1. IMAM SYAFI’I DALAM MENETAPKAN HUKUM ISLAM
(IMAM SHAFI’I IN ESTABLISHING ISLAMIC LAW)
Karina Aulia Agatha. Fakultas Teknologi Industri. Universitas Islam Indonesia.
16522066@students.uii.ac.id
PENDAHULUAN
Ulama adalah pewaris para nabi yang terlebih dahulu senantiasa diutus oleh Allah SWT
untuk mengajarkan dan menyebarluaskan agama Islam kepada seluruh umat di dunia. Nabi
Muhammad SAW sebagai Rasul merupakan manusia terbaik yang diutus oleh Allah SWT
untuk menyebarluaskan islam. Beliau memiliki para sahabat yang dikenal dengan nama
Khulafaur Rasyidin yang melanjutkan perjuangan beliau dalam peradaban agama islam.
Kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Mereka
semua merupakan orang-orang pilihan pewaris nabi yang selalu siaga membela agama islam
dari pemutarbalikan pengertian agama dan dari orang-orang kafir yang selalu ingin memecah
belah agama islam. Para ulama tersebut tersebar di negeri-negeri dengan lingkungan dan cara
berfikir yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, masing-masing ulama tersebut
menempuh jalannya sendiri-sendiri dalam melakukan ijtihad dan mencari hukum islam
Diantara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i
rahimahullahu, seorang ulama besar yang ikut memperjuangkan agama islam dan hukum
islam diantara orang-orang kafir yang ingin menyingkirkannya.
Dalam islam kita juga mengenal empat imam madzhab besar yang terkenal sampai
kepada seluruh umat di zaman yang silam dan zaman sekarang. Mereka itu adalah Abu
Hanifah Annu’man atau yang sering dikenal dengan nama Hanafi, Malik Bin Anas atau yang
sering dikenal dengan nama Maliki, Muhammad Idris Asy-syafi’i atau yang sering dikenal
dengan nama Imam Syafi’i, dan Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal yang sering dikenal
dengan nama Hambali. Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadap agama
islam yang maha suci, khususnya dalam bidang ilmu fikih mereka telah sampai ke peringkat
atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam islam. Karena kesuburan dan kemasyhurannya
dalam ilmu fikih di samping usaha mereka yang bermacam-macam terhadap agama islam
nama-nama mereka sangat dikenal pada zaman kejayaannya islam. Mereka bekerja keras
2. untuk menjaga dan menyuburkan ajaran-ajaran islam kepada seluruh umat lebih-lebih dalam
ilmu fikih sejak terbitnya nur islam (Sandy Mulia Arhdan, 2015). Peninggalan mereka
merupakan amalan ilmu fikih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama
islam dan kaum muslimin umumnya. Pandangan-pandangan dari ke empat madzhab lebih
dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai perbedaan pendapat
dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum islam (Khoirunisa Oktafiani,
2014).
Dalam makalah/paper ini akan dibahas lebih spesifik tentang salah satu imam madzhab
besar yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i rahimahullahu atau Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i adalah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah
pendukung terhadap ilmu hadist dan pembaharu dalam agama (mujaddid) dalam abad kedua
hijriah. Di Indonesia, Madzhab Syafi’i merupakan landasan hukum yang paling sering
digunakan bagi orang-orang muslim. Oleh karena itu, pemilihan topik tentang perjuangan
dalam menentukan hukum islam oleh Imam Syafi’i yang dipilih. Pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah/paper ini adalah tentang landasan hukum yang digunakan Imam
Syafi’i dalam menentukan hukum islam serta perkembangan hukum islam atau madzhab
Syafi’i tersebut.
Imam Syafi’i merupakan pencetus atau pelopor tentang ilmu ushul fiqh. Beliau
merupakan orang pertama yang menyusun sebuah buku ushul fiqh yang dikenal dengan ar-
Risalah yang dibuat sebagai disiplin ilmu atau pedoman untuk para peminat hukum islam.
Buku tersebut dibuat karena banyaknya penganut agama Islam yang bukan berasal dari
bangsa Arab sehingga tidak mengerti kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan agama Islam
yang berada pada Al-Qur’an dan Hadist yang bahasanya sendiri adalah bahasa arab. Agar
tidak ada terjadinya kesalahan dalam pengertian syari’at yang ada dalam Al-Qur’an dan
Hadist serta agar penganut agama islam yang bukan berasal dari bangsa arab dapat
memahami isi dari Al-Qur’an dan Hadist maka dibutuhkannya kaidah-kaidah dan peraturan-
peraturan yang kemudian dinamakan ushul fiqh tersebut.
3. PEMBAHASAN
1.1 Biografi Imam Syafi’i
Nama lengkap dari Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas
bin ‘Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-
Muthalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin
Ghalib, abu ‘Abdillah al-Qurasyi Asy-Syafi’i al-Maliki, keluarga dekat rasulullah dan
putra pamannya (Muhammad bin 'Abdul Wahab al-'Aqil, 2015).
Al-Muthalib adalah saudara Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muthalib, kakek
Rasulullah SAW. Dan kakek imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) pada
‘abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah SAW.
Idris, ayah Asy-Syafi’i tinggal di tanah Hijaz, ia adalah keturunan Arab dari
kabilah Qurasy. Kemudian ibunya yang bernama Fathimah Al-azdiyyah adalah berasal
dari salah satu kabilah di Yaman, yang hidup dan menetap di Hijaz. Semenjak kecil
Fathimah merupakan gadis yang banyak beribadah memegang agamanya dengan kuat
dan sangat taat dengan rabb-Nya. Dia dikenal cerdas dan mengetahui seluk beluk al-
quran dan as-sunah, baik ushul maupun furu’/cabang (Syaikh M. Hasan Al-Jamal,
2003).
Imam An-Nawawi berkata : Imam Asy-Ayafi’i adalah qurasyi (berasal dari suku
qurasy) dan muthalib (keturunan muthalib) berdasarkan ijma’ para ahli riwayat dari
semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku azdiyah. Imam Asy-Syafi’i
dinisbahkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’i bin As-Saib, seorang sahabat kecil
yang sempat bertemu dengan rasulullah SAW ketika masih muda.
Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina tahun 150 H / 767 M. Imam Syafi’i hidup
pada zaman/masa khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin, al-Makmun dari dinasti
Abbasiyah. Beliau dibesarkan dalam keluarga miskin. Ayahnya wafat saat dia berumur
2 tahun dan segera dibawa ibunya ke Mekkah.
Pada hari Imam Syafi’i dilahirkan, dua orang ulama besar meninggal dunia.
Seorang di Baghdad (Iraq), yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (pembangun
Mazhab Hanafi) dan seorang lagi di Mekkah, yaitu Imam Ibnu Jurej al Maky, mufti
Hijaz ketika itu. Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu pertanda bahwa anak
yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan kepintarannya.
Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan (Tariq Suwaidan, 2011).
4. Menurut riwayat, ketika ibunda Imam Syafi’i mengandung, dia bermimpi di
dalam tidurnya. Pada suatu malam seakan-akan melihat bintang keluar dari perutnya,
lalu melambung tinggi ke udara dan pecah kemudian bertebaran ke berbagai negeri.
Maka ia terbangun dari tidurnya. Pada pagi harinya ia segera menceritakan mimpinya
itu kepada yang ahli menakwilkan mimpi. Lalu mereka memberitahukan kepadanya
bahwa ia akan melahirkan seorang laki-laki yang kelak ilmu pengetahuannya
memenuhi muka bumi (Munawwar Chalil, 1995).
Sejak kecil ia terkenal cerdas, kuat hafalannya, dan gigih menuntut ilmu.
Menjelang umur 9 tahun ia telah hafal 30 juz al-Qur’an dan 10 tahun ia telah menguasai
pramasastra Arab dengan baik. Ketika di Mekkah, ia belajar ilmu fiqh kepada mufti
Mekkah, Muslim Khalid al-Zanji dan ilmu hadist kepada Sufyan bin Uwainah
(Sirajuddin Abbas, 1972). Pada usia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun), Imam
Syafi’i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid
az-Zanji.
Imam syafi’i menaruh perhatian yang besar kepada syair dan bahasa dan juga
adat istiadat bangsa arab, sehingga ia hafal syair dari suku hudzail. Kabilah hudzail
adalah kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang paling baik bahasa arabnya.
Sehingga Imam Syafi’i banyak menghafal syair-syair dan qasidah dari kabilah hudzail.
Sebagai bukti, al-Asmai’ pernah berkata : bahwa beliau pernah membetulkan atau
memperbaiki syair-syair hudzail dengan seorang pemuda dari keturunan bangsa qurasy
yang disebut dengan namanya Muhammad bin Idris, maksudnya adalah Imam Syafi’i.
Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai kesempatan pula
mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh batang panah tanpa
melakukan satu kesalahan. Beliau pernah berkata : cita-citaku dua perkara : panah dan
ilmu, aku berdaya mengenakan target sepuluh dari sepuluh. Mendengar percakapan itu
orang yang bersamanya berkata : Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari memanah.
Pada usia 20 tahun Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan belajar kepada Imam
Malik. Dia membaca sendiri kitab al-Muwatta’ di hadapan Imam Malik bin Anas
dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum terhadap bacaan dan kemauannya.
Kemudian tahun 195 H, beliau pergi ke Baghdad dan belajar kepada Muhammad bin
al-Hasan al-Syaibaniy (murid Abu Hanifah) selama 2 tahun. Setelah itu beliau kembali
ke Mekkah dan kembali lagi ke Baghdad dan menetap disana selama beberapa bulan.
Kemudian pada tahun itu juga ia pergi ke Mesir dan menetap disana sampai wafat pada
tanggan 29 Rajab tahun 204 H. Oleh sebab itu, pada diri Imam Syafi’i terhimpun
5. pengetahuan fiqh ashab al-Hadis dari Imam Malik dan fiqh ashab al-ra’y dari Abu
Hanifah (Huzaemah Tahido Yanggo, 1997).
Beliau bergelar Nashirul hadist (pembela hadist), karena kegigihannya dalam
membela hadis dan komitmennya untuk mengikuti sunnah Nabi Sallallahu 'alaihi
wassalam (Manaaqib Asy-Syafie, Baihaqi).
1.2 Prinsip Aqidah Imam Syafi’i
Dalam beragama, Imam Syafi’i mempunyai prinsip-prinsip yang dianutnya dan telah
melekat pada dirinya, yaitu :
A. PRINSIP PERTAMA - Pedoman Agama Adalah Al-Qur’an Dan Hadits Sesuai
Pemahaman Salaf, Bukan Akal Dan Filsafat
B. PRINSIP KEDUA - Membela Hadits Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam
C. PRINSIP KETIGA - Mengagungkan Tauhid Dan Memberantas Syirik
D. PRINSIP KEEMPAT - Mengagungkan Sunnah dan Memerangi Bid’ah
E. PRINSIP KELIMA - Melarang Fanatik dan Takqlid Buta
F. PRINSIP KEENAM - Persatuan Dan Perselisihan
G. PRINSIP KETUJUH - Membantah Para Penyimpang Agama
H. PRINSIP KEDELAPAN - Perhatian Kepada Ilmu Agama
I. PRINSIP KESEMBILAN - Akhlaq Yang Mulia Dan Penyucian Jiwa
1.3 Periode Fiqih Imam Syafi’i
Di dalam buku karangan Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayyumi tahun 2009 yang
berjudul “Imam Syafi’i Pelopor Fiqih dan Sastra”, dijelaskan periode fiqih Imam
Syafi’i yang dibagi menjadi 3 sesuai dengan kota-kota tempat ia berkiprah dalam
menentukan hukum islam.
a. Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih.
Setelah meninggalkan kota Baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun.
Di kota Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu
pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan
mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.
Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu
dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu
pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut bisa
6. dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi
ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan
menghimpun berbagai hadits. Upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana
kedudukan hadits di sisi al-Qur’an. Kitab ar-Risalah adalah buah karya Imam
Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan Abdurrahman
al-Mahdi.
b. Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana
selama kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi
berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan
tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-
pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi’i memilih
pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
c. Periode Ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir
pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di
sanalah Imam Syafi’i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang
kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki
beberapa tingkatan: Pertama, al-qur’an dan as-sunnah yang dianggap valid. Kedua,
ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam al-
Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga, pendapat salah satu sahabat lain yang
menentangnya. Keempat, sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw.
Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama
ada al-qur’an dan hadits”.
1.4 Sejarah Awal Mula Madzhab Syafi’i
Pemikiran madzhab ini di awali oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman pertengahan antara
ahlul hadist (cenderung berpegang pada teks hadist) dan ahlul ra’yi (cenderung
berpegang pada akal fikiran atau ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik
sebagai tokoh ahlul hadist, dan Imam Muhammad Bin Hasan AsySyaibani sebagai
tokoh ahlul ra’yi yang juga murid Imam Abu Hanifah.
7. Saat berumur 20 tahun Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan belajar fiqih dari
Imam Malik dan menyertainya hingga Imam Malik wafat pada tahun179 H. Kemudian
Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Di sana ia bertemu dengan Umar bin Abu Salamah yang
merupakan murid dari Imam al-Auza’i dan belajar darinya fiqih syaikhnya. Imam
Syafi’i juga belajar fiqih pada Yahya bin Husain yang merupakan murid dari al-Laits
bin Sa’d, yang merupakan seorang ulama besar dalam ilmu fiqih di Mesir. Pada tahun
184 H, Imam Syafi’i didatangkan ke Baghdad karena dituduh menentang Daulah
Abbasiyah, namun ia terbebas dari tuduhan. Kedatangannya ini menjadi sebab
pertemuannya dengan ulama fiqih Irak yaitu Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang
merupakan murid dari Abu Hanifah, dan menyertainya (mulazamah dengannya,
membaca kitab-kitabnya, meriwayatkan darinya, dan belajar masalah-masalah fiqih
darinya).
Kemudian Imam Syafi’i pindah ke Makkah dan membawa kitab-kitab fiqih ulama
Irak, dan tinggal di Makkah untuk mengajar, berfatwa, dan bertemu dengan banyak
ulama di musim haji selama sembilan tahun. Demikianlah, ia menghimpun pada dirinya
fiqih Hijaz dan fiqih Irak, dan mengkaji perkembangan terakhir fiqih dan
mempelajarinya secara teliti dan tekun.
Imam Syafi’i bisa mengkaji dengan mudah madzhab-madzhab yang telah dikenal
di zamannya, dengan kritis, analisis, dan komparatif. Imam Syafi’i menolak istihsan
dari Imam Abu Hanifah atau mashalih mursalah dari Imam Malik. Tetapi, Imam Syafi’i
menerima penggunaan qiyas secara lebih luas dari Imam Malik. Dari sinilah tampak
kepribadian imam Syafi’i dengan fiqih baru yang menggabungkan fiqih ulama Irak
dengan fiqih ulama Hijaz, dan mulai memisahkan diri dengan mendirikan madzhab
baru yang khas. Setelah itu beliau pergi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun
195 H, dan bermukim disana selama dua tahun, kemudian kembali ke Makkah. Lalu ia
kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H dn bermukim disana selama beberapa
bulan. Kemudian beliau kembali ke Mesir pada akhir tahun 199 H. Ia menetap disana,
mengajar, berfatwa, mengarang, dan mengajar murid-muridnya hingga wafat pada
tahun 204 H.
Meskipun berada dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i
sebagai ulama fiqih, ushul fiqih, dan hadist pada zamannya membuat madzhabnya
memperoleh banyak pengikut.
8. 1.5 Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi’i
Dalam blognya, Dr. H. Roibin, M.HI tahun 2012 menjelaskan metodologi
pemikiran hukum islam Imam Syafi’i pada tulisannya yang berjudul “Sejarah dan
Metodologi Hukum Islam Imam Syafi’i”. Prestasi yang patut dicatat dalam diri Imam
Syafi’i antara lain karena :
a) sebagai perintis dasar-dasar konseptual tentang hadits, dan
b) sebagai peletak utama dasar metodologi (ushul fiqh) dalam hukum islam.
Gejala-gejala itu mulai tampak ketika Imam Syafi’i banyak belajar dan berguru
tentang hadits/sunah kepada Imam Malik. Sejak itulah Imam Syafi’i mulai berani
memberi perumusan sistematik dan tegas, bahwa sunah yang harus diikuti bukanlah
setiap bentuk sunah, melainkan sunah yang hanya berasal langsung dari Nabi.
Konsekuensi pemahaman sepertinya ialah bahwa kritik terhadap sunah dalam
bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan.
Dengan melakukan seleksi ketat, mana yang benar-benar berasal dari Nabi dan mana
yang diklaim sebagai dari Nabi. Sejak itu pula semua laporan dan cerita tentang hadits
harus diuji secara teliti menurut standart ilmiah tertentu yang sangat kritis. Berawal dari
sini ilmu Musthalah al-Hadits yang juga disebut ilmu Dirayah al-Hadits (ilmu kritik
terhadap hadits) telah muncul. Kenyataan inilah yang membuatnya dijuluki sebagai
perintis kajian ilmiah hadits.
Penelitian ilmiah terhadap laporan dan cerita Nabi, yang ia rintis telah
memperoleh bentuknya yang paling kuat setelah munculnya sarjana hadits kelahiran
Bukhara di kawasan Transoksania, yang dianggap paling tinggi otoritas ilmiahnya,
yaitu al-Bukhari. Berkat kepeloporan Imam Syafi’i, muncul pula secara berturut-turut
beberapa tokoh hadits yang kritis, yang secara kolektif karya-karya mereka dinamai
dengan al-kutub al-sitah. Banyak hal yang melatarbelakangi Imam Syafi’i bertindak
kritis seperti ini, antara lain kegiatan pemikiran yang berkembang dengan pesatnya
ketika itu, hingga membuka kemungkinan untuk membawa ide-ide dasar agama
menjadi relevan dengan perkembangan tuntutan masyarakat, disatu sisi. Meskipun di
sisi lain kemampuan intelektual pada ujung-ujungnya juga bermasalah, yaitu pemikiran
yang keluar dari teks selalu dianggap sebagai pendapat pribadi/al-ro’y. Sehingga selalu
rawan terhadap ancaman subjektivisme. Keadaan inilah yang mendorong Imam Syafi’i
untuk membuat penajaman batasan dan pemastian keabsahan antara sunah dan atsar.
Disadari atau tidak metodologi pemikiran Imam Syafi’i ini, ternyata menjadi
model yang paling khas di antara beberapa model yang digunakan untuk mendekati dan
9. menggali suatu hukum. Sisi lain yang tak kalah menarik adalah, bahwa metodologi
pemikiran Imam Syafi’i sejak diterbitkannya hingga kini belum ada tandingannya.
Disinilah urgensitas sebuah metodologi yang memiliki daya aktualitas sepanjang
sejarah, suatu metodologi yang langsung mengadopsi logika al-Quran. Daya aktualitas
dan universalitas metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i tersebut, disatu sisi
memudahkan para ulama yang datang kemudian, namun di sisi lain membuat para
ulama modern enggan memaksimalkan pemikirannya, dan yang terjadi adalah
pengulangan ide-ide lama.
Dengan demikian setiap ulama yang akan menetapkan suatu hukum atas suatu
kejadian/fenomena, tentu mereka akan lebih dahulu menetapkan metode berpikir mana
yang akan dipilih dan diikuti. Dan bukan metodologi yang dikreasi sendiri, yang selalu
memiliki relevansi dan signifikansi terhadap tuntutan budayanya. Meskipun dari
berbagai sisi kita ketahui bahwa metode berpikir akan sangat menentukan hasil
keputusan akhir dari suatu hukum. Indikasi ini bisa kita lihat dari ragamnya para ulama
fiqh dalam memilih dan menerapkan metode berpikirnya, hingga berakhir pada
formulasi fiqh yang berbeda pula.
Sayang tidak banyak ulama kontemporer yang mampu memfungsikan orisinalitas
pemikirannya untuk melakukan istinbath hukum. Karena mayoritas di antara mereka
masih banyak yang merujuk metodologi Imam madzhab yang dipandang memiliki
otoritas keagamaan yang memadai. Sementara metodologi Imam madzhab dibuat
sesuai dengan situasi dan kondisi sosio kultural ketika itu. Tentu metodologi pemikiran
sepertinya kurang relevan dengan perkembangan budaya kekinian. Padahal upaya para
ahli fiqh dalam menggali hukum islam dari sumber-sumbernya tidak akan membuahkan
hasil yang memadai, bila menggunakan cara-cara yang kurang tepat.
Dalam pandangan Ali Hasbullah, ada dua cara pendekatan yang dikembangkan
oleh para ulama ushul fiqh dalam melakukan istinbath hukum, yaitu :
a) melalui pendekatan kaidah-kaidah kebahasaan (teks), dan
b) dengan pendekatan makna atau maksud syari’ah (konteks).
Cara-cara pendekatan seperti ini, dari satu aspek memiliki kekurangan karena
pendekatan sepertinya masih bersifat umum. Dan metodologi model apapun, selama
masih bersinggungan dengan teks bahasa (al-Qur’an dan al-Hadits), tidak akan bisa
lepas dari trend seperti di atas. Dengan kata lain trend metodologi di atas bukanlah
trend yang baru, tetapi trend yang sudah wajar, di mana sejak orang islam berkeinginan
menggali hukum juga melewati model seperti ini.
10. Berbeda dengan metodologi pemikiran hukum Imam Syafi’i yang muncul
beberapa abad yang lalu. Sebuah metodologi yang telah mengenalkan kaidah-kaidah
teoritik yang diilhami oleh logika al-Quran. Tentu metodologi sepertinya adalah
metodologi yang telah melalui proses panjang, antara lain pertanyaan Syafi’i
menyangkut esensi al-Quran. Apakah ia hanya makna semata atau makna yang
dibungkus dengan kata-kata. Bagi Syafi’i suatu pendekatan yang jarang dilakukan
adalah pendekatan yang terinci menyangkut penggunaan dalil dan pemaknaan atas
dalil. Jika para ulama berbeda dalam wilayah penggunaan dalil berikut berbeda atas
pemahaman dalil tersebut, maka formulasi fiqhnya pun juga akan jauh berbeda.
Baginya dua pokok pemikiran ini merupakan persoalan yang fundamental.
Istilah dalil yang digunakan Imam Syafi’i di atas agaknya identik dengan sumber
hukum. Kata sumber untuk hukum islam ini, merupakan terjemahan dari Arab, yaitu
mashadir, dimana kata tersebut hanya digunakan oleh sebagaian kecil para penulis
kontemporer dalam hukum islam, sebagai ganti dari sebutan al-‘Adillah al-Syari’iyah
dan tidak ditemukan adanya istilah mashadiru al-ahkam. Ini artinya kedua terma di atas
secara umum, memiliki makna konteks yang sama (dekat). Dengan demikian bisa
dikatakan bahwa pengguanaan dalil dan pemaknaan dalil sama artinya dengan
penggunaan sumber hukum dan pemaknaan atas sumber hukum. Disinilah para ulama
banyak menemukan perbedaan-perbedaan, mulai dari pembatasan sumber yang sah
untuk digunakan dalil dan yang tidak sah untuk digunakan dalil. Lebih-lebih
menyangkut pemaknaan atas dalil atau sumber hukum tersebut.
Inilah sebabnya Imam Syafi’i segera menaruh perhatian yang besar untuk
menyusun metodologi pemikirn hukum (ushul fiqh), hingga muncullah karya
monumentalnya yang berjudul al-Risalah. Sejak itu pula murid-murid dan pengikut
madzhabnya di kemudian hari tetap merujuk kepada kita al-Risalah tersebut.
1.6 Dasar-Dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Penggunaan Dalil
Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara’, dalam beberapa kitab ushul fiqh
selalu berkisar di seputar dalil-dalil syara’ yang disepakati dan dalil-dalil syara’ yang
diperselisihkan. Beberapa istilah populer dari dalil syara’ atau sumber hukum itu antara
lain adalah ‘adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati),
mashadiru al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (sumber-sumber hukum yang disepakati),
‘adillah al-ahkam al-mukhtalaf ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan),
mashadiru al-ahkam al-mukhtalaf alaiha (sumber-sumber hukum yang diperselisihkan).
11. Sedangkan dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama ahl al-
sunah ada empat, yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Sementara selebihnya
seperti istihsan, istishab, istishlah dan sebagainya, merupakan dalil/sumber yang
diperselisihkan oleh para ulama (Roibin, 2012).
Dalam buku Ushul Fiqih tahun 1993 yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqih Islam” karangan Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman,
dijelaskan bahwa kalangan Syafi’i mengklasifikasikan dalil menjadi dua, yaitu dalil
syara yang telah disepakati serta wajib diamalkan dan dalil syara yang masih
diperselisihkan. Dalil-dalil yang telah disepakati oleh mayoritas ahli ushul menurut
Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah al-Quran, Sunah, Ijma’, Qiyas dan
Istishhab. Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang dikelompokkan pada dalil
yang diperselisihkan dan tidak wajib diamalkan menurut al-Syafi’i, yaitu istihsan,
maslahah mursalah, ‘uruf, madzhab shahabi, dan syar’u man qablaha.
1.7 Dasar-dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Pemahaman Dalil
Dilihat dari blog milik Dr. H. Roibin, M.HI tahun 2012 yang berjudul “Sejarah
dan Metodologi Hukum Islam Imam Syafi’i”, dapat diketahui dan dipahami bagaimana
dasar-dasar pemikiran Imam Syafi’i dalam memahami dalil-dalil yang telah ada.
Pada prinsipnya Imam Syafi’i selalu menggunakan dalil nash dalam memahami
dan menetapkan hukum, baik secara langsung, yaitu al-Quran dan sunnah atau tak
langsung, yaitu dengan ijma’ dan qiyas. Menurut Imam Syafi’i kemampuan seseorang
tentang hukum syara’ tergantung kepada pemahamannya terhadap nash. Sementara itu
al-Quran dan sunnah, adalah teks yang menggunakan bahasa Arab, maka pemahaman
terhadap dalil hukum syara’ berarti pemahaman terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab
itu.
Pola pemikiran Imam Syafi’i di atas akhirnya berkesimpulan bahwa semakin
seseorang memahami bahasa Arab, maka semakin baik pula pemahamannya terhadap
dalil dan hukum yang terkandung dalam dalil itu. Dengan demikian mereka yang
sebahasa dengan Nabi adalah mereka yang mempunyai kemampuan terbaik dalam
memahami dalil.
a. Pemahaman terhadap Nash al-Quran
Dalam memahami al-Quran ini, Imam Syafi’i telah berusaha untuk memetakan
secara rinci menjadi beberapa kaidah, yaitu; kaidah umum, zhahir, mujmal, bayan
dan takhsis. Memperhatikan perincian ini, sepertinya wajar, jika Imam Syafi’i
12. mempersyaratkan dengan mutlak kepada mujtahid atas kemampuan berbahasa Arab.
Karena tanpa memiliki kemampuan itu, mustahil mereka akan mampu untuk
memilih, memilah dan mengkategorikannya ke dalam kaidah-kaidah umum, khusus,
zhahir, mujmal, bayan dan takhsis. Belum lagi ketika mereka dihadapkan pada
masalah-masalah teks yang gharib (aneh), pada sebagaian kata atau kalimat dalam
nash tersebut.
Seakan-akan hubungan pertalian antara “pemuatan seluruh fakta dalam a-
kitab” dengan “keluasan” bahasa Arab menjadikan upaya penafsiran dan
pemahaman al-Quran sebagi tugas berat yang tidak dapat dijalankan, kecuali oleh
orang-orang Arab. Sebab telah diduga bahwa orang-orang selain Arab, tidak akan
dapat mencapai tingkat seperti orang Arab dalam hal penguasaan bahasanya.
Karena kematangan Imam Syafi’i dalam penguasaan bahasa Arabnya, ia
akhirnya mampu menemukan lafadz-lafadz umum dalam al-Quran dalam berbagai
sighat dan bentuknya. Dan sebab bekal analisa kebahasaan yang ia miliki, ia mampu
menemukan maksud yang berbeda dari lafadz-lafadz umum itu.
Pertama; Pernyataan umum dengan maksud umum. Dengan kata lain kata-
kata umum yang tetap dalam kerangka makna yang umum, baik dalam struktur
maupun konteks. Kedua, ayat yang memiliki pernyataan umum yang bagian-
bagiannya di spesifikasikan (takhsis), namun tidak berarti menggugurkan
keumumannya. Dengan demikian ayat tersebut mengandung konotasi (dilalah)
khusus dan konotasi umum. Ketiga; Pernyataan umum tetapi mempunyai arti
khusus, yang tidak seperti bentuk eksplisitnya. Perlu dipahami bahwa ayat tersebut
hanya untuk maksud tertentu, masa tertentu, keadaan tertentu dan untuk lingkungan
tertentu. Keempat; Pernyataan umum dan dapat dipahami dari padanya maksud
umum dan maksud khusus. Ayat tersebut akan menggunakan kata-kata yang
semuanya dari lafadz umum. Namun jika diamati secara jeli ternyata di samping
yang berarti umum, ada pula yang berlaku secara khusus. Kelima; menurut Imam
Syafi’i, bahwa dalam al-Quran terdapat pernyataan umum yang secara spesifik telah
ditunjukkan oleh sunnah bahwa maksudnya adalah khusus.
b. Pemahaman terhadap Sunnah
Sunnah yang telah disampaikan Nabi kepada umatnya, pada prinsipnya dalah
sebagai pelengkap nash al-Quran. Namun ketika dilihat dari kedudukannya sebagai
bayan, maka sunnah dapat dipahami sebagai penjelasan. Sementara itu menurut
Imam Syafi’i bahwa pemahaman sunnah sebagai penjelasan juga masih memiliki
13. makna yang ganda. Pertama; penjelasan yang diberikan oleh Nabi hanya semata-
mata sebagai al-tashdiq (pembenar) atau al-ta’kid (penguat) terhadap apa yang
terdapat dalam al-Quran.
Dalam konteks seperti ini kehadiran sunnah bisa dikatakan tidak berarti
sebagai penjelas al-Quran, karena pada hakekatnya penjelasan al-Quran sudah
cukup. Dengan kata lain karena sunnah datang sesudahnya, maka yang demikian itu
menurut Imam Syafi’i isi dan maksudnya pun adalah dalam bentuk yang sama
dengan al-Quran.
Kedua; sunnah dipahami sebagai penjelasan al-Quran, yaitu dengan cara
membatasi maksud penggunaan kata atau ungkapan dalam al-Quran. Keadaan
seperti ini bisa dilihat misalnya ketika bentuk lahir/teks al-Quran in dianggap
memiliki maksud tertentu, sementara sunnah menetapkan lain. Dimana posisi
sunnah terhadap ayat di atas disebut “takhsis”. Giliran berikutnya, datanglah sunnah
dengan kesan membawa pesan yang berseberangan dengan ayat di atas. Sunnah
yang datang kemudian, yang berbeda hukumnya dengan apa yang dimaksud dalam
al-Quran, tidak berarti ia bertentangan dengan al-Quran itu sendiri. Dengan kata lain
pemahaman seperti ini tanpa disadari mampu menepis suatu anggapan berlakunya
hukum nasakh dan mansukh antara al-Quran dan sunnah. Padahal sunnah dalam
keadaannya seperti ini, tidak lebih hanya semata berfungsi sebagai penjelasan
terhadap al-Quran.
Lebih jauh, Imam Syafi’i mengatakan bahwa sunnah dalam hubungannya
dengan sunnah yang lain juga telah terlihat bentuk dan perannya. Pertama; sunnah
menjelaskan suatu larangan terhadap suatu perbuatan dalam suatu riwayat. Dalam
riwayat yang lain ditemukan pula larangan tersebut dalam bentuk yang berbeda
tetapi dalam hukum yang sama. Dalam hal ini Imam Syafi’i telah memahami secara
logis bahwa sunnah yang datang kemudian hanya sekedar menegaskan terhadap
penjelasan sunnah yang datang sebelumnya.
Kedua; sunnah selalu datang secara bergantian, sedangkan sunnah yang datang
kemudian, maka keadaannya akan lebih terang dari sebelumnya. Hal ini bisa kita
lihat dalam sebuah hadits yang berkenaan dengan hukum jual beli. Ketiga;
penjelasan maksud suatu hadits telah ditemukan dalam hadits lain, dimana arti dan
fungsi hadits dalam konteks seperti ini adalah menjelaskan hadits lain. Hal ini bisa
kita lihat dalam sebuah hadits yang berkaitan langsung dengan hukum meminang
14. seorang perempuan yang sudah dipinang. Keempat; menurut Imam Syafi’i ada dua
hadits yang secara lahir nampak bertentangan namun sebenarnya adalah tidak.
Berangkat dari kenyataan atas mungkinnya diambil penyelesaian sunnah yang
sangat kompleks ini, maka Imam Syafi’i akhirnya sampai pada suatu kesimpulan
bahwa sebenarnya tidak ada pertentangan di antara hadits-hadits. Menurutnya hadits
yang selalu dianggap bertentangan oleh sebagian orang, karena mereka tidak
memahami situasi dimana hadits itu digunakan. Di sisi yang lain karena adanya
ketidaktahuan orang-orang mengenai hadits-hadits tertentu yang hanya semata
menjelaskan hadits yang lain.
c. Pemahaman Imam Syafi’i terhadap Naskh
Dari aspek bahasa, naskh memiliki beberapa arti, antara lain meniadakan,
menghapuskan, membatalkan dan menggantikan. Sementara yang lain kadang
diartikan mencabut, mengangkat dan masih banyak lagi arti di luar itu, yaitu
menunda.
Dalam arti istilah juga banyak sekali yang telah ditemukan oleh ulama ushul,
yang masing-masing memiliki titik lemah yang dikritik oleh pihak lain. Namun
demikian definisi yang dianggap terpilih oleh ulama syafi’iyah ialah “kitab syari’
yang mencegah berlakunya hukum yang ditetapkan dengan kitab syar’i yang
terdahulu”.
Imam Syafi’i sendiri telah mengakui berlakunya naskh dalam syari’at islam.
Alasannya karena adanya dalil yang jelas di dalam al-Quran, misalnya surat al-
Baqarah ayat 106 yang maksudnya “Apa-apa yang kami naskhkan dari ayat-ayat,
kami akan berikan yang lebih baik dari padanya atau yang semisalnya”. Demikian
juga surat al-Nahl ayat 101 yang mengatakan “Apabila kami gantikan satu ayat di
tempat suatu ayat, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang diturunkan”.
Pandangan Imam Syafi’i tentang naskh tersebut tidak cukup hanya sekedar
mengakui berlakunya pemikiran naskh, lebih jauh dari itu ia juga telah memberikan
penjelasan tentang apa yang melatarbelakangi timbulnya pemikiran tentang naskh.
Allah telah menurunkan al-Quran kepada manusia untuk memberikan penjelasan
kepada sesuatu, menjadi petunjuk dan rahmat bagi umat. Pertimbangan yang lain
karena Allah dalam al-Quran telah menetapkan kewajiban-kewajiban, dimana
sebagian telah dinyatakan berlakunya, sementara sebagian yang lain dinaskhkannya
atau memberi kelapangan baginya sebagai tambahan nikmat dari apa yang telah
15. diberikan pertama dulu. Allah pun juga memberikan ganjaran atas kemauan mereka
untuk menghentikan apa-apa yang pernah ditetapkan.
Masih menurutnya, bahwa berlakunya naskh dalam ajaran islam, adalah
karena semata-mata kehendak Allah dan sama sekali tidak terdorong oleh kemauan
manusia atau oleh keadaan lainnya. Pandangan ini diperoleh setelah ia memahami isi
dari surat al-Ra’du ayat 39 yang maksudnya, “Allah menghapuskan apa-apa yang ia
kehendaki dan ia pula yang menetapkannya”. Bila dikatakan bahwa ayat al-Quran
bisa menaskhkan ayat al-Quran yang lain, maka persoalan yang sama juga terjadi
dan berlaku antara sesama sunnah. Dengan demikian al-Quran tidak akan mungkin
dinaskh oleh sunnah Nabi.
1.8 Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam
tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya yang dijelaskan dalam buku karangan
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey pada tahun 1997 yang berjudul “Pengantar
Hukum Islam” adalah sebagai berikut :
1) Dhahir-dhahir Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang
dimaksud bukan dhahirnya.
2) Sunnatur Rasul
As-Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh
ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain
daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau menyamakan
Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
3) Ijma’
Menurut pahamnya ialah : “tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang
dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian paham
segala ulama tidak mungkin.
4) Qiyas
Beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah. Metodologi ijtihad Imam Syafi’i
tidak ada yang menggunakan logika kecuali terbatas pada Qiyas saja.
5) Istdlal
As-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqh ulama Iraq dan
beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan
hujjahnya.
16. 1.9 Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Di dalam buku DR. Jaih Mubarok pada tahun 2000 yang berjudul “Sejarah dan
Perkembangan Hukum Islam”, Ahmad Amin menjelaskan bahwa ulama membagi
pendapat as-Syafi’i menjadi dua : qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah
pendapat as-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Irak. Sedangkan qaul jadid adalah
pendapat imam as-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H, Imam Syafi’i
tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, ia belajar kepada ulama Irak
dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahlu ra’yi. Di antara ulama
Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya
adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, as-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian
tinggal di sana. Di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang
pada umumnya sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penurus fiqih ulama Madinah
yang dikenal sebagai ahli hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam as-Syafi’i
mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian,
qaul qadim adalah pendapat imam as-syafi’i yang bercorak ra’yu. Sedangkan qaul jadid
adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena imam Syafi’i
mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan ulama mesir yang
tergolong ahlu hadits. Para ahli berkesimpulan bahwa munculnya qaul jadid merupakan
dampak dari perkembangan baru yang dialami oleh imam Syafi’i dari penemuan hadits,
pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia tinggal di Irak dan di
Hijaz. Dan diantara pendapat qaul jadid ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah tertib wudhu. Qaul qadim mengatakan orang yang
wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa
orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun karena lupa adalah tidak sah. Contoh lain
dalam masalah tayamum. Qaul qadim mengatakan bahwa seseorang diperbolehkan
tayamum dengan pasir. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan tayamum dengan pasir.
17. 1.10 Karya-Karya dari Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki karya tulis yang banyak sekali, di antaranya yang paling
terkenal adalah:
1. Kitab Al-Umm
Kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi ke dalam 40
bab lebih. Al-hafizh ibnu hajar berkata : Jumlah kitab (masalah) dalam kitab al-
umm lebih dari 140 bab-wallahu a’lam. Dimlai dari kitab at-thaharah (maslah
bersuci) kemudian kitab (as-shalah) masalah shalat. Begitu seterusnya yang beliau
susun berdasarkan bab-bab fiqih. Kitabnya yang diringkas oleh al-muzani yang
kemudian dicetak bersama al-umm. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa
kitab ini bukanlah pena dari imam asy-syafi’i, melainkan karangan al-buwaiti yang
disusun oleh ar-rabi’in bin sulaiman al-muradi.
Bersama dengan kitab al-umm, dicetak pula kitab-kitab lainnya, yaitu :
a. Kitab jima’ul ‘ilmi sebagai pembela terhadap as-sunah dan pengamalannya.
b. Kitab ibthaalul istihsan, sebagai sanggahan terhadap para fuqaha (ahli fiqih) dari
mazhab hanafi
c. Kitab perbedaan antara imam malik dan imam syafi’i
d. Kitab ar-radd ‘alaa muhammad bi hasan (bantahan terhadap muhammad bin
hasan)
2. Kitab Al-Risalah Al-Jadidah
Kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar
yang sudah di-tahqiq (diteliti) oleh Ahmad Syakir, yang diambil dari riwayat Ar-
Eabi’in bin Sulaiman dari Imam Asy-Syafi’i. Di dalam kitab ini Imam Syafi’i
berbicara tentang al-quran dan penjelasannya, beliau mengemukakan bahwa
banyak dalil mengenai keharusan berhujjah dan berargumentasi dengan as-sunah.
Beliau juga mengupas masalah nasikh dan mansukh dalam al-quran dan as-sunah,
menguraikan tentang ‘ilal (‘illat/cacat) yang terdapat pada bagian hadist dan alasan
dari keharusan mengambil hadist ahad sebagai hujjah dan dasar hukum, serta apa
yang boleh diperselisihkan dan tidak boleh diperselisihkan di dalamnya.
3. Kitab Al-Musnad
4. Kitab As-Sunanar-Radd 'ala AlBaraahimiyah
5. Kitab Mihnatusy Imam Asy-Syafi’i.
6. Ahkamul Al-Qur’an
18. KESIMPULAN
Imam Syafi’i adalah salah satu dari 4 imam madzhab yang telah menciptakan
mahakarya di dunia Islam. Beliau adalah imam yang memiliki karakteristik akhlak yang
mulia dan memiliki kecerdasan luar biasa. Beliau merupakan orang yang menentukan ushul
fiqh sebagai disiplin dasar hukum islam yang sering digunakan sampai sekarang. Beliau
dikenal sebagai seorang pemikir hukum islam yang menggabungkan Al-Qur’an dan sunnah
dengan pendapat para sahabat nabi yang telah disepakati. Selain itu, beliau juga
menggunakan Ijma’ dan Qiyas untuk menentukan dasar-dasar hukum islam yang telah ada.
Beliau menerjemahkan/menafsirkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Nabi SAW yang telah ada
menggunakan keempat dasar hukum tersebut yang kemudian didapatkan artian/terjemahan
yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat banyak. Ilmu hukum islam tersebut terkenal
dengan nama Mazhab Syafi’i serta ar-Risalah yang sering digunakan oleh para muslim di
Indonesia. Hal ini dikarenakan Mazhab Syafi’i lebih tertumpu kepada elastisitas dan
keakuratan dalil dan logika yang menjadi acuannya sehingga dapat berkembang sampai kini.
19. DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajuddin. 1972. Sejarah Madzhab Syafi’i cetakan II.
Al-Fayyumi, Muhammad Ibrahim. 2009. Imam Syafi’i Pelopor Fikih dan Sastra. Jakarta :
Erlangga.
Al-Jamal, Syaikh Muhammad. 2003. Biografi 10 Imam Besar. Indonesia : Pustaka Al-
Kautsar.
Ash-Shiddiqiey, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang : PT.
Pustaka Rizki Putra.
Chalil, Munawwar. 1995. Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab. Jakarta : Bulan
Bintang.
Karim, Abdul. 2013. Pola Pemikiran Imam Syafi’i dalam Menetapkan Hukum Islam.
Makassar. file:///C:/Users/WINDOWS%208/Downloads/269-518-1-PB.pdf
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Mulia A., Sandy. 2015. Biografi Singkat Imam Syafi’i. Yogyakarta : Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta. http://arhdan19.blogspot.co.id/2016/01/makalah-biografi-
imam-syafii.html
Oktafiani, Khoirunisa. 2014. Biografi Singkat Imam Syafi’i : Kisah Perjuangan dan
Pelajaran Hidup Sang Mujtahid. Jakarta.
https://www.scribd.com/doc/210666914/Makalah-Biografi-Imam-Syafi-i-1
Roibin. 2012. Sejarah dan Metodologi Pemikiran Hukum Islam Imam Syafi’i. Malang.
http://syariah.uin-malang.ac.id/index.php/komunitas/blog-fakultas/entry/sejarah-dan-
metodologi-pemikiran-hukum-islam-imam-syafi-i
Suwaidan, Tariq. 2011. Biografi Imam Syafi’i : Kisah Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang
Mujtahid. Indonesia : Zaman.
Tahido Yanggo, Huzaemah. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta.
Yahya, Mukhtar, dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam
Cetakan 3. Bandung.