Dokumen tersebut membahas tentang ilmu fiqih, yang merupakan cabang ilmu penting untuk memahami hukum-hukum agama Islam. Dibahas pula definisi fiqih, contoh kata fiqih dalam Alquran dan hadits, serta empat madzhab utama beserta tokoh pendirinya. Ditekankan pentingnya mempelajari fiqih untuk mengetahui hukum-hukum syara' dan mendapat ridho Allah.
1. Fiqh 4 Madzhab
Gus Arifin
(Ketua Jam'iyah Tilawatil Qur'an/Ketua Dewan Syuro Agus Arifin Institute)
Disampaikan pada Ngaji Alumni SMA 5 Surabaya di Jabotabek
Ilmu fiqih adalah cabang ilmu yang penting supaya kita termasuk yang dikehendaki oleh Allah
"sebagai orang yang faham/faqih dalam agama Islam". Berikut uraian singkat mengenai Fiqh:
1. Ta’rif / Pengertian :
(ﺍﻟﺘﻔ ِﻴﻠﻴﺔ- )ﺷﺮﺡ ﺍﻟﺘﻠﻮﻳﺢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻮﺿﻴﺢ
ِ ﱠ ﹾﺼ ِﱠ ﻭﻗِﻴﻞ: ﺍﹾﻟﻌﻠﻢ ﺑﹺﺎﹾﻟﺄﺣﻜﹶﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﱠﻴﺔ ﺍﹾﻟﻌﻤﻠﱠﻴﺔ ﻣﻦ ﹶﺃﺩﱠﻟِﺘﻬَﺎ
ِ ْ ِ ِ َِ َ ِ ِ ْ َ ﹶ ِ ﹾ ُ ﹶ ْ ﹺ ﱠ
Disebut, Fiqh = faham atau mengerti. Atau Ilmu untuk mengetahui Hukum-hukum
Syara’ (berupa perintah / larangan Allah ) yang diberlakukan kepada perbuatan anggota
(tubuh manusia), diambil dari hukum-hukum yang terinci (tafshili).
2. Kata Fiqh di dalam Kitab Al Qur'an dan Hadits:
Di Dalam Al Qur'an, kata Fiqh terdapat pada :
ﹶﺃْﻳَﻨﻤَﺎ َﺗ ﹸﻮُﻮﺍ ُﺪﺭ ﹸ ﹸ ُ ﺍﹾﻟﻤﻮﺕ ﻭﹶﻟﻮ ﻛْﻨُﺘﻢ ﻓﻲ ُﺑ ُﻭﺝ ﻣُﺸﱠﻴﺪﺓ ﻭﹺﺇﻥ ُﺗﺼْﺒﻬﻢ ﺣﺴَﻨﺔ َﻳ ﹸﻮﹸﻮﺍ ﻫﺬﻩ
ِ ِ َ ﻜ ﻧ ﻳ ْ ﹺﻛﻜﻢ َ ْ ُ َ ْ ﹸ ْ ِ ﺮ ﹴ َ َ ٍ َ ﹾ ِ ُ ْ َ َ ﹲ ﻘ ﻟ
ﻣﻦ ﻋْﻨﺪ ﺍﻟﱠﻪ ﻭﹺﺇﻥ ُﺗﺼْﺒﻬﻢ ﺳﱢﻴﹶﺌﺔ َﻳ ﹸﻮﹸﻮﺍ ﻫﺬﻩ ﻣﻦ ﻋْﻨﺪﻙ ﻗﻞ ﻛﻞ ﻣﻦ ﻋْﻨﺪ ﺍﻟﱠﻪ ﻓﻤَﺎﻝ ﻫﺆﻟﹶﺎﺀ
ِ ُ َ ِ ْ ِ ِ ﻠ ِ َ ﹾ ِ ُ ْ َ ﹲ ﻘ ﻟ َ ِِ ِ ْ ِ ِ َ ﹸ ﹾ ﹸ ﱞ ِ ْ ِ ِ ﻠ ِ ﹶ ﹺ
ﺍﹾﻟﻘﻮﻡ ﻟﹶﺎ َﻳﻜﹶﺎ ُﻭﻥ َﻳﻔﻘ ُﻮﻥ ﺣﺪِﻳﺜﹰﺎ
َ ﺩ ﹶ ﹾ ﹶﻬ ﹶ ﹶ ْﹺ
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam
benteng yang Tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan[319], mereka
mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka
mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah: "Semuanya (datang) dari
sisi Allah". Maka Mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan[320] sedikitpun? QS An Nisa (4) :78
[319] kemenangan dalam peperangan atau rezki. [320] pelajaran dan nasehat-nasehat yang diberikan.
Dan..
ﻗﹶﺎﹸﻮﺍ ﻳَﺎ ُﻌْﻴ ُ ﻣَﺎ َﻧﻔﻘ ُ ﻛِﺜﲑًﺍ ﻣ ﱠﺎ َﺗ ﹸﻮﻝ ﻭﹺﺇﱠﺎ ﹶﻟَﻨﺮَﺍﻙ ﻓِﻴﻨَﺎ ﺿﻌِﻴﻔﹰﺎ ﻭﹶﻟﻮﻟﹶﺎ ﺭﻫ ﹸﻚ ﹶﻟﺮﺟﻤﻨَﺎﻙ ﻭﻣَﺎ
َ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ْﻄ َ ﻟ ﺷ َ ﺐ ﹾ ﹶﻪ ﹶ ِﻤ ﻘ ﹸ َ ﻧ
ﹶﺃْﻧﺖ ﻋﻠْﻴﻨَﺎ ﹺﺑﻌﺰﹺﻳﺰ
َ َﹶ َ ﹴ
Mereka berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu
dan Sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara Kami; kalau
tidaklah Karena keluargamu tentulah kami Telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah
seorang yang berwibawa di sisi kami." QS Hud (11):91
Hadits :
ﻭﻗﹶﺎﻝ ﺍﻟﱠﻨﹺﺒﻲ ﺻﱠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠْﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻣﻦ ُﻳﺮﺩ ﺍﻟﻠﻪ ﹺﺑﻪ ﺧْﻴﺮًﺍ ُﻳﻔ ﱢﻬﻪ ﻓِﻲ ﺍﻟ ﱢﻳﻦ ﻭﹺﺇﱠﻧﻤَﺎ ﺍﹾﻟﻌﻠﻢ ﺑﹺﺎﻟﱠﺘﻌﱡﻢ
ِ ﹾ ُ َﻠ ﹺ َﺪ ﹺ ُ ْ َ ﹶ ﱡ َﻠ ﱠ ُ َ ﹶ ِ َ َ َ َ ْ ﹺ ْ ﱠ ُ ِ َ ﹶ ﻘ
Dan Nabi bersabda : "Siapa yang dikehendaki Allah (dalam agamanya) untuk dalam
kebaikan, maka (Allah) fahamkan dia dalam agamanya dan sesungguhnya ilmu itu (diperoleh)
dengan belajar. (Shahih Bukhari )
Imam Bukhari meletakkan hadits ini dalam Bab:
ﺑَﺎﺏ ﺍﹾﻟﻌﻠﻢ ﻗْﺒﻞ ﺍﹾﻟﻘﻮﻝ ﻭَﺍﹾﻟﻌﻤﻞ
ِﹾ ُ ﹶ ﹶ ﹶ ْ ﹺ َ َ ﹺ
(Bab Ilmu sebelum berbicara/berpendapat dan beramal)
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -1 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
2. 3. Yang mengaturnya : Nabi Muhammad , Penyusun Pertama kali: Imam Abu Hanifah atau
Imam Hanafi (80H/689M-150H/749M ).
4. Namanya : Ilmu Fiqih
5. Bandingannya dengan Ilmu lain (Nisbatuhu) : Ilmu untuk mengetahui perbedaan hukum-
hukum syara’ dengan ilmu-ilmu lain.
6. Tempat berlaku (maudlu’)-nya : Perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan hukum Taklifi
dan hukum Wadl’i
7. Hukum mempelajari Fiqih : Fardlu Ain ( untuk mengetahui hukum-hukum, sah / tidaknya
suatu Ibadah.
8. Tujuan : mendapatkan keridlaan Allah , Bahagia di dunia dan akhirat
9. Pengambilannya : Al Qur’an, Hadits / Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
10. Masail-nya (yang dibicarakan ) : Kalimat-kalimat yang mengandung hukum, yang langsung
atau tidak langsung; seperti dikatakan “ Zakat fitrah itu Wajib “ atau Wudlu itu Syarat
Shalat. dll
11. Hukum Taklifi (yang dibebankan kepada mukallaf/orang Islam, yang Baligh, berakal, dan
dakwah sampai kepadanya) : 1. Wajib ( = Fardlu ) 2. Sunnat 3. Mubah 4. Makruh 5.
Haram.
12. Hukum Wadl’i (kondisi): 1. Sebab; 2. Syarat; 3. Ma’ani; 4. Sah; 5. Batal
13. Proses Terjadinya Perbedaan/Khilafiyah
14. Madzhab yang terkenal dan Imamnya :
1. Madzhab Hanafi yaitu madzhab Imam Abu Hanifah al-Nu'man bin Tsabit, (lahir di
Kufah pada tahun 80 H. dan meninggal pada tahun150 H.).
2. Madzhab Maliki yaitu madzhab Imam Malik bin Anas bin Malik, (lahir di Madinah
pada tahun 90 H. dan meninggal pada tahun 179 H.).
3. Madzhab Syafi'i yaitu madzhab Imam Abu Abdillah bin Idris bin Syafi'i, (lahir di Ghaza
Palestina pada tahun 150 H. dan meninggal pada tahm 204 H.).
4. Madzhab Hanbali yaitu madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, (lahir di Marwaz pada
tahun 164 H. dan meninggal pada tahun 241 H.).
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -2 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
3. (c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -3 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
4. Konsekwensi Adanya Ilmu Fiqih
Hukum-hukum itu ditinjau dari pengambilannya (dari Al Qur’an / Sunnah ) dapat
dikelompokkan menjadi 4 (empat ) :
1. Hukum yang diambil dari nash (sumber dalil/teks yang ada di Al Qur'an/hadits) yang
tegas, yakin adanya dan yakin pula maksudnya menunjukkan hukum itu.
2. Hukum yang diambil dari nash yang tidak yakin maksudnya terhadap hukum-hukum itu.
3. Hukum yang tidak ada nash, baik secara Pasti (Qath’i) maupun dugaan (dhanni), tetapi
pada suatu masa telah ada kesepakatan (Ijma’) dari para Mujtahidin atas hukum-
hukumnya.
4. Hukum yang tidak ada nash, baik secara Pasti (Qath’i) maupun dugaan (dhanni), dan tidak
ada kesepakatan (Ijma’) dari para Mujtahidin atas hukum-hukumnya.
Ada (3) tiga kemungkinan status kita (umat Islam) dalam melaksanakan Hukum Syara’ tersebut :
1. Mujtahid ( perbuatannya disebut Ijtihad ) : Orang Islam yang melaksanakan Hukum
Syara’ dan tahu Hukum/nash/dalil-nya serta mampu melakukan Ijitihad.
2. Muttabi’ ( perbuatannya disebut Itba’ atau Ittiba') : Orang Islam yang melaksanakan
Hukum Syara’ dan tahu Hukum/nash/dalil-nya.
3. Muqallid ( Perbuatannya disebut Taqlid ) : Orang Islam yang melaksanakan hukum syara’
dan tidak tahu hukum/nash/dalilnya, hanya mengikuti salah satu dari Imam Mujtahid
dan itu merupakan keharusan bagi setiap orang yang tidak memiliki kemampuan untuk
menggali hukum fikih dari teks Al Qur'an dan Hadits.
Disinilah munculnya Madzhab, Jadi, disinilah arti kita bermadzhab. Madzhab (ُ )ﺍﳌﺬﻫmenurut
ﹶ ﹾ َﺐ
bahasa berarti jalan atau tempat yang dituju, yaitu jalan yang telah dibuat oleh para Imam
Mujtahidin
Istilah madzhab sendiri semula memang untuk menggambarkan "perbedaan" di antara para
sahabat Nabi . Sejak masa sahabat bila muncul perbedaan pendapat dalam masalah cabang
agama, maka "pendapat" itu disebut dengan istilah madzhab, maka di sana terkenal madzhab
Aisyah, madzhab Abdullah bin Umar (Ibn Umar), madzhab Abdullah bin Mas'ud dan lain lain.
Jalan/madzhab yang telah telah dibuat oleh para Imam Mujtahid itu,
dibukukan/dikodifikasikan/menjadi kitab-kitab dimana dalam perjalanan waktu, kitab-kitab itu
(yang berisi produk Ijtihad atau Nata'ij al Ijtihad (ﺍﻹﺟﺘـﻬﺎﺩ ) ﻧﺘـﺎﺋﺞ dikaji, dikomentari dan
disempurnakan oleh para Imam ahli Ijtihad pada masa sesudahnya yang berafiliasi dengan Imam
Mujtahid yang empat tersebut(Imam Ijtihad al Muntasib) hingga saat ini produk-produk Ijtihad
sering kita jumpai dalam bentuk fatwah dari ulama' ulama' tertentu dimana masih kelihatan
madzhab yang dijadikan acuan.
Bagaimana hukumnya kalau tidak mengambil jalan/madzhab yang ada? Boleh, asal kita
memang mempunyai kompetensi/pengetahuan yang cukup untuk melakukan
Istinbath/metode untuk menentukan hukum suatu perkara dengan mengkaji/meneliti
dalil-dalil Al qur'an dan hadits kemudian disimpulkan sebagai produk Ijtihad/produk
hukum.
Bila kriteria diatas, dapat anda penuhi, maka silahkan ikuti pendapat anda !! dan boleh anda tidak
"bermadzhab" !!
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -4 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
5. Contoh Kasus :
Bab Thaharah/ Bersuci : Khilafiyah "menyentuh" lawan jenis
ﻳَﺎ ﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻦ ﺁﻣُﻮﺍ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﻗﻤُﺘﻢ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ ﱠﻼﺓ ﻓﹶﺎﻏﺴﹸﻮﺍ ﻭ ُﻮﻫﻜﻢ ﻭﹶﺃْﻳﺪَﻳﻜﹸﻢ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﻤﺮَﺍﻓﻖ ﻭَﺍﻣﺴ ُﻮﺍ
َ ِ ﹺ ْ َﺤ ْ ِ َ ْ ﺼ ِ ﹾ ِﻠ ُﺟ َ ﹸ ْ ْﹸ َ َ َﻨ
ﹺﺑﺮ ُﻭﺳﻜﻢ ﻭﹶﺃﺭ ُﻠ ﹸﻢ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﹾﻟﻜﻌَﺒْﻴﻦ ﻭﹺﺇﻥ ﻛْﻨُﺘﻢ ﺟُﻨﺒًﺎ ﻓﹶﺎﻃ ﱠ ُﻭﺍ ﻭﹺﺇﻥ ﻛْﻨُﺘﻢ ﻣﺮﺿَﻰ ﹶﺃﻭ ﻋﻠﹶﻰ ﺳﻔﺮ ﹶﺃﻭ ﺟَﺎﺀ
َ ْ ْ َ َﹶﹴ ْ َ ْ ﹶ ْ ﹺ َ ﹾ ﹸ ْ ُ ﱠﻬﺮ َ ﹾ ﹸ ْ ُﺀ ِ ﹸ ْ َ ْﺟﹶﻜ
ﹶﺃﺣﺪ ﻣْﻨﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﹾﻟﻐَﺎِﺋﻂ ﹶﺃﻭ ﻟﹶﺎﻣﺴُ ُ ﺍﻟﱢﻨﺴَﺎﺀ ﻓﻠﻢ َﺗﺠ ُﻭﺍ ﻣَﺎﺀ ﻓَﺘَﻴﻤﻤُﻮﺍ ﺻﻌِﻴﺪًﺍ ﻃﱢﻴﺒًﺎ ﻓﹶﺎﻣﺴ ُﻮﺍ ﹺﺑﻮ ُﻮﻫﻜﻢ
ْ ﹶ ْ َﺤ ُﺟ ِ ﹸ َ َ ﹶﹶ ْ ﹺﺪ ً ﹶ ﱠ ِ ْ َ ْ ﺘﻢ َ ِ ْ ٌَ ِ ﹸ
ﻭﹶﺃْﻳﺪِﻳﻜﻢ ﻣْﻨ ُ ﻣَﺎ ُﻳﺮﹺﻳﺪ ﺍﻟﻠﻪ ِﻟَﻴﺠﻌﻞ ﻋﻠْﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﺮﺝ ﻭﹶﻟﻜﻦ ُﻳﺮﹺﻳﺪ ِﻟُﻄﻬﺮ ﹸﻢ ﻭِﻟﻴُِﺘﻢ ﹺﻧﻌﻤَﺘﻪُ ﻋﻠْﻴﻜﻢ ﹶﻟﻌﱠ ﹸﻢ
ْ ُ ﱠ ُ ْ َ ﹶ َ ﹶ ﹸ ْ ِ ْ َ َ ﹴ َ ِ ْ ُ ﻴ ﹶ ﱢ َ ﻛ ْ َ ﱠ ْ َ َ ﹶ ﹸ ْ َﻠ ﻜ َ ﹸْ ِﻪ
َﺗﺸﻜ ُﻭﻥ
ْ ﹸﺮ ﹶ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapu-lah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. QS Al Maaidah (5):6
[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] artinya: menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah:
menyetubuhi.
Hanbali sependapat dengan Syafi'iyah, bahwa menyentuh seorang wanita tanpa penghalang
adalah 'membatalkan wudhu', walaupun wanita itu adalah seorang yang tua dan tidak berwajah
menarik selama ia masih dapat mengundang syahwat.
Hanbali berbeda dengan Syafi'iyah tentang menyentuh mahram.
Hanabilah berpendapat bahwa menyentuh wanita itu membatalkan wudhu' secara mutlak,
hingga walaupun ia menyentuh ibunya atau saudara perempuannya sendiri, maka wudhu'nya
batal dengan sentuhan itu. Dalam hal ini mereka berbeda dengan Syafi'iyah. Dan mereka
sepakat dengan Syafi'iyah bahwa sentuhan seorang laki-laki terhadap laki-laki lainnya tidaklah
membatalkan wudhu' walaupun yang disentuh itu adalah anak muda yang belum berjanggut dan
tampan. Hanya saja Syafi'iyah berkata bahwa baginya itu disunnatkan untuk berwudhu'
Mereka /imam Madzhab sepakat bahwa menyentuh rambut, kuku dan gigi wanita tidaklah
membatalkan wudhu'.
Malikiyah: Mereka berpendapat bahwa apabila seorang yang mempunyai wudhu' menyentuh
orang lain dengan tangannya atau sebagian dari badannya. maka wudhunya itu batal dengan
beberapa syarat (atau tidak batal bila syarat tersbut tidak terpenuhi/tidak ada). Sebagian dari
syarat-syarat itu untuk pihak yang menyentuh dan sebagian lagi untuk pihak yang disentuh.
Bagi yang menyentuh disyaratkan hendaknya ia seorang yang baligh dan bermaksud untuk
merasakan kenikmatan, atau ia merasakannya tanpa sengaja. Apabila ia bermaksud merasakan
kenikmatan, maka wudhunyaitu batal walaupun ia belum betul-betul merasakan kenikmatan
dengan menyentuhnya.
Bagi yang disentuh hendaknya ia dalam keadaan telanjang (tanpa penghalang) ataupun
terhalang dengan penghalang tipis. Jika penghalang itu tebal, maka wudhu'nya tidak
batal kecuali bila sentuhannya itu dengan cara memegang sebagian anggota badannya
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -5 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
6. dan bermaksud untuk merasakan kenikmatan atau ia merasakan kenikmatan itu
(tanpa maksud sengaja).
Syarat berikutnya: yang disentuh itu adalah orang yang biasanya mengundang syahwat.
Dan Tidak batal: menyentuh wanita kecil yang tidak mengundang syahwat, seperti gadis balita,
menyentuh wanita tua yang laki-laki tidak butuh lagi padanya, karena nafsu (syahwat) telah
pudar darinya.
Di antara bagian anggota badan adalah rambut. Maka wudhu' itu bisa batal dengan menyentuh
rambut seorang wanita, (yaitu). bila ia bermaksud untuk merasakan kenikmatan, atau ia
merasakan adanya kenikmatan itu tanpa maksud sengaja. Sedangkan apabila wanita itu
menyentuh tangan laki-lakl dengan rambutnya, maka wudhu' wanita itu tidak batal. Demikian
juga wudhu' itu tidak batal disebabkan karena persentuhan rambut laki-laki dan rambut
wanita, atau persentuhan antara kuku laki-laki dan kuku wanita; karena biasanya pada
keduanya itu tidak terdapat rasa.
Apabila wanita yang disentuh itu wanita Mahram, seperti saudara perempuan, anak
perempuan dari sauuara perempuan (ponakan perempuan), bibi dari pihak ayah, bibi dari
pihak ibu ... dan yang menyentuh- nya itu bersyahwat lalu bermaksud untuk merasakan nikmat
tetapi ia tidak merasakan kenikmatan itu, maka wudlu'nya itu tidaklah batal.
Berbeda halnya apabila wanita itu orang asing (bukan mahram). Termasuk menyentuh adalah
mengecup mulut. Yang demikian itu adalah membatalkan wudhu' secara mutlak sekalipun ia
tidak bermaksud untuk merasakan nikmat atau tidak memperoleh nikmat itu, ataupun ia dipaksa
untuk mengecup. Akan tetapi mengecup tidaklah membatalkan wudhu' apabila kecupan itu
untuk perpisahan ataupun ,kecupan kasih sayang, di mana tujuan mengecup itu terdapat
dalam dirinya tanpa untuk memperoleh rasa nikmat. Jika ia memperoleh rasa nikmat, maka
ia dapat membatalkan wudhu'.
Khilafiyah dalam Shalat : Tangan dulu atau dengkul dulu?
Apa yang sebaiknya dilakukan, ketika seseorang akan melakukan sujud; meletakkan tangan lebih
dahulu kemudian lutut, atau sebaliknya?
Pada kasus sujud, Para ulama terbagi menjadi dua kelompok: antara yang mendahulukan tangan
dan yang mengakhirkannya setelah meletakkan lutut.
Seperti masalah-masalah khilafiyah yang lain, dalam hal ini mereka tidak mempunyai alasan dan
dasar hukum. Kalau kita telusuri, perbedaan tersebut berasal dari dua hadits yang termaktub
dalam kitab BulughulMaram karangan ulama hadits terkemuka Ibn Hajar al-‘Asqalani.
Hadits pertama:
ρ ﻗﹶﺎﻝ : ﻗﹶﺎﻝ ﺭ ُﻮﻝ ﺍﹶﻟﱠﻪτﻭﻋﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﻫُﺮْﻳﺮﺓ
ِ َ َ ﹶ ﹶ ﹶ َﺳ ﹸ ﻠ ْ ََ
} ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺳﺠﺪ ﹶﺃﺣ ُ ﹸﻢ ﻓﻠﹶﺎ َﻳْﺒﺮﻙ ﻛﻤَﺎ َﻳْﺒ ُ ُ ﹶﺍﹾﻟَﺒﻌﲑُ , ﻭﹾﻟَﻴﻀﻊ َﻳﺪْﻳﻪ ﻗْﺒﻞ ﺭُﻛَﺒَﺘْﻴﻪ { ﹶﺃﺧﺮﺟﻪُ ﺍﹶﻟﱠﺜﻠﹶﺎﹶﺛﺔ
ﹸ َ َْ ِ َ َ َ َﺪﻛ ْ ﹶ ُ ْ ﹶ ﺮﻙ ِ َ َ ْ َ ِ ﹶ ﹶ ﹾ
ﺻﺤﻴﺢ . ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ )048( ، ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ )2/ 702 ( ، ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ) 962 ( ، ﻭﻟﻔﻆ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ : " ﻳﻌﻤﺪ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻓﻴﱪﻙ ﰲ
( 841 ) ﺻﻼﺗﻪ ﺑﺮﻙ ﺍﳉﻤﻞ" . ﻭﻫﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻷﰊ ﺩﺍﻭﺩ
Dari Abu Hurairah ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪmenyatakan, Rasulullah bersabda,” Jika salah satu dari kalian
bersujud, janganlah menderung seperti onta menderung, letakkanlah kedua tangan sebelum
lutut.”
Dalam hadits tersebut jelas, kita diperintahkan untuk mendahulukan tangan.
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -6 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
7. Suatu pengertian yang berlawanan dengan pemahaman tersebut terlihat pada hadits kedua,
: ﻭ ُﻮ ﹶﺃﻗﻮَﻯ ﻣﻦ ﺣﺪِﻳﺚ ﻭَﺍِﺋﻞ
َﻫ َ ﹾ ِ ْ َ ِ ﹴ
}ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺳﺠﺪ ﻭﺿﻊ ﺭُﻛَﺒَﺘْﻴﻪ ﻗْﺒﻞ َﻳﺪْﻳﻪ{ ﹶﺃﺧﺮﺟﻪُ ﹶﺍﹾﻟﺄﺭَﺑﻌﺔﹸρﺭﹶﺃْﻳ ُ ﺭ ُﻮﻝ ﺍﹶﻟﱠﻪ
َ ْ َ َ َ َ َ َ ﹾ ِ ﹶ ﹶ َ ِ َْ َ ﹶ ِ َ ﺖ َﺳ ﹶ ﻠ
، ( 882 ) ﺭﻭﺍﻩ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ) 838 ( ، ﻭﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ) 2 / 602 - 702 ( ، ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ) 862 ( ﻭﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟـﻪ
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ : " ﻫﺬﺍ ﺣﺪﻳﺚ ﺣﺴﻦ ﻏﺮﻳﺐ ، ﻻ ﻧﻌﺮﻑ ﺃﺣﺪﺍ ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﺍ ﻏﲑ ﺷﺮﻳﻚ " ﻗﻠﺖ : ﻭﻫﻮ ﺳـﻴﺊ
. ﺍﳊﻔﻆ
Dari sahabat Wa’il Ibn Hujr .رضي ﷲ عنهIa mengatakan, Saya melihat Rasulullah ketika
meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum kedua tangannya.
Pada kasus sujud, Imam Malik dan Imam Auza’i memilih hadits yang pertama. Sedangkan
madzhab Syafi’i dan Hanafi cenderung mengamalkan hadits yang kedua. Dalam kaitan
itulah mengapa khilaf (perbedaan penafsiran) menjadi tak terelakkan. Apalagi kalau sebuah hadits
hanya diketahui oleh satu pihak saja.
Masalahnya, tinggal pilih, mana yang sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Kecenderungan Madzhab Syafi’i menggunakan Hadits dari Wa’il Ibn Hujr karena kelanjutan hadits
tersebut adalah : Dan apabila hendak bangkit (terlebih dahulu) mengangkat kedua tangannya sebelum kedua
lututnya.
ﻋﻦ ﻭَﺍِﺋﻞ ْﺑﻦ ُﺠﺮ ﻗﹶﺎﻝ
َ ْ ﹺ ﹺ ﺣ ْﹴ ﹶ
ﺭﹶﺃْﻳ ُ ﺍﻟﱠﻨﹺﺒﻲ ﺻﱠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠْﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﺳﺠﺪ ﻭﺿﻊ ﺭُﻛَﺒَﺘْﻴﻪ ﻗْﺒﻞ َﻳﺪْﻳﻪ ﻭﹺﺇﺫﹶﺍ َﻧﻬﺾ ﺭﻓﻊ َﻳﺪْﻳﻪ ﻗْﺒﻞ ﺭُﻛَﺒَﺘْﻴﻪ
ِ َ ﺖ ﱠ َﻠ ﱠ ُ َ ﹶ ِ َ َ َ َ َ َ َ َ َ ﹾ ِ ﹶ ﹶ َ ِ َ َ َ َ ﹶ َ َ ِ ﹶ ﹶ ﹾ
Dari sahabat Wa’il Ibn Hujr ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪIa mengatakan, Saya melihat Rasulullah ketika
meletakkan (menjatuhkan) lutut sebelum kedua tangannya. Dan apabila hendak bangkit
(terlebih dahulu) mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.”
Masalah Zakat Fitrah
Imam Syafi'i berkata: Dari Ibnu Umar ُ ,ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨbahwasanya
َ ِ َ ﱠ ُ َ ْﻪ
ﻋﻦ ﺍْﺑﻦ ُﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋْﻨﻬﻤَﺎ
ُ َ َُ ْ ﹺ ﻋ َ َ َ ِ َ ﱠ
ﹶﺃ ﱠ ﺭ ُﻮﻝ ﺍﻟﱠﻪ ﺻﱠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠْﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻓﺮﺽ ﺯﻛﹶﺎﺓ ﺍﹾﻟﻔﻄﺮ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣﻦ َﺗﻤﺮ ﹶﺃﻭ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﲑ ﻋﻠﹶﻰ ﻛ ﱢ
ِ ْ َ ِ ﹴ َ ﹸﻞ ْ ِ ْ ْﹴ ﻥ َ ﺳ ﹶ ﻠ ِ َﻠ ﱠ ُ َ ﹶ ِ َ َ َ ﹶ َ َ َ ﹶ ِ ﹾ ﹺ
ﺣ ﱟ ﹶﺃﻭ ﻋْﺒﺪ ﺫﻛﺮ ﹶﺃﻭ ﹸﺃْﻧﺜﹶﻰ ﻣﻦ ﺍﹾﻟﻤُﺴﻠﻤﲔ
َ ِ ِْ ْ ِ ْ ُﺮ ْ َ ٍ ﹶ ﹶ ﹴ
"Rasulullah mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan kepada seluruh manusia (kaum
muslimin) yang merdeka, budak, laki-laki atau perempuan; untuk satu orang satu sha' tamar
(kurma ) atau satu sha' gandum, atas setiap orang yang merdeka, hamba laki- laki dan perempuan
dari orang Islam." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Al Muwattha', Nasa'i)
Dalam Hadits Al-Bukhari yang lain:
ﺃﻣﺮ ﺍﻟﱠﻨﹺﺒﻲ ﺻﱠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠْﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﹺﺑﺰﻛﹶﺎﺓ ﺍﹾﻟﻔﻄﺮ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣﻦ َﺗﻤﺮ ﹶﺃﻭ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣﻦ ﺷﻌْﻴﺮ
ِ ْ َِ ﹴ ْ ِ ْ ْﹴ ﱡ َﻠ ُ َ ﹶ ِ َ َ َ َ ِ ِ ﹾ ﹺ
“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no.
1507)
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -7 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
8. Ijtihad Imam Madzhab ini terhadap teks Hadits perintah wajib membayar Zakat Fitrah adalah
bolehnya membayar zakat Fitrah dengan makanan pokok penduduk negara yang bersangkutan
atau dalam Kitab Fathul Mu'in disebut Ghalib Qawty baladihi () ﹶﺎﻟ ُ ﻗﻮﺕ ﺑﻠﺪﻩ
ِ ِ ﻏ ِﺐ ﹶ ْ ِ َ ﹶ
Zakat Fitrah harus dibayarkan dengan bahan terbaik menurut kewajaran dan tidak boleh barang
/bahan makanan yang jelek menurut ukuran kewajaran, sebagaimana dalam Fathul Muin, Syeikh
Malibari :
)ﻓﺮﻉ( ﻻ ﲡﺰﺉ ﻗﻴﻤﺔ ﻭﻻ ﻣﻌﻴﺐ ﻭﻣﺴﻮﺱ ﻭﻣﺒﻠﻮﻝ - ﺃﻱ ﺇﻻ ﺇﻥ ﺟﻒ ﻭﻋﺎﺩ ﻟـﺼﻼﺣﻴﺔ ﺍﻻﺩﺧـﺎﺭ
.ﻭﺍﻻﻗﺘﻴﺎﺕ -، ﻭﻻ ﺍﻋﺘﺒﺎﺭ ﻻﻗﺘﻴﺎﻬﺗﻢ ﺍﳌﺒﻠﻮﻝ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻓﻘﺪﻭﺍ ﻏﲑﻩ، ﻓﻴﺠﻮﺯ
Zakat Fitrah dianggap tidak patut/tidak cukup bila dibayarkan dengan bahan atau barang yang
cacat, berulat, atau basah (kualitas rendah), kecuali bila bahan tersebut telah kering sesuai dengan
batas kewajaran dan dapat dimakan untuk kekuatan badan/bahan pokok, bahan yang cacat
tersebut tidak dapat diperhitungkan/tidak dianggap sebagai zakat fitrah kecuali memang tidak
ada bahan lain selain yang basah tadi maka boleh untuk Fitrah. Wallahu 'alam
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -8 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
9. Penjelasan mengenai Taqlid, Ittiba', Ijtihad, Talfiq
Taqlid
Ta'rif (Definisi)
1. Secara Bahasa
Taqlid adalah mashdar dari qallada – yuqallidu (ﻳﻘﻠﺪ
ُ ُ ﹶﱢ – .) ﻗﻠﺪyang artinya mengalungkan,
َ ﹶﱠ
maka:
Men-taqlid-nya dengan kalung, artinya menaruh kalung di lehernya.
Men-taqlid onta, artinya menggantungkan sesuatu pada lehernya agar diketahui bahwa
hewan itu sembelihan.
Men-taqlid-kan suatu perkara atau suatu amalan kepada Fulan, artinya menyerahkannya
kepada Fulan dan mengharuskan mengikutinya.
Men-taqlid-i (bertaqlid kepada) Fulan, artinya mengikuti apa yang dia katakan atau dia
lakukan tanpa hujjah atau tanpa mengetahui dasar hukum atau dalilnya..
(Lihat Al-Mu’jam Al-Wasith : 754).
Al-Mahlaawi mengatakan : At-Taqliid ()ﺍﻟﺘﻘﻠـﺪsecara bahasa berarti: meletakkan sesuatu di leher
dan mengalungkannya (Taisir Al-Ushul, Syaikh Tsanaullah Az-Zaahidi : 328).
Ta’rif atau definisi serupa juga dikemukakan oleh para ulama lain:
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi dalam Adlwaaul-Bayaan,
Imam Asy-Syaukani dalam Irsyaadul-Fuhul,
Imam Ghazaly dalam Al Mustashfa.
2. Secara Istilah
Syaikh Asy-Syinqithi berkata, bahwa taqlid menurut istilah para fuqahaa adalah mengambil
madzhab orang lain tanpa mengetahui dalilnya (lihat Raudlatun-Nadhiir wa Jannatul-Munadhir
oleh Ibnu Qudamah hal. 205; Ushul fil-Fiqhil-Islaam oleh Wahbah Az-Zuhaili 2/1120, dan
Irsyadul-Fuhuul oleh Asy-Syaukani hal. 265).
Menurut Al-Imam Abu Abdillah bin Khuwaiz Mindad, bahwa taqlid menurut istilah adalah
mengikuti perkataan yang tidak ada hujjahnya (Jami’ Bayanil-‘Ilmi wa Ahlihi 2/993 dan I’lamul-
Muwaqqi’iin
Adapun Syaikh Tsanaullah Az-zahidi mempunyai ta’rif yang lain. Setelah menyebutkan ta’rif
beberapa ahli ushul, beliau berkata : “….Adapun pengertian taqlid bila ditinjau dari segi keadaan
muqallid (orang yang bertaqlid), baik dahulu maupun sekarang adalah : Berpegang teguh pada pemahaman
orang faqih (orang ‘alim) tertentu secara kaku disertai sikap keras, fanatik, dan mungkin dicaricari legitimasi
untuk membenarkan kesalahan-kesalahannya. Namun jika tidak sanggaup, akan tetap nekad dalam
kesalahannya dan kalau perlu dengan cara mendla’ifkan dalil-dalil yang shahih demi mempertahankan
pendapat orang faqih (yang diikuti) tersebut”. (Lihat Taisir Al-Ushul oleh Wahbah Az-Zuhaili hal. 328;
Jami’ah Ulum Al-Atsariyyah, Jhelum-Pakistan).
Hukum Bertaqlid
Dalam masalah ini ada tiga pendapat :
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -9 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
10. 1. Membolehkan dan bahkan mewajibkan taqlid. Pendapat ini banyak dipegang oleh
Muqallidatul-Madzaahib (fanatis terhadap madzhab).
2. Melarang taqlid secara mutlaq. Di antara ulama yang pendapat demikian adalah Ibnu
Khuwaiz Mandad dan Imam Asy-Syaukani.
3. Pendapat yang merupakan pendapat jumhur ulama’, diantaranya adalah Imam Ibnu Abdil-
Baar dan Syaikh Asy-Syinqithi, bahwa: hukum taqlid itu diperinci menjadi dua macam :
Taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlidnya seorang yang bodoh kepada orang yang alim.
Taqlid yang dilarang, yaitu taqlidnya seseorang kepada ‘alim tertentu tanpa hujjah.
(lihat Al-‘Aqaid halaman 93-95).
Ulama Wahabi - Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berpendapat: tentang boleh bagi
seorang awam yang jahil untuk taqlid kepada ‘alim yang terpercaya dengan ucapannya : “Yang
benar adalah bahwa orang yang tidak mempu untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan
taqlid. Karena Allah tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. Dan
kadang-kadang seorang alim pun terpaksa harus taqlid dalam beberapa permasalahan, yaitu
ketika dia tidak mendapatkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dia hanya mendapatkan
ucapan orang yang lebih alim daripada dirinya; maka dia pun terpaksa harus taqlid kepadanya.
Hal ini pernah dilakukan Imam Syafi’i dalam beberapa permasalahan.
Ittiba'
Ittiba’ ( )إتبعsecara bahasa iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan), dan uswah (panutan).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isi
kandungannya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani
dan ditelusuri jejak langkahnya. (Mahabbatur-Rasuul halaman 101-102).
Adapun secara istilah ittiba’ berati mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan
dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap orang yang kau ikuti dengan hujjah dan dalil
yang ada padanya, maka engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti)-nya. (Dinukil oleh Ibnu
Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi 2/143).
Abu Dawud berkata : Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali)
menyatakan : “’Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah dan para
shahabatnya ( .”ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻢI’laamul-Muwaqqi’iin 2/139)
Seseorang tidak dapat ber-ittiba' kepada Rasulullah bila ia tidak ber-ilmu. Atau dengan kata
lain orang yang tidak berilmu (tidak mengetahui hukum-hukum Allah dan Rasul ) atau
hanya sekedar mengikut saja, maka dapat dipastikan : ia Taqlid !!.
ﻭﹺﺇﺫﹶﺍ ﻗِﻴﻞ ﹶﻟ ُ ُ ﺍﱠﺗﹺﺒ ُﻮﺍ ﻣَﺎ ﹶﺃْﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﹶﺎﹸﻮﺍ َﺑﻞ َﻧﱠﺘﹺﺒ ُ ﻣَﺎ ﻭﺟﺪﻧَﺎ ﻋﻠْﻴﻪ ﺁﺑَﺎﺀﻧَﺎ ﹶﺃﻭﹶﻟﻮ ﻛﹶﺎﻥ ﺍﻟﺸْﻴﻄﹶﺎﻥ ﻳَـﺪ ُﻮﻫﻢ
ْ ُ َ ﹶ ﱠ ُ ﻟ ﹾ ﻊ َ َ ْ َ ﹶ ِ َ َ َ ْ ﹶ ﱠ ﹸ ْﻋ َ ﹶ ﻬﻢ ﻌ
ﹺﺇﻟﹶﻰ ﻋﺬﹶﺍﺏ ﺍﻟﺴﻌﲑ
َ ﹺ ﱠِ ﹺ
Dan apabila dikatakan kepada mereka : ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah’. Mereka
menjawab : ‘(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya’. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu
menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqman : 21).
Allah ta’ala berfirman tentang orang-orang yang taqlid kepada bapak-bapak mereka :
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -10 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
11. ﺍﱠﺗﺨ ﹸﻭﺍ ﹶﺃﺣﺒَﺎﺭﻫﻢ ﻭﺭﻫﺒَﺎَﻧﻬﻢ ﹶﺃﺭﺑَﺎﺑًﺎ ﻣﻦ ُﻭﻥ ﺍﻟﱠﻪ
ِ َﺬ ْ َ ُ ْ َ ُ ْ ُ ْ ْ ِ ْ ﺩ ِ ﻠ
”Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah”
(QS. At-Taubah : 31).
ﻋﻦ ﻋﺪﻱ ْﺑﻦ ﺣَﺎِﺗﻢ ﻗﹶﺎﻝ ﹶﺃَﺗْﻴ ُ ﺍﻟﱠﻨﹺﺒﻲ ﻭﻓِﻲ ﻋُﻨﻘِﻲ ﺻﻠﻴﺐ ﻣﻦ ﺫﻫﺐ ﻓﻘﹶﺎﻝ ﻳَﺎ ﻋﺪﻱ ﺍﻃﺮﺡ ﻋﻨْـﻚ
َ َ ْ َ َِ ٌ ِ ْ ﹶ َ ﹴ ﹶ ﹶ َ ِ ﱡ ﹾ ُ َ َ ْ َِ ﱢ ﹺ ﹴ ﹶ ﺖ ﱠ
ﻫﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟﻮﹶﺛﻦ ﻭﺳﻤﻌُ ُ َﻳﻘﺮﹸ ﻓِﻲ ُﻮﺭﺓ َﺑﺮَﺍﺀﺓ} ﺍﱠﺗﺨ ﹸﻭﺍ ﹶﺃﺣﺒَﺎﺭﻫﻢ ﻭﺭﻫﺒَﺎَﻧﻬﻢ ﹶﺃﺭﺑَﺎﺑًﺎ ﻣﻦ ُﻭﻥ ﺍﻟﱠﻪ { ﻗﹶـﺎﻝ
ﹶ ِ َ َ َ َ َ ِ ْﺘﻪ ﹾ َﺃ ﺳ َ ِ َﹲ َﺬ ْ َ ُ ْ َ ُ ْ ُ ْ ْ ِ ْ ﺩ ِ ﻠ
ﹶﺃﻣَﺎ ﹺﺇﱠﻧﻬﻢ ﹶﻟﻢ َﻳ ﹸﻮُﻮﺍ َﻳﻌُﺒ ُﻭَﻧﻬﻢ ﻭﹶﻟﻜﱠﻨﻬُﻢ ﻛﹶﺎُﻧﻮﺍ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﹶﺃﺣﱡﻮﺍ ﹶﻟﻬﻢ ﺷْﻴﺌﹰﺎ ﺍﺳَﺘﺤﱡﻮﻩ ﻭﹺﺇﺫﹶﺍ ﺣﺮ ُﻮﺍ ﻋﻠْﻴﻬﻢ ﺷْﻴﺌﹰﺎ
َ ْ َﻠ ُ ْ َ ْ َ ﻠ ُ َ َ ﱠ ﻣ َ ﹶ ﹺ ْ ِ َ ُْ ُْ ْ ﻜ ﻧ ْﺪ
ﺣﺮ ُﻮﻩ
ُ َ ﱠﻣ
ﻗﹶﺎﻝ ﹶﺃُﻮ ﻋِﻴﺴَﻰ ﻫﺬﹶﺍ ﺣﺪِﻳﺚ ﻏﺮﹺﻳﺐ ﻟﹶﺎ َﻧﻌﺮﹸ ُ ﹺﺇﱠﺎ ﻣﻦ ﺣﺪِﻳﺚ ﻋْﺒﺪ ﺍﻟﺴﻠﹶﺎﻡ ْﺑﻦ ﺣﺮﺏ ﻭ ﹸﻄْﻴ ُ ْﺑﻦ ﹶﺃﻋَﻴﻦ ﹶﻟْﻴﺲ ﹺﺑﻤﻌ ُﻭﻑ ﻓِﻲ ﺍﹾﻟﺤﺪِﻳﺚ
ِ َ ٍ َ َ ﹲ ﹶ ٌ ْ ﹺﻓﻪ ﻟ ِ ْ َ ِ َ ِ ﱠ ﹺ ﹺ َ ْ ﹴ َﻏ ﹶ ﻒ ُ ْ َ َ َ ْﺮ ﹶ ﺑ
Dari ‘Adi bin Hatim ,ﺭﺿﻲ ﺍﻟﱠـﻪ ﻋﻨْـﻪberkata aku mendatangi Nabi
ُ َ ُ َ َِ ﻠ dan di leherku ada kalung
emas, maka Rasulullah bersabda: "wahai Adi, buanglah dan saya mendengar beliau membaca
ayat dalam surat Al Bara'ah, - ﺍﱠﺗﺨ ﹸﻭﺍ ﹶﺃﺣﺒَﺎﺭﻫﻢ ﻭ ُﻫَﺒﺎَﻧﻬﻢ ﹶﺃﺭﺑَﺎﺑًﺎ ﻣﻦ ُﻭﻥ ﺍﻟﱠﻪmaka dia (Adi bin Hatim)
َﺬ ْ َ ُ ْ َﺭ ْ ُ ْ ْ ِ ْ ﺩ ِ ﻠ
mengatakan : “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb-rabb”.
Rasulullah bersabda : ”Ya, bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan
atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka mengharamkan apa yang
dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?”. (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam
Jami’-nya 3095 dan Baihaqi dalam As-Sunanul-Kubra 1-/116)
Kata Ittiba’ dalam konteks bahasan topik ini adalah terdapat dalam Al Qur'an:
ﺍﱠﺗﹺﺒ ُﻮﺍ ﻣَﺎ ﹸْﻧﺰﻝ ﹺﺇﹶﻟْﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﺭﱢﺑﻜﻢ ﻭﻟﹶﺎ َﺗﱠﺘﹺﺒ ُﻮﺍ ﻣﻦ ُﻭﹺﻧﻪ ﹶﺃﻭِﻟﻴَﺎﺀ ﻗﻠِﻴﻠﹰﺎ ﻣَﺎ َﺗﺬﻛ ُﻭﻥ
ﹶ ﱠﺮ ﹶ ﻌ ﺃ ﹺﹶ ﹸْ ِْ َ ﹸْ َ ﻌ ِْﺩ ِ ْ َﹶ
”Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan jangan kamu mengikuti pemimpin-
pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)” (QS. Al-A’raf
(7) : 3).
Ijtihad
Ta'rif (Definisi)
َﺑﺬﻝ ﹾﺍﳉﻬﺪ ِﻟَﺘﺤﺼْﻴﻞ ُﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ
ﹾ ﹸ ﹸِْ ْ ِ ﹺ ﺣ ﹾﹺ َِْ ﱢ
."…memberi segala kesanggupan dalam usaha mengetahui suatu hukum syara' yaitu:
ﹺﺇﺳَﺘﻔﺮَﺍﻍ ﺍﹾﻟ ُﺳﻊ ِﻟَﺘﺤﺼْﻴﻞ ُﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﹺﺑﻄﺮْﻳﻖ ﺍﻟﻈ ﱢ
ْ ﹾ ﹸ ﻮ ْ ﹺ ْ ِ ﹺ ﺣ ﹾ ﹺ َ ْ ِ ﱢ ﹶ ﹺ ﹺ ﱠﻦ
"menggunakan segala kesanggupan dalam usaha mengetahui suatu hukum syara' dengan jalan
/cara menduga (dhan)."
Hal-hal yang membolehkan Ijtihad:
Keadaan dlaruri (darurat), karena tidak adanya hukum yang jelas mengenai seuatu perkara ibadah
maupun muamalah yang belum ada secara jelas dalil hukumnya.
Dengan cara:
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -11 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
12. Istinbath (menggali hukum, seperti qiyas, istihsan, ataupun maslahah mursalah) dari dalil dalil
baik naqli (dari teks Al Qur'an dan Hadits) maupun Aqli (logika, data empiris) sehingga diperoleh
hukum yang lebih terinci.
Orang yang ber-ijtihad disebut Mujtahid.
Syarat-syarat Mujtahid:
1. mengetahui dengan sempurna hukum-hukum di dalam Alqur'an(tafsir, ayat-ayat hukum,
nasikh –mansukh, asbabun nuzul dll), hadits (musthalah hadits, jarh wa ta'dil, asbabul
wurud dll)
2. mengetahui hukum-hukum yang sudah merupakan Ijma' (kesepakatan mayoritas/jumhur
ulama')
3. Mengetahui sifat (illat) hukum dan mampu mengetahui maksud-maksud /rahasia syari'at,
mashlahah-nya atau urf (*) masyarakat.
4. Mengetahui Bahasa Arab sebagai alat untuk memahami teks/nash (al qur'an dan hadits)
(*) Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dun berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan
ataupun meninggalkan sesuatu. Dan ini juga dinamakan adat. Dan dikalangan ulama syariat tidak
ada perbedaan antara urf dan adat.
Tingkatan Mujtahid:
1. Mujtahid Muthlaq Mustaqil, yaitu mujtahid yang mandiri tidak terpengaruh oleh mujtahid
lainnya ( Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali).
2. Mujtahid Muntashib, yaitu Mujtahid yang menjadi penerus atau pengembang dari hasil
Ijtihadnya Mujtahid Muthlaq Mustaqil. Contoh : Imam Muzanni, Imam Nawawi
meneruskan hasil Ijtihad/madzhab Syafii, Imam Auza'i meneruskan madzhabnya Maliki dan
Ibn Qudamah meneruskan madzhabnya Hanbali.
3. Mujtahid yang mengikut mujtahid sebelumnya dan bisa dikelompokkan sebagai Muqallid.
Taqlid dan Talfiq
Orang yang yang bertaklid kepada madzhab tertentu diharuskan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Harus mengetahui secara utuh berbagai ketetapan imamnya dalam masalah yang diikuti,
seperti syarat dan kewajiban- kewajibannya. Misalnya: bila Anda hendak mengikuti Madzhab
Hanafi maka harus mengetahui syarat dan kondisi-kondisi yang berlaku, seperti cara
membasuh kepala, yang membatalkan wudlu dan lain lain.
2. Taklid tidak dilakukan setelah pelaksanaan. Misalnya: Si Jenal adalah orang yang ber-
madzhab Syafi'i. Di suatu siang bulan Ramadhan, ia ingat kalau pada malam harinya tidak
berniat berpuasa, padahal niat pada malam hari, menurut madzhab Syafi'i, adalah wajib.
Pada siang itu ia berpindah ke madzhab Hanafi, yang berpendapat jika niat waktu malam
tidaklah wajib. Taklid semacam ini hukumnya khilaf atau boleh dilakukan kalau tidak ada
unsur kesengajaan.
3. Tidak mengambil pendapat yang ringan ringan saja, sengaja mencari-cari yang mudah
dengan tujuan mempermainkan agama dan tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang
sama sekali bertentangan dengan dalil yang ada. Misalnya mengambil pendapat yang
mengatakan boleh nikah tanpa wali, kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan
boleh nikah tanpa saksi, lalu mencetuskan pendapat baru "boleh nikah tanpa wali dan
saksi ". Pendapat ini jelas salah dan tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -12 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
13. 4. Imam yang diikuti harus mujtahid, baik mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hanbali, atau mujtahid muntasib (mujtahid yang masih ber-afiliasi kepada
madzhab tertentu), seperti Imam Rafi'i, Nawawi, Ar Ramli dan Ibnu Hajar (berafiliasi kepada
Syafiiyah), atau Ibn Qudamah (ber-afiliasi dengan Imam Hanbali) kecuali jika pendapat mereka
sangat lemah (dha'if jiddan).
5. Tidak boleh talfiq, yaitu mencampur dua pendapat imam dalam satu persoalan hukum
(qadhiyah) atau dalam satu masalah Ibadah, yang pada akhirnya, apa yang dilakukan sama-
sama tidak diakui oleh masing-masing imam. Misalnya: dalam berwudhu', Si Ali mengikuti
madzhab Syafi'i yang menyatakan cukup mengusap sebagian kepala. Setelah itu, Ali
menyentuh kulit perempuan bukan mahram-nya tanpa syahwat, sebab mengikuti Imam
Malik. Kemudian Ali melakukan shalat. Taklid semacam ini hukumnya tidak boleh,
karena menurut madzhab Syafi'i, menyentuh perempuan yang bukan mahram dapat
membatalkan wudhu', sementara menurut madzhab Maliki, wudhu' si Ali tadi tidak sah,
karena menurut madzhab ini wudhu' harus mengusap seluruh bagian kepala (rambut).
Jadi, baik menurut madzhab Syafi'i maupun Maliki, Ali tidak boleh melakukan shalat?
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -13 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
14. BAB THAHARAH (BERSUCI)
Definisi Thaharah
Secara etimologis (bahasa), thaharah adalah bersih dari segala kotoran, baik yang bersifat
nyata/ada benda-nya, seperti kotoran yang menempel di badan, atau bersifat abstrak/tidak
nampak, seperti kotoran hati; sombong, dengki, riya' dan berbagai sifat-sifat tercela
lainnya. Allah berfirman:
ﹺﺇ ﱠ ﺍﻟﱠﻪ ُﻳﺤ ﱡ ﺍﻟﱠﺘ ﱠﺍﹺﺑﲔ ﻭُﺤﺐ ﺍﹾﻟﻤَﺘﻄﻬﺮﹺﻳﻦ
َ ﻥ ﻠ َ ِﺐ ﻮ َ َ ﻳ ِ ﱡ ُ ﹶ ﱢ
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri. (QS Al Baqarah (2):222)
Dalam suatu hadits disebutkan:
ﻋﻦ ﺻَﺎِﻟﺢ ْﺑﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﺣﺴﺎﻥ ﻗﹶﺎﻝ ﺳﻤﻌ ُ ﺳﻌِﻴﺪ ْﺑﻦ ﺍﹾﻟ ُﺴﱠﻴﺐ َﻳ ﹸﻮﻝ ﹺﺇ ﱠ ﺍﻟﱠﻪ ﻃﱢﻴﺐ ُﻳﺤ ﱡ ﺍﻟ ﱠﱢﻴﺐ َﻧﻈِﻴﻒ
ٌ َ َ ِ ْﺖ َ َ َ ﻤ َ ﹺ ﻘ ﹸ ﻥ ﻠ َ ﹶ ٌ ِﺐ ﻄ َﱠ ﹶ َْ ﹺ ﹺ
ُﻳﺤ ﱡ ﺍﻟﱠﻨﻈﹶﺎﻓﺔ
ِﺐ ﹶ ﹶ
Dari Shalih bin Abi Hassan berkata, aku mendengar Sa'id bin Musayyib berkata (dari Nabi ),
:"Sesusngguhnya Allah itu bersih dan menyukai kebersihan". (HR At-Tirmidzi)
Sedangkan thaharah dalam pengertian syariat adalah melakukan sesuatu yang menjadi sebab
bolehnya melakukan segala bentuk ibadah, baik wajib atau sunat, seperti shalat dan membaca Al
Qur' an.
Tabel Dalil Ayat Al Qur’an mengenai Thaharah (bersuci)
No. Surat Ayat Keterangan
1 Al Baqarah (2) 173, 222
2 An Nisa’ (4) 43
3 Al Maa’idah (5) 6 Wudlu, Tayamum
4 Al An’am (6) 145
5 At Taubat (9) 108
6 An Nahl (16) 80,115
7 Al Waqi’ah (56) 79 Larangan Memegang Mushaf bila tidak suci
8 Al Mudatsir (74) 4
Tujuan Thaharah
Menurut mayoritas ulama, tujuan thaharah ada empat:
1. Menghilangkan najis.
2. Wudhu', baik wajib, seperti wudhu' untuk shalat dan membaca al-Qur'an, atau wudhu'
sunat, seperti wudhu' sebelum mandi atau mengulangi bersetubuh dengan isainya.
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -14 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
15. 3. Tayamum.
4. Mandi, baik mandi wajib, seperti mandi karena junub, selesai haid/nifas atau mandi sunat,
seperti mandi karena baru masuk Islam, habis memandikan mayat, habis sembuh dari
gila, mandi untuk Ihram, mandi untuk Shalat Idain, shalat jum'at atau habis mencukur
rambut.
Sarana Thaharah
Sesuatu yang bisa dijadikan sebagai sarana bersuci ada empat:
Air ; merujuk pada nash al-Qur'an yang artinya:
ﻭَُﻨ ﱢ ﹸ ﻋﻠْﻴﻜﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤَﺎﺀ ﻣَﺎﺀ ِﻟُﻄﻬﺮ ﹸﻢ ﹺﺑﻪ
ِ ْ َﻳ ﺰ ﻝ َ ﹶ ﹸ ْ ِ َ ﱠ ِ ً ﻴ ﹶ ﱢ َﻛ
"….Aku turunkan atas kalian air dari langit agar kalian bisa benuci dengannya…….." (QS.
Al-Anfal [8]: 11)
Juga berdasarkan pada Sunah Nabi diriwayatkan bahwa Nabi pernah berwudhu' dengan
menggunakan air dari sumur Budha'ah.
ﻋﻦ ﺍْﺑﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﺳﻌِﻴﺪ ﺍﹾﻟﺨﺪﺭﻱ ﻋﻦ ﹶﺃﺑﹺﻴﻪ ﻗﹶﺎﻝ ﺍْﻧَﺘﻬْﻴ ُ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟﱠﻨﹺﺒﻲ ﻭ ُﻮ َﻳَﺘﻮﺿﺄﹸ ﻣﻦ ﹺﺑﹾﺌﺮ ُﺑﻀَﺎﻋﺔ ﻓ ﹸﻠ ُ ﻳَﺎ
ﱢ َﻫ َ َ ﱠ ِ ْ ﹺ َ ﹶ ﹶﻘ ﹾ ﺖ َ ٍ ُ ْﹺ ﱢ َ ْ ِ ﹶ َ ﺖ َْ ﹺ
ﺭ ُﻮﻝ ﺍﻟﱠﻪ َﺗﻮﺿﹸ ﻣْﻨﻬَﺎ ﻭﻫﻲ ُﻳﻠﻘﹶﻰ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ُﻳﻠﻘﹶﻰ ﻣﻦ ﺍﻟﱠﻨْﺘﻦ ﻓﻘﹶﺎﻝ ﹺﺇ ﱠ ﺍﹾﻟﻤَﺎﺀ ﻟﹶﺎ ُﻳَﻨ ﱢﺴﻪ ﺷﻲﺀ
ٌْ َ ُ ُ ﹾ ِ ْ ﹺ ﹶ ﹶ ﻥ َ ﺠ َﺳ ﹶ ﻠ ِ َ ﱠﺄ ِ َ ِ َ ﹾ
Dari Ibn Abi Said Al Khudri dari bapaknya berkata, kami akan menemui Nabi dan ketika itu
beliau sedang berwudlu di sumur Budha'ah dan aku berkata:" Ya Rasulallah, engkau berwudlu
dari sumur itu dan padanya (di sekitar sumur) dijumpai bangkai busuk, maka beliau berkata :
"sesungguhnya air sumur (tetap suci) (selama) tidak ada najis di dalamnya ( Musnad Ahmad, At
Tirmidzi juga Sunan Nasa'i dengan teks yang hampir sama)
Tanah/Debu. Landasannya adalah firman Allah yang artinya,
ﻓﻠﻢ َﺗﺠ ُﻭﺍ ﻣَﺎﺀ ﻓَﺘَﻴﻤﻤُﻮﺍ ﺻﻌِﻴﺪﺍ ﻃﱢﻴﺒًﺎ ﻓﹶﺎﻣﺴ ُﻮﺍ ﹺﺑﻮ ُﻮﻫﻜﻢ ﻭﹶﺃْﻳﺪِﻳﻜﻢ
ْ َ ً ﹶ ْ َﺤ ُﺟ ِ ﹸ ْ َ ﹸ ﹶﹶ ْ ﹺﺪ ً ﹶ ﱠ
…Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah (debu) yang
baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha
Pengampun. (QS. An-Nisa' (4): 43).
ُ ْ َ َّ َ ِ َ
Juga berdasarkan hadis dari Abu Hurairah رض ي ﷲ ُ عن هyang diriwayatkan oleh Tirmidzi:
Nabi Muhammad bersabda:
ُﻌﻠﺖ ِﻟﻲ ﺍﹾﻟﺄﺭﺽ ﻣﺴﺠﺪًﺍ ﻭﻃ ُﻮﺭًﺍ
ﺟ ِﹶ ْ َ ﹶ ْ ُ َ ْ ﹺ َ ﹶﻬ
"Dijadikan untuk kita (umat Muhammad) bumi sebagai masjid dan debunya sebagai alat
bersuci (menyucikan).
Batu. dasar hukumnya adalah berbagai hadis Nabi Muhammad , di antaranya,
ﻋﻦ ﺍﹾﻟﺄﺳﻮﺩ ﻋﻦ ﻋْﺒﺪ ﺍﻟﱠﻪ ْﺑﻦ ﻣﺴ ُﻮﺩ ﹶﺃ ﱠ ﺭ ُﻮﻝ ﺍﻟﱠﻪ ﺻﱠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠْﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﹶﺃﺗَﻰ ﺍﹾﻟﺨﻠﹶﺎﺀ ﻓﻘﹶﺎﻝ ﺍﹾﺋِﺘﻨﹺـﻲ
َ َﹶ ﹶ َ َ َ ِ َ ْ ﹶ ْ َ ِ َ ْ َ ِ ﻠ ِ ﹺ َ ْ ﻌ ٍ ﻥ َ ﺳ ﹶ ﻠ ِ َﻠ ﱠ ُ َ ﹶ
ﹺﺑﹶﺜﻠﹶﺎﹶﺛﺔ ﹶﺃﺣﺠَﺎﺭ ﻓﺄَﺗْﻴُ ُ ﹺﺑﺤﺠﺮْﻳﻦ ﻭﺭﻭﹶﺛﺔ ﻓﺄﺧﺬ ﺍﹾﻟﺤﺠﺮْﻳﻦ ﻭﹶﺃﹾﻟﻘﹶﻰ ﺍﻟﺮﻭﹶﺛﺔ ﻭﻗﹶﺎﻝ ﻫﻲ ﺭﺟﺲ
ٌ ْ ﱠْ ﹶ َ ﹶ ِ َ ﹺ َ ِ ْ ﹴ ﹶ ﹶ ﺘﻪ َ َ َ ﹺ َ َ ْ ٍ ﹶ ﹶ َ ﹶ َ َ َ ﹺ
ُ ْ َ َّ َ ِ َ
"Dari Aswad, dari Ibn Mas'ud رض ي ﷲ ُ عن هbahwa sesunggunya Rasulullah ber-hajat dan
berkata kepadaku untuk diberi tiga buah batu, maka aku beri beliau dua batu dan sebuah kotoran
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -15 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
16. binatang yang kering dan keras, maka beliau ambil dua buah batu dan membuang kotoran kering
sambil bersabda: " Ia najis." (Musnad Ahmad dan Sunan Ibn Majah)
Alat yang bisa menyamak.
Dasarnya adalah hadits Nabi ,
ﻋﻦ ﺍْﺑﻦ ﻋﱠﺎﺱ ﻗﹶﺎﻝ ُﺗﺼ ﱢﻕ ﻋﻠﹶﻰ ﻣﻮﻟﹶﺎﺓ ِﻟﻤْﻴ ُﻮَﻧﺔ ﹺﺑﺸَﺎﺓ ﻓﻤَﺎَﺗﺖ ﻓﻤﺮ ﹺﺑﻬَﺎ ﺭ ُﻮﻝ ﺍﻟﱠﻪ ﺻﱠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴْـﻪ
ِ َ ْ ﹺ َﺒ ﹴ ﹶ ُﺪ َ َ َ ْ ٍ َ ﻤ ﹶ ٍ ﹶ ْ ﹶ َ ﱠ َﺳ ﹸ ﻠ ِ َﻠ ﱠ ُ َﹶ
ﻭﺳﻠﱠﻢ ﻓﻘﹶﺎﻝ ﻫﱠﺎ ﹶﺃﺧﺬُﺗﻢ ﹺﺇﻫَﺎَﺑﻬَﺎ ﻓﺪَﺑﻐُﺘ ُﻮﻩ ﻓﹶﺎْﻧَﺘﻔﻌُﺘﻢ ﹺﺑﻪ ﻓﻘﹶﺎﹸﻮﺍ ﹺﺇﱠﻧﻬَﺎ ﻣْﻴَﺘﺔ ﻓﻘﹶﺎﻝ ﹺﺇﱠﻧﻤَﺎ ﺣ ُﻡ ﹶﺃﻛﻠﻬَﺎ
َﺮ َ ﹾﹸ َ ﹲﹶ ﹶ ﹶ َ ْ ﻤ ُ ﹶْ ْ ِ ﹶ ﻟ ْ َ َ َ ﹶ ﹶ َﻠ َ ﹾ
ْ َ َّ َ ِ َ
Dari Ibn Abbas ُ رض ي ﷲ ُ عنھم اbahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah
menemukan seseorang yang sedang membuang bangkai kambing milik Sayyidah
Maimunah. Lantas Nabi menegurnya, "Kenapa kalian tidak ambil saja kulitnya kemudian
kalian samak dan me-manfaatkan-nya? Mereka berkata, "ini sudah menjadi bangkai wahai
Rasul" Lalu Nabi bersabda, "Keharaman bangkai itu hanya untuk dimakan." (Shahih Muslim)
Macam-macam Air
Air diklasifikasikan menjadi empat bagian:
1. Air suci yang bisa menyucikan dan tidak makruh digunakan.
Jenis ini adalah yang paling baik. Selain suci, juga bisa menyucikan benda lain, memiliki
banyak manfaat, seperti menghilangkan najis, hadats, dan kebutuhan hidup sehari-hari. Air
jenis ini disebut air muthlaq. Maksudnya adalah air yang hanya disebut "air" tanpa embel-
embel (qayd/limitasi penyebutan) apa pun. Atau ada embelembel, akan tetapi tidak menetap
(bisa terlepas) kama mengikuti tempat penampungannya, misalnya sebutan "air sumur" dan
"air lautan; seandainya airnya dipindah ke dalam gelas, maka berubah menjadi "air gelas".
Beda halnya dengan air yang memilii embel-embel yang menetap (tidak bisa terlepas), seperti
"air kelapa", maka tidak bisa disebut air muthlaq.
2. Air suci dan menyucikan tapi makruh digunakan untuk tubuh,
yaitu air musyammas (air yang dipanaskan dengan sinar matahari dan wadahnya bukan
terbuat dari emas dan perak). Air musyammas dapat digunakan untuk mencuci pakaian.
Tapi jika digunakan untuk menyucikan membersihkan tubuh, maka hukumnya makruh,
sebab ditengarai dapat menimbulkan penyakit barash (semacam kusta). Hukum makruh ini
bisa berubah apabila indikasi kemakruhannya sudah hilang (sudah normal kembali/tidak
panas).
Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zain memberi beberapa syarat berkenaan
dengan makruhnya menggunakan air musyammas, yaitu:
1. Berada di daerah yang suhu panasnya sangat tinggi. Hukum makruh itu tidak berlaku di
daerah daerah bercuaca dingin atau stabil;
2. Digunakan pada waktu panas;
3. Masih ada air yang tidak musyammas;
4. Waktu tidak mendesak. Jika waktu shalat sudah hampir habis dan belum menemukan air
yang tidak musyammas, maka tidak makruh, bahkan bisa wajib menggunakan air
musyammas. Ketentuan ini berlaku bila penggunaan musyammas tidak menimbulkan
(atau diperkirakan menimbulkan) efek yang membahayakan tubuh. Jika demikian, maka
hukum menggunakannya menjadi haram dan ia wajib bersuci dengan cara tayamum; 6)
jelas tidak menyebabkan dampak negatif bagi pengguna air tersebut dan juga tidak ada
dugaan kuat mengenai pengaruh negatif itu.
3. Air suci tapi tidak bisa menyucikan benda lain,
yaitu air musta'mal (air yang sudah digunakan untuk bersuci/habis pakai).
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -16 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
17. Faktor yang menyebabkan air menjadi musta'mal ada dua:
1. Air sedikit (tidak sampai dua qullah) yang sudah dibuat menghilangkan bau atau najis. Air
yang digunakan menghilangkan najis dihukumi musta'mal bila tidak berubah dan
timbanganya tidak bertambah dari ukuran semula setelah menghitung air yang diserap
oleh benda yang dibasuh.
2. Air yang sudah berubah salah satu sifamya (rasa, warna dan baunya) sebab tercampur
benda suci (mukhalith yaitu Benda yang tidak bisa dipisah (dipilah) dari air seperti sabun, cuka, dan
lain-lain) dengan perubahan yang dapat merusak nama air, baik perubahan itu dapat
diindra, seperti berubah sebab sabun, atau dengan perkiraan, seperti berubah sebab sesuatu
yang sifatnya sama dengan air.( Air yang berubah sebab berdiam yang lama tetap dapat
menyucikan, demikian juga bila berubah sebab lumut, debu, garam laut, dan kotoran
kaki di jeding tempat berwudhu.)
Air musta'mal bisa kembali menjadi air yang menyucikan bila ditambah dengan air lain
sehingga mencapai tidak kurang dari dua qullah dan menghilangkan sebab-sebab perubahan
sifat air di atas.
Empat, air najis, yaitu:
1. Air yang tidak sampai dua qullah dan terkena najis, baik sampai mengubah sifat air atau
tidak;
2. Mencapai dua qullah atau lebih dan terkena najis sampai mengubah salah satu sifat air itu
(warna, rasa atau baunya). Air najis bisa kembali menjadi suci dan menyucikan bila
ditambah dengan air lain sehingga tidak kurang dari dua qullah atau menghilangkan
perubahan sifat air di atas.
Ukuran (Volume) Air
Berkenaan dengan thaharah, adalah perlu dijelaskan mengenai ukuran air sedikit dan air
banyak. Air sedikit adalah air yang tidak mencapai dua qullah. Sedangkan yang dimaksud air
banyak adalah air yang sudah mencapai ukuran dua qullah.
Jika diperkirakan dengan ukuran liter, dua qullah = 190 liter (satu qullah = 95 liter). Dalam
Fath al Qadir fi 'Aja'ib al Maqadir, kyai Ma'shum menjelaskan bahwa dua qullah menurut satuan
volume versi an-Nawawi = 174,580 liter; sedangkan dua qullah menurut satuan volume versi
ar-Rafi'i = 176,245 liter
Thaharah (bersuci) ada dua macam: bersuci dari kotoran /najis dan bersuci dari
hadats.
Bersuci dari Najis
Dalam hal ini, Allah berfirman:
ﻭِﺛﻴَﺎَﺑﻚ ﻓﻄﻬﺮ
َْ َ ﹶ ﹶﱢ
Dan pakaianmu, bersihkanlah (QS. Al- Muddatstsir (74): 4)
Dan baca juga (QS. Al-Baqarah [2]: 222)
Rasulullah bersabda:
ﻋﻦ ﹶﺃﺑﹺﻲ ﻣَﺎِﻟﻚ ﺍﹾﻟﺄﺷﻌﺮﻱ ﻗﹶﺎﻝ ﻗﹶﺎﻝ ﺭ ُﻮﻝ ﺍﻟﱠﻪ ﺻﱠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠْﻴﻪ ﻭﺳﻠﱠﻢ ﺍﻟ ﱡﻬﻮﺭ ﺷﻄ ُ ﺍﹾﻟﺈﳝَﺎﻥ
ِ ٍ ﹶ ْ َ ﹺ ﱢ ﹶ ﹶ َﺳ ﹸ ﻠ ِ َﻠ ﱠ ُ َﹶ ِ َ َ َ ﻄ ُ ُ َ ﹾﺮ ﹺ َْ
Dari Abi Malik al Asyari berkata, telah bersabda Rasulullah : "Bersuci merupakan separuh dari
iman." (HR. Muslim)
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -17 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
18. Secara bahasa, najis adalah sesuatu yang menjijikkan. Sedang dalam istilah syara', najis adalah
sesuatu yang dapat mencegah sahnya shalat pada saat tidak ada rukhshah (keringanan yang memperbolehkan
melakukan shalat dalam keadaan tidak suci.
Berdasarkan berat-tidaknya, najis dikelompok-kan menjadi tiga:
1. Najis mughaladhah, yaitu anjing, babi, dan hewan lain yang lahir dari hubungan kedua
hewan tersebut, baik dengan hewan sejenis maupun dengan hewan lain.
2. Najis mutawassithah, adalah najis selain dua tipe sebelumnya, seperti kotoran dan
kencing hewan.
3. Najis mukhaffafah, yaitu kencingnya bayi laki-laki yang belum mengkonsumsi apapun
selain ASI (Air Susu Ibu) dan belum mencapai umur dua tahun.
Sedangkan berdasarkan sifatnya, najis dibagi menjadi dua:
1) najis 'ainiyah, yaitu najis yang rasa, warna atau baunya bisa dideteksi oleh indera;
2) najis hukmiyah, yaitu najis yang rasa, wama dan baunya - sudah hilang (tidak terdeteksi
oleh indera).
Cara Menghilangkan Najis
Cara mensudkan benda yang tertimpa najis ada tiga macam, sesuai dengan tingkat berat-
tidaknya najis:
1.Cara menghilangkan najis mughalladhah: benda najisnya dihilangkan terlebih
dahulu, kemudian dibasuh sebanyak tujuh kali, dan salah satu dari basuhan tersebut harus
dicampur dengan debu.
Apabila setelah tujuh basuhan itu najisnya masih belum hilang, maka tujuh basuhan tersebut
dianggap satu basuhan dan harus menambah enam basuhan lagi.
Penjelasan:
1) Basuhan yang menghilangksn henda najis dianggap satu basuhan sekalipun berkali-Mi
dan harus ditambah enam kali basuhan yang salah satumya dicampuri dengan debu;
2) Air yang mengandung debu tidak perlu diberi debu lagi.
2. Cara menghilangkan najis mutawasithah ada dua:
1) bila najisnya bempa 'ainiyah, maka harus dibasuh sampai menghilangkan benda najis dan
sifat. sifatnya (rasa, bau dan wamanya). Bila temyata wama atau bau najis (bukan rasa) itu
sulit dihilangkan, maka tempat yang tertimpa najis dihukumi ma'fu.
Batasan sulit di sini adalah jika setelah dibasuh dan digosok dengan air sampai tiga kali,
sifat tersebut belum bisa dihilangkan.
2) bila najisnya berupa najis hukmiyah, maka cukup dengan mengalirkan air. -
Demikian juga najis 'ainiyah yang hanya tinggal warna atau baunya saja.' (Bila air nya sedikit (tidak
sampai dua qullah), maka semua ketentuan ini harus dilakukan dengan cara al Ma'warid (air
disiramkan ke benda yang terkena najis, bukan bendanya yang dicelupkan ke dalam air). Dan,
bila dengan satu kali basuhan masih belum dapat menghilangkan benda dan sifat-sifat
najisnya, maka harus diulangi sampai bisa hilang.)
3. Cara menghilangkan najis mukhaffafah, benda najisnya dihilangkan terlebih
dahulu, kemudian percikkan air ke tempat yang terkena najis (air-nya menggenangi tempat
najis sekalipun tidak mengalir).
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -18 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
19. Benda-benda yang Najis
1. Sesuatu yang keluar dari tubuh manusia
Segala sesuatu yang keluar dari badan manusia yang keluarnya mewajubkan wudhu, atau mandi
adalah najis. Sepeti kencing, buang air besar, madzi, wadi, darah haid, darah nifas, darah
istihadhah, darah yang mengalir dari luka, dan darah yang sedikit adalah dimaafkan, sebagaimana
nanah (lihat najis Ma'fu).
Sedangkan mani, menurut Abu Hanifah dan Malik adalah najis; sedangkan menurut pendapat
Syafi'i dan Ahmad Ibn Hanbal, dalam dua riwayat yang paling sahih dari padanya, yaitu Madzhab
Zhahiri, mani itu suci. Imam Nawawi menisbatkan kesucian mani kepada para fuqaha, disamping
menisbatkannya kepada para ahli hadith. Dia berkata: Pendapat ini diriwayatkan daripada Ali Ibn
Abi Thalib., Saad Ibn Abi Waqqash, Ibn Umar ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨْﻬﻢdan Aishah ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨْﻬﺎ
ُ َ َُ ِ َ ﱠ َ َُ ِ َ ﱠ
2. Darah yang Mengalir
1. Darah yang mengalir, yang berasal dari manusia, lelaki mahupun perempuan, dan darah
binatang lainnya adalah najis.
2. Darah kutu busuk dan udang adalah tidak najis.
3. Darah yang tetap berada di dalam daging dan urat setelah disembelih tidak dianggap najis,
karena ia bukan merupakan darah yang mengalir (masfuh).
3. Sesuatu yang Keluar daripada Badan Binatang
Segala sesuatu yang keluar daripada binatang, kencing, dan kotorannya, hukumnya berbeda-beda
seperti berikut:
1. Kencing binatang yang dagingnya tidak boleh dimakan adalah najis, begitu pula kotorannya.
2. Kencing binatang yang dagingnya boleh dimakan, terdapat sebagian ulama yang mengatakan
bahwa ia adalah najis; seperti Imam Abu Hanifah (Hanafi) dan Abu Yusuf. Kebanyakan
para fuqaha mengatakannya suci; seperti Imam Muhammad Ibn Al-Hasan Al-Syaibani, Al-
Nakhai, Al-Auzai, Al-Zuhri, Malik (Maliki) dan Ahmad (Hanbali).
3. Kotoran binatang yang dagingnya boleh dimakan, menurut pendapat kalangan Ulama
(Madzhab Hanafi), adalah suci. Begitu pula pendapat Maliki.
Sedangkan ulama-ulama yang lainnya mengatakan bahwa ia adalah najis. Pendapat yang
mengatakan bahwa tidak najis kencing dan kotoran binatang yang boleh dimakan dagingnya
ini didukung oleh Ibn Taimiyyah, dengan menyebutkan berbagai-bagai dalil untuk itu. Begitu
juga halnya Al-Syaukani. Dia mengajukan hujjah bahwasanya permulaan kedua hal itu adalah
suci; sedangkan najis merupakan hukum syariat yang tidak dapat diterima kecuali disertai
dengan dalil syariat yang benar. Dan dalil itu tidak ada sehingga kita harus berpegang kepada
asas permasalahannya, dan permulaan hukumnya yang bebas(al-baraah al-ashliyyah).
4. Kotoran Burung
Kotoran burung yang tidak terbang diudara, seperti ayam dan itik adalah kotoran yang najis;
karena adanya kandungan makna najis di dalamnya, dengan alasan bahwa sesuatu yang mulanya
bersih dapat berubah menjadi kotor dan berbau setelah terkena oleh kotorannya.
Sedangkan kotoran burung yang terbang di udara digolongkan kepada dua jenis; golongan
burung yang boleh dimakan dagingnya, seperti merpati serta burung-burung lainnya, kotorannya
adalah suci; dan burung-burung yang tidak boleh dimakan dagingnya, seperti burung elang,
rajawali, dan sejenis dengannya, maka menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf kotorannya adalah
suci, karena dianggap sebagai sesuatu yang dharurat. Sebab burung-burung yang membuang
kotorannya di udara sehingga kita tidak mungkin melindungi baju dan tempat-tempat kita
daripada kotorannya. Sedangkan Imam Muhammad Ibn Al-Hasan berkata: Kotorannya najis karena
adanya kandungan makna najis di dalam kotoran tersebut, karena sesuatu yang mulanya bersih dapat berubah
menjadi kotor dan berbau setelah terkena olehnya.
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -19 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
20. 5. Khamar
Di dalamKitab al-Mughni, oleh Ibn Qudamah Al-Hanbali dikatakan bahwa khamar itu najis
menurut pendapat umum para ulama.Dan setiap hal yang memabukkan adalah haram dan najis.
Mereka mengemukakan hujah daripada firman Allah . Dalam Surah Al-Maidah 5:90)
Perbuatan keji (rijs) adalah najis, karena sesungguhnya ia diharamkan. Pengharaman yang bukan
dimaksudkan sebagai suatu penghormatan merupakan dalil najisnya sesuatu yang diharamkan itu.
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan perbuatan keji (rijs) dalam ayat
al-Quran al-Karim tersebut adalah keji secara maknawi. Dengan dalil bahwasanya keji merupakan
predikat untuk khamar dan benda-benda yang disebutkan bersamaan dengannya dalam ayat
tersebut. Benda-benda tersebut tidak disifati dengan najis.
Oleh sebab itu, berhala-berhala itu hanyalah keji darisegi maknawi dan tidak membuat najis bagi
orang yang menyentuhnya. Al-Shan'ani, dalam Subul al-Salam berkata: ”Pada hakikatnya, mula-mula
pada asasnya semua benda itu suci, dan pengharaman terhadap benda tersebut tidak mengharuskan
penajisannya. Oleh sebab itu ganja yang diharamkan, bahan asasnya tetap suci. Begitu pula halnya dengan
semua jenis narkoba, dan racun-racun yang mematikan; sebab tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ia
adalah barang yang najis. ”
Sedangkan benda-benda yang dianggap najis adalah benda yang diharamkan. Pada dasarnya
setiap benda yang najis itu diharamkan, dan tidak semua benda yang diharamkan itu najis.
Karena sesungguhnya hukum yang berlaku di dalam hal-hal yang najis ialah larangan untuk
menyentuhnya. Hukum yang menetapkan bahwa suatu benda yang dianggap najis adalah haram
untuk dimakan sebaliknya hukum yang menetapkan haramnya suatu benda tidak berarti bahwa
benda itu najis.
Sebagai contoh ketetapan hukum haramnya memakai/menggunakan sutera dan emas terhadap
kaum lelaki, tidak mengubah status kedua benda itu, karena keduanya tetap dianggap suci.
Apabila anda mengetahui perkara ini, maka pengharaman himar yang jinak dan khamar yang
ditunjukkan oleh nash, tidak menyebabkan bahwa keduanya adalah najis. Kecuali apabila terdapat
dalil lain yang menunjukkan kenajisannya. Jika tidak ada maka kedua benda itu, seperti disepakati
bersama, tetap dianggap sebagai suatu benda yang suci.
6. Bangkai Binatang
Terdapat berbagai kategori bangkai binatang. Dan setiap kategori ada hukumnya dari segi najis
ataupun sucinya sebagai berikut:
1. Binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti lalat dan lain-lain, tidak menjadi
najis apabila ia telah mati. Akan tetapi binatang sejenis ini (yang tidak memiliki darah yang
mengalir) yang muncul daripada najis, seperti cacing, maka dia dianggap najis, sama ada
ketika ia masih hidup ataupun setelah ia mati. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh para
pengikut Madzhab Hanbali.
2. Binatang yang mempunyai darah yang mengalir, dibagi tiga jenis:
Binatang yang bangkainya boleh dimakan, yaitu ikan dan binatang laut lainnya, yang tidak
hidup kecuali di dalam air adalah suci, sama ada ketika ia hidup mahupun sesudah mati.
Binatang yang bangkainya tidak boleh dimakan (selain manusia) seperti binatang yang
boleh dimakan dagingnya, maka bangkainya adalah najis.
Manusia tetap suci, sama ada ketika dia hidup mahupun setelah dia meninggal dunia.
Sebab terdapat hadith dari nabi
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -20 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
21. Orang mukmin itu tidak najis.
Para pengikut Madzhab Hanbali mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara seorang Muslim
dan kafir dalam masalah ini; yakni adanya anggapan tidak najis setelah dia meninggal dunia;
karena keduanya adalah manusia belaka.
Sedangkan Ibn Qudamah Al-Hanbali berkata: Akan tetapi ada kemungkinan bahwa orang kafir
itu menjadi najis setelah dia meninggal dunia, karena sesungguhnya hadith Nabi yang mulia
hanya berkaitan dengan orang Muslim sahaja, dan kita tidak boleh mengkiaskan orang kafir
kepadanya; karena sesungguhnya orang-orang kafir tidak disolatkan ketika meninggal dunia dan
dia tidak memiliki kehormatan seperti kehormatan yang dimiliki oleh orang Muslim. Sedangkan
hukum bagian-bagian tubuh manusia adalah sama dengan hukum tubuh badan secara
menyeluruh, sama ada yang dipotong ketika ia masih hidup mahupun setelah dia meninggal
dunia, bagian tubuh merupakan sebagian daripada keseluruhan badan.
3. Bagian-bagian tubuh bangkai yang terdapat darah seperti daging dan kulit dianggap najis;
karena terdapat darah yang tersembunyi di dalamnya yaitu darah yang masfuh. Sedangkan
bagian-bagian tubuh yang tidak ada darahnya jika ia padat seperti tanduk, tulang, gigi, kuku,
kuku kaki, rambut, bulu, dan lain-lain, maka terdapat tiga pendapat para ulama dalam hal ini:
a. Semuanya dianggap najis. Ini merupakan pendapat yang terkenal daripada Madzhab
Syafii, sebagaimana diriwayatkan daripada Imam Ahmad Ibn Hanbal.
b. Sesungguhnya tulang, dan lain-lainnya adalah najis. Sedangkan rambut dan benda-benda
yang sejenisnya adalah suci. Pendapat ini dikenali sebagai pendapat madzhab Malik dan
Ahmad.
c. Semuanya dianggap suci. Ini adalah pendapat Abu Hanifah; tetapi terdapat juga Madzhab
Maliki dan Hanbali yang berpendapat seperti itu. Pendapat di atas; seperti yang dikatakan
oleh Ibn Taimiyyah; adalah benar; seraya menyebutkan berbagai dalil yang menunjukkan
kebenarannya.
4. Susu dan lemak bangkai adalah najis menurut Madzhab Hanbali. Begitu pula pendapat
Madzhab Malik dan Syafii. Diriwayatkan daripada Ahmad bahwasanya ia adalah suci, dan
begitu pula pendapat Abu Hanifah dan Dawud. Hujjah terhadap pendapat ini adalah
bahwasanya para sahabat ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻢpernah memakan keju ketika mereka memasuki Lembah
Persia; dan keju ini diperbuat daripada lemak yang diambil dari anak kambing, yang
kedudukannya sama dengan lemak, dan binatang sembelihan mereka dianggap sebagai
bangkai. Pendapat yang terakhir ini didukung oleh Ibnu Taimiyyah, sekaligus menunjukkan
kebenarannya.
5. Bagian tubuh yang dipotong ketika binatang itu masih hidup adalah najis, jika di dalam
daging itu terdapat darahnya. Dan jika tidak terdapat darahnya, seperti rambut dan bulu,
maka ia dianggap suci.
6. Babi dan Anjing, Babi adalah najis secara substantif. Bulunya dan anggota-anggota
tubuhnya yang lain tidak boleh digunakan suntuk sebarang tujuan karena ia adalah najis.
Begitu pula anjing. Ia juga najis secara substantif seperti halnya babi menurut sebagian ulama.
Akan tetapi, menurut sebagian ulama yang lain ia bukanlah najis substantif, dan digabungkan
dengan binatang-binatang lainnya yang tidak boleh dimakan dagingnya, selain babi.
7. Binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya kalau disembelih, Binatang yang tidak
boleh dimakan dagingnya, sekiranya disembelih, maka dagingnya adalah najis dan tidak boleh
dimakan. Dalilnya, adalah hadith Anas yang mengatakan :
"Kami mendapat daging himar jinak pada masa peperangan Khaibar. Kemudian muadzdzin Rasulullah
mengumandangkan: Sesungguhnya Allah . dan Rasul-Nya melarang kamu untuk memakan daging himar
(jinak) karena sesungguhnya ia najis."
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -21 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
22. Bekas Minuman (al-As'ar)
Al-As'ar adalah jamak kepada perkataan su'r yang ertinya adalah bekas minuman. Hukum bekas
minuman ini berbeda dari segi najis dan sucinya bekas minuman itu sendiri, sebagai berikut:
1. Bekas minuman orang adalah suci, sama ada dia Muslim atau kafir, menurut pendapat para
ulama'.
2. Bekas minuman binatang yang dagingnya boleh dimakan adal suci. Semua ulama' sepakat
bahwa bekas minuman binatang yang boleh dimakan dagingnya adalah suci, dan boleh diminum
serta digunakan untuk bersuci, seperti berwudhu'.
3. Bekas minuman kucing dan binatang yang sejenisnya yang lebih kecil, seperti tikus, adalah suci
dan boleh diminum dn digunakan untuk berwudhu'. Hukumnya tidak makruh. Begitulah
pendapat kebanyakan para sahabat dan tabi'in. Dalam sebuah hadith Nabi S.A.W yang mulia,
berkenaan kucing disebutkan yang bermaksud:
"Ia tidak najis. Sesungguhnya ia termasuk binatang yang suka berkeliaran sekitar kamu."
Diriwayatkan daripada 'Aisyah ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎberkata:
"Saya melihat Rasulullah berwudhu' dengan bekas air minumnya atau dengan bekas minuman
kucing. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya)
4. Bekas minuman anjing dan babi adalah najis.Begitulah pendapat Madzhab Hanbali, Syafi'i,
dan Abu Hanifah. Malik, Al-Auza'i, dan Dawud berkata: "Bekas minuman kedua binatang itu
tetap suci, dan ia boleh digunakan untuk berwudhu' dan minum. Dan kalau kedua binatang itu
menjilat makanan, maka makanan itu tidak haram dimakan."
5. Bekas air minuman binatang buas lainnya - selain kucing dan binatang yang lebih kecil
daripadanya - begitu pula burung yang mempunyai cakar, himar jinak dan keldai adalah najis
sebagaimana diriwayatkan daripada Imam Ahmad Ibn Hanbal. Diriwayatkan daripada Ahmad
bahwa dia berkata tentang Ahmad bahwa dia berkata tentang keldai dan himar: "Kalau seorang
Muslim tidak menemukan air selain bekas air minum kedua binatang tersebut maka dia harus
bertayamum." Sebagian ulama' berkata: "Bekas air minuman binatang buas itu tidak apa-apa,
karena sesungguhnya 'Umar Ibn Khattab ﺭﺿـﻲ ﺍﷲ ﻋﻨـﻪberkata tentang binatang buas. 'Binatang-
binatang itu keluar kepada kita dan kita juga akan datang kepada mereka."
Diriwayatkan pula bahwasanya Nabi yang mulia ditanya tentang air telaga yang ada di antara
Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah yang sentiasa air itu digunakan untuk
bersuci? Nabi yang mulia menjawab :
"Bagi binatang-binatang itu apa yang ada di dalam perutnya, dan bagi kita apa yang ditinggalkan
oleh binatang tersebut, adalah suci. Ini berarti, "bagi kita apa yang ditinggalkan" ialah apa yang
tersisa bagi kita adalah suci untuk kita gunakan, mengikut pendapat Al-Hasan, 'Atha', Az-Zuhri,
Yahya Al-Anshari, Rabi'ah, Malik, Syafi'i, dan para ulama' lainnya.
Pada dasamya, najis di badan, pakaian dan tempat ibadah itu harus disucikan. Namun,
apabila terlalu sulit untuk dihindari ('umum al-balwa), maka najis di- ma'fu, yakni tidak
mempengaruhi terhadap sah-nya suatu ibadah.
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -22 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
23. Najis Ma'fu
Di antara najis-najis yang di-ma'fu itu adalah:
1. Lumpur jalan raya yang dipastikan najis, sekalipun najisnya terdiri dari najis
mughaladhah, seperti najisnya anjing atau babi.
2. Najis-najis yang menutupi jalan umum yang biasa dilalui orang, seperti kotoran hewan
yang merata di tengah jalan.
3. Air hujan atau sisa-sisanya yang bercampur dengan benda najis.
4. Jalan menuju masjid yang banyak najisnya, walaupun najis itu terjadi sebab sering
ditiduri anjing/babi atau yang lain.
5. Darah hijamah (pembekaman), suntik, luka-luka, dan bisul yang diakibatkan oleh
perbuatan orang lain (keluarnya darah bukan akibat perbuatannya sendiri).
6. Darah sedikit yang berasal dari orang lain, asalkan bukan berasal dari najis mughalladhah.
7. Darah kutu atau nyamuk, baik sedikit atau banyak.
8. Kotoran burung yang mengotori masjid. Kotoran ini menjadi ma'fu dengan syarat
merata pada seluruh tempat shalat, tidak basah, baik dari mushalli /orang yang shalat
maupun najisnya, dan tidak ada unsur kesengajaan ketika tertimpa najis itu.
9. Kotoran burung yang ada di sekitar tempat wudhu' masjid (kran air atau pancuran).
10. Mulut anak kecil yang najis akibat muntah atau yang lain, kemudian menyusu dari tetek
ibunya atau mengena benda yang lain, maka najis di tetek ibu atau benda lain itu di-ma'fu
(secara garis besar bisa dinyatakan bahwa semua najis yang biasanya tidak mungkin atau
sangat sulit untuk dihindari, maka najis tersebut dihukumi ma'fu)
Bersuci dari hadats
Bagian yang kedua dari thaharah adalah bersuci dari hadats. Sebagaimana bersuci dari
najis, bersuci dari hadats juga harus dilakukan sebelum mengerjakan ibadah-ibadah tertentu
seperti shalat, thawaf, memegang al-Qur'an dan sebagainya. Allah berfirman:
ﻳَﺎ ﹶﺃﱡﻳﻬَﺎ ﺍﱠﻟﺬِﻳﻦ ﺁﻣُﻮﺍ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﻗﻤُﺘﻢ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺍﻟ ﱠﻼﺓ ﻓﹶﺎﻏﺴﹸﻮﺍ ﻭ ُﻮﻫﻜﻢ
ْ ﺼ ِ ﹾ ِﻠ ُﺟ َ ﹸ ْ ْﹸ َ َ َﻨ
Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajah
kalian ... (QS. Al-Ma'idah (5): 6).
Bersuci dari hadats ada tiga macam, yaitu tayamum, wudhu' dan mandi (ghasl).
Tayamum
Tayamum merupakan dispensasi (rukhshah) dan kemurahan dari Allah yang hanya
dianugerahkan kepada umat Nabi Muhammad . Menurut Sejarah, tayamum disyariatkan
pada tahun ke4 hijriah.
Diriwayatkan dari Imam Muslim, bahwa Sayidah Aisyah radhiyallahu 'anha meminjam kalung
kepada Asma'. Kalung itu kemudian hilang. Lalu Rasulullah menyuruh beberapa orang
sahabat untuk mencarinya. Ketika waktu shalat tiba, mereka mengerjakan shalat tanpa
berwudhu'. Sekembalinya, mereka menceritakan hal itu kepada Nabi . Tidak lama kemudian
turunlah ayat tayamum yang berbunyi
... Maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). (QS. An-Nisa' [41: 43)
Secara bahasa, tayamum berarti "sengaja berbuat". Sedangkan dalam istilah syara'
(terminologi syara'), tayamum berarti mengusapkan debu ke wajah dan kedua tangan sebagai
pengganti dari wudhu' atau mandi.
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -23 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
24. Sebab-sebab diperbolehkannya tayamum adalah:
1. Tidak ada air, atau ada tapi tidak cukup untuk dibuat wudhu' atau mandi.
2. Sebagian anggota tubuh yang wajib dibasuh terkena penyakit atau luka yang tidak boleh
terkena air.
3. Bila air yang dibuat bersuci tidak cukup untuk membasuh anggota wudhu', maka
wudhu-nya harus disempurnakan dengan tayamum. Dalam hal ini, tayamum harus
dilakukan setelah wudhu' (wudhu' dulu, lalu jika air-ya tidak cukup, maka harus
disampurnakan dengan tayamum).
Penyakit yang menjadi pemicu/penyebab diperbolehkannya ber-tayamum
yaitu:
1. Penyakit atau luka yang bertambah parah jika terkena air; menimbulkan penyakit baru,
lama untuk bisa sembuh, atau menurut dokter dapat mengakibatkan cacat.
2. Penyakit atau luka itu memerlukan pembalut sebagai pelindung, seperti patah tulang dan
luka parah. Pembalut tidak mungkin untuk dibuka pada saat bersuci.
Syarat syarat Tayammun
Syarat-syarat tayamum adalah sebagai berikut:
1. Yakin bahwa waktu shalat sudah masuk,
2. Setelah masuk waktu shalat harus mencari air dahulu. Ketentuan ini tidak berlaku bila
sudah yakin tidak ada air atau tayamumnya disebabkan sakit,
3. Menghilangkan najis dari badan.
Fardhu-nya tayamum
Niat kemudian Memindah debu ke wajah dan kedua tangan,
Contoh niat tayamum untuk ibadah fardhu:
َﻭْﻳﺖ ﹾﺍﻟَﺘَﻴﻤﻢ ِﻟﺈﺳِﺘَﺒﺎﺣﺔ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﺼﻼﺓ
َِ ُ ﱡ ﹺ ﹺ ْ َ ِ ﹶ ْ ﹺ ﱠ ﹶ
(Saya niat tayamum untuk diperbolehkan mengerjakan shalat fardhu).
Contoh niat tayamum untuk ibadah sunah:
َﻧﻮْﻳﺖ ﹾﺍﻟَﺘَﻴﻤﻢ ِﻟﺈﺳِﺘَﺒﺎﺣﺔ َﻧﻔﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ
َِ ُ ﱡ ﹺ ﹺ ْ َ ِ ﹾ ﹺ ﱠ ﹶ
(Saya niat tayamum untuk diperbolehkan mengerjakan shalat sunat)
Mengusap wajah dan kedua tangan dengan dua tepukan tangan ke tanah: yang pertama
untuk wajah dan yang kedua untuk kedua tangan,
Melakukan fardhu-fardhu di atas sesuai urutannya (tartib).
Sunat-sunat tayamum
1. Menghadap kiblat,
2. Bersiwak,
3. Tidak mengulangi usapan,
4. Bersegera,
5. Mendahulukan anggota kanan,
6. Mendahulukan wajah bagian atas,
7. Menipislean gumpalan debu di telapak tangan dengan ditiup atau dikibaskan,
8. Melepas cincin pada tepukan pertama.
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -24 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
25. Yang Membatalkan Tayamum
1. Semua hal yang manbatalkan wudhu',
2. Melihat/menemukan air atau memiliki asumsi/dugaan bahwa ada air sebelum
melaksanakan shalat,
3. Murtad.
Tayamum sebagai penyempurna wudhu'
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bila anggota wdhu' terdapat luka atau penyakit
(baik ada penghalang dari air atau tidak), maka wudhu'nya harus disempurnakan dengan
tayamum.
Adapun cara berwudhu'nya masih perlu dirinci sebagai berikut:
Pertama, bila pada anggata wudhu' yang terluka terdapat satir/penghalang (perban, pembalut,
plaster, dan sesamanya), maka harus dilepas bila memungkinkan, kemudiin dibasuh atau
diusap dengan debu. Bila tidak dilepas maka thaharahnya tidak sah.
Namun bila tidak mungkin dilepas, maka bagian yang tidak sakit harus dibasuh dengan air
hingga di pinggir penghalang. Cara membasuh bagian sekitar luka adalah dengan
menggunakan kain basah, ditempelkan ke pinggir penghalang dengan sedikit ditekan
supaya ada air yang mengahr, atau bisa dengan diperas sedikit. Setelah itu lakukanlah
tayamum sebagai pengganti dari basuhan anggota wudhu' (bagian) yang sakit / terluka.
Thaharah semacam ini tetap harus dilakukan sesuai dengan urutannya (tertib). Jadi, tayamum
harus dilakukan dalam urutan anggota wudhu' yang terluka. Misalnya: anggota badan yang
terluka adalah bagian tangan, maka yang pertama kali dilakukan adalah membasuh muka,
kemudian membasuh bagian tangan yang tidak luka, kemudian bertayamum ketika sampai
pada bagian yang terluka, setelah itu melanjutkan kembali wudhu'-nya dengan
menggunakan air.
Kedua, bila tidak memakai satir, maka cara wudhu'mya adalah membasuh anggota wudhu'
bagian yang tidak sakit. Ketika membasuh bagian di sekitar luka, maka gunakan kain
basah dengan cara seperti di atas. Kemudian melakukan tayamum dan debunya harus
diusapkan ke anggota bagian yang terluka, jika memang langkah demikian tidak
menimbulkan akibat yang berbahaya.
Bila anggota wudhu' yang luka lebih dari satu maka tayamumnya hatus dilainikan beberapa
kali, sesuai jumlah anggota yang luka, demikian itu jika lukanya tidak merata dan di antara
anggota tersebut wajib tartib.
Contoh: lukanya terletak pada wajah dan tangan.
Bila lukanya merata pada wajah dan tangan, maka cukup melaksanakan tayamum satu kali,
jika tidak merata maka harus tayamum dua kali.
Tayamum sebagai penyempurna mandi
Ketentuan penyempurnaan dengan tayamum dalam mandi tidak jauh berbeda dengan
wudhu'.
Hanya ada beberapa ketentuan yang berbeda, yaitu:
1. Tidak harus berurutan (tartib) sebagaimana dalam wudhu'. Jadi, boleh mendahulukan
yang mana saja antara tayamum dan mandi, sebab dalam konteks ini, anggota tubuh
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -25 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com
26. dianggap satu. Namun yang lebih utama mendahulukan tayamum kemudian mandi,
agar bekas debu tayamum dapat dihilangkan dengan air.
2. Cukup tayamum satu kali untuk anggota yang terluka lebih dari satu, bahkan seandainya
seluruh anggota tubuhnya terluka atau terkena penyakit, maka cukup tayamum satu kali.
3. Jika ingin mengejakan shalat fardhu untuk kedua kalinya dan ia belum berhadats kecil,
maka tidak perlu mengulangi mandinya, cukup tayamum saja, kecuali bila yang terluka
adalah anggota wudhu'.
4. Bila yang terluka bukan anggota wudhu' dan dia hadats kecil, maka cukup melakukan
wudhu' (tidak - perlu melakukan tayamum lagi) untuk melaksanakan shalat fardhu yang
kedua kali dan seterusnya.
Hukum Shalatnya
Hukum shalat dari orang yang salah satu anggota wudhu'-nya terluka kemudian sesucinya
disempurnakan dengan tayamum, adalah sebagai berikut:
Pertama: apabila anggota yang terluka tidak memakai penutup yang berupa bilah (jabirah)
atau plaster (lushuq), maka: Shalatnya tidak wajib diulangi apabila debu bisa sampai kepada
luka sekalipun luka itu ada di anggota tayamum;
Shalatnya wajib diulangi, apabila lukanya berada di anggota tayamum dan debu tidak
bisa sampai pada luka tersebut.
Kedua, apabila bagian yang terluka memakai penutup, jika penutupnya berada di anggota
tayamum, maka wajib mengulangi (i'adah) shalatnya secara mutlak.
Apabila berada di selain anggota tayamum, maka:
Wajib i'adah apabila bilahnya menutupi bagian yang tidak terluka melebihi kadar yang
diperlukan untuk mengikat bilah itu sendiri, baik diletakkan dalam keadaan suci atau
hadats. Atau, bilahnya menutupi bagian yang tidak terluka, tidak melebihi dari kadar yang
diperlukan untuk mengikat bilah itu sendiri, tapi diletakkan dalam keadaan -hadats,
Tidak wajib i'adah apabila bilahnya tidak menutupi bagian yang tidak terluka, baik
diletakkan dalam keadaan suci ataupun hadats. Atau, bilahnya menutupi bagian yang - masih
sehat, namun hanya sekadar keperluan untuk mengikat saja dan meletakkannya dalam
keadaan suci. '' Shalat yang wajib i'adah hukumnya adalah shalat li hurmat al waqt.
Maraji'/referensi:
Fiqh Madzahibul Arba’ah – Syeikh Abdurrahaman Al Jazairi
Fikih Kita di Masyarakat, Pustaka Sidogiri -KH Abdurrahman Syakur
Sudah Benarkah Shalat Kita?- Gus Arifin
(c) Agus arifin institute Kajian Fiqh 4 Madzhab -26 www.gusarifin.com/www.jatiqo.com