Dokumen tersebut membahas tentang hubungan antara utang luar negeri dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Utang luar negeri yang besar telah mengakibatkan sumber daya Indonesia banyak dialokasikan untuk pembayaran utang dan bunga utang, sehingga kurang dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, dokumen tersebut mendukung pengurangan utang luar negeri sebagai salah satu cara untuk mengurangi
1. Utang Luar Negeri Dan Tingkat Kemiskinan
“Solidarity requires that global challenges must be managed in a way that distributes cost
and burden fairly, those who suffer most, deserve help from those who benefit most”.
(Millenium Declaration)
Target mengakhiri kemiskinan, seperti diungkapkan oleh Jeffry Sachs dalam bukunya The
End of Poverty, merupakan tanggung jawab bersama negara-negara di dunia yang melintasi
batas nasionalisme. Kemiskinan yang melanda suatu negara merupakan sebuah penyakit
yang sangat sulit dientaskan tanpa adanya pertolongan dari negara lain.
Sejak tahun 2000, semua negara anggota PBB memiliki kesepakatan yang dituangkan dalam
Milleneum Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan utamanya adalah pengurangan
angka kemiskinan menjadi separuh pada 2015. Kemudian, sebuah pertanyaan besar yang
menyoal bagaimana target itu bisa terpenuhi pun mengemuka. Pertanyaan ini memang
sudah sewajarnya diungkapkan mengingat kondisi dan kapasitas APBN yang kurang
mumpuni.
Konsekuensi berutang terlalu banyak
Sejatinya, utang dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, Pattilo, Pairson dan Ricci pada tahun 2002, menemukan
hubungan yang negatif antara utang dengan tingkat pendapatan perkapita. Dari 100 negara
yang diteliti, mereka menemukan kontribusi utang terhadap pendapatan perkapita suatu
negara adalah negatif untuk rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) yang berada pada
kisaran persentase 35-45%.
Lebih lanjut, tingginya level utang tersebut dapat menyebabkan berkurangnya sumber daya
yang dapat dialokasikan untuk kepentingan investasi yang dapat memperbaiki kinerja
ekspor.
Indonesia, berdasarkan data tahun 2005, memiliki debt to gdp ratio sebesar 45,63%. Dengan
berlandaskan penelitian yang dilakukan oleh Pattilo dkk, maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa utang luar negeri mempunyai dampak yang kurang signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan berutang, penyediaan sarana dan prasarana publik pun menjadi terkendala. Betapa
tidak, setiap tahun fiskal 48.70% PPh dan PPn (Rp 210.71 T+ Rp 128.31 T=Rp 339.02 T) yang
dibebankan ke masyarakat, habis untuk bayar hutang pemerintah. Hal ini menjadi sebuah
hal yang ironis mengingat salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan mesyarakat melalui penyediaan barang-barang kebutuhan public (public
goods). Jadi, alih-alih mensejahterakan negara, dengan menambah utang justru semakin
menyengsarakan negara.
Peruntukan utang luar negeri yang tidak jelas
Periode 1974 hingga 1981 sebenarnya adalah periode dimana Indonesia tidak
membutuhkan utang luar negeri karena penerimaan negara pada saat itu sudah sangat
mumpuni. Besarnya penerimaan negara pada saat itu adalah lebih karena adanya windfall
profit dari naiknya harga minyak internasional. Tetapi apa lacur, justru pada periode ini lah
Indonesia memanen utang luar negeri, sungguh tak masuk diakal.
Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah kira-kira peribahasa yang tepat untuk menceritakan
kondisi Indonesia. Kedatangan utang yang tidak tepat itu ditambah lagi dengan mekanisme
2. peruntukan utang yang tidak jelas. Utang luar negeri lebih difokuskan pada kegiatankegiatan yang sifatnya konsumtif ketimbang investasi. Tidak seperti kegiatan investasi yang
menjanjikan tingkat pengembalian (rate of return) yang pasti , kegiatan konsumsi justru
tidak memberikan kepastian rate of return. Pada gilirannya kondisi ini menciptakan sebuah
kendala akan ketidaksinambungan pembayaran utang (debt unsustainability).
Dengan demikian, dengan utang luar negeri yang besar, Indonesia mengalami resource
drain. Ini terjadi karena net welfare effect yang negatif dari utang luar negeri. Kontribusi
utang luar negeri yang sedikit terhadap kesejahteraan Indonesia harus dibenturkan dengan
kenyataan akan tingginya jumlah cicilan pokok utang dan beban bunga yang harus dibayar
setiap tahun fiskal. Angka Rp 91.6 T dalam APBN 2006 sedikit banyak telah menceritakan
betapa pahitnya mempunyai utang luar negeri. Bandingkan dengan dana BLT (Bantuan
Langsung Tunai) yang hanya sebesar Rp 17 T! bagaimana Indonesia bisa lepas dari jerat
kemiskinan?
Pentingnya meminta pengurangan utang
Pelbagai fakta dan argumentasi diatas kiranya sudah cukup untuk dijadikan alasan yang kuat
untuk mendorong pemerintah Indonesia meminta pengurangan utang luar negeri kepada
negara-negara kreditor. Pengurangan utang luar negeri tak pelak lagi menjadi jalan keluar
utama untuk membiayai aktivitas pengentasan kemiskinan di Indonesia.
Utang luar negeri memang menjadi polemik yang tiada habis-habisnya. Dunia seakan terbagi
menjadi dua kiblat yang besar. Yang satu setuju dengan pelbagai argumentasi yang
mengangkasa, sementara yang lain menolak dengan argumentasi dan tentangan yang tak
kalah mengesankan. Utang, pada level tertentu memang diperlukan, akan tetapi terlalu
banyak berutang justru akan membuat negara menjadi sakit. Hal ini sepertinya sudah
menjadi logika yang masuk akal dalam konteks ilmu ekonomi. The law of diminishing return
kiranya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan fenomena yang satu ini. Teori ini
menjelaskan bagaimana suatu barang akan sangat bermanfaat bagi sang pemakai akan
tetapi menjadi penyakit ketika dikonsumsi secara berlebihan.
Memang, pengurangan utang bukan merupakan satu-satunya solusi untuk mengentaskan
kemiskinan. Permasalahan kemiskinan pada dasarnya juga mempunyai kaitan yang erat
dengan besar kecilnya arus modal yang masuk ke Indonesia. Oleh karenanya, seperti
diungkapkan oleh Ragnar Nurske lewat bukunya “The Capital Accumulation In The Less
Developed Countries (1953)” tujuan utama pembangunan ekonomi memang harus melalui
(a). peningkatan pendapatan perkepala; (b) penanaman modal. Namun, seperti juga
diungkapkan oleh ekonom kenamaan Swedia Gunnar Myrdal, kemiskinan juga merupakan
masalah politik. Oleh karenanya diperlukan suatu keputusan politik oleh pimpinan suatu
negara. Karena masalah kemiskinan merupakan permasalah struktural, maka pemecahan
masalah ini juga harus terkait dengan perencanaan pembangunan jangka panjang. Tidak
mungkin diselesaikan langsung seketika tanpa suatu perencanaan dan penanganan yang
matang. Berangkat dari pernyataan Myrdal tersebut, jelaslah sudah bahwa program
pengentasan kemiskinan melalui jalur pertumbuhan ekonomi memerlukan waktu yang
panjang dan jalan yang berliku. John Maynard Keynes bahkan pernah setengah berkelakar
dengan menyatakan “How long is the long run? In the long run we are all dead”. Pendapat
Keynes itu mungkin sangat kontekstual dengan pembahasan kita sekarang, pertumbuhan
ekonomi memang pada akhirnya dapat mengentaskan kemiskinan, tetapi sampai kapan?
Mungkin, hingga hari kiamat tiba, permasalahan kemiskinan boleh jadi tidak akan pernah
selesai.
3. Pengurangan utang luar negeri memang masih meninggalkan polemik hingga kini. Akan
tetapi, program ini sepertinya merupakan obat yang paling mujarab untuk menuntaskan
penyakit bernama kemiskinan. Kemiskinan, tidak dapat diatasi dengan memakai satu obat
saja berupa liberalisasi dan deregulasi, bak aspirin yang dipakai untuk mengobati segala
penyakit. Kemiskinan, harus langsung diobati dan ditangani langsung pada akarnya yaitu
pengalihan sumber daya (resource allocation) dari sumber yang sedianya dialokasikan untuk
membayar utang luar negeri (external debt repayment) kepada program pengentasan
kemiskinan.
Indonesia sangat layak untuk mendapatkan pengurangan utang luar negeri
Negara-negara yang tergabung dalam G8, pada tahun 2003 melakukan sebuah pertemuan
di Evian. Melalui pertemuan ini, G8 lantas mengklasifikasikan pendekatan baru untuk
menanggulangi permasalahan utang pada negara-negara berpendapatan menengah (middle
income countries). Pendekatan ini bertujuan untuk menyelesaikan dan memformalkan solusi
dari permasalahan sustainabilitas dari negara-negara non-HIPC (Highly Indebted Poor
Countries), dan untuk menyediakan sebuah kerangka analisa kondisi utang di masing-masing
negara. Pendekatan Evian ini pada dasarnya diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan
sustainabilitas utang jangka panjang ketimbang jangka pendek. Jika ketidak mampuan suatu
negara untuk membayar utang lebih dikarenakan permasalahan likuiditas, maka Paris Club
akan terus melanjutkan pendekatan Houston dan klasik (tidak ada pengurangan stok utang
luar negeri). Akan tetapi jika ketidak mampuan membayar utang dikarenakan permasalahan
sustainabilitas yang teramat parah, maka mekanisme yang diterapkan bisa sangat ekstrim
seperti hair cut dan write off.
Indonesia, seperti telah dijelaskan diatas, memiliki masalah sustainabilitas yang teramat
parah. Angka 45,63% debt to GDP ratio sedikit banyak telah bercerita. Oleh karenanya,
Indonesia layak dan bahkan sangat layak untuk mendapatkan pengurangan utang.
Penjadwalan pembayaran utang luar negeri yang telah berjalan selama ini, baik disadari
atau tidak, telah menciptakan ketidak pastian dan memiliki imbas yang negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi. Betapa tidak, penjadwalan yang harus menembus birokrasi yang
rumit dan panjang tak pelak telah mengakibatkan banyaknya waktu yang terbuang. Ilmu
ekonomi mengenal sebuah konsep yang bernama opportunity cost, yaitu konsep yang
menjelaskan sebuah potensi keuntungan yang hilang sebagai akibat tersitanya waktu untuk
melakukan aktivitas yang menguntungkan. Coba bayangkan, berapa besar kerugian yang
harus terjadi karena terlalu sering bernegosiasi untuk penjadwalan utang (multiple
resecheduling exercices)? Jadi untuk mengeliminir negosiasi yang berlarut-larut,
pengurangan utang luar negeri sepertinya merupakan sebuah jalan keluar yang tepat.
Dengan demikian, negara tidak perlu secara berkesinambungan melakukan penjadwalan
utang luar negeri karena stok nya sudah jauh berkurang dari level yang mematikan.
Pengurangan utang luar negeri memang terus mendapat tentangan hingga kini, hal ini
dapat dimaklumi mengingat pengurangan utang ditenggarai merupakan tindakan yang
dapat “memanjakan” negara-negara debitor. Apalagi melihat analogi yang dikembangkan
oleh negara-negara kreditor yang seringkali menyatakan lebih baik memberikan kail
daripada ikan. Tetapi, bagaimana bisa memancing kalau lapar? Beri dulu ikan supaya bisa
berdiri memancing!
“Like Slavery and apharteid, poverty is not natural. It is man made and it can overcome and
eradicated by the action of human beings” (Nelson Mandela)