SlideShare a Scribd company logo
1 of 29
Download to read offline
Kajian Pemetaan Kapasitas Fiskal
dan Prioritas Keuangan Daerah

Tim Penyusun :

Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana

(Universitas Padjajaran)

Dr. Robert P. Simanjuntak

(Universitas Indonesia)

Dr. Bagus Santoso

(Universitas Gadjah Mada)

Edison Sihombing, SE., MT

(Departemen Keuangan)

TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006
PEMETAAN KAPASITAS FISKAL DAN PRIORITAS KEUANGAN DAERAH

1. Pendahuluan
Sejak diimplemetasikannya kebijakan otonomi daerah pada tahun 2001 dengan
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Tata pemerintahan daerah di Indonesia
mengalami perubahan yang drastis, dari yang sebelumnya cenderung sentralistik
menjadi desentralistik. Berdasarkan UU tersebut, sebagian besar kewenangan
pemerintahan diserahkan kepada daerah, kecuali kewenangan moneter fiskal, luar
negeri, agama, peradilan dan pertahanan keamanan. Pada dasarnya tujuan
pemberlakuan

otonomi

daerah

adalah

untuk

mempercepat

terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat.

Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah
tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Hal tersebut telah
diatur dalam UU No.25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah. Kedua UU tersebut merupakan dasar pelaksanaan kebijakan
desentralisasi fiskal. Jumlah dana yang didaerahkan sejalan dengan berlakunya
desentralisasi

fiskal

telah

mengalami

peningkatan

yang

signifikan.

Dengan

meningkatnya dana yang diterima daerah, maka diperlukan suatu sistem
pengelolaan keuangan daerah yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan yang baik, transparan, dan akuntabel. Hal tersebut
penting untuk dapat mencapai sasaran pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi,
pengurangan kemiskinan, peningkatan mutu pendidikan dan tingkat kesehatan
masyarakat, serta peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Dalam
mengimplementasikan desentralisasi fiskal perlu dikembangkan transparansi, efisien,
dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana.

Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal tidak terlepas dari kekurangan, sehingga
perlu secara terus-menerus dievaluasi dan disempurnakan. Perlu disadari bahwa
desentralisasi fiskal merupakan suatu proses yang pelaksanaannya harus dapat
dikendalikan dan diarahkan agar tidak keluar dari jalur dan kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

1
lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki
mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun di sisi lain terdapat beberapa
daerah yang menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi,
mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Kreativitas dan inisiatif suatu
daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan
yang diambil oleh pemerintahan daerah itu sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya
keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja
pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Namun demikian, mobilisasi sumber
dana secara eksesif dan berlebihan dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang
tidak kondusif.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka dipandang perlu dilakukan pengkajian secara
mendalam mengenai pemetaan kemampuan keuangan daerah untuk mengetahui
daerah-daerah yang mempunyai dana APBD yang besar dan sejauhmana daerah
tersebut dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Secara lebih spesifik, maka tujuan Penelitian ini adalah untuk:
1. Melakukan pemetaan kapasitas fiskal daerah.
2. Melakukan pemetaan prioritas pengeluaran sektoral daerah, terutama pada sektor
pendidikan, sektor kesehatan, sektor infrastruktur.
3. Melakukan pemetaan kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran sektoral daerah.
4. Mengetahui sinergitas dana keuangan daerah dengan dana APBN untuk
peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional.
5. Menyusun dan merumuskan rekomendasi kebijakan di bidang keuangan daerah
(implikasi kebijakan).

2. Studi Pustaka
Martinez-Vazquez, Jorge and L.F. Jameson Boex (1997): An Analysis of
Alternative Measures of Fiscal Capacity for the Regions of the Russian
Federation.
Menurut Martinez dan Boex (1997), ada enam jenis pengukuran kapasitas fiskal, yaitu:
1.

Pengumpulan pendapatan (Revenue Collection)

2.

Pendapatan Per Kapita (Per Capita Income)

3.

Produk Regional Bruto (Gross Regional Product)

4.

Sumber-Sumber Pemajakan (Total Taxable Resources (TTR))

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

2
5.

Sistem Perpajakan Representatif (Representative Tax System/RTS)

6.

Sistem Perpajakan Representatif dengan menggunakan analisis Regresi
(RTS/R)

Pengumpulan pendapatan
Keuntungan dengan menggunakan pengumpulan pendapatan sebagai ukuran
kapasitas fiskal terkait dengan ketersediaan data yang mudah diperoleh.
Kekurangan pengumpulan pendapatan sebagai ukuran kapasitas fiskal:
1.

Terkait dengan kemampuan daerah dalam meningkatkan penerimaan,
pengumpulan pendapatan aktual juga sangat dipengaruhi oleh tingkat
perbedaan pelaksanaan, pemenuhan, dan dalam beberapa kasus

terkait

dengan tingkat pajak dan pembebasan pajak yang merupakan kewenangan
pemerintah daerah.
2.

Dapat mengurangi insentif bagi pemerintah daerah dalam megumpulkan
pendapatan.

Untuk menutupi kekurangan dalam metode tersebut, dapat dilakukan modifikasi
dengan cara:
1. Menampilkan dalam bentuk per kapita dengan membagi total pendapatan
dengan jumlah penduduk untuk setiap daerah.
2. Melakukan penyesuaian dalam tingkat kebutuhan hidup daerah dengan
membagi jumlah nominal pendapatan per kapita untuk setiap daerah dengan
indeks harga konsumen (Regional cost of living)
Pendapatan per Kapita
Salah satu pengukuran fiscal mapping yang paling banyak digunakan di dunia adalah
rata-rata pendapatan rumah tangga atau pendapatn individu pada suatu wilayah.
Kelebihan

pengukuran

ini

adalah

kemudahannya.

Namun

demikian,

untuk

meningkatkan akurasi dari pengukuran ini, perlu dilakukan beberapa penyesuaian.
Penyesuaian pertama dilakukan dengan menggunakan indeks biaya hidup regional
(regional cost of living index) untuk mengontrol perbedaan tingkat harga antar daerah.
Produk Regional Bruto (Gross Regional Product)
Produk regional bruto mengukur nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu
daerah pada periode tertentu. Sebelum digunakan untuk mengukur kapasitas fiskal,
produk regional bruto juga harus disesuaikan dengan indeks biaya hidup regional.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

3
Sumber-Sumber Pemajakan (Total Taxable Resources)
Total Taxable resources (TTR) adalah salah satu ukuran kapasitas fiskal yang
didasarkan pada tingkat pendapatan regional bruto beserta beberapa penyesuaian
penting.
Sistem Perpajakan Representatif (Representative Tax System)
Sistem ini mengukur kapasitas fiskal dengan berdasarkan pada data fiskal
disaggregate (disaggregate fiscal data) dan informasi detail lainnya tentang basis pajak
pada setiap daerah.
Sistem Perpajakan Representatif dengan menggunakan analisis Regresi
(Representative Tax System using regression analysis (RTS/R))
Analisis regresi memungkinkan kita untuk menghitung kapasitas fiskal secara akurat
dengan mengidentifikasi efek tingkat basis pajak regional terhadap pendapatan.
Dengan regresi ini, diestimasi hubungan antara tingkat pendapatan (revenue
collection) per kapita dengan dua proksi basis pajak regional, yaitu: (1) retail trade
turnover (per orang) dan (2) pendapatan bruto regional (per kapita). Hal ini
menggambarkan bahwa kemampuan suatu daerah dalam menggalang semua jenis
penerimaan pajak akan meningkat seiring dengan kedua variabel tersebut. Beberapa
variasi dalam revenue collection yang tidak dapat dijelaskan dengan proksi-proksi
basis pajak regional dapat diinterpretasikan sebagai variasi dalam fiscal effort.
Dari keenam jenis pengukuran fiskal mapping tersebut, versi RTS/R merupakan
pengukuran yang paling baik. Namun demikian, pengukuran ini mempunyai kelemahan
karena kompleksitas pengukurannya dan tidak transparan. Pilihan terbaik kedua
adalah TTR yang merupakan versi modifikasi dari pendapatan bruto regional.

Serdar Yilmaz (1999): Equalization Across Subnational Governments: Fiscal
Capacity.
Yilmaz (1999) menyatakan bahwa pengukuran kapasitas fiskal merupakan sesuatu
yang sangat perlu untuk mengatasi permasalahan ketimpangan antar daerah dan
masalah implementasi program pemerataan. Pengukuran kapasitas fiskal memandu
pemerintah pusat dalam upaya mereka untuk memberikan hal yang sama dalam
masalah ketersediaan sumber daya untuk setiap daerah.
Lebih jauh, Yilmaz (1999) juga menyebutkan bahwa pengukuran kapasitas fiskal dapat

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

4
menyediakan informasi tentang kekuatan dan kelemahan fiskal pemerintah daerah.
Pengukuran ini dapat digunakan untuk:
-

Mengawasi dan membandingkan tren fiskal dan keadaan ekonomi daerah;

-

Menyediakan informasi tentang perkiraan kekuatan dari ekonomi regional;

-

Meramalkan dampak dari perubahan structural perekonomian regional;

-

Memandu pemerintah pusat untuk membantu pemerintah daerah dengan
berbagai grant yang berbeda-beda.

Martin Schneider (2002): Local Fiscal Equalisation Based on Fiscal Capacity: The
Case of Austria
Schneider (2002) melakukan analisis kesetaraan fiskal (fiscal equalization) di Austria.
Sistem hubungan antarpemerintahan di Austria sendiri didalamnya memuat peraturanperaturan yang berbeda dalam rangka menyetarakan perbedaan kapasitas fiskal di
tingkat municipality. Hal ini menyebabkan timbulnya “efek kompensasi” (compensation
effects), karena setidaknya sebagian tambahan penerimaan dari pajak daerah
dikompensasi oleh berkurangnya equalisation grants.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa efek kompensasi menciptakan
disinsentif fiskal yang sangat kuat bagi pemerintah daerah. Secara rata-rata sebesar
55 persen tambahan penerimaan yang berasal dari communal tax (yang merupakan
yang paling penting bagi daerah) dikompensasi oleh hilangnya equalisation grants.
Dalam kasus yang ekstrem, tambahan pajak yang dapat dikumpulkan pemerintah
daerah dapat berkurang sebesar 144 persen. Penerimaan pemerintah daerah tersebut
sesungguhnya bisa lebih baik jika mereka tidak melakukan upaya peningkatan basis
pajak.

Robert Simanjuntak (2003): Recent Issues on Indonesian Government Subsidiary
Offshore Loans to Regions.
Simanjuntak (2003) melakukan pengkategorian peta kapasitas daerah dengan
mengunakan analisis klaster, dengan merumuskan 5 skenario pengukuran kapasitas
fiskal yang akan menghasilkan peta kapasitas fiskal daerah berdasarkan kategori
tinggi, sedang dan rendah.
Skenario pertama berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan yang menyatakan
bahwa kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan suatu Daerah yang tercermin

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

5
pada pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana
Pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai
pengeluaran tertentu); misalnya pendapatan daerah dikurangi belanja pegawai/gaji
pegawai. Empat skenario lainnya digunakan untuk memperkaya analisis dan mencari
perbandingan ukuran peta kapasitas fiskal yang lebih baik. Skenario-skenario tersebut
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1: Lima Skenario Pengukuran Kapasitas Fiskal Daerah
Skenario
Formula
1

(PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Belanja Pegawai

2

(PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)/Belanja Pegawai

3
4
5

(PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Belanja Pegawai
2.5
(PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Pengeluaran Rutin
2.5
(PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Pengeluaran Rutin

Sumber: Simanjuntak (2003)
Simanjuntak (2003) menyebutkan bahwa dilihat dari komponen-komponen kapasitas
fiskal tersebut, hanya penerimaan dari bagi hasil Sumber Daya Alam saja yang
mungkin dapat berfluktuasi dalam jangka pendek. Penerimaan lainnya (PAD, Bagi
Hasil Pajak, dan DAU) relatif lebih stabil. Sedangkan belanja pegawai dan pengeluaran
rutin secara umum, tidak akan berubah banyak dalam jangka pendek. Sementara itu,
penerimaan dari Sumber Daya Alam mungkin saja menurun dalam jangka panjang,
karena porsi yang besar dari penerimaan Sumber Daya Alam ini berasal dari Sumber
Daya Alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi dan gas alam.
Berdasarkan hasil simulasi kelima skenario tersebut, baik untuk level provinsi maupun
untuk level kabupaten/kota, sebagian besar daerah berada dalam kategori kapasitas
fiskal rendah. Kurang dari 10% saja dari seluruh daerah yang memiliki kapasitas fiskal
yang tinggi, dan antara 15% -25% yang termasuk ke dalam kategori sedang.
Simanjuntak (2003) memperkirakan bahwa hal ini terjadi karena keberadaan ”daerah
ekstrim” atau ”outlier” misalkan daerah yang sangat kaya seperti DKI Jakarta dan
Kabupaten Kutai Kartanegara.
Dalam analisis selanjutnya, Simanjuntak (2003) mengeluarkan outliers tersebut dari
perhitungan, setelah itu baru dapat dilakukan pengkategorian untuk daerah-daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

6
lainnya. Hasil simulasi dengan menggunakan ke lima skenario tersebut setelah
mengeluarkan outliers menunjukkan bahwa untuk tingkat provinsi, sebagia besar
daerah berada dalam kategori kapasitas fiskal sedang. 15%-37% dikategorikan ke
dalam provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi, sedangkan 25%-54% termasuk ke dalam
kategori sedang. Sedangkan untuk kabupaten kota, jumlah daerah yang termasuk ke
dalam kategori kapasitas fiskal tinggi relatif lebih banyak jika dibandingkan sebelum
outliers dikeluarkan, dimana daerah yang termasuk ke dalam daerah berkapasitas
fiskal tinggi berkisar antara 12%-29%.
Perhitungan kapasitas fiskal daerah juga dapat dilihat pada Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No. 129 tahun 2005 dan PMK No. 73 tahun 2006 yang memuat
tentang peta kapasitas fiskal dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah
kepada daerah dalam bentuk hibah.
Dalam kedua PMK tersebut, disebutkan bahwa Kapasitas Fiskal merupakan
kemampuan keuangan suatu Daerah untuk membiayai tugas pemerintahan yang
dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana
darurat, dana Pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi
untuk membiayai pengeluaran tertentu) yang dikaitkan dengan belanja pegawai, dan
jumlah penduduk miskin. Dalam PMK No. 129 tahun 2005, peta Kapasitas Fiskal
merupakan pengelompokkan daerah berdasarkan Kapasitas Fiskal ke dalam tiga
kelompok yaitu: daerah berkapasitas fiskal tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan
dalam PMK No. 73 tahun 2006, peta kapasitas fiskal dibagi ke dalam empat kelompok
yaitu daerah berkapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah.
Peta Kapasitas Fiskal tersebut didapatkan dari perhitungan Indeks Kapasitas Fiskal
yang didapat dengan cara menghitung Kapasitas Fiskal masing-masing Daerah dibagi
dengan rata-rata Kapasitas Fiskal seluruh Daerah.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

7
Tabel 2.2: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah Berdasarkan PMK No. 129/2005
dengan PMK No. 73/2006
PMK No. 129/2005
Kapasitas
Deskripsi
Fiskal Daerah
1. Tinggi

2. Sedang

3. Rendah

Daerah yang indeks
kapasitas fiskalnya lebih
dari 1 atau sama
dengan 1 (indeks≥1)
Daerah yang indeks
kapasitas fiskalnya
antara 0,5 atau sama
dengan 0,5 sampai
dengan 1
(0,5≤indeks<1)
Daerah yang indeks
kapasitas fiskalnya
kurang dari
0,5(indeks<0,5)

PMK No. 73/2006
Kapasitas
Deskripsi
Fiskal
Daerah
1.Sangat
Daerah yang indeks
tinggi
kapasitas fiskalnya lebih
dari 2 atau sama dengan
2 (indeks ≥ 2)
2. Tinggi
Daerah yang indeks
kapasitas fiskalnya antara
1 atau sama dengan 1
sampai dengan 2 (1≤
indeks<2)
3. Sedang

Daerah yang indeks
kapasitas fiskalnya antara
0,5 atau sama dengan 0,5
sampai dengan 1 (0,5 ≤
indeks<1)
4. Rendah
Daerah yang indeks
kapasitas fiskalnya
kurang dari 0,5
(indeks<0,5)
Sumber: PMK No. 129/2005 dan PMK No. 73/2006, Departemen Keuangan RI.
3. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan pemetaan keuangan daerah yang terbagi menjadi dua,
yaitu kapasitas fiskal daerah dan prioritas pengeluaran daerah. Untuk memperoleh
informasi tentang sinergitas antara keuangan daerah dengan alokasi dana yang
berasal dari APBN, dilakukan kunjungan ke lapangan (studi kasus) ke beberapa
daerah di Indonesia.

3.1 Perhitungan Indeks Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah
Indeks Kapasitas Fiskal
Perhitungan Kapasitas Fiskal daerah untuk Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam
penelitian ini dibagi ke dalam dua alternatif persamaan:
KF1 = (PAD + BH + DAU + LP)-BP

(3.1)

POP

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

8
Perhitungan Kapasitas Fiskal berdasarkan PMK No. 129/20051:
KF2 = ( PAD + BH + DAU + LP) – BP

(3.2)

JPM
dimana:
KF

= Kapasitas Fiskal

PAD

= Pendapatan Asli Daerah

BH

= Bagi Hasil PBB +Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya
Alam)

DAU

= Dana Alokasi Umum

LP

= Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah kecuali Dana Alokasi Khusus,
Dana

Darurat,

Dana

Pinjaman

dan

penerimaan

lain

yang

penggunaannya dibatasi
BP

= Belanja Pegawai

POP

= Jumlah Penduduk

JPM

= Jumlah Penduduk Miskin

Persamaan Perhitungan Kapasitas Fiskal pertama (KF1) disesuaikan dengan jumlah
penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) daerah. Penyesuaian dengan
jumlah penduduk, dilakukan untuk mengetahui kapasitas fiskal daerah dalam ukuran
perkapita. Sedangkan penyesuaian dengan IKK daerah atau indeks kemahalan daerah
dimaksudkan untuk mengeliminasi perbedaan tingkat harga antar daerah. Persamaan
Perhitungan Kapasitas Fiskal kedua (KF2) disesuaikan dengan jumlah penduduk
miskin dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) daerah.
Perbedaan antara Persamaan Perhitungan Kapasitas Fiskal kedua (KF2) dengan
Perhitungan Kapasitas Fiskal berdasarkan PMK No. 129/2005 adalah terletak pada
penggunaan IKK daerah, dimana dalam perhitungan Kapasitas Fiskal berdasarkan
PMK No. 129/2005 belum memperhitungkan IKK daerah sebagai cerminan adanya
perbedaan tingkat harga antar daerah.
Penyesuaian dengan IKK daerah secara langsung akan berhubungan dengan masalah
1

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/2005 tentang Peta Kapasitas Fiskal dengan persamaan (3.2)
dimaksudkan dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk
hibah. Hal ini membuat peta kapasitas fiskal dengan menggunakan persamaan (3.1) dan persamaan
(3.2) akan memberikan hasil yang berbeda, dimana persamaan (3.1) merupakan formula kapasitas
fiskal yang lebih umum digunakan, berbeda dengan peta kapasitas fikal pada persamaan (3.2) yang
digunakan untuk tujuan yang lebih spesifik.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

9
penggunaan data dengan tahun dasar. Ada dua pilihan penggunaan data, yaitu
menggunakan data tahun berjalan atau menggunakan data dengan tahun dasar
tertentu. Penentuan tahun dasar ini dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan
seluruh data.
Perhitungan indeks kapasitas fiskal dilakukan dengan menghitung kapasitas fiskal
masing-masing daerah dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh daerah baik
untuk provinsi maupun kabupaten/kota.
Selanjutnya setelah melakukan penghitungan kapasitas fiskal daerah dengan kedua
alternatif diatas, maka diklasifikasikan daerah berdasarkan tingkat kapasitas fiskalnya.
Dari hasil penghitungan indeks kapasitas fiskal tersebut, ditetapkan kategori daerah
sebagai berikut (lihat tabel 3.1):
a. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal lebih dari 1 atau sama dengan 1 (indeks≥1)
merupakan Daerah yang termasuk kategori kapasitas fiskal tinggi;
b. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal antara 0,5 atau sama dengan 0,5 sampai
dengan 1 (0,5 ≤ indeks<1) merupakan Daerah yang termasuk kategori kapasitas
fiskal sedang;
c. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal kurang dari 0,5 (indeks<0,5) merupakan
Daerah yang termasuk kategori kapasitas fiskal rendah.
Tabel 3.1: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah
Daerah

Tinggi

Kapasitas Fiskal *
Sedang

Rendah

Propinsi
Kabupaten/ Kota
* Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2
Prioritas Pengeluaran Daerah untuk Sektor i
Prioritas pengeluaran daerah dapat diketahui dengan melakukan analisa pada besaran
pengeluaran pada beberapa pos/ sektor pengeluaran tiap daerah. Pos-pos (sektor)
pengeluaran yang akan dianalisis dibatasi hanya pada tiga sektor saja, yaitu sektor
pendidikan, sektor kesehatan dan sektor infrastruktur. Kemudian, dihitung rasio antara
pengeluaran masing-masing sektor terhadap total pengeluaran masing-masing daerah.
Selanjutnya, perhitungan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk ketiga sektor
tersebut dilakukan dengan cara membagi rasio pengeluaran sektor i di masing-masing

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

10
daerah dengan rata-rata rasio pengeluaran tiap-tiap sektor seluruh daerah.
Dari hasil perhitungan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk sektor i tersebut,
ditetapkan kategori daerah sebagai berikut:
a. Daerah dengan indeks prioritas pengeluaran daerah di sektor i (i = 1,2,3 dimana
i=1 adalah sektor pendidikan; i=2 adalah sektor kesehatan dan i=3 adalah sektor
infrastruktur) lebih dari 1 atau sama dengan 1 (indeks≥1) merupakan daerah yang
termasuk kategori prioritas pengeluaran sektor i tinggi;
b. Daerah dengan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk sektor i antara 0,5 atau
sama dengan 0,5 sampai dengan 1 (0,5 ≤ indeks<1) merupakan daerah yang
termasuk kategori prioritas pengeluaran sektor i sedang;
c. Daerah dengan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk sektor i kurang dari 0,5
(indeks<0,5) merupakan daerah yang termasuk kategori prioritas pengeluaran
sektor i rendah.
Selanjutnya,

daerah-daerah

tersebut

akan

diklasifikasikan

menurut

prioritas

pengeluaran daerah sebagaimana klasifikasi dalam Tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2: Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah
Daerah
Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah
Sektor
Tinggi
Sedang
Rendah
Sektor Pendidikan
Sektor Kesehatan
Sektor Infrastruktur
Setelah melakukan perhitungan kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah,
maka kita dapat melakukan pemetaan seperti terlihat pada tabel 3.3 sampai dengan
tabel 3.5 di bawah ini:
Tabel 3.3: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Sektor Pendidikan
Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal*
Prioritas pengeluaran
Tinggi
Sedang
Rendah
Sektor Pendidikan
Tinggi
Sedang
Rendah
*Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

11
Tabel 3.4: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Sektor Kesehatan
Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal*
Prioritas pengeluaran
Tinggi
Sedang
Rendah
Sektor Kesehatan
Tinggi
Sedang
Rendah
*Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2
Tabel 3.5: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Sektor
Infrastruktur
Kapasitas Fiskal
Kapasitas Fiskal*
Prioritas pengeluaran
Tinggi
Sedang
Rendah
Sektor Infrastruktur
Tinggi
Sedang
Rendah
*Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2

Data dan Sumber Data
Data dan sumber data yang digunakan untuk melakukan perhitungan pemetaan
keuangan daerah (kapasitas fiskal maupun prioritas pengeluaran daerah), di tingkat
propinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota adalah sebagai berikut:
1. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi maupun kabupaten/kota tahun
2004.
2. Data-data pendukung dari berbagai publikasi-publikasi statistik Departemen
Keuangan, Badan Pusat Statistik, maupun lembaga-lembaga pemerintah untuk
tahun 2004.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

12
Tabel 3.6: Data dan Sumber Data
No.
Data
1. Pendapatan Asli
Daerah (PAD)

2.

Sumber Data
APBD,
Departemen
keuangan

Bagi Hasil (Bagi
Hasil PBB, Bagi
Hasil Pajak, Bagi
Hasil Bukan
Pajak/SDA
Dana Alokasi
Umum (DAU)

APBD,
Departemen
keuangan

4.

Belanja Pegawai

5.

Lain-lain
Pendapatan yang
sah
Pengeluaran Sektor
Pendidikan

APBD,
Departemen
keuangan
APBD,
Departemen
keuangan
APBD,
Departemen
keuangan
APBD,
Departemen
keuangan
APBD,
Departemen
keuangan

3.

6.

APBD,
Departemen
keuangan

7.

Pengeluaran Sektor
Kesehatan

8.

Pengeluaran Sektor
Infrastruktur

9.

Indeks Kemahalan
Konstruksi (IKK)

Badan Pusat
Statistik

10.

Jumlah Penduduk

11.

Jumlah Penduduk
Miskin

Badan Pusat
Statistik
Badan Pusat
Statistik

Keterangan
PAD bertujuan untuk memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah
untuk mendanai pelaksanaan otonomi
daerah sesuai dengan potensi daerahnya
masing-masing.
Dana yang bersumber dari APBN yang
dibagihasilkan
kepada
Daerah
berdasarkan angka persentase tertentu
dengan memperhatikan potensi daerah
penghasil.
Dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi.
Merupakan pos belanja yang dikeluarkan
untuk keperluan gaji dan tunjangan
pegawai negeri sipil
Diluar Dana Alokasi Khusus, Dana
Darurat, Dana Pinjaman dan penerimaan
lain yang penggunaannya dibatasi.
Pengeluaran pembangunan untuk sektor
pendidikan.
Pengeluaran pembangunan untuk sektor
kesehatan.
Pengeluaran pembangunan untuk sektor
infrastruktur. Sektor infrastruktur dalam
penelitian ini merupakan penjumlahan
dari Sektor Pekerjaan Umum, Sektor
Penataan
Ruang,
dan
Sektor
Pemukiman.
Merupakan cerminan tingkat kesulitan
geografis yang dinilai berdasarkan tingkat
kemahalan harga prasarana fisik secara
relatif antar daerah
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan
provinsi dan kabupaten/kota
Jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan / poverty line

3.2 Survei Lapangan dan Focus Group Discussion
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail tentang kapasitas fiskal dan prioritas
pengeluaran daerah, dalam penelitian ini selain menggunakan pendekatan kuantitatif
seperti yang dijelaskan di atas, juga dilakukan survei lapangan dan Focus Group

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

13
Discussion ke dinas-dinas terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas
Pekerjaan Umum, dan Dinas PSDA di beberapa daerah terpilih, yaitu sebagai berikut:
1. Tingkat Propinsi : Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Riau
2. Tingkat Kabupaten/Kota:
a) Kabupaten: Gresik, Jayapura, Karo, Lampung Selatan, Pelalawan,
Sukoharjo.
b) Kota: Banda Aceh, Bengkulu, Denpasar, Pekan Baru, Semarang, Surabaya.
Sedangkan pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan dalam survei lapangan dan
kegiatan Focus Group Discussion tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:
Prioritas Penggunaan Dana APBD Pada Sektor Pendidikan/ Kesehatan/ Pekerjaan
Umum
Prioritas Penggunaan Dana APBN Untuk Pembiayaan Sektor Pendidikan/
Kesehatan/ Pekerjaan Umum
Koordinasi dan sinergitas dana dari APBD maupun dari APBN Pada Sektor
Pendidikan/ Kesehatan/ Pekerjaan Umum
Rincian Anggaran yang bersumber dari Dana APBN
Harapan prioritas alokasi dana APBN dan APBD

4. Hasil Perhitungan Indeks Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah
Kapasitas Fiskal Daerah
Perbedaan formula KF1 dan KF2 terletak pada penggunaan data penduduk (untuk KF1)
dan data penduduk miskin (untuk KF2). Hal ini membawa implikasi pada hasil
Perhitungan Kapasitas Fiskal Daerah yang memberikan hasil yang berbeda dan
sangat signifikan pengaruhnya terhadap klasifikasi kapasitas fiskal daerah. Di satu sisi,
dengan menggunakan formula KF1, apabila suatu daerah dengan jumlah penduduk
yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk daerah lainnya,
cenderung memiliki nilai indeks kapasitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah lainnya dan termasuk ke dalam daerah yang berkapasitas fiskal tinggi atau
sedang, sebaliknya apabila suatu daerah memiliki jumlah penduduk yang relatif besar
dibandingkan daerah lainnya, cenderung memiliki nilai indeks kapasitas fiskal yang
rendah.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

14
Sementara itu, klasifikasi kapasitas fiskal daerah akan berbeda apabila menggunakan
formula KF2. Daerah yang pada awalnya termasuk ke dalam kelompok kapasitas fiskal
tinggi berdasarkan hasil perhitungan formula KF1, bisa saja masuk ke dalam kelompok
daerah yang berkapasitas fiskal sedang atau bahkan ke dalam kelompok daerah
berkapasitas rendah, begitupun sebaliknya, suatu daerah dengan formula KF1
termasuk ke dalam kelompok daerah yang berkapasitas fiskal rendah, dengan formula
KF2 bisa saja masuk ke dalam kelompok daerah yang berkapasitas fiskal tinggi atau
sedang. Hal ini sangat tergantung pada jumlah penduduk miskin daerah tersebut,
apabila suatu daerah memiliki jumlah penduduk miskin yang tinggi, maka daerah
tersebut cenderung termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas sedang atau
rendah. Sebaliknya, meskipun suatu daerah memiliki jumlah penduduk yang relatif
tinggi, tetapi apabila jumlah penduduk miskinnya kecil, maka daerah tersebut bias saja
masuk ke dalam kelompok daerah yang berkapasitas tinggi atau sedang, walaupun
dengan menggunakan formula KF1 daerah tersebut tergolong ke dalam kelompok
daerah berkapasitas rendah.
Pada tingkat Propinsi, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua yang
secara relatif memiliki jumlah penduduk yang lebih kecil dibandingkan dengan provinsi
lainnya, dengan formula KF1 termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas fiskal
tinggi. Namun ketika formula KF2 yang digunakan, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi (kurang lebih
sebesar 27.29% dari total jumlah penduduknya), klasifikasinya bergeser menjadi salah
satu daerah yang termasuk ke dalam kategori daerah berkapasitas sedang. Begitu
pula dengan Provinsi Papua yang pada awalnya termasuk daerah yang berkapasitas
fiskal tinggi berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan formula KF1,
berubah menjadi daerah yang berkapasitas fiskal rendah bedasarkan hasil pengukuran
dengan formula KF2 karena memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi
(sekitar 40,15 % dari total jumlah penduduknya).
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Bali yang pada awalnya
termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas fiskal sedang, berubah menjadi
darah yang berkapasitas tinggi berdasarkan hasil perhitungan KF2, menggantikan
posisi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua, karena memiliki jumlah
penduduk miskin yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah lainnya. Hal ini dapat
pula dilihat dari sebaran daerah dalam klasifikasi kapasitas fiskalnya, dimana dengan
menggunakan formula KF1, kapasitas fiskal daerah cenderung lebih banyak pada

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

15
kelompok kategori daerah

berkapasitas fiskal sedang,

berbeda halnya bila

menggunakan formula KF2, dimana kapasitas fiskal daerah cenderung lebih banyak
daerah yang termasuk ke dalam kategori daerah berkapasitas rendah.
Hal di atas berlaku pula untuk pengukuran kapasitas daerah untuk tingkat
kabupaten/kota, dimana daerah yang pada awalnya masuk ke dalam kategori fiskal
tinggi, bisa saja berubah menjadi daerah yang tergolong ke dalam daerah berkapasitas
fiskal sedang bahkan rendah apabila formula KF2 yang digunakan, begitu pula
sebaliknya, daerah yang pada awalnya dengan formula KF1 termasuk ke dalam
kelompok daerah berkapasitas sedang atau rendah bisa saja berubah menjadi daerah
yang termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas fiskal tinggi. Hal ini dapat
dilihat dari sebaran kalasifikasi kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota yang berbeda
antara kapasitas fiskal dengan formula KF1 dengan KF2. Kapasitas fiskal daerah
kabupaten/kota cenderung lebih sedikit pada klasifikasi kapasitas fiskal tinggi dan
terkonsentrasi pada klasifikasi kapasitas rendah dan sedang. Sementara apabila
menggunakan formula KF2, terjadi perubahan komposisi jumlah daerah dalam
klasifikasi kapasitas fiskal, dimana jumlah daerah yang tergolong ke dalam daerah
berkapasitas fiskal tinggi menjadi lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang
berkapasitas fiskal sedang yang komposisinya menjadi lebih sedikit jika dibandingkan
dengan klasifikasi kapasitas fiskal dengan formula KF1 (lihat lampiran 1 sampai 3).
Secara lebih detail, hasil pengukuran kapasitas fiskal daerah dengan menggunakan
formula KF1 dan KF2 dapat dipetakan sebagai berikut:
Dari 30 provinsi, dengan menggunakan formula KF1, provinsi yang termasuk ke
dalam kapasitas fiskal tinggi sebanyak 9 provinsi; sedang 14 provinsi; dan provinsi
dengan kapasitas fiskal rendah sebanyak 7 provinsi. Dengan menggunakan
formula KF2, sebanyak 6 provinsi termasuk ke dalam daerah berkapasitas fiskal
tinggi; sedang 7 provinsi, dan 17 provinsi berkapasitas fiskal rendah.
Untuk kabupaten/kota, dengan menggunakan formula KF1 dari 366 kabupaten/kota,
hasilnya adalah sebagai berikut: 104 kabupaten/kota termasuk ke dalam daerah
berkapasitas fiskal tinggi, 113 kabupaten/kota berkapasitas sedang, dan 149
kabupaten/kota termasuk ke dalam daerah berkapasitas fiskal rendah. Sedangkan
dengan formula KF2, dari total 366 kabupaten/kota hasilnya adalah sebagai berikut:
102 provinsi masuk ke dalam kategori kapasitas fiskal tinggi, 77 provinsi masuk
dalam kategori sedang, dan sisanya sebanyak 187 provinsi masuk ke dalam

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

16
kategori kapasitas fiskal yang rendah.
Kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kategori daerah berkapasitas fiskal tinggi
dengan formula KF1, rata-rata merupakan daerah yang relatif memiliki sumber daya
alam yang kaya dan jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan daerah lainnya. Sebaliknya untuk daerah yang memiliki relatif lebih sedikit
sumber daya alam dan jumlah penduduknya cukup tinggi rata-rata berada pada
kategori daerah berkapasitas fiskal rendah.
Begitu pula dengan menggunakan formula KF2 dimana daerah yang relatif memiliki
sumber daya alam yang lebih kaya dibandingkan daerah lainnya dan memiliki
jumlah penduduk miskin yang lebih sedikit rata-rata termasuk ke dalam kategori
daerah berkapasitas fiskal tinggi dan sedang, dan sebaliknya untuk daerah yang
miskin sumber daya alam dan jumlah penduduk yang cukup tinggi rata-rata berada
pada kelompok daerah berkapasitas fiskal rendah.
Tabel 4.1: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah (Persamaan KF1)
Kapasitas Fiskal
Daerah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Propinsi
30
9
14
7
Kabupaten/Kota
366
104
113
146
Tabel 4.2: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah (Persamaan KF2)
Kapasitas Fiskal
Daerah
Total
Tinggi
Sedang
Rendah
Propinsi
30
6
7
17
Kabupaten/Kota
366
102
77
187
Prioritas Pengeluaran Daerah2
I.

Tingkat Provinsi
a) Sektor Pendidikan
Dari 27 provinsi, 12 provinsi termasuk ke dalam daerah yang memiliki prioritas
pengeluaran daerah untuk sektor pendidikan tinggi, 12 provinsi termasuk ke
dalam kategori sedang, dan 3 provinsi masuk ke dalam kategori rendah.
b) Sektor Kesehatan
14 provinsi masuk ke dalam kategori prioritas pengeluaran daerah pada sektor
kesehatan tinggi, kategori sedang 9 provinsi, dan kategori rendah 4 provinsi.
c) Sektor Infrastruktur

2

Untuk perhitungan tingkat provinsi, tidak termasuk provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi tenggara, dan
Maluku Utara karena data pengeluaran berdasarkan sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
tidak diperoleh, sehingga perhitungan hanya dilakukan untuk 27 provinsi saja.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

17
Daerah yang tergolong ke dalam kategori prioritas pengeluaran untuk sektor
infrastruktur tinggi sebanyak 11 provinsi, kategori sedang 13 provinsi, dan 3
provinsi termasuk ke dalam daerah yang memiliki prioritas pengeluaran rendah.
Tabel 4.3: Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Tingkat Provinsi
Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah
Daerah
Total
Sektor
Tinggi
Sedang
Rendah
Sektor Pendidikan
27
12
12
3
Sektor Kesehatan
27
14
9
4
Sektor Infrastruktur
27
11
13
3
II. Tingkat Kabupaten Kota.
a) Sektor Pendidikan
Kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kategori prioritas pengeluaran untuk
sektor pendidikan tinggi adalah sebanyak 148 kabupaten/kota, kategori sedang
sebanyak 110 kabupaten/kota, dan 21 kabupaten/kota berkategori rendah.
b) Sektor Kesehatan
Sebanyak 112 kabupaten/kota termasuk ke dalam daerah dengan prioritas
pengeluaran untuk sektor kesehatan tinggi, 158 kabupaten/kota termasuk ke
dalam kategori sedang, dan 9 kabupaten/kota berkategori rendah.
c) Sektor Infrastruktur
Kabupaten/kota dengan prioritas pengeluaran sektor infrastruktur tinggi
sebanyak 112 kabupaten/kota, 131 kabupaten/kota termasuk dalam kategori
sedang, dan 36 kabupaten kota termasuk kategori rendah.
Tabel 4.4: Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Tingkat Kabupaten/Kota
Daerah
Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah
Total
Sektor
Tinggi
Sedang
Rendah
Sektor Pendidikan
279
148
110
21
Sektor Kesehatan
279
115
158
9
Sektor Infrastruktur
279
112
131
36
Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah
Daerah-daerah provinsi maupun kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal tinggi
belum tentu memiliki prioritas pengeluaran daerah yang tinggi pula, bahkan beberapa
daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, memiliki pengeluaran daerah yang
diklasifikasikan rendah. Begitu pula daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal
rendah dan sedang, belum tentu memiliki prioritas pengeluaran daerah yang rendah,
bahkan beberapa daerah yang termasuk ke dalam daerah berkapasitas rendah,
memiliki prioritas pengeluaran yang diklasifikasikan ke dalam kelompok daerah dengan

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

18
pengeluaran daerah yang tinggi. Hal ini mungkin pula tergantung pada sektor-sektor3
yang menjadi prioritas pembangunan daerahnya masing-masing, sebagai contoh
propinsi Jawa Barat yang mempunyai prioritas pembangunan untuk meningkatkan
indeks pembangunan manusianya, meskipun tergolong ke dalam daerah yang
berkapasitas fiskal rendah (berdasarkan formula KF1 dan KF2), tetapi pengeluaran
yang dialokasikan termasuk ke dalam kelompok daerah dengan pengeluaran daerah
yang tinggi untuk sektor pendidikan dan sedang untuk sektor kesehatan, sedangkan
untuk sektor infrastruktur pengeluaran daerahnya masih tergolong ke dalam kelompok
pengeluaran yang rendah berdasarkan formula KF1, sementara berdasarkan formula
KF2, pengeluaran daerah provinsi Jawa Barat termauk ke dalam kaategori daerah
berpengeluaran tinggi, dan sedang untuk sektor kesehatan dan sektor infrastruktur.
Begitu pula halnya dengan provinsi Lampung, meskipun berdasarkan pengukuran
kapasitas fiskal dengan menggunakan formula KF1 dan KF2 merupakan daerah yang
memiliki kapasitas fiskal rendah, tetapi pengeluaran daerahnya termasuk ke dalam
daerah yang dikategorikan sebagai daerah dengan pengeluaran daerah tinggi untuk
ketiga sektor tersebut baik berdasarkan formula KF1 maupun KF2. Sebaliknya, provinsi
Bangka Belitung yang tergolong ke dalam daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi,
namun tidak semua pengeluaran daerahnya tinggi untuk tiap-tiap sektor. Provinsi
Bangka Belitung merupakan provinsi yang termasuk rendah dalam prioritas
pengeluaran daerah untuk sektor pendidikan dan sektor kesehatan, kecuali untuk
sektor infrastruktur yang termasuk kedalam daerah yang memiliki pengeluaran yang
sedang, baik berdasarkan formula KF1 maupun KF2.
Hal ini terjadi pula untuk kasus kabupaten/kota, misalnya kabupaten/kota yang
termasuk ke dalam daerah dengan alokasi pengeluaran daerah yang tinggi atau
sedang untuk ketiga sektor walaupun kedua daerah tersebut termasuk ke dalam
daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Sebaliknya ada pula kabupaten/kota yang
termasuk ke dalam daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, tetapi alokasi
pengeluaran daerahnya tergolong ke dalam daerah dengan pengeluaran rendah (lebih
detailnya dapat dilihat pada lampiran 6A sampai dengan 8C).
Kecenderungan di atas dapat pula dilihat pada sebaran klasifikasi kapasitas fiskal dan
prioritas pengeluaran daerah seperti terlihat pada tabel 4.5-4.8 di bawah ini.

3

Sektor-sektor yang diperhitungkan dalam penelitian ini dibatasi pada tiga sektor saja, yaitu: sektor
pendidikan, sektor kesehatan, dan sektor infrastruktur.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

19
Tabel 4.5: Klasifikasi Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan
formula KF1 (Jumlah Provinsi)
Pengeluaran
Sektor Pendidikan
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
12
12
3

Pengeluaran
Sektor Kesehatan
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
14
9
4

Pengeluaran
Sektor Infrastruktur
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
11
13
3

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
4
4
2
7
2
1

Rendah
4
3
-

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
2
6
3
5
3
1

Rendah
6
1
-

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
5
5
1
6
2
1

Rendah
1
6
-

Tabel 4.6 Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan formula KF1
(Jumlah Kabupaten/kota)
Pengeluaran
Sektor Pendidikan
Tinggi
Sedang
Rendah
Pengeluaran
Sektor Kesehatan
Tinggi
Sedang
Rendah
Pengeluaran
Sektor Infrastruktur
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
145
111
16
Total
109
155
9
Total
108
131
31

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
6
33
43
51
11
2

Rendah
106
17
3

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
22
30
32
55
7
1

Rendah
57
68
1

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
42
36
15
41
2
9

Rendah
30
75
20

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

20
Tabel 4.7: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan formula
KF2 (Jumlah Provinsi)
Pengeluaran
Sektor Pendidikan
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
12
12
3

Pengeluaran
Sektor Kesehatan
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
14
9
4

Pengeluaran
Sektor Infrastruktur
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
11
18
3

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
3
1
1
4
2
1

Rendah
8
7
-

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
2
2
3
2
1
2

Rendah
10
4
1

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
4
2
2
1
3

Rendah
5
15
-

Tabel 4.8: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan formula
KF2 (Jumlah Kabupaten/Kota)
Pengeluaran
Sektor Pendidikan
Tinggi
Sedang
Rendah
Pengeluaran
Sektor Kesehatan
Tinggi
Sedang
Rendah
Pengeluaran
Sektor Infrastruktur
Tinggi
Sedang
Rendah

Total
145
116
19
Total
109
155
9
Total
107
154
9

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
10
28
52
32
9
5

Rendah
107
32
5

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
29
18
35
38
7
2

Rendah
62
82
-

Kapasitas Fiskal
Tinggi
Sedang
28
18
35
37
7
2

Rendah
61
82
-

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

21
5. Hasil Temuan Lapangan
Kekurangan anggaran
Untuk menutupi kekurangan anggaran, secara umum dinas-dinas di tingkat provinsi
mengusulkan agar ditutupi melalui: dana dekonsentrasi (APBN); APBD perubahan;
budget sharing dengan pusat, provinsi, dan kabupaten kota; dana dari partisipasi
swasta dan masyarakat; serta melalui penyusunan skala prioritas dan sinergitas
pemanfaatan anggaran dari berbagai sumber yang ada.
Sementara itu, dinas-dinas di tingkat kabupaten/kota mengusulkan dengan cara yang
relatif sama, yaitu dengan cara: mengajukan dana baik dari tambahan dari APBD
provinsi (APBD perubahan) maupun melalui dana tambahan dari APBN misalkan
dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK); melalui peran serta masyarakat dan
swasta; penyusunan skala prioritas dan fokus terhadap rencana kegiatan yang telah
disusun atau bahkan kegiatannya ditiadakan bila memang bukan merupakan prioritas
utama; serta ada pula upaya-upaya dinas untuk meminta bantuan ke luar negeri.
Koordinasi dan Sinergitas dana APBD maupun APBN
Peran dana dari APBN guna mencapai sasaran pembangunan
Dinas-dinas di tingkat provinsi maupun kabupaten kota umumnya menyatakan bahwa
peran dana APBN cukup besar sangat diperlukan karena adanya keterbatasan dana
dari APBD. Namun demikian, besaran dana yang bersumber dari APBN saat ini secara
umum dinilai belum cukup memadai untuk menutupi kebutuhan dinas dalam
melaksanakan program-programnya, sehingga kadang-kadang standar pelayanan
minimal tidak dapat terpenuhi.
Pada sektor kesehatan, alokasi dana APBN pada tahun 2006 untuk tingkat propinsi
kurang lebih rata-rata mencapai 50%. Sedangkan untuk kabupaten/kota, dana APBN
mendukung sekitar 18% dari total anggaran program Dinas Kesehatan dan
kontribusinya merupakan yang paling besar dalam pembangunan bidang kesehatan
dibandingkan dengan sumber-sumber dana lainnya. Di sektor Pekerjaan umum yang
terdiri dari beberapa dinas dan sub-dinas, mengemukakan persepsi yang beragam
terkait dengan peran dana yang bersumber dari APBN. Berdasarkan hasil temuan di
lapangan, dana yang bersumber dari APBN untuk pencapaian sasaran pembangunan
di sektor pekerjaan umum berkisar antara 16%-25% yang peranannya cukup
mendukung dalam mengatasi permasalahan pengadaan sarana dan prasarana publik,
karena keterbatasan dana yang bersumber dari APBD.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

22
Sinergi penggunaan dana APBD dengan dana dari APBN
Menurut dinas-dinas, sinergi penggunaan dana APBD dan APBN dinilai saling
melengkapi dan saling mendukung dalam pelaksanaan program, karena tidak semua
pelaksanaan program dapat sepenuhnya dibiayai dari dana APBD. Selain itu, sinergi
penggunaan dana APBD dengan dana dari APBN juga tidak tumpang tindih.
Selama ini setiap ada program yang dananya bersumber dari dana APBN biasanya
terdapat pula dana pendamping yang bersumber dari dana APBD sebesar kurang lebih
10%. Pada sektor pendidikan, satu hal yang menjadi catatan adalah mengenai
proporsi dana yang bersumber dari APBN yang lebih besar daripada dana yang
bersumber dari dana APBD. Selain itu, juga terdapat MoU bidang pendidikan tentang
kewenangan pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam masalah pendanaan program
kegiatan.

Mekanisme koordinasi perencanaan dan penganggaran antara dana APBD dan
APBN
Mekanisme koordinasi perencanaan dan penganggaran antara dana APBD dan APBN
berdasarkan masukan-masukan dari dinas-dinas, dapat dilakukan melalui beberapa
cara, yaitu:

-

Melalui penyusunan rencana kerja yang dikoordinir oleh Bappeda dan Bappenas.

-

Forum Koordinasi seperti Forum SKPD, Musrenbang baik tingkat propinsi maupun
tingkat kabupaten kota.

-

Rapat Koordinasi pembangunan.

-

Sosialisasi program untuk penetapan kontribusi pendanaan

-

Kegiatan yang bersumber dari dana APBN tidak perlu lagi diajukan dalam APBD.

-

MoU antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota.

Di sektor pendidikan, untuk tahun angaran 2007 telah ada kesepakatan antara pusat
dan daerah dalam masalah pembiayaan pembangunan sektor pendidikan, yaitu
sebagai berikut:
1) Untuk sarana dan prasarana pendidikan:
-

APBN: 50%

-

APBD Propinsi : 30%

-

APBD Kabupaten/Kota: 20%

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

23
2) Untuk pemberantasan buta aksara:
-

APBN: 30%

-

APBD Propinsi : 50%

-

APBD Kabupaten/Kota: 20%

Kendala yang dihadapi dalam membiayai pengeluaran
Kendala yang dihadapi oleh dinas-dinas dalam membiayai pengeluaran pada
umumnya karena kebutuhan dana lebih besar dibandingkan dana yang dialokasikan
baik dari APBN maupun APBD. Selain itu, alokasi dana yang bersumber dari APBN
tidak sesuai dengan kebutuhan dana yang telah diajukan oleh dinas. Di sisi lain,
pengesahan anggaran biaya di tingkat propinsi dan kabupaten/kota berbeda
menyebabkan pemanfaatan dana menjadi tidak maksimal.
Harapan tentang prioritas dana APBD
Sektor pendidikan
-

Alokasi anggaran pendidikan diharapkan dapat mencapai 20% dari total APBD

-

Alokasi APBD sebaiknya diarahkan pada rencana pembebasan biaya
pendidikan, penuntasan wajar 9 tahun, dan peningkatan mutu pendidikan.

-

Selain itu juga sebaiknya dialokasikan untuk peningkatan sarana dan
prasarana fisik pendidikan,peningkatan kualitas SDM (Guru dan pegawai
sekolah).

Sektor Kesehatan
-

Alokasi minimum untuk sektor kesehatan adalah sebesar 15% dari total APBD.

Sektor Pekerjaan Umum
-

Perlu andanya peningkatan alokasi anggaran secara optimal dengan
mempertimbangkan kenaikan harga bahan baku untuk pembangunan sarana
dan prasarana umum.

-

Prioritas pada pemeliharaan dan perbaikan seluruh infrastruktur yang ada.

-

Alokasi dana APBD harus memperhatikan pada penuntasan program-program
kegiatan yang belum selesai.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

24
Harapan tentang prioritas dana APBN
Sektor Pendidikan
-

Alokasi anggaran pendidikan diharapkan mencapai 20% dari total APBN sesuai
undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

-

Alokasi anggaran sebaiknya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan,
pembebasan biaya pendidikan dan peningkatan SDM, dan peningkatan sarana
dan prasarana pendidikan.

-

Penyaluran dana dalam bentuk block grant

-

Pengesahaan anggaran supaya bersamaan dengan tahun anggaran.

Sektor Kesehatan
-

Mekanisme alokasi dan pencairan anggaran diharapkan tidak terlalu rigid,
sebagai misal: dana dekonsentrasi hanya sampai ke propinsi, sehingga untuk
kabupaten/kota harus melalui mekanisme SKPA yang berbelit-belit.

-

Alokasi dana APBN sebaiknya disesuaikan dengan usulan kabupaten/kota
karena yang lebih tahu kebutuhan daerahnya dibanding pusat.

-

Penggunaan dana diharpakan lebih fleksibel sesuai dengan kondisi di
lapangan.

Sektor Pekerjaan Umum
-

Terpenuhinya kebutuhan minimum anggaran agar fungsi layanan sarana dan
prasarana publik dapat berfungsi.

-

Fokus alokasi diarahkan kepada biaya untuk pemeliharaan dan perbaikan
sarana dan prasarana publik/ menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan kapasitas fiskal daerah dan prioritas
pengeluaran daerah serta temuan lapangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pengukuran kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah
1. Hasil pemetaan kapasitas fiskal daerah memperlihatkan bahwa kapasitas fiskal
daerah provinsi terkonsentrasi pada kelompok kategori kapasitas fiskal sedang.
Sementara hasil analisis pemetaan kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

25
menunjukkan sebaran yang cukup merata dalam kategori kapasitas fiskalnya,
meskipun kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota tersebut masih lebih banyak
pada kategori kapasitas fiskal sedang dan rendah.
2.

Prioritas pengeluaran daerah provinsi dan daerah kabupaten kota secara
umum sebarannya terkonsentrasi pada klasifikasi prioritas pengeluaran daerah
tinggi dan sedang, baik untuk sektor pendidikan, sektor kesehatan, maupun
sektor infrastruktur.

3. Berdasarkan hasil analisis, daerah-daerah yang termasuk ke dalam kategori
kapasitas fiskal tinggi, belum tentu prioritas pengeluaran daerahnya tinggi pula.
Sebaliknya daerah-daerah yang termasuk ke dalam kategori kapasitas fiskal
rendah, belum tentu prioritas pengeluaran daerahnya rendah. Hal ini terlihat
dari sebaran klasifikasi kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah yang
lebih banyak tergolong dalam klasifikasi prioritas pengeluaran tinggi dan
sedang, walaupun kapasitas fiskalnya termasuk ke dalam klasifikasi kapasitas
fiskal sedang da rendah. Sebaliknya terdapat pula daerah-daerah yang
termasuk ke dalam klasifikasi prioritas pengeluaran rendah untuk beberapa
sektor walaupun tergolong ke dalam daerah dengan klasifikasi kapasitas fiskal
tinggi.

Berdasarkan temuan lapangan
4. Sinergitas pembangunan dari dana APBD dan APBN umumnya telah berjalan
sesuai dengan yang diharapkan, dimana dana yang bersumber dari APBD dan
dana yang bersumber dari APBN dapat saling mendukung dan melengkapi satu
sama lain. Selain itu, setiap kegiatan yang didanai oleh APBN biasanya
didukung pula oleh dana pendamping yang bersumber dari dana APBD.
5. Dinas-dinas mengharapkan dana yang bersumber dari APBD dan APBN
setidaknya dapat memenuhi kebutuhan minimum anggaran, misalnya untuk
sektor pendidikan, diharapkan dana untuk pembangunan sektor pendidikan
baik yang bersumber dari APBD maupun APBN setidaknya mencapai 20% dari
total APBD dan APBN di luar anggaran rutin, sesuai dengan amanat UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Rekomendasi Kebijakan
1. Pengukuran kapasitas fiskal daerah yang telah umum digunakan sebaiknya
dilakukan penyesuaian dengan jumlah penduduk untuk dapat mengambarkan

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

26
kapasitas fiskal daerah dalam ukuran perkapita.
2. Perlu dipikirkan indikator-indikator yang relevan untuk pengukuran kapasitas
fiskal untuk tujuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan alternatif
pengukuran kapasitas fiskal, misalkan pengukuran kapasitas fiskal untuk
pembangunan infrastruktur daerah dapat memasukkan variabel panjang jalan
atau luas wilayah.
3. Pengukuran

kapasitas

fiskal

di

masa

yang

akan

datang

sebaiknya

memperhitungkan indikator tingkat harga yang dapat mengeliminasi perbedaan
tingkat harga antar daerah.
4. Agar standar pelayanan minimum dapat terpenuhi, diperlukan adanya satu
ukuran yang jelas yang dapat dijadikan standar untuk alokasi pembiayaan
kebutuhan sektor-sektor dalam melaksanakan program kegiatannya seperti
yang telah ada untuk sektor pendidikan yang termuat dalam Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

27
Daftar Pustaka
Departemen Keuangan (2005), “Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 129 /PMK.02
/2005”
(2006),
Peraturan
Menteri
73/PMK.02/2006, Departemen Keuangan RI.

Keuangan

Nomor:

Martinez-Vazquez, Jorge and L.F. Jameson Boex (1997), “An Analysis of Alternative
Measures of Fiscal Capacity for the Regions of the Russian Federation”,
International Studies Program Working Paper 97-4, Andrew Young School of
Policy Studies, Georgia State University.
Robert Simanjuntak (2003),“Recent Issues on Indonesian Government Subsidiary
Offshore Loans to Regions” paper presented at The 6th IRSA International
Conference “Regional Development in a Decentralized Era: Public services,
poverty and the environment, Savoy Homman Bidakara, Bandung.
Schneider, Martin (2002).” Local Fiscal Equalisation Based on Fiscal Capacity: The
Case of Austria” Fiscal Studies (2002) vol. 23, no. 1, pp. 105–133
Yilmaz Serdar (1999), “Equalization across Subnational Governments: Fiscal Capacity”
Public Sector Specialist, World Bank Institute.

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)

28

More Related Content

What's hot

1.1 peningkatan integritas dan nilai etika
1.1 peningkatan integritas dan nilai etika1.1 peningkatan integritas dan nilai etika
1.1 peningkatan integritas dan nilai etika
Sutikno Tumingan
 

What's hot (20)

Sistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RISistem Administrasi Negara RI
Sistem Administrasi Negara RI
 
3.11 Modul Pedoman Teknis SPIP Dokumentasi yang Baik atas SPI
3.11 Modul Pedoman Teknis SPIP Dokumentasi yang Baik atas SPI3.11 Modul Pedoman Teknis SPIP Dokumentasi yang Baik atas SPI
3.11 Modul Pedoman Teknis SPIP Dokumentasi yang Baik atas SPI
 
Gambaran Umum PP 71 Tahun 2010
Gambaran Umum PP 71 Tahun 2010Gambaran Umum PP 71 Tahun 2010
Gambaran Umum PP 71 Tahun 2010
 
penganggaran sektor publik
penganggaran sektor publikpenganggaran sektor publik
penganggaran sektor publik
 
siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansisiklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
siklus pengelolaan keu negara,anggaran dan akuntansi
 
anggaran pemerintah
anggaran pemerintahanggaran pemerintah
anggaran pemerintah
 
PP 35 PAJAK NEW.pptx
PP 35 PAJAK NEW.pptxPP 35 PAJAK NEW.pptx
PP 35 PAJAK NEW.pptx
 
1.06 penyusunan &amp; penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sdm
1.06 penyusunan &amp; penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sdm1.06 penyusunan &amp; penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sdm
1.06 penyusunan &amp; penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sdm
 
1.1 peningkatan integritas dan nilai etika
1.1 peningkatan integritas dan nilai etika1.1 peningkatan integritas dan nilai etika
1.1 peningkatan integritas dan nilai etika
 
1.02 komitmen terhadap kompetensi
1.02 komitmen terhadap kompetensi1.02 komitmen terhadap kompetensi
1.02 komitmen terhadap kompetensi
 
Pengukuran Good Governance Index
Pengukuran Good Governance IndexPengukuran Good Governance Index
Pengukuran Good Governance Index
 
Ruang Lingkup Keuangan Negara
Ruang Lingkup Keuangan NegaraRuang Lingkup Keuangan Negara
Ruang Lingkup Keuangan Negara
 
Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah
Perencanaan dan Penganggaran PemerintahPerencanaan dan Penganggaran Pemerintah
Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah
 
Proses penyusunan renstra skpd
Proses penyusunan renstra skpdProses penyusunan renstra skpd
Proses penyusunan renstra skpd
 
Makalah akuntansi perilaku
Makalah akuntansi perilakuMakalah akuntansi perilaku
Makalah akuntansi perilaku
 
Akl bab 02
Akl bab 02Akl bab 02
Akl bab 02
 
12 analisa kelayakan proyek
12 analisa kelayakan proyek12 analisa kelayakan proyek
12 analisa kelayakan proyek
 
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
Tantangan dan Peluang Administrasi Pembangunan menuju Indonesia Emas 2045
 
Kebijakan implementasi reformasi birokrasi RB 2020 2024
Kebijakan implementasi reformasi birokrasi RB 2020 2024Kebijakan implementasi reformasi birokrasi RB 2020 2024
Kebijakan implementasi reformasi birokrasi RB 2020 2024
 
Modul Akuntansi Akrual untuk Pemerintah Daerah
Modul Akuntansi Akrual untuk Pemerintah DaerahModul Akuntansi Akrual untuk Pemerintah Daerah
Modul Akuntansi Akrual untuk Pemerintah Daerah
 

Viewers also liked (8)

Kajian pemekaran daerah
Kajian pemekaran daerahKajian pemekaran daerah
Kajian pemekaran daerah
 
Pemetaan Keuangan Daerah
Pemetaan Keuangan DaerahPemetaan Keuangan Daerah
Pemetaan Keuangan Daerah
 
Pemekaran wilayah
Pemekaran wilayahPemekaran wilayah
Pemekaran wilayah
 
Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah
Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerahKajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah
Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah
 
Kajian pengalihan dana dekon & tp
Kajian pengalihan dana dekon & tpKajian pengalihan dana dekon & tp
Kajian pengalihan dana dekon & tp
 
Expose Pemekaran Wilayah
Expose Pemekaran WilayahExpose Pemekaran Wilayah
Expose Pemekaran Wilayah
 
Proposal Tesis Manajemen Keuangan Daerah
Proposal Tesis Manajemen  Keuangan DaerahProposal Tesis Manajemen  Keuangan Daerah
Proposal Tesis Manajemen Keuangan Daerah
 
CONTOH PROPOSAL TESIS MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
CONTOH PROPOSAL TESIS MANAJEMEN KEUANGAN DAERAHCONTOH PROPOSAL TESIS MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
CONTOH PROPOSAL TESIS MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
 

Similar to Kajian mapping keuangan daerah

Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjBab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Cahyo Wiryanto
 
219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf
219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf
219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf
Agus arwani
 
Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerah
Efry Ghani
 
Perkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran DaerahPerkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran Daerah
barita
 
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerahFgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Arie Maulana
 
Anggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negaraAnggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negara
gravity1992
 

Similar to Kajian mapping keuangan daerah (20)

Bhn
BhnBhn
Bhn
 
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amjBab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
Bab iii kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah amj
 
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerahHubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
 
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianDesentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan Pencapaian
 
Strategi Penetapan Kebijakan Anggaran Pembangunan Daerah
Strategi Penetapan Kebijakan Anggaran Pembangunan DaerahStrategi Penetapan Kebijakan Anggaran Pembangunan Daerah
Strategi Penetapan Kebijakan Anggaran Pembangunan Daerah
 
APBN
APBNAPBN
APBN
 
219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf
219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf
219421-pengaruh-pemahaman-akuntansi-pemanfaatan.pdf
 
PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...
PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...
PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...
 
Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerah
 
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptxAPBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
APBN_APBD_Fungsi_Tujuannya_Serta_Tingkat.pptx
 
PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...
PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...
PENGARUH PEMERIKSAAN BPK RI ATAS KESESUAIAN LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERA...
 
Perkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran DaerahPerkembangan Pemekaran Daerah
Perkembangan Pemekaran Daerah
 
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
13 masalah pengelolaan keuangan negara dan daeraha
 
PPT JURNAL PAJAK KEL.9.pptx
PPT JURNAL PAJAK KEL.9.pptxPPT JURNAL PAJAK KEL.9.pptx
PPT JURNAL PAJAK KEL.9.pptx
 
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerahFgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
Fgd bank indonesia keb fiskal dalam kerangka otonomi daerah
 
Erwin hotmansyah harahap, hapzi ali, tugas artikel manajemen strategik, unive...
Erwin hotmansyah harahap, hapzi ali, tugas artikel manajemen strategik, unive...Erwin hotmansyah harahap, hapzi ali, tugas artikel manajemen strategik, unive...
Erwin hotmansyah harahap, hapzi ali, tugas artikel manajemen strategik, unive...
 
Keuangan-Negara-bphn.pdf
Keuangan-Negara-bphn.pdfKeuangan-Negara-bphn.pdf
Keuangan-Negara-bphn.pdf
 
Keuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahKeuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerah
 
Anggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negaraAnggaran pendapatan dan belanja negara
Anggaran pendapatan dan belanja negara
 
sistem penganggaran negara
sistem penganggaran negarasistem penganggaran negara
sistem penganggaran negara
 

More from Herry Prananto (12)

Kajian formula rating daerah
Kajian formula rating daerahKajian formula rating daerah
Kajian formula rating daerah
 
Konsolidasi 2011
Konsolidasi 2011Konsolidasi 2011
Konsolidasi 2011
 
Buletin defis 02 djpk
Buletin defis 02   djpkBuletin defis 02   djpk
Buletin defis 02 djpk
 
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerahPmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
Pmk 165 th 2012 pengalokasian anggaran transfer ke daerah
 
Japan’s development experience edited
Japan’s development experience editedJapan’s development experience edited
Japan’s development experience edited
 
Ombusman
OmbusmanOmbusman
Ombusman
 
Seto city introduction
Seto city introductionSeto city introduction
Seto city introduction
 
Good governance theory and practice08
Good governance theory and practice08Good governance theory and practice08
Good governance theory and practice08
 
Aichi financial standing
Aichi financial standingAichi financial standing
Aichi financial standing
 
Sosialisasi samarinda 2011
Sosialisasi samarinda 2011Sosialisasi samarinda 2011
Sosialisasi samarinda 2011
 
Prinsip2 transfer ke daerah
Prinsip2 transfer ke daerah Prinsip2 transfer ke daerah
Prinsip2 transfer ke daerah
 
Assessment Center DJPK
Assessment Center DJPKAssessment Center DJPK
Assessment Center DJPK
 

Recently uploaded

uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
langkahgontay88
 
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh ImplementasiPengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
GustiAdityaR
 
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxPPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
Zefanya9
 
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalelaDAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
armanamo012
 
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptModal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Frida Adnantara
 
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxCryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
umusilmi2019
 
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
ChairaniManasye1
 

Recently uploaded (20)

PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptxPERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
PERAN KARYAWAN DALAM PENGEMBANGAN KARIR.pptx
 
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
 
7 Indikator Analisis Teknikal Saham Yang Paling Populer.pptx
7 Indikator Analisis Teknikal Saham Yang Paling Populer.pptx7 Indikator Analisis Teknikal Saham Yang Paling Populer.pptx
7 Indikator Analisis Teknikal Saham Yang Paling Populer.pptx
 
Ekonomi Teknik dan perencanaan kegiatan usaha
Ekonomi Teknik dan perencanaan kegiatan usahaEkonomi Teknik dan perencanaan kegiatan usaha
Ekonomi Teknik dan perencanaan kegiatan usaha
 
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh ImplementasiPengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
Pengantar Ilmu Ekonomi Kewilayahan, Teori dan Contoh Implementasi
 
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxPSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
 
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptxPPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
PPT KELOMPOK 4 ORGANISASI DARI KOPERASI.pptx
 
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalelaDAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
DAMPAK MASIF KORUPSI yang kian merajalela
 
Introduction fixed asset (Aset Tetap).ppt
Introduction fixed asset (Aset Tetap).pptIntroduction fixed asset (Aset Tetap).ppt
Introduction fixed asset (Aset Tetap).ppt
 
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga KeuanganPresentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
Presentasi Tentang Asuransi Pada Lembaga Keuangan
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
 
MOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptx
MOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptxMOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptx
MOTIVASI MINAT, BAKAT & POTENSI DIRI.pptx
 
KEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNIS
KEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNISKEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNIS
KEPEMIMPINAN DALAM MENJALANKAN USAHA/BISNIS
 
Perhitungan Bunga dan Nilai Uang (mankeu).ppt
Perhitungan Bunga dan Nilai Uang (mankeu).pptPerhitungan Bunga dan Nilai Uang (mankeu).ppt
Perhitungan Bunga dan Nilai Uang (mankeu).ppt
 
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.pptModal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
Modal Kerja manajemen keuangan modal kerja.ppt
 
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
Ukuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnyaUkuran Letak Data  kuartil  dan  beberapa pembagian  lainnya
Ukuran Letak Data kuartil dan beberapa pembagian lainnya
 
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptxCryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
Cryptocurrency dalam Perspektif Ekonomi Syariah.pptx
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
 
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
Ekonomi Makro Pertemuan 4 - Tingkat pengangguran: Jumlah orang yang menganggu...
 
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non BankPresentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
Presentasi Leasing Pada Lembaga Keuangan Non Bank
 

Kajian mapping keuangan daerah

  • 1. Kajian Pemetaan Kapasitas Fiskal dan Prioritas Keuangan Daerah Tim Penyusun : Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana (Universitas Padjajaran) Dr. Robert P. Simanjuntak (Universitas Indonesia) Dr. Bagus Santoso (Universitas Gadjah Mada) Edison Sihombing, SE., MT (Departemen Keuangan) TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006
  • 2. PEMETAAN KAPASITAS FISKAL DAN PRIORITAS KEUANGAN DAERAH 1. Pendahuluan Sejak diimplemetasikannya kebijakan otonomi daerah pada tahun 2001 dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004. Tata pemerintahan daerah di Indonesia mengalami perubahan yang drastis, dari yang sebelumnya cenderung sentralistik menjadi desentralistik. Berdasarkan UU tersebut, sebagian besar kewenangan pemerintahan diserahkan kepada daerah, kecuali kewenangan moneter fiskal, luar negeri, agama, peradilan dan pertahanan keamanan. Pada dasarnya tujuan pemberlakuan otonomi daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan yang lebih luas oleh pemerintah daerah tersebut perlu didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Hal tersebut telah diatur dalam UU No.25 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kedua UU tersebut merupakan dasar pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal. Jumlah dana yang didaerahkan sejalan dengan berlakunya desentralisasi fiskal telah mengalami peningkatan yang signifikan. Dengan meningkatnya dana yang diterima daerah, maka diperlukan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah yang tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan yang baik, transparan, dan akuntabel. Hal tersebut penting untuk dapat mencapai sasaran pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, peningkatan mutu pendidikan dan tingkat kesehatan masyarakat, serta peningkatan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Dalam mengimplementasikan desentralisasi fiskal perlu dikembangkan transparansi, efisien, dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Penerapan kebijakan desentralisasi fiskal tidak terlepas dari kekurangan, sehingga perlu secara terus-menerus dievaluasi dan disempurnakan. Perlu disadari bahwa desentralisasi fiskal merupakan suatu proses yang pelaksanaannya harus dapat dikendalikan dan diarahkan agar tidak keluar dari jalur dan kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber-sumber penerimaan antar satu daerah dengan daerah Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 1
  • 3. lainnya sangat beragam. Ada beberapa daerah dengan sumber daya yang dimiliki mampu menyelenggarakan otonomi daerah, namun di sisi lain terdapat beberapa daerah yang menghadapi kesulitan dalam menyelenggarakan tugas desentralisasi, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Kreativitas dan inisiatif suatu daerah dalam menggali sumber keuangan akan sangat tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintahan daerah itu sendiri. Di satu sisi, mobilisasi sumber daya keuangan untuk membiayai berbagai aktivitas daerah ini dapat meningkatkan kinerja pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya. Namun demikian, mobilisasi sumber dana secara eksesif dan berlebihan dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang tidak kondusif. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dipandang perlu dilakukan pengkajian secara mendalam mengenai pemetaan kemampuan keuangan daerah untuk mengetahui daerah-daerah yang mempunyai dana APBD yang besar dan sejauhmana daerah tersebut dapat memanfaatkan dana tersebut untuk kesejahteraan masyarakatnya. Secara lebih spesifik, maka tujuan Penelitian ini adalah untuk: 1. Melakukan pemetaan kapasitas fiskal daerah. 2. Melakukan pemetaan prioritas pengeluaran sektoral daerah, terutama pada sektor pendidikan, sektor kesehatan, sektor infrastruktur. 3. Melakukan pemetaan kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran sektoral daerah. 4. Mengetahui sinergitas dana keuangan daerah dengan dana APBN untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. 5. Menyusun dan merumuskan rekomendasi kebijakan di bidang keuangan daerah (implikasi kebijakan). 2. Studi Pustaka Martinez-Vazquez, Jorge and L.F. Jameson Boex (1997): An Analysis of Alternative Measures of Fiscal Capacity for the Regions of the Russian Federation. Menurut Martinez dan Boex (1997), ada enam jenis pengukuran kapasitas fiskal, yaitu: 1. Pengumpulan pendapatan (Revenue Collection) 2. Pendapatan Per Kapita (Per Capita Income) 3. Produk Regional Bruto (Gross Regional Product) 4. Sumber-Sumber Pemajakan (Total Taxable Resources (TTR)) Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 2
  • 4. 5. Sistem Perpajakan Representatif (Representative Tax System/RTS) 6. Sistem Perpajakan Representatif dengan menggunakan analisis Regresi (RTS/R) Pengumpulan pendapatan Keuntungan dengan menggunakan pengumpulan pendapatan sebagai ukuran kapasitas fiskal terkait dengan ketersediaan data yang mudah diperoleh. Kekurangan pengumpulan pendapatan sebagai ukuran kapasitas fiskal: 1. Terkait dengan kemampuan daerah dalam meningkatkan penerimaan, pengumpulan pendapatan aktual juga sangat dipengaruhi oleh tingkat perbedaan pelaksanaan, pemenuhan, dan dalam beberapa kasus terkait dengan tingkat pajak dan pembebasan pajak yang merupakan kewenangan pemerintah daerah. 2. Dapat mengurangi insentif bagi pemerintah daerah dalam megumpulkan pendapatan. Untuk menutupi kekurangan dalam metode tersebut, dapat dilakukan modifikasi dengan cara: 1. Menampilkan dalam bentuk per kapita dengan membagi total pendapatan dengan jumlah penduduk untuk setiap daerah. 2. Melakukan penyesuaian dalam tingkat kebutuhan hidup daerah dengan membagi jumlah nominal pendapatan per kapita untuk setiap daerah dengan indeks harga konsumen (Regional cost of living) Pendapatan per Kapita Salah satu pengukuran fiscal mapping yang paling banyak digunakan di dunia adalah rata-rata pendapatan rumah tangga atau pendapatn individu pada suatu wilayah. Kelebihan pengukuran ini adalah kemudahannya. Namun demikian, untuk meningkatkan akurasi dari pengukuran ini, perlu dilakukan beberapa penyesuaian. Penyesuaian pertama dilakukan dengan menggunakan indeks biaya hidup regional (regional cost of living index) untuk mengontrol perbedaan tingkat harga antar daerah. Produk Regional Bruto (Gross Regional Product) Produk regional bruto mengukur nilai total barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu daerah pada periode tertentu. Sebelum digunakan untuk mengukur kapasitas fiskal, produk regional bruto juga harus disesuaikan dengan indeks biaya hidup regional. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 3
  • 5. Sumber-Sumber Pemajakan (Total Taxable Resources) Total Taxable resources (TTR) adalah salah satu ukuran kapasitas fiskal yang didasarkan pada tingkat pendapatan regional bruto beserta beberapa penyesuaian penting. Sistem Perpajakan Representatif (Representative Tax System) Sistem ini mengukur kapasitas fiskal dengan berdasarkan pada data fiskal disaggregate (disaggregate fiscal data) dan informasi detail lainnya tentang basis pajak pada setiap daerah. Sistem Perpajakan Representatif dengan menggunakan analisis Regresi (Representative Tax System using regression analysis (RTS/R)) Analisis regresi memungkinkan kita untuk menghitung kapasitas fiskal secara akurat dengan mengidentifikasi efek tingkat basis pajak regional terhadap pendapatan. Dengan regresi ini, diestimasi hubungan antara tingkat pendapatan (revenue collection) per kapita dengan dua proksi basis pajak regional, yaitu: (1) retail trade turnover (per orang) dan (2) pendapatan bruto regional (per kapita). Hal ini menggambarkan bahwa kemampuan suatu daerah dalam menggalang semua jenis penerimaan pajak akan meningkat seiring dengan kedua variabel tersebut. Beberapa variasi dalam revenue collection yang tidak dapat dijelaskan dengan proksi-proksi basis pajak regional dapat diinterpretasikan sebagai variasi dalam fiscal effort. Dari keenam jenis pengukuran fiskal mapping tersebut, versi RTS/R merupakan pengukuran yang paling baik. Namun demikian, pengukuran ini mempunyai kelemahan karena kompleksitas pengukurannya dan tidak transparan. Pilihan terbaik kedua adalah TTR yang merupakan versi modifikasi dari pendapatan bruto regional. Serdar Yilmaz (1999): Equalization Across Subnational Governments: Fiscal Capacity. Yilmaz (1999) menyatakan bahwa pengukuran kapasitas fiskal merupakan sesuatu yang sangat perlu untuk mengatasi permasalahan ketimpangan antar daerah dan masalah implementasi program pemerataan. Pengukuran kapasitas fiskal memandu pemerintah pusat dalam upaya mereka untuk memberikan hal yang sama dalam masalah ketersediaan sumber daya untuk setiap daerah. Lebih jauh, Yilmaz (1999) juga menyebutkan bahwa pengukuran kapasitas fiskal dapat Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 4
  • 6. menyediakan informasi tentang kekuatan dan kelemahan fiskal pemerintah daerah. Pengukuran ini dapat digunakan untuk: - Mengawasi dan membandingkan tren fiskal dan keadaan ekonomi daerah; - Menyediakan informasi tentang perkiraan kekuatan dari ekonomi regional; - Meramalkan dampak dari perubahan structural perekonomian regional; - Memandu pemerintah pusat untuk membantu pemerintah daerah dengan berbagai grant yang berbeda-beda. Martin Schneider (2002): Local Fiscal Equalisation Based on Fiscal Capacity: The Case of Austria Schneider (2002) melakukan analisis kesetaraan fiskal (fiscal equalization) di Austria. Sistem hubungan antarpemerintahan di Austria sendiri didalamnya memuat peraturanperaturan yang berbeda dalam rangka menyetarakan perbedaan kapasitas fiskal di tingkat municipality. Hal ini menyebabkan timbulnya “efek kompensasi” (compensation effects), karena setidaknya sebagian tambahan penerimaan dari pajak daerah dikompensasi oleh berkurangnya equalisation grants. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa efek kompensasi menciptakan disinsentif fiskal yang sangat kuat bagi pemerintah daerah. Secara rata-rata sebesar 55 persen tambahan penerimaan yang berasal dari communal tax (yang merupakan yang paling penting bagi daerah) dikompensasi oleh hilangnya equalisation grants. Dalam kasus yang ekstrem, tambahan pajak yang dapat dikumpulkan pemerintah daerah dapat berkurang sebesar 144 persen. Penerimaan pemerintah daerah tersebut sesungguhnya bisa lebih baik jika mereka tidak melakukan upaya peningkatan basis pajak. Robert Simanjuntak (2003): Recent Issues on Indonesian Government Subsidiary Offshore Loans to Regions. Simanjuntak (2003) melakukan pengkategorian peta kapasitas daerah dengan mengunakan analisis klaster, dengan merumuskan 5 skenario pengukuran kapasitas fiskal yang akan menghasilkan peta kapasitas fiskal daerah berdasarkan kategori tinggi, sedang dan rendah. Skenario pertama berdasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa kapasitas fiskal adalah kemampuan keuangan suatu Daerah yang tercermin Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 5
  • 7. pada pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana Pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu); misalnya pendapatan daerah dikurangi belanja pegawai/gaji pegawai. Empat skenario lainnya digunakan untuk memperkaya analisis dan mencari perbandingan ukuran peta kapasitas fiskal yang lebih baik. Skenario-skenario tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2.1: Lima Skenario Pengukuran Kapasitas Fiskal Daerah Skenario Formula 1 (PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Belanja Pegawai 2 (PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)/Belanja Pegawai 3 4 5 (PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Belanja Pegawai 2.5 (PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Pengeluaran Rutin 2.5 (PAD+Bagi Hasil+DAU+lain-lain)-Pengeluaran Rutin Sumber: Simanjuntak (2003) Simanjuntak (2003) menyebutkan bahwa dilihat dari komponen-komponen kapasitas fiskal tersebut, hanya penerimaan dari bagi hasil Sumber Daya Alam saja yang mungkin dapat berfluktuasi dalam jangka pendek. Penerimaan lainnya (PAD, Bagi Hasil Pajak, dan DAU) relatif lebih stabil. Sedangkan belanja pegawai dan pengeluaran rutin secara umum, tidak akan berubah banyak dalam jangka pendek. Sementara itu, penerimaan dari Sumber Daya Alam mungkin saja menurun dalam jangka panjang, karena porsi yang besar dari penerimaan Sumber Daya Alam ini berasal dari Sumber Daya Alam yang tidak dapat diperbaharui seperti minyak bumi dan gas alam. Berdasarkan hasil simulasi kelima skenario tersebut, baik untuk level provinsi maupun untuk level kabupaten/kota, sebagian besar daerah berada dalam kategori kapasitas fiskal rendah. Kurang dari 10% saja dari seluruh daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang tinggi, dan antara 15% -25% yang termasuk ke dalam kategori sedang. Simanjuntak (2003) memperkirakan bahwa hal ini terjadi karena keberadaan ”daerah ekstrim” atau ”outlier” misalkan daerah yang sangat kaya seperti DKI Jakarta dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Dalam analisis selanjutnya, Simanjuntak (2003) mengeluarkan outliers tersebut dari perhitungan, setelah itu baru dapat dilakukan pengkategorian untuk daerah-daerah Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 6
  • 8. lainnya. Hasil simulasi dengan menggunakan ke lima skenario tersebut setelah mengeluarkan outliers menunjukkan bahwa untuk tingkat provinsi, sebagia besar daerah berada dalam kategori kapasitas fiskal sedang. 15%-37% dikategorikan ke dalam provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi, sedangkan 25%-54% termasuk ke dalam kategori sedang. Sedangkan untuk kabupaten kota, jumlah daerah yang termasuk ke dalam kategori kapasitas fiskal tinggi relatif lebih banyak jika dibandingkan sebelum outliers dikeluarkan, dimana daerah yang termasuk ke dalam daerah berkapasitas fiskal tinggi berkisar antara 12%-29%. Perhitungan kapasitas fiskal daerah juga dapat dilihat pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 129 tahun 2005 dan PMK No. 73 tahun 2006 yang memuat tentang peta kapasitas fiskal dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk hibah. Dalam kedua PMK tersebut, disebutkan bahwa Kapasitas Fiskal merupakan kemampuan keuangan suatu Daerah untuk membiayai tugas pemerintahan yang dicerminkan melalui pendapatan daerah (tidak termasuk dana alokasi khusus, dana darurat, dana Pinjaman lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu) yang dikaitkan dengan belanja pegawai, dan jumlah penduduk miskin. Dalam PMK No. 129 tahun 2005, peta Kapasitas Fiskal merupakan pengelompokkan daerah berdasarkan Kapasitas Fiskal ke dalam tiga kelompok yaitu: daerah berkapasitas fiskal tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan dalam PMK No. 73 tahun 2006, peta kapasitas fiskal dibagi ke dalam empat kelompok yaitu daerah berkapasitas fiskal sangat tinggi, tinggi, sedang, dan rendah. Peta Kapasitas Fiskal tersebut didapatkan dari perhitungan Indeks Kapasitas Fiskal yang didapat dengan cara menghitung Kapasitas Fiskal masing-masing Daerah dibagi dengan rata-rata Kapasitas Fiskal seluruh Daerah. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 7
  • 9. Tabel 2.2: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah Berdasarkan PMK No. 129/2005 dengan PMK No. 73/2006 PMK No. 129/2005 Kapasitas Deskripsi Fiskal Daerah 1. Tinggi 2. Sedang 3. Rendah Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya lebih dari 1 atau sama dengan 1 (indeks≥1) Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya antara 0,5 atau sama dengan 0,5 sampai dengan 1 (0,5≤indeks<1) Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya kurang dari 0,5(indeks<0,5) PMK No. 73/2006 Kapasitas Deskripsi Fiskal Daerah 1.Sangat Daerah yang indeks tinggi kapasitas fiskalnya lebih dari 2 atau sama dengan 2 (indeks ≥ 2) 2. Tinggi Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya antara 1 atau sama dengan 1 sampai dengan 2 (1≤ indeks<2) 3. Sedang Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya antara 0,5 atau sama dengan 0,5 sampai dengan 1 (0,5 ≤ indeks<1) 4. Rendah Daerah yang indeks kapasitas fiskalnya kurang dari 0,5 (indeks<0,5) Sumber: PMK No. 129/2005 dan PMK No. 73/2006, Departemen Keuangan RI. 3. Metode Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan pemetaan keuangan daerah yang terbagi menjadi dua, yaitu kapasitas fiskal daerah dan prioritas pengeluaran daerah. Untuk memperoleh informasi tentang sinergitas antara keuangan daerah dengan alokasi dana yang berasal dari APBN, dilakukan kunjungan ke lapangan (studi kasus) ke beberapa daerah di Indonesia. 3.1 Perhitungan Indeks Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Indeks Kapasitas Fiskal Perhitungan Kapasitas Fiskal daerah untuk Propinsi maupun Kabupaten/Kota dalam penelitian ini dibagi ke dalam dua alternatif persamaan: KF1 = (PAD + BH + DAU + LP)-BP (3.1) POP Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 8
  • 10. Perhitungan Kapasitas Fiskal berdasarkan PMK No. 129/20051: KF2 = ( PAD + BH + DAU + LP) – BP (3.2) JPM dimana: KF = Kapasitas Fiskal PAD = Pendapatan Asli Daerah BH = Bagi Hasil PBB +Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam) DAU = Dana Alokasi Umum LP = Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah kecuali Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, Dana Pinjaman dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi BP = Belanja Pegawai POP = Jumlah Penduduk JPM = Jumlah Penduduk Miskin Persamaan Perhitungan Kapasitas Fiskal pertama (KF1) disesuaikan dengan jumlah penduduk dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) daerah. Penyesuaian dengan jumlah penduduk, dilakukan untuk mengetahui kapasitas fiskal daerah dalam ukuran perkapita. Sedangkan penyesuaian dengan IKK daerah atau indeks kemahalan daerah dimaksudkan untuk mengeliminasi perbedaan tingkat harga antar daerah. Persamaan Perhitungan Kapasitas Fiskal kedua (KF2) disesuaikan dengan jumlah penduduk miskin dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) daerah. Perbedaan antara Persamaan Perhitungan Kapasitas Fiskal kedua (KF2) dengan Perhitungan Kapasitas Fiskal berdasarkan PMK No. 129/2005 adalah terletak pada penggunaan IKK daerah, dimana dalam perhitungan Kapasitas Fiskal berdasarkan PMK No. 129/2005 belum memperhitungkan IKK daerah sebagai cerminan adanya perbedaan tingkat harga antar daerah. Penyesuaian dengan IKK daerah secara langsung akan berhubungan dengan masalah 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/2005 tentang Peta Kapasitas Fiskal dengan persamaan (3.2) dimaksudkan dalam rangka penerusan pinjaman luar negeri pemerintah kepada daerah dalam bentuk hibah. Hal ini membuat peta kapasitas fiskal dengan menggunakan persamaan (3.1) dan persamaan (3.2) akan memberikan hasil yang berbeda, dimana persamaan (3.1) merupakan formula kapasitas fiskal yang lebih umum digunakan, berbeda dengan peta kapasitas fikal pada persamaan (3.2) yang digunakan untuk tujuan yang lebih spesifik. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 9
  • 11. penggunaan data dengan tahun dasar. Ada dua pilihan penggunaan data, yaitu menggunakan data tahun berjalan atau menggunakan data dengan tahun dasar tertentu. Penentuan tahun dasar ini dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan seluruh data. Perhitungan indeks kapasitas fiskal dilakukan dengan menghitung kapasitas fiskal masing-masing daerah dibagi dengan rata-rata kapasitas fiskal seluruh daerah baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota. Selanjutnya setelah melakukan penghitungan kapasitas fiskal daerah dengan kedua alternatif diatas, maka diklasifikasikan daerah berdasarkan tingkat kapasitas fiskalnya. Dari hasil penghitungan indeks kapasitas fiskal tersebut, ditetapkan kategori daerah sebagai berikut (lihat tabel 3.1): a. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal lebih dari 1 atau sama dengan 1 (indeks≥1) merupakan Daerah yang termasuk kategori kapasitas fiskal tinggi; b. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal antara 0,5 atau sama dengan 0,5 sampai dengan 1 (0,5 ≤ indeks<1) merupakan Daerah yang termasuk kategori kapasitas fiskal sedang; c. Daerah dengan indeks kapasitas fiskal kurang dari 0,5 (indeks<0,5) merupakan Daerah yang termasuk kategori kapasitas fiskal rendah. Tabel 3.1: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah Daerah Tinggi Kapasitas Fiskal * Sedang Rendah Propinsi Kabupaten/ Kota * Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2 Prioritas Pengeluaran Daerah untuk Sektor i Prioritas pengeluaran daerah dapat diketahui dengan melakukan analisa pada besaran pengeluaran pada beberapa pos/ sektor pengeluaran tiap daerah. Pos-pos (sektor) pengeluaran yang akan dianalisis dibatasi hanya pada tiga sektor saja, yaitu sektor pendidikan, sektor kesehatan dan sektor infrastruktur. Kemudian, dihitung rasio antara pengeluaran masing-masing sektor terhadap total pengeluaran masing-masing daerah. Selanjutnya, perhitungan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk ketiga sektor tersebut dilakukan dengan cara membagi rasio pengeluaran sektor i di masing-masing Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 10
  • 12. daerah dengan rata-rata rasio pengeluaran tiap-tiap sektor seluruh daerah. Dari hasil perhitungan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk sektor i tersebut, ditetapkan kategori daerah sebagai berikut: a. Daerah dengan indeks prioritas pengeluaran daerah di sektor i (i = 1,2,3 dimana i=1 adalah sektor pendidikan; i=2 adalah sektor kesehatan dan i=3 adalah sektor infrastruktur) lebih dari 1 atau sama dengan 1 (indeks≥1) merupakan daerah yang termasuk kategori prioritas pengeluaran sektor i tinggi; b. Daerah dengan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk sektor i antara 0,5 atau sama dengan 0,5 sampai dengan 1 (0,5 ≤ indeks<1) merupakan daerah yang termasuk kategori prioritas pengeluaran sektor i sedang; c. Daerah dengan indeks prioritas pengeluaran daerah untuk sektor i kurang dari 0,5 (indeks<0,5) merupakan daerah yang termasuk kategori prioritas pengeluaran sektor i rendah. Selanjutnya, daerah-daerah tersebut akan diklasifikasikan menurut prioritas pengeluaran daerah sebagaimana klasifikasi dalam Tabel 3.2 berikut: Tabel 3.2: Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Daerah Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Sektor Tinggi Sedang Rendah Sektor Pendidikan Sektor Kesehatan Sektor Infrastruktur Setelah melakukan perhitungan kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah, maka kita dapat melakukan pemetaan seperti terlihat pada tabel 3.3 sampai dengan tabel 3.5 di bawah ini: Tabel 3.3: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Sektor Pendidikan Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal* Prioritas pengeluaran Tinggi Sedang Rendah Sektor Pendidikan Tinggi Sedang Rendah *Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2 Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 11
  • 13. Tabel 3.4: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Sektor Kesehatan Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal* Prioritas pengeluaran Tinggi Sedang Rendah Sektor Kesehatan Tinggi Sedang Rendah *Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2 Tabel 3.5: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Sektor Infrastruktur Kapasitas Fiskal Kapasitas Fiskal* Prioritas pengeluaran Tinggi Sedang Rendah Sektor Infrastruktur Tinggi Sedang Rendah *Dihitung berdasarkan rumus KF1 dan KF2 Data dan Sumber Data Data dan sumber data yang digunakan untuk melakukan perhitungan pemetaan keuangan daerah (kapasitas fiskal maupun prioritas pengeluaran daerah), di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten/ kota adalah sebagai berikut: 1. Data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) provinsi maupun kabupaten/kota tahun 2004. 2. Data-data pendukung dari berbagai publikasi-publikasi statistik Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik, maupun lembaga-lembaga pemerintah untuk tahun 2004. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 12
  • 14. Tabel 3.6: Data dan Sumber Data No. Data 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) 2. Sumber Data APBD, Departemen keuangan Bagi Hasil (Bagi Hasil PBB, Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak/SDA Dana Alokasi Umum (DAU) APBD, Departemen keuangan 4. Belanja Pegawai 5. Lain-lain Pendapatan yang sah Pengeluaran Sektor Pendidikan APBD, Departemen keuangan APBD, Departemen keuangan APBD, Departemen keuangan APBD, Departemen keuangan APBD, Departemen keuangan 3. 6. APBD, Departemen keuangan 7. Pengeluaran Sektor Kesehatan 8. Pengeluaran Sektor Infrastruktur 9. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) Badan Pusat Statistik 10. Jumlah Penduduk 11. Jumlah Penduduk Miskin Badan Pusat Statistik Badan Pusat Statistik Keterangan PAD bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerahnya masing-masing. Dana yang bersumber dari APBN yang dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Merupakan pos belanja yang dikeluarkan untuk keperluan gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil Diluar Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, Dana Pinjaman dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi. Pengeluaran pembangunan untuk sektor pendidikan. Pengeluaran pembangunan untuk sektor kesehatan. Pengeluaran pembangunan untuk sektor infrastruktur. Sektor infrastruktur dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari Sektor Pekerjaan Umum, Sektor Penataan Ruang, dan Sektor Pemukiman. Merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antar daerah Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan provinsi dan kabupaten/kota Jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan / poverty line 3.2 Survei Lapangan dan Focus Group Discussion Untuk mendapatkan gambaran yang lebih detail tentang kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah, dalam penelitian ini selain menggunakan pendekatan kuantitatif seperti yang dijelaskan di atas, juga dilakukan survei lapangan dan Focus Group Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 13
  • 15. Discussion ke dinas-dinas terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, dan Dinas PSDA di beberapa daerah terpilih, yaitu sebagai berikut: 1. Tingkat Propinsi : Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Riau 2. Tingkat Kabupaten/Kota: a) Kabupaten: Gresik, Jayapura, Karo, Lampung Selatan, Pelalawan, Sukoharjo. b) Kota: Banda Aceh, Bengkulu, Denpasar, Pekan Baru, Semarang, Surabaya. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan dalam survei lapangan dan kegiatan Focus Group Discussion tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut: Prioritas Penggunaan Dana APBD Pada Sektor Pendidikan/ Kesehatan/ Pekerjaan Umum Prioritas Penggunaan Dana APBN Untuk Pembiayaan Sektor Pendidikan/ Kesehatan/ Pekerjaan Umum Koordinasi dan sinergitas dana dari APBD maupun dari APBN Pada Sektor Pendidikan/ Kesehatan/ Pekerjaan Umum Rincian Anggaran yang bersumber dari Dana APBN Harapan prioritas alokasi dana APBN dan APBD 4. Hasil Perhitungan Indeks Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Kapasitas Fiskal Daerah Perbedaan formula KF1 dan KF2 terletak pada penggunaan data penduduk (untuk KF1) dan data penduduk miskin (untuk KF2). Hal ini membawa implikasi pada hasil Perhitungan Kapasitas Fiskal Daerah yang memberikan hasil yang berbeda dan sangat signifikan pengaruhnya terhadap klasifikasi kapasitas fiskal daerah. Di satu sisi, dengan menggunakan formula KF1, apabila suatu daerah dengan jumlah penduduk yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk daerah lainnya, cenderung memiliki nilai indeks kapasitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya dan termasuk ke dalam daerah yang berkapasitas fiskal tinggi atau sedang, sebaliknya apabila suatu daerah memiliki jumlah penduduk yang relatif besar dibandingkan daerah lainnya, cenderung memiliki nilai indeks kapasitas fiskal yang rendah. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 14
  • 16. Sementara itu, klasifikasi kapasitas fiskal daerah akan berbeda apabila menggunakan formula KF2. Daerah yang pada awalnya termasuk ke dalam kelompok kapasitas fiskal tinggi berdasarkan hasil perhitungan formula KF1, bisa saja masuk ke dalam kelompok daerah yang berkapasitas fiskal sedang atau bahkan ke dalam kelompok daerah berkapasitas rendah, begitupun sebaliknya, suatu daerah dengan formula KF1 termasuk ke dalam kelompok daerah yang berkapasitas fiskal rendah, dengan formula KF2 bisa saja masuk ke dalam kelompok daerah yang berkapasitas fiskal tinggi atau sedang. Hal ini sangat tergantung pada jumlah penduduk miskin daerah tersebut, apabila suatu daerah memiliki jumlah penduduk miskin yang tinggi, maka daerah tersebut cenderung termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas sedang atau rendah. Sebaliknya, meskipun suatu daerah memiliki jumlah penduduk yang relatif tinggi, tetapi apabila jumlah penduduk miskinnya kecil, maka daerah tersebut bias saja masuk ke dalam kelompok daerah yang berkapasitas tinggi atau sedang, walaupun dengan menggunakan formula KF1 daerah tersebut tergolong ke dalam kelompok daerah berkapasitas rendah. Pada tingkat Propinsi, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua yang secara relatif memiliki jumlah penduduk yang lebih kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya, dengan formula KF1 termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas fiskal tinggi. Namun ketika formula KF2 yang digunakan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi (kurang lebih sebesar 27.29% dari total jumlah penduduknya), klasifikasinya bergeser menjadi salah satu daerah yang termasuk ke dalam kategori daerah berkapasitas sedang. Begitu pula dengan Provinsi Papua yang pada awalnya termasuk daerah yang berkapasitas fiskal tinggi berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan formula KF1, berubah menjadi daerah yang berkapasitas fiskal rendah bedasarkan hasil pengukuran dengan formula KF2 karena memiliki jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi (sekitar 40,15 % dari total jumlah penduduknya). Sementara itu, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Bali yang pada awalnya termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas fiskal sedang, berubah menjadi darah yang berkapasitas tinggi berdasarkan hasil perhitungan KF2, menggantikan posisi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Provinsi Papua, karena memiliki jumlah penduduk miskin yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah lainnya. Hal ini dapat pula dilihat dari sebaran daerah dalam klasifikasi kapasitas fiskalnya, dimana dengan menggunakan formula KF1, kapasitas fiskal daerah cenderung lebih banyak pada Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 15
  • 17. kelompok kategori daerah berkapasitas fiskal sedang, berbeda halnya bila menggunakan formula KF2, dimana kapasitas fiskal daerah cenderung lebih banyak daerah yang termasuk ke dalam kategori daerah berkapasitas rendah. Hal di atas berlaku pula untuk pengukuran kapasitas daerah untuk tingkat kabupaten/kota, dimana daerah yang pada awalnya masuk ke dalam kategori fiskal tinggi, bisa saja berubah menjadi daerah yang tergolong ke dalam daerah berkapasitas fiskal sedang bahkan rendah apabila formula KF2 yang digunakan, begitu pula sebaliknya, daerah yang pada awalnya dengan formula KF1 termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas sedang atau rendah bisa saja berubah menjadi daerah yang termasuk ke dalam kelompok daerah berkapasitas fiskal tinggi. Hal ini dapat dilihat dari sebaran kalasifikasi kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota yang berbeda antara kapasitas fiskal dengan formula KF1 dengan KF2. Kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota cenderung lebih sedikit pada klasifikasi kapasitas fiskal tinggi dan terkonsentrasi pada klasifikasi kapasitas rendah dan sedang. Sementara apabila menggunakan formula KF2, terjadi perubahan komposisi jumlah daerah dalam klasifikasi kapasitas fiskal, dimana jumlah daerah yang tergolong ke dalam daerah berkapasitas fiskal tinggi menjadi lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang berkapasitas fiskal sedang yang komposisinya menjadi lebih sedikit jika dibandingkan dengan klasifikasi kapasitas fiskal dengan formula KF1 (lihat lampiran 1 sampai 3). Secara lebih detail, hasil pengukuran kapasitas fiskal daerah dengan menggunakan formula KF1 dan KF2 dapat dipetakan sebagai berikut: Dari 30 provinsi, dengan menggunakan formula KF1, provinsi yang termasuk ke dalam kapasitas fiskal tinggi sebanyak 9 provinsi; sedang 14 provinsi; dan provinsi dengan kapasitas fiskal rendah sebanyak 7 provinsi. Dengan menggunakan formula KF2, sebanyak 6 provinsi termasuk ke dalam daerah berkapasitas fiskal tinggi; sedang 7 provinsi, dan 17 provinsi berkapasitas fiskal rendah. Untuk kabupaten/kota, dengan menggunakan formula KF1 dari 366 kabupaten/kota, hasilnya adalah sebagai berikut: 104 kabupaten/kota termasuk ke dalam daerah berkapasitas fiskal tinggi, 113 kabupaten/kota berkapasitas sedang, dan 149 kabupaten/kota termasuk ke dalam daerah berkapasitas fiskal rendah. Sedangkan dengan formula KF2, dari total 366 kabupaten/kota hasilnya adalah sebagai berikut: 102 provinsi masuk ke dalam kategori kapasitas fiskal tinggi, 77 provinsi masuk dalam kategori sedang, dan sisanya sebanyak 187 provinsi masuk ke dalam Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 16
  • 18. kategori kapasitas fiskal yang rendah. Kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kategori daerah berkapasitas fiskal tinggi dengan formula KF1, rata-rata merupakan daerah yang relatif memiliki sumber daya alam yang kaya dan jumlah penduduk yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan daerah lainnya. Sebaliknya untuk daerah yang memiliki relatif lebih sedikit sumber daya alam dan jumlah penduduknya cukup tinggi rata-rata berada pada kategori daerah berkapasitas fiskal rendah. Begitu pula dengan menggunakan formula KF2 dimana daerah yang relatif memiliki sumber daya alam yang lebih kaya dibandingkan daerah lainnya dan memiliki jumlah penduduk miskin yang lebih sedikit rata-rata termasuk ke dalam kategori daerah berkapasitas fiskal tinggi dan sedang, dan sebaliknya untuk daerah yang miskin sumber daya alam dan jumlah penduduk yang cukup tinggi rata-rata berada pada kelompok daerah berkapasitas fiskal rendah. Tabel 4.1: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah (Persamaan KF1) Kapasitas Fiskal Daerah Total Tinggi Sedang Rendah Propinsi 30 9 14 7 Kabupaten/Kota 366 104 113 146 Tabel 4.2: Klasifikasi Kapasitas Fiskal Daerah (Persamaan KF2) Kapasitas Fiskal Daerah Total Tinggi Sedang Rendah Propinsi 30 6 7 17 Kabupaten/Kota 366 102 77 187 Prioritas Pengeluaran Daerah2 I. Tingkat Provinsi a) Sektor Pendidikan Dari 27 provinsi, 12 provinsi termasuk ke dalam daerah yang memiliki prioritas pengeluaran daerah untuk sektor pendidikan tinggi, 12 provinsi termasuk ke dalam kategori sedang, dan 3 provinsi masuk ke dalam kategori rendah. b) Sektor Kesehatan 14 provinsi masuk ke dalam kategori prioritas pengeluaran daerah pada sektor kesehatan tinggi, kategori sedang 9 provinsi, dan kategori rendah 4 provinsi. c) Sektor Infrastruktur 2 Untuk perhitungan tingkat provinsi, tidak termasuk provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi tenggara, dan Maluku Utara karena data pengeluaran berdasarkan sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tidak diperoleh, sehingga perhitungan hanya dilakukan untuk 27 provinsi saja. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 17
  • 19. Daerah yang tergolong ke dalam kategori prioritas pengeluaran untuk sektor infrastruktur tinggi sebanyak 11 provinsi, kategori sedang 13 provinsi, dan 3 provinsi termasuk ke dalam daerah yang memiliki prioritas pengeluaran rendah. Tabel 4.3: Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Tingkat Provinsi Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Daerah Total Sektor Tinggi Sedang Rendah Sektor Pendidikan 27 12 12 3 Sektor Kesehatan 27 14 9 4 Sektor Infrastruktur 27 11 13 3 II. Tingkat Kabupaten Kota. a) Sektor Pendidikan Kabupaten/kota yang termasuk ke dalam kategori prioritas pengeluaran untuk sektor pendidikan tinggi adalah sebanyak 148 kabupaten/kota, kategori sedang sebanyak 110 kabupaten/kota, dan 21 kabupaten/kota berkategori rendah. b) Sektor Kesehatan Sebanyak 112 kabupaten/kota termasuk ke dalam daerah dengan prioritas pengeluaran untuk sektor kesehatan tinggi, 158 kabupaten/kota termasuk ke dalam kategori sedang, dan 9 kabupaten/kota berkategori rendah. c) Sektor Infrastruktur Kabupaten/kota dengan prioritas pengeluaran sektor infrastruktur tinggi sebanyak 112 kabupaten/kota, 131 kabupaten/kota termasuk dalam kategori sedang, dan 36 kabupaten kota termasuk kategori rendah. Tabel 4.4: Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Tingkat Kabupaten/Kota Daerah Klasifikasi Prioritas Pengeluaran Daerah Total Sektor Tinggi Sedang Rendah Sektor Pendidikan 279 148 110 21 Sektor Kesehatan 279 115 158 9 Sektor Infrastruktur 279 112 131 36 Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah Daerah-daerah provinsi maupun kabupaten/kota yang memiliki kapasitas fiskal tinggi belum tentu memiliki prioritas pengeluaran daerah yang tinggi pula, bahkan beberapa daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, memiliki pengeluaran daerah yang diklasifikasikan rendah. Begitu pula daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah dan sedang, belum tentu memiliki prioritas pengeluaran daerah yang rendah, bahkan beberapa daerah yang termasuk ke dalam daerah berkapasitas rendah, memiliki prioritas pengeluaran yang diklasifikasikan ke dalam kelompok daerah dengan Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 18
  • 20. pengeluaran daerah yang tinggi. Hal ini mungkin pula tergantung pada sektor-sektor3 yang menjadi prioritas pembangunan daerahnya masing-masing, sebagai contoh propinsi Jawa Barat yang mempunyai prioritas pembangunan untuk meningkatkan indeks pembangunan manusianya, meskipun tergolong ke dalam daerah yang berkapasitas fiskal rendah (berdasarkan formula KF1 dan KF2), tetapi pengeluaran yang dialokasikan termasuk ke dalam kelompok daerah dengan pengeluaran daerah yang tinggi untuk sektor pendidikan dan sedang untuk sektor kesehatan, sedangkan untuk sektor infrastruktur pengeluaran daerahnya masih tergolong ke dalam kelompok pengeluaran yang rendah berdasarkan formula KF1, sementara berdasarkan formula KF2, pengeluaran daerah provinsi Jawa Barat termauk ke dalam kaategori daerah berpengeluaran tinggi, dan sedang untuk sektor kesehatan dan sektor infrastruktur. Begitu pula halnya dengan provinsi Lampung, meskipun berdasarkan pengukuran kapasitas fiskal dengan menggunakan formula KF1 dan KF2 merupakan daerah yang memiliki kapasitas fiskal rendah, tetapi pengeluaran daerahnya termasuk ke dalam daerah yang dikategorikan sebagai daerah dengan pengeluaran daerah tinggi untuk ketiga sektor tersebut baik berdasarkan formula KF1 maupun KF2. Sebaliknya, provinsi Bangka Belitung yang tergolong ke dalam daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, namun tidak semua pengeluaran daerahnya tinggi untuk tiap-tiap sektor. Provinsi Bangka Belitung merupakan provinsi yang termasuk rendah dalam prioritas pengeluaran daerah untuk sektor pendidikan dan sektor kesehatan, kecuali untuk sektor infrastruktur yang termasuk kedalam daerah yang memiliki pengeluaran yang sedang, baik berdasarkan formula KF1 maupun KF2. Hal ini terjadi pula untuk kasus kabupaten/kota, misalnya kabupaten/kota yang termasuk ke dalam daerah dengan alokasi pengeluaran daerah yang tinggi atau sedang untuk ketiga sektor walaupun kedua daerah tersebut termasuk ke dalam daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Sebaliknya ada pula kabupaten/kota yang termasuk ke dalam daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi, tetapi alokasi pengeluaran daerahnya tergolong ke dalam daerah dengan pengeluaran rendah (lebih detailnya dapat dilihat pada lampiran 6A sampai dengan 8C). Kecenderungan di atas dapat pula dilihat pada sebaran klasifikasi kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah seperti terlihat pada tabel 4.5-4.8 di bawah ini. 3 Sektor-sektor yang diperhitungkan dalam penelitian ini dibatasi pada tiga sektor saja, yaitu: sektor pendidikan, sektor kesehatan, dan sektor infrastruktur. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 19
  • 21. Tabel 4.5: Klasifikasi Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan formula KF1 (Jumlah Provinsi) Pengeluaran Sektor Pendidikan Tinggi Sedang Rendah Total 12 12 3 Pengeluaran Sektor Kesehatan Tinggi Sedang Rendah Total 14 9 4 Pengeluaran Sektor Infrastruktur Tinggi Sedang Rendah Total 11 13 3 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 4 4 2 7 2 1 Rendah 4 3 - Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 2 6 3 5 3 1 Rendah 6 1 - Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 5 5 1 6 2 1 Rendah 1 6 - Tabel 4.6 Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan formula KF1 (Jumlah Kabupaten/kota) Pengeluaran Sektor Pendidikan Tinggi Sedang Rendah Pengeluaran Sektor Kesehatan Tinggi Sedang Rendah Pengeluaran Sektor Infrastruktur Tinggi Sedang Rendah Total 145 111 16 Total 109 155 9 Total 108 131 31 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 6 33 43 51 11 2 Rendah 106 17 3 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 22 30 32 55 7 1 Rendah 57 68 1 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 42 36 15 41 2 9 Rendah 30 75 20 Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 20
  • 22. Tabel 4.7: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan formula KF2 (Jumlah Provinsi) Pengeluaran Sektor Pendidikan Tinggi Sedang Rendah Total 12 12 3 Pengeluaran Sektor Kesehatan Tinggi Sedang Rendah Total 14 9 4 Pengeluaran Sektor Infrastruktur Tinggi Sedang Rendah Total 11 18 3 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 3 1 1 4 2 1 Rendah 8 7 - Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 2 2 3 2 1 2 Rendah 10 4 1 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 4 2 2 1 3 Rendah 5 15 - Tabel 4.8: Kapasitas Fiskal dan Prioritas Pengeluaran Daerah dengan formula KF2 (Jumlah Kabupaten/Kota) Pengeluaran Sektor Pendidikan Tinggi Sedang Rendah Pengeluaran Sektor Kesehatan Tinggi Sedang Rendah Pengeluaran Sektor Infrastruktur Tinggi Sedang Rendah Total 145 116 19 Total 109 155 9 Total 107 154 9 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 10 28 52 32 9 5 Rendah 107 32 5 Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 29 18 35 38 7 2 Rendah 62 82 - Kapasitas Fiskal Tinggi Sedang 28 18 35 37 7 2 Rendah 61 82 - Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 21
  • 23. 5. Hasil Temuan Lapangan Kekurangan anggaran Untuk menutupi kekurangan anggaran, secara umum dinas-dinas di tingkat provinsi mengusulkan agar ditutupi melalui: dana dekonsentrasi (APBN); APBD perubahan; budget sharing dengan pusat, provinsi, dan kabupaten kota; dana dari partisipasi swasta dan masyarakat; serta melalui penyusunan skala prioritas dan sinergitas pemanfaatan anggaran dari berbagai sumber yang ada. Sementara itu, dinas-dinas di tingkat kabupaten/kota mengusulkan dengan cara yang relatif sama, yaitu dengan cara: mengajukan dana baik dari tambahan dari APBD provinsi (APBD perubahan) maupun melalui dana tambahan dari APBN misalkan dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK); melalui peran serta masyarakat dan swasta; penyusunan skala prioritas dan fokus terhadap rencana kegiatan yang telah disusun atau bahkan kegiatannya ditiadakan bila memang bukan merupakan prioritas utama; serta ada pula upaya-upaya dinas untuk meminta bantuan ke luar negeri. Koordinasi dan Sinergitas dana APBD maupun APBN Peran dana dari APBN guna mencapai sasaran pembangunan Dinas-dinas di tingkat provinsi maupun kabupaten kota umumnya menyatakan bahwa peran dana APBN cukup besar sangat diperlukan karena adanya keterbatasan dana dari APBD. Namun demikian, besaran dana yang bersumber dari APBN saat ini secara umum dinilai belum cukup memadai untuk menutupi kebutuhan dinas dalam melaksanakan program-programnya, sehingga kadang-kadang standar pelayanan minimal tidak dapat terpenuhi. Pada sektor kesehatan, alokasi dana APBN pada tahun 2006 untuk tingkat propinsi kurang lebih rata-rata mencapai 50%. Sedangkan untuk kabupaten/kota, dana APBN mendukung sekitar 18% dari total anggaran program Dinas Kesehatan dan kontribusinya merupakan yang paling besar dalam pembangunan bidang kesehatan dibandingkan dengan sumber-sumber dana lainnya. Di sektor Pekerjaan umum yang terdiri dari beberapa dinas dan sub-dinas, mengemukakan persepsi yang beragam terkait dengan peran dana yang bersumber dari APBN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan, dana yang bersumber dari APBN untuk pencapaian sasaran pembangunan di sektor pekerjaan umum berkisar antara 16%-25% yang peranannya cukup mendukung dalam mengatasi permasalahan pengadaan sarana dan prasarana publik, karena keterbatasan dana yang bersumber dari APBD. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 22
  • 24. Sinergi penggunaan dana APBD dengan dana dari APBN Menurut dinas-dinas, sinergi penggunaan dana APBD dan APBN dinilai saling melengkapi dan saling mendukung dalam pelaksanaan program, karena tidak semua pelaksanaan program dapat sepenuhnya dibiayai dari dana APBD. Selain itu, sinergi penggunaan dana APBD dengan dana dari APBN juga tidak tumpang tindih. Selama ini setiap ada program yang dananya bersumber dari dana APBN biasanya terdapat pula dana pendamping yang bersumber dari dana APBD sebesar kurang lebih 10%. Pada sektor pendidikan, satu hal yang menjadi catatan adalah mengenai proporsi dana yang bersumber dari APBN yang lebih besar daripada dana yang bersumber dari dana APBD. Selain itu, juga terdapat MoU bidang pendidikan tentang kewenangan pusat, propinsi dan kabupaten/kota dalam masalah pendanaan program kegiatan. Mekanisme koordinasi perencanaan dan penganggaran antara dana APBD dan APBN Mekanisme koordinasi perencanaan dan penganggaran antara dana APBD dan APBN berdasarkan masukan-masukan dari dinas-dinas, dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu: - Melalui penyusunan rencana kerja yang dikoordinir oleh Bappeda dan Bappenas. - Forum Koordinasi seperti Forum SKPD, Musrenbang baik tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten kota. - Rapat Koordinasi pembangunan. - Sosialisasi program untuk penetapan kontribusi pendanaan - Kegiatan yang bersumber dari dana APBN tidak perlu lagi diajukan dalam APBD. - MoU antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Di sektor pendidikan, untuk tahun angaran 2007 telah ada kesepakatan antara pusat dan daerah dalam masalah pembiayaan pembangunan sektor pendidikan, yaitu sebagai berikut: 1) Untuk sarana dan prasarana pendidikan: - APBN: 50% - APBD Propinsi : 30% - APBD Kabupaten/Kota: 20% Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 23
  • 25. 2) Untuk pemberantasan buta aksara: - APBN: 30% - APBD Propinsi : 50% - APBD Kabupaten/Kota: 20% Kendala yang dihadapi dalam membiayai pengeluaran Kendala yang dihadapi oleh dinas-dinas dalam membiayai pengeluaran pada umumnya karena kebutuhan dana lebih besar dibandingkan dana yang dialokasikan baik dari APBN maupun APBD. Selain itu, alokasi dana yang bersumber dari APBN tidak sesuai dengan kebutuhan dana yang telah diajukan oleh dinas. Di sisi lain, pengesahan anggaran biaya di tingkat propinsi dan kabupaten/kota berbeda menyebabkan pemanfaatan dana menjadi tidak maksimal. Harapan tentang prioritas dana APBD Sektor pendidikan - Alokasi anggaran pendidikan diharapkan dapat mencapai 20% dari total APBD - Alokasi APBD sebaiknya diarahkan pada rencana pembebasan biaya pendidikan, penuntasan wajar 9 tahun, dan peningkatan mutu pendidikan. - Selain itu juga sebaiknya dialokasikan untuk peningkatan sarana dan prasarana fisik pendidikan,peningkatan kualitas SDM (Guru dan pegawai sekolah). Sektor Kesehatan - Alokasi minimum untuk sektor kesehatan adalah sebesar 15% dari total APBD. Sektor Pekerjaan Umum - Perlu andanya peningkatan alokasi anggaran secara optimal dengan mempertimbangkan kenaikan harga bahan baku untuk pembangunan sarana dan prasarana umum. - Prioritas pada pemeliharaan dan perbaikan seluruh infrastruktur yang ada. - Alokasi dana APBD harus memperhatikan pada penuntasan program-program kegiatan yang belum selesai. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 24
  • 26. Harapan tentang prioritas dana APBN Sektor Pendidikan - Alokasi anggaran pendidikan diharapkan mencapai 20% dari total APBN sesuai undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. - Alokasi anggaran sebaiknya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan, pembebasan biaya pendidikan dan peningkatan SDM, dan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. - Penyaluran dana dalam bentuk block grant - Pengesahaan anggaran supaya bersamaan dengan tahun anggaran. Sektor Kesehatan - Mekanisme alokasi dan pencairan anggaran diharapkan tidak terlalu rigid, sebagai misal: dana dekonsentrasi hanya sampai ke propinsi, sehingga untuk kabupaten/kota harus melalui mekanisme SKPA yang berbelit-belit. - Alokasi dana APBN sebaiknya disesuaikan dengan usulan kabupaten/kota karena yang lebih tahu kebutuhan daerahnya dibanding pusat. - Penggunaan dana diharpakan lebih fleksibel sesuai dengan kondisi di lapangan. Sektor Pekerjaan Umum - Terpenuhinya kebutuhan minimum anggaran agar fungsi layanan sarana dan prasarana publik dapat berfungsi. - Fokus alokasi diarahkan kepada biaya untuk pemeliharaan dan perbaikan sarana dan prasarana publik/ menyangkut kepentingan masyarakat banyak. 6. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan kapasitas fiskal daerah dan prioritas pengeluaran daerah serta temuan lapangan, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Berdasarkan hasil pengukuran kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah 1. Hasil pemetaan kapasitas fiskal daerah memperlihatkan bahwa kapasitas fiskal daerah provinsi terkonsentrasi pada kelompok kategori kapasitas fiskal sedang. Sementara hasil analisis pemetaan kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 25
  • 27. menunjukkan sebaran yang cukup merata dalam kategori kapasitas fiskalnya, meskipun kapasitas fiskal daerah kabupaten/kota tersebut masih lebih banyak pada kategori kapasitas fiskal sedang dan rendah. 2. Prioritas pengeluaran daerah provinsi dan daerah kabupaten kota secara umum sebarannya terkonsentrasi pada klasifikasi prioritas pengeluaran daerah tinggi dan sedang, baik untuk sektor pendidikan, sektor kesehatan, maupun sektor infrastruktur. 3. Berdasarkan hasil analisis, daerah-daerah yang termasuk ke dalam kategori kapasitas fiskal tinggi, belum tentu prioritas pengeluaran daerahnya tinggi pula. Sebaliknya daerah-daerah yang termasuk ke dalam kategori kapasitas fiskal rendah, belum tentu prioritas pengeluaran daerahnya rendah. Hal ini terlihat dari sebaran klasifikasi kapasitas fiskal dan prioritas pengeluaran daerah yang lebih banyak tergolong dalam klasifikasi prioritas pengeluaran tinggi dan sedang, walaupun kapasitas fiskalnya termasuk ke dalam klasifikasi kapasitas fiskal sedang da rendah. Sebaliknya terdapat pula daerah-daerah yang termasuk ke dalam klasifikasi prioritas pengeluaran rendah untuk beberapa sektor walaupun tergolong ke dalam daerah dengan klasifikasi kapasitas fiskal tinggi. Berdasarkan temuan lapangan 4. Sinergitas pembangunan dari dana APBD dan APBN umumnya telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan, dimana dana yang bersumber dari APBD dan dana yang bersumber dari APBN dapat saling mendukung dan melengkapi satu sama lain. Selain itu, setiap kegiatan yang didanai oleh APBN biasanya didukung pula oleh dana pendamping yang bersumber dari dana APBD. 5. Dinas-dinas mengharapkan dana yang bersumber dari APBD dan APBN setidaknya dapat memenuhi kebutuhan minimum anggaran, misalnya untuk sektor pendidikan, diharapkan dana untuk pembangunan sektor pendidikan baik yang bersumber dari APBD maupun APBN setidaknya mencapai 20% dari total APBD dan APBN di luar anggaran rutin, sesuai dengan amanat UndangUndang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Rekomendasi Kebijakan 1. Pengukuran kapasitas fiskal daerah yang telah umum digunakan sebaiknya dilakukan penyesuaian dengan jumlah penduduk untuk dapat mengambarkan Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 26
  • 28. kapasitas fiskal daerah dalam ukuran perkapita. 2. Perlu dipikirkan indikator-indikator yang relevan untuk pengukuran kapasitas fiskal untuk tujuan yang lebih spesifik yang dapat dijadikan alternatif pengukuran kapasitas fiskal, misalkan pengukuran kapasitas fiskal untuk pembangunan infrastruktur daerah dapat memasukkan variabel panjang jalan atau luas wilayah. 3. Pengukuran kapasitas fiskal di masa yang akan datang sebaiknya memperhitungkan indikator tingkat harga yang dapat mengeliminasi perbedaan tingkat harga antar daerah. 4. Agar standar pelayanan minimum dapat terpenuhi, diperlukan adanya satu ukuran yang jelas yang dapat dijadikan standar untuk alokasi pembiayaan kebutuhan sektor-sektor dalam melaksanakan program kegiatannya seperti yang telah ada untuk sektor pendidikan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 27
  • 29. Daftar Pustaka Departemen Keuangan (2005), “Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 129 /PMK.02 /2005” (2006), Peraturan Menteri 73/PMK.02/2006, Departemen Keuangan RI. Keuangan Nomor: Martinez-Vazquez, Jorge and L.F. Jameson Boex (1997), “An Analysis of Alternative Measures of Fiscal Capacity for the Regions of the Russian Federation”, International Studies Program Working Paper 97-4, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University. Robert Simanjuntak (2003),“Recent Issues on Indonesian Government Subsidiary Offshore Loans to Regions” paper presented at The 6th IRSA International Conference “Regional Development in a Decentralized Era: Public services, poverty and the environment, Savoy Homman Bidakara, Bandung. Schneider, Martin (2002).” Local Fiscal Equalisation Based on Fiscal Capacity: The Case of Austria” Fiscal Studies (2002) vol. 23, no. 1, pp. 105–133 Yilmaz Serdar (1999), “Equalization across Subnational Governments: Fiscal Capacity” Public Sector Specialist, World Bank Institute. Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 28