Dokumen tersebut membahas tentang konsep sosiologi tentang perkembangan relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat, termasuk pendekatan sosiologi dalam kajian tentang perempuan serta aksioma-aksioma untuk sosiologi perempuan. Secara historis, perempuan mengalami domestikasi dan pembagian peran gender yang tidak setara di mana perempuan bertanggung jawab atas lingkup domestik. Konsep patriarki membangun keluarga
1. Sejarah dan Teori Gender (Evi Nurleni, M.Si)
KONSEP SOSIOLOGI TENTANG PERKEMBANGAN
RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
A. PERKEMBANGAN
RELASI
LAKI-LAKI
PEREMPUAN DALAM KELUARGA
DAN
Sebagaimana disebutkan di atas, konsep pernikahan dan
keluarga merupakan fakta sejarah awal di mana perempuan
mengalami “perumahan” (domestikasi). Pembagiana peran gender
mengalami “patenisasi”; dimana laki-laki bertanggung jawab di
lingkup publik dan perempuan di lingkup domestik. Atau dengan kata
lain, perempuan menjalankan fungsi sebagai pengasuh anak (suami),
pemelihara rumah dan pengolah makanan produksi rumah tangga.
Dalam konsep patriakal, keluarga dibangun dalam kepentingan
kaum laki-laki, dimana seluruh kepentingan keluarga diarahkan pada
laki-laki sebagai kepala dan anak laki-laki sebagai calon kepala
keluarga. Sehingga perempuan menjadi the second sex yang
kepentingannya selalu nomor dua. Bahkan karena konsep “hak milik”
perempuan selanjutnya disebut hak suami dan hak ayahnya. Sehingga,
banyak ketidakadilan yang terjadi atas perempuan karena konsep hak
milik ini.
Misalnya, perempuan dijodohkan atas dasar kepentingan orang
tua terhadap ekonomi keluarga. Atau perempuan “dijual” demi
kepentingan nafkah keluarga. Bahkan perempuan, mengalami KDRT
dan tidak mendapat rehabilitasi hukum, karena dianggap hak suami
atau ayah untuk “mengganjar” perempuan dalam rumahnya. Dalam
relasi yang demikian, muncul masalah sosial yakni tindakan kekerasan
terhadap perempuan.
Jika disimak dalam gambar, seperti berikut ini:
2. Sejarah dan Teori Gender (Evi Nurleni, M.Si)
22
Dalam struktur keluarga yang demikian, laki-laki dan
perempuan dalam relasi yang tarik menarik bahkan “saling
menguasai”. Oleh sebab itu, gender merupakan sebuah konsep untuk
memaparkan realitas relasi laki-laki dan perempuan yang sudah tidak
setara. Bahwa ada pihak tertentu dalam relasi yang demikian sudah
mengalami penindasandan ketidakadilan bahkan kekerasan.
Oleh sebab itu, konsep kesetaraan dan pemberdayaan
merupakan sebuah konsep sosiologis yang juga dapat diterapkan
dalam relasi gender yang timpang ini. Perlu dicatat, bahwa sejauh
tidak memunculkan ketidakadilan, maka relasi gender bukan masalah.
Tetapi dalam kenyataannya, relasi gender yang timpang menyebabkan
banyak ketidakadilan. Dan dalam hal ini, perempuan ternyata
seringkali menjadi “korban” ketidakadilan peran gender dalam
masyarakat tersebut.
Selain itu, dalam keluarga dikenal juga dengan istilah peran
ganda perempuan. Di mana peran domestik perempuan tidak dianggap
sebagai “kerja” karena tidak menghasilkan uang, tetapi diperhitungkan
sebagai kewajiban. Sementara laki-laki tidak memiliki kewajiban yang
sama di ranah domestik. Ketika arus modernisasi membawa
perempuan sebagai pekerja publik, perempuan mengalami beban
3. Sejarah dan Teori Gender (Evi Nurleni, M.Si)
23
ganda, di dalam dan luar rumah, jam kerja menjadi 16 jam, sementara
laki-laki rata-rata hanya 8-12 jam saja.
B. PENDEKATAN
PEREMPUAN
SOSIOLOGI
DALAM
KAJIAN
TTG
Ada 3 (tiga) pendekatan kontemporer untuk melakukan kajian
terhadap relasi gender dalam masyarakat, yakni:
1. Pendekatan Fungsional (Studi tentang budaya laki-laki)
Ciri pendekatan ini ialah menekankan pada stabilitas sosial
atau harmonisasi sosial, yang menyumbangkan pada pemeliharaan
harmoni masyarakat dengan perubahan yang bertahap (evolusi
alamiah). Dalam hal ini, perempuan hanya akan dilihat dalam fungsifungsi dan peran-perannya, “sejauh” menyumbangkan stabilitas sosial
atau dianggap fungsional, sementara tuntutan peran publik perempuan
dianggap sebagai dis-fungsional.
Dalam kritik terhadap konsep di atas, ternyata realitasnya,
masyarakat memandang perempuan sebagai pelayan dalam “budaya
laki-laki”. Dalam kajian Kingsley Davis, bahkan secara ekstrim
mengatakan bahwa secara klasik, perempuan sudah menjadi “pelacur”
dalam rumahnya (pelayan laki-laki) dan dalam kehidupan sehari-hari
mengalami penindasan, kekerasan dan korban kejahatan. Ia berasumsi
bahwa perempuan sebagai pelayanan kebutuhan laki-laki (seksual,
konsumsi dan perumahan).
Dalam hal ini, masyarakat sudah melakukan dis-fungsi
terhadap perempuan sebagai individu dan mahluk sosial, sebagaimana
kaum laki-laki.
4. Sejarah dan Teori Gender (Evi Nurleni, M.Si)
2. Peran-peran
Perempuan)
Jenis
kelamin
(Fokus
24
dalam
Sosiologi
Ciri pendekatan ini ialah menekankan pada deskripsi
pembagian peran gender dalam masyarakat, yakni perbedaanperbedaan jenis kelamin yang menyebabkan pembagian peran dan
fungsi yang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam
masyarakat.
Dalam karya Talcott Parsons, membuktikan bahwa dalam
masyarakat memang terdapat pembedaan peran perempuan dan lakilaki, bahkan terdapat norma juga yang membatasi peran-peran
tersebut. Dalam hal ini, perempuan merupakan kelompok minoritas
yang perannya selalu “setelah laki-laki”.
3. Teori Konflik antar Peran Jenis Kelamin
Ciri pendekatan ini ialah menekankan pada deskripsi konflik
peran antara laki-laki dan perempuan dalam dunia kerja. Teori ini
berkonsentrasi pada kenyataan posisi perempuan di dalam pasar
tenaga kerja (lingkup publik). Dalam hal ini, perempuan dianggap
sebagai harta laki-laki, yang selanjutnya menimbulkan konflik peran
antara laki-laki dan perempuan.
Konflik peran ini sendiri muncul akibat penolakan perempuan
secara terstruktur atas penindasan budaya-sosial terhadap perempuan
yang tidak memberikan ruang publik bagi perempuan untuk
mengekspresikan dirinya. Menurut Rendall Collins, perempuan
dianggap sebagai “harta seksual” milik keluarga dan suami yang
mendapat legitimasi secara hukum dalam masyarakat dan pasar kerja.
Konflik peran ini nyata terlihat dalam konsep bahwa
perempuan yang berkerja hanya dianggap sebagai pekerja tambahan
untuk membantu nafkah kelurga. Jika penghasilan keluarga cukup
maka perempuan tidak akan “diijinkan” bekerja.
5. Sejarah dan Teori Gender (Evi Nurleni, M.Si)
25
C. PEMBENTUKAN TEORI SEBAGAI SUATU PROSES
FEMINIS
Tiga pendekatan di atas bermuara pada pembentukan konsep.
Konsep merupakan sistem peristilahan yang memberi kemungkinan
untuk dapat memahami topik yang dipelajari. Konsep merupakan
istilah abstrak dan konkrit yang diungkapkan dalam bahasa yang dapat
diterima oleh masyarakat. Dan seringkali bahasa yang disampaikan
merupakan sebuah bentuk kritik terhadap masyarakat dan kondisi
sosial yang tidak adil.
Konsep merupakan sebuah usaha juga untuk menamakan
fenomena yag terjadi dalam masyarakat sekaligus juga
membandingkannya dengan konsep idealnya. Itu sebabnya proses
pembentukan teori dapat dikatakan merupakan sebuah proses feminis.
Sebagaimana pendekatan Max Weber dalam verstehen (pemahaman)
ada usaha untuk memahami kenyataan sosial dan kemudian
membahasakannya, selanjutnya menemukan cara untuk mengurangi
bias atau disfungsi dalam masyarakat.
Dorothy Smith menganjutkan agar dalam kajian tentang
perempuan harus dimulai dengan pengalaman dan perasaan
perempuan sendiri, baru kemudian mengaitkannya dengan
kepentingan institusi, organisasi sosial lainnya. Sehingga akan terlihat,
bagaimana posisi perempuan dalam budaya dan masyarakat?
Sehingga, pendekatan feminisme sangat kental dengan istilah
keberpihakan pada perempuan.
Selanjutnya, pembentukan teori feminisme akan dibicarakan
dalam BAB V.
D. AKSIOMA-AKSIOMA UNTUK SOSIOLOGI PEREMPUAN
Konsep sentral dalam memahami kondisi ketertindasan
perempuan dalam masyarakat ialah dalam konsep nilai guna dan nilai
tukar dalam konsep ekonomi. Ketika masyarakat digerakan oleh
6. Sejarah dan Teori Gender (Evi Nurleni, M.Si)
26
konsep patriaki dan modernisasi maka nilai guna dan nilai tukar
menjadi konsep yang amat dipentingkan.
Dalam hal ini, kerja dinilai dalam nilai tukar secara ekonomis,
sehingga yang tidak menghasilkan secara ekonomi (uang) tidak
dianggap berguna. Akibatnya, pekerjaan perempuan dalam rumah
dianggap bukan kerja karena tidak bernilai secara ekonomis. Sehingga
tidak dihargai sebagai kerja, yang selanjutnya dapat dijadikan alasan
menganggap perempuan remeh dan dilecehkan. Karena dianggap
“menumpang” hidup dari penghasilan laki-laki.
Ketika perempuan menuntut persamaan hak, perempuan juga
menuntut persamaan nilai guna dan nilai tukar. Bahwa sebagai
individu, perempuan mempunyai keahlian dan kemampuan yang sama
dengan kaum laki-laki, sehingga ia juga dapat menghasilkan secara
ekonomi.
Sayangnya, hal ini menyebabkan masalah sosial baru, karena
tidak diimbangi dengan perbaikan di ramah domestik. Artinya,
pekerjaan domestik tidak mendapat perhatian serius lagi, yang
menyebabkan dis-harmonisasi keluarga. Sementara dalam diri
perempuan sendiri terdapat “retak jiwa” akibat beban ganda yang
harus ditanggungnya.
7. Sejarah dan Teori Gender (Evi Nurleni, M.Si)
26
konsep patriaki dan modernisasi maka nilai guna dan nilai tukar
menjadi konsep yang amat dipentingkan.
Dalam hal ini, kerja dinilai dalam nilai tukar secara ekonomis,
sehingga yang tidak menghasilkan secara ekonomi (uang) tidak
dianggap berguna. Akibatnya, pekerjaan perempuan dalam rumah
dianggap bukan kerja karena tidak bernilai secara ekonomis. Sehingga
tidak dihargai sebagai kerja, yang selanjutnya dapat dijadikan alasan
menganggap perempuan remeh dan dilecehkan. Karena dianggap
“menumpang” hidup dari penghasilan laki-laki.
Ketika perempuan menuntut persamaan hak, perempuan juga
menuntut persamaan nilai guna dan nilai tukar. Bahwa sebagai
individu, perempuan mempunyai keahlian dan kemampuan yang sama
dengan kaum laki-laki, sehingga ia juga dapat menghasilkan secara
ekonomi.
Sayangnya, hal ini menyebabkan masalah sosial baru, karena
tidak diimbangi dengan perbaikan di ramah domestik. Artinya,
pekerjaan domestik tidak mendapat perhatian serius lagi, yang
menyebabkan dis-harmonisasi keluarga. Sementara dalam diri
perempuan sendiri terdapat “retak jiwa” akibat beban ganda yang
harus ditanggungnya.