SlideShare a Scribd company logo
1 of 47
TEMA :


KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU
            PENDEKATAN INTERDISIPLINER
                            JUDUL :


   PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM YANG POSITIVISTIK
   TERHADAP NILAI-NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT
                     (Suatu tinjauan Sosiologis)
  ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum )




                             Oleh :


               FREINGKY A. NDAUMANU, S.H.


                  NIM : 11/322217/PHK/06731




PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS

               GADJAH MADA YOGYAKARTA


                     MAGISTER HUKUM


                              2011


                                                                1
BAB I


                                       PENDAHULUAN




A. LATAR BELAKANG


           Keadaan Indonesia pada masa lalu telah melahirkan berbagai pergulatan

pemikiran, termasuk dalam lingkup hukum dan ilmu hukum. Keadaan masa lalu

tersebut, awalnya muncul dari aliran positivistik yang sangat mempengaruhi

keluarga hukum Eropa-Kontinental, atau yang lebih dikenal dengan sistem civil law,

hingga akhirnya berpengaruh juga pada sistem hukum Indonesia. Civil law

dikembangkan dari hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang

dikodifikasi pada masa Kaisar Yustitianus. Sistem hukum ini berkembang dari

Romawi, terus diikuti oleh Jerman dan selanjutnya Perancis, karena Belanda pernah

menjadi jajahan Perancis pada masa Napoleon Bonaparte maka Belanda pun

memakai sistem hukum ini, akibat kolonialisme Belanda di Indonesia, maka

Indonesia juga penganut sistem hukum civil law.1 Ada usaha dari pemikir hukum

untuk menawarkan gagasan agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui “jalan

buntu.” Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut sebagai

hukum, apabila hukum tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut

konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan.

Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan

secara eksplisit. Didalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung


1
    Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009, hal.31-33

                                                                                          1
2



tindakan - tindakan yang harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum. Pertanyaan

logis yang kemudian muncul adalah, siapakah yang akan melaksanakan semua

tindakan tersebut? Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan, jelas tidak melakukan

semuanya. Dari sinilah masuknya peranan para penegak hukum yang tidak lain

adalah manusia - manusia. Apabila disini dilibatkan tingkah laku manusia, maka

sesungguhnya hanya merupakan kelanjutan saja dari metode yang dipakai. Dalam

perumusannya yang negatif, metode tersebut monolak cara pengkajian hukum yang

didasarkan dengan apa yang tertera secara hitam-putih berupa peraturan hukum.

Metode yang lazim disebut sebagai normatif-dogmatis, bertolak dari keharusan -

keharusan yang tercantum dalam peraturan hukum dan menerimanya sebagai

kenyataan.


        Namun, dalam kenyataannya pendekatan ini memiliki kelemahan atau

kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara

memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan

hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan

bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum

tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus

ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya

terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi.

Sehingga pada praktiknya, hakim di Indonesia umumnya hanya menjadi corong

undang-undang.2 Kebanyakan hakim selalu berpandangan positivisme bahwa apa


2
 lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas Atmajaya
Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal.52
 “Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam
 menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan
 peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang
 (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat
3



yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga

merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup

dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk

perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang

hukum, dalam hal ini adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan

perundang-undangan. Sehingga terkadang apa yang menurut hukum adat itu

merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata hal tersebut telah

melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut

harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan.




B. PERUMUSAN MASALAH


       Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan

dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Penegakan Hukum Oleh Hakim

Dalam Berpikir Positivistik Terhadap Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat?”




C. KERANGKA TEORITIS


1. Positivistime Hukum

       Secara embrional positivisme hukum lahir dari rahim positivisme, suatu

paham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di perancis

dengan dua eksponennya yang terkenal, yaitu Henry Saint-Simon (1760-1825) dan


 menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena Montesquieu undang-
 undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.”
4



August Comte (1798-1857). Dalam Positivisme hukum-hukum yang berlaku dalam

ilmu pengetahuan alam dirumuskan dengan anggapan bahwa alam dapat

diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dan ruang dan waktu. Positivisme ini

berkembang akibat perjuangan gigih dari August Comte. Comte mengatakan

terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala hidup

bersama, dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebut hukum tiga tahap. Artinya,

tiap-tiap masyarakat mesti melalui tiga tahap itu, pertama, tahap teologis, kedua,

tahap metafisik, dan ketiga, tahap positif. Pada tahap teologis, manusia percaya pada

kekuatan-kekuatan ilahi dibelakang gejala-gejala alam. Sedangkan pada tahap

metafisik ini dimulailah kritik terhadap segala pikiran termasuk teologis. Ide-ide

teologi diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Adapun pada tahap positif

gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu idea alam yang abstrak, tetapi gejala

diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum diantara gejala-gejala

bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan bentuk relasi yang

konstan diantara gejala-gejala tersebut.

       Pemikiran positivisme hukum ini kemudian digunakan dalam hukum

sehingga menjelma menjadi aliran positivisme hukum. Aliran ini lahir pada abad ke-

19. Dua eksponen yang utamanya yang terkenal adalah John Austin dan Hans

Kelsen. Austin mengatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah perintah penguasa.

Austin memperkenalkan tiga faham pokok diseputar positivisme hukum; (1)

kekuasaan yang tertinggi yang ada dalam suatu Negara adalah satu-satunya sumber

hukum. Hukum adalah perintah dari suatu politik yang berdaulat dalam suatu

Negara, (2) Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (close

logical system). Sebagai objek kajian, hukum harus dilepaskan dari unsur nilai, dan

(3) Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
5



Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, tidak bisa dikategorikan hukum

sebagai hukum tetapi moral positif.

        Sementara itu, Kelsen terkenal dengan teori hukum murninya (the pure

theory of law). Klesen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dari hukum

itu sendiri, hukum harus diseragam dalam arti dapat diterapkan pada semua waktu

dan tempat, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir politik dan dipisahkan dari

moral; dengan kata lain hukum harus benar-benar murni dan hukum merupakan

pencerminan dari proposisi yang “seharusnya”. Konsep yang dibangun oleh aliran

positivisme hukum ini menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai

hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu,

setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma-

norma yang positif (all law is enacted law), ditegaskan sebagai wujud kesepakatan

kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsikan

sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan,

melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna

mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalian normatif harus

dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.3 Dapat dikatakan, aliran

positivisme yuridis menyatakan hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis.

Hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh negara, jika hukum telah dibuat

oleh negara maka rakyat wajib mematuhinya, jika tidak dipatuhi akan menerima

sanksi. Adil atau tidak bukanlah persoalan, relevan atau tidak bukanlah urusan

hukum, yang penting adalah sah atau tidaknya secara yuridis. Hukum bukanlah dasar

dalam kehidupan sosial, bukan pula bersumber dari jiwa bangsa, tapi hukum itu ada


3
 Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai - Nilai
Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal.82-84
6



karena bentuk positifnya dari yang berwenang. 4 Selain itu, aliran teori hukum murni

berpendapat, bahwa norma memberikan arahan atau ancangan pada manusia dalam

bertindak. Hukum positif merupakan sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap

tindak manusia dalam cara tertentu.5

        Disamping itu, dalam konteks positivisme hukum oleh Hart (Dias, 1976)

diartikan antara lain :

            1) Hukum adalah perintah;

            2) Keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan yang sudah

                 ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial,

                 kebijakan serta moralitas;

            3) Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan

                 oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian

            4) Hukum yang di undangkan/ditetapkan/positum harus dipisahkan dari

                 hukum yang seharusnya diciptakan/diinginkan.6

        Aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu

pelajaran yang menyatakan tiada hukum diluar undang-undang menjadi sumber

hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum identik. Legisme hukum tidak

sama dengan positivisme hukum, karena pada legisme hukum hanya menganggap

undang-undang saja sebagai suatu sumber hukum, sedangkan pada positivisme

hukum tidak hanya membatasi undang-undang saja sebagai sumber hukum, tetapi

juga kebiasaan, adat yang baik, dan pendapat masyarakat. Dalam memutuskan

perkara, ajaran positivisme hukum megutamakan penemuan hukum dan kepastian

4
  Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Cet. III,
Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal.119-121
5
  Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet.II, Kencana,
Jakarta, 2008, hal.81
6
  Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari positivistik ke
progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009, hal.6
7



hukum. Aliran legisme bersumber pada teori-teori perjanjian Negara seperti yang

dibentangkan oleh Thomas Hobbes, yang menghendaki suatu pemerintahan yang

absolute dan hanya kehendak pemerintah itulah hukum.7




2. Penegakan Hukum


       Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah

semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum itu mampu bekerja mewujudkan

nilai-nilai moral dalam hukum. Adanya, kegagalan penegakan hukum di era

reformasi karena gagalnya pemerintahan era reformasi tersebut untuk mewujudkan

nilai-nilai hukum tersebut, dapat dikatakan era reformasi hukum masih sangat miskin

implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari

masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan Ufran:


               “Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan
               nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan dari hukum.
               Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti
               keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan
               dalam realitas nyata. Eksistensi diakui apabila nilai-nilai moral yang
               terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau
               tidak”.8

       Sedangkan menurut Soerjono Soekanto:

               “Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak
               pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di
               dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
               tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk
               menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
               hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya
               merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak
               secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur

7
  Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif, Cet.Pertama,
Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.29
8
  Ufran, dalam Kata Pengantar Editor, Rahardjo Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan
Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.Vii.
8



                penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara
                hukum dan moral”9
        Jika kita berbicara tentang penegakan hukum pidana ada beberapa teori yang

menyertainya antara lain :10

          1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel,

              Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar

              keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang

              mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu

              melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan

              itu (pemabalasan).

          2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum

              bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/tujuan hukuman,

              artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin

              mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah

              kejahatan baik pencegahan            umum      (algemene      crime)    maupun

              pencegahan khusus (special crime). Selain itu, terdapat paham lain

              yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang

              melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan

              daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi

              disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative

              modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori

              ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban

              hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi


9
  Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1983, hal.5
10
   Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai Pustaka, Jakarta,
1993, hal.97
9



              masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung

              larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma.

          3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah

              terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori

              mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada

              hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding.


        Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum

adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi

kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-

pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum

itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai

kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum)

yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu dijalankan.”11 Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran

agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga

hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa

berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat

jahat. Penegakan hukum dengan sarana non-penal mempunyai sasaran dan tujuan

untuk kepentingan internalisasi.12




11
   Rahardjo Satjipto., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983, hal.24
12
   Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hal.142
10



        Dalam proses penegakan hukum banyak faktor yang mempengaruhi

bekerjanya hukum. Robert B. Seidman,13 mengemukakan teorinya tentang faktor-

faktor bekerjanya hukum ialah menyatukan tiga kekuatan antara lain, kekuatan

pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang-

undang dalam hal ini adalah eksekutif dan kekuatan sosial lain yaitu pemegang peran

atau masyarakat yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum

masyarakat.



3. Hukum Dan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat


        Parson mengatakan, bahwa yang disebut norma itu adalah suatu deskripsi

tertulis mengenai suatu rangkaian perbuatan yang konkrit dan yang dipandang

sebagai suatu hal yang diinginkan (desirable). Deskripsi masih dikombinasikan

dengan suatu paksaan untuk mendorong agar perbuatan-perbuatan tertentu

dikemudian hari mencocoki perbuatan yang dikehendaki. Lain hal lagi dengan

Holmans yang mengatakan bahwa suatu norma adalah suatu pernyataan (statement)

yang dibuat oleh anggota suatu kelompok, tidak perlu seluruhnya yang mengatakan

bahwa para anggotanya seyogyanya dalam keadaan tertentu bertingkah laku menurut

cara yang tertentu. Para angota yang membuat pernyataan itu berpendapat bahwa

adalah suatu hal yang memberikan kepuasan (rewarding) apabila perbuatan-

perbuatannya sendiri dan orang lain sampai dengan taraf yang tertentu akan

bersesuaian dengan tingkah laku ideal yang dilukiskan oleh norma bersangkutan.


        Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu

pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai menunjuk

13
  lihat: Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang, 2010, hal.9-10
11



pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili

suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual.

Hal yang menarik dikatakan oleh John Finley Scott adalah, bahwa manusia sebagai

makhluk yang bermasyarakat memberikan respons yang sangat kuat terhadap

interaksinya yang sangat kuat terhadap interaksi yang dilakukannya dengan sesama

anggota masyarakat yang lain, sehingga nilai yang olehnya dipandang sebagai paling

kuat lazimnya bersifat sosial pula. Dalam hubungan ini maka dengan perkataan lain

hendak dikatakan, bahwa norma-norma itu sekaligus nilai-nilai yang baginya terkuat.


       Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai suatu usaha mencapai tujuan

tertentu (purposeful enterprise). Oleh karena tekanan disini adalah pada usaha, maka

dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut

tergantung   pada   energi,   wawasan     (insight),   intelegensia   dan   kejujuran

(conscientiousness) dari mereka yang harus menjalankan hukum itu.


       Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai-

nilai yang intrinsik, sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem yang

intrinsik. Kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya

(Gestal visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya

intrinsik ada pada hukum. Apa yang nantinya diwujudkan sebagai hukum didalam

masyarakat yang bersangkutan tergantung dari titik tolak pandangannya mengenai

apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai itu. Didalam pembicaraan mengenai

hukum, maka nilai-nilai tersebut berkembang menjadi antara hukum dan moral. Oleh

Schuyt moral itu dibedakan didalam formal dan material.


       Philip Selznick di dalam bukunya Law, Society, and Industrial Justice, yang

berpendapat bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan
12



nilai-nilai tertentu. Selznick mengatakan, bahwa dewasa ini dapat dikenali konflik

antara dua pandangan dalam hukum, yang pertama melihat hukum sebagai sesuatu

yang harus diterima begitu saja; sedangkan yang kedua, yang berpandangan

idealistis berpendapat, bahwa hukum itu mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan

moral. Pandangan yang pertama juga disebut sebagai fungsional dan melihat hukum

sebagai sarana untuk menyelesaikan problem-problem praktis. Berlainan dengan itu

maka pandangan idealis menggantungi hukum dengan harapan dan janji.14




14
     Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal. 76-80
BAB II


                                      PEMBAHASAN




A. POSITIVISME PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM


        Supremasi hukum merupakan titik tolak penegakan hukum positif, maka

hukum adalah di atas segala-galanya. Berdasarkan cirinya yang dibuat oleh

legislatif, maka hukum positif merupakan produk politik, karena lagislatif lahir dari

proses politik. Sebagai produk politik, maka hukum amat kental dengan

kepentingan, rasanya pandangan equality before the law akan sulit diterapkan, sebab

logika politik adalah harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya

hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukumpun akan

mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri.15 Untuk itu, hakim adalah

figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut untuk membangun

kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan

spiritual, jika kecerdasan intelektual, emosional, dan moral spiritual terbangun dan

tepelihara dengan baik bukan hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri,

tetapi juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan

hukum.16 Maka, hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori

hukum dan filsafat hukum serta hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara

normatif saja, oleh sebab itu hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara

lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan dan harus mampu melihat hal-hal


15
   lihat: Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003,
hal.232-234
16
   Kamil Ahmad., Pedoman Perilaku Hakim Dalam Perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum,
suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008, hal.38

                                                                                              13
14



yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, serta pemikiran-pemikiran

apa yang ada dalam ketentuan itu, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran yang

ada dalam masyarakat.


           Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman sebagai hasil perubahan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

dan kemudian di ubah lagi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, dengan jelas dan tegas termuat dalam Pasal 5 ayat (1)

dinyatakan bahwa:

                   "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
                   memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
                   masyarakat".

           Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi,

agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada tetapi masih

harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan.

Scholten mengatakan bahwa didalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat

hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat

atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau

menemukannya.17Tersirat secara yuridis maupun filosofis, bahwa hakim mempunyai

kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar

putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dalam semua lingkungan peradilan dan

dalam semua tingkatan.

           Montesquieu menyatakan, ada tiga bentuk negara dan pada setiap negara

terdapat penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk negaranya.


17
     Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal.61
15



Dalam ètat despotique yang tidak ada undang-undang. Disini hakim dalam

mengadili setiap peristiwa individual didasarkan atas apresiasi pribadinya secara

arbitrer sehingga terjadi penemuan hukum secara “otonom mutlak”. Sedangkan di

dalam negara ètat republicain, terdapat penemuan hukum yang heteronom: di mana

hakim menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam ètat

monarchique, meskipun hakim berperan sebagai corong undang-undang, tetapi dapat

menafsirkan dengan mencari jiwanya. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang

bersifat heteronom dan otonom. Di Indonesia mengenal penemuan hukum

heteronom dan otonom18 sehingga karenanya apabila dihadapkan suatu kasus sesulit

apapun hakim wajib menemukan hukumnya, baik melalui terobosan hukum (contra

legem), atau melalui konstruksi hukum (rechts construksi), baik dengan cara

menafsirkan hukum yang sudah ada maupun dengan cara menggali nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat. Peranan hakim disini lebih bersifat otonom. Agar putusan

yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis maupun secara

moral, maka dalam menghadapi fakta konkrit, hakim harus mampu menemukan

hukumnya melalui interpretasi.

           Selanjutnya, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa:

                       “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
                       memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
                       tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
                       mengadilinya.”

           Ketentuan Pasal tersebut diatas mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila

terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya,

maka hakim harus bertindak atas inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara


18
     Ibid. hal.56-59
16



tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang

merupakan         hukum,     sekalipun     peraturan     perundang-undangan   tidak   dapt

membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum.

Selanjutnya, ketentuan Pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai

organ utama dalam suatu penagdilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

yang dianggap memahami hukum, untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu

perkara, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan

hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan suatu

perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab.

           Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari ketentuan

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 10 Undang-

Undang No.48 Tahun 2009), yaitu :

                1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang akan

                    diajukan ke pengadilan akan diputus.

                2. Untuk mendorong hakim melakukan penemuan hukum.

                3. Sebagai perlambang kebebasan hakim dalam memutus perkara.

                4. Sebagai perlambang hakim tidak selalu harus terikat secara harafiah

                    pada peraturan perundang-undangan yang ada. Hakim dapat

                    mempergunakan berbagai cara untuk mewujudkan peradilan yang

                    benar dan adil.19

           Menurut Roscoe Pound, ada beberapa langkah yang biasa dilakukan oleh

seorang hakim pada saat mengadili suatu perkara di pengadilan, yaitu menemukan

hukum, menafsirkan hukum, dan menerapkan hukum.20


19
     Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.26-27
20
     Ibid, hal.8
17



        Dalam hal peraturannya tidak ada atau tidak lengkap maka tersedialah

metode argumentasi, sebagai berikut :21

            a) Argumentum per analogiam


              Mengambil kesimpulan secara analogi terhadap Pasal, meskipun tidak

              memenuhi unsur-unsur pada Pasal tersebut. contohnya : Pasal 1756 BW

              mengatur tentang mata uang. Apakah uang kertas termasuk di

              dalamnya? dengan jalan analogi maka “mata uang” menurut Pasal 1756

              BW ayat 2 ditafsirkan termasuk uang kertas.


            b) Argumentum ά contrario


              Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang

              mirip tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku yang sebaliknya.


              contoh : jika seorang janda harus menunggu masa iddah untuk menikah

              lagi, meskipun terhadap duda tidak aturannya seperti itu, maka bisa

              digunakan untuk ditafsirkan sama.


        Untuk itu, dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti

pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan

yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan

untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk

mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam

menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game)

untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan

progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya
21
  Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan, Teori Hukum, Universitas Gadjah Mada,
2011., lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal. 84-90
18



ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur.

Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan

sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari

kebenaran. 22


        Adanya, terjadi suatu kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan

melalui hukum modern yang disebabkan oleh permainan prosedur itu, sehingga

menimbulkan       pertanyaan     “apakah      pengadilan     itu   mencari     keadilan    atau

kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur

(heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas

segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem

seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.23 Salah satu penyebab

kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab

kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai

analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang

senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun

pada peristiwa hukumnya. 24 Sehingga, hukum hanya dipahami dalam artian yang

sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai

diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.


        Mengenai kekakuan prosedural legalistik hukum positif, Lawrence M.

Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan

hukuman atau imbalan, masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh




22
   Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal.276
23
   Ibid, hal.272
24
   Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009, hal.219
19



subjek hidup masyarakat.25 Salah penilaian jika menganggap hukum adalah segala-

galanya, manusia yang menjadi subjek hukum bukanlah mesin, tapi makhluk sosial

yang memiliki ide dan nilai sendiri. Di samping itu, manusia bukanlah sesuatu yang

statis, tapi makhluk yang dinamis, bisa saja sanksi yang aka dijatuhkan oleh hukum

diarahkan pada hal tertentu.26 Hukum formal legalis yang prosedural biasanya

mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada prakteknya hukum formal

sulit memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya

akan lebih diperhatikan.27 Pemberlakuan hukum dengan karakter informal yang lebih

luas, dengan mengedepankan pemenuhan fungsi hukum sebagai sumber keadilan,

maka hukum akan berfungsi sebagaimana mestinya. Terhadap hal tersebut,

penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan

kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan

menimbulkan anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah

ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi

keadilan yang diinginkan oleh seseorang sebenarnya adalah keadilan yang substantif,

bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di dalam undang-undang saja. Hukum

bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin menegakkan keadilan

demi kebahagiaan manusia. 28


        Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan

prosedur, sering disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar

menawar hukum otonom. Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan


25
   Friedman Lawrence M.., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,, Cet. III, Nusa
Media Bandung, 2009, hal.139
26
   Ibid.hal.140
27
   Lihat : Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal.264-
265
28
   Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum.., Op.cit.hal.10
20



substantif kepada pihak lain, sebagai gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk

menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat untk mendapatkan akses ke dan

cara berpartisipasi dalam proses hukum.29 Dengan kekuasaan ini, pengadilan dapat

mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus

melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum. Pemahaman

tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini banyak

mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia.

Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil

hanyalah cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia.

Hukum tidak saja diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada

keberhasilan untuk mencapai tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada

efisiensi.30




B. PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP NILAI - NILAI

     BUDAYA MASYARAKAT



        Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin

kehendak bersama para anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu

perbuatan hukum serta cermin dari rasa keadilan mereka. Sebuah fakta yang tidak

terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat pencari keadilan

melalui lembaga peradilan di negeri ini merasa kecewa, karena seringnya keadilan

dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan masyarakat yang mempunyai strata

29
   Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung
2008, hal.74
30
  Rahardjo Satjipto., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media Nusantara,
Jakarta, 2006, hal.194
21



sosial yang tinggi, dan akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah

fatamorgana bagi masyarakat pencari keadilan. Masyarakat sudah bosan dan lelah

menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini.

Sudah banyak isu-isu miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik

itu polisi, jaksa, hakim maupun pengacara/advokat, lembaga legislatif (DPR), dan

lembaga eksekutif (pemerintah). Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah

disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor

penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliyunan rupiah dibebaskan oleh

pengadilan. Bahkan masyarakat awampun dapat menyaksikan bahwa orang miskin

akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit

akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Hal ini dikarenakan penegakan hukum

baik dari substantif maupun proseduralnya bermuara dengan kepastian hukum dan

sebagai hasil perebutan kekuasaan belaka.31

       Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat

dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam

melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus

dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit

dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah

menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan

tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan

dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi. Akibatnya,

tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak hukum. Dapat juga

terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang meewajibkan


31
 Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Cet.IV, Nusa
Media, Bandung, 2010, hal.106
22



rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu.

Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat.

Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum

tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu.

Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah

yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak hukum harus

menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak

hukum menyerah pada perlawanan rakyat,                      yang berarti penegak hukum

mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.32

           Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga

peradilan adalah tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak

berkembang menjadi konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban

masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4

(empat) prasyarat :33

           1) Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh

               keadilan seperti mereka kehendaki;

           2) Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang

               mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan

               nilai-nilai utama lainnya;

           3) Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia;

           4) Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar

               memperoleh perlindungan hukum.




32
     Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.25
33
     Rahardjo Satjipto., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hal.107
23



       Untuk itu, dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem

peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan yang dapat dirinci

sebagai berikut :


             1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;

             2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal;

             3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak

                    senantiasa bersih);

             4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai;

             5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten. 34


       Selanjutnya, hakim disini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari

pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu

didalam menjalankan peranannya itu merupakan :


           1. Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat;

           2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi); dan

           3. Sasaran lingkungan pada waktu itu.35


       Sosialisasi hakim para disini terutama dikaitkan dengan pendidikan yang

diperolehnya untuk mencapai keahlian sebagai sarjana hukum. Pendidikan sebagai

suatu unsur dalam proses sosialisasi seorang hakim akan menentukan kerangka

berpikir dan mengambil keputusan. Konsep-konsep tentang hukum, asas-asas dalam

hukum, metode berpikir dan sebagainya merupakan kekayaan yang tersimpan

didalam diri seorang hakim dan merupakan kerangka berpikirnya sebagaimana

34
   Barimbing R.E.., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum,
Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal.2
35
   Ibid .hal.58
24



disebutkan diatas.36 Untuk melengkapi perbedaan hukum dalam ungkapan formalnya

dengan kenyataan yang dijalankan sehari-hari, sekedar dilihat dari sudut

organisasinya,       disini   akan   di   tambahkan   pula   pendapat    Schuyt,   yang

menghubungkan bekerjanya hukum melalui organ-organ pelaksananya, tetapi atas

dasar yang lebih umum. Menurut Schuyt tujuan hukum yang kemudian harus

diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur

sifatnya. Ia menunjuk pada nilai-nilai : keadilan, keserasian (doelmatigheid) dan

kepastian hukum sebagai tujuan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-

hari.37


            Terkait dengan hal tersebut diatas maka idealnya suatu putusan hakim,

menurut Radbruch (Radbruch, 1946:30) ialah mengandung 3 (tiga) unsur “Idee des

Rechts”:


                1) Keadilan (gerechtigkeid)

                2) Kemanfaatan (zweckmassigkeit); dan

                3) Kepastian hukum (rechtssicherheit) secara prorposional.

            Jadi, suatu putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang

bersangkutan maupun bagi masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya. Namun,

pada praktiknya, dapat dikatakan tidak mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee des

Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau

konflik antara ketiga unsur itu. Bagaimana cara seorang hakim dapat mengatasi

“konflik” atau “tarik-menarik” antara gerechtigkeid, zweckmassigkeit,               dan

rechtssicherheit dalam mengadili sebuah perkara merupakan sebuah seni atau kiat


36
     Ibid. hal.59
37
     Ibid, hal.75
25



sendiri. Bagaimanakah menjatuhkan putusan yang adil, tetapi tidak menyimpang dari

peraturan hukum, atau bagaimanakah menjatuhkan putusan dengan mentaati

peraturan hukum, tetapi tidak mengorbankan keadilan? Hakim harus mengusahakan

adanya keseimbangan antara tiga (3) unsur Idee des Rechts secara proposional dalam

suatu putusan.38


           Terhadap praktiknya ketidakmungkinan menghadirkan ketiga unsur Idee des

Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan tersebut diatas, hakim dalam

memutuskan suatu perkara cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum saja,

dimana hakim lebih memilih mempertahankan norma-norma secara tertulis yang ada

dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum

positif, dengan cara menggunakan pendekatan legalitas/yuridis normatif. Jika hal ini

dipertahankan maka hakim akan mengalami kebuntuan dalam berfikir, karena sulit

untuk menemukan Pasal apa yang akan diterapkan (dikarenakan peraturan itu tidak

lengkap atau tidak ada) terhadap perkara itu. Padahal, telah dengan jelas dan tegas

dinyatakan dalam dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: "Hakim dan hakim konstitusi wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup

dalam masyarakat". Kenyataan yang ada, hakim “sulit” melaksanakan ketentuan

tersebut. Untuk itu, jika masyarakat diperhadapkan dengan persoalan hukum, serta

dalam hal hakim melakukan pendekatan-pendekatan berupa metode penemuan

hukum dalam menyelesaikan suatu perkara hukum, hakim juga seharusnya lebih

memperhatikan nilai-nilai yang masih diakui, dianut, dipercaya dan dijalankan dalam

kehidupan masyarakat (sesuai juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-


38
     Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, hal.23
26



Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman), artinya penegakan

hukum oleh hakim, tidak hanya sekedar penegakan hukum berdasarkan Pasal-

Pasal/teks dalam undang-undang, karena hukum harus dapat dikembalikan pada akar

moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, dan dengan hati nurani, sebab

hanya dengan cara itu, maka masyarakat akan merasakan hukum itu adil dan cocok

dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut, serta memberikan kemanfaatan dari

hukum yang diciptakan untuk manusia.

       Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan

memutuskan suatu perkara berada (bergerak) diantara 2 (dua) titik pembatas dalam

garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau kepastian hukum,

sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat hakim

menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum,

maka secara otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau

haik menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara

otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas-

batas kebebasan hakim. Dimana hakim hanya dapat bergerak diantara 2 (dua) titik

pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan

menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus

berada di dekat titik keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam

memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas.

Menurut konsep pertanggungjawaban dalam administrasi Negara, dimana dikatakan

walaupun administrasi Negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijakan-
27



kebijakan, tetapi sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara

moral maupun hukum.39


           Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum40maka hakim

berdasarkan Freies Ermessen-nya (kebebasannya) dapat memilih keadilan dengan

mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

umum atau Negara. Disini hakim harus lebih mengutamakan kepentingan pihak yang

bersangkutan dari pada kepastian hukum tetapi tidak bertentangan dengan

kesusilaan, kepentingan umum atau Negara. Pemikiran ini dikenal sebagai problem

oriented thinking. Hakim pada dasarnya tidak boleh melanggar undang-undang,

tidak boleh melanggar sistem, harus berpikir system oriented. Berdasarkan

kebebasannya (freies ermessen) hakim harus berani memutuskan secara adil,

walaupun itu bertentangan dengan kepastian hukum atau undang-undang. Ada suatu

ungkapan yang berbunyi : summum ius summum injuria, yang berarti : makin

lengkap , rinci atau lengkap peraturan hukumnya maka keadilannya makin terdesak

atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum. Bunyi

irah-irah atau titel eksekutarial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”


           Sebagai contoh kasus, penulis mengambilnya dari studi dominasi Negara

dalam semua peyelesaian sengketa pidana dan konstruksi penyelesaian perkara carok

berdasarkan nilai - nilai budaya masyarakat Madura, dimana ketidakmampuan

hukum Negara untuk menyelesaikan perkara carok, tidak satupun yang memandang

carok sebagai perbuatan yang penuh dengan makna dan memiliki kaitan yang sangat


39
     Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.132-133
40
     Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Op.cit. hal.24
28



erat dengan pembelaan terhadap kehormatan diri, keturunan dan agama orang

Madura. Pengadilan Negara memandang carok sebagai persolan hitam putih yang

sama dengan kejahatan - kejahatan lain.


           Hal ini terlihat dari perkara carok dimana hakim menjatuhkan pidana penjara

selama 4 bulan 15 hari kepada Juma’atun P. Anik karena telah membacok Saniwi P.

Hasad dengan menggunakan celurit karena telah mengganggu atau berselingkuh

dengan istrinya, Astutik. Dalam putusan ini, hakim sama sekali tidak membuktikan

unsur-unsur Pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Demikian juga dengan

perkara, dengan terdakwa Abd. Rofik yang membacok tubuh Suro karena diketahui

akan menggauli istrinya yang sedang tidur. Putusan hakim dalam perkara ini tidak

didasarkan pada terbuktinya unsur - unsur delik dalam rumusan Pasal yang di

dakwakan, tapi hanya berdasarkan keterangan saksi - saksi dan terdakwa

dipersidangan. Sedangkan unsur-unsur delik tidak disebutkan dan diuraikan satu

persatu didalam putusan. 41


           Terhadap perkara carok yang disebabkan oleh pelecehan eksistensi diri

dengan cara menantang carok, dalam putusan terdakwa Badri dan Atmoyo, warga

Desa Kadur, Pamekasan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan:


                   “Dari keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan keterangan

                   terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti yang ada dimana satu

                   dengan lainnya saling berhubungan, maka Majelis Hakim sependapat

                   dengan Penuntut Umum yang menyatakan perbuatan terdakwa telah

                   terbukti memenuhi unsur-unsur dari dakwaan subsidair, sehingga


41
     Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.76
29



                    Majelis Hakim berkeyakinan terdakwa telah terbukti secara sah

                    bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

                    dakwaan tersebut.”


           Sayangnya, hakim tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa

menyetujui pendapat Penuntut Umum dalam tuntutannya. Dengan kata lain hakim

memindahkan argumen Penuntut Umum ke dalam pertimbangannya. 42


           Dengan menjadikan Pasal yang didakwakan sebagai pedoman untuk

memutus bersalah tidaknya pelaku, terjadinya reduksi cerita yang tidak sesuai

dengan komponen Pasal tersebut tidak dielakkan. Reduksi inilah yang merupakan

ciri positivisme hukum. Hakim mereduksi makna carok dengan memandangnya

sebagai pembunuhan pada umumnya. Hakim tidak melihat bahwa carok merupakan

pembelaan harga diri masyarakat Madura dalam rangka membela kehormatan diri,

keturunan dan agama mereka. Setiap pembunuhan dan penganiayaan yang

meyebabkan matinya orang, apapun bentuk dan motifnya, tetaplah pembunuhan.

Pembunuhan yang disebabkan oleh balas dendam kematian anggota keluarga,

isstrinya diganggu, dan pelecehan harga diri direduksi maknanya sebagai

pembunuhan biasa. Oleh karenanya, Pasal 338, Pasal 340 dan Pasal 351 ayat (3)

KUHP sangat layak dijadikan dasar untuk memidana pelaku. hakim akan membuang

cerita yang tidak sesuai dengan Pasal yang didakwakan. Makna dan nilai-nilai

budaya Madura tentang pembelaan kehormatan diri, keturunan dan agama tidak akan

dijadikan sebagai pertimbangan oleh hakim, karena hal itu jelas tidak cocok dengan

komponen Pasal pembunuhan baik biasa maupun yang direncanakan.



42
     Ibid. hal.79
30



           Pada akhirnya, peraturan-peraturan hukum yang merupakan tumpuan

konsepsi hukum prosedural itu hanya akan menunjukkan bagan-bagan bagi

penyelesaian sengketa-sengketa tersebut. Tetapi ia tidak menjawab bagaimana rakyat

itu menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi diantara mereka; tentang jenis-

jenis subyek yang dapat dipercaya untuk menangani penyelesaian itu serta macam-

macam penyelesaian yang bagaimana saja yang dipakai disitu, seperti misalnya

apakah mediasi, kompromi atau lainnya lagi. semua yang disebut terakhir ini

bukannya hubungan-hubungan yang dilafalkan didalam bagan-bagan tersebut,

melainkan tingkah laku atau hubungan-hubungan yang nyata terjadi dan dibiasakan

didalam masyarakat serta didukung oleh nilai-nilai yang dihayati oleh anggota

masyarakat.43


           Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa setiap perumusan adalah penegasan

atau pencitraan tentang suatu hal (to define, definition). pencitraan adalah pembuatan

konsep. Dalam pembuatan konsep tersebut selalu dimulai dengan pembatasan atau

pembedaan antara yang dirumuskan dan yang tidak atau yang berada diluarnya.

Dengan adanya perumusan tertulis oleh hukum tentang pembunuhan, maka orang

menjadi tahu perbuatan mana yang bukan pembunuhan. oleh karena perumusan itu

bekerja dengan cara membatasi seperti itu, maka timbul resiko besar akan

ketidaktepatan perumusan. Tidak salah kiranya jika dikatakan bahwa perumusan

suatu teks hukum merupakan wilayah kebahasaan, dan demikian telah memasuki

suatu permainan bahasa (language game). Permainan bahasa ini akhirnya

menimbulkan reduksionis dan sakralitas teks. Hakim kemudian menjadikan teks

sebagai suatu yang otonom, dalam arti semua keterangan saksi-saksi dan terdakwa


43
     Satjipto Rahardjo., Hukum Dan.., Op.cit.hal.82
31



harus disesuaikan dengan Pasal yang dijadikan pedoman hakim. Disini keberadaan

nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan dan tidak berpengaruh terhadap putusan yang

dijatuhhkan oleh hakim. Eksistensi hakim, para saksi, dan terdakwa tidak boleh

memberikan pengaruh terhadap makna yang terkandung dalam Pasal tersebut. Sebab

teks (hukum) independen sifatnya, sehingga eksistensinya objektif dari sejumlah

kritik dan kerangka kerja hermeneutis pembaca. Oleh karena itu, interpretasi yang

benar adalah yang sesuai dengan kenyataan otonomi teks.44




C. PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF YANG BERKEADILAN


           Kemunculan hukum yang progresif, tidak dapat pula dipisahkan dari

munculnya aliran Critical Legal Study (CLS) di Amerika Serikat pada tahun 1977,

dimana jika diteliti lebih dekat, mengandung substansi kritik atas kemapanan akan

aliran dalam hukum liberal yang bersifat formalistik dan prosedural, serta juga rasa

ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum yang berlaku di Amerika Serikat.

CLS langsung menutup jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu

sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal. CLS lahir dari

bentuk pembangkangan terhadap realitas sosial tentang ketidakadilan yang memang

merisaukan para ahli hukum saat ini. Hukum positif telah memperlihatkan dirinya

tidak berdaya dan telah digunakan hanya sekedar sebagai suatu alat penindas atau

pemanis belaka. Oleh karena itu, para penganut CLS berusaha keluar dari doktrin-

doktrin yang sudah usang untuk segera masuk kedalam suatu tatanan hukum yang

lebih baik sesuai dengan perkembangan masyarakat yang damai, tidak rasialis, tidak


44
     Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.80-82
32



genderis, dan tidak korup. Pemikiran CLS tersebut, setidaknya telah mengilhami

beberapa ahli hukum di Indonesia, sehingga sedikit banyak pemikirannya

dipengaruhi oleh gerakan ini. Sebut saja, Prof. Satjipto Rahardjo yang menggagas

bentuk pemikiran yang dinamakannya hukum progresif dengan dilatarbelakangi oleh

keprihatinan akan lemahnya law enforcement di Indonesia dewasa ini, yang

selanjutnya pemikiran tersebut berkembang dan mengilhami banyak kalangan

hukum lainnya di negeri ini.45


       Kata progresif itu sendiri berasal dari progress yang berarti adalah kemajuan.

Jadi, disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan

zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serata

mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari

sumber daya penegak hukum itu sendiri. 46Dasar filosofi dari hukum progresif adalah

suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil,

sejahtera dan membuat manusia bahagia.47 Selain itu juga, hukum progresif menolak

segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak,

sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam

proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini

dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut:


               “Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang
               mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya
               untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang
               demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi.
               Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan
               mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih
               baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-

45
   Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.43
46
   Ibid. hal.44
47
   Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya
Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hal.31
33



                faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-
                lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as
                a process, law in the making).”48

        Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak,

berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan

mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam

ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final,

melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu

melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima

hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai

solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk

memenuhi kepentingan kepastian hukum.


        Selanjutnya, Satjipto Rahardjo mengatakan:


                “…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan
                kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan
                perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya
                dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri
                dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya
                kebahagiaan manusia.”49

        Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek

perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang

mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut

sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep

keadilan yang telah disepakati bersama.50 Merumuskan konsep keadilan progresif

ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan


48
  Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hal.72
49
   Rahardjo Satjipto.,Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix
50
   Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 270
34



prosedur. Akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap

aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara

pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif

bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif.

Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern

disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah

pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?.” Proses pengadilan dinegara

yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur

dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi

(accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials

without truth.51 Habermas mengemukakan bahwa satu aturan tentang nilai-nilai

hidup tidak mungkin dapat ditetapkan pada suatu masyarakat yang plural tanpa

suatu konsensus. Pandangan deontologist ini menempatkan keadilan sebagai nilai

utama yang tertinggi yang disebut the primacy of justice. Maka hukum progresif

dalam pengembaraannya mencari keadilan substansial tidak hanya mendasarkan diri

pada satu tatanan nilai tertentu, tetapi pada suatu komunikasi dan transformasi dari

semua aspek nilai yang plural dan bersifat holistis. 52


           Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan

hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the

letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari

undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual,

melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang

dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap

51
     Ibid, hal. 272
52
     Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru .., Op.cit.hal.103
35



penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang

biasa dilakukan.53 Oleh karena itu, hukum progresif tercermin dalam apa yang

menjadi karekteristiknya, yaitu pertama, bahwa “hukum untuk manusia”, kedua,

bahwa “hukum menolak untuk mempertahankan status quo”, dan yang terakhir

“hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia

dalam berhukum”.54 Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya

dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang

mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak

cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi

KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan

sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut

(metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.55


       Berdasarkan karakteristik hukum progresif tersebut diatas, maka menurut

pendapat Achmad Rifai,56 bahwa karakteristik penemuan hukum progresif adalah :


           1) Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri

               dengan dibimbing oleh pandangan atau pemikirannya secara mandiri,

               dengan berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk

               mengabdi kepada manusia;

           2) Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum,

               kebenaran dan keadilan, serta juga etika dan moralitas;




53
   Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.xiii
54
  Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru;.., Op.cit.hal.143
55
   Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju
Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm.70
56
   Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.48
36



                3) Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam

                    kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu

                    masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi

                    serta keadaan masyarakat.


            Selanjutnya, dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum

progresif diatas, maka Achmad Rifai57 berpendapat bahwa metode penemuan hukum

yang sesuai adalah sebagai berikut :


                1) Metode hukum yang bersifat visioner, dengan melihat permasalahan

                    hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang kedepan dengan

                    melihat case by case.

                2) Metode hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule

                    breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap

                    berpedoman pada hukum dan kebenaran, dan keadilan serta memihak

                    dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya.

                3) Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan

                    kemakmuran masyarakat dan dapat juga membawa bangsa dan

                    Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti

                    saat ini.


            Oleh karena itu, hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa

pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang,

melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari

cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan


57
     Ibid. hal.93
37



pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut

fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana

hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran. 58 Oleh karena itu, dengan

menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor

manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion

(perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung

jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad). Sebagaimana

Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim

yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan

yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang-

undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita

untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan. 59 Mengutamakan

faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti

melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari arah legalistik-positivistik

ke arah kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu)

dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai

tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan

kepada siapapun.


        Berdasarkan hal tersebut, menurut Achmad Rifai60 putusan hakim yang

sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah :


            1) Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni
               hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi)
               meskipun memang seharusnya hakim selalu harus legalistik karena
               putusannya tetap pada peraturan perundang-udangan yang berlaku;
58
   Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 276
59
   Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif;.., Op.cit.hal.74
60
   Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;,Op.cit. hal.137-138
38



                2) Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau
                   sekedar hanya memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus
                   befungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun
                   harmonisasi sosial dalam pergaulan;
                3) Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner),
                   yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan
                   hukum (rule breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang-
                   undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan,
                   peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam
                   masyarakat, maka hakim bebas dan bebas melakukan tindakan contra
                   legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal
                   undang-undang yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai
                   kebenaran dan keadilan;
                4) Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan
                   bangsa dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan
                   kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa
                   dan Negara keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan.

            Dapat dikatakan bahwa hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan

“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum

yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih

mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan

penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu

melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. Satjipto Rahardjo

memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim

Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir

korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung

Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan

tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter.

Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin

Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak

pada Tempo.61



61
     Ibid, hal.75
39



       Paradigma “pembebasan” yang dimaksud diatas bukan berarti menjurus

kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada

“logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan

“logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas.

Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali

“paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif bahwa

“hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum progresif

merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang

tepat untuk mewujudkannya.
BAB III


                                   PENUTUP




A. KESIMPULAN


       Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan antara lain :

       Bahwa penegakan hukum itu terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan

nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai

rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh sebab itu, hakim sebagai

penegak hukum senantiasa harus memperhatikan dan mengikuti dinamika

masyarakat, sebab dalam kenyataannya hukum yang tertuang dalam peraturan

perundang-undangan sering tidak mampu menjangkau kebutuhan yang ada.

       Bahwa nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat mewujud dalam bentuk

hukum, yaitu hukum yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua

permasalahan yang ada ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis

berpendapat bahwa hukum adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk itu hukum

harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

       Penegakan hukum oleh hakim tidak sama dengan penegakan undang-undang,

yang hanya sekedar sebagai corong undang-undang. Keberanian hakim untuk

melakukan terobosan hukum baru (rule breaking), ialah dengan menempatkan nilai-

nilai dan rasa keadilan masyarakat sebagai kekuatan “pembebasan” yang dapat

memberi jalan keluar terhadap kebuntuan dari pendekatan legalitas formal. Oleh


                                                                                40
41



karena itu, filosofi hukum progresif adalah hukum untuk manusia, dan bukan

sebaliknya, dan juga hukum itu bukan hanya bangunan peraturan belaka, melainkan

juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita, serta dengan tujuan mencapai kesejahteraan

dan membahagiakan Manusia.




B. SARAN


       Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran yang

dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :


       Bahwa dalam hal peran hakim dalam penegakan hukum, maka hukum harus

dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar relijiusnya,

sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan

nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak sesuai dengan

nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah

sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi), dan

bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap

aturan hukum itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya.


       Bahwa penegakan hukum oleh hakim sedapat mungkin menghadirkan ketiga

unsur Idee des Rechts, yang tidak sekedar memutuskan suatu perkara cenderung

lebih menekankan pada kepastian hukum, dengan mempertahankan norma-norma

secara tertulis yang ada dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang

berlaku sebagai hukum positif. Jika hal ini dipertahankan maka hakim akan

mengalami kebuntuan dalam berfikir, Oleh sebab itu putusan hakim harus

didasarkan kepada suatu keyakinan yang jernih berdasarkan suara hati nurani,
42



dengan pertimbangan senantiasa harus memperhatikan aspek filosofis maupun

sosiologis agar putusannya menyentuh rasa keadilan masyarakat.


       Hakim sebagai penegak hukum, dalam hal memeriksa, mengadili suatu

perkara, apabila mengalami kebuntuan berpikir secara positivistik, maka hakim

harus berani mengadirkan hukum progresif yang menempatkan diri sebagai kekuatan

“pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum

yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih

mengutamakan “tujuan” dari pada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan

penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu

melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking” dengan pertimbangan

kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA


A. Buku-Buku :


  Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok

            Berdasarkan Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Madura, Cet.I,

            Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009


  Barimbing R.E., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan

            Supremasi Hukum, Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001


  Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat

            Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta, 2008


  Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan., Teori Hukum,

            Universitas Gadjah Mada, 2011


  Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010


  Friedman Lawrence M., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M.

            Khozim,, Cet. III, Nusa Media Bandung, 2009


  Kamil Ahmad., Pedoman perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika, Dalam

            Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008


  Kansil C.S.T., Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai

            Pustaka, Jakarta, 1993


  Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari

            positivistik ke progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009




                                                                               43
44



Kusumaatmaja Mochtar., Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis

          Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH.

          LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Alumni,

          Bandung, 1999


Kusuma    Mahmud.,       Menyelami   Semangat   Hukum    Progresif;   Terapi

          Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony

          Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009


Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus,

          Jakarta 2003


Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009


Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas

          Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010


Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta,

          Yogyakarta, 2011


Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien,

          Nusa Media, Bandung 2008


Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980


______________., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis,

          Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta.

          1983


______________., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986
45



______________., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas,

          Jakarta, 2006


______________., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas

          Media Nusantara, Jakarta, 2006


______________., Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan

          Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007


______________., Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Cet.I, Genta

          Pubishing, Yogyakarta, 2009


Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum

          progresif, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010


Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law

          in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif

          Watampone, Jakarta, 2006


Soekanto Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja

          Grafindo Persada, Jakarta, 1983


Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja

          Grafindo Persada, Jakarta, 2004


Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang

          dan Waktu, Cet. III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010


Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat

          Modern, Cet.IV, Nusa Media, Bandung, 2010
46



  Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta,

            2009


  Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit

            Universitas Diponegoro, Semarang, 2010


  Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

            2009




B. Undang-Undang :


  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

            Kehakiman

More Related Content

What's hot

Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)noidmedia virtual
 
Buku ajar hukum administrasi negara
Buku ajar hukum administrasi negaraBuku ajar hukum administrasi negara
Buku ajar hukum administrasi negaraNina Ruspina
 
650 article text-1407-1-10-20190719
650 article text-1407-1-10-20190719650 article text-1407-1-10-20190719
650 article text-1407-1-10-20190719Yori Feriyandi
 
Keabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu SaktiKeabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu Saktialsalcunsoed
 
Makalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan HukumMakalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan HukumShriie Arianti
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumRifa Ramadhani
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi NegaraMuslimin B. Putra
 
Asas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negaraAsas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negaraNuelimmanuel22
 
Pengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negaraPengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negaraIr. Zakaria, M.M
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negaranurul khaiva
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.UtrechPet-pet
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPuspa Bunga
 
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang MemengaruhinyaHakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang MemengaruhinyaFRANKLYN_SS
 
Sumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasiSumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasiMuslimin B. Putra
 
Bahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjutBahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjutSri Nur Hari
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnDella Mega Alfionita
 
Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2Nuelimmanuel22
 
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber   sumber hukumPengantar ilmu hukum sumber   sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukumSeptiani Dwi Rahayu
 

What's hot (20)

Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
Problematika penegakan hukum di indonesia(1) (1)
 
Buku ajar hukum administrasi negara
Buku ajar hukum administrasi negaraBuku ajar hukum administrasi negara
Buku ajar hukum administrasi negara
 
650 article text-1407-1-10-20190719
650 article text-1407-1-10-20190719650 article text-1407-1-10-20190719
650 article text-1407-1-10-20190719
 
Keabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu SaktiKeabsahan Kebijakan Kartu Sakti
Keabsahan Kebijakan Kartu Sakti
 
Makalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan HukumMakalah Hukum dan Penegakan Hukum
Makalah Hukum dan Penegakan Hukum
 
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukumpengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
pengertian hukum,tujuan hukum,jenis jenis hukum dan macam macam pembagian hukum
 
Obyek Hukum Administrasi Negara
Obyek Hukum Administrasi  NegaraObyek Hukum Administrasi  Negara
Obyek Hukum Administrasi Negara
 
Asas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negaraAsas hukum admnistrasi negara
Asas hukum admnistrasi negara
 
Pengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negaraPengenalan hukum administrasi negara
Pengenalan hukum administrasi negara
 
1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara1. hukum administrasi negara
1. hukum administrasi negara
 
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrechbuku hukum admnistrasi negara E.Utrech
buku hukum admnistrasi negara E.Utrech
 
Pengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power pointPengantar ilmu hukum power point
Pengantar ilmu hukum power point
 
Pengertian hukum
Pengertian hukumPengertian hukum
Pengertian hukum
 
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang MemengaruhinyaHakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
Hakikat Penegakan Hukum, Aparat Penegakan Hukum, dan Faktor yang Memengaruhinya
 
Sumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasiSumber sumber hukum administrasi
Sumber sumber hukum administrasi
 
Bahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjutBahan ajar han lanjut
Bahan ajar han lanjut
 
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htnPengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
Pengertian, perbedaan dan persamaan han dan htn
 
Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2Hukum administrasi negara 2
Hukum administrasi negara 2
 
SANKSI dalam HAN
SANKSI dalam HANSANKSI dalam HAN
SANKSI dalam HAN
 
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber   sumber hukumPengantar ilmu hukum sumber   sumber hukum
Pengantar ilmu hukum sumber sumber hukum
 

Similar to KEBUNTUAN HUKUM

Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realismLatar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realismIsnaldi Utih
 
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docxmakalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docxbagussanjaya24
 
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMULANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMUKuliahMandiri.org
 
Materi pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semesterMateri pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semesterEko Nainggolan
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).pptMATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).pptKukuhDt
 
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptxPPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptxFiaHarleni
 
1 Teori Hukum Kodrat (1).pdf
1 Teori Hukum Kodrat (1).pdf1 Teori Hukum Kodrat (1).pdf
1 Teori Hukum Kodrat (1).pdfAlamPravana2
 
214 article text-740-1-10-20160528
214 article text-740-1-10-20160528214 article text-740-1-10-20160528
214 article text-740-1-10-20160528Yori Feriyandi
 
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.pptBAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.pptasifsardari
 
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)R Maulana
 
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxPERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxIlyasAlbar
 
Pembentukan polisi adat di provinsi gorontalo
Pembentukan polisi adat di provinsi gorontaloPembentukan polisi adat di provinsi gorontalo
Pembentukan polisi adat di provinsi gorontaloIr. Soekarno
 

Similar to KEBUNTUAN HUKUM (20)

Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisiplinerKebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
Kebuntuan dari pendekatan legalitas formal menuju pendekatan interdisipliner
 
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realismLatar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
Latar belakang munculnya sociological jurisprudence dan legal realism
 
Hukum non doktrinal
Hukum non doktrinalHukum non doktrinal
Hukum non doktrinal
 
TEORI HUKUM
TEORI HUKUMTEORI HUKUM
TEORI HUKUM
 
Paradigma hukum
Paradigma hukumParadigma hukum
Paradigma hukum
 
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docxmakalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
makalah-filsafat-hukum.pdf_convert.docx
 
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMULANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
LANDASAN FILOSOFIS MAZHAB HUKUM PROGRESIF: TINJAUAN FILSAFAT ILMU
 
Materi pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semesterMateri pihu sebelum mid semester
Materi pihu sebelum mid semester
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).pptMATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
MATERI-KULIAH-SOSKUM-kelas-A-C-ba-desi (4).ppt
 
mashab aliran hukum.ppt
mashab aliran hukum.pptmashab aliran hukum.ppt
mashab aliran hukum.ppt
 
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptxPPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
PPT SOSIOLOGI HUKUM.pptx
 
1 Teori Hukum Kodrat (1).pdf
1 Teori Hukum Kodrat (1).pdf1 Teori Hukum Kodrat (1).pdf
1 Teori Hukum Kodrat (1).pdf
 
214 article text-740-1-10-20160528
214 article text-740-1-10-20160528214 article text-740-1-10-20160528
214 article text-740-1-10-20160528
 
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.pptBAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
BAHAN-1-PENGANTAR-ILMU-HUKUM-1.ppt
 
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
Sosiologi hukum (soerjono soekanto)
 
Law Sociology
Law SociologyLaw Sociology
Law Sociology
 
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptxPERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
PERANAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP MASYARAKAT DALAM KEHIDUPAN SOSIAL.pptx
 
penyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukumpenyebab manusia menaati hukum
penyebab manusia menaati hukum
 
Pembentukan polisi adat di provinsi gorontalo
Pembentukan polisi adat di provinsi gorontaloPembentukan polisi adat di provinsi gorontalo
Pembentukan polisi adat di provinsi gorontalo
 

More from Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia

More from Universitas Gadjah Mada-Yogyakarta, Indonesia (15)

Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
Kajian yuridis tentang perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga p...
 
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
Kedudukan hukum negara terhadap benda menurut teori leon duguit dan aplikasin...
 
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
Konsekuensi yuridis dengan dikecualikannya keputusan tata usaha negara yang b...
 
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenangTinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
Tinjauan yuridis terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang
 
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
Peranan filsafat pancasila sebagai sumber hukum tata usaha negara ideal di in...
 
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINERKEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER
 
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
Pengawasan terhadap produk hukum yang berbentuk keputusan tata usaha negara m...
 
Teori hukum
Teori hukumTeori hukum
Teori hukum
 
Sinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukumSinopsis pranata hukum
Sinopsis pranata hukum
 
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasionalFungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
Fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional
 
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negaraPeranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
Peranan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara
 
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridisKetidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
Ketidakabsahan suatu produk hukum karena mengalami kekurangan yuridis
 
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesiaPenggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
Penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di indaonesia
 
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunanPeranan filsafat pancasila dalam pembangunan
Peranan filsafat pancasila dalam pembangunan
 
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
Konsekuensi yuridis dari kemajemukan bangsa indonesia terhadap pembangunan hu...
 

Recently uploaded

bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikaAtiAnggiSupriyati
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxNurindahSetyawati1
 
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxPendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxdeskaputriani1
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxsukmakarim1998
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASbilqisizzati
 
ppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.ppt
ppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.pptppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.ppt
ppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.pptAgusRahmat39
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfNurulHikmah50658
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxRizkyPratiwi19
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BAbdiera
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfCandraMegawati
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
HiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaHiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaafarmasipejatentimur
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...Kanaidi ken
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxdpp11tya
 
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...asepsaefudin2009
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDNurainiNuraini25
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...Kanaidi ken
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptPpsSambirejo
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfChananMfd
 

Recently uploaded (20)

bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ikabab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
bab 6 ancaman terhadap negara dalam bingkai bhinneka tunggal ika
 
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docxMembuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
Membuat Komik Digital Berisi Kritik Sosial.docx
 
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptxPendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
Pendidikan-Bahasa-Indonesia-di-SD MODUL 3 .pptx
 
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptxPEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
PEMANASAN GLOBAL - MATERI KELAS X MA.pptx
 
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITASMATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
MATEMATIKA EKONOMI MATERI ANUITAS DAN NILAI ANUITAS
 
ppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.ppt
ppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.pptppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.ppt
ppt-akhlak-tercela-foya-foya-riya-sumah-takabur-hasad asli.ppt
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptxPERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
PERAN PERAWAT DALAM PEMERIKSAAN PENUNJANG.pptx
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase BModul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 4 Fase B
 
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdfContoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
Contoh Laporan Observasi Pembelajaran Rekan Sejawat.pdf
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
HiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaHiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Hiperlipidemiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
PELAKSANAAN + Link2 Materi BimTek _PTK 007 Rev-5 Thn 2023 (PENGADAAN) & Perhi...
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
Materi Sosiologi Kelas X Bab 1. Ragam Gejala Sosial dalam Masyarakat (Kurikul...
 
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SDPPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
PPT AKSI NYATA KOMUNITAS BELAJAR .ppt di SD
 
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
PELAKSANAAN + Link-Link MATERI Training_ "Effective INVENTORY & WAREHOUSING M...
 
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.pptLATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
LATAR BELAKANG JURNAL DIALOGIS REFLEKTIF.ppt
 
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdfMAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
MAKALAH KELOMPOK 7 ADMINISTRASI LAYANAN KHUSUS.pdf
 

KEBUNTUAN HUKUM

  • 1. TEMA : KEBUNTUAN DARI PENDEKATAN LEGALITAS FORMAL MENUJU PENDEKATAN INTERDISIPLINER JUDUL : PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM YANG POSITIVISTIK TERHADAP NILAI-NILAI BUDAYA DALAM MASYARAKAT (Suatu tinjauan Sosiologis) ( Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum ) Oleh : FREINGKY A. NDAUMANU, S.H. NIM : 11/322217/PHK/06731 PROGRAM PASCASARJARNA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA MAGISTER HUKUM 2011 1
  • 2. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keadaan Indonesia pada masa lalu telah melahirkan berbagai pergulatan pemikiran, termasuk dalam lingkup hukum dan ilmu hukum. Keadaan masa lalu tersebut, awalnya muncul dari aliran positivistik yang sangat mempengaruhi keluarga hukum Eropa-Kontinental, atau yang lebih dikenal dengan sistem civil law, hingga akhirnya berpengaruh juga pada sistem hukum Indonesia. Civil law dikembangkan dari hukum-hukum yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis yang dikodifikasi pada masa Kaisar Yustitianus. Sistem hukum ini berkembang dari Romawi, terus diikuti oleh Jerman dan selanjutnya Perancis, karena Belanda pernah menjadi jajahan Perancis pada masa Napoleon Bonaparte maka Belanda pun memakai sistem hukum ini, akibat kolonialisme Belanda di Indonesia, maka Indonesia juga penganut sistem hukum civil law.1 Ada usaha dari pemikir hukum untuk menawarkan gagasan agar persoalan hukum di negeri ini tidak menemui “jalan buntu.” Hukum dibuat untuk dilaksanakan. Hukum tidak dapat lagi disebut sebagai hukum, apabila hukum tidak dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan. Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Didalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum terkandung 1 Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009, hal.31-33 1
  • 3. 2 tindakan - tindakan yang harus dilaksanakan, seperti penegakan hukum. Pertanyaan logis yang kemudian muncul adalah, siapakah yang akan melaksanakan semua tindakan tersebut? Hukum dalam wujudnya sebagai peraturan, jelas tidak melakukan semuanya. Dari sinilah masuknya peranan para penegak hukum yang tidak lain adalah manusia - manusia. Apabila disini dilibatkan tingkah laku manusia, maka sesungguhnya hanya merupakan kelanjutan saja dari metode yang dipakai. Dalam perumusannya yang negatif, metode tersebut monolak cara pengkajian hukum yang didasarkan dengan apa yang tertera secara hitam-putih berupa peraturan hukum. Metode yang lazim disebut sebagai normatif-dogmatis, bertolak dari keharusan - keharusan yang tercantum dalam peraturan hukum dan menerimanya sebagai kenyataan. Namun, dalam kenyataannya pendekatan ini memiliki kelemahan atau kekurangan karena tidak dapat menjelaskan kenyataan-kenyataan hukum secara memuaskan, terutama ketika praktek hukum tidak sesuai dengan aturan-aturan hukum yang tertulis. Seperti ketika prinsip hukum undang-undang menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi. Sehingga pada praktiknya, hakim di Indonesia umumnya hanya menjadi corong undang-undang.2 Kebanyakan hakim selalu berpandangan positivisme bahwa apa 2 lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010, hal.52 “Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh Montesquieu dan Kant, hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan peranannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong undang-undang (bouche de la loi), sehingga tidak dapat mengubah kekuatan hukum undang-undang, tidak dapat
  • 4. 3 yang sudah diatur oleh undang-undang itu adalah hukum. Padahal hukum adat juga merupakan sumber hukum tidak tertulis yang diakui dan dijadikan pedoman hidup dalam masyarakat. Terutama masyarakat tradisional, yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan tidak memiliki latar belakang pendidikan terutama pendidikan tentang hukum, dalam hal ini adalah hukum modern sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga terkadang apa yang menurut hukum adat itu merupakan suatu hal yang biasa bagi masyarakat adat ternyata hal tersebut telah melanggar ketentuan hukum tertulis, dan terlebih lagi bahwa perbuatan tersebut harus dijatuhi dengan sanki pidana sebagaimana tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Penegakan Hukum Oleh Hakim Dalam Berpikir Positivistik Terhadap Nilai-Nilai Budaya Dalam Masyarakat?” C. KERANGKA TEORITIS 1. Positivistime Hukum Secara embrional positivisme hukum lahir dari rahim positivisme, suatu paham falsafah yang berkembang di Eropa Kontinental, khususnya di perancis dengan dua eksponennya yang terkenal, yaitu Henry Saint-Simon (1760-1825) dan menambah dan tidak pula dapat menguranginya. Ini disebabkan karena Montesquieu undang- undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.”
  • 5. 4 August Comte (1798-1857). Dalam Positivisme hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alam dirumuskan dengan anggapan bahwa alam dapat diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dan ruang dan waktu. Positivisme ini berkembang akibat perjuangan gigih dari August Comte. Comte mengatakan terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala hidup bersama, dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebut hukum tiga tahap. Artinya, tiap-tiap masyarakat mesti melalui tiga tahap itu, pertama, tahap teologis, kedua, tahap metafisik, dan ketiga, tahap positif. Pada tahap teologis, manusia percaya pada kekuatan-kekuatan ilahi dibelakang gejala-gejala alam. Sedangkan pada tahap metafisik ini dimulailah kritik terhadap segala pikiran termasuk teologis. Ide-ide teologi diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Adapun pada tahap positif gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu idea alam yang abstrak, tetapi gejala diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum diantara gejala-gejala bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan bentuk relasi yang konstan diantara gejala-gejala tersebut. Pemikiran positivisme hukum ini kemudian digunakan dalam hukum sehingga menjelma menjadi aliran positivisme hukum. Aliran ini lahir pada abad ke- 19. Dua eksponen yang utamanya yang terkenal adalah John Austin dan Hans Kelsen. Austin mengatakan bahwa hukum itu tidak lain adalah perintah penguasa. Austin memperkenalkan tiga faham pokok diseputar positivisme hukum; (1) kekuasaan yang tertinggi yang ada dalam suatu Negara adalah satu-satunya sumber hukum. Hukum adalah perintah dari suatu politik yang berdaulat dalam suatu Negara, (2) Hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup (close logical system). Sebagai objek kajian, hukum harus dilepaskan dari unsur nilai, dan (3) Hukum haruslah memenuhi unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.
  • 6. 5 Apabila tidak memenuhi persyaratan tersebut, tidak bisa dikategorikan hukum sebagai hukum tetapi moral positif. Sementara itu, Kelsen terkenal dengan teori hukum murninya (the pure theory of law). Klesen mengatakan bahwa teori hukum harus dibedakan dari hukum itu sendiri, hukum harus diseragam dalam arti dapat diterapkan pada semua waktu dan tempat, hukum harus dilepaskan dari anasir-anasir politik dan dipisahkan dari moral; dengan kata lain hukum harus benar-benar murni dan hukum merupakan pencerminan dari proposisi yang “seharusnya”. Konsep yang dibangun oleh aliran positivisme hukum ini menghendaki dilepaskannya pemikiran metayuridis mengenai hukum sebagaimana dianut oleh para eksponen aliran hukum kodrat. Karena itu, setiap norma hukum haruslah eksis dalam alamnya yang objektif sebagai norma- norma yang positif (all law is enacted law), ditegaskan sebagai wujud kesepakatan kontraktual yang konkrit antara warga masyarakat. Hukum tidak lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna mengenai apa yang terbilang hukum dan apa pula yang sekalian normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.3 Dapat dikatakan, aliran positivisme yuridis menyatakan hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis. Hukum yang sah adalah hukum yang dibuat oleh negara, jika hukum telah dibuat oleh negara maka rakyat wajib mematuhinya, jika tidak dipatuhi akan menerima sanksi. Adil atau tidak bukanlah persoalan, relevan atau tidak bukanlah urusan hukum, yang penting adalah sah atau tidaknya secara yuridis. Hukum bukanlah dasar dalam kehidupan sosial, bukan pula bersumber dari jiwa bangsa, tapi hukum itu ada 3 Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009, hal.82-84
  • 7. 6 karena bentuk positifnya dari yang berwenang. 4 Selain itu, aliran teori hukum murni berpendapat, bahwa norma memberikan arahan atau ancangan pada manusia dalam bertindak. Hukum positif merupakan sebuah tatanan normatif yang mengatur sikap tindak manusia dalam cara tertentu.5 Disamping itu, dalam konteks positivisme hukum oleh Hart (Dias, 1976) diartikan antara lain : 1) Hukum adalah perintah; 2) Keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas; 3) Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian 4) Hukum yang di undangkan/ditetapkan/positum harus dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan/diinginkan.6 Aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan tiada hukum diluar undang-undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum identik. Legisme hukum tidak sama dengan positivisme hukum, karena pada legisme hukum hanya menganggap undang-undang saja sebagai suatu sumber hukum, sedangkan pada positivisme hukum tidak hanya membatasi undang-undang saja sebagai sumber hukum, tetapi juga kebiasaan, adat yang baik, dan pendapat masyarakat. Dalam memutuskan perkara, ajaran positivisme hukum megutamakan penemuan hukum dan kepastian 4 Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Cet. III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hal.119-121 5 Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta, 2008, hal.81 6 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari positivistik ke progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009, hal.6
  • 8. 7 hukum. Aliran legisme bersumber pada teori-teori perjanjian Negara seperti yang dibentangkan oleh Thomas Hobbes, yang menghendaki suatu pemerintahan yang absolute dan hanya kehendak pemerintah itulah hukum.7 2. Penegakan Hukum Penegakan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan hukum, maka sudah semestinya seluruh energi dikerahkan agar hukum itu mampu bekerja mewujudkan nilai-nilai moral dalam hukum. Adanya, kegagalan penegakan hukum di era reformasi karena gagalnya pemerintahan era reformasi tersebut untuk mewujudkan nilai-nilai hukum tersebut, dapat dikatakan era reformasi hukum masih sangat miskin implementasi terhadap nilai-nilai moral akan berjarak serta terisolasi dari masyarakatnya. Sebagaimana dikatakan Ufran: “Penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan dari hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau tidak”.8 Sedangkan menurut Soerjono Soekanto: “Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.Penegakan Hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur 7 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal.29 8 Ufran, dalam Kata Pengantar Editor, Rahardjo Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal.Vii.
  • 9. 8 penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral”9 Jika kita berbicara tentang penegakan hukum pidana ada beberapa teori yang menyertainya antara lain :10 1. Teori mutlak (pembalasan), penganutnya Immanuel Kant, Hegel, Herbart, Stahl. Teori ini teori tertua (klasik) berpendapat bahwa dasar keadilan hukum itu harus dalam perbuatan jahat itu sendiri. Seseorang mendapat hukuman karena ia telah berbuat jahat. Jadi hukuman itu melulu untuk menghukum saja (mutlak) dan untuk membalas pebuatan itu (pemabalasan). 2. Teori relative (teori tujuan), teori ini berpendapat dasar hukum bukanlah pembalasan tetapi lebih kepada maksud/tujuan hukuman, artinya tujuan ini mencari manfaat daripada hukuman. Beberapa doktrin mengajarkan yaitu diantaranya tujuan hukuman untuk mencegah kejahatan baik pencegahan umum (algemene crime) maupun pencegahan khusus (special crime). Selain itu, terdapat paham lain yaitu tujuan hukuman adalah untuk membinasakan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan masyarakat, tujuan pelaksanaaan daripada hukuman terletak pada tujuan hukuman. Akan tetapi disamping teori relative ini ini masih dikenal lagi Teori relative modern, penganutnya Frans Von Lizt, Van Hommel, D. Simons. Teori ini berpendapat dasar hukuman adalah untuk menjamin ketertiban hukum. Pokok pangkalnya adalah Negara, dimana negara melindungi 9 Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hal.5 10 Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hal.97
  • 10. 9 masyarakat dengan cara membuat peraturan yang mengandung larangan dan keharusan yang berbentuk kaidah/ norma. 3. Teori gabungan (1 dan 2), menurut teori ini dasar hukuman adalah terletak pada kejahatan sendiri yaitu pembalasan atau siksaan (teori mutlak) tetapi disamping itu diakuinya dasar-dasar tujuan daripada hukuman. Penganut aliran ini diantaranya adalah Binding. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran- pikiran pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.”11 Penegakan hukum dengan mempunyai sasaran agar orang taat kepada hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal yakni: (1) takut berbuat dosa; (2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat imperatif; (3) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non-penal mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi.12 11 Rahardjo Satjipto., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983, hal.24 12 Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.142
  • 11. 10 Dalam proses penegakan hukum banyak faktor yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Robert B. Seidman,13 mengemukakan teorinya tentang faktor- faktor bekerjanya hukum ialah menyatukan tiga kekuatan antara lain, kekuatan pembuat undang-undang dalam hal ini adalah legislatif, kekuatan pelaksana undang- undang dalam hal ini adalah eksekutif dan kekuatan sosial lain yaitu pemegang peran atau masyarakat yang dalam hal ini adalah menyangkut kesadaran hukum masyarakat. 3. Hukum Dan Nilai-Nilai Dalam Masyarakat Parson mengatakan, bahwa yang disebut norma itu adalah suatu deskripsi tertulis mengenai suatu rangkaian perbuatan yang konkrit dan yang dipandang sebagai suatu hal yang diinginkan (desirable). Deskripsi masih dikombinasikan dengan suatu paksaan untuk mendorong agar perbuatan-perbuatan tertentu dikemudian hari mencocoki perbuatan yang dikehendaki. Lain hal lagi dengan Holmans yang mengatakan bahwa suatu norma adalah suatu pernyataan (statement) yang dibuat oleh anggota suatu kelompok, tidak perlu seluruhnya yang mengatakan bahwa para anggotanya seyogyanya dalam keadaan tertentu bertingkah laku menurut cara yang tertentu. Para angota yang membuat pernyataan itu berpendapat bahwa adalah suatu hal yang memberikan kepuasan (rewarding) apabila perbuatan- perbuatannya sendiri dan orang lain sampai dengan taraf yang tertentu akan bersesuaian dengan tingkah laku ideal yang dilukiskan oleh norma bersangkutan. Seperti halnya dengan norma, maka nilai itu diartikan sebagai suatu pernyataan tentang hal yang diinginkan oleh seseorang. Norma dan nilai menunjuk 13 lihat: Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, hal.9-10
  • 12. 11 pada hal yang sama tetapi dari sudut pandangan yang berbeda. Norma itu mewakili suatu perspektif sosial, sedangkan nilai melihatnya dari sudut perspektif individual. Hal yang menarik dikatakan oleh John Finley Scott adalah, bahwa manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat memberikan respons yang sangat kuat terhadap interaksinya yang sangat kuat terhadap interaksi yang dilakukannya dengan sesama anggota masyarakat yang lain, sehingga nilai yang olehnya dipandang sebagai paling kuat lazimnya bersifat sosial pula. Dalam hubungan ini maka dengan perkataan lain hendak dikatakan, bahwa norma-norma itu sekaligus nilai-nilai yang baginya terkuat. Lon L. Fuller melihat hukum itu sebagai suatu usaha mencapai tujuan tertentu (purposeful enterprise). Oleh karena tekanan disini adalah pada usaha, maka dengan sendirinya ia mengandung resiko kegagalan. Keberhasilan usaha tersebut tergantung pada energi, wawasan (insight), intelegensia dan kejujuran (conscientiousness) dari mereka yang harus menjalankan hukum itu. Schuyt berpendapat pula, bahwa hukum itu mengandung dalam dirinya nilai- nilai yang intrinsik, sehingga hukum itu dapat disebut sebagai suatu sistem yang intrinsik. Kehidupan hukum suatu bangsa ditentukan oleh “pandangan Gestalt”-nya (Gestal visie) mengenai hukum dan ini bertolak dari nilai-nilai yang dipandangnya intrinsik ada pada hukum. Apa yang nantinya diwujudkan sebagai hukum didalam masyarakat yang bersangkutan tergantung dari titik tolak pandangannya mengenai apa saja yang termasuk dalam nilai-nilai itu. Didalam pembicaraan mengenai hukum, maka nilai-nilai tersebut berkembang menjadi antara hukum dan moral. Oleh Schuyt moral itu dibedakan didalam formal dan material. Philip Selznick di dalam bukunya Law, Society, and Industrial Justice, yang berpendapat bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan
  • 13. 12 nilai-nilai tertentu. Selznick mengatakan, bahwa dewasa ini dapat dikenali konflik antara dua pandangan dalam hukum, yang pertama melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diterima begitu saja; sedangkan yang kedua, yang berpandangan idealistis berpendapat, bahwa hukum itu mencita-citakan tercapainya tujuan-tujuan moral. Pandangan yang pertama juga disebut sebagai fungsional dan melihat hukum sebagai sarana untuk menyelesaikan problem-problem praktis. Berlainan dengan itu maka pandangan idealis menggantungi hukum dengan harapan dan janji.14 14 Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal. 76-80
  • 14. BAB II PEMBAHASAN A. POSITIVISME PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM Supremasi hukum merupakan titik tolak penegakan hukum positif, maka hukum adalah di atas segala-galanya. Berdasarkan cirinya yang dibuat oleh legislatif, maka hukum positif merupakan produk politik, karena lagislatif lahir dari proses politik. Sebagai produk politik, maka hukum amat kental dengan kepentingan, rasanya pandangan equality before the law akan sulit diterapkan, sebab logika politik adalah harus ada yang berkuasa dan ada yang dikuasai. Akibatnya hukum akan memandang status sosial subjek hukum, penegakan hukumpun akan mengalami diskriminasi terhadap manusia itu sendiri.15 Untuk itu, hakim adalah figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa dituntut untuk membangun kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan emosional, kecerdasan moral dan spiritual, jika kecerdasan intelektual, emosional, dan moral spiritual terbangun dan tepelihara dengan baik bukan hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri, tetapi juga akan memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan hukum.16 Maka, hakim harus senantiasa melengkapi diri dengan ilmu hukum, teori hukum dan filsafat hukum serta hakim tidak boleh membaca hukum itu hanya secara normatif saja, oleh sebab itu hakim dituntut untuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh kedepan dan harus mampu melihat hal-hal 15 lihat: Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003, hal.232-234 16 Kamil Ahmad., Pedoman Perilaku Hakim Dalam Perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008, hal.38 13
  • 15. 14 yang melatarbelakangi suatu ketentuan-ketentuan tertulis, serta pemikiran-pemikiran apa yang ada dalam ketentuan itu, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran yang ada dalam masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai hasil perubahan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan kemudian di ubah lagi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan jelas dan tegas termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada tetapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian lalu diciptakan. Scholten mengatakan bahwa didalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.17Tersirat secara yuridis maupun filosofis, bahwa hakim mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dalam semua lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan. Montesquieu menyatakan, ada tiga bentuk negara dan pada setiap negara terdapat penemuan hukum yang cocok untuk masing-masing bentuk negaranya. 17 Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal.61
  • 16. 15 Dalam ètat despotique yang tidak ada undang-undang. Disini hakim dalam mengadili setiap peristiwa individual didasarkan atas apresiasi pribadinya secara arbitrer sehingga terjadi penemuan hukum secara “otonom mutlak”. Sedangkan di dalam negara ètat republicain, terdapat penemuan hukum yang heteronom: di mana hakim menerapkan undang-undang menurut bunyinya. Sedangkan dalam ètat monarchique, meskipun hakim berperan sebagai corong undang-undang, tetapi dapat menafsirkan dengan mencari jiwanya. Di sini terdapat sistem penemuan hukum yang bersifat heteronom dan otonom. Di Indonesia mengenal penemuan hukum heteronom dan otonom18 sehingga karenanya apabila dihadapkan suatu kasus sesulit apapun hakim wajib menemukan hukumnya, baik melalui terobosan hukum (contra legem), atau melalui konstruksi hukum (rechts construksi), baik dengan cara menafsirkan hukum yang sudah ada maupun dengan cara menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Peranan hakim disini lebih bersifat otonom. Agar putusan yang dijatuhkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis maupun secara moral, maka dalam menghadapi fakta konkrit, hakim harus mampu menemukan hukumnya melalui interpretasi. Selanjutnya, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Ketentuan Pasal tersebut diatas mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, maka hakim harus bertindak atas inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara 18 Ibid. hal.56-59
  • 17. 16 tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapt membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan penemuan hukum. Selanjutnya, ketentuan Pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai organ utama dalam suatu penagdilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang dianggap memahami hukum, untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu perkara, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim untuk menemukan hukumnya dengan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan suatu perkara berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab. Menurut Bagir Manan, ada beberapa asas yang dapat diambil dari ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004 (sekarang Pasal 10 Undang- Undang No.48 Tahun 2009), yaitu : 1. Untuk menjamin kepastian hukum bahwa setiap perkara yang akan diajukan ke pengadilan akan diputus. 2. Untuk mendorong hakim melakukan penemuan hukum. 3. Sebagai perlambang kebebasan hakim dalam memutus perkara. 4. Sebagai perlambang hakim tidak selalu harus terikat secara harafiah pada peraturan perundang-undangan yang ada. Hakim dapat mempergunakan berbagai cara untuk mewujudkan peradilan yang benar dan adil.19 Menurut Roscoe Pound, ada beberapa langkah yang biasa dilakukan oleh seorang hakim pada saat mengadili suatu perkara di pengadilan, yaitu menemukan hukum, menafsirkan hukum, dan menerapkan hukum.20 19 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.26-27 20 Ibid, hal.8
  • 18. 17 Dalam hal peraturannya tidak ada atau tidak lengkap maka tersedialah metode argumentasi, sebagai berikut :21 a) Argumentum per analogiam Mengambil kesimpulan secara analogi terhadap Pasal, meskipun tidak memenuhi unsur-unsur pada Pasal tersebut. contohnya : Pasal 1756 BW mengatur tentang mata uang. Apakah uang kertas termasuk di dalamnya? dengan jalan analogi maka “mata uang” menurut Pasal 1756 BW ayat 2 ditafsirkan termasuk uang kertas. b) Argumentum ά contrario Apabila suatu peristiwa tertentu diatur, tetapi peristiwa lainnya yang mirip tidak, maka untuk yang terakhir ini berlaku yang sebaliknya. contoh : jika seorang janda harus menunggu masa iddah untuk menikah lagi, meskipun terhadap duda tidak aturannya seperti itu, maka bisa digunakan untuk ditafsirkan sama. Untuk itu, dalam rangka menjadikan keadilan subtantif sebagai inti pengadilan yang dijalankan di Indonesia, Mahkamah Agung memegang peranan yang sangat penting. Sebagai puncak dari badan pengadilan, ia memiliki kekuasaan untuk mendorong (encourage) pengadilan dan hakim dinegeri ini untuk mewujudkan keadilan yang progresif tersebut. Hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progresif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya 21 Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan, Teori Hukum, Universitas Gadjah Mada, 2011., lihat: Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum;.., Op.cit. hal. 84-90
  • 19. 18 ringan” apabila membiarkan pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial dinegeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran. 22 Adanya, terjadi suatu kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern yang disebabkan oleh permainan prosedur itu, sehingga menimbulkan pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?”. Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.23 Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. 24 Sehingga, hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum. Mengenai kekakuan prosedural legalistik hukum positif, Lawrence M. Friedman menyatakan hukum bukanlah satu-satunya yang bisa memberikan hukuman atau imbalan, masih ada keluarga, teman-teman, rekan kerja dan seluruh 22 Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal.276 23 Ibid, hal.272 24 Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009, hal.219
  • 20. 19 subjek hidup masyarakat.25 Salah penilaian jika menganggap hukum adalah segala- galanya, manusia yang menjadi subjek hukum bukanlah mesin, tapi makhluk sosial yang memiliki ide dan nilai sendiri. Di samping itu, manusia bukanlah sesuatu yang statis, tapi makhluk yang dinamis, bisa saja sanksi yang aka dijatuhkan oleh hukum diarahkan pada hal tertentu.26 Hukum formal legalis yang prosedural biasanya mendengungkan slogan persamaan hukum, namun pada prakteknya hukum formal sulit memberikan keadilan bagi masyarakat yang lemah, sebab kelas yang lebih kaya akan lebih diperhatikan.27 Pemberlakuan hukum dengan karakter informal yang lebih luas, dengan mengedepankan pemenuhan fungsi hukum sebagai sumber keadilan, maka hukum akan berfungsi sebagaimana mestinya. Terhadap hal tersebut, penegakan hukum secara formal dan rasional belum tentu akan mendatangkan kebahagiaan bagi masyarakat, karena pelaksanaan hukum secara formal akan menimbulkan anggapan dari para penegak hukum bahwa jika hukum telah ditegakkan sesuai undang-undang maka keadilan telah dilaksanakan. Lebih jauh lagi keadilan yang diinginkan oleh seseorang sebenarnya adalah keadilan yang substantif, bukan keadilan prosedural seperti yang tertera di dalam undang-undang saja. Hukum bukanlah persoalan rasional atau formal, tapi lebih jauh ingin menegakkan keadilan demi kebahagiaan manusia. 28 Keadilan prosedural ini berawal dari tawar-menawar antara hukum dan prosedur, sering disebut sebagai historic bargain of automous law atau tawar menawar hukum otonom. Pengadilan setuju menyerahkan kebijakan keadilan 25 Friedman Lawrence M.., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,, Cet. III, Nusa Media Bandung, 2009, hal.139 26 Ibid.hal.140 27 Lihat : Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, hal.264- 265 28 Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum.., Op.cit.hal.10
  • 21. 20 substantif kepada pihak lain, sebagai gantinya pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan prosedurnya sendiri, yaitu syarat-syarat untk mendapatkan akses ke dan cara berpartisipasi dalam proses hukum.29 Dengan kekuasaan ini, pengadilan dapat mengajukan tuntutan bahwa siapapun yang menggugat otoritas hukum harus melakukannya dengan cara yang taat asas dengan keteraturan hukum. Pemahaman tentang hukum yang melaksanakan keadilan hukum secara prosedural ini banyak mendapatkan kritik, kritik bermula karena anggapan bahwa hukum untuk manusia. Hukum pada dasarnya bertujuan untuk kedamaian dan tertib manusia, hukum formil hanyalah cara atau metode, substansinya hukum tetaplah demi kebahagiaan manusia. Hukum tidak saja diartikan proses peradilan semata, tapi lebih ditekankan pada keberhasilan untuk mencapai tujuan hukum, atau dengan kata lain menekankan pada efisiensi.30 B. PENEGAKAN HUKUM OLEH HAKIM TERHADAP NILAI - NILAI BUDAYA MASYARAKAT Norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat merupakan cermin kehendak bersama para anggotanya yang menjadi ukuran baik dan buruk suatu perbuatan hukum serta cermin dari rasa keadilan mereka. Sebuah fakta yang tidak terbantahkan menyebutkan bahwa, sebagian besar masyarakat pencari keadilan melalui lembaga peradilan di negeri ini merasa kecewa, karena seringnya keadilan dan kebenaran itu berpihak kepada penguasa dan masyarakat yang mempunyai strata 29 Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2008, hal.74 30 Rahardjo Satjipto., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006, hal.194
  • 22. 21 sosial yang tinggi, dan akhirnya keadilan dan kebenaran itu menjadi sebuah fatamorgana bagi masyarakat pencari keadilan. Masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak isu-isu miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, hakim maupun pengacara/advokat, lembaga legislatif (DPR), dan lembaga eksekutif (pemerintah). Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triliyunan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Bahkan masyarakat awampun dapat menyaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Hal ini dikarenakan penegakan hukum baik dari substantif maupun proseduralnya bermuara dengan kepastian hukum dan sebagai hasil perebutan kekuasaan belaka.31 Menurut Satjipto Rahardjo, dalam nada yang mungkin agak ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. Misalnya, badan legislatif membuat peraturan yang sulit dilaksanakan dalam masyarakat, maka sejak saat itu sebetulnya badan tersebut telah menjadi arsitek bagi kegagalan para penegak hukum dalam menerapkan peraturan tersebut. Hal ini, misalnya dapat terjadi karena peraturan tersebut memerintahkan dilakukannya sesuatu yang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi. Akibatnya, tentu saja peraturan tersebut gagal dijalankan oleh penegak hukum. Dapat juga terjadi bahwa pembuat undang-undang mengeluarkan peraturan yang meewajibkan 31 Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Cet.IV, Nusa Media, Bandung, 2010, hal.106
  • 23. 22 rakyat untuk melakukan sesuatu, misalnya untuk menanam jenis tanaman tertentu. Perintah peraturan tersebut kemudian ternyata mendapatkan perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi tersebut, apa yang akan dilakukan oleh penegak hukum tergantung dari tanggapan yang diberikan terhadap tantangan pada waktu itu. Penegak hukum dapat tetap bertekad untuk menjalankan keinginan serta perintah yang terkandung dalam peraturan. Bertindak demikian berarti penegak hukum harus menggunakan kekuatan untuk memaksa. Sebaliknya, dapat pula terjadi, penegak hukum menyerah pada perlawanan rakyat, yang berarti penegak hukum mengendorkan penerapan dari peraturan tersebut.32 Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo menyebutkan, sesungguhnya lembaga peradilan adalah tempat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum agar tidak berkembang menjadi konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, fungsi itu hanya akan efektif apabila pengadilan memiliki 4 (empat) prasyarat :33 1) Kepercayaan (masyarakat) bahwa di tempat itu mereka akan memperoleh keadilan seperti mereka kehendaki; 2) Kepercayaan (masyarakat) bahwa pengadilan merupakan lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya; 3) Bahwa waktu dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia-sia; 4) Bahwa pengadilan merupakan tempat bagi orang untuk benar-benar memperoleh perlindungan hukum. 32 Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.25 33 Rahardjo Satjipto., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986, hal.107
  • 24. 23 Untuk itu, dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan yang dapat dirinci sebagai berikut : 1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu; 2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal; 3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih); 4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai; 5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten. 34 Selanjutnya, hakim disini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh sebab itu didalam menjalankan peranannya itu merupakan : 1. Pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat; 2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi); dan 3. Sasaran lingkungan pada waktu itu.35 Sosialisasi hakim para disini terutama dikaitkan dengan pendidikan yang diperolehnya untuk mencapai keahlian sebagai sarjana hukum. Pendidikan sebagai suatu unsur dalam proses sosialisasi seorang hakim akan menentukan kerangka berpikir dan mengambil keputusan. Konsep-konsep tentang hukum, asas-asas dalam hukum, metode berpikir dan sebagainya merupakan kekayaan yang tersimpan didalam diri seorang hakim dan merupakan kerangka berpikirnya sebagaimana 34 Barimbing R.E.., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal.2 35 Ibid .hal.58
  • 25. 24 disebutkan diatas.36 Untuk melengkapi perbedaan hukum dalam ungkapan formalnya dengan kenyataan yang dijalankan sehari-hari, sekedar dilihat dari sudut organisasinya, disini akan di tambahkan pula pendapat Schuyt, yang menghubungkan bekerjanya hukum melalui organ-organ pelaksananya, tetapi atas dasar yang lebih umum. Menurut Schuyt tujuan hukum yang kemudian harus diwujudkan oleh organ-organ pelaksananya itu adalah sangat umum dan kabur sifatnya. Ia menunjuk pada nilai-nilai : keadilan, keserasian (doelmatigheid) dan kepastian hukum sebagai tujuan yang harus diwujudkan dalam kehidupan sehari- hari.37 Terkait dengan hal tersebut diatas maka idealnya suatu putusan hakim, menurut Radbruch (Radbruch, 1946:30) ialah mengandung 3 (tiga) unsur “Idee des Rechts”: 1) Keadilan (gerechtigkeid) 2) Kemanfaatan (zweckmassigkeit); dan 3) Kepastian hukum (rechtssicherheit) secara prorposional. Jadi, suatu putusan hakim harus adil, tetapi harus pula bermanfaat bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat, dan terjamin kepastian hukumnya. Namun, pada praktiknya, dapat dikatakan tidak mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan. Sering terjadi ketegangan atau konflik antara ketiga unsur itu. Bagaimana cara seorang hakim dapat mengatasi “konflik” atau “tarik-menarik” antara gerechtigkeid, zweckmassigkeit, dan rechtssicherheit dalam mengadili sebuah perkara merupakan sebuah seni atau kiat 36 Ibid. hal.59 37 Ibid, hal.75
  • 26. 25 sendiri. Bagaimanakah menjatuhkan putusan yang adil, tetapi tidak menyimpang dari peraturan hukum, atau bagaimanakah menjatuhkan putusan dengan mentaati peraturan hukum, tetapi tidak mengorbankan keadilan? Hakim harus mengusahakan adanya keseimbangan antara tiga (3) unsur Idee des Rechts secara proposional dalam suatu putusan.38 Terhadap praktiknya ketidakmungkinan menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional dalam suatu putusan tersebut diatas, hakim dalam memutuskan suatu perkara cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum saja, dimana hakim lebih memilih mempertahankan norma-norma secara tertulis yang ada dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif, dengan cara menggunakan pendekatan legalitas/yuridis normatif. Jika hal ini dipertahankan maka hakim akan mengalami kebuntuan dalam berfikir, karena sulit untuk menemukan Pasal apa yang akan diterapkan (dikarenakan peraturan itu tidak lengkap atau tidak ada) terhadap perkara itu. Padahal, telah dengan jelas dan tegas dinyatakan dalam dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat". Kenyataan yang ada, hakim “sulit” melaksanakan ketentuan tersebut. Untuk itu, jika masyarakat diperhadapkan dengan persoalan hukum, serta dalam hal hakim melakukan pendekatan-pendekatan berupa metode penemuan hukum dalam menyelesaikan suatu perkara hukum, hakim juga seharusnya lebih memperhatikan nilai-nilai yang masih diakui, dianut, dipercaya dan dijalankan dalam kehidupan masyarakat (sesuai juga dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang- 38 Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011, hal.23
  • 27. 26 Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman), artinya penegakan hukum oleh hakim, tidak hanya sekedar penegakan hukum berdasarkan Pasal- Pasal/teks dalam undang-undang, karena hukum harus dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar religiusnya, dan dengan hati nurani, sebab hanya dengan cara itu, maka masyarakat akan merasakan hukum itu adil dan cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut, serta memberikan kemanfaatan dari hukum yang diciptakan untuk manusia. Jika diibaratkan dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan memutuskan suatu perkara berada (bergerak) diantara 2 (dua) titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu apakah berdiri pada titik keadilan atau kepastian hukum, sedangkan titik kemanfaatan sendiri berada diantara keduanya. Pada saat hakim menjatuhkan putusan yang lebih dekat mengarah kepada asas kepastian hukum, maka secara otomatis, hakim akan menjauh dari titik keadilan. Sebaliknya, kalau haik menjatuhkan putusan lebih dekat mengarah kepada keadilan, maka secara otomatis pula hakim akan menjauhi titik kepastian hukum. Disinilah letak batas- batas kebebasan hakim. Dimana hakim hanya dapat bergerak diantara 2 (dua) titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar, seorang hakim akan menentukan kapan dirinya berada di dekat titik kepastian hukum, dan kapan harus berada di dekat titik keadilan. Jadi, tidaklah benar sepenuhnya bahwa hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan suatu perkara bersifat bebas dan tanpa batas. Menurut konsep pertanggungjawaban dalam administrasi Negara, dimana dikatakan walaupun administrasi Negara memiliki keleluasan dalam menentukan kebijakan-
  • 28. 27 kebijakan, tetapi sikap tindaknya haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun hukum.39 Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum40maka hakim berdasarkan Freies Ermessen-nya (kebebasannya) dapat memilih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau Negara. Disini hakim harus lebih mengutamakan kepentingan pihak yang bersangkutan dari pada kepastian hukum tetapi tidak bertentangan dengan kesusilaan, kepentingan umum atau Negara. Pemikiran ini dikenal sebagai problem oriented thinking. Hakim pada dasarnya tidak boleh melanggar undang-undang, tidak boleh melanggar sistem, harus berpikir system oriented. Berdasarkan kebebasannya (freies ermessen) hakim harus berani memutuskan secara adil, walaupun itu bertentangan dengan kepastian hukum atau undang-undang. Ada suatu ungkapan yang berbunyi : summum ius summum injuria, yang berarti : makin lengkap , rinci atau lengkap peraturan hukumnya maka keadilannya makin terdesak atau ditinggalkan, sehingga keadilan harus didahulukan dari kepastian hukum. Bunyi irah-irah atau titel eksekutarial setiap putusan pengadilan adalah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sebagai contoh kasus, penulis mengambilnya dari studi dominasi Negara dalam semua peyelesaian sengketa pidana dan konstruksi penyelesaian perkara carok berdasarkan nilai - nilai budaya masyarakat Madura, dimana ketidakmampuan hukum Negara untuk menyelesaikan perkara carok, tidak satupun yang memandang carok sebagai perbuatan yang penuh dengan makna dan memiliki kaitan yang sangat 39 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;.., Op.cit. hal.132-133 40 Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Op.cit. hal.24
  • 29. 28 erat dengan pembelaan terhadap kehormatan diri, keturunan dan agama orang Madura. Pengadilan Negara memandang carok sebagai persolan hitam putih yang sama dengan kejahatan - kejahatan lain. Hal ini terlihat dari perkara carok dimana hakim menjatuhkan pidana penjara selama 4 bulan 15 hari kepada Juma’atun P. Anik karena telah membacok Saniwi P. Hasad dengan menggunakan celurit karena telah mengganggu atau berselingkuh dengan istrinya, Astutik. Dalam putusan ini, hakim sama sekali tidak membuktikan unsur-unsur Pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Demikian juga dengan perkara, dengan terdakwa Abd. Rofik yang membacok tubuh Suro karena diketahui akan menggauli istrinya yang sedang tidur. Putusan hakim dalam perkara ini tidak didasarkan pada terbuktinya unsur - unsur delik dalam rumusan Pasal yang di dakwakan, tapi hanya berdasarkan keterangan saksi - saksi dan terdakwa dipersidangan. Sedangkan unsur-unsur delik tidak disebutkan dan diuraikan satu persatu didalam putusan. 41 Terhadap perkara carok yang disebabkan oleh pelecehan eksistensi diri dengan cara menantang carok, dalam putusan terdakwa Badri dan Atmoyo, warga Desa Kadur, Pamekasan. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan: “Dari keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan keterangan terdakwa serta dikaitkan dengan barang bukti yang ada dimana satu dengan lainnya saling berhubungan, maka Majelis Hakim sependapat dengan Penuntut Umum yang menyatakan perbuatan terdakwa telah terbukti memenuhi unsur-unsur dari dakwaan subsidair, sehingga 41 Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.76
  • 30. 29 Majelis Hakim berkeyakinan terdakwa telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan tersebut.” Sayangnya, hakim tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengapa menyetujui pendapat Penuntut Umum dalam tuntutannya. Dengan kata lain hakim memindahkan argumen Penuntut Umum ke dalam pertimbangannya. 42 Dengan menjadikan Pasal yang didakwakan sebagai pedoman untuk memutus bersalah tidaknya pelaku, terjadinya reduksi cerita yang tidak sesuai dengan komponen Pasal tersebut tidak dielakkan. Reduksi inilah yang merupakan ciri positivisme hukum. Hakim mereduksi makna carok dengan memandangnya sebagai pembunuhan pada umumnya. Hakim tidak melihat bahwa carok merupakan pembelaan harga diri masyarakat Madura dalam rangka membela kehormatan diri, keturunan dan agama mereka. Setiap pembunuhan dan penganiayaan yang meyebabkan matinya orang, apapun bentuk dan motifnya, tetaplah pembunuhan. Pembunuhan yang disebabkan oleh balas dendam kematian anggota keluarga, isstrinya diganggu, dan pelecehan harga diri direduksi maknanya sebagai pembunuhan biasa. Oleh karenanya, Pasal 338, Pasal 340 dan Pasal 351 ayat (3) KUHP sangat layak dijadikan dasar untuk memidana pelaku. hakim akan membuang cerita yang tidak sesuai dengan Pasal yang didakwakan. Makna dan nilai-nilai budaya Madura tentang pembelaan kehormatan diri, keturunan dan agama tidak akan dijadikan sebagai pertimbangan oleh hakim, karena hal itu jelas tidak cocok dengan komponen Pasal pembunuhan baik biasa maupun yang direncanakan. 42 Ibid. hal.79
  • 31. 30 Pada akhirnya, peraturan-peraturan hukum yang merupakan tumpuan konsepsi hukum prosedural itu hanya akan menunjukkan bagan-bagan bagi penyelesaian sengketa-sengketa tersebut. Tetapi ia tidak menjawab bagaimana rakyat itu menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi diantara mereka; tentang jenis- jenis subyek yang dapat dipercaya untuk menangani penyelesaian itu serta macam- macam penyelesaian yang bagaimana saja yang dipakai disitu, seperti misalnya apakah mediasi, kompromi atau lainnya lagi. semua yang disebut terakhir ini bukannya hubungan-hubungan yang dilafalkan didalam bagan-bagan tersebut, melainkan tingkah laku atau hubungan-hubungan yang nyata terjadi dan dibiasakan didalam masyarakat serta didukung oleh nilai-nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat.43 Satjipto Rahardjo, mengatakan bahwa setiap perumusan adalah penegasan atau pencitraan tentang suatu hal (to define, definition). pencitraan adalah pembuatan konsep. Dalam pembuatan konsep tersebut selalu dimulai dengan pembatasan atau pembedaan antara yang dirumuskan dan yang tidak atau yang berada diluarnya. Dengan adanya perumusan tertulis oleh hukum tentang pembunuhan, maka orang menjadi tahu perbuatan mana yang bukan pembunuhan. oleh karena perumusan itu bekerja dengan cara membatasi seperti itu, maka timbul resiko besar akan ketidaktepatan perumusan. Tidak salah kiranya jika dikatakan bahwa perumusan suatu teks hukum merupakan wilayah kebahasaan, dan demikian telah memasuki suatu permainan bahasa (language game). Permainan bahasa ini akhirnya menimbulkan reduksionis dan sakralitas teks. Hakim kemudian menjadikan teks sebagai suatu yang otonom, dalam arti semua keterangan saksi-saksi dan terdakwa 43 Satjipto Rahardjo., Hukum Dan.., Op.cit.hal.82
  • 32. 31 harus disesuaikan dengan Pasal yang dijadikan pedoman hakim. Disini keberadaan nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan dan tidak berpengaruh terhadap putusan yang dijatuhhkan oleh hakim. Eksistensi hakim, para saksi, dan terdakwa tidak boleh memberikan pengaruh terhadap makna yang terkandung dalam Pasal tersebut. Sebab teks (hukum) independen sifatnya, sehingga eksistensinya objektif dari sejumlah kritik dan kerangka kerja hermeneutis pembaca. Oleh karena itu, interpretasi yang benar adalah yang sesuai dengan kenyataan otonomi teks.44 C. PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF YANG BERKEADILAN Kemunculan hukum yang progresif, tidak dapat pula dipisahkan dari munculnya aliran Critical Legal Study (CLS) di Amerika Serikat pada tahun 1977, dimana jika diteliti lebih dekat, mengandung substansi kritik atas kemapanan akan aliran dalam hukum liberal yang bersifat formalistik dan prosedural, serta juga rasa ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan hukum yang berlaku di Amerika Serikat. CLS langsung menutup jantung pikiran hukum Amerika yang dominan, yaitu suatu sistem hukum liberal yang didasarkan pada pikiran politik liberal. CLS lahir dari bentuk pembangkangan terhadap realitas sosial tentang ketidakadilan yang memang merisaukan para ahli hukum saat ini. Hukum positif telah memperlihatkan dirinya tidak berdaya dan telah digunakan hanya sekedar sebagai suatu alat penindas atau pemanis belaka. Oleh karena itu, para penganut CLS berusaha keluar dari doktrin- doktrin yang sudah usang untuk segera masuk kedalam suatu tatanan hukum yang lebih baik sesuai dengan perkembangan masyarakat yang damai, tidak rasialis, tidak 44 Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara.., Op.cit. hal.80-82
  • 33. 32 genderis, dan tidak korup. Pemikiran CLS tersebut, setidaknya telah mengilhami beberapa ahli hukum di Indonesia, sehingga sedikit banyak pemikirannya dipengaruhi oleh gerakan ini. Sebut saja, Prof. Satjipto Rahardjo yang menggagas bentuk pemikiran yang dinamakannya hukum progresif dengan dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan lemahnya law enforcement di Indonesia dewasa ini, yang selanjutnya pemikiran tersebut berkembang dan mengilhami banyak kalangan hukum lainnya di negeri ini.45 Kata progresif itu sendiri berasal dari progress yang berarti adalah kemajuan. Jadi, disini diharapkan hukum itu hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar didalamnya, serata mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya penegak hukum itu sendiri. 46Dasar filosofi dari hukum progresif adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.47 Selain itu juga, hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut: “Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor- 45 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.43 46 Ibid. hal.44 47 Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009, hal.31
  • 34. 33 faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain- lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).”48 Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum. Selanjutnya, Satjipto Rahardjo mengatakan: “…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil sebagai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan keperluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia.”49 Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.50 Merumuskan konsep keadilan progresif ialah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang subtantif dan bukan keadilan 48 Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010, hal.72 49 Rahardjo Satjipto.,Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, hlm. ix 50 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 270
  • 35. 34 prosedur. Akibat dari hukum modern yang memberikan perhatian besar terhadap aspek prosedur, maka hukum di Indonesia dihadapkan pada dua pilihan besar antara pengadilan yang menekankan pada prosedur atau pada substansi. Keadilan progresif bukanlah keadilan yang menekan pada prosedur melainkan keadilan substantif. Kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan permainan prosedur yang menyebabkan timbulnya pertanyaan “apakah pengadilan itu mencari keadilan atau kemenangan?.” Proses pengadilan dinegara yang sangat sarat dengan prosedur (heavly proceduralizied) menjalankan prosedur dengan baik ditempatkan diatas segala-galanya, bahkan diatas penanganan substansi (accuracy of substance). Sistem seperti itu memancing sindiran terjadinya trials without truth.51 Habermas mengemukakan bahwa satu aturan tentang nilai-nilai hidup tidak mungkin dapat ditetapkan pada suatu masyarakat yang plural tanpa suatu konsensus. Pandangan deontologist ini menempatkan keadilan sebagai nilai utama yang tertinggi yang disebut the primacy of justice. Maka hukum progresif dalam pengembaraannya mencari keadilan substansial tidak hanya mendasarkan diri pada satu tatanan nilai tertentu, tetapi pada suatu komunikasi dan transformasi dari semua aspek nilai yang plural dan bersifat holistis. 52 Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap 51 Ibid, hal. 272 52 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru .., Op.cit.hal.103
  • 36. 35 penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain dari pada yang biasa dilakukan.53 Oleh karena itu, hukum progresif tercermin dalam apa yang menjadi karekteristiknya, yaitu pertama, bahwa “hukum untuk manusia”, kedua, bahwa “hukum menolak untuk mempertahankan status quo”, dan yang terakhir “hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam berhukum”.54 Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.55 Berdasarkan karakteristik hukum progresif tersebut diatas, maka menurut pendapat Achmad Rifai,56 bahwa karakteristik penemuan hukum progresif adalah : 1) Penemuan hukum yang didasarkan atas apresiasi hakim sendiri dengan dibimbing oleh pandangan atau pemikirannya secara mandiri, dengan berpijak pada pandangan bahwa hukum itu ada untuk mengabdi kepada manusia; 2) Penemuan hukum yang bersandarkan pada nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan, serta juga etika dan moralitas; 53 Rahardjo Satjipto., Penegakan Hukum.., Op.cit. hal.xiii 54 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru;.., Op.cit.hal.143 55 Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006, hlm.70 56 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;..,Op.cit. hal.48
  • 37. 36 3) Penemuan hukum yang mampu menciptakan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, atau melakukan rekayasa dalam suatu masyarakat yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi serta keadaan masyarakat. Selanjutnya, dengan mendasarkan pada karakteristik penemuan hukum progresif diatas, maka Achmad Rifai57 berpendapat bahwa metode penemuan hukum yang sesuai adalah sebagai berikut : 1) Metode hukum yang bersifat visioner, dengan melihat permasalahan hukum tersebut untuk kepentingan jangka panjang kedepan dengan melihat case by case. 2) Metode hukum yang berani dalam melakukan suatu terobosan (rule breaking) dengan melihat dinamika masyarakat, tetapi tetap berpedoman pada hukum dan kebenaran, dan keadilan serta memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya. 3) Metode penemuan hukum yang dapat membawa kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan dapat juga membawa bangsa dan Negara keluar dari keterpurukan dan ketidakstabilan sosial seperti saat ini. Oleh karena itu, hakim menjadi faktor penting dalam menentukan, bahwa pengadilan di Indonesia bukanlah suatu permainan (game) untuk mencari menang, melainkan mencari kebenaran dan keadilan. Keadilan progrsif semakin jauh dari cita-cita “pengadilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan” apabila membiarkan 57 Ibid. hal.93
  • 38. 37 pengadilan didominasi oleh “permainan” prosedur. Proses pengadilan yang disebut fair trial di negeri ini hendaknya berani ditafsirkan sebagai pengadilan dimana hakim memegang kendali aktif untuk mencari kebenaran. 58 Oleh karena itu, dengan menempatkan aspek perilaku berada diatas aspek peraturan, dengan demikian faktor manusia dan kemanusiaan inilah yang mempunyai unsur greget seperti compassion (perasaan baru), empathy, sincerety (ketulusan), edication, commitment (tanggung jawab), dare (keberanian) dan determination (kebulatan tekad). Sebagaimana Satjipto rahardjo mengutip ucapan Taverne, “Berikan pada saya jaksa dan hakim yang baik, maka dengan peraturan yang buruk sekalipun saya bisa membuat putusan yang baik”. Mengutamakan perilaku (manusia) daripada peraturan perundang- undangan sebagai titik tolak paradigma penegakan hukum, akan membawa kita untuk memahami hukum sebagai proses dan proyek kemanusiaan. 59 Mengutamakan faktor perilaku (manusia) dan kemanusiaan diatas faktor peraturan, berarti melakukan pergeseran pola pikir, sikap dan perilaku dari arah legalistik-positivistik ke arah kemanusiaan secara utuh (holistik), yaitu manusia sebagai pribadi (individu) dan makhluk sosial. Dalam konteks demikian, maka setiap manusia mempunyai tanggung jawab individu dan tanggung jawab sosial untuk memberikan keadilan kepada siapapun. Berdasarkan hal tersebut, menurut Achmad Rifai60 putusan hakim yang sesuai dengan metode penemuan hukum yang progresif adalah : 1) Putusan hakim tidak hanya semata-mata bersifat legalistik, yakni hanya sekedar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) meskipun memang seharusnya hakim selalu harus legalistik karena putusannya tetap pada peraturan perundang-udangan yang berlaku; 58 Rahardjo Satjipto., Membedah Hukum..,Op.cit. hal. 276 59 Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif;.., Op.cit.hal.74 60 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim;,Op.cit. hal.137-138
  • 39. 38 2) Putusan hakim tidak hanya sekedar memenuhi formalitas hukum atau sekedar hanya memelihara ketertiban saja, tetapi putusan hakim harus befungsi mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan; 3) Putusan hakim yang mempunyai visi pemikiran kedepan (visioner), yang mempunyai keberanian moral untuk melakukan terobosan hukum (rule breaking), dimana dalam hal suatu ketentuan undang- undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka hakim bebas dan bebas melakukan tindakan contra legem, yaitu mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan, dengan tujuan untuk mencapai kebenaran dan keadilan; 4) Putusan hakim yang memihak dan peka pada nasib dan keadaan bangsa dan negaranya, yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan untuk kemakmuran masyarakat serta membawa bangsa dan Negara keluar dari keterpurukan dalam segala bidang kehidupan. Dapat dikatakan bahwa hukum progresif menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” daripada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking”. Satjipto Rahardjo memberikan contoh penegak hukum progresif sebagai berikut. Tindakan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto dengan inisiatif sendiri mencoba membongkar atmosfir korupsi di lingkungan Mahkamah Agung. Kemudian dengan berani hakim Agung Adi Andojo Sutjipto membuat putusan dengan memutus bahwa Mochtar Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar pada rezim Soeharto yang sangat otoriter. Selanjutnya, adalah putusan pengadilan tinggi yang dilakukan oleh Benyamin Mangkudilaga dalam kasus Tempo, ia melawan Menteri Penerangan yang berpihak pada Tempo.61 61 Ibid, hal.75
  • 40. 39 Paradigma “pembebasan” yang dimaksud diatas bukan berarti menjurus kepada tindakan anarkhi, sebab apapun yang dilakukan harus tetap didasarkan pada “logika kepatutan sosial” dan “logika keadilan” serta tidak semata-mata berdasarkan “logika peraturan” saja. Di sinilah hukum progresif itu menjunjung tinggi moralitas. Karena hati nurani ditempatkan sebagai penggerak, pendorong sekaligus pengendali “paradigma pembebasan” itu. Dengan begitu, paradigma hukum progresif bahwa “hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya” akan membuat hukum progresif merasa bebas untuk mencari dan menemukan format, pikiran, asas serta aksi yang tepat untuk mewujudkannya.
  • 41. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain : Bahwa penegakan hukum itu terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam kaidah-kaidah dan sikap tindak sebagai rangkuman penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Oleh sebab itu, hakim sebagai penegak hukum senantiasa harus memperhatikan dan mengikuti dinamika masyarakat, sebab dalam kenyataannya hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan sering tidak mampu menjangkau kebutuhan yang ada. Bahwa nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat mewujud dalam bentuk hukum, yaitu hukum yang dinamis dan multi dimensi yang bisa menjawab semua permasalahan yang ada ditengah masyarakat oleh karena itu aliran sosiologis berpendapat bahwa hukum adalah hasil interaksi masyarakat. Untuk itu hukum harus mencerminkan tentang nilai-nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Penegakan hukum oleh hakim tidak sama dengan penegakan undang-undang, yang hanya sekedar sebagai corong undang-undang. Keberanian hakim untuk melakukan terobosan hukum baru (rule breaking), ialah dengan menempatkan nilai- nilai dan rasa keadilan masyarakat sebagai kekuatan “pembebasan” yang dapat memberi jalan keluar terhadap kebuntuan dari pendekatan legalitas formal. Oleh 40
  • 42. 41 karena itu, filosofi hukum progresif adalah hukum untuk manusia, dan bukan sebaliknya, dan juga hukum itu bukan hanya bangunan peraturan belaka, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita, serta dengan tujuan mencapai kesejahteraan dan membahagiakan Manusia. B. SARAN Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut : Bahwa dalam hal peran hakim dalam penegakan hukum, maka hukum harus dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya dan akar relijiusnya, sebab hanya dengan cara itu, masyarakat akan merasakan hukum itu cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum tidak sesuai dengan nilai-nilai intrinsik warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi), dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap aturan hukum itu cocok dengan intrinsik yang dianutnya. Bahwa penegakan hukum oleh hakim sedapat mungkin menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts, yang tidak sekedar memutuskan suatu perkara cenderung lebih menekankan pada kepastian hukum, dengan mempertahankan norma-norma secara tertulis yang ada dalam suatu undang-undang atau peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif. Jika hal ini dipertahankan maka hakim akan mengalami kebuntuan dalam berfikir, Oleh sebab itu putusan hakim harus didasarkan kepada suatu keyakinan yang jernih berdasarkan suara hati nurani,
  • 43. 42 dengan pertimbangan senantiasa harus memperhatikan aspek filosofis maupun sosiologis agar putusannya menyentuh rasa keadilan masyarakat. Hakim sebagai penegak hukum, dalam hal memeriksa, mengadili suatu perkara, apabila mengalami kebuntuan berpikir secara positivistik, maka hakim harus berani mengadirkan hukum progresif yang menempatkan diri sebagai kekuatan “pembebasan” yaitu membebaskan diri dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-positivistik. Dengan ciri ini “pembebasan” itu, hukum progresif lebih mengutamakan “tujuan” dari pada “prosedur”. Dalam konteks ini, untuk melakukan penegakan hukum, maka diperlukan langkah-langkah kreatif, inovatif dan bila perlu melakukan “mobilisasi hukum” maupun “rule breaking” dengan pertimbangan kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
  • 44. DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku : Ali Mahrus., Menggugat Dominasi Negara : Penyelesaian Perkara Carok Berdasarkan Nilai - Nilai Budaya Masyarakat Madura, Cet.I, Rangkang-Indonesia, Yogyakarta, 2009 Barimbing R.E., Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001 Cahyadi Antonius dan Manullang E. Fernando M., Pengantar ke Filsafat Hukum, Cet.II, Kencana, Jakarta, 2008 Catatan Materi Perkuliahan Magister Hukum Kenegaraan., Teori Hukum, Universitas Gadjah Mada, 2011 Faisal., Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta, 2010 Friedman Lawrence M., Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, terj. M. Khozim,, Cet. III, Nusa Media Bandung, 2009 Kamil Ahmad., Pedoman perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika, Dalam Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, 2008 Kansil C.S.T., Pengantar ilmu hukum dan Tata hukum Indonesia, Cet.9, Balai Pustaka, Jakarta, 1993 Kaum Tjip-ian., Evolusi Pemikiran Hukum Baru; dari kera ke manusia, dari positivistik ke progresif, Cet.Pertama, Genta Press, Yogyakarta, 2009 43
  • 45. 44 Kusumaatmaja Mochtar., Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Alumni, Bandung, 1999 Kusuma Mahmud., Menyelami Semangat Hukum Progresif; Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antony Lib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, 2009 Khaldun Ibnu., Muqaddimah, terj. Ahmadie Thoha., Cet.IV, Pustaka Firdaus, Jakarta 2003 Manan Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Cet.III, Kencana, Jakarta, 2009 Mertokusumo Sudikno., Penemuan Hukum; sebuah pengantar, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2010 Mertokusumo Sudikno., Teori Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2011 Nonet Philipe dan Selznick Philip., Hukum Responsif, terj. Raisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung 2008 Rahardjo Satjipto., Hukum Dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980 ______________., Masalah Penegakan Hukum; Suatu Tinjauan Sosiologis, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta. 1983 ______________., Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1986
  • 46. 45 ______________., Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006 ______________., Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Cet. II, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2006 ______________., Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007 ______________., Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Cet.I, Genta Pubishing, Yogyakarta, 2009 Rifai Achmad., Penemuan Hukum Oleh Hakim; dalam perspektif hukum progresif, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 Saleh Andi Ayyub, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006 Soekanto Soerjono., Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983 Sunarso Siswantoro., Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Tanya Bernard L., dkk., Teori Hukum : Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Cet. III, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010 Unger Roberto M., Teori Hukum Kritis Posisi Hukum Dalam Masyarakat Modern, Cet.IV, Nusa Media, Bandung, 2010
  • 47. 46 Usman Sabian., Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 Warassih Esmi., Pranata Hukum: Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2010 Weber Max., Sosiologi, terj.Noorkholis, Cet.II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009 B. Undang-Undang : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman