedaan itu sengaja diciptakan oleh Allah. Oleh sebab itu tak boleh ada kekerasan karena perbedaan, apalagi mengatasnamakan perintah Tuhan atau membela agama. Kalau Allah menghendaki manusia di dunia hanya sejenis, misalnya hanya mau satu ras dan satu agama, Allah pasti bisa melakukannya. Kalau tidak bisa melakukan itu berarti Dia bukan Tuhan. Yang beriman kepada Allah dan kemahakuasaannya harus yakin pula bahwa perbedaan itu diciptakan oleh Allah sendiri. Untuk apa? Untuk ujian bagi yang memperjuangkan kebenaran dan agar manusia bisa berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Pemuka agama apa pun perlu menyampaikan hal yang sama kepada umat masing-masing. Lisa Wahid, putri sulung Gus Dur, yang juga hadir pada pertemuan itu memberi pandangan yang menarik. Katanya, di lapangan ada problem pendekatan dalam mengatasi tindak kekerasan sehingga tampak ambigu dan mengawang. Secara hukum dan konstitusi ada dua hal yang sekilas tampak berbeda dalam menyikapi intoleransi dengan tindak kekerasan. Pada satu sisi ada ketentuan tentang hak asasi manusia yang menurut konstitusi melekat pada setiap orang dan harus dilindungi oleh negara, termasuk hak untuk beragama dan berkeyakinan. Pada sisi lain aparat penegak hukum seperti Polri diarahkan oleh konstitusi kita untuk menjaga ketertiban, mengayomi masyarakat, dan menyelesaikan masalah secara damai dan harmonis. Di lapangan, kecuali dalam dugaan dan pendugaan terorisme, dalam menghadapi kasus konkret tindakan intoleran dan tindak kekerasan kerap kali aparat penegak hukum lebih memilih menyelesaikan secara kompromi, tidak melakukan tindakan tegas, bahkan terasa sering mengalah, terhadap pelaku kekerasan; misalnya membubarkan forum dialog atau ritual yang seharusnya dilindungi. Kepentingan untuk menjaga ketertiban ”bersama” dan tidak melanjutkan keributan kerap kali didahulukan dari perintah konstitusi untuk melindungi hak asasi ”orang” dalam berkeyakinan dan berdiskusi untuk bertukar pikiran. Kata Lisa, dilema dan ambiguitas pendekatan seperti itu harus dikaji secara cermat untuk menemukan format yang tepat agar perintah konstitusi terpenuhi. Yang juga mempermudah provokasi bagi radikalisme dan terorisme adalah kemiskinan dan ketidakadilan. Saya pernah mendapat beberapa SMS aneh dari nomor yang tak saya kenal pemiliknya dan mungkin dia hanya iseng. Pengirim SMS meminta dicarikan channel ke pimpinan ISIS karena dia akan mendaftar masuk ISIS. Alasannya, kata dia, kalau masuk ISIS bisa mendapat 20 juta rupiah sebulan, sedangkan di Indonesia hidupnya sangat susah karena miskin. Terlepas dari kemungkinan dikirim karena iseng, SMS itu mengonfirmasi bahwa ”hidup fakir dan miskin bisa mendorong orang melakukan kejahatan, termasuk terorisme”. Kata Nabi Muhammad, ”Kaada al faqru an yakuuna kufran,”kemiskinan (kefakiran) itu mendorong
  • 8. 8 orang menjadi kafir (melanggar, bertindak nekat). Begitu pun ketidakadilan sering kali dijadikan umpan oleh para radikalis untuk mengajak orang melakukan tindak kekerasan. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 9. 9 Perempuan Menghadapi Tantangan Zaman Koran SINDO 25 April 2015 Peringatan Hari Kartini sebagai pahlawan nasional bertepatan dengan hari dan tanggal kelahiran RA Kartini, yaitu setiap tanggal 21 April setiap tahunnya. Peringatan Hari Kartini tersebut kemudian diperingati secara nasional oleh segenap bangsa ini. Kartini adalah lambang perjuangan kaum perempuan Indonesia untuk memajukan diri. Penetapan nama RA Kartini sebagai pahlawan nasional akhir-akhir ini banyak menuai kritikan dari kalangan ahli sejarah. Umumnya mereka menggugat kenapa Kartini, sementara banyak tokoh perempuan lain. Namun penulis tidak dalam kapasitas mempersoalkan penokohan Kartini, biarlah ahli sejarah yang meluruskannya. Bagi penulis, penetapan nama RA Kartini sesungguhnya adalah suatu bentuk penghormatan atau sebagai simbol dari bentuk pengakuan anak bangsa ini terhadap jasa-jasa kaum perempuan yang telah berjuang dalam mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia. Penghormatan itu tentu tidak berhenti pada Kartini, tapi semua perempuan Indonesia yang memperjuangkan hak kaumnya untuk maju. Ada beberapa tokoh pejuang perempuan lain yang tentu harus kita kenang dan ikuti perjuangannya, di antaranya Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Siti Manggopoh, Rasuna Said, Rohana Kudus, Rahmah El Yunusiyah, Martha Christina Tiahahu, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang, Nyi Ahmad Dahlan, dan masih banyak pejuang perempuan tanah air yang tak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Perempuan Berdiri Sejajar Kiranya sudah tak pantas adanya kata marginalisasi buat kaum perempuan dewasa ini. Kenapa? Menurut hemat penulis sejauh ini perempuan Indonesia telah bergerak dan berkiprah dalam segala bidang kehidupan dan berdiri sejajar dengan kaum pria. Sumbangsih mereka dalam memajukan bangsa Indonesia sangat penting. Lihat saja di bidang politik Indonesia sudah punya presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarno Putri. Menteri-menteri perempuan pun sangat banyak dan tidak hanya mengurusi urusan perempuan. Kita juga punya puluhan kepala daerah perempuan. Bahkan Walikota Surabaya Tri Rismaharini masuk Wali Kota kelas dunia. Di tingkat dunia kita juga kenal seorang perempuan bernama Sri Mulyani Indrawati, seorang mantan menteri kita yang menjadi pimpinan Bank Dunia. Bidang pertahanan keamanan
  • 10. 10 banyak bermunculan nama-nama perempuan, bahkan sudah beberapa orang telah menyandang pangkat Jendral berbintang. Bidang yang sangat langka di masa lalu, kini Kartini-Kartini kita sudah banyak menjadi serdadu, bahkan berpangkat jenderal. Dalam bidang pendidikan sudah banyak perempuan Indonesia yang bergelar profesor dan doktor di segala bidang. Bahkan tak sedikit yang menjadi rektor dan pembantu rektor dan tidak sedikit pula yang menjabat sebagai dekan dan pembantu dekan. Pada bidang kesehatan sudah banyak yang bergelar, profesor, doktor dan para tenaga-tenaga dan spesialis di bidang kesehatan. Entrepreneur perempuan pun terus lahir dan membuktikan diri bahwa jenis kelamin tak mempengaruhi kesuksesan mereka. Masih banyak contoh-contoh di berbagai sector lain. Kartini dan Tantangan Globalisasi Pada era globalisasi di mana dunia semakin kecil yang dikenal dengan era kesejagatan, sekat- sekat negara sudah mulai hilang. Ideologi dan budaya negara asing akan masuk ke Indonesia tanpa bisa dibendung. Bagaimanakah peran perempuan dan bagaimana pula perempuan menghadapi tantangan yang datang bersama perubahan zaman ini? Era ini ditandai dengan semakin majunya bidang teknologi. Kita jadi mengenal era digital dan era internet yang membuat semua hal mudah diakses. Hal ini sangat menguntungkan dalam segala bidang, termasuk komunikasi bidang pendidikan, perdagangan, perekonomian politik, dan sebagainya, tetapi di samping dampak positif tentu juga ada dampak negatifnya (Alwi Shihab, Islam Inklusif, 1997). Kartini Indonesia harus mampu mengubah tantangan menjadi peluang. Para Kartini-Kartini terutama yang berusia muda harus bisa meningkatkan ilmu pengetahuan menjadi sarjana- sarjana yang hebat yang bisa diperhitungkan dunia. Kartini kita harus mampu bersaing dan mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, minimal menjadi pengguna teknologi yang baik dan memanfaatkan teknologi itu dengan baik untuk diri sendiri, keluarga, jangan sampai menjadi korban kemajuan teknologi. Kesempatan terbuka lebar untuk perempuan berkiprah dalam segala bidang kehidupan, kini tinggal pada kemampuan dan kemauan kaum perempuan saja. Kaum perempuan Indonesia harus eksis dan bisa bersaing dengan penduduk dunia lainnya, namun ia harus berkarakter sebagai orang Indonesia yang dikenal agamais, ramah, santun, berjiwa sosial serta saling menghargai. Untuk itu diperlukan Kartini yang kuat di ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta kuat iman dan takwanya (imtak). Imtak yang kuat akan mampu menjadi benteng dalam kehidupannya dan tak jarang kita temui perempuan yang menjadi penopang kehidupan keluarga sekaligus menjadi kepala keluarga pencari rezeki akibat perceraian hidup atau perceraian mati. Tak jarang kita jumpai ibu-ibu yang hidup sendirian/janda, bisa hidup dengan layak dan berhasil mendidik dan mengantarkan anak-anak mereka pada tingkat pendidikan yang tinggi
  • 11. 11 bahkan sampai memperoleh kesarjanaan dan mampu mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan menciptakan lapangan pekerjaan yang baru semuanya tak lepas dari bimbingan dan perjuangan serta kerja keras sang ibu (Kartini pejuang). Mari kita berdayakan kaum perempuan agar mampu mengatasi persoalan hidupnya sebagai guru pertama dari semua anak Indonesia. Selamat Hari Kartini. Jadilah Kartini-Kartini yang kuat, tangguh, mandiri serta menjaga harga diri. Jayalah Indonesiaku. NURAINI AHMAD Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah
  • 12. 12 Pemikir dan Penulis yang Soekarnois Koran SINDO 25 April 2015 Sekitar 30.000 kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia melakukan doa bersama untuk keselamatan bangsa bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Masjid Al Akbar, Surabaya, Jumat malam, 17 April 2015. Doa bersama Presiden Jokowi ini merupakan puncak rangkaian Harlah PMII ke-55. Peringatan harlah ke-55 yang bertajuk ”Pembela Bangsa Penegak Agama” memberikan pesan bahwa PMII adalah organisasi kemahasiswaan yang akan menjadi benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menyebarkan nilai Islam rahmatan lil alamin. PMII adalah salah satu karya dan peninggalan Pak Mahbub Djunaedi yang berprofesi sebagai jurnalis, esais, sastrawan, penerjemah dan politikus tersohor. Mahbub merupakan salah satu aktivis yang membidani kelahiran Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), sekaligus ketua umum pertamanya, juga sempat menjabat di GP Ansor dan PBNU. 55 tahun lalu, Pak Mahbub bersama 13 mahasiswa NU membidani berdirinya PMII. Mereka adalah Sahabat Cholid Mawardi, Sahabat Said Budairy (Jakarta), Sahabat M. Makmun Syukri BA (Bandung), Sahabat Hilman (Bandung), Sahabat H. Ismail Makky (Yogyakarta), Sahabat Munsif Nahrawi (Yogyakarta), Nuril Huda Suaidy HA (Surakarta), Sahabat Laily Mansur (Surakarta), Sahabat Abd. Wahab Jailani (Semarang), Sahabat Hisbullah Huda (Surabaya), Sahabat M. Cholid Narbuko (Malang), dan Sahabat Ahsan Husain (Makasar). Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ baru di Yayasan Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tidak berselang lama, tahun 1961 PMII melaksanakan Kongres I di Tawangmangu, Solo yang menghasilkan Deklarasi Tawangmangu. Dari sini dimulailah kiprah PMII dalam percaturan nasional. Tahun 1963 Kongres II PMII digelar di Yogyakarta. Kongres ini menegaskan kembali esensi Deklarasi Tawangmangu yang dikenal dengan Penegasan Yogyakarta. Tahun 1965 PMII mengadakan TC II di Megamendung, Bogor, untuk menyikapi problem kehidupan masyarakat dan negara. Sebagai kader PMII, penulis lebih sering merenungkan tentang tulisan Pak Mahbub. Itu karena nama besar Pak Mahbub melebihi nama besar PMII. Orang lebih tahu Pak Mahbub sebagai penulis dan jurnalis ketimbang pendiri PMII. Pak Mahbub pernah menduduki kursi Ketua Umum PWI Pusat (1955-1970), di bidang jurnalistik ini beliau meraih popularitasnya
  • 13. 13 sebagai penulis esai kelas wahid di Indonesia. Pak Mahbub pernah menjadi kolumnis tetap di Tempo dan Kompas. Ciri khas tulisannya adalah humor, kreativitas berbahasa, serta mampu menyajikan persoalan dengan sederhana. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul Dari Hari ke Hari. Pada tahun 1974 roman ini mandapatkan penghargaan sebagai roman terbaik dari DewanKesenian Jakarta beserta Angin Musim. KH Hasyim Muzadi adalah salah satu tokoh yang mengenal dekat Pak Mahbub. Ia juga mengikutinya masuk pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), organisasi mahasiswa yang berafiliasi dengan NU yang kemudian membesarkan namanya Kiai Hasyim masuk menjadi kader PMII dengan mula-mula mengikuti pendidikan dan pelatihan yang digelar Pengurus Besar PMII di Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, tahun 1964. Kegiatan itu diikuti mahasiswa terbaik dan terpilih dari seluruh penjuru Tanah Air. Kiai Hasyim dan beberapa teman mewakili PMII kota Malang. Saat kegiatan itulah, Kiai Hasyim mulai mengenal lebih dekat pendiri PMII, yaitu Mahbub Junaidi dan kawan-kawannya. Ia bahkan juga memahami dan mendalami pemikiran serta gerakan Pak Mahbub sebagai pendiri dan aktivis PMII. Pak Mahbub, katanya, menggabungkan pemikiran kelompok nasionalis dan keislaman. Kiai Hasyim bercerita, Pak Mahbub itu seorang soekarnois. Pemikirannya menggabungkan pemikiran nasionalis dan keislaman. Itu pula yang menjadi dasar gerakan PMII. Pada masa awal berdirinya, PMII berkembang pesat. Sebab, Himpuan Mahasiswa Islam (HMI) yang lebih awal berdiri dianggap banyak kalangan terlalu radikal, sehingga para mahasiswa NU, enggan masuk HMI. Maka lahirlah PMII yang dibawa Mahbub dengan konsep baru. PMII bisa mewadahi kelompok mahasiswa yang tak mau bergabung dengan HMI. Karena itulah perkembangan PMII sangat cepat. Jumlah massa PMII di banyak kampus bahkan hampir sama dengan HMI. Di antara tugas kader PMII ke depan adalah melestarikan dan menjaga pemikiran dan karya- karya Pak Mahbub. Pertama, sebagai penulis Pak Mahbub adalah pemikir yang moderat. Islam yang ramah bukan marah. Maka tak salah jika Jokowi menyorot soal ISIS saat hadir pada perayaan Harlah ke-55. Kedua, Pak Mahbub sebagai politisi. NU tak perlu khawatir bahwa PMII masih terus melahirkan banyak politisi ulung dan tersohor. Sebut saja, nama Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Imam Nahrowi, Hanif Dakhiri, Nusron Wahid, Marwan Jafar, Lukman Hakim Saifuddin, mereka semua adalah kader terbaik PMII di eranya yang kini jadi penerus Pak Mahbub sebagai politisi. Bahkan sebagian dari mereka menjadi menteri. Ketiga, Pak Mahbub sebagai penulis dan jurnalis. Kini lumayan banyak kader PMII yang terjun ke dunia jurnalistik dan tulis-menulis. Karena itu, karya tulis perlu menjadi bagian dari pengaderan PMII. Dengan demikian, ke depan semua mahasiswa yang mengaku sebagai
  • 14. 14 kader PMII dan Pak Mahbub adalah penulis. Satu hal yang belum bisa dilampaui kader PMII bahwa tulisan Pak Mahbub bisa jadi menjadi ”bacaan wajib” tiap pagi. Tak hanya itu, pak Mahbub diundang ke Istana untuk berdiskusi lebih dalam tentang isi tulisan Pak Mahbub. Teman-teman Pak Mahbub sangat mengenang beliau yang selalu bilang ”saya ingin menulis hingga tak lagi mampu menulis,” katanya. AHMAD MILLAH HASAN Tenaga Ahli Menteri Sosial Bidang Komunikasi dan Media; Kader PMII
  • 15. 15 Celana Koran SINDO 26 April 2015 Antara 1973-1975, Provinsi Papua (ketika itu namanya masih Irian Jaya) pernah dipimpin seorang gubernur bernama Acub Zainal (1927-2009). Gubernur yang brigjen TNI dan sebelumnya menjabat sebagai pangdam XVII/Cenderawasih (1970-1973) ini adalah seorang kepala daerah yang luar biasa. Dalam era kepemimpinannya, baik sebagai pangdam maupun sebagai gubernur, Acub Zainal telah membangun provinsi ini secara besar-besaran, termasuk membangun perumahan dan perkantoran untuk pemda dan militer, pertukaran misi olahraga dan kebudayaan dengan PNG (Papua Nugini) yang waktu itu baru saja merdeka, memugar Stadion Mandala, dan membangun tim sepak bola, si “Mutiara Hitam” Persipura yang selalu masuk delapan besar kejuaraan nasional PSSI dan akhirnya menjadi juara PSSI tahun 1975/1976. Bukan itu saja, Persipura bahkan pernah mewakili PSSI dalam sebuah turnamen di Saigon dan berhasil masuk final, walaupun akhirnya kalah tipis 2-1 dari Vietnam. Namun, saya di sini bukan mau bicara tentang Acub Zainal, melainkan tentang kampanye anti-koteka yang dijalankan sejak Gubernur Frans Kasiepo (pendahulu Gubernur Acub Zainal) di Papua. Pada masa itu, koteka yang dianggap ”kurang berbudaya” dialihkan ke celana. Maka pada tahun 1971, di saat Acub Zainal menjabat pangdam XVII/Cenderawasih, digelarlah ”Operasi Koteka” yang memaksa kaum laki-laki mengganti koteka mereka dengan celana. Sepintas tidak ada yang salah dengan gagasan celanasisasi itu. Di luar Papua, semua orang pakai celana. Baik laki-laki maupun perempuan. Baik celana luar maupun celana dalam. Kalau orang tidak bercelana, malah disangka gelandangan schizophrenia. Apalagi, celana itu dibagi cuma-cuma oleh pemerintah. Jadi sudah pas lah proyek celanasisasi ketika itu. Buktinya, sekarang celana sudah biasa buat orang Papua. Laksamana Numberi dan Menteri Yohana Yembise adalah putera-puteri Papua yang bercelana. Tidak ada masalah. Tetapi pada waktu Operasi Koteka digelar, banyak laki-laki kena penyakit kulit, karena dipaksa mengenakan celana. Pasalnya, orang Papua tidak terbiasa dengan air (kecuali untuk minum). Mereka bukan etnis yang berbudaya air. Memasak pun mereka menggunakan teknik bakar batu (tidak ada teknik rebus, atau kukus seperti di Jawa). Maka mereka tidak mencuci celana mereka. Akibatnya sakit kulitlah mereka. Sementara dengan koteka, mereka tidak memerlukan air. Untuk menghindari gigitan serangga atau nyamuk malaria, mereka cukup melumuri diri dengan lumpur dan mereka tetap sehat
  • 16. 16 walafiat. Lebih celaka lagi, ketika anak-anak Papua diwajibkan sekolah, mereka pun wajib mengenakan seragam sekolah, kemeja putih dan celana merah. Akibatnya anak-anak Papua tetap tidak bisa bersekolah karena tidak serta-merta bisa berubah dari koteka (atau belum berkoteka) ke celana. Sekarang ini negara perlu mengimpor beras. Pemerintah berupaya keras untuk mengatasi kekurangan stok beras dengan meningkatkan produktivitas petani, tetapi sulit sekali. Padahal, orang Papua dan Ambon aslinya makan pepeda yang terbuat dari sagu, orang Madura dan NTT makan jagung, dan orang Gunung Kidul, DIY, makan singkong sebagai makanan utama mereka. Sejak era Soeharto, semua diarahkan untuk makan nasi. Nasi dianggap lebih berbudaya sebagai makanan pokok dari pada non-nasi. Bahkan, banyak orang Indonesia yang merasa masih belum makan kalau perutnya belum kemasukan nasi (walaupun sudah makan french fries, atau hamburger). Ketika orang-orang di Gunung Kidul kembali ke singkong (nama lokalnya ”tiwul”) untuk mengganti beras yang langka atau mahal, media massa langsung menuding bahwa pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat, dan BEM pun mengerahkan massa mahasiswa untuk berdemo sambil membawa slogan-slogan turunkan presiden! Padahal tiwul sudah jadi makanan orang Gunung Kidul sejak mereka belum mengenal nasi. Bahkan, sekarang ini banyak ragam makanan dan camilan berbahan dasar singkong yang dikemas secara modern, diiklankan di TV, dan dijual di supermarket dengan harga mahal, dan tidak ada yang protes. Bayangkan kalau masyarakat sudah makan keong! Mahasiswa akan mengerahkan massa lebih banyak lagi ke Istana Presiden. Padahal, keong itu di restoran-restoran Prancis namanya escargot dan harganya seporsi (isi beberapa ekor keong) hampir sama dengan steak daging sapi. Saya hanya kegelian, jika saya diundang orang Prancis, di restoran Prancis, dan melihat si Prancis mencutik-cutik daging escargot dari cangkangnya dan kemudian menyeruputnya dengan nikmat. Lebih baik saya fokus ke lobster pesanan saya yang harganya bisa untuk membayar uang kos mahasiswa di Jakarta selama satu bulan. Jadi yang ingin saya katakan adalah bahwa pakaian, makanan, dan apa pun yang dilakukan atau diyakini orang adalah bagian dari budaya. Tidak bisa dilepaskan perilaku dari budaya. Jadi, penyeragaman perilaku adalah sesuatu yang non-budaya. Keseragaman dan penyeragaman di lingkungan militer, misalnya, ditekankan dan dipaksakan dalam waktu tertentu melalui sekolah atau akademi militer. Keluar dari pendidikan militer, perilaku menjadi seragam, ”Siap! Hormat, grak! Laksanakan!”, tetapi begitu dia menengok orang tua
  • 17. 17 di kampung, dia kembali mencium tangan orang tuanya, lupa pada ”Siap, hormat grak!”. Si tentara kembali kepada budaya aslinya. Pembangunan Indonesia banyak sekali melupakan pembangunan budaya. Program transmigrasi sangat berjaya di era Soeharto. Banyak penduduk asal Pulau Jawa, Bali, atau Madura menjadi transmigran sukses di tempatnya yang baru di pulau-pulau lain. Tetapi tidak dipikirkan bagaimana akulturasi budaya antaretnik yang saling berinteraksi itu, sehingga pasca-Soeharto, banyak sekali terjadi kerusuhan atau konflik antar etnik. Budaya itu bukan sekadar memakai celana atau makan nasi, tetapi menyangkut cara berpikir, sikap dan kebiasaan-kebiasaan terkait memakai celana atau makan nasi tersebut yang dalam ilmu tentang budaya (antropologi) disebut artifak. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 18. 18 Pesta Bikini: Meniru Nenek-Nenek? Koran SINDO 27 April 2015 Ujian nasional merupakan ritual tahunan yang menegangkan dalam sistem pendidikan yang kita jalani. Ujian tersebut seolah menjadi peristiwa penentu perjalanan hidup dan kehidupan seorang siswa. Berbagai cara dilakukan oleh siswa, guru dan orangtua untuk dapat melewati peristiwa sakral dan menegangkan tersebut. Sebut saja bimbel, mencari bocoran soal, sampai hal-hal yang berbau mistis seperti mencari wangsit ke kuburan dan menggandeng dukun, dari mulai dukun tradisional yang menggunakan mantra dan sesajen sampai dukun lulusan luar negeri yang menggunakan metodologi berpikir rasional berbasis teknologi informasi. Kekalutan orang terhadap ujian nasional dimanfaatkan oleh para pihak yang melihat itu sebagai sisi keuntungan, maka terjadilah kebocoran soal yang mengguncang jagat pendidikan Indonesia dan dianggap aib yang menampar dunia pendidikan kita. Padahal masalah kebocoran adalah hal yang ”biasa” dalam siklus perjalanan pembangunan Indonesia. Kontraktor bikin bangunan rata-rata atapnya bocor, bikin toilet di lantai dua juga sering bocor, pipa PDAM tidak jarang mengalami kebocoran, jaringan listrik juga sering bocor di perjalanan. Kebocoran bukan hanya melanda hal-hal yang biasa, tetapi juga melanda wilayah-wilayah yang dianggap paling sakral dan dijaga oleh ratusan pasukan. Berapa kali kita mendengar pembicaraan presiden yang dianggap rahasia sekalipun sering bocor terdengar ke luar, bahkan sampai ke negeri Australia dan Amerika Serikat. KPK, lembaga anti-rasuah yang paling ditakuti di negeri ini, surat penetapan status tersangkanya pada seseorang pernah bocor sebelum diumumkan. Jadi kenapa kita harus panik terhadap soal ujian nasional yang bocor kalau kebocoran di negeri ini sudah dianggap hal yang wajar? *** Perjalanan pendidikan yang melelahkan dan berpuncak pada ujian nasional telah melahirkan peserta didik yang depresi. Bukan hanya peserta didiknya, bahkan pendidiknya pun banyak yang mengalami depresi disebabkan oleh kebingungan mereka dalam mengartikulasikan seluruh ide dan gagasan tentang hakikat pendidikan yang sering kali berbenturan dengan doktrin administratif pendidikan yang berbasis kurikulum bongkar muat. Ciri-ciri peserta didik yang depresi itu sangat mudah diidentifikasi, ketika ada pengumuman bahwa mereka bebas untuk tidak masuk sekolah (libur), maka tepuk tangan mereka
  • 19. 19 menggema di ruang kelas disertai dengan senyum bahagia para gurunya. Jadi secara umum kalau murid ditanya pelajaran apa yang disukai di sekolah, sebenarnya bukan pelajaran matematika, fisika, kimia, atau biologi yang mereka sukai, tetapi pelajaran bebaslah yang menjadi pelajaran favorit. Hal tersebut menunjukkan betapa sistem pelajaran di sekolah telah menjadi monster yang menakutkan dan mencekam. Tumpah ruah kebahagiaan atas selesainya seluruh jenjang pendidikan yang dijalani oleh siswa, banyak diekspresikan dalam berbagai tingkah polah yang sering kali bertentangan dengan spirit pendidikan itu sendiri. Ekspresi itu banyak diwujudkan dengan ritual berkonvoi di jalanan, coret-coret baju seragam, sampai pesta minuman keras, bahkan kita mendengar saat ini tidak sedikit anak sekolah yang melakukan pesta seks. Sebuah ironi dari spirit kemuliaan pendidikan yang mengajarkan nilai luhur tentang makna keutuhan manusia. Pada akhirnya, kekerasan doktrin pendidikan berbanding terbalik dengan realitas produk pendidikan yang telah kehilangan substansi dan terperosok ke dalam lubang seremoni pendidikan atas nama kualitas dan atas nama kompetensi seseorang. Seluruh kompetensi yang menjadi kebanggaan dan alat ukur pendidikan kita, kini terperosok ke dalam pendidikan yang terkerangkeng dan sibuk memuja metodologi serta melupakan substansi dari arah dan tujuan pendidikan itu sendiri. *** Pertanyaan unik dapat kita ajukan dalam tesis yang sangat sederhana, betulkah pendidikan formal yang berpuncak pada ujian nasional adalah jaminan mutu bagi masa depan seseorang? Tapi mengapa para pengusaha sukses banyak lahir tanpa latar belakang pendidikan profesinya, para penemu banyak lahir dari orang-orang yang tidak sepenuhnya mengikuti pendidikan formal? Tukang kuli bangunan mampu mewujudkan sisi pembangunan yang indah tanpa pendidikan sekolah bangunan, tetapi justru kebudayaan mereka dalam memahami bangunan porak- poranda oleh orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi berdasarkan karakter yang lebih menekankan pada titik keuntungan dibanding watak peradaban. Istana Negara dan Istana Cipanas sebagai simbol kebanggaan masyarakat Indonesia justru dibangun melalui kerja rodi. Gedung Sate yang tinggi megah sebagai ikonnya masyarakat Jawa Barat juga dibangun dengan kerja rodi. Jalan Anyer-Panarukan, jalur kereta api dari Jakarta hingga Surabaya, juga dibangun oleh kekuatan pekerja yang tak bersekolah. Yang lebih unik lagi, karya-karya musik dan lagu yang berkualitas banyak diciptakan dan dinyanyikan oleh orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan musik secara formal, tetapi mengutamakan imajinasi dan rasa serta pengalaman hidup yang membuat mereka unggul dalam kreativitas. Silakan ditanyakan kepada Bang Haji Rhoma Irama si Raja Dangdut, Iwan Fals, Ebiet G Ade, Slank, dan Melly Goeslaw, mereka sekolah musik di mana? Jawabannya ”tanyakan kepada rumput yang bergoyang,” begitulah kata Ebiet G Ade, ”Terlalu,” kata Bang
  • 20. 20 Haji Rhoma Irama, “Bongkar,” itulah kata Iwan Fals, “Ada Apa dengan Cinta,” begitulah Melly Goeslaw mengatakan. Ketika hari menjelang senja, Ma Icih berkata dengan nada penuh makna kepada Mang Udin suami tercintanya, ”Udin, saya tidak mengerti, katanya pendidikan dasar 9 tahun tapi kenapa pemerintah melaksanakan ujian di kelas 6...? Terus sekarang pendidikan yang baik 12 tahun, kenapa harus ada ujian nasional di kelas 9...? Selanjutnya dari kelas 6 ke kelas 7 mah bukan lulus, tapi naik... dari kelas 9 ke kelas 10 juga sama, bukan kelulusan tapi kenaikan.” Mang Udin menimpali sambil tersenyum, ”Iya Icih, saya juga tidak mengerti, buat apa sampai bimbel segala ya? Kalau bimbel dianggap efektif dan merupakan cara mudah untuk lulus ujian, sebaiknya sekolah dihapus saja diganti dengan bimbel, terus ujian. Kan jadi murah biaya pendidikan Indonesia.” Ma Icih kembali menimpali, ”Betul, Din. Kelihatannya cucu-cucu kita sekarang banyak mengalami stres, karena terlalu seriusnya belajar di sekolah. Bajunya serius, bukunya serius. Bahkan saking seriusnya itu buku, sebelum masuk ke sekolah tidak pernah dibaca dulu oleh pejabat yang menangani bukunya, sehingga gambar porno, ajaran agama abal-abal bisa masuk ke buku. Kalau buku yang menentukan arah pembelajaran di kelas, nanti mah sekolah guru harus dihapus karena tidak bermanfaat lagi ketika mengajar. Guru tidak lagi menyampaikan pemahaman pengetahuan yang dia miliki hasil dari kuliahnya, mereka hanya sekedar menyampaikan isi buku kepada murid-muridnya. Jadi guru sudah tidak lagi mewakili pengetahuan yang dimilikinya, tetapi dia lebih mewakili pesan percetakan yang dititipkan kepadanya.” Ma Icih menambahkan, ”Nini (Nenek) sekarang itu lagi ada kebahagiaan, ternyata anak-anak sekolah di Jakarta kayanya sudah bosan dan pusing dengan berbagai teori yang membuat mereka menjadi semakin asing dengan dirinya, bahkan mereka sudah bosan dengan peradaban pakaian perkotaan yang membuat mereka menjadi tersiksa. Mereka ingin hidup sederhana seperti Nini, pake baju cukup kutang wungkul sehingga diadakan pesta sebagai wujud kebahagiaan tamatnya mereka sekolah. Padahal kalau uang untuk biaya sekolah mereka itu diberikan kepada Nini, Nini bisa beli kutang baru karena kutang lama kancingnya sudah copot sebelah,” ujar Ma Icih menutup pembicaraan. DEDI MULYADI Bupati Purwakarta
  • 21. 21 SK Menpora Menggantung Bola Koran SINDO 27 April 2015 Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) akhirnya membekukan kepengurusan PSSI hasil Kongres Luar Biasa melalui Surat Keputusan Nomor 01307 Tahun 2015 tertanggal 17 April 2015. Cukup banyak pihak menilai bahwa surat Menpora tersebut sejatinya salah alamat karena seharusnya ditujukan kepada PT Liga Indonesia, bukan kepada PSSI. Surat itu berisi pembekuan PSSI karena tidak menanggapi surat teguran pertama (8 April) dan tidak memberikan jawaban yang relevan dengan isi surat teguran kedua (15 April). PSSI juga tidak menjawab surat peringatan ketiga (16 April) sampai tenggat 24 jam berakhir. Semua surat teguran tersebut berkaitan dengan kisruh kompetisi Liga Super Indonesia (LSI). PSSI dan PT Liga Indonesia dinilai mengabaikan rekomendasi Badan Olahraga Profesional Indonesia yang mencoret Arema Cronus dan Persebaya Surabaya dari daftar peserta kompetisi LSI 2015 karena adanya klaim kepemilikan ganda. Namun ternyata kedua klub tetap melaksanakan dua pertandingan di kandang masing-masing. Secara yuridis dan organisatoris, kewenangan menanggapi rekomendasi pencoretan Arema dan Persebaya dari BOPI ada pada PT Liga Indonesia selaku operator Liga Super Indonesia alias QNB League. Seharusnya Kementerian Pemuda dan Olahraga melalui BOPI memberikan kesempatan lagi bagi Arema dan Persebaya yang hanya tinggal menuntaskan urusan administrasi mengenai proses rekonsiliasi kepengurusan di klub masing-masing. *** Berdasarkan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan disebutkan, ormas hanya bisa dibubarkan bila melanggar ideologi negara dan melakukan tindakan makar. Sebagai ormas, PSSI hanya bisa dibubarkan oleh pengurusnya menurut ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PSSI. Dalam sepak bola Indonesia tidak terjadi pelanggaran atas dua alasan hukum yang memungkinkan dilakukannya pembubaran PSSI sebagai suatu ormas tersebut. Sebagai ormas, PSSI tidak bisa dibubarkan oleh Menpora. Soal kelembagaan ormas, kewenangannya ada di Kementerian Hukum dan HAM RI, bukan berada di Kementerian Pemuda dan Olahraga. Di titik inilah sejatinya Menpora perlu meninjau ulang surat keputusan (beschikking) yang telah telanjur ditetapkannya tersebut.
  • 22. 22 Dalam teori hukum administrasi negara, suatu keputusan tata usaha negara yang telah dikeluarkan oleh seorang pejabat tata usaha negara selalu terbuka kemungkinan untuk dicabut kembali oleh pejabat tata usaha negara yang menetapkannya melalui mekanisme executive review. Jika Menpora tidak bersedia mencabutnya, UU Administrasi Pemerintahan membuka peluang bagi pengurus PSSI yang baru untuk mengajukan upaya administratif terhadap SK tersebut melalui langkah pengajuan keberatan (administratieve bezwaar) kepada pejabat yang menetapkan (Menpora) maupun banding administratif (administratieve beroep) kepada atasan pejabat yang menetapkan suatu keputusan tata usaha negara (baca: Presiden RI). Jika setelah melalui kedua langkah tersebut upaya hukum PSSI belum membuahkan hasil, masih tersedia upaya hukum bagi pengurus PSSI untuk menggugat Surat Keputusan Menpora Nomor 01307 Tahun 2015 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. *** Badan sepak bola dunia (FIFA) yang bermarkas di Zurich, Swiss, belum bisa memberikan komentar lebih jauh tentang pembekuan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang dilakukan Menpora Imam Nahrawi. David Noemi, salah seorang juru bicara FIFA, menyatakan sedang memantau dan mempelajari situasi mengenai pembekuan PSSI tersebut sehingga belum bisa memberikan komentar atau mengambil sikap tertentu. Noemi hanya mengingatkan bahwa pada tanggal 10 April 2015 FIFA telah mengirim surat kepada Menteri Imam Nahrawi tentang kriteria yang ditetapkan pemerintah terhadap klub- klub yang hendak berpartisipasi dalam Liga Super Indonesia. Dalam surat itu, FIFA menginformasikan kepada Menteri Nahrawi bahwa para anggota FIFA harus mengelola urusan mereka secara independen dan tanpa pengaruh dari pihak ketiga seperti diatur dalam Pasal 13 dan 17 Statuta FIFA. Selanjutnya, FIFA mengingatkan bahwa hanya anggota FIFA (atau liga yang terafiliasi) yang bisa memberi lisensi dan bertanggung jawab mengatur dan memaksakan kriteria yang harus dipenuhi klub yang berpartisipasi sebagaimana diatur pada butir kedua dan ketiga pada Peraturan Perizinan Klub FIFA. Berkaitan dengan hal itulah, substansi surat tersebut selanjutnya menyebutkan bahwa FIFA meminta Pemerintah Republik Indonesia menahan diri agar tidak mencampuri urusan PSSI dan memungkinkan PSSI memenuhi kewajibannya sebagai anggota FIFA. Noemi menyampaikan bahwa kegagalan Pemerintah Indonesia melakukan hal untuk tidak mencampuri urusan PSSI akan membuat FIFA tidak punya pilihan selain menjatuhkan sanksi kepada PSSI. Sejatinya, dunia sepakbola Tanah Air, khususnya liga profesional, kini sedang merangkak naik untuk mulai menapaki jalur prestasi. Pembekuan PSSI oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) merugikan sepak bola nasional. Kerugian itu berupa sanksi yang bisa saja dijatuhkan FIFA karena adanya intervensi pemerintah. Sepak bola Tanah Air akan mati
  • 23. 23 jika FIFA menjatuhkan sanksi, ketika SK Menpora ”menggantung” bola. DR W RIAWAN TJANDRA, SH, MHUM Pengajar Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
  • 24. 24 Batas Kepemimpinan Koran SINDO 28 April 2015 “Ketika seorang pemimpin yang efektif menyelesaikan pekerjaannya, orang-orang mengatakan bahwa itu terjadi secara alami.”- Lao Tzu Pemimpin dan kepemimpinan menjadi salah satu isu yang paling penting belakangan ini. Kepemimpinan bangsa dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepemimpinan Ibu Kota dengan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), kepemimpinan Ibu Risma dalam penanganan bencana AirAsia yang patut dipuji serta kepemimpinan dari berbagai organisasi publik, pemerintah maupun swasta telah menjadikan saat ini waktu yang tepat untuk melakukan refleksi: sejauh manakah para pemimpin mampu melakukan perubahan dan seberapa banyak perubahan dan/atau transformasi yang dapat kita harapkan dari para pemimpin kita? “Manajemen adalah melakukan dengan benar, kepemimpinan adalah melakukan hal yang benar,” kata Peter Drucker. Namun batasan antara kedua hal tersebut menjadi kabur ketika kini muncul tuntutan agar manajer juga menjadi pemimpin yang efektif dan pemimpin juga sekaligus menjadi manajer yang andal. Tuntutan akan kepemimpinan yang mampu memberikan visi yang relevan dan memastikan visi tersebut terterapkan dengan efektif menjadi semakin besar karena baik dia seorang pemimpin bangsa dengan 250 juta penduduk, kota megapolitan dengan jumlah penduduk mencapai 20 juta, perusahaan multinasional dengan 1.000 profesional. Atau perusahaan kecil dengan 20 karyawan; semuanya adalah organisasi yang membutuhkan atau lebih tepatnya menempatkan sederet harapan kepada para pemimpinnya. Jadi apakah sebenarnya yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin yang efektif? Keterampilan, kekuatan, dan kepribadian seperti apa yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memberikan hasil yang nyata? Kita melihat literatur kepemimpinan penuh dengan kata-kata seperti “karisma”, “determinasi”, “komitmen”, “passion/hasrat”, dan “visi”. Apakah benar demikian adanya? Apa semua pemimpin efektif mutlak memiliki trait atau karakter seperti tertera di atas? Hasil riset berpuluh tahun yang dilakukan Prof Brian Morgan dari Cardiff Business School ternyata membuktikan hal berbeda. Tidak ada yang konsisten dari daftar descriptor yang dapat membantu kita mengidentifikasi pemimpin yang luar biasa. Pemimpin sukses ternyata sangat beragam. Beberapa eksentrik, yang lain konformis, beberapa khawatiran, beberapa
  • 25. 25 sangat santai, beberapa sangat memesona dan hangat, beberapa memiliki kepribadian sangat kaku dan cenderung pendiam. Hasil riset ini sejalan dengan 20 tahun pengalaman saya sebagai profesional di berbagai organisasi. Saya malah cenderung berpendapat bahwa tidak ada kepemimpinan yang bebas konteks dan efektivitas kepemimpinan sebagian besar sangat bersifat situasional. Pandangan saya ini sejalan dengan teori kepemimpinan yang menyatakan, baik model kepemimpinan transaksional maupun transformasional tidak dapat dipastikan selalu efektif dalam segala situasi dan semua waktu. Filosofi seorang pemimpin harus cukup fleksibel untuk dapat beradaptasi dengan situasi dan perubahan zaman. Kita membutuhkan campuran teknik kepemimpinan transaksional dan transformasional untuk dapat menyelesaikan pekerjaan. Ide dasar di balik teori tersebut adalah seseorang harus mampu menyesuaikan strategi dengan kondisi yang selalu berubah. Hidup didefinisikan dengan cerdas adalah suatu pencarian tanpa akhir terhadap pengetahuan. Jadi jika Anda berpikir bahwa mengetahui segalanya yang ada, Anda mungkin telah sampai ke akhir. Seorang pemimpin harus selalu membuka mata dan telinganya secara terus menerus untuk selalu terbuka dalam menyerap pemikiran dan ide-ide baru, terlepas dari mana pun mereka berasal. Semua kesempatan untuk belajar keterampilan baru tidak boleh diabaikan begitu saja karena itu akan memberikan dorongan untuk berkembang. Manajemen dan kepemimpinan adalah bidang yang sangat dinamis. Gaya lama dan ideologi-ideologi menjadi kuno dan yang baru akan menggantikan mereka. Apa yang berfungsi saat itu mungkin tidak akan berfungsi sekarang. Bisnis saat ini menuntut pendekatan manajemen yang berbeda. Semua pemimpin tidak memiliki cara yang sama dalam memandang suatu hal. Beberapa memilih pendekatan carrot, sementara yang lainnya memilih pendekatan stick. Beberapa melihat kebebasan sebagai cara mengembangkan kreativitas dan pemikiran individu, sementara yang lain percaya bahwa sejumlah kontrol diperlukan untuk mencapai target dan menyelesaikan pekerjaan. Seorang pemimpin yang efektif harus mampu dan bersedia untuk mengerti dan bekerja dalam keterbatasan dari lingkungan tempat dia bekerja. Hal ini karena tidak ada sebuah lingkungan yang sepenuhnya selalu kondusif sehingga proses menghubungkan kinerja dengan kepemimpinan tidak pernah mudah. Pemimpin harus sangat bersemangat untuk membuat poin di mana mereka dapat membentuk visi yang jelas dan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengomunikasikan rencana mereka ke seluruh organisasi sehingga akan muncul kinerja luar biasa meski dalam kenyataannya apa yang terjadi tidak akan pernah jelas sepenuhnya. Ini terjadi karena dalam urat nadi organisasi yang kompleks kepemimpinan dan pimpinan akan selalu berhadapan dengan keterbatasan.
  • 26. 26 Beberapa pemicu keterbatasan tersebut dapat dilihat dari beberapa fakta. Pertama, fakta bahwa strategic choice sering membutuhkan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk muncul. Perubahan sering kali dimulai dari single-loop, pendekatan win-win daripada evolusi double-loops atau triple-loops. Chris Argyris (2002) mendefinisikan pembelajaran single-loop sebagai pendeteksi dan koreksi kesalahan tanpa mengubah nilai dan kultur organisasi. Sebagai contoh, termostat diprogram untuk menyala ketika suhu di dalam ruangan dingin, matikan api jika ruangan menjadi terlalu panas. Termostat adalah pembelajaran double-loops jika dapat menanyakan mengapa dia diprogram untuk mengukur suhu, kemudian menyesuaikan suhu tersebut. Sebagai catatan perubahan yang diperlukan dalam double-loops membutuhkan sebuah aktualisasi Revolusi Mental ala Presiden Jokowi yang seharusnya berarti perubahan menuntut kita melihat, mempertanyakan dan bila perlu mengubah nilai-nilai dan kultur yang selama ini berlaku. Sumber kedua yang berpotensi membatasi peran kepemimpinan dapat ditelusuri dari perbedaan tingkat urgensi tahap proses evolusi perusahaan yang berbeda. Organisasi yang sedang dalam kesulitan dan/atau organisasi baru mungkin akan jauh lebih bersedia untuk beradaptasi dengan cepat dibandingkan dengan organisasi yang sudah berumur dan organisasi yang sudah sukses. Ini terjadi karena perilaku yang konsisten diikuti sekian lama akan terakumulasi menjadi sebuah konsensus, sebuah kebiasaan. Di saat itu dibutuhkan keberanian yang luar biasa untuk membangun sebuah organisasi kelas dunia. Salah satu aspek yang paling menantang dari kepemimpinan adalah menciptakan keseimbangan yang tepat antara pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin dan pembentukan atmosfer di mana visi yang jelas dikomunikasikan dengan baik ke seluruh urat nadi organisasi. Visi yang dikomunikasikan dengan baik harus meliputi komitmen dari pimpinan organisasi kepada semua anggota organisasi tersebut dan sebaliknya. Menghargai dan rasa peduli yang nyata kepada orang-orang dalam organisasi Anda adalah satu hal mendasar dari kepemimpinan yang baik. Manusia adalah aset yang paling berharga dalam organisasi sehingga ini menjadi sangat esensial bagi seorang pemimpin untuk menginvestasikan waktu dan tenaganya untuk mengembangkan mereka dengan memberikan kesempatan-kesempatan yang ada, pengakuan jangka pendek maupun panjang dan rasa memiliki yang kuat. DR RUDOLF TJANDRA Chief Marketing Officer & Director Softex Indonesia
  • 27. 27 Refleksi Enam Bulan Nawacita Koran SINDO 30 April 2015 Banyak penggemar sepak bola yang tidak habis mengerti bagaimana tim sehebat Brasil bisa dibantai 1-7 oleh Jerman pada Piala Dunia 2014. Apalagi pertandingan itu dilakukan di Brasil. Juga bagaimana Spanyol yang juara Piala Dunia 2010 dan juara Piala Eropa 2012 bisa takluk telak 1-5 kepada Belanda? Di tingkat klub-klub Eropa sampai sekarang kita masih bingung dengan Barcelona yang kalah 0-7 secara agregat dari Bayern Muenchen pada semifinal Liga Champions 2012/2013. Atau Bayern Muenchen yang ditumbangkan Real Madrid 0-4 pada pertemuan kedua semifinal Liga Champions 2013/2014. Jawabannya kita tahu beberapa waktu kemudian. Baik pelatih tim Brasil, Spanyol, Barcelona atau Bayern Muenchen mengakui mereka salah menerapkan strategi. Begitulah, tim sehebat apa pun, penuh dengan pemain bertalenta, bisa tak berkutik ketika sang dirigen, pelatihnya, salah menerapkan strategi. Kasus di Perusahaan Kasus serupa terjadi di dunia bisnis. Saya bersahabat dengan banyak eksekutif, baik di lingkungan BUMN maupun swasta. Beberapa di antaranya terkesan sangat hebat dalam mengkritik program orang lain. Ia paham betul tentang industrinya. Kita bisa terkagum- kagum mendengarkan paparannya. Tapi apa yang terjadi ketika dia diminta memimpin perusahaan yang tengah bermasalah atau yang industrinya agak bergejolak? Kinerja perusahaannya ternyata kurang optimal. Ini sama persis dengan menteri-menteri yang terkesan hebat. Ada apa? Kita tahu, memimpin perusahaan besar, apalagi kementerian, tak bisa lagi memakai gaya one man show. Semua harus diurus bersama. Kita tak membutuhkan superman, tetapi superteam. Kata Henry Ford, “Coming together is a beginning. Keeping together is progress. Working together is success.” Usahakanlah mimpi di kasur yang sama ya harus sama, supaya selaras. Dalam banyak kasus, saya lihat persoalan utama yang dihadapi para CEO adalah soal membangun culture dan chemistry. Sebagai CEO, teman saya yang lain, membangun suasana kerja yang informal dan organisasi yang flat agar pengambilan keputusan bisa cepat. Untuk itu ia ingin mengembangkan robbust discussion di perusahaannya.
  • 28. 28 Dalam robbust discussion, sebelum rapat diselenggarakan, isu-isu penting harus dibahas dulu secara informal dalam suasana yang santai. Sambil minum kopi, bisa di ruang kerja, kafe, bahkan sambil makan siang. Intinya kesepakatan sudah harus dicapai sebelum kita masuk ruang rapat. Jadi begitu di ruang rapat, kita hanya tinggal ketok palu. Tapi, itu ternyata tidak terjadi. Para eksekutif yang ada di bawahnya telanjur terbentuk dalam kultur yang agak birokratis. Mereka terlalu takut mengambil keputusan. Mereka lebih suka keputusan diambil bersama-sama di ruang rapat yang ada notulensi dan kata putus disertai ketukan palu. Akibatnya banyak hal mesti diambil lewat jalur formal. Bahkan untuk masalah- masalah sepele sekalipun. Anda tahu akibatnya? Pertama, agenda rapat jadi bertumpuk-tumpuk. Sebentar-sebentar rapat. Tapi, celakanya ini rupanya cocok betul dengan selera para eksekutif tadi. Sebab dengan mengikuti banyak rapat, dia jadi kelihatan sibuk bekerja. Kedua, begitu masuk rapat, suasana pun jadi serbaformal. Diskusi tidak cair. Debat menjadi kurang hangat. Hanya begitu ada ucapan yang menyinggung satu pihak, mereka akan ngotot habis-habisan mempertahankan argumentasinya. Bukan demi kebaikan perusahaan, tapi lebih memanjakan egonya. Begitulah, dengan suasana yang semacam itu, akhirnya terlalu banyak formalitas di perusahaan tersebut. Suasana menjadi kaku. Pengambilan keputusan menjadi lambat. Pada gilirannya kinerja perusahaan pun menjadi kurang optimal. Culture dan Chemistry Mengurus negara sebetulnya mirip dengan mengurus tim sepak bola atau perusahaan. Kita perlu membangun dan memiliki culture dan chemistry kerja yang sama. Itulah yang kurang terlihat dalam jajaran Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo. Coba saja Anda amati. Dalam rapat kabinet, suasananya masih sama. Semua menteri (betul bahwa seharusnya demikian) hadir lebih dulu dengan Presiden dan Wakil Presiden menyusul kemudian setelah semua lengkap. Tapi, ketika Presiden dan Wakil Presiden akan memasuki ruang rapat, mereka berdiri dan mengambil sikap sempurna. Apa bedanya suasana yang seperti itu dengan rapat-rapat pemerintahan terdahulu? Nyaris tidak ada. Saya melihat banyak menteri yang masih sering pontang-panting, takut sekali kalau dipanggil Presiden. Apalagi sekarang, oknum politisi dari partai pengusungnya (dan juga dari lawan- lawannya) tak henti-hentinya bicara wacana reshuffle. Sudah ngebet betul tampaknya untuk merebut jabatan menteri. Tapi ini sekaligus mengganggu kondisi psikologis orang kerja dari kelompok profesional yang tak punya dukungan politik kuat. Maaf saja, kini banyak beredar SMS di berbagai kementerian, di kalangan birokrat tingkat tinggi, bahwa jabatan bapak atau ibu menterinya sudah di ujung tanduk. Mereka meramalkan
  • 29. 29 bosnya hanya bertahan paling lama setahun atau dua tahun. Maka jangan heran kalau pembangkangan akan mulai jadi biasa, merusak spirit tim dan chemistry organisasi. Pada banyak organisasi, untuk memudahkan penilaian kinerja, sudah lama diaplikasikan balanced scorecard. Melalui aplikasi ini, setiap orang akan memiliki key performance indicator (KPI) atau target-target yang mesti dicapainya. Ini saya lihat juga belum muncul. Padahal dulu ada di Kantor UKP4 yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto. Beruntung Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin Susi Pudjiastuti yang “orang swasta”. Mereka kini mulai menerapkan appliques balanced scorecard. Kementerian lain? Padahal, balanced scorecard bukan hanya aplikasi pengukur kinerja. Aplikasi ini juga memungkinkan kita “berkomunikasi dengan bahasa yang sama”. Jadi ketika kita menilai kinerja seseorang, alat ukurnya sama. Bukan sekadar adu kuat argumentasi atau pencitraan belaka. Alat inilah yang mestinya dipakai Presiden Jokowi jika ingin me-reshuffle kabinetnya. Bukan hanya berdasarkan bisikan, tekanan media, serbuan pasukan cyber, atau serangan balik kelompok yang terancam. Oleh karena belum “berkomunikasi dengan memakai bahasa yang sama”, kita lihat beberapa potret kinerja pemerintahan masih kurang sesuai dengan Nawacita. Contohnya, dalam Nawacita, pemerintahan Jokowi-JK ingin memperkuat daya saing produk kita di pasar internasional. Bagaimana realisasinya? Ekspor produk kita selama Januari-Maret 2015 turun sampai 11,67% ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya. Memang ini baru enam bulan, tapi baik juga sinyal ini kita perhatikan agar tidak nyungsep lagi. Masih dari Nawacita, pemerintah ingin menggencarkan upaya pemberantasan korupsi. Nyatanya? Di mana-mana kita justru membaca berita tentang pelemahan KPK dan serangan polisi terhadap pejuang anti-korupsi. Pemerintah menargetkan wajib belajar 12 tahun yang bebas dari pungutan. Nyatanya pungutan masih terjadi. Bahkan dalam kemasan yang lebih beragam. Melalui Nawacita, pemerintah ingin melakukan penegakan hukum yang bebas dari korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Cobalah Anda bertanya kepada Nenek Asyani. Itukah yang ia rasakan? Kita pasti ingin memiliki tim sepak bola yang hebat. Untuk itu kita mesti memiliki PSSI yang hebat pula. Celakanya yang terjadi pemerintah malah membekukan PSSI. Koordinasi tampaknya masih menjadi persoalan besar di pemerintahan kita. Betul, warisan lama bukan main gawatnya. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi Asia sedang mengalami ujian berat, indeks harga komoditas masih melemah. Banyak pekerjaan rumah yang kini sudah rampung di tangan pemerintahan baru. Geraknya terasa cepat. Tapi timnya (terutama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi) belum bergerak seirama, chemistry-nya belum terbentuk, dan mereka belum pandai membaca
  • 30. 30 sinyal kecuali beberapa menteri. Terlepas dari rongrongan politisi, saya lihat Kementerian BUMN malah bagus. Karena kelak BUMN ini akan menjadi motor penggerak yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Saya merasa Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla belum sepenuhnya menjadi dirigen dari sebuah orkestra besar yang bernama Indonesia. Sebab, di sana, masih “terlalu banyak kelompok yang bermain”. Kata Lee Iacocca, “I have always found that the speed of the boss is the speed of the team.“ Saya khawatir, kalau chemistry ini tak diperbaiki, kali ini Iacocca keliru. RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 31. 31 Golf dan Reformasi Koran SINDO 1 Mei 2015 Saya mendapat teman baru yang mengasyikkan dalam bermain golf: Saiful Mujani, dosen FISIP UIN Jakarta yang lebih dikenal sebagai konsultan politik ternama di Tanah Air. Dengan modal data survei, teori, pengalaman serta naluri politiknya yang tajam dan dingin, bermain golf sambil ngobrol berbagai isu politik menjadi tak terasa capai menapaki lapangan rumput hijau sekitar 7 km panjangnya. Sebagai pemain pemula yang baru mulai pegang stik lima bulan lalu, kemajuannya sangat mengesankan karena hampir setiap hari berlatih driving dengan pelatih profesional. Dalam bermain golf sesungguhnya hanya ada dua prinsip atau tantangan, yaitu power untuk memukul bola agar terbang mencapai jarak yang diinginkan dan arah (direction) agar bola tepat mendekati titik lokasi yang dituju. Untuk menentukan jarak, pemain tinggal memilih stik atau club yang masing-masing sudah terukur, berapa jauh bola akan melayang selagi pukulannya benar. Problem yang selalu dihadapi golfer, terlebih pemain baru, adalah memukul bola agar terbang lurus mendekati titik yang dituju. Dalam konteks inilah Saiful Mujani merasa kesal dan tertantang. Ayunan pukulannya sudah powerful dan jauh, tetapi bola meleset menyimpang sehingga jauh dari target. “Pukulannya mirip dengan arah reformasi politik,” katanya. Mengapa? Dari segi power dan energi, kata Saiful, reformasi politik ini mendapat sumber kekuatan yang melimpah. Partisipasi dan harapan rakyat sangat tinggi. Jumlah parpol tak pernah surut dan tetap punya semangat tinggi. Instrumen lembaga-lembaga negara komplet, bahkan jumlah komisioner bermunculan, lembaga yang tidak dikenal semasa Orde Baru. Dukungan dana pun meningkat baik yang bersumber dari APBN maupun partisipasi rakyat, terutama kalangan pengusaha. Tak kalah pentingnya adalah iklim kebebasan berpendapat yang difasilitasi media massa seperti televisi yang jumlahnya juga selalu bertambah. Salah satu problem reformasi adalah tak mampu mengelola kekuatan dan semangat rakyat untuk mendekati target yang ditawarkan dan disepakati bersama rakyat. Tak ubahnya pukulan saya yang melesat jauh, tapi melenceng dari green dan hole. Alih-alih mendapatkan skor par, bogey pun hilang. Paling banter double atau tripple. Ibarat permainan golf, begitu bola sudah masuk zona green mendekati hole, yang diperlukan adalah soft power. Mesti cermat, penuh perhitungan, tepat dalam membaca arah rumput dan
  • 32. 32 kemiringan permukaan green karena pada zona green benar-benar diperlukan akurasi matematis. Jika itu pertandingan, persaingan kian ketat dan tajam meski tampak bersahabat. Begitulah politik, semakin mendekati pusat dan puncak kekuasaan, persaingan kian memerlukan soft skill dan soft power. Ketika posisi bola di bawah 100 meter dari hole yang jadi sasaran akhir, soft skill, feeling habit, dan pengendalian emosi sangat ditekankan. Jika salah chipping dan putting, perjuangan panjang yang telah mengeluarkan tenaga akan sia-sia. Dalam konteks politik, pemilu bisa dianalogikan dengan tee off. Memukul bola sejauh dan selurus mungkin ke depan. Tapi setelah mendekati green dan hole, ibarat politik sudah sampai di puncak kekuasaan, jika tidak fokus dan tidak punya determinasi, bola meleset. Putting sampai tiga kali di zona green adalah sebuah kegagalan yang menyesakkan. Demikianlah, pemerintahan Jokowi sudah memenangi pertarungan dan menggiring bola ke zona green. Tapi kelihatannya gagal dalam melakukan putting. Skor par tidak tercapai, bogey hilang, yang diraih skor double dan tripple. Sebuah skor yang memalukan bagi pemain pro dengan handycap single. Ibarat golfer, siapa pun yang jadi presiden dan menteri mesti memiliki kompetensi untuk mengarahkan bola agar meraih par. Syukur-syukur birdie. Yang sekarang terjadi kekuatan dan legalitas politik kuat, tetapi jalannya tidak terarah. Ibarat bola sudah in the green, tapi sampai empat kali putting. Dalam permainan golf, pemain akan merasa lelah dan kesal akibat kesalahan sendiri. Suasana yang mestinya ceria berubah jadi keluh kesah dan bahkan banyak yang mengumpat menyalahkan caddy. Sudah 17 tahun reformasi, rakyat mulai lelah yang bisa berujung pada kemarahan. PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 33. 33 Dialektika Mega-Jokowi Koran SINDO 1 Mei 2015 Tajuk KORAN SINDO berjudul ”Megawati dan Jokowi ” (13/4/2015) menyajikan banyak hal. Anomali intrik kekuasaan yang ditata serampangan. Presiden yang rikuh dan Megawati yang dominan. Semua dikemas dalam sorotan media penuh interpretasi. Publik pun dibuat curious, menganga dan bertanya-tanya. Ada apa sesungguhnya di antara kedua tokoh politik satu partai ini? KORAN SINDO memberikan kritik halus yang penting diperhatikan. Jokowi dan Megawati disarankan kembali duduk bersama. Keduanya mesti mendiskusikan platform politik Nawacita yang dulu mereka tawarkan sepanjang kampanye. Kesenjangan das sein dan das solen selama lima bulan terakhir ini telah menggerogoti wibawa Presiden. Menurunkan rating kredibilitas Presiden Jokowi yang disanjung setinggi langit selama musim kampanye. Lebih fatal lagi, serangkaian blunder kebijakan yang dibuat menjadikannya teralienasi dari konstituennya, termasuk PDIP, pilar politik yang memperjuangkannya. Megasentris Salah satu dari banyak hal yang menarik diulas untuk menjelaskan tafsiran tajuk KORAN SINDO adalah sikap dan pengaruh Megawati. Dari sekilas gesture yang selalu diperlihatkan Presiden Jokowi ketika berada di sekitar Mega, Ketua PDIP itu terekspos sangat dominan dan mobis. Megawati tidak menggubris Jokowi ketika duduk di sampingnya pada saat Kongres PDIP baru lalu. Bahkan sebagai presiden pun Jokowi tidak diberi kesempatan berpidato. Sesuatu yang selama ini sebenarnya telah menjadi tradisi ketika Presiden RI hadir dalam berbagai perhelatan sebuah parpol. Persoalannya, sikap Mega terhadap Jokowi, khususnya atas keputusan-keputusan politik maupun kebijakan pemerintah yang diambil Jokowi, lebih banyak dipertontonkan seperti drama. Ada intrik, agitasi, kompetisi internal, by pass, pengkhianatan, stubbornness, pembusukan, power game, dan lain-lain. Dari serangkaian peristiwa politik yang mempertautkan kepentingan maupun kedudukan keduanya, Megawati jarang atau tidak pernah tampil ke depan menjelaskan concern, keberatan, atau pandangan-pandangannya. Kalaupun dilakukan, hal itu selalu melalui orang
  • 34. 34 ketiga, pengurus partai, orang kepercayaan, atau putrinya sendiri. Sebaliknya, Jokowi hanya menyinggungnya ketika ditanya media dengan keterangan minimal. Bahasa yang digunakan Jokowi pun tipikal khas dia: guyon dan bercanda. Hal itu membuat absensi politik Megawati—sikapnya yang diam dan pasif—sedikit agak terbantu tertutupi oleh gaya politik populis Jokowi yang disukai publik. Sebenarnya, untuk menyudahi ”unnecessary error” dan ”exhausted drama” antara kedua tokoh politik, termasuk pula dengan figur-figur politik lain, sikap interaktif Megawati terhadap Presiden Jokowi harusnya lebih terbuka dan komunikatif. Pengertian terbuka tidak harus diartikan selalu dilakukan di hadapan publik atau media. Tetapi arahnya lebih terbuka kepada Presiden dan tidak mendiamkannya ketika terjadi miskomunikasi ataupun keputusan yang tidak dapat mereka terima. Bagaimana pun, Presiden Jokowi tidak dapat ”dipaksa” untuk bersikap akomodatif atau outreach terhadap seluruh kepentingan partai politik. Karena semua itu sudah memiliki saluran tersendiri di parlemen dan KIH sebagai ruling coalition. Lagi pula, sebagai presiden, Jokowi tidak lagi menjadi representasi kekuasaan PDIP, melainkan telah menjadi milik dan aset seluruh rakyat Indonesia. Kecenderungan megasentris yang membayangi pemerintahan Jokowi mesti dikikis. Jika pun tidak dapat dikurangi, Mega mesti meletakkan kontrolnya terhadap kekuasaan Jokowi tetap sebagai parpol biasa. Sama dengan parpol lain, baik di KIH ataupun KMP. Bukan sebagai perwujudan refleksi relasi ketua partai dan petugas partai. Bila ini terjadi, Mega hanya membuat double jeopardy bagi dirinya, maupun terhadap popularitas dan kredibilitas Presiden. Trust Deficit Heboh munculnya istilah ”the messenger”, ”menusuk dari belakang”, ”sembelih” dan “petugas partai” terus menambah kekisruhan dialektika kekuasaan Megawati dan Jokowi. Hal yang paling dikhawatirkan adalah jika kekisruhan itu justru bukan akibat buruknya komunikasi politik keduanya. Publik pun sebenarnya mesti fair terhadap Mega atau Jokowi. Kita juga harus memberikan benefit of the doubt. Bisa jadi hubungan dingin tercipta di luar kontrol mereka. Tetapi dikarenakan power play yang sengaja dimainkan atau setting yang diciptakan oleh spin doctor di sekitar Megawati ataupun Jokowi. Ucapan Presiden soal ”the messenger” menyiratkan hal tersebut. Dipastikan bahwa kekisruhan berlarut-larut seperti ini hanya mengebiri efektivitas Presiden dalam menjalankan agenda-agenda yang dipercayakan rakyat kepadanya. Jokowi memerlukan ruang manuver yang tenang untuk mewujudkan janji-janjinya. Megawati harus memberikan ketenangan atmosfer yang dibutuhkan, termasuk menghindari uneasiness yang
  • 35. 35 timbul akibat kompleksitas hubungan tersebut. Dominasi penguatan kontrol PDIP terhadap aktivitas Presiden tidak boleh lagi dilakukan secara careless dan provokatif. Sebagai seorang figur politik baru di tingkat nasional, turbulensi kekuasaan hanya akan membuat kenaifan atau karut-marut pemerintahan Jokowi menjadi lebih terekspos. Sebaliknya, dukungan dan confidence kita terhadap Jokowi jangan terus digerus oleh blunder kebijakan yang dibuat oleh para pembantunya ataupun Presiden sendiri. Hal itu hanya akan melanggengkan ”trust deficit” yang akan sangat memengaruhi sikap bersama publik vis-a-vis Jokowi, baik bagi yang berafiliasi maupun oposisi. Penting bagi Jokowi untuk bersikap prudent, hati-hati, dan cautious dalam menjalankan kekuasaannya. Semakin noisy urusan di sekitar Jokowi, semakin tinggi probabilitas terjadinya gaffe politik yang berimplikasi pada kepercayaan publik. Cara mengelola hubungan yang rumit dengan Mega ataupun para pentolan koalisi KIH, termasuk KMP, adalah test case terhadap masa depan dan kesinambungan kekuasaan Jokowi. Manajemennya bukan lagi bertumpu pada trial and error. Kekuasaan yang diraih sejak awal sudah sarat pertarungan. Maka kelanggengannya sangat tergantung pada konsistensi righteous path yang ditempuh Jokowi dan koalisi politiknya. Kepercayaan publik sebagai fondasi paling utama dari koalisi itu menjadi satu-satunya legitimasi yang dapat menyelamatkan keterpurukan tersebut. Kapitalisasinya tidak dapat digantikan oleh manuver politik apa pun, termasuk pencitraan yang sudah telanjur dipahami publik sebagai klise. Baik Jokowi maupun Megawati, tidak ada yang lebih penting daripada menyelamatkan reputasi mereka berdua. Reputasi itu juga akan sangat menentukan masa depan PDIP sebagai partai wong cilik dalam ajang pemilu mendatang. Nilai plus-minus kepemimpinan mereka tidak akan mudah dilupakan konstituen. Hanya dengan cara itu publik akan belajar dalam memilih rasionalitas politik terbaik yang dapat mewakili, memperjuangkan, dan menjaga kepentingan mereka sebagai pemegang kedaulatan negeri ini. MUHAMMAD TAKDIR Policy Scenario Analyst di Swiss
  • 36. 36 Ide Absurd Lokalisasi & Sertifikasi PSK Koran SINDO 2 Mei 2015 Kematian tragis pekerja seks komersial (PSK) Deudeuh Alfisahrin (alias Tata Chubby) di rumah kosnya di Tebet (Jakarta) semakin membuka praktik-praktik haram prostitusi di Ibu Kota. Menyusul terbongkarnya kasus ini, sejumlah PSK yang beroperasi di rumah-rumah kos dan di Apartemen Kalibata City dirazia dan ditangkap oleh Satpol PP. Menyaksikan bisnis esek-esek yang semakin menjamur ini, Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (akrab disapa Ahok) mencetuskan ide untuk melokalisasi prostitusi dan melakukan sertifikasi para PSK di DKI Jakarta. Di lokasi prostitusi itu nanti, kata Gubernur lebih lanjut, akan dipasang peringatan: ”Orang yang merasa suci tidak boleh masuk.” Ide ini, kata Gubernur, untuk memusatkan tempat praktik pelacuran di satu lokasi (dan para pelacur itu nanti akan diberi sertifikat) agar mudah dikontrol sehingga prostitusi tidak terjadi di mana- mana. Ide Ahok menuai reaksi keras dari kalangan agamawan dan kaum moralis. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak keras ide Pak Gubernur. Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyuarakan pandangan yang sama. Tak ketinggalan Mensos Khofifah Indar Parawansa tidak setuju dengan ide kontroversial Ahok. Mensos berargumen, tak ada jaminan prostitusi tidak akan terjadi di mana-mana jika seandainya praktik mesum itu dilokalisasi. Lokalisasi prostitusi bukan solusi untuk meredam praktik tunasusila itu. Demikian inti penolakan kalangan agamawan dan kaum moralis terhadap gagasan nyleneh Ahok yang hendak melokalisasi prostitusi dan melakukan sertifikasi PSK di DKI Jakarta. Saya menilai ide Gubernur DKI yang hendak melokalisasi pelacuran dan memberi sertifikat kepada para pelacur adalah ide yang absurd. Pertama, pelacuran (dan perbuatan amoral atau asusila lainnya) tidak mengenal istilah “dilokalisasi” atau “tidak dilokalisasi”. Di mana saja ada (potensi) praktik pelacuran (dan perbuatan amoral dan asusila lainnya), semua elemen masyarakat bermoral dan aparat keamanan harus bekerja sama mencegah, meminimalisasi, dan memberantasnya. Jika logika absurd Ahok itu diikuti, perzinaan, kumpul kebo (living together), aborsi, pornografi, free sex, korupsi (dan perbuatan tidak bermoral lainnya), perlu juga dilokalisasi agar tidak menyebar ke mana-mana dan tidak terjadi di mana-mana. Ide Ahok adalah jelas ide sekuler dan sekularisme sudah sepantasnya tidak boleh berkembang dan tidak boleh dikembangkan di Bumi Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
  • 37. 37 Kedua, melokalisasi prostitusi berarti melegalisasi perbuatan amoral dan asusila di lokasi itu. Laki-laki yang mau berbuat mesum dan bersetubuh dengan perempuan (PSK) di lokasi itu adalah sah dan legal. Ini sama artinya dengan memberi kebebasan dan menyediakan fasilitas bagi prostitute dan bagi kaum laki-laki pelanggannya. Ini sama artinya dengan apa yang disebut dalam kitab suci ”taa’wanu alal itsmi” (bekerja sama dalam perbuatan dosa). Praktik-praktik prostitusi di lokasi itu akan menjadi dosa massal, dosa turunan, dosa struktural, dan dosa institusional. Pejabat dan jajarannya yang memfasilitasi dan melakukan lokalisasi prostitusi paling bertanggung jawab kepada Tuhan di akhirat kelak. Ketiga, prostitusi menyebar ke mana-mana di DKI Jakarta bukan karena penutupan lokalisasinya oleh Sutiyoso (gubernur saat itu). Bisnis esek-esek menyebar karena jumlah PSK bertambah banyak dan mereka sudah mahir menggunakan jejaring sosial dan lebih mudah menjajakan diri mereka secara on line. Yang penting adalah pencegahan dini dan pengawasan yang ketat, koordinatif, dan terukur. Keempat, jikapun di lokasi prostitusi itu dipasang imbauan dan peringatan ”Orang yang merasa suci tidak boleh masuk,” cara seperti itu tidak menjamin berdampak efektif bagi (calon) PSK maupun bagi (calon) pelanggannya yang datang ke lokasi prostitusi itu. Alfisahrin, misalnya, dalam membela diri sebagai PSK, ia mencibir: ”Nerakaku bukan urusanmu. Apalagi surga belum tentu jadi tempatmu.” Cibiran ini dapat dipandang mewakili pembelaan para PSK pada umumnya. Sedangkan laki-laki yang (mau) datang ke lokasi prostitusi itu sudah tahu dan memahami ajaran kitab suci bahwa perbuatan asusila adalah perbuatan tercela dan terlarang. Bagi orang yang mematuhi ajaran agama (meminjam kata-kata Ahok ”orang suci atau merasa suci”) tidak punya urusan dengan pelacuran karena perbuatan mesum seperti itu memang dilarang didekati. Kelima, ide sertifikasi PSK di lokalisasi prostitusi itu juga merupakan ide yang absurd. Sertifikat tersebut, kalau ide ini jadi dilaksanakan, akan ditandatangani oleh Gubernur DKI atau pejabat bawahannya yang diberi kewenangan untuk itu. Saya yakin para prostitute tidak akan mau didata dan diberi sertifikat sebagai PSK. Sertifikat biasanya diberikan kepada orang-orang yang berdedikasi dan berprestasi di bidang usaha, bisnis, keilmuan, olahraga, kesenian, pertanian, perdagangan, tata pemerintahan, atau bidang- bidang lain yang bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa. Misalnya sertifikasi guru, sertifikasi dosen, sertifikasi peneliti, sertifikasi hakim, atau sertifikasi profesi-profesi lainnya sebagai penghargaan. Bisa juga sertifikat itu diberikan kepada orang yang telah lulus kursus (ujian) atau mengikuti program pelatihan. Pemberian sertifikat itu dimaksudkan untuk mendorong penerimanya untuk lebih terpacu berdedikasi dan berprestasi di bidangnya masing-masing dan memberikan inspirasi dan motivasi kepada orang lain untuk
  • 38. 38 mencontohnya. Para penerima sertifikat itu sangat senang dan bangga menerima sertifikat itu karena dedikasi dan prestasi mereka merasa diperhatikan dan dihargai. Sertifikat bagi PSK? Itu ide absurd. FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
  • 39. 39 Guru Honorer, Siapa Peduli? Koran SINDO 2 Mei 2015 Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap 2 Mei. Pada kesempatan ini, ada baiknya mengulas tentang nasib guru honorer. Mengapa? Tidak ada yang membantah bahwa guru merupakan kunci utama mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu merupakan kunci kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang mengabaikan guru akan selamanya menjadi negara yang terbelakang. Bangsa yang maju memiliki guru yang profesional dan sejahtera. Dalam beberapa kesempatan, di depan ribuan guru, Mendikbud Anies Baswedan kerap berjanji akan memperbaiki kualitas guru. Perbaikan kualitas guru bisa melalui pelatihan, beasiswa studi, atau pemberian gaji yang layak. Namun, janji tinggallah janji. Hingga saat ini, kehidupan guru honorer masih memilukan. Penantian panjangnya tak kunjung berakhir, dari pengangkatan sebagai guru PNS hingga pemberian gaji sesuai upah minimum kabupaten, kota, provinsi, atau regional. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun belum ada titik terang. Harapan guru pada Anies sebagai pemecah masalah tersebut sangat besar karena ia dianggap (sangat) memahami persoalan guru. Sebelum menjadi menteri, ia dikenal dengan program Indonesia Mengajar. Faktanya, dalam hal UN dan K-13, Anies berani mengambil kebijakan yang berarti; tapi ketika menghadapi nasib guru honorer, ia terkesan tak berdaya. Memelihara Harapan Pertanyaannya, mengapa guru honorer bertahan pada profesinya, padahal gaji sangat kecil? Setidaknya ada empat jawaban tentang ini. Pertama, guru sangat berharap menjadi PNS. Menjadi PNS merupakan dambaan mayoritas masyarakat karena dianggap menjanjikan kesejahteraan dan jaminan hari tua. Karena itu, apa pun akan dilakukan untuk bisa menjadi PNS, bahkan ketika harus menyuap sekalipun. Menjadi guru honorer merupakan satu cara untuk menjadi PNS dengan pertimbangan telah mengabdi (loyal) sampai waktu tertentu. Namun, meski sudah mengabdi 20 tahun sekalipun, belum ada jaminan guru bisa diangkat menjadi PNS. Sebaliknya, banyak guru yang pengabdiannya baru seumur jagung diangkat PNS. Hal ini yang menimbulkan setidaknya dua kesan: kolusi dan nepotisme pada lapis pertama, dan ketidakadilan pejabat berwenang pada lapis kedua. Akibatnya, guru berulang kali merasa kecewa terhadap sistem perekrutan guru PNS khususnya, dan kepada pemerintah umumnya.
  • 40. 40 Meski mengalami kekecewaan berat, guru tidak lantas beralih ke profesi lain setidaknya karena tiga alasan: masih berharap suatu saat giliran dirinya yang ”lolos” sebagai PNS, tidak punya keterampilan lain selain mengajar, dan terakhir sulit mencari pekerjaan. Ketika pemerintah abai terhadap nasib guru yang sudah mengabdi hingga puluhan tahun, mengharapkan guru berkinerja baik merupakan suatu hal yang berlebihan—untuk tidak mengatakan mustahil. Perubahan Kurikulum KTSP (2006) ke Kurikulum 2013 yang menuntut guru melaksanakan pembelajaran yang aktif dan penilaian otentik misalnya, sangat besar kemungkinan gagal, karena guru masih sibuk dengan kebutuhan dasarnya alias belum sejahtera. Kedua, guru mengajar lebih dari satu sekolah. Untuk menutupi kebutuhan pokoknya, guru ”terpaksa” mengajar di dua bahkan tiga sekolah. Hasil mengajar di tiga sekolah lumayan untuk menyambung hidup. Pada masa lalu, hal ini berjalan baik. Setelah kebijakan sertifikasi guru yang mewajibkan guru harus mengajar minimal 24 jam pelajaran selama satu minggu, guru honorer yang belum tersertifikasi ”berebut” jam pelajaran dengan guru yang bersertifikat.Kelas atau ”lahan” yang selama ini menjadi sumber pendapatan guru honorer diambil guru bersertifikat. Sekolah tidak berdaya karena memang aturannya demikian. Sekolah secara perlahan dengan cara halus maupun ”kasar” mulai memarjinalkan guru honorer, sekalipun sudah mengabdi belasan tahun. Ekonomi guru honorer pun semakin sulit. Apalagi, Anies mengeluarkan kebijakan yang kontroversial: ”Dana BOS tidak bisa lagi dibayarkan untuk honor guru honorer.” Ketika guru mengajar di dua atau lebih sekolah, apalagi jarak antara kedua sekolah cukup jauh, maka akan memengaruhi kualitas proses pembelajaran. Guru mengajar dengan tenaga sisa karena kelelahan. Dalam keadaan capai, tidak menutup kemungkinan, keadaan sepele semisal siswa kurang perhatian kepada pembelajaran yang sedang berlangsung, guru meresponsnya dengan cara emosional tinimbang rasional atau mendidik. Ketiga, guru memiliki pekerjaan lain selain mengajar. Pekerjaan lain itu bisa jadi karena memang keadaan menuntut guru mencari tambahan penghasilan, atau sebelumnya ia pedagang atau peternak, misalnya. Pada kedua kondisi tersebut, jelas ini tidak baik bagi profesi guru. Ini bisa terjadi, di samping karena gaji guru kecil, juga karena guru belum menjadi profesi pertama dan utama yang diimpikan generasi muda Indonesia. Ketika gaji guru ala kadarnya saja, pekerjaan lain itu yang akan menjadi fokus utamanya. Padahal, mengajar bukan semata menyampaikan apa yang tertulis di buku pelajaran. Mengajar memerlukan persiapan matang dan kesanggupan guru memecahkan kesulitan- kesulitan siswa, baik melalui mini riset maupun diskusi mendalam dengan para guru serumpun atau lintas ilmu. Hal ini sangat tidak mungkin dilakukan guru yang fokus profesinya tidak hanya pada pendidikan. Bukan karena hal ini mustahil atau kurang kepedulian guru bersangkutan, melainkan itu semua membutuhkan waktu dan pikiran yang jernih. Tanpa nyambi di luar sekolah pun, guru
  • 41. 41 ideal sudah disibukkan oleh hal-hal administratif yang menggunung, apalagi ia punya side job lain yang dianggapnya lebih penting karena lebih menjanjikan kesejahteraan. Guru hanya menjadi pekerjaan sampingan. Keempat, mengajar sebagai panggilan jiwa. Tentu tidak sedikit guru honorer yang mengajar tanpa pamrih. Mengajar semata dengan tujuan mencerdaskan generasi bangsa, tanpa terpengaruh oleh besar-kecilnya imbalan. Karena itu, guru semacam ini tak terlalu cemas dengan status guru honorer abadi atau pendapatan yang kecil. Bisa jadi, ia juga tak menggebu harus menjadi PNS. Guru tipe ini yang bersedia mengajar belasan hingga puluhan tahun bahkan hingga sampai akhir hayatnya. Godaan alih profesi yang lebih menjanjikan ditepisnya demi setia mengajar anak-anak membaca, menulis, dan berhitung. Meski sadar menjadi guru harus rela hidup sulit atau hidup sederhana, ia sanggup melewatinya karena hati sudah yakin: ”Hidup dan matiku untuk pendidikan, agar anak-anak kelak berhasil sehingga hidupnya lebih baik dari diriku.” Kemauan Baik Menghadapi persoalan di atas, peran pemerintah dua hal. Pertama, memperbaiki sistem perekrutan guru honorer menjadi guru PNS. Jika ada kemauan baik dari pemerintah, tak sulit memberantas mafia (jika ada) atau oknum yang memperjualbelikan formasi PNS kepada para guru. Perbaikan data jumlah guru juga perlu dilakukan, agar tidak ada data berbeda antara pemerintah dengan pihak di luar pemerintah. Kedua, tingkatkan pendapatan guru honorer. Ketika guru lain bicara cara pengembangan guru, guru honorer masih berkutat dengan persoalan gaji kecil yang sangat jauh dari kategori layak atau sejahtera. Jangankan biaya untuk pengembangan diri, untuk kebutuhan sehari-hari saja guru honorer harus pinjam uang; gali lubang tutup lubang. Gaji kecil guru tidak bisa dibiarkan terus berlanjut karena gaji memengaruhi kinerja guru. Kinerja guru yang buruk akan memengaruhi standar kompetensi siswa. Generasi yang kompetensinya rendah akan menjadi beban bangsa di masa depan. Lalu, siapa peduli guru honorer? JEJEN MUSFAH Dosen Analisis Kebijakan Pendidikan UIN Jakarta
  • 42. 42 Marsinah dan Teologi Pembebasan Buruh Koran SINDO 2 Mei 2015 Menjelang perayaan May Day tahun ini, berbagai elemen buruh mengusulkan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah. Elemen buruh dan mahasiswa di Surabaya yang mengenakan kaus merah bergambar Marsinah juga berunjuk rasa mengelilingi jalan-jalan protokol Surabaya, menyuarakan pahlawan dari unsur buruh, Kamis (30/4). Tentang Marsinah sendiri, pasti banyak yang lupa. Padahal dalam dasawarsa 1990-an, tiada kasus yang sedemikian menyedot perhatian luar biasa kecuali kasus Marsinah. Sekadar menyegarkan ingatan, Marsinah adalah buruh PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo. Ia menggalang demo menuntut kenaikan upah. Marsinah menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 per hari menjadi Rp2.250. Demi tuntutan itu, pada 4 Mei 1993, para buruh PT CPS mogok total. Sampai dengan 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam unjuk rasa dan negosiasi. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 perwakilan karyawan yang bernegosiasi dengan pihak perusahaan. Pada 5 Mei 1993 siang, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Kodim Sidoarjo. Mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh menggelar rapat gelap dan mengganggu stabilitas negara. Marsinah sempat mendatangi Kodim guna menanyakan keberadaan teman-temannya. Anehnya, sekitar pukul 10 malam pada 5 Mei, Marsinah lenyap. Konon ia diculik. Lalu tubuhnya ditemukan penuh bekas siksaan pada 8 Mei 1993. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Wilangan, Nganjuk. Berbagai skenario dibuat, termasuk menuduh bos PT CPS sebagai pembunuh Marsinah sebagaimana diungkapkan Trimoelja D Soerjadi. Menurut pengacara senior asal Surabaya itu, kasus Marsinah sulit diungkap karena melibatkan militer. Maka sebagaimana kasus pembunuhan Munir masih tertutup kabut misteri, demikian juga kasus Marsinah. Bandingkan dengan betapa cepatnya tuduhan dalam kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Ketua KPK Antasari Azhar. Hingga kini kasus Marsinah masih terdaftar di ILO sebagai kasus bernomor 1773. Marsinah pantas diberi gelar pahlawan, terlebih karena keberaniannya berunjuk rasa memperjuangkan kenaikan upah di era ketika rezim Soeharto melarang segala bentuk unjuk rasa. Setiap bentuk unjuk rasa dianggap melawan rezim. Dan tentu bagi kaum buruh, posisi Marsinah tetaplah istimewa karena dia menjadi simbol dari keberanian di tengah penindasan.
  • 43. 43 *** Semangat Marsinah jelas masih relevan ketika buruh di zaman ini, setelah 16 tahun reformasi, tak kunjung membaik. Masih banyak soal yang menyandera dan membelenggu mereka sehingga kaum buruh tidak bahagia, mulai dari upah yang masih di bawah standar UMK karena banyaknya pengusaha yang meminta penundaan hingga kondisi kerja yang membahayakan. Naiknya kapitalisme setelah ambruknya komunisme di Uni Soviet mendorong kaum kapitalis atau pemilik modal berinvestasi dan berjaya di seluruh dunia, termasuk di negeri kita. Bagi mereka, uang jauh lebih penting daripada martabat orang. Dalam situasi seperti ini, selain butuh semangat keberanian seperti dimiliki Marsinah, kaum buruh juga perlu menimba inspirasi dari Gustavo Gutierrez, OP. Pastor Dominikan kelahiran Peru 8 Juni 1928 ini dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan teologi pembebasan. Menurut Gutierrez, ”pembebasan” sejati mempunyai tiga dimensi utama. Pertama, mencakup pembebasan politik dan sosial, penghapusan hal-hal yang langsung menyebabkan kemiskinan dan ketidakadilan. Kedua, pembebasan mencakup emansipasi kaum miskin, kaum marginal. Mereka yang terinjak-injak dan tertindas dari ”segala sesuatu yang membatasi kemampuan mereka untuk mengembangkan diri dengan bebas dan dengan bermartabat”. Ketiga, teologi pembebasan mencakup pembebasan dari egoisme dan dosa, pembentukan kembali hubungan dengan Allah dan orang lain. Teologi pembebasan selalu memperjuangkan nasib kaum miskin atau tertindas yang berada di dalam struktur tidak adil karena ketidakadilan yang terstruktur menyebabkan buruh lemah, selalu dieksploitasi, dan menjadi korban (A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, tr. and rev. Maryknoll: Orbis, 1998, hlm 63f.). Gutierrez bersuara lantang terhadap kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin. Kini, buruh memerlukan teologi pembebasan karena mayoritas masih berada dalam belenggu ketertindasan. Mereka masih jauh dari merdeka: dari kemiskinan dan ketidakadilan. Tapi bagaimana membebaskan kaum buruh? Apakah lewat jalan kekerasan saja seperti demo- demo para buruh yang anarkistis? Teologi pembebasan yang digagas Gustavo Gutierrez sering disalah-mengerti sebagai pemberi inspirasi untuk melegitimasi kekerasan. Apalagi pada awal sejarahnya ditengarai ada pengaruh marxisme pada teologi ini. Soal pengaruh Marx ini memang diakui ada, tetapi ajaran Marx hanya dimanfaatkan dalam menganalisis susunan dualistis, bangunan atas bangunan bawah: pemodal dan buruh. Gutierrez menegaskan keberpihakan teologi pembebasan pada kaum tertindas harus tetap menolak segala inisiatif yang termanifestasi dalam kekerasan, sebab kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang lain. Pembebasan dalam teologi adalah lewat proses penyadaran. Maka itu, unjuk rasa yang
  • 44. 44 dilakukan ratusan ribu buruh di Tanah Air dalam rangka Hari Buruh Sedunia pada 1 Mei 2015 tidak boleh jatuh dalam tindak kekerasan. Setiap kekerasan hanya akan menjebak buruh di dalam lingkaran kekerasan baru yang lebih rumit. Akibatnya, tujuan utama untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh justru terlupakan. Pada May Day tahun ini buruh memiliki 10 tuntutan secara nasional yang tampaknya sesuai dengan apa yang diperjuangkan Marsinah dan teologi pembebasan. Sepuluh tuntutan yang diusung buruh jelas akan lebih mudah diakomodasi bila terjalin relasi yang lebih manusiawi dan saling menghargai antara buruh dan pengusaha. Bukan relasi yang hendak saling meniadakan seperti ketika rezim Orba meniadakan Marsinah. Selain itu, di balik sistem kapitalis yang dianggap ”jahat” sekalipun, sebenarnya masih muncul pengusaha yang memiliki hati dan menganggap buruh sebagai mitra serta aset berharga. TOM SAPTAATMAJA Teolog
  • 45. 45 Buburuh di Hari Buruh Koran SINDO 4 Mei 2015 Buruh dalam pemahaman orang Sunda dapat dimaknai sebagai upah atau bayaran. Kata itu sering terdengar ketika menyuruh anak-anak untuk melakukan sesuatu, sering terungkap kalimat, ”sok, engké diburuhan” (silakan, nanti diberi upah). Kata “buruhan” (diupah) lebih mencerminkan ihwal yang bersifat sekadarnya atau seadanya, tidak memiliki standardisasi berapa nilai yang harus diberikan. Hubungan yang memberi buruh/upah dengan yang diburuhan lebih bersifat hubungan emosional, yang bersifat sukarela dan didasarkan pada faktor kedekatan. Upah yang diberikan bersifat sangat subjektif, bergantung kualifikasi personal si pemberi upah. Kalau pemberi upahnya memiliki sifat yang murah hati, seringkali upahnya sangat tinggi dan yang diupahnya pun tidak diberi beban yang begitu berat. Sebaliknya, apabila sang pemberi upah punya penyakit pelit, memberi upahnya pun biasanya kecil dan pekerjaannya kadang-kadang melebihi kapasitas yang diberi upah. Proses hubungan timbal balik yang bersifat subjektif tersebut berlangsung dalam dunia buburuh di perdesaan sampai saat ini. Seorang buruh tani memiliki jam kerja selama sabedug (waktu pagi hingga zuhur). Buruh tani memulai pekerjaan dengan sarapan pagi satu gelas kopi dan makanan pengganjal perut seperti goreng pisang, goreng singkong, atau goreng ubi sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan kalori bagi seorang buruh tani. Itu pun kalau yang punya sawahnya baik. Kalau pelit, ya kelasnya di bawah itu. Pada pukul 10.00 WIB mereka dianteuran (diantarkan makanan) untuk mendapatkan makan yang berisi nasi, ikan, sambal, dan lalap ala makan perdesaan. Mereka makan di saung (gubuk kecil di sawah) setelah badannya bercucuran keringat. Ketika makan, mereka makan sambil ngobrol dengan pemilik sawah diiringi oleh semilir angin dan gemericik air laksana musik abadi. Burung-burung berkicau, bersembunyi di balik rimbunnya daun seakan ingin memberikan ketegasan bahwa akulah vokalis sejati. Gelak tawa seringkali membelah suasana, di tengah-tengah senda gurau penganan apa adanya. Biasanya mereka bercerita tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kampungnya, dari mulai cerita tentang tetangga sampai politik kekuasaan ala perdesaan. Dengan penutup kalimat yang sering terucap, ”urang mah kumaha nu dibendo wé” (terserah penguasa), betapapun mereka kecewa terhadap keadaan politik dan kekuasaan, pada akhirnya mereka pasrah pada yang dibendo, diiket, diblankon, dipeci (penguasa). Tak ada sedikit pun watak pemberontakan dalam pikiran kaum tani perdesaan.
  • 46. 46 Pada waktu tengah hari sekitar pukul 12.00, yang ditandai dengan beduk zuhur, mereka menghentikan seluruh kegiatan buburuh-nya (kuli). Mereka kembali ke rumahnya setelah sebelumnya mandi di pancuran atau di sungai, membersihkan seluruh tubuhnya yang berbalut tanah. Siang hari berbagai aktivitas mereka lakukan setelah selesai melaksanakan salat zuhur. Ada yang pergi ke kebun, ada yang menyabit rumput untuk ternak peliharaannya, ada yang pergi mencari ikan ke sungai. Sore hari, pemilik sawah atau ladang mengantar makanan ke rumahnya sebagai ungkapan terima kasih atas seluruh energi yang telah dicurahkan oleh para kuli macul (kuli cangkul) dari pagi sampai siang. *** Apabila kita mencermati hal tersebut, betapa hubungan antara pemberi pekerjaan dan pekerjanya terbangun secara harmonis, dari mulai pemberian makan sebanyak dua kali plus satu kali ngopi, komunikasi yang berjalan secara harmonis sampai waktu bekerja yang hanya enam jam dipotong satu kali istirahat, kurang lebih setengah jam. Realitas tersebut mengalahkan sistem perburuhan yang berjalan hari ini, di mana jumlah jam kerja sebanyak delapan jam dikurangi satu jam istirahat, plus jatah makan yang hanya sekali dalam sehari. Itu pun banyak perusahaan yang tidak menyiapkan makan atau perusahaan mengurangi asupan gizi yang harus diberikan kepada para karyawannya. Spirit buruh dan majikan dalam sistem perburuhan modern menjadi spirit yang berhadapan antara kaum kapitalis dan kaum proletar. Kaum kapitalis melakukan penguatan relasi dengan kekuasaan untuk memperkuat basis tawarnya sebagai lembaga kapital yang terorganisasi. Sedangkan kaum proletar (buruh) melakukan konsolidasi yang bersifat gerakan massa untuk melakukan penekanan agar seluruh keringat bahkan darahnya dapat dihitung secara manusiawi untuk mendapatkan hak-hak kesejahteraan. Peristiwa Hari Buruh atau yang lebih dikenal dengan May Day seringkali menjadi kenduri yang menegangkan. Suasana terbangun mencekam, seolah terjadi gelombang manusia yang ingin memperlihatkan kekuatannya kepada dunia. Ma Icih tersenyum ketika mendengar komentar seorang tokoh buruh yang berapi-api menyuarakan seluruh tuntutan yang menjadi aspirasi perjuangannya. Dengan senyum dikulum Ma Icih berkata, ”Asa ku teu ngarti aing mah (saya agak kurang mengerti). Katanya tokoh buruh mewakili orang susah, tapi rambutnya klimis, mukanya bersih, kelihatan orang yang suka ke salon, badannya kelihatan subur, penuh gizi dan vitalitas. Katanya akan menyampaikan tuntutan buruhnya agar didengar oleh Presiden, tapi di lain waktu dia bercerita sering ketemu Presiden. Kata Ema yang bodoh, kalau memang sering ketemu dan sering ngobrol sama Presiden, kenapa harus ngerahin orang segala?”
  • 47. 47 Mang Udin menimpali sambil menggosok-gosokkan batu ali kesayangannya, ”Bener Icih, kadang-kadang Aki juga suka tidak ngerti sama kelakuan tokoh-tokoh palinter (pandai). Membahas masalah kemiskinan, rapatnya di hotel berbintang. Membahas swasembada pangan, rapatnya di gedung perkantoran. Malahan hari kemarin, Aki harus rapat di Bandung dengan para penyuluh, Aki dinasehatin bagaimana cara bertani yang bagus oleh orang pintar. Nasihatnya pakai laptop, melihatnya di layar, seperti nonton film aja. Dilihat oleh Aki, tangannya mulus, kakinya bersih, mukanya putih, berbicara penuh dengan semangat, dasi meni panjang ngagebay (panjang menjurai).” Si Ikin, tetangga Mang Udin, yang kebetulan datang sambil bersiul, ikut berbicara sambil ketawa-ketiwi, ”Betul sekali Aki, Nini, apa yang diomongkan. Dipikir-pikir, buruh yang terorganisasi banyak yang membela dan memperjuangkannya, tapi kuli cuci pakaian, kuli masak, kuli ngasuh anak, buruh tani, siapa yang memperjuangkannya? Kalau sakit, siapa yang mengobati? Kalau terkena golok, siapa yang ngurus? Nanti kalau sudah tua tidak bisa jadi buruh, siapa yang ngasih upah? “Ah, dalam hal ini saya dan kerabat tukang kuli, tapi bukan, tidak ada harinya. Katanya Hari Buruh, tapi tetap saja kuli nyangkul, istri saya harus kuli nyuci pakaian sebab kalau tidak kuli, tidak akan punya upah. Tidak ada yang menjamin, yang menjanjikan menjaminnya hanya datang lima tahun sekali, hanya diupah kaos tipis. Dari mulai pemilihan sampai sekarang, tidak pernah nongol, lantaran selalu ribut saja di Jakarta. Enggak tahu memperebutkan apa.” DEDI MULYADI Bupati Purwakarta
  • 48. 48 Keberhasilan Pembangunan melalui Gerbang Desa Koran SINDO 6 Mei 2015 Pembangunan di Kabupaten Tasikmalaya saat ini memberikan porsi lebih besar pada bidang pertanian dan pemberdayaan masyarakat di perdesaan. Ini agar masyarakat memiliki penghasilan untuk meningkatkan kehidupan perekonomian. Pembangunan itu disebar merata ke semua satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di lingkungan Pemkab Tasikmalaya seperti pembangunan infrastruktur jalan, jembatan, gedung sekolah, dan fasilitas lain untuk menunjang aktivitas dan kreativitas masyarakat. Selama periode 2011/2016 Kabupaten Tasikmalaya memiliki program Gerbang Desa yakni pembangunan yang berasal dari desa demi kemajuan masyarakat di sana. Data menyebutkan lebih dari 20% rakyat miskin dan pengangguran di kabupaten ini berada di desa yang jarang tersentuh program pembangunan dan pemberdayaan. Bagi saya, omong kosong jika seorang pemimpin berbicara pembangunan daerah tidak dimulai dari desa yang jadi ujung tombak pembangunan. Karena itu, konsep pembangunan yang saya bawa dimulai dari desa, pedagang kecil, petani dan buruh tani, serta nelayan. Tujuannya agar mereka tidak perlu lagi mengikuti arus urbanisasi jika semua telah tersedia di desa. Dua kebijakan yang saya lakukan saat mengawali memimpin pemerintahan adalah penataan birokrasi sesuai keahlian dan kemampuannya. Ditambah dengan penataan jalan desa dan memberikan perhatian terhadap pedagang kecil demi meningkatkan kesejahteraan hidup. Kemudian melakukan perubahan sistem karena tidak jarang anggaran di dinas yang tidak terserap. Saya pun membuat miniatur Pemkab Tasikmalaya di kecamatan demi memudahkan pelayanan masyarakat. Pada awal pemerintahan saya pula Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tasikmalaya membahas rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) bersama seluruh dinas dan elemen masyarakat dalam musyawarah rencana pembangunan (musrenbang). RPJMD menghasilkan visi pembangunan Kabupaten Tasikmalaya yang religius/islami, maju, dan sejahtera pada 2025. RPJMD itu membuahkan empat misi yakni mewujudkan masyarakat berkualitas, beriman, dan mandiri. Kemudian mewujudkan perekonomian tangguh berbasis keunggulan agribisnis, mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), dan mewujudkan infrastruktur lebih merata dengan memperhatikan aspek lingkungan asri dan lestari.