Laporan ini memberikan ringkasan hasil penelitian tentang efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat pemahaman dan respons masyarakat terhadap upaya diseminasi informasi yang telah dilakukan, dan memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitasnya.
1. LAPORAN AKHIR
STUDI EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI
PENGURANGAN RESIKO BENCANA
DI DAERAH RAWAN BENCANA
PUSLITBANG APTEL SKDI
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SDM
DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
TAHUN 2009
2. i
Tim Personil Penelitian
EFEKTIVITAS DISEMINASI INFORMASI
PENGURANGAN RESIKO BENCANA
DI DERAH RAWAN BENCANA
Pengarah : Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Depkominfo
Penanggung Jawab : Kapuslitbang Aptel SKDI, Balitbang SDM
Depkominfo
Koordinator : Budi Santoso
Peneliti Utama : S. Arifianto
Anggota Peneliti : Kanti Waluyo Istidjab
Moedjiono
Parwoko
Djoko Waluyo
Heru Pudjo Buntoro
Paraden L. Sidauruk
Sumarsono
Dede Drajat
Atjih Ratnawati
Gantyo Witarso
Asisten Peneliti : Agus Haryono
Budi Santoso
Riyadi Fitri
Yan Andriariza AS
Ahmad Budi Setiawan
Dewi Hernikawati
4. iii
KATA SAMBUTAN
Bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan peristiwa nasional yang
banyak mendapatkan perhatian masyarakat maupun media massa. Tingginya
intensitas bencana alam telah membuka paradigma baru dan pemahaman
masyarakat terhadap kondisi alam dan lingkungannya. Jika dalam kurun waktu
sebelumnya tidak disadari bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di
wilayah rawan bencana, namun sejalan dengan munculnya berbagai bencana alam
dan gencarnya informasi, pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap
permasalahan bencana alam mulai muncul. Berkembangnya pemahaman dan
kesadaran dari masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap kondisi wilayahnya
menjadi isu yang sangat penting. Maka dari itu diperlukan pemantauan terhadap
pola-pola penyikapan masyarakat di daerah rawan bencana. Pola yang dimaksud
adalah pengenalan dan pemahaman terhadap fenomena bencana alam, sampai
pada sikap dan perilaku masyarakat terhadap bencana alam itu sendiri. Dengan
demikian “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” merupakan kebijakan
yang strategis. Meski telah dianggap penting sampai sejauh ini upaya untuk
memahami karakteristik masyarakat terkait dengan kejadian bencana alam masih
relatif rendah, padahal potensi bencana itu berada di Indonesia karena Indonesia
merupakan kawasan kepulauan yang terletak di daerah lingkaran api (ring of fire).
Semua bencana, baik yang diakibatkan alam atau kesalahan manusia itu telah
mengakibatkan ribuan manusia hilang atau meninggal dunia. Banyaknya korban
disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang bencana. Minimnya
pengetahuan masyarakat terhadap informasi bencana itu disebabkan banyak faktor,
misalnya faktor pendidikan, lingkungan, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya.
Demikian juga masih terdapatnya disinformasi kebencanaan dan perbedaan budaya
pada komunitas masyarakat lokal di daerah rawan bencana.
Sehubungan dengan hal tersebut, Pusat Litbang APTEL & SKDI, telah
melaksanakan penelitian “Efektivitas Diseminasi Informasi Pengurangan Resiko
Bencana di Daerah Rawan Bencana” pada tahun 2009. Hasil penelitian ini akan
memberikan informasi baru berupa hasil kajian tentang pola penyikapan masyarakat
terhadap bencana alam. Persoalan tersebut dianggap penting karena menjadi kunci
5. iv
keberhasilan atau tidaknya “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di
daerah rawan bencana”. Tetapi karena adanya keterbatasan pengetahuan
masyarakat, sistem itu bisa juga diterapkan dengan pendekatan budaya lokal
mereka sendiri, maka peran budaya lokal setempat sangat penting termasuk
bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya, ketika akan dan sedang
terjadi bencana alam. Evaluasi terhadap “diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana” di daerah rawan bencana dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi
informasi penting bagi semua pihak dan para pemangku kebijakan yang bertautan
dengan kebencanaan. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan konstribusinya dalam penelitian ini.
Semoga informasi hasil penelitian ini ada guna dan manfaatnya, baik untuk
kepentingan pemerintah, masyarakat dan dunia ilmu pengetahuan.
Jakarta, November 2009
Kepala Badan Litbang SDM
Cahyana Ahmadjayadi
6. v
KATA PENGANTAR
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini secara beruntun berbagai wilayah di
Indonesia dilanda berbagai jenis bencana alam. Baik bencana yang disebabkan alam,
maupun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia sama-sama menelan banyak
korban. Kini masyarakat mulai berpikir bahwa Indonesia secara geografis berada
diwilayah rawan bencana alam. Sayangnya kesadaran itu muncul setelah bencana alam
menalan banyak korban.
Selama lima tahun terakhir sudah ribuan orang meninggal dan hilang akibat
bencana alam. Demikian juga insfrastruktur, fasilitas umum, rumah tinggal dan lainnya
menjadi korban keganasan alam tersebut. Budaya masyarakat Indonesia akan bereaksi,
jika sudah ada aksi.
Dalam konteks ini mereka sadar ketika sudah banyak korban berjatuhan.
Persoalan mendasar adalah bagaimana memberikan pemahaman agar masyarakat di
daerah rawan bencana mempunyai pengetahuan tentang kebencanaan.
Sebenarnya untuk memahamkan masyarakat terhadap masalah kebencanaan
sudah di lakukan baik secara formal atau informal. Secara formal sudah sering di lakukan
program diseminasi pengurangan resiko bencana oleh Pemerintah, atau lembaga lain
yang berkompetan. Sedangkan secara nonformal juga dilakukan oleh komunitas
masyarakat lokal itu sendiri dengan pendekatan kearifan lokal di masing masing daerah.
Tetapi program dan kegiatan yang bersangkutan belum pernah dilakukan evaluasi.
Padahal kegiatan evaluasi semacam itu penting untuk mengetahui apakah diseminasi
informasi yang dilaksanakan selama ini efektif atau sebaliknya.
Kajian penelitian yang disajikan ini untuk mengevaluasi permasalahan tersebut.
Dengan demikian hasilnya diharapkan dapat memberikan masukan terhadap program
diseminasi kebencanaan di berbagai daerah rawan bencana. Semoga hasil rekomendasi
penelitian ini menjadi bagian dari sumbangan pemikiran mencari solusi permasalahan
bencana alam di Indonesia.
Jakarta, Nopember 2009
Kepala Puslitbang APTEL SKDI
Akmam Amir
7. vi
DAFTAR ISI
TIM PERSONIL PENELITIAN..................................................................................... i
KATA SAMBUTAN................................................................................................... iiiii
KATA PENGANTAR................................................................................................... v
DAFTAR ISI ...............................................................................................................vi
ABSTRAK .............................................................................................................viiviii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2 Permasalahan.............................................................................................. 5
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
1.4 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 7
1.5 Kerangka Konsep ...................................................................................... 10
1.6 Operasionalisasi Konsep ........................................................................... 18
1.7 Metode Penelitian ...................................................................................... 19
BAB II GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN, JENIS BENCANA ALAM, DAN LOKASI
PENELITIAN ............................................................................................................ 22
2.1 Ragam dan Jenis Bencana Alam............................................................... 25
2.2 Lokasi Penelitian........................................................................................ 36
BAB III HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN...................................................... 94
3.1 Karakteristik Responden............................................................................ 94
3.2 Pesan Komunikasi Yang Menimbulkan Kebutuhkan.................................. 95
3.3 Daya Tarik Pesan Komunikasi................................................................... 96
3.4 Simbol-Simbol Komunikasi Yang Dipahami............................................... 97
3.5 Cara Memperoleh Pesan Komunikasi........................................................ 98
3.6 Interpretasi Hasil Penelitian ....................................................................... 99
3.7 Peran Media Massa ................................................................................. 102
3.8 Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat ............................................ 107
8. vii
BAB IV P E N U T U P..................................................................................... 111
4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 111
4.2 Rekomendasi........................................................................................... 112
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 115
LAMPIRAN............................................................................................................. 117
9. viii
ABSTRAK
Tingginya intensitas bencana alam telah membuka pola pandang dan
pemahaman masyarakat terhadap kerentaan kondisi wilayah penghunian selama ini.
Sebagian besar masyarakat di negeri ini belum menyadari sepenuhnya jika
sebenarnya kita tinggal di kawasan rawan bencana alam. Tetapi dengan gencarnya
informasi tentang kebencanaan yang telah menelan banyak korban, kesadaran
terhadap persoalan bencana alam mulai muncul dipermukaan. Maka dari itu
diperlukan pola-pola penyikapan dari masyarakat di daerah rawan bencana.pola itu
menyangkut pengenalan terhadap pemahaman fenomena bencana alam, serta
bagaimana perilaku masyarakat terhadap bencana alam itu sen`diri.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab permasalahan : (a). Apakah
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana berjalan efektif dan masih
menjadi kebutuhan masyarakat di daerah rawan bencana?. (b). Apakah diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana masih mempunyai daya tarik bagi
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana?. (c).Apakah simbol-simbol
komunikasi dalam diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dapat
dipahami oleh masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? (d). Bagaimana
masyarakat di daerah rawan bencana memperoleh informasi tentang permasalahan
bencana alam di daerahnya?
Kerangka analisis penelitian ini menggunakan teori efektivitas pesan
komunikasi Wilbur Shramm (1973), dimana komunikasi akan berjalan efektif jika
menimbulkan kebutuhan, mempunyai daya tarik, simbol-simbol pesan komuni kasi
mudah dipahami, dan terdapat kemudahan dalam memperoleh informasi (pesan
komunikasi). Dari kempat komsep tersebut kemudian diturunkan menjadi variabel
untuk mengukur tingkat efektivitas “diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencana”.Penelitian ini menggunakan metode trianggulasi
(penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif). Data penelitian dikumpulkan
menggunakan teknik, observasi, wawancara mendalam, FGD, dan penyebaran
kuesioner kepada responden terpilih di lokasi penelitian.Metode ini dipilih karena
penelitian ini mengandung permasalahan yang bersifat komplek, dan terdapat
kekhususan, sehingga tidak bisa dipecahkan hanya dengan menggunakan metode
kuantitatif saja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa,: (1).Diseminasi pengurangan resiko
bencana masih dibutuhkan oleh komunitas masyarakat di daerah rawan bencana.
(2).Diseminasi pengurangan resiko bencana masih memiliki daya tarik, tetapi dalam
implementasinya masih terjadi inkonsistensi.(3).Simbol-simbol diseminasi
pengurangan resiko bencana (formal)bisa dipahami dengan baik oleh masya rakat di
daerah rawan bencana. Demikian juga tanda-tanda alam di komunitas lokal. (4).
Media televisi paling banyak digunakan untuk mencari dan menyalur kan informasi
tentang bencana alam. Kemudian media interpersonal dan media tradisional**
10. 1
1.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingginya intensitas bencana alam dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir
telah membuka pola pandang dan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap
kerentanan kondisi wilayah alam yang ditempatinya selama ini. Jika dalam kurun
waktu sebelumnya tidak banyak yang membayangkan dan menyadari bahwa kita,
masyarakat di negeri ini hidup di wilayah rawan bencana. Tetapi kini sejalan dengan
munculnya berbagai bencana dan gencarnya informasi pemahaman dan kesadaran
masyarakat terhadap persoalan bencana mulai muncul dipermukaan.
Berkembangnya pemahaman dan kesadaran dari masyarakat di daerah rawan
bencana, terhadap kondisi wilayahnya menjadi sangat penting. Tetapi akan tidak
kondusif jika berkembangnya tingkat kesadaran masyarakat itu karena akibat
kejadian bencana alam. Idealnya bangkitnya pemahaman dan kesadaran terhadap
bencana diposisikan sebagai suatu “sebab” dibanding sebagai suatu “akibat”
(Bastian, 2009). Maka dari itu diperlukan pemantauan terhadap pola-pola
penyikapan masyarakat. Pola yang dimaksud adalah pengenalan dan pemahaman
terhadap fenomena bencana alam, sampai pada sikap dan perilaku masyarakat
terhadap bencana itu sendiri. Oleh sebab itu diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana masih dianggap sebagai kebijakan yang sangat strategis. Meski
dianggap strategis dan penting sampai sejauh ini upaya untuk memahami
karakteristik masyarakat terkait dengan kejadian bencana alam masih relatif rendah.
Pada hal potensi bencana itu lebih dominan berada di Indonesia. Karena Indonesia
merupakan kawasan kepulauan yang rawan bencana alam.
Dari data Direktorat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG)
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan ada 28 wilayah
di Indnesia yang dinyatakan rawan gempa dan tsnunami. Misalnya, Aceh,Sumatra
Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng dan Yogyakarta Selatan,
Jatim Selatan, Bali, NTB, NTT, Sulut, Sulsel, Sulteng, Maluku, Biak, Yapen. Papua
dan Kaltim (ACO, 25 Juni 2009). Disamping dikelilingi tiga lempeng tektonik
dunia,Indonesia juga merupakan jalur cincin api pasifik, dan jalur rangkaian gunung
11. 2
berapi aktif di dunia. Secara realitas dari beberapa kali terjadi bencana alam telah
banyak menelan korban. Gempa tektonik dan Tsunami,26-12-2004 berkekuatan 9
SR di Aceh itu telah menelan korban, 150.000 orang meninggal dunia
(Koran,Tempo,28/12/2004). Gempa tektonik tanggal 28-3-2005 yang
menghancurkan Pulau Nias, dengan korban meninggal sebanyak 1.300 orang
meninggal (voanews 30/5/2006). Gempa bumi 5,9 SR, dengan korban 5.400 orang
meninggal di Yogyakarta dan Jateng bagian Selatan tanggal 27-5-20061
, dan gempa
bumi tanggal,17-7-2006 di pantai Pangandaran Jawa Barat dengan korban 500
orang meninggal dunia (Pikiran Rakyat,19/7/2006). Banjir Bandang di Manado,
Gorontalo, Mataram, dan Bali tahun 2007. Bencana jebolnya waduk Situ Gintung
Bogor, 27-3-2009 merupakan bencana alam yang tidak bisa di hindari (tempo
Interaktif,1/4/2009). Semua bencana alam, baik yang diakibatkan oleh alam atau
kesalahan manusia telah banyak membawa korban ribuan manusia hilang atau
meninggal dunia. Banyaknya korban disebabkan karena ketidak tahuan masyarakat
di daerah rawan bencana terhadap prosedur penyelamatan diri ketika akan dan
sedang terjadi bencana. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap informasi
pengurangan resiko bencana di sebabkan banyak faktor. Misalnya rendahnya
pendidikan formal, pengetahuan masyarakat pada bencana diasumsikan menjadi
faktor yang dianggap paling dominan.
Demikian juga masih adanya disinformasi kebencanaan di daerah rawan
bencana dan perbedaan budaya lokal di masyarakat daerah rawan bencana.
Persoalan disinformasi dan struktur sosial budaya masyarakat lokal seperti itu
menjadi kunci keberhasilan atau tidaknya kebijakan diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana. Tetapi karena keterbatasan
pengetahuan yang mereka miliki, sistem itu bisa diterapkan dengan pendekatan
1
Pukul 05,58 pagi itu bumi daratan di Yogyakarta sontak gonjang-ganjing seakan tidak mau lagi
dipijak manusia. Bersamaan dengan itu bunyi gemuruh sekitar satu menit mengatasi segala macam
bunyi dan merasuk hingga perut kita. Serta merta Yogya jadi luar biasa,nyaris separo rumah di Yogya
hilang dari pandangan mata. Orang orang kebingungan dan tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan
apa yang harus mereka lakukan sebalum menjerit jerit kepanikan.Listrik padam,telepun putus,suara
radio dan televisi tidak terdengar lagi,kepanikan terus berlangsung hingga pukul 08 pagi dengan isu
tsunami, orang orang lari meninggalkan semua hartanya di rumah, bahkan ada sebagian harta
penduduk yang dicuri perampok yang membawa mobil. Mobil,motor, hp berserakan di jalanan. Mayat
mayat bergelimpangan tertimbun reruntuhan tembok dan sejumlah bangunan lainnya. Masyarakat
semua panik tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan, korban meninggal diperkirakan mencapai
5.400-an (Kedaulatan Rakyat,28 Mei 2006).
12. 3
budaya lokal sendiri. Maka ketika ada diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana perlu penyesuaian dengan tata nilai sosial dan budaya lokal setempat.Tata
nilai sosial dan budaya lokal itulah yang mereka jadikan pijakan untuk bertindak
dalam berbagai hal. Termasuk bagaimana mereka berkomunikasi dengan warganya,
ketika akan dan sedang terjadi bencana alam. Program desiminasi pengurangan
resiko bencana ketika tidak seiring dengan kondisi sosial budaya di lingkungan
masyarakat di daerah rawan bencana akan mengalami masalah dalam
imlementasinya. Secara implementatif sistem peringatan dini sebagai upaya untuk
mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana telah di diseminasikan
pemerintah (Depkominfo). Kebijakan ini dilaksanakan untuk mengurangi resiko
bencana (disaster) di daerah rawan bencana. Dengan sistem peringatan dini, ada
bencana yang bisa direduksi, tetapi juga ada bencana yang tidak bisa direduksi.
Bencana yang bisa direduksi memiliki ciri khas terdapatnya tenggang waktu dari
deteksi bahaya untuk melakukan evakuasi, contohnya bencana tsunami, banjir,
kebakaran hutan, wabah penyakit, tanah longsor dan sebagainya. Bencana yang
tidak bisa direduksi bercirikhas, tidak adanya selang waktu dari deteksi bahaya
untuk evakuasi penduduk.
Contohnya gempa bumi volkanik, dan tektonik secara langsung. Disamping
itu sistem informasi peringatan dini dapat dibagi menjadi dua tindakan yakni:
(1) Tindakan preventif, (2) Tindakan operasional diseminasi informasi bencana.
Tindakan preventif lebih mengarah pada sosialisasi, pendidikan, avokasi antisipasi
bencana di masyarakat. Tindakan operasional diseminasi informasi bencana,
menuntut terciptanya diseminasi informasi peringatan dini (DIPD). Layanan media
center (tindakan evakuasi masyarakat, penanggulangan pengungsi dan rehabilitasi).
Ketika terjadi bencana, penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat di
daerah rawan bencana menjadi penting. Hal lain yang sama pentingnya adalah
pengambilan keputusan untuk menyatakan bahaya kepada masyarakat di daerah
rawan bencana. Kondisi-kondisi seperti itu perlu dilakukan evaluasi untuk
mengetahui efekfif tidaknya sebuah diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencana. Dengan penelitian evaluasi di daerah rawan
bencana, potensi yang menjadi rawan permasalahan kebencanaan bisa di deteksi
sejak dini. Data seperti itu menjadi penting untuk memetakan kondisi masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana. Ketika terjadi bencana yang muncul adalah
13. 4
kepanikan warga masyarakat. Kepanikan itu terjadi karena mereka tidak memiliki
dasar pengetahuan tentang bagaimana mereka harus bertindak jika terjadi bencana
alam. Semua tindakan tersebut perlu diawali dengan melihat gejala yang muncul
sebelum terjadi bencana. Gejala itu sendiri berbeda beda ragamnya, tergantung dari
jenis bencana apa yang terjadi. Disamping itu masing-masing jenis bencana
mempunyai keragaman penanggulangannya. Maka dari itu bagi warga masyarakat
di daerah rawan mencana, perlu sejak dini mengenali jenis bencana
dilingkungannya. Pengetahuan itulah yang harus mereka pelajari, dan terapkan.
Dengan demikian diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi
masyarakat di daerah rawan bencana bisa diketahui kondisinya. Akhirnya program
“diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”
menjadi salah satu program rutin pemerintah. Program ini dilaksanakan secara lintas
sektoral, termasuk keterlibatan media penyiaran. Misalnya informasi pengurangan
resiko bencana, ataupun sistem peringatan dini tentang bencana di wajibkan bagi
dunia penyiaran di Indonesia (ps,17 PP No:50/2005 tentang LPS). Sebagai tindak
lanjut kewajiban penyiaran bencana alam bagi media penyiaran tersebut dituangkan
dalam Permen Kominfo No:20/2006/tentang Peringatan Dini Tsunami atau Bencana
lainnya melalui lembaga penyiaran di seluruh Indonesia.
Jasa penyiaran radio dan televisi yang diselenggarakan oleh LPS,
LPP,LPB di seluruh Indonesia wajib menyiarkan informasi potensi
terjadinya bencana sebagai “stop press”.
Informasi gempa bumi yang berpotensi menimbulkan tsunami atau
bencana lain yang mengancam jiwa manusia yang ditetapkan oleh
BMKG yang disampaikan secara khusus ke lembaga penyiaran untuk
disiarkan.
Permen Kominfo No: 20/2006 menjadi dasar untuk dilaksanakan diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana melalui media penyiaran dan media lainnya
bersama institusi lainnya.Karena lembaga penyiaran di Indonesia diwajikan
menayangkan atau menyiarkan “peringatan dini sesingkat-singkatnya tanpa ditunda
sejak informasi diterima dari BMKG sebagai “stop press”. Artinya semua acara radio
dan televisi yang sedang berlangsung harus dihentikan sementara untuk
memberikan perhatian kepda masyarakat, khususnya di daerah rawan bencana.
Karena selama ini yang sering terjadi perhatian masyarakat terhadap suatu
bencana, ketika bencana itu telah terjadi. Bukan penanggulangannya sebelum
14. 5
bencana itu terjadi. Mereka hanya terfokus pada pekerjaan rutin sehari hari.
Pemahaman terhadap informasi pengurangan resiko bencana relatif rendah (baik
untuk bencana alam atau yang di akibatkan ulah manusia). Kesadaran masyarakat
di daerah rawan bencana terhadap kelestarian alam dan lingkungan masih rendah.
Pada hal bencana alam (banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan) terkait
dengan masalah lingkungan. Jenis bencana tersebut cenderung disebabkan karena
ulah manusia yang tidak peka terhadap kelestarian lingkungannya. Banyaknya
bencana tanah longsor dan banjir bandang di-berbagai daerah di Indonesia yang
telah banyak menelan korban, merupakan potret buram pengelolaan lingkungan
hidup yang tidak kondusif dan seimbang. Dalam konteks penelitian ini, kesadaran
masyarakat untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan bencana mempunyai
arti yang sangat penting. Mereka selain menjadi subyek juga sekaligus menjadi
obyek upaya pengurangan resiko bencana. Maka dari itu program “diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana tidak bisa lepas
dari manajemen lingkungan yang berbasis sosial dan budaya lokal di masyarakat.
Bahkan tidak salah jika program ini berupaya mengadopsi kearifan lokal (local
wisdom), dan pengetahuan tradisional (traditional of knowledge) yang berkembang
di komunitas masyarakat. Kedua aspek ini diasumsikan menjadi faktor berpengaruh
dalam “diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana”
di Indonesia. Dari pemaparan latar belakang permasalahan tersebut, perlu
dievaluasi bagaimana ”efektifitas” diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
di daerah rawan bencana yang telah berjalan selama ini, melalui suatu kajian
penelitian.
1.2 Permasalahan
Berangkat dari latar belakang penelitian ini, bahwa Indonesia terdiri dari
kepulauan yang di batasi oleh tiga lempeng besar cenderung mengakibatkan
terjadinya rawan gempa tektonik. Sementara banyaknya gunung berapi yang masih
aktif berpotensi terhadap kerawanan terjadinya gempa volkanik. Serta permasalahan
lain tentang ekologi yang mengakibatkan terjadinya bencana tanah longsor, banjir
bandang, dan kebakaran hutan. Pada sisi yang lain minimnya pengetahuan
masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap potensi bencana alam yang
mengancamnya masih menjadi persoalan tersendiri. Sudah banyak informasi
15. 6
pengurangan resiko bencana yang disampaikan oleh diseminaor, dan melalui media
massa. Tetapi hasilnya masih belum banyak diketahui, apakah diseminasi tersebut
mencapai sasaran atau justru sebaliknya. Pada saat yang bersamaan pemerintah
telah mengambil langkah kebijakan berupa program diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana. Program tersebut telah di laksanakan oleh pemerintah dan lembaga lain
yang berkompeten. Tetapi hasilnya seperti apa masih perlu dilakukan kajian
evaluasi, sehingga memunculkan permasalahan yang perlu di kaji dalam penelitian
ini. Permasalahan yang dianggap penting untuk dikaji dalam penelitian ini adalah,
”bagaimana efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah
rawan bencana”.
Permasalahan tersebut masih bersifat umum sehingga perlu di rumuskan
secara lebih spesifik lagi. Perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1) Apakah ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana berjalan efektif dan
menjadi kebutuhan” masyarakat di daerah rawan bencana? (2) Apakah ”diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana mempunyai daya tarik” bagi masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana? (3) Apakah simbol-simbol komunikasi dalam
program (diseminasi informasi pengurangan resiko bencana) dapat dipahami oleh
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana? (4) Bagaimana masyarakat di
daerah rawan bencana memperoleh informasi pengurangan resiko bencana?
1.3 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara substansi di harapkan bisa di jadikan bahan
masukan untuk penyusunan tentang kebijakan “diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana yang dilakukan pemerintah, khususnya
bagi (Departemen Komunikasi dan Informatika), maupun oleh lembaga lain yang
berkompeten dibidang kebencanaan. Sedangkan secara akademik dari kajian
penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan ilmu komunikasi, khususnya komunikasi yang bertautan dengan
permasalahan pengurangan resiko bencana yang telah berkembang selama ini.
Secara internal memjadikan tantangan baru bagi peneliti, untuk mencari metoda
atau pola diseminasi informasi dan sosialisasi yang tepat bagi program-program
kebijakan pemerintahan lainnya.
16. 7
1.4 Tinjauan Pustaka
Kajian ilmiah baik berupa penelitian maupun kertas kerja yang melakukan
pembahasan masalah kebencanaan dan sejenisnya semacam ini sudah sering
dilakukan oleh berbagai pihak. Semakin banyak kajian tentang mitigasi
kebencanaan semakin banyak pula konstribusi pengetahuan dan pemahaman
terhadap masalah tersebut. Kajian tentang “Sistem Peringatan Dini (EWS) dan
Penanggulangan Bencana Alam” pernah dilakukan Puslitbang Aptel SKDI (Balitbang
SDM, Kominfo, 2008:87-90). Hasil kajian penelitian tersebut menunjukkan bahwa,
Bakornas PB merupakan peran kunci efektivitas masalah penanggulangan bencana
di Indonesia. Sedangkan alat pengeras suara di surau-surau dan masjid
berdasarkan hasil kajian tersebut menjadi alat komunikasi tradisional yang paling
dominan untuk peringatan dini tentang bencana alam yang terjadi di masyarakat.
Kajian yang dilakukan Eniarti Djohan (2007: 6) Peneliti dari LIPI Jakarta
dengan judul: “Mengapa Kajian Bencana” menyimpulkan jika peristiwa bencana
alam mampu mengubah kehidupan manusia dari yang mapan menjadi tidak
mapan.Perbedaan status sosial itu menurut kesimpulan penelitian ini ”berpengaruh
terhadap akses informasi tentang kebencanaan”di masyarakat. Penelitian
P.M.Laksono (2007 : 41) dari Pusat Studi Asia Fasifik UGM Yogyakarta yang
bertajuk,”Visualisasi Gempa Yogya 27 Mei 2006” dengan pendekatan visualisasi
media cetak (surat kabar) mendiskripsikan bahwa,”betapa pentingya fungsi media
untuk penyebaran informasi bencana gempa bumi (2006) di Yogyakarta”. Dalam
penelitiannya Laksono mevisualisasikan pelayatan masal diseluruh Yogyakarta yang
sedang berduka. Siapapun yang masuk Yogyakarta ketika itu akan menyaksikan
sesak kedukaan yang se-olah olah tidak mau cepat berlalu seperti biasanya
kedukaan pada masyarakat Jawa. Diskripsi yang disajikan secara naratif itu
sekaligus memberikan makna bahwa “media massa” memiliki kelebihan tertentu
untuk melakukan diseminasi informasi kepada khalayak masyarakat di daerah
bencana di Yogyakarta. Kajian penelitian Barbara Hatley (2007:54) dari University of
Tasmania dengan judul penelitiannya “Theatre and Local Cultural Revital After The
2006 Yogyakarta Earthquake” melihat bahwa dampak gempa Yogyakarta 2006
terhadap para pelaku seni pertunjukan (media tradisional) di Bantul. Karena banyak
para seniman yang dianggap sebagai elemen kunci diseminasi informasi
kebencanaan lokal untuk membangkitkan kembali masyarakat Bantul kehilangan
17. 8
tempat tinggal akibat gempa, sehingga fungsinya melakukan diseminasi informasi
kepada masyarakat Kabupaten Bantul menjadi terganggu. Dalam kajian tersebut
Barbara (2007) menggambarkan proses bagaimana pertunjukan seni budaya (media
tradisional) mendukung semangat komunitas, menganalisis dan memperlihatkan
berbagai bentuk budaya lokal selama terjadi krisis sosial akibat bencana alam.
Meski dalam akhir kesimpulan penelitiannya Barbara justru tampak kurang percaya
diri dan mempertanyakan “apakah hal tersebut bisa berlanjut ketika kondisi sudah
normal kembali dalam bentuk ”relentless change” dan pengaruh media global, yang
masih harus diperhatikan.
Penelitian Nursyirwan Effendi (2007:93) dari Universitas Andalas, tentang
“Bencana : Pengalaman dan Nilai Budaya Orang Minangkabau” lebih melihat
bencana alam dari perspektif budaya. Bencana alam merupakan rutinitas
masyarakat lokal Indonesia. Bahkan potensi kerusakan akibat bencana alam
menurut hasil penelitian ini “dipahami sebagai suatu peristiwa alam yang tidak bisa
dihindari. Dimana dalam konteks tersebut rusaknya lingkungan dan sistem sosial
akibat bencana, sama pentingnya dengan mencari pengetahuan tentang penyebab
bencana alam itu sendiri. Tingkat kesadaran sosial terhadap bencana alam terlihat
jelas pada tingkatan masyarakat lokal, dimana penglaman bencana bagi mereka
akan memberikan ”efektivitas penciptaan pengetahuan lokal tentang bencana dan
alam”. Bencana yang dialami masyarakat lokal dapat membangun pemahaman
tentang realitas secara lebih konprehensif. Beberapa pemahaman masyarakat lokal
terhadap bencana itu diantaranya, (a) Bencana dilingkupi oleh gagasan tentang
alam dan Tuhan, (b) Bencana dimaknai sebagai pelajaran sosial tentang eksistensi
manusia ketika berhubungan dengan alam, (c) Bencana dialami sebagai kekuatan
pembentuk baru (reproduksi) sosial dan budaya, karena didalamnya berlangsung
pengalaman sosial dan nilai-nilai. Penelitian Mita Noveria (2007:116-117) peneliti
LIPI Jakarta, yang bertajuk “Bencana Alam Dari Sisi Kependudukan:Penyabab dan
Dampaknya” menyim pulkan bahwa, bencana alam tidak bisa terpisahkan dari
konteks masyarakat. Karena masyarakat disamping menjadi korban sekaligus
menjadi pelaku bencana dan penyebab bencana, khususnya bencana banjir dan
tanah longsor. Perbedaannya jika bencana geologi tidak dapat diprediksi
kejadiannya, tetapi bencana akibat ulah manusia dapat diprediksi sekaligus
dihindari. Bencana alam akibat ulah manusia dapat dihindari jika
18. 9
penduduk(masyarakat) mempunyai pemahaman/ pengetahuan tentang pelestarian
lingkungan hidup disekitar mereka. Demikian juga terhadap karakteristik jenis
bencana alam disekitar mereka. Kesimpulan akhir peneliti lebih menekankan pada
edukasi (diseminasi) terhadap masalah bencana dan lingkungan sebagai solusi dan
sarannya.
Kajian Wijajanti M.Santoso (2007:138) peneliti LIPI Jakarta yang berjudul :
Bencana Dari Perspektif Sosiologi Feminis” ini lebih bernuansa jender. Dalam
paparannya Wijajanti melihat baik perspektif jender maupun bencana alam,
merupakan sebuah elemen konstruksi sosial yang dapat dilihat dari bagaimana
masyarakat bereaksi, baik terhadap keberadaan kesetaraan jender maupun
bencana itu sendiri. Dimana dalam penanganan sebuah bencana alam dapat
memperlihatkan bagaimana masyarakat memosisikan dan merepresentasikan
perempuan. Posisi perempuan yang masih dianggap tradisional dengan
menempatkan pada ruang public menurut Wijajanti (2007), memberikan gambaran
bahwa masyarakat kurang mengakui eksistensi perempuan. Maka dari itu analisis
tentang perempuan dan bencana dapat dilihat dari proses netralisasi, baik dari unsur
jender maupun bencana itu sendiri. Netralitas pengetahuan akan bersikukuh bahwa
bencana mengakibatkan penderitaan terhadap semua orang, baik laki-laki maupun
perempuan. Tetapi data penelitian dilapangan menunjukkan bahwa korban
meninggal akibat bencana alam masih didominasi oleh kaum perempuan,dan anak
anak. Bahkan penanganan bencana gempa di Yogya (2006) memperlihatkan bahwa
elemen jender belum menjadi preoritas penting yang tampak didalam bantuan yang
tidak sensitif pada jender. Merujuk pada beberapa penelitian atau kajian tentang
bencana alam yang sudah dilaksanakan oleh para peneliti tersebut, ”efektivitas
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana” menurut pengamatan penulis
belum pernah disinggung. Padahal dalam konteks meminimalisasi kurban bencana
alam tidak serta merta dilihat dari bagaimana kecepatan dan ketepatan petugas
lapangan dalam mengevakuasi kurban dengan dukungan peralatan modern. Tetapi
bisa dilihat seberapa intenkah pengetahuan, pemahaman dan pengalaman
masyarakat terhadap bencana itu sendiri. Maka dari itu diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana masih dianggap sangat penting. Karena masalah ini belum pernah
dilakukan kajian secara konprehensif. Berangkat dari permasalahan itulah peneliti
19. 10
melakukan kajian dari sisi yang berbeda agar bisa ikut memberikan konstribusi untuk
masalah kebencanaan yang sering melanda masyarakat di negeri ini.
1.5 Kerangka Konsep
Program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana dikatakan efektif
jika ia mampu mencapai tujuan yang ditargetkan. Baik secara langsung maupun
tidak langsung target diseminasi informasi pengurangan resiko bencana, agar
masyarakat di daerah rawan bencana: (a) memiliki pengetahuan tentang
permasalahan bencana alam di lingkungannya, (b) mengimplementasikan
pengetahuan kebencanaan yang dimiliki ketika terjadi bencana, dan (c) bisa
membuahkan hasil berupa meminimalisasi korban bencana itu sendiri. Target itu
bisa tercapai jika semua persyaratan diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana bisa terpenuhi. Dalam konteks ilmu komunikasi, diseminasi bertautan
langsung dengan “penyampaian pesan” kepada khalayak atau masyarakat. Secara
teoritis ada beberapa model komunikasi “tradisional” yang masih dianggap relevan
untuk penyampaian pesan komunikasi (diseminasi) dalam penelitian ini. Beberapa
model komunikasi tradisional yang dimaksud dalam penelitian ini diantaranya :
(1). Model komunikasi Harold Lasswel (1948) dalam Fiske (2006:46) dimana
pesan komunikasi akan dianggap efektif jika memenuhi lima unsur sebagai berikut
(who, says what, in which channel, with what effect) yakni, siapa, mengatakan apa,
dalam media apa, dan apa efeknya. Pertama makna “siapa” (who) dalam
pertanyaan tersebut menunjuk pada inisiator, yaitu orang yang mengambil inisiatif
untuk memulai komunikasi. Inisiator bisa berupa individu, kelompok atau organisasi.
Kedua makna “apa yang dikatakan” (says what) bertautan dengan isi pesan yang
disampaikan dalam komunikasi yang bersangkutan. Ketiga makna (in which
channel) dengan media apa, yang merujuk pada penggunaan media, karena tidak
semua media cocok untuk komunikasi. Ke-empat makna (to whom) menanyakan
tentang siapa penerima pesan komunikasi. Kelima makna (what effect) yakni apa
dampak atau efeknya dari komunikasi tersebut. Model komunikasi ini masih tetap
linier, dengan melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Model komunikasi ini
lebih mengedepankan pengungkapan tentang isu “efek” bukan makna. Efek itu
sendiri secara tidak langsung menunjukkan adanya perubahan yang bisa diukur
(dampak dari diseminasi informasi), dan diamati pada penerima pesan komunikasi.
20. 11
Penerima pesan dalam konteks penelitian ini adalah komunitas masyarakat di
daerah rawan bencana yang menjadi obyek penelitian.
(2) Model komunikasi Shannon & Weaver 1949, dalam Fiske (2006:14) yang
berbeda dengan model Lasswel, karena Shannon Wever lebih memilih transmitter.
Pilihan transmitter ini sangat tergantung pada jenis komunikasi yang digunakan.
Dalam konteks ini ada dua komunikasi yakni komunikasi interpersonal, dan
komunikasi massa. Jika dalam komunikasi interpersonal transmitternya lebih
mengandalkan organ tubuh dan bahasa non verbal, sedangkan dalam komunikasi
massa adalah alat itu sendiri misalnya berupa: (hp, radio, televisi, foto, dan film)
yang sudah banyak dikenal. Model dasar komunikasi yang mereka kembangkan ini
lebih bersifat linier dan sangat sederhana. Shannon & Weaver (1949) dalam teorinya
mengidentivikasi tiga level masalah dalam komunikasi. (a). Level A (masalah teknik),
bagaimana simbol-simbol komunikasi dapat ditransmisikan secara akurat. (b). Level
B (Masalah semantik) bagaimana simbol-simbol komunikasi yang ditransmisikan
secara persis menyam paikan makna yang diharapkan. (c). Level C (masalah
keefektifan) bagaimana makna yang diterima secara efektif mempengaruhi tingkah
laku dengan cara yang diharapkan. Shannon & Weaver mengklaim bahwa ketiga
level tersebut tidak terbantahkan, tetapi saling berhubungan dan saling
ketergantungan satu sama lainnya, meski asal usulnya di level A berfungsi sama
baiknya di tiga level tersebut (Fiske, 2006 : 15).
(3) Model komunikasi yang dikembangkan David Berlo (1960),2
yang hanya
memperlihatkan komunikasi satu arah. Ia terdiri dari empat komponen, yakni
sumber, pesan, saluran dan penerima, tetapi pada masing-masing komponen
terdapat faktor kontrol. Dalam teorinya Berlo (1960) menekankan pada faktor
ketrampilan, sikap, pengetahuan, kebudayaan, dan sistem sosial, sumber atau
orang yang mengirim pesan merupakan faktor penting penentuan isi pesan. Dimana
faktor tersebut akan berpengaruh pada penerima pesan dalam menginterpretasikan
isi pesan yang di sampaikan. Interpretasi pesan akan sangat tergantung dari “isi
pesan” yang ditafsir oleh pengirim pesan atau penerima pesan.
2
Lihat tulisan Yahya Nursidik,tentang Model-model komunikasi sebagai warisan peradapan
komunikasi, dalam :http://apadefinisinya.blogspot.com/2007/12/komunikasi.html, diakses Senin,7
September 2009.
21. 12
(4). Model komunikasi yang dikembangkan Wilbur Schramm (1973) lebih
menekankan pada peran pengalaman dalam proses komunikasi. Dalam hal ini
Schramm melihat apakah pesan yang dikirimkan diterima oleh sipenerima sesuai
dengan apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan. Artinya jika tidak ada
kesamaan dalam bidang pengalaman (bahasa yang sama, latar belakang yang
sama,kebudayaan yang sama, struktur sosial yang sama) maka kecil kemungkinan
pesan yang diterima diinterprestasikan dengan benar dan baik sesuai dengan tujuan
komunikasi yang ingin dicapainya. Jika konsep komunikasi yang sarankan Schramm
(1973) itu terpenuhi, besar kemungkinan proses diseminasi informasi akan berjalan
secara efektif. Untuk melihat efektivitas komunikasi perlu dilakukan pengujian.
Efektivitas diseminasi informasi berarti berfokus pada pengukuran efektif tidaknya
sebuah pesan komunikasi yang dikomunikasikan dalam diseminasi informasi yang
bersangkutan.
Pesan komunikasi dapat dikatagorikan efektif jika bisa mencapai tujuan atau
sasaran komunikasi yang diharapkan oleh komunikan. Tujuan diseminasi
komunikasi kepada komunikan adalah agar komunikan mendapatkan pemahaman
pengetahuan baru tentang persoalan yang diinginkan komunikator. Pada dasarnya
tujuan diseminasi informasi lebih dititikberatkan pada “memberi tahu” (information)
atau paling tidak dengan informasi tersebut komunikan dapat berubah sikap
(attitude) karena menda patkan pengetahuan, pengalaman serta pola hidup “budaya
baru” di komunitasnya. Misalnya komunitas masyarakat yang mendapatkan
diseminasi informasi tertentu, bisa berubah sikap dan perilakunya menjadi lebih
kooperatif untuk mencapai tujuan komunikasi yang bersifat informatif dan partisifasif
(Effendi,2002). Sementara Rogers & Kincaid (1983) melihat bahwa komunikasi
merupakan suatu proses. Dimana partisipan membuat berbagai informasi satu sama
lain untuk mencapai saling pengertian. Pada tataran tersebut antara komunikator
dan komunikan saling menjalin hubungan komunikasi untuk mencapai suatu tujuan
atau keselarasan dalam upaya menumbuhkan kesepahaman. Dalam pandangan
Yoseph Devito (1989) komunikasi merupakan proses pembentukan, penyampaian,
penerimaan, pengelolaan pesan yang terjadi pada diri seseorang atau diantara dua
orang lebih dengan tujuan tertentu.
22. 13
Efektivitas Komunikator
Dalam ethos komunikator menurut pandangan Aristoteles (1954), seperti
dikutip Hamidi (2007: 71) mengkatagorikan bahwa efektivitas komunikator
ditentukan oleh 3 (tiga) faktor. (1) Pikiran yang jernih (good sence), ideology
komunikator dalam konteks ini harus dilandasi tujuan yang baik untuk
mentransfomasikan pengetahuan barunya kepada komunikan. (2) Akhlak yang baik
(good moral character), artinya karakteristik komunikator menjadikan taruan berhasil
tidaknya sebuah transformasi informasi kepada komunikan. Kredibilitas dan
kapabelitas komunikator dalam konteks ini menjadi sangat penting, bahkan menjadi
penentu proses keberhasilan sebuah diseminasi informasi. (3) Maksud yang baik
(good will), artinya penyampaian pesan komunikasi harus di landasi oleh maksud
dan tujuan yang baik, agar persoalan yang ditransformasikan bisa diterima sesuai
dengan harapan komunikator.
Ketiga ethos itu menjadi kunci bagi seorang komunikator untuk menjalankan
perannya. Pada sisi yang berbeda Hovland & Weiss (1951) dalam Hamidi (2007:72)
juga melihat bahwa ethos dengan kredibilitas komunikator terdiri dari “komunikator
yang mempunyai keahlian dan dapat dipercaya (axpertise and trustworthness).
Kedua ethos karakteristik komunikator tersebut menjadi sangat penting untuk
menentukan keberhasilan penyampaian pesan komunikasi. Selanjutnya
Chaiken,S,(1979) dalam Hamidi (2007:74) juga memberikan katagorisasi bahwa
demensi lain dari seorang komunikator harus memiliki daya tarik komunikator
(source of attractiveness) atau kekuasaan komunikator (source of power).
Efektivitas Komunikan
Di lihat dari sudut pandang komunikan, sebuah penyampaian pesan
komunikasi yang efektif terjadi menurut Kelman (1975) dalam Hamidi (2007:74) jika
komunikan mengalami internalisasi (internalization), identivikasi diri (self
identification) dan ketundukan (compliance). Artinya penjabaran kerangka teori
tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses penyampaian pesan (diseminasi
informasi) pihak komunikan akan mengalami internalisasi, ketika komunikan
menerima pesan (diseminasi informasi) yang sesuai dengan sistem nilai yang
dianut. Sistem nilai itu bisa berupa, budaya lokal (local cultural), adat istiadat, norma-
norma sosial, agama dan lainnya. Jika terjadi kesepahaman semacam itu
23. 14
komunikan akan merasa memperoleh sesuatu yang bermanfaat pada dirinya. Pesan
komunikasi yang ditransformasikan memiliki nilai rasionalitas yang dapat diterima.
Proses penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) tersebut menjadi
efektif jika ada keseimbangan atau kesepahaman antara komunikator di satu sisi
dan komunikan disisi yang lain. Keberhasilan pesan komunikasi juga sangat
ditentukan kredibilitas komunikatornya.
Laswell (1979) menyampaikan bahwa efektivitas pesan komunikasi tidak
hanya ditentukan oleh isi pesan, tetapi siapa yang menjadi komunikatornya.Pada sisi
komunikan efektivitas penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat
dikatagorikan berhasil, ketika identivikasi tersebut terjadi pada pihak komunikan.
Misalnya pihak komunikan merasa puas dengan meniru, mengunakan pengetahuan,
mengambil pemikiran komunikator (Rogers,1983). Baik secara individu maupun atau
kelembagaan organisasi sebagai penyampai pesan haruslah mereka yang
berkompeten dan memiliki keahlian di bidangnya. Dengan melihat beberapa
kerangka konsep tersebut didapatkan pemahaman jika mengharapkan efektivitas
dalam penyampaian suatu informasi tertentu, haruslah ada titik keseimbangan
antara komunikator dan komunikan dalam konteks “transformasi informasi tertentu”
yang di selaraskan dengan kebutuhan komunikan.
Efektivitas Pesan komunikasi
Sebuah penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) dapat di
katagorikan efektif jika, (1) pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh
komunikan, (2) komunikan bersikap atau berperilaku seperti apa yang dikehendaki
oleh komu nikator, dan (3) adanya kesesuaian antar komponen Wilbur
Shramm,1973) dalam Hamidi (2007:72). Selanjutnya efektivitas penyampaian pesan
komunikasi ini berasumsi bahwa: “jika komunikasi diharapkan efektif maka pesan
didalamnya perlu dikemas yang lebih menarik sesuai dengan kebutuhan
komunikan”. Dalam pandangan ini materi pesan komunikasi (diseminasi informasi)
merupakan hal yang baru atau bersifat sangat spesifik. Informasi yang berbentuk
simbol-simbol atau bahasa yang digunakan harus mudah dipahami komunikan.
Misalnya, jika komunikator menganjurkan suatu program dalam bentuk kebijakan
tertentu, informasi itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga mudah dipahami,
mudah didapat, mudah diterapkan dengan sistem yang sangat sederhana. Sistem
24. 15
pelaksanaan program penyampaian pesan komunikasi (diseminasi informasi) yang
dimaksud tidak sampai bertolak belakang atau bertentangan dengan kearifan lokal
masyarakat. Dalam konteks penelitian ini yang akan diukur adalah, efektivitas
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di daerah rawan bencana, yang
dikaitkan dengan implementasinya.
Pada hakekatnya setiap ragam bencana alam mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda satu sama lainnya. Misalnya bencana alam, berupa gempa tektonik,
volkanik, tsunami, tanah longsor, banjir bandang, angin puyuh, kebakaran hutan dan
berbagai jenis bencana alam lainnya. Masing jenis bencana alam tersebut memiliki
karakteristik budaya komunikasi yang beragam. Perbedaan karakteristik dan budaya
komunikasi seperti itu akan berimplikasi pada kebutuhan ”isi pesan komunikasi”
yang di diseminasikan kepada masyarakat di daerah rawan bencana. Misalnya
masyarakat pantai akan lebih paham dan pamilier dengan ”informasi pengurangan
resiko bencana” gelombang laut. Masyarakat di sekitar lereng gunung berapi akan
lebih paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” tanda tanda gunung
berapi. Masyarakat yang tinggal di sepanjang tepian sungai mereka lebih paham
dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” yang terkait dengan
penanggulangan banjir. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan lebih
paham dengan ”informasi pengurangan resiko bencana” kebakaran hutan, dan
lainnya. Perbedaan karakteristik jenis bencana alam itu baik secara langsung
maupun tidak langsung dipengaruhi nilai sosial dan budaya lokal (local cultural) di-
masing masing daerah. Perbedaan budaya lokal berpengaruh pada pola komunikasi
masyarakat di-masing masing daerah rawan bencana. Jika merujuk pada kerangka
konsep Wilbur Shramm dalam bukunya ”Men Message and Media” Haper and Raw :
New York, (1973) seperti dikutip Hamidi (2007:73), maka yang di ukur efektivitasnya
dalam penelitian ini adalah penyampaian pesan komunikasi pengurangan resiko
bencana secara universal. Artinya program ”diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana” itu diasumsikan bisa diterima semua
masyarakat di daerah rawan bencana. Tanpa membedakan jenis bencana,
karakteristik budaya dan pola-pola komunikasi di masing-masing daerah rawan
bencana. Diseminasi pengurangan resiko bencana sifatnya hanya preventif. Hanya
untuk meminimalisasi jatuhnya korban jika bencana alam itu terjadi. Berangkat dari
25. 16
kerangka konsep seperti itu empat variabel yang digunakan untuk menganalisis
penelitian ini, jika divisualisasikan akan terlihat model komunikasi berikut ini.
Sumber : Model pesan komunikasi, Wilbur Shramm,(1973).
Konsep dasar yang melatairi ”kebutuhan informasi” berangkat dari teori
informasi berasal dari Shannon & Weaver dalam The Mathematical Theory of
Communication. Menurut teori ini informasi adalah jumlah ketidak pastian yang
dapat diukur dengan cara mereduksikan sejumlah alternatif pilihan yang tersedia.
Informasi itu sendiri terkait dengan situasi yang tidak pasti. Semakin banyak yang
tidak pasti semakin banyak alternatif informasi yang digunakan secara terus
menerus untuk mengurangi ketidak pastian (Sendjaya,1998: 84). Sedangkan ”daya
tarik pesan komunikasi” tidak lepas dari kognisi atau pemahaman terhadap
informasi. Dalam proses komunikasi kognisi sering dilihat sebagai hasil akhir atau
tujuan terpenting. Dalam hal ini Kincaid & Shramm (1987: 115) menyatakan jika
kognisi merupakan wujud dari kenyataan atau kebenaran informasi dari prinsip-
prinsip yang dimiliki manusia. Logikanya seorang mengetahui berarti ia mengamati
secara langsung, memiliki pengalaman, mengenali atau setidaknya sudah terbiasa
dengan suatu hal yang mereka ketahui. Mereka merasakan dan menyadari akan
suatu hal yang mereka ketahui tersebut.
Pesan komunikasi yang
menimbulkan kebutuhan
Cara memperoleh pesan
komunikasi
Simbol-simbol pesan
komunikasi yang dipahami
Daya tarik pesan komunikasi
Effektivitas pesan Komunikasi
26. 17
Pemahaman pengetahuan tentang apa yang dibicarakan, atau dilihatnya
akan mempengaruhi pesan komunikasi yang disampaikan. Artinya seseorang tentu
tidak bisa mengomunikasikan apa yang tidak ia ketahui. Seorang tidak bisa
berkomunikasi secara efektif dengan apa yang tidak ia mengerti. Maka kognisi
dalam proses komunikasi dapat juga mempengaruhi perilaku sumber (masyarakat).
Pemahaman terhadap ”simbol komunikasi” lebih berakar pada budaya komunikasi
masyarakat. Charles Sanders Pierce (1914) dikutip Pawito (2008: 158) membagi
lambang (sign) menjadi tiga katagori (genre). Yaitu ikon, index dan simbol. Ikon
adalah lambang yang ditentukan (cara pemaknaannya) oleh obyek yang dinamis
karena sifat-sifat internal yang ada. Index adalah lambang yang cara pemaknaannya
menunjuk pada obyek dinamis, yang ada keterkaitan nyata dengannya. Simbol
adalah suatu lambang yang ditentukan oleh obyek dinamisnya dalam arti ia harus di
interpretasi. Interpretasi merupakan salah satu pemaknaan terhadap lambang
simbolik yang melibatkan proses belajar dan pengalaman dalam budaya
masyarakat. Cara memperoleh ”pesan komunikasi” (sumber informasi) dilakukan
melalui berbagai alternatif. Pada hakekatnya informasi dapat diperoleh dari
pengamatan individual, percakapan dengan orang lain,dari media massa, dan
lainnya. Sumber informasi di masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu sumber informasi
dari saluran interpersonal, dan sumber informasi dari saluran media massa.
Terdapat beberapa pertimbangan seorang menggunakan sumber informasi. Salah
satu diantaranya sikap terhadap karakteristik sumber informasi yang bersangkutan.
Karakteristik sumber informasi ini oleh Alexis & Tan (1981) disebut : (a) Kredibilitas
sumber informasi tergantung dari keahlian dan kejujuran. (b) Daya tarik penerima
informasi lebih tertarik pada sumber yang memiliki kesamaan, keakrapan dan yang
disukai secara fisik. (c) Kekuasaan sumber informasi efektif mengubah perilaku
penerima informasi, karena ia memiliki kemampuan mengubah kontrol, kemampuan
memperhatikan penerima informasi apakah ia tunduk atau tidak,dan kemampuan
meneliti apakah penerima informasi tunduk atau tidak (Tan, 1981:104).
Dari ke-empat model pesan komunikasi Wilbur Shramm (1973) tersebut
selanjutnya digunakan sebagai variabel untuk melihat efektifivitas pesan ”komunikasi
dalam program diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di-daerah rawan
bencana”. Tetapi keempat variabel tersebut masih bersifat universal, sehingga perlu
dioperasionalkan. Pada hakekatnya opersionalisasi konsep variabel ditujukan untuk
27. 18
memperjelas batasan-batasan yang diukur dalam sebuah variabel penelitian.
Dengan melihat operasionalisasi konsep peneliti tidak akan keluar dari kerangka
konsep yang telah dipilih untuk menganalisis temuan penelitian yang bersangkutan.
Dalam penelitian ini efektifitas ”diseminasi informasi pengurangan resiko bencana di
daerah rawan bencana” diukur dari pengoperasionalisasi ke-empat variabel tersebut.
1.6 Operasionalisasi Konsep
Kerangka konsep yang divisualisasikan dalam bentuk variabel pesan
komunikasi yang efektif tersebut, masih bersifat umum, sehingga
dioperasionalisasikan sebagai berikut.
(1) Variabel : Pesan komunikasi yang menimbulkan kebutuhan, dioperasional kan
dalam bentuk ”rasa keingin tahuan responden terhadap program diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana” yang diwujudkan dalam pengetahuan,
respon positif (tingkat kebutuhan), dan arti pentingnya program diseminasi
informasi pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan
bencana.
(2) Variabel : Daya tarik pesan komunikasi, dioperasionalkan dalam bentuk
pemahaman, penggunaan sebagai pedoman dan penerapan tentang
diseminasi informasi pengurangan resiko bencana bagi masayarakat yang
tinggal di daerah rawan bencana.
(3) Variabel : Simbol-simbol pesan komunikasi yang dipahami, dioperasional kan
dalam bentuk pemahaman masyarakat terhadap makna bahasa, istilah, kode,
sandi-sandi, pertanda, yang mengandung informasi tentang diseminasi
pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana.
Kebiasaan masyarakat membaca tanda tanda alam, dan tindakan
penyelamatan diri jika terjadi bencana alam.
(4) Variabel : Cara memperoleh pesan komunikasi, dioperasionalkan dalam bentuk
pemilihan sumber informasi (media) yang digunakan untuk memperoleh
informasi tentang pengurangan resiko bencana bagi responden yang tinggal di
daerah rawan bencana, skaligus alasan mengapa responden memilih sumber
informasi (media) yang bersangkutan.
28. 19
(5) Variabel: Efektivitas diseminasi informasi pengurangan resiko bencana
dioperasionalkan dalam bentuk pengukuran dari hasil rangkaian proses
penjabaran variabel 1, variabel 2, variabel 3 dan variabel 4. di kaitkan dengan
sasaran yang hendak dicapai dari program diseminasi pengurangan resiko
bencana ini.
Informasi ”pengurangan resiko bencana” adalah semua informasi yang berisi
makna pengetahuan yang bertautan dengan persoalan untuk menghindari resiko
terkecil yang diakibatkan oleh bencana alam. Informasi pengurangan resiko bencana
ini tidak terbatas pada ”diseminasi, sosialisasi atau penyuluhan” yang disampaikan
secara formal melalui media interpersonal (rapat, seminar, loka karya, diskusi,
saresehan, temu warga dan sejenisnya). Tetapi juga yang di sampaikan melalui
media (radio, televisi, media cetak, internet, media tradisional). Semua variabel yang
sudah diturunkan menjadi indikator-indikator untuk penyusunan kuesioner
berstruktur sebagai instrumen pengumpulan data kuantitatif dari responden terpilih di
lokasi penelitian.
1.7 Metode Penelitian
Data penelitian survey ini di kumpulkan melalui 3 (tiga ) cara (trianggulasi)
yakni, data primer di kumpulkan melalui observasi, wawancara mendalam/FGD dan
penyebaran kuesioner. Metode trianggulasi dipilih karena masalah yang diteliti
bersifat komplek, serta mengandung katagori khusus baik dilihat dari data kuantitatif
dan kualitatif hasil pendalamanya (Patton,2002:555). Data sekunder di kumpulkan
melalui studi pustaka, dokumen, kliping surat kabar/majalah, internet dan lainnya
yang sesuai dengan kebutuhan penelitian. Pengumpulan data dengan observasi
adalah untuk memotret seting sosial masyarakat di-lokasi penelitian. Sedangkan
Fucus Group Discussion (FGD) dan wawancara mendalam untuk menggali
permasalahan dan mendalami materi penelitian yang tidak bisa dijaring secara
kuantitatif. Kuesioner untuk menjaring data kuantitatif berupa pendapat, aspirasi dan
sikap responden terhadap obyek penelitian. Hasil pengumpulan data observasi di
lokasi penelitian berupa laporan deskripsi kuantitatif atau kualitatif tentang (kondisi,
struktur, potensi, budaya lokal, dan pola komunikasi yang terkait dengan tujuan
penelitian) sebelum dan sesudah dilakukan diseminasi informasi pengurangan
resiko bencana di daerah rawan bencana. Hasil wawancara mendalam dan Focus
29. 20
Group Discussion (FGD) berupa laporan deskriptif kualitatif tentang (pendapat,
pengalaman, pengetahuan, penerapan pola komunikasi, kritik, usulan, harapan dan
lainnya) dari tokoh formal dan atau non formal yang berpengaruh di lokasi penelitian.
Tokoh formal yang berpengaruh bisa pejabat pemerintah setempat (di
Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan). Sedangkan tokoh informal adalah
pembentuk opini (opinion leader), bisa tokoh masyarakat setempat yang paling
berpengaruh (di Kabupaten/Kota, Kecamatan, Kelurahan). Hasil pengumpulan data
melalui penyebaran kuesioner berupa, ”isian lengkap” dari daftar pertanyaan
terstruktur yang diedarkan (diwawancarakan) kepada responden terpilih di lokasi
penelitian. Sedangkan data studi pustaka berupa telaah terhadap buku-buku
literatur, dokumen, artikel, kliping, browsing internet, dan tulisan lain yang bisa
dikatagorikan sebagai data pendukung terkait dengan tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian.
Populasi dan Sampling Penelitian
Dengan pertimbangan keterbatasan tenaga, waktu, dan finansial sampel
wilayah ditetapkan secara purposive 10 (sepuluh) lokasi wilayah penelitian. Adapun
kota provinsi yang dipilih adalah: Banda Aceh, Padang, Bengkulu, Jakarta, Bandung,
Yogyakarta, Denpasar, Mataram, Gorontalo, dan Manado. Jumlah responden secara
keseluruan sebanyak 700 orang yang tersebar di 10 wilayah provinsi terpilih. Dari
kota provinsi tersebut kemudian diturunkan pada wilayah (kabupaten/kota,
kecamatan, desa/kelurahan yang menjadi sasaran penelitian masing-masing, satu
lokasi). Wilayah yang bersangkutan adalah daerah/lokasi rawan bencana alam atas
(gelombang laut, gunung berapi, banjir bandang, tanah longsor, gempa tektonik,
kebakaran hutan) dan pernah dilakukan “program diseminasi informasi
pengurangan resiko bencana” oleh unsur pemerintah atau lembaga lain yang
berkompeten.
Populasi penelitian ini adalah seluruh komunitas masyarakat yang tinggal disepuluh
lokasi penelitian Kabupaten dan Kota, yang kemudian diturunkan pada tingkat
Kecamatan dan Desa terpilih (lokasi terpilih dalam penelitian adalah ”kelurahan/desa
rawan bencana”. Sedangkan untuk menentukan sampling responden terpilih
digunakan “teknik purposive sampling”, yakni dengan menentukan wilayah sampling
terlebih dahulu, kemudian menentukan responden terpilih yang disesuaikan dengan
30. 21
kebutuhan penelitian. Responden yang dipilih adalah orang yang ”dianggap memiliki
pengetahuan” terhadap masalah penanggulangan kebencanaan diwilayahnya.
Pemilihan secara purposive dilakukan untuk menentukan lokasi penelitian dan
responden, karena penelitian ini mempunyai spesifikasi yang bersifaf khusus, yakni
”masyarakat daerah rawan bencana”. Kekhususan tersebut diasumsikan tidak
dimiliki oleh daerah lainnya yang berada diluar yang terpilih sebagai lokasi
penelitian. Sedangkan responden untuk masing masing wilayah lokasi penelitian di
tentukan sebanyak 70 orang responden, (dibagi secara merata dari populasi karena
kekhususan tersebut). Data kuantitatif yang sudah terkumpul dari isian kuesioner
dilakukan koding dan editing data untuk kemudian ditabulasi. Data berupa hasil
penelitian yang sudah tertabulasi itu kemudian dianalisis sesuai dengan
permasalahan dan kerangka konsep yang digunakan. Analisis data penelitian ini
hanya sebatas menggambarkan suatu gejala atau fenomena sosial yang sedang
terjadi, ketika data penelitian lapangan selesai dilakukan editing, dan klasifikasi.
Sedangkan analisis data kualitatif hanya berfungsi sebagai alat pendukung untuk
menjelaskan secara substansial segala permasalahan atau temuan yang tidak bisa
dijelaskan secara kuantitatif. Laporan hasil penelitian yang berupa draf laporan
sementara diseminarkan untuk mencari masukan, dan pengkayaan pengetahuan
yang terkait dengan substansi penelitian. Masukan dari hasil seminar yang secara
substansial signifikan dengan konsep penelitian yang telah ditentukan digunakan
sebagai bahan revisi draf penelitian.
31. 22
2.
BAB II
GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN,
JENIS BENCANA ALAM, DAN LOKASI PENELITIAN
Dilihat dari sudut pandang meningkatnya bencana alam yang terjadi di
Indonesia dalam lima tahun terakhir ini, pemerintah (negara) dirasa perlu melakukan
tindakan atau kebijakan pengurangan resiko bencana. Anderson (1984:5) melihat
kebijakan negara yang harus dilakukan adalah, ”apa yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan atau tidak dilakukan”. Karena kebijakan negara tersebut merupakan
tindakan politis mengenai kehendak, tujuan, sasaran serta alasan bagi perlunya
pencapaian tujuan. Misalnya dalam hal bencana alam berupa gempa bumi di
Yogyakarta dan Jawa Tengah (2006), Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan,
Kepres No: 09/2006 tentang Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah
Pascabencana Gempa Bumi di DIY, dan Jateng. Pada dasarnya tujuan dan
kehendak pemerintah untuk melakukan kebijakan tersebut adalah untuk
mengantisipasi, menangani korban dan membangun kembali kondisi wilayah pasca
bencana di kedua Provinsi tersebut. Kondisi seperti itulah yang di-istilahkan oleh
Anderson(1984: 5) sebagai ”langkah yang dipilih pemerintah untuk menangani
kondisi pasca bencana. Sedangkan Bromley (1989) dalam Sri Mulatsih (2007:59)3
menyatakan bahwa kebijakan itu bagaikan suatu herarki yang terdiri atas tiga
tingkatan atau level. Level tersebut adalah, (1) policy level, (2) organizational level,
(3) operational level. Hasil kajian Sri Mulatsih, untuk penyusunan kebijakan menurut
herarki pada policy level diwakili oleh lembaga eksekutif. Maka dari itu pada tataran
eksekutif dikeluarkan kebijakan berupa Kepres No: 09/2006 tentang Tim Koordinasi
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pascabencana dikedua Provinsi DIY dan
Jateng tahun 2006. Kebijakan serupa baik yang bersifat formal maupun non formal,
baik dalam wilayah yang pernah mengalami bancana maupun daerah rawan
bencana perlu disosialisasikan dan mendapat perhatian secara khusus sebelum
bencana yang lebih bsar lagi datang. Kewaspadaan masyarakat terhadap
3
Artikel Sri Mulatsih,Peneliti LIPI, dengan judul : Kajian Kebijakan Pemerintah Pasca Bencana
Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Masyarakat Indonesia,Majalah Ilmu Ilmu
Sosial Indonesia, Jilid 33,Vol2 2007 , Penerbit Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, halaman 56
32. 23
kemungkinan terjadinya bancana alam perlu ditumbuh kembangkan.Tindakan
pencegahan akan lebih baik daripada menjadi korban ketika bencana itu telah
terjadi. Pada umumnya pemerintah dan masyarakat akan bereaksi ketika bencana
itu sudah terjadi. Baru sebagian kecil bagaimana memiliki pengetahuan tentang
sistem penyelamatan diri ketika bencana terjadi. Dari berbagai observasi yang
penulis lakukan di daerah rawan bencana tersebut, masih relatif kecil masyarakat
yang mau belajar tentang sistem penyalamatan diri dari bencana. Sebagian besar
mereka masih menggantungkan pada petugas, atau pemerintah jika seandainya
terjadi bencana alam apapun bentuknya.
Tentu kondisi tersebut sangat memprihatin kan, karena sebagian besar
masyarakat Indonesia tinggal dikawasan rawan bencana alam. Dalam kurun waktu
kurang lebih 10 tahun Indonesia dilanda berbagai bentuk bencana alam. Bencana
alam itu sendiri akhirnya menjadi bencana sosial yang berdampak luas terhadap
kehidupan masyarakat, khususnya bagi mereka yang tinggal didaerah rawan
bencana. Bencana alam dalam kurun 10 tahun terakhir di Indonesia tersebut,
”diawali bencana badai El-Nino tahun 1997, banjir bandang diberbagai daerah tahun
2001, banjir ditengah kekeringan (La-Nina) tahun 2002 -2003, tsunami Aceh tahun
2004, gempa Nias, tahun 2005, gempa Jogyakarta tahun 2006, gempa bengkulu
tahun 2007, gempa Sumatra Barat tahun 2007, gempa NTB tahun 2007, banjir
Jakarta tahun 2007”4
Berbagai peristiwa bencana alam tersebut telah menelan
korban yang tidak sedikit. Korban terbanyak diantaranya masyarakat kurang mampu
yang tinggal dikawasan rawan bencana. Bencana alam yang tidak mengenal waktu
dan tidak bisa diprediksi oleh ilmuwan itu lebih disebabkan akibat pemanasan global.
Pertemuan Internasional di Bali,3 Desember 2007 dengan tajuk,: The International
Panel on Climate Change (IPCC) memberikan rekomendasi bahwa ”kaum buruh
tani, masyarakat adat sekitar hutan dan penduduk dipesisir pantai merupakan
golongan yang paling rentan atas dampak perubahan iklim tersebut”5
4
Lihat artikel Erniati.B.Djohan, Peneliti LIPI, dalam pengantar Mengapa Kajian Bencana,Bentuk
bencana alam ini bermacam macam,gelombang air pasang, gempa bumi, gunung meletus, badai,
kekeringan, kebakaran hutan, kebocoran sumber daya alam seperti gas bumi, dimuat dalam
Masyarakat Indonesia, Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia, Penerbit LIPI Jilid 33, Vol.2 tahun 2007
halaman 1
5
Laporan selanjutnya lebih lengkap dapat dibaca di Harian Kompas Edisi penerbitan tanggal 03
Desember 2007. Bencana alam tersebut telah memicu bencana sosial dengan tumbuhnya angka
33. 24
Antara bencana alam dan bencana sosial keduanya memperlihatkan baik
secara langsung maupun tidak langsung saling kait mengkait. Misalkan eksploitasi
alam yang dilakukan manusia secara berlebihan tanpa kendali akan berdampak
terhadap terjadinya banjir bandang dan tanah longsor diberbagai daerah rawan
bencana. Pada sisi yang lain, peristiwa bencana alam disamping berdampak negatif
terhadap kehidupan manusia dan lingkungan, juga berdampak positif untuk
kelangsungan hidup masyarakat tempat terjadinya bencana alam. Letusan gunung
berapi selain berdampak, mematikan manusia, hewan, tanaman, menimbulkan
banjir lava, juga bermanfaat bagi kesuburan tanah, sumberdaya energi dan air
panas (belerang) yang digunakan untuk pengobatan, dan pembentukan air hujan
disekitarnya (Soemarwoto,1989:69). Peristiwa terjadinya bencana alam tersebut
seringkali dianggap sebagai kesalahan dan tanggung jawab pihak pemerintah, baik
ditingkat pusat maupun lokal. Pandangan itu tentu tidak salah, karena Negara
mempunyai tanggung jawab untuk melindungi dan memberikan layanan umum
kepada semua warga masyarakat.6
Persoalan mendasar seperti yang dievaluasi
dalam penelitian ini, adalah capaian diseminasi informasi pengurangan resiko
bencana di daerah rawan bencana. Diseminasi informasi tentang pengurangan
resiko bencana itu dikatakan berhasil jika mampu mengubah sikap dan perilaku
(pola pikir) masyarakat untuk sadar akan resiko bencana alam. Sadar akan bencana
dapat dimaknai mereka memiliki pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana
jika terjadi bencana. Yang kemudian pengetahuan itu mereka implementasikan
bersama warga masyarakat lain untuk mengurangi resiko bencana di daerah rawan
bencana. Hasil observasi di 10 lokasi penelitian memberikan gambaran bahwa
kesadaran masyarakat di daerah rawan bencana, terhadap pengurangan resiko
bencana masih tampak beragam. Keragaman itu lebih dipengaruhi oleh kondisi
kemiskinan dan pengangguran yang tidak terkendali, karena kasus PHK di berbagai perusahaan
besar menengah dan kecil.Dengan alasan mengalami kerugian dan kebangkrutan PHK masal terjadi
dimana mana.
6
Lihat dan perhatikan bunyi ayat (3) pasal 34, Undang Undang Dasar Negara 1945, dimana : Negara
bertanggung jawab atas penyadiaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak.Dengan demikian maka korban bencana alam, dan pencegahan dini berupa pemberian
penyuluhan terhadap pengurangan resiko bencana bagi masyarakat di daerah rawan bencana
menjadi tanggung jawab pihak Negara dalam hal ini pemerintah baik di pusat maupun pemerintah
lokal.
34. 25
sosial dan budaya lokal maupun jenis bencana alam di masing masing lokasi
penelitian.
2.1 Ragam dan Jenis Bencana Alam
*Bencana Gelombang Tsunami : Istilah yang di import dari negeri Sakura itu
mempunyai makna”gelombang pelabuhan”.Dalam kamus bahasa Indonesia,tsunami
adalah sebuah rangkaian gelombang yang terjadi dikawasan pesisir
pantai.Gelombang air laut yang datangnya secara ”silih berganti” itu semakin
membesar, sehingga bisa mencapai kecepatan sekitar 800 Km/jam (Data BMKG,
2005). Gelombang tsunami biasanya diawali oleh gempa tektonik berskala besar
yang terletak di bawah laut. Jenis gempa tektonik didasar laut yang diikuti
gelombang tsunami ini sangat membahayakan pemukiman yang berada dikawasan
pesisir pantai. Dari pengakuan dan pengalaman beberapa responden jika ada
gempa, dan ditandai dengan turunnya air laut di pantai secara tiba-tiba, menurut
mereka itu merupakan suatu gejala,”gelombang tsunami akan datang menyapu
pesisir kawasan tersebut. Pertanda lain akan datangnya gelombang tsunami jika
pasca gempa muncul buih buih air laut secara mendadak, di ikuti dengan hempasan
angin yang cukup kencang kearah pantai secara tiba tiba, juga dianggap sebagai
pertanda akan munculnya tsunami (Arie Priambodo,2009:52).
Gejala gelombang tsunami yang paling gampang dideteksi jika ada suara
gemuruh, yang diikuti warna air laut yang semakin gelap dan keruh, hal itu
merupakan pertanda gelombang tsunami dahsyat akan terjadi. Dengan melihat
gejala alam tersebut masyarakat sudah bersikap waspada, dan menjaga segala
kemungkinan yang bisa terjadi di wilayahnya. Berbagai gejala alam akan terjadinya
gelombang pasang (tsunami) tersebut sudah dipahami oleh sebagian besar
komunitas masyarakat yang tinggal di daerah pesisir pantai yang juga termasuk
rawan bencana. Mereka mempunyai pengetahuan tentang bahaya gelombang
pasang seperti itu dengan kebiasaan. Artinya mereka menandai akan terjadinya
gelombang pasang dengan membaca tanda tanda alam disekitar mereka.
Gelombang tsunami biasanya berkecepatan tinggi dan berlangsung sekitar 10 menit.
Misalnya gelombang tsunasi yang memporak porandakan kawasan pesisir Aceh
(NAD) 26/12/2004 telah menelan korban lebih dari 150.000 jiwa, dan merusak
35. 26
hampir 90% sarana dan prasarana yang ada kawasan pantai pesisir Aceh
(Kompas,27/12/2004).
Sementara di wilayah Kabupaten Padang Pariaman merupakan zone gempa,
menurut Setiadi (1962)7
dari daerah Sungai Limau hingga Tiku utara perbatasan
dengan Sungai Geringging dan pesisir barat merupakan daerah rawan gempa.
Namun demikian realitasnya sebagian besar kawasan pantai masih dijadikan tempat
pemukiman. Mereka yang bermukim di kawasan pesisir itu pada umumnya
masyarakat nelayan, atau mereka yang mata pencahariannya berkaitan dengan laut.
Komunitas mereka itu dikenal dengan masyarakat pesisir yang mata
pencahariannya sebagai nelayan (masyarakat nelayan). Bagi masyarakat nelayan
yang bermukim di kawasan pantai perasaan takut itu hanya terjadi sesaat. Mereka
takut melaut ketika baru saja terjadi bencana alam. Untuk selanjutnya mereka akan
melaut lagi, karena terkait dengan tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga. Agak sulit
mereka mengalihkan pekerjaannya dengan pekerjaan lain yang resikonya lebih
kecil.Jika resikonya kecil kata mereka hasilnya juga kecil, begitu sebaliknya. Mereka
itu dari satu generasi ke generasi nelayan, yang bermukim di pesisir pantai. Bahaya
gelombang tsunami yang di bayangkan oleh orang lain paling menakutkan itu, bagi
mereka merupakan suatu hal yang lumrah atau biasa. Bahkan mereka berasumsi
jika ada korban bencana alam tersapu gelombang merupakan resiko bagi seorang
nelayan. Resiko itu mereka terima dengan ketabahan demi untuk mempertahankan
nasib keluargany (Kompas, 29/12/2004). Masyarakat pantai umumnya melaut atau
menangkap ikan dengan peralatan konvensional. Mereka menggunakan jenis
perahu tongkang dari kayu dengan bekal secukupnya untuk persediaan di tengah
laut.Ada diantara nelayan yang membawa bekal makanan dan minuman yang di
sediakan dari rumah mereka.Tetapi sebagian diantara mereka ada yang membawa
alat masak,di gunakan di tengah laut sewaktu di perlukan. Nelayan tradisional itu
mempunyai banyak pengetahuan tentang kelautan dan masalah perikanan.Mereka
bisa membaca tanda tanda dimana ikan ikan itu sedang berada. Mereka juga tidak
meresa kebingungan untuk menentukan arah ketika malam hari. Mereka tidak
7
Menerut Setiadi (1962) jika dilihat dari peta zone gempa di Indonesia daerah tersebut merupakan
zone gempa dengan sklala intensitas menempati zone VII dan VIII dengan episentrum yang
relative dangkal.Meski sampai sekarang masih belum pernah menimbulkan kerusakan yang
parah.http//www.padangpariamankab.go.id/cetak 1.php? cid=55 diakses 19/5/2009.
36. 27
membawa kompas, tetapi membaca bintang di langit untuk menentukan arah,
kemana perahu mereka harus dikemudikan untuk pulang. Ketika pagi hari sampai di
daratan keluarga mereka sudah menyambutnya, untuk membersihkan ikan ikan
untuk kemudian menjualnya.
Hasilnyapun tidak menentu, kalau lagi baik dapat untung, tetapi kalau lagi sial
hasil penjualan ikan tidak bisa untuk menutup pembelian bahan bakar. Apalagi jika
harga bahan bakar solar naik seperti tahun kemarin, nelayan banyak yang tidak
melaut. Setting sosial ini merepresentasikan kehidupan sebagian besar masyarakat
yang bermukim dikawasan pesisir pantai yang masuk dalam katagori rawan
bencana tsunami. Kehidupan mereka senantiasa berhadapan dengan maut, jika
gelombang tsunami sudah tidak ramah lagi dengan perkampungan mereka. Tetapi
sebenarnya resiko ditengah laut akan lebih besar dibandingkan dengan di pesisir
pantai. Kawasan pantai yang dikatagorikan rawan gempa tsunami diantaranya :
pesisir pantai barat Sumatra, pantai selatan Jawa, Bali, Lombok, Maluku dan Papua.
Atas resiko seperti itu pemerintah menggulirkan kebijakan berupa diseminasi,
(sosialisasi, penyuluhan) tentang tata cara bagaimana pengurangan resiko bencana
di daerah rawan bencana. Program itu berupa tutorial yang sasarannya adalah
komunitas masyarakat yang bermukim di daerah rawan bencana, termasuk kawasan
pantai. Materi yang disosialisasikan berupa, bagaimana warga masyarakat harus
bersikap/ bertindak, sebelum, saat dan pasca tsunami di wilayahnya. Misalnya di
Bali tanggal 26 Desember 2006, dijadikan tempat pelaksanaan latihan
penanggulangan bencana tsunami nasional. Simulasi penanggulangan bencana
tsunami tersebut dilakukan di kawasan pantai ”Kuta” 8
Di daerah lain Pemerintah
Provinsi Sulawesi Utara,disamping menyusun peta bencana alam aparatur juga di
bekali manajemen kebencanaan dengan menggelar bimbingan teknis9
.
8
Latihan simulasi penanggulangan bencana tsunami secara nasional itu di laksanakan di pantai Kuta,
Bali pada tanggal 26 Desember 2006, yang di saksikan Diputi Menteri Riset dan Teknologi DR.Ikwan
Sukardi, bersama ahli gempa tsunami Prof.DR.Gede Wdiyatnyana, beserta Gubernur dan
Bupati/Walikota se Bali (Bali Post, edisi 27/6/2006).
9
Pemprov Sulut telah mengambil langkah antisipasif sebelum terjadi bencana alam termasuk gempa
tsunami, dengan menggelar bimbingan teknis manajemen peta rawan bencana (Suara Manado. 24
Juli 2006)
37. 28
Secara umum pihak pemerintah juga telah mengeluarkan himbauan melalui
Depkominfo bersama media massa. Sebelum Tsunami masyarakat di kawasan
rawan bencana di anjurkan untuk menghindari tinggal di kawasan pesisir pantai
yang landai kurang dari 10 meter dari permukaan laut. Karena kreteria tersebut
merupakan kawasan sangat berbahaya jika terjadi gelombang tsunami. Mereka di
himbau untuk mengenali lokasi yang dapat digunakan untuk menyelamatkan diri dari
terjangan gelombang tsunami (pohon, bukit, bangunan tinggi, dan lain-lain).
Membuat rute jalan untuk rencana evakuasi warga serta lokasi tempat pengungsian
yang aman. Melakukan reboisasi penanaman pohon pantai untuk menghadang
gelombang laut. Mematuhi tata guna lahan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
setempat. Merancang bangunan bertingkat dengan ruang yang dianggap aman
dibagian atas, dan dinding rumah di usahakan tidak sejajar dengan garis pantai
(BIP,2008:22). Sosialisasi tata cara pengurangan resiko bencana disalurkan melalui
berbagai jenis media massa (televisi, radio, media cetak, internet, media tradisional
dan media interpersonal).
Pada Saat terjadi Tsunami, jika sedang berada dikawasan pantai segera
panjat pohon, bangunan yang posisinya tinggi dan paling dekat dengan anda
berada. Jika sedang berlari kejaran gelombang tsunami hanya kurang dari 20 menit.
Kalau berpegangan pohon saat ada gelombang tsunami, disarankan tidak
membelakangi arah laut, agar terhindar dari benturan benda keras yang dibawa
gelombang laut. Ketika sedang berada diatas kapal di tengah laut, segera pacu
kapal atau perahu menuju laut yang lebih dalam. Selamatkan diri anda, bukan
barang bawaan anda. Jika terseret gelombang tsunami carilah benda apung yang
sekiranya dapat digunakan sebagai rakit. Selamatkan diri melalui jalur evakuasi
yang sudah ditentukan bersama dan aman. Dan tetaplah bertahan ditempat yang
lokasinya lebih tinggi dari permukaan laut, sampai situasi di nyatakan aman. Setelah
tsunami tindakan yang disarankan : hindari instalasi listrik bertegangan tinggi, dan
jika menemukan kerusakan instalasi yang bersangkutan segera laporkan pada pihak
PLN terdekat. Hindari memasuki daerah kerusakan, kecuali sudah di nyatakan aman
dan jauhi dari bekas reruntuhan gedung atau bangunan lain yang membahayakan.
Berbagai cara pemahaman terhadap pengurangan resiko bencana
gelombang tsunami sudah sering di lakukan simulasi oleh petugas keamanan
terpadu di kawasan pantai. Kegiatan ini untuk melakukan uji petik terhadap kesiapan
38. 29
warga masyarakat jika sewaktu waktu terjadi bencana gelombang tsunami yang
sesungguhnya. Uji petik semacam ini untuk menevaluasi persiapan fisik, mental dan
kecepatan dalam mengambil keputusan bagi warga masyarakat yang tinggal di
daerah rawan bencana.Sementara kegiatan lain yang dianjurkan diantaranya
”membentuk kelompok masyarakat siaga tsunami” dan mengadakan pertemuan
rutin sesama anggota. Pertemuan dimaksud untuk mendiskusikan persoalan penting
yang terkait dengan tsunami. Misalnya tata cara evakuasi dan mengenal telepon
penting yang harus dihubungi jika terjadi bencana. Mengembangkan sistem
peringatan dini diwilayah masing masing (radio panggil, kentongan, pengeras suara)
guna memberikan peringatan dini sewaktu ada bencana gelombang tsunami.
Pengelolaan manajemen kebencanaan memang memerlukan kecermatan, dan
ketelitian bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Karena mengorganisir orang
saat terjadi bencana adalah mengelola orang panik, dan bisa jadi kehilangan
kesadarannya. Maka dari itu persiapan sedini mungkin menjadi taruannya apakah
misi tersebut berhasil atau justru sebaliknya. Keberhasilan suatu daerah mengelola
manajemen bancana alam sangat tergantung dari kebijakan daerah yang di motori
oleh pimpinan daerahnya. Semua itu tidak lepas dari sejauhmana pengelolaan
manajemen kebencanaan mendapatkan perhatian secara spesifik dari pemerintah di
daerah, dan apresiasi masyarakatnya.
*Bencana Gempa Bumi : Bencana alam berupa gempa bumi, bisa
disebabkan letupan volkanik gunung berapi, atau gempa tektonik akibat pergeseran
patahan lapisan batuan yang terkandung dalam perut bumi. Gempa bumi lazimnya
tidak terjadi hanya sekali, tetapi diawali dari gempa awal (kecil) yang kemudian
disusul dengan gempa lanjutan yang lebih dahsyat. Dalam gempa susulan ini
biasanya terjadi kerusakan dimuka bumi, jika kekuatannya diatas 6 sklala Richter. Di
Indonesia di samping gempa tektonik, juga rawan terhadap gempa volkanik, yang
disebabkan meletusnya gunung berapi. Wilayah Indonesia oleh Andersen (1990:3)
dimasukkan dalam katagori lingkaran Cincin Api Dunia10
. Dimana wilayah rawan
gempa itu berada di sepanjang Himalaya, Sumatra, Jawa, Mediterania dan Atlantik.
10
Lihat Artikel Andersen (1990) Crystallink.com, bahwa 90 % gempa bumi di dunia terjadi di wilayah
cicin api dunia, dan 80 % dari gempa termasuk gempa berkekuatan besar.Cincin Api Dunia yang
dimaksud Andersen tersebut termasuk melingkari wilayah kepulauan di
39. 30
Banyaknya gunung berapi yang masih aktif (Krakatau,Merapi, Kelud, Semeru
di Jawa, G.Agung di Bali, G.Tambora di Sulawesi) masih menjadi ancaman bencana
bagi masyarakat yang berdomisili di kawasan pegunungan tersebut. Letusan
Gunung Krakatau (1883) tercatat dalam The Guiness Book of Records sebagai
ledakan terhebat yang pernah terekam sejarah dan saat terjadinya ledakan itu
disebut sebagai” ketika dunia meledak” (Haris Firdaus,2008:6) Demikian juga gempa
tektonik tidak kalah dahsyatnya menjadi ancaman masyarakat. Jika gempa volkanik
mudah dipetakan karena disebabkan meletusnya gunung berapi, gempa tektonik
sebaliknya. Gempa tektonik sulit diprediksikan, karena pergeseran atau patahan
kerak bumi itu kedalamannya dan lokasinya tidak menentu. Dampak akibat gempa
bumi tektonik biasanya korban tertimpa reruntuhan bangunan rumah, gedung,
jembatan atau pepohonan yang tumbang. Bahaya paling mengancam kehidupan
umat manusia jika pada saat yang sama aliran listri masih aktif. Akibat yang di derita
oleh masyarakat banyak tanah longsor, retak, bangunan runtuh, jembatan putus dan
sejenisnya. Misalnya gempa bumi tektonikdi patahan Opak terjadi di Yogyakarta, 27
Mei 2006,pukul 05,58 dengan korban sekitar 5.400.orang meninggal dunia, di
kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah. Korban manusia meninggal terbanyak
akibat tertimpa bangunan rumah atau gedung. Mereka panik dan kehilangan akal
kemana harus menyelamatkan diri. Kondisi masyrakat seperti itu karena tidak
memiliki pengetahuan tentang bagaimana mnyelamatkan diri jika terjadi bencana
gempa bumi. Terjadi paradok di masyarakat, menyelamatkan harta atau nyawa.Jika
mereka harus menyelamatkan nyawa, hartanya tidak terjaga. Tetapi sebaliknya jika
mempertahankan harta nyawanya kemungkinan tidak terselamatkan. Pilihan itu
menjadikan beban bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah rawan
bencana gempa bumi.
Pada hal dalam berbagai pelatihan dan simulasi telah di sosialisasikan bahwa
penyelematan nyawa menjadi preoritas utama. Menenamkan kesadaran pada
masyarakat di daerah rawan bencana berarti mengubah budaya masyarakat yang
bersangkutan. Mereka akan mengikuti perubahan itu jika budaya baru itu mampu
memberikan keyakinan pada mereka. Tetapi keyakinan saja tentu tidak cukup jika
tidak bisa memberikan jaminan kepada mereka. Itulah sebabnya evakuasi
Indonesia.http://io.ppi.jepang.org Email :redaksi @ io. Ppi.jepang. org/cetak.php?id=205, diakses
19/5/2009.
40. 31
pengungsian bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana kadang kala
mengalami hambatan, meski bencana mengancam kehidupan mereka. Lantas apa
yang harus di lakukan untuk mengantisipasi atau penanggulangan bencana alam.
Ada tindakan dini yang harus di sosialisasikan kepada mereka yang tinggal di
daerah rawan bencana. Sosialisasi itu terkait dengan suatu langkah sebelum, ketika
dan sesudah bencana gempa bumi terjadi.
Sebelum Gempa Bumi:Terdapat beberapa informasi yang selalu
disosialisasikan kepada masyarakat yang tinggal di kawasan rawan gempa oleh
pemerintah. Mereka dianjurkan : (1) Untuk mengenali lingkungan, diantaranya
menen tukan tempat aman untuk berlindung. Melakukan praktik pertolongan
kecelakaan, penggunaan peralatan penyelamatan kecelakaan, mencatat nomor
penting yang harus dihubungi ketika terjadi bencana gempa bumi dan lainnya. (2)
Membentuk forum diskusi antar warga untuk sosialisasi pengetahuan tata cara
penyelamatan diri jika terjadi bencana gempa bumi. (3) Dianjurkan menyiapkan
ruangan yang aman untuk berlindung keluarga di dalam rumah jika sewaktu waktu
terjadi gempa bumi. (4) Menjauhkan barang-barang yang mudah terbakar,
mematikan saluran gas, air, listrik jika memang tidak digunakan dan lainnya.
Saat terjadi Gempa : (1) Perhatikan perilaku binatang piaraan anda, atau
suara burung di malam hari yang tidak lazim sebagai pertanda bencana alam. (2)
Perhatikan goyangan air di gekas atau tempat penampungan air. (3) Jangan berlari
keluar rumah saat bangunan rumah sedang digoyang gempa. (4) Mencari tempat
aman yang jauh dari dinding, lemari, listrik dan benda berat lain yang kemungkinan
bisa menimpa. (5) Jika sedang berada dalam gedung tinggi, jauhi penggunaan lift,
elevator, dan tembok yang sekiranya membahayakan. (6) Jika berada diluar
ruangan carilah tempat tanah lapang yang tidak ada bangunan dan pohon. (7) Jika
berada dalam kendaraan gunakan sabuk pengaman dan pastikan tidak berhenti di
bawah jembatan atau dibawah pohon. Setelah Gempa : (1) Rawat luka diri sendiri,
dan tolong orang lain, dahulukan orang tua, anak anak, ibu hamil, orang cacat dan
usia lanjut. (2) Membantu korban yang terjebak dalam reruntuhan bangunan. (3)
Hindari dari tempat yang mudah terbakar, dan sengatan listrik, gas dan lain-lain.
Pasca gempa masyarakat diharapkan harus selalu waspada terhadap gempa
susulan yang kemungkinan terjadi. Kewaspadaan bukan saja ditujukan untuk
41. 32
menyelamatkan diri, tetapi juga terhadap rehabilitasi pemukiman. Dalam konteks
rehabilitasi pemukiman, desain rumah di buat sedemikian rupa agar tahan gempa.
Mungkin saja bentuk bangunan terasa asing dan tidak lazim, tetapi hal tersebut
untuk jangka panjang dimungkinkan relatif aman. Kewaspadaan perizinan bangunan
seperti itu diwajibkan bagi daerah rawan gempa (misalnya di Kecamatan Pundong,
Kabupaten Bantul Yogyakarta) yang secara geografis berada pada patahan opak
sampai Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang
langkah dan tata cara pengurangan resiko bencana tersebut, warga masyarakat
yang tinggal di daerah rawan bencana sudah mempunyai kesiapan yang cukup.Bagi
mereka kesiapan itu sangat penting, karena menyangkut pengambilan keputusan
ketika bencana alam itu benar benar terjadi. Dalam suasana kepanikan biasanya
orang kehilangan kesadarannya untuk pengambilan keputusan penyelamatan diri
dari bencana. Lebih sulit lagi jika harus mengkoordinir sekelompok warga
masyarakat. Tetapi jika mereka telah memiliki pengetahuan atau pengalaman
tentang tata cara penyelematan diri dari resiko bencana kesulitan itu akan sedikit
teratasi. Apalagi bencana gempa bumi tektonik (patahan kerakbumi) gejalanya tidak
mudah terdeteksi. Kondisinya sangat berbeda dengan gempa bumi volkanik yang
disebabkan gunung berapi. Gejala gunung berapi lebih mudah terdeteksi, misalnya
munculnya suara gemuruh, timbulnya asap bercampur debu, naiknya suhu di sekitar
pegunungan, larinya binatang dan unggas dari habitatnya dan lainnya. Bagi
masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan tentang pengurangan resiko bencana
akan lebih mudah mengambil keputusan untuk menghindari bahaya. Sebaliknya
mereka yang masih belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman banyak hal
pertimbangan untuk melakukan penyelamatan diri dari bahaya. Pengetahuan itu
tidak harus datang dari pihak pemerintan atau lembaga lain yang berkompeten.
Pengetahuan itu bisa tumbuh dari kesadaran lokal, atau tradisi budaya yang telah
mereka kembangkan di masing masing daerah. Meski mungkin yang mereka
lakukan lebih berorientasi pada mithos, dan kepercayaan yang bersifat
tradisional.Apapun namanya mereka telah berusaha untuk mempelajari gejala alam
dan cara menghindar dari bencana alam yang mungkin terjadi sewaktu waktu di
daerahnya.
*Bencana Banjir : Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan bagian
yang amat penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS itu sendiri.
42. 33
Aktivitas DAS yang menyebabkan perubahan tata ruang misalnya, perubahan tata
lahan, di daerah hulu yang akan berdampak pada daerah hilir. Jika terjadi ketidak
seimbangan akan terjadi erosi dan banjir (Suripin,2004: 183). Meluapnya air sungai
yang menyebabkan banjir, biasanya di awali dengan hujan deras yang
menyebabkan erosi tanah di kawasan pegunungan yang terbawa sampai melebihi
kapasitas sehingga menyebabkan banjir bandang yang menerjang kawasan
pemukiman penduduk. Di kawasan perkotaan biasanya banjir disebabkan
pemeliharaan lingkungan yang kurang baik. Bencana banjir juga bisa di akibatnya
oleh naiknya air laut pasang, sehingga kawasan pemukiman di pesisir pantai
menjadi tergenang. Air laut bisa naik kedaratan akibat perubahan suhu udara, atau
pemanasan global yang menjadi issue lingkungan dewasa ini. Baik air bah maupun
bencana tanah longsor dan banjir bandang semuanya telah banyak membawa
korban manusia. Banyaknya korban itu salah satu diantaranya pengetahuan
masyarakat untuk menghindari bahaya banjir sejak dini dianggap sangat minim.
Misalnya warga masyarakat Jakarta yang tinggal di Kampung Melayu, Bukit Duri,
tepian sungai Ciliwung setiap musim hujan masyarakat selalu dihadapkan pada
masalah banjir rutin. Pada musim penghujan masalah banjir sudah mereka anggap
sebagai kegiatan yang bersifat rutin.Bahaya banjir bukan lagi mereka anggap
sebagai suatu hal yang paling menakutkan. Jauh hari sebelum bencana banjir
datang mereka telah mempersiapkan diri. Misalnya membangun rumah panggung
berlantai dua, atau menaikkan stop kontak aliran listrik agar tidak tergenang air,
menyiapkan rakit, tali tambang dan sejenisnya (Ahimsa,1985).
Kondisi yang hapir sama juga di alami oleh warga masyarakat yang tinggal di
sepanjang aliran sungai Bengawan Solo. Mulai dari Solo, Karanganyar, Sragen,
Ngawi, Bloro bagian Cepu, Bojonegoro, Tuban, Lamongan Jawa Timur. Dalam banjir
tahun 2008 yang lalu daerah tersebut termasuk yang terparah.Menurut Elfarid
pengelola Balai Sumber Daya Air dan Jasa Tirta banjir sungai Bangawan Solo, banjir
besar yang terjadi akhir tahun 2007 merupakan siklus tahunan11
. Bukan hanya itu
11
Elfarid : Siklus banjir besar di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo dapat di runut
kebelakang berdasarkan data curah hujan yang ada.Misalnya banjir besar seperti tahun 2007 juga
terjadi pada tahun 1965.Siklus banjir 40 tahunan itu dapat di prediksi berdasarkan data klimatologi
yang ada.Banjir itu juga disebabkan pengelolaan lingkungan yang kurang baik.Banyak lahan di tepian
Bangawan Solo yang sudah beralih fungsi.Pada hal dalam pendekatan DAS antara daerah hulu,
tengah dan hilir merupakan kesatuan ekologi.Sumber :http://elfarid.multiply.com/journal/item/404,
diakses 28/05/2009.
43. 34
tetapi masih banyak sungai di pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi kondisinya tidak
jauh berbeda. Fenomena ini memberikan gambaran jika manajemen daerah aliran
sungai (DAS) di Indonesia kurang baikpengelolaanya. Kondisi seperti itu
mengakibatkan bencana banjir setiap musim penghujan tidak dapat di hindari.
Penanggulangan banjir diperlukan kebijakan secara terpadu dan lintas sektoral,
dengan dukungan dana yang cukup memadai Itupun dirasakan belum cukup, peran
masyarakat dalam ikut memelihara kebersian lingkungan (dalam arti luas) yang
dianggap paling berpengaruh.Dari berbagai kajian penelitian ”bencana banjir
bandang” cenderung di sebabkan ulah manusia. Hal itu mengakibatkan timbulnya
ketidak seimbangan konservasi lingkungan. Meski banjir di katagorikan sebagai
bencana musiman secara rutin, tetapi tidak sedikit korban karena ketidak siapan
mereka. Bahkan bisa jadi mereka tidak memiliki pengetahuan tentang tata cara
pengurangan resiko bencana banjir tersebut. Misalnya sebelum banjir masyarakat di
sarankan : (1) Sejak dini masyarakat di kawasan rawan bencana banjir idealnya di
bekali pengetahuan atau tindakan pencegahan. (2) Menaikkan panel panel listrik
lebih tinggi dari jangkauan air di setiap rumah yang menjadi langganan banjir. (3)
Mengaktifkan gerakan pembuatan sumur sumur resapan di kawasan yang
bersangkutan. (4) Membentuk forum masyarakat peduli banjir. (5) Membangun
sistem peringatan dini bahaya banjir, baik secara tradisional, atau modern. Beberapa
pengetahuan semacam itu mereka anggap penting, karena untuk bekal persiapan
bagi mereka secara darurat. Meski banjir luapan sungai oleh sementara pihak di
anggap berbahaya, bagi mereka yang berdomisili di daerah tepian sungai atau
waduk menganggapnya sebagai kejadian biasa.
Banjir tampaknya sudah akrap dengan kehidupan mereka,sehari hari. Banjir
oleh mereka tidak perlu disikapi secara berlebihan (BPPI Jogja, 2008). Dari hasil
observasi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat yang berdomisili di
tepian bantaran sungai yang rawan banjir sudah mempersiapkan diri jika sewaktu
waktu terjadi banjir. Misalnya masyarakat tepian Bengawan Solo,sudah memahami
betul apa resiko yang mungkin terjadi terhadap musibah banjir bandang di
wilayahnya. Tidak semua resiko itu mereka pandang sebagai bencana yang
menakutkan atau membahayakan. Sebagian mereka mendapatkan hikmah dari
bencana banjir semacam itu. Mereka yang berprofesi mencari barang-barang bekas
ketika banjir bandang mengaku justru mendapatkan rezeki. Mereka bisa
44. 35
mendapatkan kayu, kaleng, bermacam macam plastik dan sejenisnya. Barang-
barang itu menjadi mata pencaharian mereka sehari hari. Maka terjadi paradok
dalam melihat banjir dalam perspektif masyarakat di tepian sungai Bengawan Solo,
dengan perspektif Pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Pihak pemerintah
selalu melihat bahwa ”banjir bandang pada masyarakat di tepian sungai merupakan
bahaya, yang bisa menimbulkan musibah besar. Maka mereka perlu mendapatkan
perlindungan, pertolongan dan sekaligus bantuan dan jika perlu di evakuasi untuk di
pindahkan ke pemukiman baru. Hal semacam itu menurut mereka memang sudah
menjadi kuwajiban pemerintah daerah terhadap warga masyarakatnya yang kena
misibah, mereka tidak akan menolaknya. Tetapi untuk mengalihkan budaya lokal
yang sudah menjiwai masyarakat yang tinggal di tepian sungai tidak semudah,
memindahkan bangunan fisik.
Bangunan sosial budaya terkait dengan lingkungan sosial yang sudah mereka
jadikan pola dasar kehidupan bertahun tahun selama ini. Ada keterikatan hubungan
sosial,budaya dan ekonomi yang tidak mudah mereka tinggalkan. Hubungan itu
telah mengakar di komunitas masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai.Kekerabatan yang mereka bangun masih menjadi pengikat jika mereka harus
di relokasi ke tempat yang lebih aman.Bagi mereka pemisahan kekerabatan adalah
bencana sosial yang tidak pernah terbayangkan. Jika mereka harus terpisah dengan
kekerabatan sosial dan budaya di tempat baru (relokasi) bangunan sosial itu akan
mereka mulai dari awal lagi.Meeka melihat bukan dari sisi pandang hukum
sebagaimana peraturan formal pemerintah. Dengan membayar iuran
warga,listrik,jasa keamanan menurut persepsi mereka sudah syah bertempat tinggal
di bantaran sungai tersebut. Tanpa melihat siapa yang salah dalam konteks
tersebut,permasalahan ”penghunian ilegal di bantaran sungai” telah menjadi
fenomena sosial di Indonesia yang masih belum mendapatkan solusi.Karena
pendekatan yang umumnya dilakukan adalah penggusuaran yang bernuansa
kekerasan, bukan pendekatan sosial budaya, sesuai dengan kultur mereka di
masing masing daerah.
45. 36
2.2 Lokasi Penelitian
*Topografi Lokasi Penelitian di Manado Sulawesi Utara12
: Kelurahan
Komo Luar Kecamatan Wenang Kabupaten Kota Manado,merupakan sebuah desa
yang terletak di sepanjang hamparan sungai Tondano dan Sawangan. Sebelum
mengalir ke hilir dan masuk menuju laut, kedua sungai tersebut bertemu di desa
Komo Luar Kecamatan Wenang. Karena lokasinya yang landai tempat pertemuan
kedua sungai tersebut menjadi daerah rawan banjir jika musim penghujan.Banjir
rutin di wilayah Kelurahan ini sudah dimaklumi masyarakat setempat.Ketidak
khawatiaran warga terhadap banjir karena mereka mengenalnya sejak lama ia
tinggal. Tanda tanda alam jika akan banjir itu bisa dibaca dari cuaca yang terjadi
dikawasan hulu sekitar Pegunungan Tondano. Jika di kawasan pegunungan
Tondano yang lokasinya lebih tinggi itu sedang terjadi hujan deras dan secara terus
menerus, kedua anak sungai tersebut (sungai Tondano dan sungai Bawang) meluap
kepermukiman penduduk. Luapan itu akan lama surutnya jika pada saat itu juga
terjadi air laut pasang. Berbeda dengan kelurahan lainnya yang lokasinya lebih tinggi
dari Komo Luar. Secara geografis Kelurahan Komo Luar mempunyai wilayah seluas
5,1 Ha, sebelau utara dibatasi Kelurahan Karang. Sebelah selatan berbatasan
dengan Kelurahan Tikala Kumalaha, sebelah barat berbatasan denga akelurahan
Pinaesaan, dan berbatasan dengan Kelurahan Tikala Ares. Meski letaknya berada
dihamparan sungai Tondano, dan sungai Bawang Kelurahan Komo Luar termasuk
pemukiman yang padat penduduknya. Mereka bermukim di Komo Luar karena
lokasinya berada di tengah kota dan dianggap mudah untuk mencari pekerjaan.
Jarak dengan kota kecamatan hanya sekitar 8 Km, ke kantor Kabupaten hanya 2
Km, sedangkan jika ke kantor Gubernur hanya sekitar 7 Km saja.Dari 5,1 ha luas
12
Diskripsi penelitian di kota Manado ini merupakan pengembangan hasil
observasi,wawancara mendalam dan FGD yang dilakukan S.Arifianto & Ahmad
Budi Setiawan,tanggal,21-27 Juli 2009. Observasi dan wawancara mendalam
dilakukan dilokasi penelitian, yaitu di komunitas masyarakat yang tinggal di daerah
rawan bencana di Kelurahan Komo Luar,Kecamatan Wenang Kota Manado.Warga
masyarakat yang diteliti adalah mereka yang bermukim dibantaran Sungai Tondano
dan Sungai Bawang yang setiap musim hujan wilayah itu terendam air bah dari
kedua sungai tersebut. Mereka tidak mau direlokasi ketempat yang dianggap aman
karena kepentingan ekonomi, dan masalah sosial budaya yang sudah mendarah
daging dilokasi tersebut.
46. 37
wilayah Kelurahan Komo Luar itu hamper seluruhnya merupakan kawasan
pemukiman. Namun jika dilihat dari jumlah penduduknya berdasarkan data
Monografi Desa (2008), jumlah penduduknya tercatat 2.307 orang. Terdiri dari laki-
laki 1152 orang, dan wanita 1150 orang. Kelurahan Komo Luar terdiri dari 598 KK.
Di kelurahan tersebut sebagian besar penduduknya beragama Islam yakni 2198
orang. Beragama protestan 70 orang, Katholik 28 orang dan 6 orang beragama
Budha. Agama Islam mendominasi, karena sebagian besar warga kelurahan Komo
Luar merupakan pendatang, bukan warga asli Minahasa yang umumnya beragama
Nasrani.
Pendidikan & Pekerjaan, jika dilihat dari sisi pendidikan formal dari seluruh
warga Kelurahan Komo Luar tampak bervariasi. Tetapi yang tampak sebagian besar
mereka berpendidikan Sekolah Dasar (SD) yakni sekitar 1454 orang. Setingkat
SLTP tercatat sebanyak 482 orang, setingkat SLTA sebanyak 746 orang, dan
setingkat sarjana sebanyak 174 orang, pondok pesantren 35 orang, dan pendidikan
keagamaan 276 orang. Dilihat dari lapangan pekerjaan penduduk warga Komo Luar
juga tampak beragam, mereka yang bekerja di Pemerintahan (PNS) tercatat
sebanyal 100 orang, TNI/Polri hanya 4 orang saja. Namun yang paling dominan
yang bekerja di sector swasta yakni mencapai 250 orang. Sedangkan mereka yang
berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta tercatat 18 orang. Mereka yang bekerja
sebagai buruh/tani sebanyak 15 orang, dan yang bekerja di sector jasa 30 orang.
Dari sejumlah warga masyarakat Kelurahan Komo Luar yang tercatat memiliki
telephone sebanyak 157 buah. Kepemilikan media televisi sebanyak 274 unit,
kepemilikan decoder atau Televisi Swasta 291, pemilik antenna parabola 7 unit.
Secara tradisional sebagian besar warga masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai Tondano, setiap rumah ada alat komunikasi tradisional berupa “kentongan”
(jawa). Di samping itu yang mereka jadikan alat komunikasi juga “pengeras suara” di
Masjid-Masjid dan Surau di sekitar Desa Komo Luar. Kentongan dan pengeras
suara di masjid-masjid mereka gunakan jika akan ada bahaya banjir yang belum
diketahui warga sekitar. Dengan alat komunikasi tradisional itulah warga yang
bermukim di bantaran sungai Tondano dan sungai Bawang mendapatkan tanda
peringatan dini jikasuwaktu-waktu terjadi bahaya banjir dilingkungannya.Tanda itu
mereka butuhkan ketika kejadiannya malam hari. Tetapi jika kejadiannya siang hari
warga masyarakat di bantaran sungai bisa melihat tanda lain seperti keruhnya air,