Politik uang telah merusak demokrasi di Kecamatan Raijua, Kabupaten Sabu Raijua. Calon legislatif memberi uang kepada masyarakat agar memilih mereka, bukan berdasarkan hati nurani. Ini melanggar hukum dan menghasilkan pemimpin yang tidak memperjuangkan rakyat. Upaya menciptakan demokrasi yang sejati masih jauh.
1. Dinamika Pemilu: Bahasa Kalbu Para Pemilih Tergerus oleh
Politik Uang
“Fakta di Kecamatan Raijua, Kabupaten Sabu Raijua”
Oleh: Elkana Goro Leba, S. Sos
Mahasiswa Program Pascasarjana
Program Studi Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL)
Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
Amanat Undang-undang Pemilihan Umum (UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum) yang luhur dengan mengidamkan sistem demokrasi yang Transparan, Jujur, Adil
(Jurdil), Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia (Luber), (berdasarkan hati nurani atau bahsa
kalbu) telah tergerus oleh praktik-praktik busuk para politikus yang berwawasan “sempit”
sekaligus merusak tatanan demokrasi bangsa ini. Salah satunya adalah “politik uang atau
Money Politic”.
Politik uang atau politik perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap
seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia
menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umum. Politik uang adalah
sebuah bentuk pelanggaran kampanye. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader
atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang
dilakukan dengan pemberian berbentuk uang, sembako antara lain beras, minyak dan gula
dan lain-lain kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar
mereka memberikan suaranya untuk partai atau calon yang bersangkutan. (Wikipedia
ensiklopedia bebas: Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999). Politik uang tidak
hanya sebatas memberi uang atau barang kepada masyarakat pemilih untuk mendukung calon
tertentu, namun politik uang juga bisa terjadi pada penyelenggara pemilu, yakni KPU dan
Panwaslu, sebagai imbalan untuk memanipulasi hasil pemilu, yang sering disebut jual beli
suara atau juga bisa terjadi dalam proses verifikasi partai politik dan calon legislatif saat di
Komisi Pemilihan Umum (KPU), rekrutmen petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS),
penghitungan suara dan lain lain.
Tak dapat ditepis bahwa Fakta itu sedang terjadi di sekitar kita sekaligus mengancam
makna yang sesungguhnya dari demokrasi kita yang dengan susah payah bahkan telah
mengorbankan banyak nyawa untuk membangunnya sekaligus menumbangkan rezim otoriter
Soeharto ketika itu. Di Kecamatan Raijua, Kabupaten Sabu Raijua misalnya. Masyarakat
2. Kecamatan Raijua yang pada umumnya hidup dalam keterbatasan baik dari segi ekonomi
maupun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi informasi sedang dilanda “badai
demokrasi” yaitu “program uang kaget” dari para Calon Legislatif (Caleg) DPRD tertentu
dari daerah pemilihan tersebut. Dimana masyarakat seakan dipaksa secara sopan dan
diperdayai secara santun oleh para calon legislatif dengan cara mengumpulkan mereka di
suatu tempat dalam suatu kelompok dari setiap kepala keluarga dan memberikan uang kepada
masing-masing anggota kelompok dengan jumlah bervariasi karena tergantung dari berapa
orang anggota keluarga dari anggota kelompok itu yang mempunyai hak untuk memilih pada
Pemilu 9 April mendatang (Rp. 25-50.000/orang). Dimana akan ditetapkan satu orang dari
anggota kelompok itu untuk mengawasi anggota kelompok yang lainnya apakah mereka
memilih caleg yang bersangkutan atau tidak. Dengan “kelihaian” dan kecerdikan yang tak
bermoral dalam memanfaatkan keterbatasan pengetahuan masyarakat pemilih disana, para
caleg mengatakan bahwa mereka akan mengetahui siapa yang memilih dan siapa yang tidak
memilih caleg yang bersangkutan, hingga pada bilik suarapun mereka tahu apa yang
dilakukan pemilih. Yang katanya mereka akan mengawasi lewat komputer. Selain itu,
kelompok-kelompok ini juga diperdayai agar mencari anggota keluarga atau pemilih lain
yang lanjut usia (lansia) sehingga para lansia hanya memilih lewat anggota kelompok yang
telah ditugaskan dan yang pasti dipaksakan untuk memilih caleg yang bersangkutan. Bahkan
mereka mendapat tekanan-tekanan tertentu bila mereka tidak memilih calon yang
bersangkutan. Secara ekonomi, masyarakat memang diuntungkan oleh proses ini. Tetapi
cecara hukum itu haram.
Dengan demikian, tentu masyarakat kita yang hidup keterisolasian dari perkembangan
terknologi informasi, sangat terpengaruh oleh pemberian uang dan janji bahkan ancaman oleh
para caleg. Sehingga mereka tidak lagi memilih sesuai hati nurani atau bahasa kalbu tetapi
berdasarkan pemberian. Selain itu, suara pemilih tidak lagi suaru hati nurani, tetapi suara
uang. Dengan kata lain, suara hati rakyat dapat dibeli dengan uang oleh para caleg. Karena
itu, kita gagal menciptakan demokrasi yang Jurdil dan Luber itu. Sudah barang tentu
pempimpin yang dihasilkan dengan cara busuk seperti ini juga tidak akan menghasilkan
perubahan untuk kabupaten Sabu Raijua, mereka duduk atas nama rakyat tetapi bekerja untuk
diri sendiri dan partai politik pengusung mereka.
Oleh sebab itu, hampir sempurna bahwa, fakta hari ini, di sini dan di negeri/daerah
tercinta ini, seolah menuliskan kisahnya kepada kita, bahwa semakin cerdas dan semakin
paham seseorang terhadap sistem yang berlaku, maka semakin canggih pula model
pengingkaran terhadap norma-norma dan nilai-nilai tersebut. Dinamika demokrasi di negeri
ini yang idealnya kedaulatan ada di tangan rakyat masih terlampau jauh dari kata “dewasa”.
Kita masih terjebak dalam kubangan lumpur politik kotor yang dibintangi oleh politikus-
politikus yang berwawasan sempit yang perilakunya mencederai nilai-nilai demokrasi seperti
politik uang atau money politic yang dikemukakan di atas dan korupsi yang senantiasa
menggerus ke-Indonesia-an kita bagai benang kusut yang tak dapat diurai. Fakta ini juga,
seolah mencerminkan bangsa ini bangsa lalim. Teman makan teman. Sahabat tega berkhianat
dengan sahabatnya sendiri. Sesuatu yang seharusnya menjadi hak orang lain pun diembat atas
nama demokrasi. Maka itu, yang kuat semakin kaya, yang lemah semakin miskin. Idealisme
Demokrasi masih kerdil ditataran ide tanpa aplikasi yang konkret, sehingga fakta di lapangan
berbicara, banyak orang yang memilih mengingkari nilai-nilai dan norma-norma yang
berlaku demi meraih jabatan atau keuntungan ekonomi. Negara kesejahteraan (walfare state)
yang didamba-dambakan oleh rakyatpun hanyalah slogan semata yang diperankan oleh
politikus demi meraih kursi ke-empuk-kan di DPR/DPRD. Tak berlebihan jika bila dikatakan
banyak diantara mereka adalah pengumbar janji belaka. Secara umum, dambaan akan
kesejahteraan itu rasanya masih jauh panggang dari api bahkan tak bisa dikhayalkan. Jalan
menuju tujuan tersebut tidak hanya berliku tetapi juga terjal.
3. Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa, politik uang atau money politic adalah metode
busuk para politikus untuk memperoleh dukungan dan mendulang suara pemilih demi
merebut “tahta kerajaan uang” (kursi DPR/DPRD) untuk berkuasa selama 5 tahun dan
duduk atas nama rakyat tetapi bekerja untuk partai dan diupah untuk membangun kerajaan
harta dibumi yang fana ini. Entah apa yang mereka lakukan untuk kebaikan bangsa dan
daerah ini, tak semua orang percaya bahwa mereka benar-benar berbakti dengan ketulusan
hati dan dengan segenap jiwa untuk membela dan menyuarakan kepentingan rakyat. Ini
adalah tugas kita bersama untuk menumpas tuntas praktik-praktik yang seperti ini membantu
KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan Bawaslu sebagai peangawas untuk menghasilkan
demokrasi yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.