Kemiskinan vs Angka PDB
elama ini pemerintah seringkali mengklaim berhasil memacu pertumbuhan ekonomi
mencapai rata-rata 6% sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan dan
pengangguran. Padahal, penanggulangan kemiskinan tidak hanya memerlukan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tapi juga kualitas pertumbuhan yang menyentuh
langsung dengan kondisi perbaikan nasib rakyat miskin.Kondisi inilah yang belum
sepenuhnya bisa dilakukan pemerintah. Perkembangan statistik menunjukkan pertumbuhan
ekonomi masih didorong oleh konsumsi dari kelompok masyarakat yang berpenghasilan
besar. Sementara lapangan kehidupan yang menjadi tumpuan hajat hidup rakyat banyak,
seperti sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan serta industri manufaktur justru masih
tertatih-tatih.Pemerintah juga mengklaim bahwa penurunan penduduk miskin bisa dilihat
dari kenaikan pendapatan per kapita. Menurut data BPS, pendapatan per kapita penduduk
Indonesia kini USS3.000 per tahun. Angka ini dihitung dari jumlah produk domestik bruto
(PDB) yang sekarang mencapai Rp 6.300 triliun dibagi dengan jumlah penduduk sekitar 240
juta jiwa. Dari sinilah ditemukan angka per kapita Rp 27 juta per tahun.Pertanyaannya,
benarkah rakyat Indonesia sudah memiliki pendapatan sebesar itu dalam setahun?
Peningkatan PDB atau pendapatan per kapita tidak menjadi cerminan membaiknya tingkat
kesejahteraan rakyat, manakala peningkatan PDB kita tidak mampu mencerminkan
membaiknya keadilan dan distribusi pendapatan secara merata.Lebih ironis lagi, setelah
pemerintah mengumumkan pencapaian pertumbuhan ekonomi sebesar 6% dan jumlah
penduduk miskin yang turun menjadi 31,02 juta, tersiar berita yang menyebutkan enam
orang bersaudara anak kel. Jamhamid di jepara, Jawa Tengah, tewas akibat keracunan tiwul.
Mereka makan tiwul karena tidak mampu membeli beras mengingat keluarga itu memiliki
penghasilan hanya Rp 150 ribu per minggu.Jelas, pendapatan Rp 150 ribu per minggu tak
cukup untuk biaya hidup satu keluarga tujuh orang itu. Jika diasumsikan pengeluaran Rp
9.000 (USS 1) per orang sebagai ukuran miskin, maka jumlah pengeluaran untuk ke-7
anggota Jamhamid minimal Rp 63 ribu/hari atau Rp 441 ribu per minggu untuk masuk
kategori miskin.Apabila dibandingkan dengan standard Badan Pusat Statistik (BPS) yang
berpatokan pengeluaran USS 0,75/orang/hari, keluarga Jamhamid termasuk kategori sangat
miskin. Ukuran BPS tersebut jelas jauh lebih rendah dari patokan Bank Dunia yang
menyebutkan seorang disebut miskin jika minimal pengeluaran USS 2 per hari.
Kalau saja standard Bank Dunia yang dipakai, itu berarti penduduk miskin Indonesia
jumlahnya bisa mencapai sekitar 20 juta, dengan tak sedikit di antaranya justeru hidup
dengan kondisi ekonomi yang lebih parah dari Jamhamid.Kemiskinan yang terjadi di negara
kita memang sangat kompleks, dan tidak hanya dapat diatasi hanya dengan memacu
rjnginya pertumbuhan ekonomi. Sudah cukup banyak bukti bahwa trickel down effect atau
menetes ke bawah dari kue pertumbuhan ekonomi tak selalu terjadi. Di sini peran
pentingnya pemerintah perlu terlebih dahulu mencari solusi untuk mengatasi jebakan
kemiskinan.Entitas terkaitLebih ironis lagi, setelah pemerintah mengumumkan pencapaian
pertumbuhan ekonomi sebesar 6% dan jumlah penduduk miskin yang turun menjadi 31,02
juta, tersiar berita yang menyebutkan enam orang bersaudara anak kel. Jika diasumsikan
pengeluaran Rp 9.000 (USS 1) per orang sebagai ukuran miskin, maka jumlah pengeluaran
untuk ke-7 anggota Jamhamid minimal Rp 63 ribu/hari atau Rp 441 ribu per minggu untuk
masuk kategori miskin. Kalau saja standard Bank Dunia yang dipakai, itu berarti penduduk
miskin Indonesia jumlahnya bisa mencapai sekitar 20 juta, dengan tak sedikit di antaranya
justeru hidup dengan kondisi ekonomi yang lebih parah dari Jamhamid.