SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  13
Télécharger pour lire hors ligne
1
PENDAPAT HUKUM
(Legal Opinion)
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia
Nomor. 19 Tahun 2014 Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif
A. Opening Statement
Dikeluarkanya Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Nomor. 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif, telah mendapat penolakan dari beberapa organisasi/kalangan.
Supriyadi W. Eddyono, Koordinator Indonesia Media Defense Litigation
Network (IMDLN), menjelaskan bahwa Rancangan Peraturan Menteri ini telah
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 dan juga pembatasan yang
sah yang dikenal dalam hukum internasional khususnya Pasal 19 Kovenan Hak
Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun
2005. Supriyadi mengingatkan untuk melakukan pembatasan terhadap
kebebasan berekspresi Negara wajib lulus dalam uji tiga rangkai (three part test)
yaitu: (1) Pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang; (2)
Pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah
disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol; dan (3)Pembatasan tersebut
benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah
tersebut. Di lain pihak, Anggara, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal
Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa ICJR menolak keras peran Menteri
Komunikasi dan Informatika dalam menentukan apakah suatu situs internet
mengandung muatan yang diduga melanggar hukum nasional. Anggara
mengingatkan bahwa penegak hukum tertinggi yang dapat melakukan penilaian
apakah suatu situs internet diduga memiliki kaitan dengan pelanggaran hukum
hanyalah Jaksa Agung Republik Indonesia.
Apa pun alasan dari mereka yang menolak Perkominfo tentang Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, Pemerintah dalam hal ini
Kementrian Komunikasi dan Informatika tidak bergeming sama sekali. Menurut
Juru bicara Kemenkominfo, Permen tersebut sudah baik untuk melindungi
masyarakat dari bahaya situs-situs negatif. Sehingga, kata dia, Permen tentang
situs negatif ini tak perlu direvisi.
Dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, wajar saja
terjadi penolakan oleh sebagian kalangan. Hal ini jelas sebagai konsekuensi dari
system demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi, tidak baik
juga membiarkan satu persoalan berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah ditolak oleh masyarakat. Serta tidak baik pula, membiarkan
Pemerintah berbuat sesukanya dalam mengeluarkan suatu kebijakan tertulis
dalam bentuk regulasi.
Hal ini jelas, karena regulasi secara tertulis dalam konteks hukum adalah
dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa masyarakat dalam suatu hal yang
2
dilarang serta yang tidak dilarang. Kelurnya Perkominfo tentang Perkominfo
tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, yang pada satu
sisi ditolak oleh masyarakat, dan satu sisi dipaksa untuk dilaksanakan oleh
Pemerintah, jelas harus mendapatkan jalan kelaur yang baik bagi semua pihak.
Adanya lembaga peradilan menjadi salah satu jalan untuk memnetukan
apakah Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan
Negatif memang dikelaurkan oleh Pemerintah dalam memberikan perlindungan
bagi masyarakat terhadap dari bahaya situs-situs negatif, ataukah Perkominfo
tersebut melanggar hak kebebasan berpendapat seperti yang dikemukakan oleh
sebagian uangmenolak Perkominfo tersebut.
Jika melihat Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, maka yang jelas pertema terlihat
bahwa Peraturan tersebut dikelaurkan oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika. Sesuai dengan asas hukum dalam Negara hukum, maka
pertanyaannya apakah Menkominfo mempunyai kewenangan untuk
mengeluarkan Perkominfo tersebut? Kemudian, apakah materi yang diatur
dalam Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif adalah materi yang bertentangan dengan pertauran
perundang-undangan yang berlaku?
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka persoalan yang sangat mendasar
adalah apakah Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif bertentangan dengan Undang-undang?
B. Dasar
Pendapat Hukum ini dibuat atas dasar bahwa Perkominfo tentang Tentang
Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, merugikan seluruh pelaku usaha
penyelenggara internet serta pengguna internet.
C. Asumsi
Pendapat Hukum ini dibuat atas dasar asumsi bahwa Perkominfo tentang
Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif merugikan seluruh
pelaku usaha penyelenggara jaringan internet serta pengguna internet, dan
merupakan bentuk pengaturan yang bertentangan dengan undang-undang dan
konstitusi.
D. Analisis
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dan
Undang-undang No. 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
Memberikan Wewenang Kepada Menkominfo Untuk Mengatur
Segala Hal Yang Berkaitan dengan Telekomunikasi Dalam
Perturan Menteri
3
Dalam penyelenggaraan negara, sebagian besar aturan dituangkan
dalam bentuk hukum tertulis, mulai dari Undang-undang Dasar, Undang-
undang, Peraturan Daerah, sampai pada peraturan yang paling rendah
kedudukannya. Sebagai negara hukum, hal yang harus selalu dijadikan
landasan adalah bahwa dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan
hukum.
Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian konstitusi kita
secara tegas dan lugas memberikan sebutan bagi negara kita, sebagaimana
dirumuskan dalam bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945
setelah perubahan. Artinya bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara terdapat aturan-aturan hukum yang mengaturnya.
Undang-undang Dasar itu sendiri merupakan sebagian dari hukum dasar
yang tertulis. Selain Undang-undang Dasar, terdapat aturan-aturan dasar
yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun
tidak tertulis.
Berkaitan dengan Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif, untuk mengetahui apakah bertentangan dengan
hukum atau tidak, maka harus dikaji baik secara formil maupun secara
materiil. Formil adalah berkaitan dengan wewenang pembentukan
Perkominfo tersebut dan prosesdur pembuatannya, sedangkan materiil
berkaitan dengan isi (materi) dari Perkominfo tersebut.
Dari sisi formal, Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs
Internet Bermuatan Negatif yang dikeluarkan oleh Menkominfo, harus dilihat
dari adanya wewenang yang dimiliki oleh Menkeominfo dalam mengeluarkan
Perkominfo tersebut. Artinya, apakah ada perintah dari Undang-undang
kepada Menkominfo untuk mengatur situs internet bermuatan negatif atau
adakah kewenangan yang dimiliki oleh Mekominfo untuk mengatur situs
internet bermuatan negatif.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 8 menyebutkan:
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan
Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
4
sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Dalam penjelasannya, menyebutkan:
(1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang
ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.
(2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah
penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Berdasarkan ketentuan tersebut, ada 2 (dua) hal yang dapat dijadikan
dasar Menkominfo dalam mengeluarkan Perkominfo tersebut, yaitu Pertama,
adanya perintah dari Undang-undang. Kedua, adanya kewenangan
penyelenggaraan urusan tertentu Pemerintahan sesuai dengan ketentuan
perturan perundang-undangan. Kedua hal tersebut adalah bersifat pilihan,
hal ini karena adanya kata “atau” dalam rumusan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12
tahun 2011.
Merujuk pada Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet
Bermuatan Negatif, yang dalam bangian dasar hukum (konsideran
mengingat) mencantumkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi, maka dapat diliaht melalui ketentuan tersebut apakah ke
tiga Undang-undang tersebut memberikan perintah kepada Mekominfo
untuk mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif.
Dalam UU telekomunikasi tidak terlihat adanya ketentuan Pasal yang
menyebutkan secara langsung Menkominfo mengatur penanganan situs
internet bermuatan negatif. Hanya saja, jika diliat dari Pasal 4 beserta yang
berbunyi:
(1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan
oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan
penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan,
pengaturan, pengawasan dan pengendalian.
(3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan
pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan
memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam
masyarakat serta perkembangan global.
Penjelasan Pasal 4, berbunyi:
Ayat (1) Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi
yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka
penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam penyelenggaraannya
5
ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran
rakyat.
Ayat (2)
Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai
perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi
nasional.
Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau
teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan
perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan
terhadap penyelenggaraan telekomunikasi.
Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi, termasuk pengawasan terhadap penguasaan,
pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit
satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi.
Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian
dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi
pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi.
Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi
dengan instansi terkait, penyelenggara telekomunikasi dan
mengikutsertakan peran masyarakat.
Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut diatas, maka jelas
bahwa Menkominfo mempunyai wewenang untuk mengatur secara
menyeluruh dan terpadu di bidang telekomunikasi.
2. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Dan UU
No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Tidak Memberikan Wewenang
Kepada Menkominfo Untuk Mengatur Pemblokiran Dengan
Permenkominfo
Kemudian, dalam UU Pronografi juga tidak ada perintah kepada
Mekominfo untuk mengatur PENANGANAN SITUS INTERNET
BERMUATAN NEGATIF. Berkaitan bidang telekomunikasi, UU Pornografi
yang merupakan lex specialis dalam pengaturan pornografi hanya mengatur
berkaitan dengan pemblokiran pornografi melalui internet. Pasal 18 UU
Pronografi menyebutkan: “Untuk melakukan pencegahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan
produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran
pornografi melalui internet;
6
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari
dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Lebih lanjut, hal yang sama dalam UU ITE juga tidak ditemukan
adanya perintah kepada Mekominfo untuk mengatur penanganan situs
internet bermuatan negatif. Dalam UU ITE, justru sebenarnya mengatur lebih
tegas dengan hal-hal yang dialarang. Adapun hal-hal yang dilarang
berdasarkan UU ITE adalah sebagai berikut:
Pasal 27
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
perjudian.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 29
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan
atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Pasal 30
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
7
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.
Pasal 31
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem
Elektronik tertentu milik Orang lain.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam
suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain,
baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang
menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang
ditransmisikan.
(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau
milik publik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang
tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh
publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 33
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau
8
mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana
mestinya.
Terhadap palnggaran ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah
merupakan tindak pidana yang mendapatkan sanksi pidana. Hal tersebut
tegas diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 52 UU ITE. Pengenaan
sanksi pidana yang diatur dalam UU ITE tidak dibarengi dengan pengenaan
sanksi pemblokiran, karena UU ITE tidak mengatur berkaitan dengan
pemblokiran terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 27-33 UU ITE.
UU ITE memang tidak mengatur pemblokiran berkaitan dengan hal
yang dilarang dalam UU ITE. Akan tetapi, UU ITE mengatur peran
Pemerintah penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik
yang mengganggu ketertiban umum. Pasal 40 UU ITE menyebutkan:
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data
elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta
menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan
pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen
Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan
perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Ketentuan Pasal 40 UU ITE tersebut jelas mengatur adanya peran
pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan
sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Hal mana ketentuan tersebut
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Bila ketentuan Pasal 40
dihubungkan dengan Pasal 27-33, maka pemblokiran terhadap situs-situs
yang melanggar hal yang dilarang dalam Pasal 27-33 dapat diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut, berkaitan dengan kedua UU tersebut yakni UU
Pornografi dan UU ITE, yang dapat dikenakan sanksi pidana dan sekaligus
pemblokiran terhadap situs internet adalah hanya dapat dilakukan pada
pornografi saja, yang dalam UU ITE adalah melanggar kesusilaan.
9
Selebihnya, pelanggaran terhadap UU ITE yang bukan berkaitan dengan
pronografi dan kesusilaan, tidak dapat dilakukan pemblokiran.
Jika dikaji lebih dalam, wewenang pemblokiran terhadap situs
pornografi, ada pada Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pasal 18 UU
Pornografi tegas menyebut “Pemerintah” bukan “Menteri” atau “Kementrian
Terkait”. UU Pornografi secara umum tidak mengatuar tata cara berkaitan
dengan pemblokiran tersebut, sehingga untuk melaksanakan pemblokiran
tersebut dibutuhkan peraturan lebih lanjut. Oleh karena wewenang
pemblokiran tersebut ada pada Pemerintah, maka untuk mengatuar tata cara
pemblokiran haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan
Menteri.
Terhadap pemblokiran pornografi, jika dilihat dari kewenangan untuk
melakukannya jelas ada pada Pemerintah. Sehingga, tata cara
pemblokirannya haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dikelaurkannya Permenkominfo Tentang Penanganan Situs Internet
Bermuatan Negatif oleh Menkominfo, di mana didalamnya mengataur
mengenai Pemblokiran, jelas bertentangan Pasal 18 UU Pornografi. Artinya,
Menkominfo tidak mempunyai wewenang untuk mengatur pemblokiran
dengan menggunakan Permenkominfo.
3. Tumpang Tindih Aturan Dalam Pemberian Wewenang
Kemudian, berkaitan dengan pemblokiran terhadap kegiatan ilegal
yang telah diatur dalam pertauran perundang-undangan, kewenangan
menkominfo untuk mengaturnya dalam Permenkominfo adalah berdasar
pada Pasal 8 UU No. 12 tahun 2011 serta Pasal 4 dan Pasal 21 UU
Telekomunikasi.
Pasal 21 yang merupakan larangan bagi Penyelenggara telekomunikasi
melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berupa
pemberian sanksi administrasi. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal
45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi, yang berbunyi:
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal
19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29
ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34
ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa
pencabutan izin.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
diberi peringatan tertulis.
10
Persoalannya, UU Telekomunikasi tidak mengatur bagaimana tata cara
pemberian sanksi administrasi tersebut. Tidak ada kejelasan bagaimana
pencabutan izin itu dapat dilakukan, bahkan siapa lembaga yang secara
spesifik berwenang untuk melakukan pencabutan izin tersebut. Penjelasan
Pasal 21 hanya menjelaskan bahwa “Penghentian kegiatan usaha
penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah
diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa
penyelenggaraan telekomunikasi tsb melanggar kepentingan umum,
kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 berserta Penjelasannya dan Pasal 45
dan 46 UU Telekomunikasi, maka jelas wewenang untukmelakukan
penghentian kegiatan usaha ada pada Pemerintah. Ironisnya, dalam
Ketentuan Umum Pasal 1 UU Telekomunikasi, tidak ditemukan siapa yang
dimaksud dengan “Pemerintah”. Akan tetapi, jika dihubungkan antara Pasal
4 dengan Pasal 21 UU Telekomunikasi, maka yang disebut dengan
Pemerintah dapat dipersamakan dengan maknanya dengan Menteri.
Dengan demikian, jika merujuk pada Pasal-pasal undang-undang
tersebut, maka jelas Kemenkominfo mempunyai kewenangan untuk
mengatur segala hal yang berkaitan dengan telekomunikasi dengan
Permenkominfo.
Akan tetapi, jika dikaji antara Pasal 40 UU ITE dengan Pasal 4 dan
Pasal 21 UU Telekomunikasi, maka terlihat tumpang tindihnya
aturan/ketentuan berkaitan dengan perlindungan terhadap kepentingan
umum dari gangguan ketertiban umum sebagai akibat penyalahgunaan
informasi elektronik.
Ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU ITE jelas mengamanatkan untuk
mengatur perlindungan terhadap kepentingan umum dari gangguan
ketertiban umum sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dengan
peraturan pemerintah. Sedangkan Pasal 21 UU Telekomunikasi, yang dalam
penejelasannya menyebutkan “Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi
yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan tele
komunikasi tsb melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum”, maka pengehentian penyelnggaraan telekomunikasi yang
melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan atau ketertiban umum
adalah menjadi wewenang Pemerintah.
Apabila Pasal 21 UU Telekomunikasi dihubungkan dengan Pasal 40
ayat (3) UU ITE, maka dapat dilihat keterkaitannya sebagai berikut:
1. Subyek perlindungan dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi dan Pasal 40
ayat (3) UU ITE adalah sama yaitu Kepentingan Umum.
11
2. Subyek yang dilarang dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah
Penyelenggara Telekomunikasi. Sedangkan Pasal 40 ayat (3) UU ITE
tidak menyebut tegas siapa yang dilarang. Akan tetapi, jika dilihat dari
rumsan norma Pasal 40 ayat (3) UU ITE, maka yang dilarang adalah
setiap orang yang meliputi orang (person) dan badan hukum (recht
person). Penyelenggara Telekomunikasi dalam hal ini bisa masuk
person atau recht person.
3. Subyek yang memberikan perlindungan kepentingan umum dalam
kedua Undang-undang tersebut adalah sama yaitu Pemerintah.
Penjelasan Pasal 21 UU Telekomunikasi memberikan amanat kepada
Pemerintah untk mencabut izin penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar Pasal 21. Pasal 40 ayat (6) UU ITE memberikan amanat
kepada Pemerintah untuk bereperan dalam memberikan perlindungan
kepentingan umum sebagai akibat dari penyelahgunaan Informasi
Elektronik dan Transaksi Elektronik.
4. Obyek Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah perlindungan terhadap
ketertiban umum, kepentingan umum, kesusilaan dan keamanan.
Sedangkan obyek dari Pasal 20 ayat (3) UU ITE adalah perlindungan
kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat
penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum. Dengan demikina, kedua ketentuan
tersebut mengatur mengenai ketertiban umum dan kepentingan umum
yang harus dilindungi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa hubungan
antara Pasal 21 UU Telekomunikasi dengan Pasal 40 ayat (3) UU ITE saling
berkaitan. Oleh karena, ketentuan Pasal 21, Pasal 45 dan Pasal 46 UU
Telekomunikasi tidak lengkap dan jelas dalam mengatur bagaimana tata cara
pencabutan izin penyelenggara telekomunikasi oleh Pemerintah, maka
apabila kedua Undang-undang tersebut dikonstruksikan untuk mengatur
lebih lanjut berkaitan dengan peran Pemerintah dalam memberikan
perlindungan terhadap kepentingan umum, serta wewenang Pemerintah
dalam melakukan pencabutan izin terhadap penyelenggara telekomunikasi
yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau
ketertiban umum, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU ITE.
Pasal 40 ayat (6) UU ITE yang merupakan pemberian wewenang
kepada Pemerintah untuk mengatur peran Pemerintah dalam memberikan
perlindungan terhadap kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai
akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang
mengganggu ketertiban umum dalam Peraturan Pemerintah, adalah memiliki
makna bahwa Pemerintah dapat juga mengatur ketetntuan lebih lanjut
mengenai tata cara pencabutan izin Penyelenggara Telekomunikasi yang
melanggar Pasal 21 UU Telekomunikasi dalam Pertauran Pemerintah.
Artinya, Pasal 21, Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi yang tidak rinci
mengatur pencabutan izin, harus mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah
12
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 ayat (6) UU ITE. Hal ini jelas,
karena kedua ketentuan undang-undang tersebut saling memiliki keterkaitan
yang erat.
E. Kesimpulan
Berdasarkan uraian analisis di atas, jelas terlihat bahwa tidak satu pun
Undang-undang yang menjadi dasar hukum Peraturan Menteri Komunikasi Dan
Informatika Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan
Situs Internet Bermuatan Negatif, memberikan wewenang secara tegas kepada
Menkominfo untuk mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif
dalam Peraturan Menteri.
Bahkan pemblokiran terhadap situs internet yang bermuatan pornografi,
berdasarkan Pasal 18 UU Pornografi wewenang untuk melakukan pemblokiran
ada pada Pemerintah. Sehingga, regulasi yang tepat untuk mengatur hal tersebut
adalah Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri.
Begitupun terkait dengan pemblokiran terhadap kegiatan ilegal lainnya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU Telekomunikasi dan
UU ITE yang menjadi dasar hukum dalam Permenkominfo tentang Penanganan
Situs Internet Bernuatan Negatif, terlihat tidak jelas dan saling tumpang tindih
dalam pengaturannya.
Pada satu sisi, UU Telekomunikasi mengatur bahwa penyelenggara
telekomunikasi dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan
dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum.
Tidak main-main, sanksinya pun adalah pencabutan izin usaha penyelanggara
telekomunikasi tersebut. Hal mana, kewenangan pencabutan tersebut ada pada
Pemerintah. Di sisi lainnya, Pemerintah diberikan peran oleh UU ITE untuk
memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi
Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Hal mana, ketentuan lebih lanjut
menegnai peran Pemerintah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Oleh karenanya, seharusnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah yang mengatur mengenai peran Pemerintah dalam memberikan
perlindungan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum
dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik, yang dilakukan baik oleh orang (person) maupun
badan hukum (recht person). Dalam Peraturan Pemerintah ini lah seharusnya
diatur apakah pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi
pemblokiran ataukah langsung dikenakan sanksi pencabutan izin usaha.
Dengan demikian, wewenang Menkominfo mengeluarkan Permenkominfo
tentang Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif adalah hanya berdasarkan
Pasal 4 UU Telekomunikasi dan Pasal 8 UU Pembentukan Perturan Perundang-
undangan. Hal mana, Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet
13
Bermuatan Negatif juga bertentangan dengan Pasal 21 UU Telekomunikasi serta
Pasal 40 ayat (3) dan (6) UU ITE. Artinya, Menkominfo pada satu sisi
mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Permenkominfo tentang
Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif, pada sisi lainnya Menkominfo
tidak mempunyai wewenang untuk mengelaurkan Permenkominfo tentang
Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif
F. Solusi Yang Dapat Diambil
Ada beberapa solusi yang dapat diambil berdasarkan analisis tersebut di atas,
yaitu:
1. Melakukan uji materi Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet
Bernuatan Negatif ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, tidak adanya hukum
acara uji materi di Mahkamah Agung, akan menjadi sangat sulit untuk
mengawal uji materi tersebut karena tidak ada transparansi persidangan
layaknya di Mahkamah Konstitusi.
2. Ada baiknya terlebih dahulu membenahi aturan mengenai uji materi di MA,
yaitu dengan membuat RUU Uji Materi di MA
3. Pembenahan terhadap carut marutnya regulasi dibidang telematika, yaitu
dengan membuat RUU yang komprehensif berkaitan dengan Telematika.
4. Uji materi Penjelasan Pasal 4 UU Telekomunikasi, untuk meminta tafsir
apakah dengan dasar Pasal 4 itu saja Menkominfo bisa menerbitkan segala
macam peraturan berkaitan dengan telekomunikasi.
Demikian pendapat hukum ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami
ucapkan terima kasih.
Hormat kami,
DARU SUPRIYONO
PRADNANDA BERBUDY

Contenu connexe

Tendances

Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Idik Saeful Bahri
 
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Idik Saeful Bahri
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negaranurul khaiva
 
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)Taufik Budi Permana
 
Bagan proses pembentukan_dan_perubahan
Bagan proses pembentukan_dan_perubahanBagan proses pembentukan_dan_perubahan
Bagan proses pembentukan_dan_perubahanDhani Irawan
 
Jawaban tergugat
Jawaban tergugatJawaban tergugat
Jawaban tergugatNasria Ika
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalEvirna Evirna
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintahAbid Zamzami
 
Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)
Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)
Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)Idik Saeful Bahri
 
Jawaban gugatan
Jawaban gugatanJawaban gugatan
Jawaban gugatanardi hansa
 

Tendances (20)

Hukum pidana
Hukum pidanaHukum pidana
Hukum pidana
 
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
Hukum perdata internasional - Status personal dalam hukum perdata internasion...
 
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
Hukum perdata internasional - Asas-asas hukum perdata internasional tentang h...
 
8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara8. keputusan tata usaha negara
8. keputusan tata usaha negara
 
Legal drafting
Legal draftingLegal drafting
Legal drafting
 
Ptun
PtunPtun
Ptun
 
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
Contoh duplik tergugat (peradilan semu)
 
Perbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum PidanaPerbandingan Hukum Pidana
Perbandingan Hukum Pidana
 
Bagan proses pembentukan_dan_perubahan
Bagan proses pembentukan_dan_perubahanBagan proses pembentukan_dan_perubahan
Bagan proses pembentukan_dan_perubahan
 
Jawaban tergugat
Jawaban tergugatJawaban tergugat
Jawaban tergugat
 
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARAHUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 
Perancangan kontrak
Perancangan kontrakPerancangan kontrak
Perancangan kontrak
 
Contoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasionalContoh kasus hukum perdata internasional
Contoh kasus hukum perdata internasional
 
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
(3 4) kedudukan, kewenangan dan tindakan hukum pemerintah
 
Kriminologi
KriminologiKriminologi
Kriminologi
 
Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)
Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)
Eksepsi dalam Hukum Acara Pidana (Idik Saeful Bahri)
 
Jawaban gugatan
Jawaban gugatanJawaban gugatan
Jawaban gugatan
 
Memori banding
Memori bandingMemori banding
Memori banding
 
UPAYA PAKSA
UPAYA PAKSAUPAYA PAKSA
UPAYA PAKSA
 
Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2Hukum agraria nasional pert ke 2
Hukum agraria nasional pert ke 2
 

En vedette

Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.laurent panggabean
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...People Power
 
Politik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikPolitik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikBiati Ardiansyah
 
Pendapat hukum konstitusi
Pendapat hukum konstitusiPendapat hukum konstitusi
Pendapat hukum konstitusifariza Eupho
 
Diskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andrianiDiskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andrianiEpistema_Institute_5
 
How To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal OpinionHow To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal Opinionlegalcounsel
 
Deductive reasoning and irac
Deductive reasoning and iracDeductive reasoning and irac
Deductive reasoning and irackdouat
 
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumselMateri presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumselPanji Kharisma Jaya
 

En vedette (12)

Legal opinion
Legal opinionLegal opinion
Legal opinion
 
Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.Legal opinion pemasaran yakult.
Legal opinion pemasaran yakult.
 
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
Pendapat Hukum (Legal Opinion) Tim Pendukung Penyelamat Semenanjung Kampar (T...
 
Politik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publikPolitik hukum dan kebijakan publik
Politik hukum dan kebijakan publik
 
Legal memorandum
Legal memorandumLegal memorandum
Legal memorandum
 
Pendapat hukum konstitusi
Pendapat hukum konstitusiPendapat hukum konstitusi
Pendapat hukum konstitusi
 
Legal opinion
Legal opinionLegal opinion
Legal opinion
 
Diskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andrianiDiskusi tematik epistema dahniar andriani
Diskusi tematik epistema dahniar andriani
 
How To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal OpinionHow To Read A Legal Opinion
How To Read A Legal Opinion
 
Jawaban
JawabanJawaban
Jawaban
 
Deductive reasoning and irac
Deductive reasoning and iracDeductive reasoning and irac
Deductive reasoning and irac
 
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumselMateri presentasi sb brg sosialisasi sumsel
Materi presentasi sb brg sosialisasi sumsel
 

Similaire à Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif

Pernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen BlokirPernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen BlokirICT Watch
 
Pernyataan Pers Menyikapi Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikapi Permen BlokirPernyataan Pers Menyikapi Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikapi Permen BlokirICT Watch
 
Rpm Pengendalian Situs Negatif
Rpm Pengendalian Situs NegatifRpm Pengendalian Situs Negatif
Rpm Pengendalian Situs NegatifICT Watch
 
RPM Penanganan Situs Bermuatan Negatif
RPM Penanganan Situs Bermuatan NegatifRPM Penanganan Situs Bermuatan Negatif
RPM Penanganan Situs Bermuatan NegatifICT Watch
 
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)Indriyatno Banyumurti
 
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015SatuDunia
 
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs NegatifNota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs NegatifICT Watch
 
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasidunianyamaya
 
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIFPENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIFICT Watch
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015ekho109
 
Putu Riski Ananda Kusuma.pptx
Putu Riski Ananda Kusuma.pptxPutu Riski Ananda Kusuma.pptx
Putu Riski Ananda Kusuma.pptxRiskiAnanda28
 
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...fraksi balkon
 
Situasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digital
Situasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digitalSituasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digital
Situasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digitalDamar Juniarto
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crimetahmabsi
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crimetahmabsi
 

Similaire à Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif (20)

Pernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen BlokirPernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikap Permen Blokir
 
Pernyataan Pers Menyikapi Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikapi Permen BlokirPernyataan Pers Menyikapi Permen Blokir
Pernyataan Pers Menyikapi Permen Blokir
 
Rpm tentang situs bermuatan negatif
Rpm tentang situs bermuatan negatifRpm tentang situs bermuatan negatif
Rpm tentang situs bermuatan negatif
 
Rpm Pengendalian Situs Negatif
Rpm Pengendalian Situs NegatifRpm Pengendalian Situs Negatif
Rpm Pengendalian Situs Negatif
 
RPM Penanganan Situs Bermuatan Negatif
RPM Penanganan Situs Bermuatan NegatifRPM Penanganan Situs Bermuatan Negatif
RPM Penanganan Situs Bermuatan Negatif
 
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
Kebijakan Penapisan Konten (Azhar Hasyim - Dir eBusiness, Kemkominfo)
 
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
Monitoring kebijakan ict periode januari maret2015
 
Uu 30 2002
Uu 30 2002Uu 30 2002
Uu 30 2002
 
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs NegatifNota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
Nota Keberatan APJII atas Permen Situs Negatif
 
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
3. kebijakan teknologi informasi dan komunikasi
 
Uu ite
Uu iteUu ite
Uu ite
 
Diskusi 1.docx
Diskusi 1.docxDiskusi 1.docx
Diskusi 1.docx
 
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIFPENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 desember 2014-31 Januari 2015
 
Putu Riski Ananda Kusuma.pptx
Putu Riski Ananda Kusuma.pptxPutu Riski Ananda Kusuma.pptx
Putu Riski Ananda Kusuma.pptx
 
CYBER LAW.pptx
CYBER LAW.pptxCYBER LAW.pptx
CYBER LAW.pptx
 
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
K1 risalah mp_iii_ts_10-11_risalah_rdp&rdpu_kom_i_dg_brti,_id-sirtii,_operato...
 
Situasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digital
Situasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digitalSituasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digital
Situasi kerentanan kebebasan berekspresi termasuk jurnalis dalam konteks digital
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crime
 
Cyber crime
Cyber crimeCyber crime
Cyber crime
 

Plus de ICT Watch

Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat PonselAktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat PonselICT Watch
 
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - FinalRancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - FinalICT Watch
 
Melihat RUU Pelindungan Data Pribadi
Melihat RUU Pelindungan Data PribadiMelihat RUU Pelindungan Data Pribadi
Melihat RUU Pelindungan Data PribadiICT Watch
 
RUU PDP APRIL 2019
RUU PDP APRIL 2019RUU PDP APRIL 2019
RUU PDP APRIL 2019ICT Watch
 
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan InformasiTantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan InformasiICT Watch
 
Perlindungan Hak Atas Privasi di Internet
Perlindungan Hak Atas Privasi di InternetPerlindungan Hak Atas Privasi di Internet
Perlindungan Hak Atas Privasi di InternetICT Watch
 
Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
Perlindungan Data Pribadi di IndonesiaPerlindungan Data Pribadi di Indonesia
Perlindungan Data Pribadi di IndonesiaICT Watch
 
Privasi dan Keamanan Internet
Privasi dan Keamanan InternetPrivasi dan Keamanan Internet
Privasi dan Keamanan InternetICT Watch
 
Privasi dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi dan Perlindungan Data PribadiPrivasi dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi dan Perlindungan Data PribadiICT Watch
 
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan DataPrivasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan DataICT Watch
 
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen CerdasPanduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen CerdasICT Watch
 
Ular Tangga Internet Sehat Anak
Ular Tangga Internet Sehat AnakUlar Tangga Internet Sehat Anak
Ular Tangga Internet Sehat AnakICT Watch
 
Literasi Digital ICT Watch
Literasi Digital ICT WatchLiterasi Digital ICT Watch
Literasi Digital ICT WatchICT Watch
 
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016ICT Watch
 
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)ICT Watch
 
Usulan RT RW Net oleh ICT Watch
Usulan RT RW Net oleh ICT WatchUsulan RT RW Net oleh ICT Watch
Usulan RT RW Net oleh ICT WatchICT Watch
 
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITEUU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITEICT Watch
 
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITEDinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITEICT Watch
 
National ID-IGF Dialogue 2016 Summary
National ID-IGF Dialogue 2016 SummaryNational ID-IGF Dialogue 2016 Summary
National ID-IGF Dialogue 2016 SummaryICT Watch
 
Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
Revisi  UU ITE: Memerdekakan atau MembelenguRevisi  UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
Revisi UU ITE: Memerdekakan atau MembelenguICT Watch
 

Plus de ICT Watch (20)

Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat PonselAktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
Aktivasi 2FA di Media Sosial Lewat Ponsel
 
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - FinalRancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi - Final
 
Melihat RUU Pelindungan Data Pribadi
Melihat RUU Pelindungan Data PribadiMelihat RUU Pelindungan Data Pribadi
Melihat RUU Pelindungan Data Pribadi
 
RUU PDP APRIL 2019
RUU PDP APRIL 2019RUU PDP APRIL 2019
RUU PDP APRIL 2019
 
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan InformasiTantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
Tantangan Perlindungan Privasi dan Keterbukaan Informasi
 
Perlindungan Hak Atas Privasi di Internet
Perlindungan Hak Atas Privasi di InternetPerlindungan Hak Atas Privasi di Internet
Perlindungan Hak Atas Privasi di Internet
 
Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
Perlindungan Data Pribadi di IndonesiaPerlindungan Data Pribadi di Indonesia
Perlindungan Data Pribadi di Indonesia
 
Privasi dan Keamanan Internet
Privasi dan Keamanan InternetPrivasi dan Keamanan Internet
Privasi dan Keamanan Internet
 
Privasi dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi dan Perlindungan Data PribadiPrivasi dan Perlindungan Data Pribadi
Privasi dan Perlindungan Data Pribadi
 
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan DataPrivasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
Privasi 101 Panduan Memahami Privasi dan Perlindungan Data
 
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen CerdasPanduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
Panduan 1 2 3 Menjadi Netizen Cerdas
 
Ular Tangga Internet Sehat Anak
Ular Tangga Internet Sehat AnakUlar Tangga Internet Sehat Anak
Ular Tangga Internet Sehat Anak
 
Literasi Digital ICT Watch
Literasi Digital ICT WatchLiterasi Digital ICT Watch
Literasi Digital ICT Watch
 
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2016
 
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet  (Sebuah Pengantar)
Peta Jalan Perlindungan Anak Indonesia di Internet (Sebuah Pengantar)
 
Usulan RT RW Net oleh ICT Watch
Usulan RT RW Net oleh ICT WatchUsulan RT RW Net oleh ICT Watch
Usulan RT RW Net oleh ICT Watch
 
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITEUU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
UU 19 tahun 2016 - Revisi UU ITE
 
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITEDinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
Dinamika Etika dan Regulasi Internet Indonesia Pasca Revisi UU ITE
 
National ID-IGF Dialogue 2016 Summary
National ID-IGF Dialogue 2016 SummaryNational ID-IGF Dialogue 2016 Summary
National ID-IGF Dialogue 2016 Summary
 
Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
Revisi  UU ITE: Memerdekakan atau MembelenguRevisi  UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
Revisi UU ITE: Memerdekakan atau Membelengu
 

Legal Opinion tentang Permen Blokir Situs Negatif

  • 1. 1 PENDAPAT HUKUM (Legal Opinion) Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif A. Opening Statement Dikeluarkanya Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, telah mendapat penolakan dari beberapa organisasi/kalangan. Supriyadi W. Eddyono, Koordinator Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), menjelaskan bahwa Rancangan Peraturan Menteri ini telah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 28 J UUD 1945 dan juga pembatasan yang sah yang dikenal dalam hukum internasional khususnya Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005. Supriyadi mengingatkan untuk melakukan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi Negara wajib lulus dalam uji tiga rangkai (three part test) yaitu: (1) Pembatasan harus dilakukan hanya melalui undang-undang; (2) Pembatasan hanya diperkenankan terhadap tujuan yang sah yang telah disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Kovenan Sipol; dan (3)Pembatasan tersebut benar-benar diperlukan untuk menjamin dan melindungi tujuan yang sah tersebut. Di lain pihak, Anggara, Ketua Badan Pengurus Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menegaskan bahwa ICJR menolak keras peran Menteri Komunikasi dan Informatika dalam menentukan apakah suatu situs internet mengandung muatan yang diduga melanggar hukum nasional. Anggara mengingatkan bahwa penegak hukum tertinggi yang dapat melakukan penilaian apakah suatu situs internet diduga memiliki kaitan dengan pelanggaran hukum hanyalah Jaksa Agung Republik Indonesia. Apa pun alasan dari mereka yang menolak Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, Pemerintah dalam hal ini Kementrian Komunikasi dan Informatika tidak bergeming sama sekali. Menurut Juru bicara Kemenkominfo, Permen tersebut sudah baik untuk melindungi masyarakat dari bahaya situs-situs negatif. Sehingga, kata dia, Permen tentang situs negatif ini tak perlu direvisi. Dalam sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, wajar saja terjadi penolakan oleh sebagian kalangan. Hal ini jelas sebagai konsekuensi dari system demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Akan tetapi, tidak baik juga membiarkan satu persoalan berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah ditolak oleh masyarakat. Serta tidak baik pula, membiarkan Pemerintah berbuat sesukanya dalam mengeluarkan suatu kebijakan tertulis dalam bentuk regulasi. Hal ini jelas, karena regulasi secara tertulis dalam konteks hukum adalah dapat digunakan sebagai alat untuk memaksa masyarakat dalam suatu hal yang
  • 2. 2 dilarang serta yang tidak dilarang. Kelurnya Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, yang pada satu sisi ditolak oleh masyarakat, dan satu sisi dipaksa untuk dilaksanakan oleh Pemerintah, jelas harus mendapatkan jalan kelaur yang baik bagi semua pihak. Adanya lembaga peradilan menjadi salah satu jalan untuk memnetukan apakah Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif memang dikelaurkan oleh Pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap dari bahaya situs-situs negatif, ataukah Perkominfo tersebut melanggar hak kebebasan berpendapat seperti yang dikemukakan oleh sebagian uangmenolak Perkominfo tersebut. Jika melihat Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, maka yang jelas pertema terlihat bahwa Peraturan tersebut dikelaurkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika. Sesuai dengan asas hukum dalam Negara hukum, maka pertanyaannya apakah Menkominfo mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan Perkominfo tersebut? Kemudian, apakah materi yang diatur dalam Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif adalah materi yang bertentangan dengan pertauran perundang-undangan yang berlaku? Berdasarkan hal tersebut di atas, maka persoalan yang sangat mendasar adalah apakah Perkominfo tentang Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif bertentangan dengan Undang-undang? B. Dasar Pendapat Hukum ini dibuat atas dasar bahwa Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, merugikan seluruh pelaku usaha penyelenggara internet serta pengguna internet. C. Asumsi Pendapat Hukum ini dibuat atas dasar asumsi bahwa Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif merugikan seluruh pelaku usaha penyelenggara jaringan internet serta pengguna internet, dan merupakan bentuk pengaturan yang bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi. D. Analisis 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dan Undang-undang No. 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi Memberikan Wewenang Kepada Menkominfo Untuk Mengatur Segala Hal Yang Berkaitan dengan Telekomunikasi Dalam Perturan Menteri
  • 3. 3 Dalam penyelenggaraan negara, sebagian besar aturan dituangkan dalam bentuk hukum tertulis, mulai dari Undang-undang Dasar, Undang- undang, Peraturan Daerah, sampai pada peraturan yang paling rendah kedudukannya. Sebagai negara hukum, hal yang harus selalu dijadikan landasan adalah bahwa dalam penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum. Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian konstitusi kita secara tegas dan lugas memberikan sebutan bagi negara kita, sebagaimana dirumuskan dalam bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar tahun 1945 setelah perubahan. Artinya bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat aturan-aturan hukum yang mengaturnya. Undang-undang Dasar itu sendiri merupakan sebagian dari hukum dasar yang tertulis. Selain Undang-undang Dasar, terdapat aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis. Berkaitan dengan Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, untuk mengetahui apakah bertentangan dengan hukum atau tidak, maka harus dikaji baik secara formil maupun secara materiil. Formil adalah berkaitan dengan wewenang pembentukan Perkominfo tersebut dan prosesdur pembuatannya, sedangkan materiil berkaitan dengan isi (materi) dari Perkominfo tersebut. Dari sisi formal, Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang dikeluarkan oleh Menkominfo, harus dilihat dari adanya wewenang yang dimiliki oleh Menkeominfo dalam mengeluarkan Perkominfo tersebut. Artinya, apakah ada perintah dari Undang-undang kepada Menkominfo untuk mengatur situs internet bermuatan negatif atau adakah kewenangan yang dimiliki oleh Mekominfo untuk mengatur situs internet bermuatan negatif. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam Pasal 8 menyebutkan: (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
  • 4. 4 sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Dalam penjelasannya, menyebutkan: (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan ketentuan tersebut, ada 2 (dua) hal yang dapat dijadikan dasar Menkominfo dalam mengeluarkan Perkominfo tersebut, yaitu Pertama, adanya perintah dari Undang-undang. Kedua, adanya kewenangan penyelenggaraan urusan tertentu Pemerintahan sesuai dengan ketentuan perturan perundang-undangan. Kedua hal tersebut adalah bersifat pilihan, hal ini karena adanya kata “atau” dalam rumusan Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011. Merujuk pada Perkominfo tentang Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, yang dalam bangian dasar hukum (konsideran mengingat) mencantumkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, maka dapat diliaht melalui ketentuan tersebut apakah ke tiga Undang-undang tersebut memberikan perintah kepada Mekominfo untuk mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif. Dalam UU telekomunikasi tidak terlihat adanya ketentuan Pasal yang menyebutkan secara langsung Menkominfo mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif. Hanya saja, jika diliat dari Pasal 4 beserta yang berbunyi: (1) Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. (2) Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian. (3) Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian di bidang telekomunikasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan secara menyeluruh dan terpadu dengan memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta perkembangan global. Penjelasan Pasal 4, berbunyi: Ayat (1) Mengingat telekomunikasi merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, maka penguasaannya dilakukan oleh negara, yang dalam penyelenggaraannya
  • 5. 5 ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Ayat (2) Fungsi penetapan kebijakan, antara lain, perumusan mengenai perencanaan dasar strategis dan perencanaan dasar teknis telekomunikasi nasional. Fungsi pengaturan mencakup kegiatan yang bersifat umum dan atau teknis operasional yang antara lain, tercermin dalam pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengendalian dilakukan berupa pengarahan dan bimbingan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Fungsi pengawasan adalah pengawasan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk pengawasan terhadap penguasaan, pengusahaan, pemasukan, perakitan, penggunaan frekuensi dan orbit satelit, serta alat, perangkat, sarana dan prasarana telekomunikasi. Fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dilaksanakan oleh Menteri. Sesuai dengan perkembangan keadaan, fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilimpahkan kepada suatu badan regulasi. Dalam rangka efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait, penyelenggara telekomunikasi dan mengikutsertakan peran masyarakat. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut diatas, maka jelas bahwa Menkominfo mempunyai wewenang untuk mengatur secara menyeluruh dan terpadu di bidang telekomunikasi. 2. Undang-undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Tidak Memberikan Wewenang Kepada Menkominfo Untuk Mengatur Pemblokiran Dengan Permenkominfo Kemudian, dalam UU Pronografi juga tidak ada perintah kepada Mekominfo untuk mengatur PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF. Berkaitan bidang telekomunikasi, UU Pornografi yang merupakan lex specialis dalam pengaturan pornografi hanya mengatur berkaitan dengan pemblokiran pornografi melalui internet. Pasal 18 UU Pronografi menyebutkan: “Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
  • 6. 6 b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi. Lebih lanjut, hal yang sama dalam UU ITE juga tidak ditemukan adanya perintah kepada Mekominfo untuk mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif. Dalam UU ITE, justru sebenarnya mengatur lebih tegas dengan hal-hal yang dialarang. Adapun hal-hal yang dilarang berdasarkan UU ITE adalah sebagai berikut: Pasal 27 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 28 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Pasal 30 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan cara apa pun.
  • 7. 7 (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan. Pasal 31 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan. (3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 32 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik publik. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak. (3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya. Pasal 33 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau
  • 8. 8 mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Terhadap palnggaran ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah merupakan tindak pidana yang mendapatkan sanksi pidana. Hal tersebut tegas diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 52 UU ITE. Pengenaan sanksi pidana yang diatur dalam UU ITE tidak dibarengi dengan pengenaan sanksi pemblokiran, karena UU ITE tidak mengatur berkaitan dengan pemblokiran terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 27-33 UU ITE. UU ITE memang tidak mengatur pemblokiran berkaitan dengan hal yang dilarang dalam UU ITE. Akan tetapi, UU ITE mengatur peran Pemerintah penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Pasal 40 UU ITE menyebutkan: (1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan. (2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi. (4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data. (5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan Pasal 40 UU ITE tersebut jelas mengatur adanya peran pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Hal mana ketentuan tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Bila ketentuan Pasal 40 dihubungkan dengan Pasal 27-33, maka pemblokiran terhadap situs-situs yang melanggar hal yang dilarang dalam Pasal 27-33 dapat diatur dalam Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut, berkaitan dengan kedua UU tersebut yakni UU Pornografi dan UU ITE, yang dapat dikenakan sanksi pidana dan sekaligus pemblokiran terhadap situs internet adalah hanya dapat dilakukan pada pornografi saja, yang dalam UU ITE adalah melanggar kesusilaan.
  • 9. 9 Selebihnya, pelanggaran terhadap UU ITE yang bukan berkaitan dengan pronografi dan kesusilaan, tidak dapat dilakukan pemblokiran. Jika dikaji lebih dalam, wewenang pemblokiran terhadap situs pornografi, ada pada Pemerintah dan Pemerintah daerah. Pasal 18 UU Pornografi tegas menyebut “Pemerintah” bukan “Menteri” atau “Kementrian Terkait”. UU Pornografi secara umum tidak mengatuar tata cara berkaitan dengan pemblokiran tersebut, sehingga untuk melaksanakan pemblokiran tersebut dibutuhkan peraturan lebih lanjut. Oleh karena wewenang pemblokiran tersebut ada pada Pemerintah, maka untuk mengatuar tata cara pemblokiran haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri. Terhadap pemblokiran pornografi, jika dilihat dari kewenangan untuk melakukannya jelas ada pada Pemerintah. Sehingga, tata cara pemblokirannya haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dikelaurkannya Permenkominfo Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif oleh Menkominfo, di mana didalamnya mengataur mengenai Pemblokiran, jelas bertentangan Pasal 18 UU Pornografi. Artinya, Menkominfo tidak mempunyai wewenang untuk mengatur pemblokiran dengan menggunakan Permenkominfo. 3. Tumpang Tindih Aturan Dalam Pemberian Wewenang Kemudian, berkaitan dengan pemblokiran terhadap kegiatan ilegal yang telah diatur dalam pertauran perundang-undangan, kewenangan menkominfo untuk mengaturnya dalam Permenkominfo adalah berdasar pada Pasal 8 UU No. 12 tahun 2011 serta Pasal 4 dan Pasal 21 UU Telekomunikasi. Pasal 21 yang merupakan larangan bagi Penyelenggara telekomunikasi melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut berupa pemberian sanksi administrasi. Hal tersebut secara tegas diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi, yang berbunyi: Pasal 45 Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi. Pasal 46 (1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin. (2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
  • 10. 10 Persoalannya, UU Telekomunikasi tidak mengatur bagaimana tata cara pemberian sanksi administrasi tersebut. Tidak ada kejelasan bagaimana pencabutan izin itu dapat dilakukan, bahkan siapa lembaga yang secara spesifik berwenang untuk melakukan pencabutan izin tersebut. Penjelasan Pasal 21 hanya menjelaskan bahwa “Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan telekomunikasi tsb melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum”. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 berserta Penjelasannya dan Pasal 45 dan 46 UU Telekomunikasi, maka jelas wewenang untukmelakukan penghentian kegiatan usaha ada pada Pemerintah. Ironisnya, dalam Ketentuan Umum Pasal 1 UU Telekomunikasi, tidak ditemukan siapa yang dimaksud dengan “Pemerintah”. Akan tetapi, jika dihubungkan antara Pasal 4 dengan Pasal 21 UU Telekomunikasi, maka yang disebut dengan Pemerintah dapat dipersamakan dengan maknanya dengan Menteri. Dengan demikian, jika merujuk pada Pasal-pasal undang-undang tersebut, maka jelas Kemenkominfo mempunyai kewenangan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan telekomunikasi dengan Permenkominfo. Akan tetapi, jika dikaji antara Pasal 40 UU ITE dengan Pasal 4 dan Pasal 21 UU Telekomunikasi, maka terlihat tumpang tindihnya aturan/ketentuan berkaitan dengan perlindungan terhadap kepentingan umum dari gangguan ketertiban umum sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik. Ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU ITE jelas mengamanatkan untuk mengatur perlindungan terhadap kepentingan umum dari gangguan ketertiban umum sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dengan peraturan pemerintah. Sedangkan Pasal 21 UU Telekomunikasi, yang dalam penejelasannya menyebutkan “Penghentian kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh pemerintah setelah diperoleh informasi yang patut diduga dengan kuat dan diyakini bahwa penyelenggaraan tele komunikasi tsb melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum”, maka pengehentian penyelnggaraan telekomunikasi yang melanggar kepentingan umum, kesusilaan, keamanan atau ketertiban umum adalah menjadi wewenang Pemerintah. Apabila Pasal 21 UU Telekomunikasi dihubungkan dengan Pasal 40 ayat (3) UU ITE, maka dapat dilihat keterkaitannya sebagai berikut: 1. Subyek perlindungan dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi dan Pasal 40 ayat (3) UU ITE adalah sama yaitu Kepentingan Umum.
  • 11. 11 2. Subyek yang dilarang dalam Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah Penyelenggara Telekomunikasi. Sedangkan Pasal 40 ayat (3) UU ITE tidak menyebut tegas siapa yang dilarang. Akan tetapi, jika dilihat dari rumsan norma Pasal 40 ayat (3) UU ITE, maka yang dilarang adalah setiap orang yang meliputi orang (person) dan badan hukum (recht person). Penyelenggara Telekomunikasi dalam hal ini bisa masuk person atau recht person. 3. Subyek yang memberikan perlindungan kepentingan umum dalam kedua Undang-undang tersebut adalah sama yaitu Pemerintah. Penjelasan Pasal 21 UU Telekomunikasi memberikan amanat kepada Pemerintah untk mencabut izin penyelenggara telekomunikasi yang melanggar Pasal 21. Pasal 40 ayat (6) UU ITE memberikan amanat kepada Pemerintah untuk bereperan dalam memberikan perlindungan kepentingan umum sebagai akibat dari penyelahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. 4. Obyek Pasal 21 UU Telekomunikasi adalah perlindungan terhadap ketertiban umum, kepentingan umum, kesusilaan dan keamanan. Sedangkan obyek dari Pasal 20 ayat (3) UU ITE adalah perlindungan kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Dengan demikina, kedua ketentuan tersebut mengatur mengenai ketertiban umum dan kepentingan umum yang harus dilindungi. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa hubungan antara Pasal 21 UU Telekomunikasi dengan Pasal 40 ayat (3) UU ITE saling berkaitan. Oleh karena, ketentuan Pasal 21, Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi tidak lengkap dan jelas dalam mengatur bagaimana tata cara pencabutan izin penyelenggara telekomunikasi oleh Pemerintah, maka apabila kedua Undang-undang tersebut dikonstruksikan untuk mengatur lebih lanjut berkaitan dengan peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum, serta wewenang Pemerintah dalam melakukan pencabutan izin terhadap penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 40 ayat (6) UU ITE. Pasal 40 ayat (6) UU ITE yang merupakan pemberian wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum dalam Peraturan Pemerintah, adalah memiliki makna bahwa Pemerintah dapat juga mengatur ketetntuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan izin Penyelenggara Telekomunikasi yang melanggar Pasal 21 UU Telekomunikasi dalam Pertauran Pemerintah. Artinya, Pasal 21, Pasal 45 dan Pasal 46 UU Telekomunikasi yang tidak rinci mengatur pencabutan izin, harus mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah
  • 12. 12 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 40 ayat (6) UU ITE. Hal ini jelas, karena kedua ketentuan undang-undang tersebut saling memiliki keterkaitan yang erat. E. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisis di atas, jelas terlihat bahwa tidak satu pun Undang-undang yang menjadi dasar hukum Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, memberikan wewenang secara tegas kepada Menkominfo untuk mengatur penanganan situs internet bermuatan negatif dalam Peraturan Menteri. Bahkan pemblokiran terhadap situs internet yang bermuatan pornografi, berdasarkan Pasal 18 UU Pornografi wewenang untuk melakukan pemblokiran ada pada Pemerintah. Sehingga, regulasi yang tepat untuk mengatur hal tersebut adalah Peraturan Pemerintah, bukan Peraturan Menteri. Begitupun terkait dengan pemblokiran terhadap kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. UU Telekomunikasi dan UU ITE yang menjadi dasar hukum dalam Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif, terlihat tidak jelas dan saling tumpang tindih dalam pengaturannya. Pada satu sisi, UU Telekomunikasi mengatur bahwa penyelenggara telekomunikasi dilarang untuk melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Tidak main-main, sanksinya pun adalah pencabutan izin usaha penyelanggara telekomunikasi tersebut. Hal mana, kewenangan pencabutan tersebut ada pada Pemerintah. Di sisi lainnya, Pemerintah diberikan peran oleh UU ITE untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum. Hal mana, ketentuan lebih lanjut menegnai peran Pemerintah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Oleh karenanya, seharusnya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, yang dilakukan baik oleh orang (person) maupun badan hukum (recht person). Dalam Peraturan Pemerintah ini lah seharusnya diatur apakah pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi pemblokiran ataukah langsung dikenakan sanksi pencabutan izin usaha. Dengan demikian, wewenang Menkominfo mengeluarkan Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif adalah hanya berdasarkan Pasal 4 UU Telekomunikasi dan Pasal 8 UU Pembentukan Perturan Perundang- undangan. Hal mana, Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet
  • 13. 13 Bermuatan Negatif juga bertentangan dengan Pasal 21 UU Telekomunikasi serta Pasal 40 ayat (3) dan (6) UU ITE. Artinya, Menkominfo pada satu sisi mempunyai wewenang untuk mengeluarkan Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif, pada sisi lainnya Menkominfo tidak mempunyai wewenang untuk mengelaurkan Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif F. Solusi Yang Dapat Diambil Ada beberapa solusi yang dapat diambil berdasarkan analisis tersebut di atas, yaitu: 1. Melakukan uji materi Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet Bernuatan Negatif ke Mahkamah Agung. Akan tetapi, tidak adanya hukum acara uji materi di Mahkamah Agung, akan menjadi sangat sulit untuk mengawal uji materi tersebut karena tidak ada transparansi persidangan layaknya di Mahkamah Konstitusi. 2. Ada baiknya terlebih dahulu membenahi aturan mengenai uji materi di MA, yaitu dengan membuat RUU Uji Materi di MA 3. Pembenahan terhadap carut marutnya regulasi dibidang telematika, yaitu dengan membuat RUU yang komprehensif berkaitan dengan Telematika. 4. Uji materi Penjelasan Pasal 4 UU Telekomunikasi, untuk meminta tafsir apakah dengan dasar Pasal 4 itu saja Menkominfo bisa menerbitkan segala macam peraturan berkaitan dengan telekomunikasi. Demikian pendapat hukum ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih. Hormat kami, DARU SUPRIYONO PRADNANDA BERBUDY