Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan Hukum (PDPI)
1. 1
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Pendekatan
Hukum
Oleh:
Early Ridho Kismawadi
NIM 11 EKNI 2364
Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. H. Nur Ahmad Fadhil Lubis, MA
Dr. H. Azhari Akmal Tarigan, M,Ag
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2012 M/1433 H
2. 2
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................................... i
Daftar Isi.....................................................................................................................ii
A. Pendekatan Dalam Pengkajian Islam ................................................................. 1
Pendekatan normative...................................................................... 4
1. Pendekatan Missionaris Tradisional ............................................ 4
2. Pendekatan Apologetik ................................................................ 4
3. Pendekatan Irenic ........................................................................ 5
Pendekatan deskriptif ...................................................................... 7
1. Pendekatan filologis dan sejarah ................................................. 7
2. Pendekatan ilmu-ilmu social ....................................................... 8
3. Pendekatan fenomenologis .......................................................... 9
B. Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Dengan Pendekatan Hukum .................... 11
C. Pengertian Istilah Kunci ...................................................................................... 13
D. Mazhab Hukum Utama dan Pendekatan Mereka Terhadap Kajian Hukum ........ 16
E. Disiplin-disiplin Utama Studi Hukum dan Cabang-cabangnya ........................... 21
F. Contoh Penlitian Yang Relevan ........................................................................... 23
3. 3
A.Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
Berbicara tentang persoalan Islam dikaitkan dengan tradisi, terdapat dua hal
penting yang perlu dipikir ulang (rethought) menurut Charles J. Adams, yaitu Islam
dan agama1. Dua hal itu merupakan kata kunci yang menjadi kegelisahan akademik
Adams sehingga ia berkeinginan menggagas sebuah formulasi pendekatan studi Islam
yang tepat dalam mengkaji persoalan Islam, agama, dan tradisi.
Persoalan yang pertama, Islam, berkenaan dengan betapa sulitnya membuat
garis pemisah yang jelas antara mana wilayah yang Islami dan yang tidak.Banyak
orang yang masih takut membuat penjelasan atau jawaban ketika ditanya tentang
Islam, apalagi jika jawaban itu berbeda dan kontradiktif dari persepsi yang selama ini
telah terbangun.Padahal, menurut Adams, mustahil menjelaskan dan menemukan
pemahaman esensi Islam yang dapat mencapai kesepakatan universal2.
Dalam konteks ini, maka selain Islam harus dipahami–dalam perspektif
sejarah–sebagai sesuatu yang selalu berubah (change) dan berkembang (evolve),
generasi Muslim harus mampu pula merespon kenyataan dunia (vision of reality) dan
makna kehidupan manusia (meaning of human life)3.Dengan demikian Islam
bukanlah sesuatu yang satu. Islam tidak hanya sistem kepercayaan dan ibadah, tetapi
multisistem dalam historisitas yang selalu berubah dan berkembang(Thus Islam
cannot be one thing but rather is many systems, not a system of beliefs and practices,
etc., but many systems(or non systems) in a never ceasing flux of development and
changing relations to evolving historical situations)4. Hal ini selaras dengan pendapat
1
Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.) The Study of
The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Science (Canada: John
Wiley and Sonc, Inc, 1976), hlm. 29.
2
Ibid , 31.
3
Ibid, 31.
4
Ibid, 31.
4. 4
M. Amin Abdullah yang menyatakan bahwa dalam diskursus keagamaan
kontemporer telah dijelaskan bahwa agama mempunyai banyak wajah (multifaces),
bukan lagi berwajah tunggal.Agama tidak lagi dipahami sebagai hal yang semata-
mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, credo, pandangan hidup, dan
ultimate concern.Selain sifat konvensionalnya, tenyata agama juga terkait erat dengan
dengan persoalan-persoalan historis-kultural yang merupakan keniscayaan manusiawi
belaka5.
Sedangkan, menyangkut persoalan kedua, agama, Adams–mengutip dari W.C.
Smith–mengungkapkan bahwa terdapat persoalan yang sangat rumit ketika ada yang
memahami agama (Islam) sebagai tradisi (tradition) dan sebagai kepercayaan (faith)
an sich6 Agar lebih sederhana, penulis mengilustrasikan dalam tabel berikut:
| Tradition | Faith
| External | Internal |
| Observe social | Ineffable (tak terkatakan)
| Historical aspect | Transendentally oriented
of religiousnes | Private dimension of religious life
Dua pemahaman yang berbeda di atas, sama-sama berdiri kokoh. Di satu sisi,
aliran tradisi menghendaki pendekataan agama dilakukan dalam frame yang bersifat
eksternalistik, sosial, dan historis, pada sisi yang lain, aliran faith menghendaki agar
agama dimaknai dari sisi yang berkarakter internalistik, innefable, transenden, dan
berdimensi privat.
5
Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multireligius” dalam
Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman (Yogyakarta: SUKA-
Press, 2003), hlm. 4
6
Ibid 33.
5. 5
Agar dapat mencerna dan memahami dua model pemahaman agama yang
saling bertolak belakang tersebut, Adams terdorong melakukan penelitian dalam
konteks studi Islam.Bagaimanapun juga, menurutnya, agama memiliki dua sisi yang
tak terpisahkan, pengalaman batiniah (inward experience) dan sikap keberagamaan
lahiriah (outward behavior).Begitu juga, para mahasiswa Islamic studies harus
mampu mencurahkan segala kemampuannya dalam mengeksplorasi keduanya.
Selain itu, persoalan agama yang tersisa, menurut Adams, adalah terlalu
banyaknya definisi tentang agama. Kendati seseorang dapat menemukan pemahaman
terhadap agama–dalam pengertian umum–yang dapat memuaskannya, tetapi masih
terdapat pertanyaan yang harus dijawab, misalnya, dalam konteks agama apa
seseorang dapat menemukan pemahaman yang utuh terhadap agama, Islamkah atau
yang lain? Atau taruhlah keberagamaan seseorang dapat dilihat dari keyakinan
terhadap doktrin agama, pelaksanaan ibadah, moral yang baik, partisipasinya dalam
kehidupan sosial, pertanyaan kemudian adalah apakah beberapa hal itu mencukupi
untuk memahami agama? Bukankah masih ada hal lain di balik itu semua, seperti
pengalaman keagamaan yang bersifat individual dan gnostic yang tidak dapat
terukur?7
Charles J. Adams membuat formulasi mengenai pendekatan dalam pengkajian
Islam.Menurutnya, terdapat dua pola pendekatan untuk mengkaji Islam, yaitu
pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif.
Tentu saja, dua pendekatan ini tidak muncul seketika.Adams menjelaskan
bahwa dua pendekatan ini terilhami oleh realitas ketika seseorang mengkaji Islam
(atau agama lainnya) dengan tujuan agar lebih kokoh keislaman dan kepercayaannya
(proselytizing) pada satu sisi, dan pada sisi yang lain, ada yang didasarkan atas
7
Ibid 32- 33.
6. 6
dorongan intelektual (intellectual curiosity) semata karena melihat adanya persoalan
agama yang cukup kompleks dalam konteks sosial8.
Penjelasan lebih detail dan komprehensif tentang dua pendekatan di atas,
dapat dilihat pada uraian berikut ini.
Pendekatan normatif. Pendekatan ini, oleh Adams diklasifikasi menjadi tiga bagian,
yaitu:
1. Pendekatan missionaris tradisional
Pada abad 19, terjadi gerakan misionaris besar-besaran yang dilakukan oleh
gereja-gereja, aliran, dan sekte dalam Kristen.Gerakan ini menyertai dan sejalan
dengan pertumbuhan kehidupan politik, ekonomi, dan militer di Eropa yang sangat
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di Asia dan Afrika. Sebagai konsekuensi
logis dari gerakan itu, banyak misionaris dari kalangan Kristen yang pergi ke Asia
dan Afrika mengikuti kolonial (penjajah) untuk merubah suatu komunitas masyarakat
agar masuk agama Kristen serta meyakinkan masyarakat akan pentingnya peradaban
Barat.
Dalam konteks itu–karena adanya relasi yang kuat antara Islam dan
missionaris Kristen–, maka Charles J. Adams berpendapat bahwa studi Islam di Barat
dapat dilakukan dengan memanfaatkan missionaris tradisional itu sebagai alat
pendekatan yang efektif. Dan inilah yang kemudian disebut dengan pendekatan
missionaris tradisional (traditional missionaris approach) dalam studi Islam.
2. Pendekatan apologetik
Di antara ciri utama pemikiran Muslim pada abad kedua puluh satu adalah
“keasyikannya” (preoccupation) dengan pendekatan apologetik dalam studi
agama.Dorongan untuk menggunakan pendekatan apologetik dalam khazanah
8
Ibid 32-33
7. 7
pemikiran keislaman semakin kuat.Di sebagian wilayah dunia Islam, seperti di India,
cukup sulit ditemukan penulis yang tidak menggunakan pendekatan
apologetik.Perkembangan pendekatan apologetik ini dapat dimaknai sebagai respon
mentalitas umat Islam terhadap kondisi umat Islam secara umum ketika dihadapkan
pada kenyataan modernitas.Selain itu, apologetik ini muncul didasari oleh kesadaran
seorang yang ingin keluar dari kebobrokan internal dalam komunitasnya dan dari
jerat penjajahan peradaban Barat.
Menurut Adams, pendekatan apologetik memberikan kontribusi yang positif
dan cukup berarti terhadap generasi Islam dalam banyak hal. Sumbangsih yang
terpenting adalah menjadikan generasi Islam kembali percaya diri dengan identitas
keislamannya dan bangga terhadap warisan klasik.Dalam konteks pendekatan studi
Islam, pendekatan apologetik mencoba menghadirkan Islam dalam bentuk yang baik.
Sayangnya, pendekatan ini terkadang jatuh dalam kesalahan yang meniadakan unsur
ilmu pengetahuan sama sekali.
Secara teoritis, pendekatan apologetik dapat dimaknai dalam tiga hal.Pertama,
metode yang berusaha mempertahankan dan membenarkan kedudukan doktrinal
melawan para pengecamnya.Kedua, dalam teologi, usaha membenarkan secara
rasional asal muasal ilahi dari iman.Ketiga, apologetik dapat diartikan sebagai salah
satu cabang teologi yang mempertahankan dan membenarkan dogma dengan
argumen yang masuk akal.Ada yang mengatakan bahwa apologetika mempunyai
kekurangan internal.Karena, di satu pihak, apologetik menekankan rasio, sementara
di pihak lain, menyatakan dogma-dogma agama yang pokok dan tidak dapat
ditangkap oleh rasio. Dengan kata lain, apologetik, rasional dalam bentuk, tetapi
irasional dalam isi.
3. Pendekatan Irenic
Yang ketiga ini ada semacam usaha untuk membuat jembatan antara cara
pandang para orientalis terdahulu yang penuh dengan motivasi negatif dan para
8. 8
pengikut Islam yang merasa hasil kajian para orientalis tersebut banyak mengandung
penyimpangan.
Sejak Perang Dunia II, gerakan yang berakar dari lingkungan kegamaan dan
universitas tumbuh di Barat. Gerakan itu bertujuan untuk memberikan apresiasi yang
baik terhadap keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap apresiatif
itu.Langkah ini dilakukan untuk menghilangkan prasangka, perlawanan, dan hinaan
yang dilakukan oleh barat, khususnya Kristen Barat, terhadap Islam.Oleh karena itu,
langkah praktis yang dilakukan adalah membangun dialog antara umat Islam dengan
kaum Kristen untuk membangun jembatan penghubung yang saling menguntungkan
antara tradisi kegamaan dan bangsa.
Salah satu bentuk dari usaha untuk harmonisasi itu adalah melalui pendekatan
irenic.Usaha ini pernah dilakukan oleh uskup Kenneth Gragg, seorang yang mumpuni
dalam kajian Arab dan teologi. Melalui beberapa seri tulisannya yang cukup elegan
dan dengan gaya bahsa yang puitis, ia telah cukup berhasil menunjukkan kepada
Barat secara umum dan kaum Kristen secara khusus tentang adanya keindahan dan
nilai religius yang menjiwai tradisi Islam. Karenanya, menjadi tugas bagi kaum
Kristen untuk bersikap terbuka terhadap kenyataan ini.
Berkenaan dengan realitas perbedaan agama, Smith membuat tiga model pertanyaan,
yaitu:
1. Pertanyaan ilmiah (scientific question) untuk menanyakan apa bentuk
perbedaan, mengapa, dan bagaimana perbedaan itu dapat terjadi.
2. Pertanyaan teologis (theological question) untuk mengetahui bagaimana
seseorang dapat memahami normativitas agama dan ketiga, pertanyaan moral
(moral question) yang mengetahui sikap seseorang terhadap perbedaan
kepercayaan.
9. 9
Pendekatan deskriptif. Dalam pendekatan yang bersifat deskriptif, Adams
membagi ke dalam tiga komponen, yaitu:
1. Pendekatan filologis dan sejarah
Adams mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri pengetahuan yang
paling produktif dalam studi Islam adalah filologis dan historis.Lebih dari 100 tahun
sarjana Islam dibekali dengan dasar bahasa dan mendapat training metode filologis
yang dapat mengantarkan kepada pemahaman teks sebagai bagian dari warisan
klasik.
Hasil dari studi dengan pendekatan filologis, menurut Adams, adalah sebuah
sumber pustaka (literatur) yang dapat menyentuh semua aspek kehidupan dan
kesalihan umat Islam.Tidak hanya menjadi rujukan pengetahun Barat tentang Islam
dan sejarahnya, filologis juga memainkan peranan penting di dunia Islam.Outcome
dari pendekatan filologis dan historis ini sebagian besar telah dimanfaatkan oleh para
intelektual, politisi, dan sebagainya.Selain itu, filologi harus turut andil dalam studi
Islam.Hal terpenting yang dimiliki oleh mahasiswa Muslim adalah kekayaan literatur
klasik seperti sejarah, teologi, dan mistisisme.yang kesemuanya tidak mungkin
dipahami tanpa bantuan filologi.
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi
dalam tiga pendekatan, yaitu tafsir, content analysis, dan hermeneutika.Ketiga
pendekatan tersebut tidak terpisah secara ekstrim. Pendekatan-pendekatan itu bisa
over lapping, saling melengkapi, atau bahkan dalam sudut tertentu sama.Filologi
berguna untuk meneliti bahasa, meneliti kajian linguistik, makna kata-kata dan
ungkapan terhadap karya sastra.
Sedangkan sejarah atau historis merupakan ilmu yang di dalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.Melalui pendekatan sejarah seseorang
10. 10
diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari
keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang
terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Kendati Adams menyebut pendekatan ini dengan filologis historis, tampaknya
ia lebih cenderung kepada yang pertama, karena porsi penjelasan tentang filologis
lebih besar dari pada historis. Bisa jadi, karena hubungan antara kedua pendekatan itu
sangat erat sehingga bagi Adams berbicara filologis termasuk di dalamnya
pendekatan historis.
2. Pendekatan ilmu-ilmu sosial
Sangat sulit untuk mendefinisikan apa yang disebut dengan “pendekatan ilmu
sosial” terhadap studi agama terutama semenjak terdapat banyak pendapat di
kalangan ilmuwan tentang alam dan validitas studi yang mereka gunakan.
Dalam wilayah studi agama, usaha yang ditempuh oleh pakar ilmu sosial
adalah memahami agama secara objektif dan peranannya dalam kehidupan
masyarakat. Tujuannya agar dapat menemukan aspek empirik dari keberagamaan
berdasarkan keyakinan bahwa dengan membongkar sisi empirik dari agama itu akan
membawa seseorang kepada agama yang lebih sesuai dengan realitasnya, profan
(membumi).Walaupun ilmu ini juga mempunyai kekurangan, yaitu melakukan
reduksi pemahaman seseorang terhadap agama.
Salah satu ciri dari ilmu sosial ini adalah kecenderungannnya untuk
melakukan studi tentang manusia dengan cara membagi dan memetakan aktivitas
masyarakat ke dalam beberapa kategori.
Dalam diskursus penelitian agama di Indonesia, Mukti Ali misalnya
menyatakan bahwa Islamisis dan atau agamawan lebih cenderung untuk mempelajari
ilmu sosial. Hal ini disebabkan karena: pertama, salah satu ciri pemikiran ahli agama
adalah spekulasi teoritis. Menurut mereka pemikiran spekulasi teoritis itu ternyata
11. 11
tidak dapat memecahkan masalah.Kedua, mereka menyadari bahwa usaha memahami
masyarakat religius harus juga didekati dengan metode empiris, dengan demikian
ilmu sosial menjadi perlu.Ketiga, dalam kasus tertentu, pendekatan secara deduktif
seringkali menimbulkan “kekecewaan”.Untuk hal ini, maka selain pendekatan secara
deduktif, pendekatan secara induktif harus dikembangkan, yaitu mengajukan berabagi
macam fakta sebagai bukti kebenaran yang umum.Dalam konteks ini, mutlak
diperlukan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan sosial9.
Menurut Atho‟ Mudzhar, agama merupakan gejala sosial dan budaya.
Cakupan objek studi agama (Islam) dalam perspektif sosiologis, menurutnya, dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa tema kajian, yaitu (1) pengaruh agama terhadap
masyarakat, (2) pengaruh struktur dan perubahan masyarakat terhadap pemahaman
ajaran agama atau konsep keagamaan, (3) tingkat pengamalan beragama masyarakat,
(4) pola interaksi sosial masyarakat muslim, dan (5) gerakan masyarakat yang
membawa paham yang dapat melemahkan atau menunjang kehidupan beragama10.
3. Pendekatan fenomenologis
Terdapat dua hal penting yang mencirikan pendekatan fenomenologi agama.
Pertama, fenomenologi adalah metode untuk memahami agama sesorang yang
termasuk di dalamnya usaha sebagian sarjana dalam mengkaji pilihan dan komitmen
mereka secara netral sebagai persiapan untuk melakukan rekonstruksi pengalaman
orang lain. Kedua, konstruksi skema taksonomik untuk mengklasifikasi fenomena
dibenturkan dengan batas-batas budaya dan kelompok religius. Secara umum,
pendekatan ini hanya menangkap sisi pengalaman keagamaan dan kesamaan reaksi
keberagamaan semua manusia secara sama, tanpa memperhatikan dimensi ruang dan
waktu dan perbedaan budaya masyarakat.
9
Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama:
Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
10
Mudzhar, M. Atho‟, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004.
12. 12
Arah dari pendekatan fenomenologi adalah memberikan penjelasan makna
secara jelas tentang apa yang yang disebut dengan ritual dan uapacara keagamaan,
doktrin, reaksi sosial terhdap pelaku “drama” keagamaan. Sebagai sebuah ilmu yang
relatif kebenarannya, pendekatan ini tidak dapat berjalan sendiri. Secara operasioonal,
ia membutuhkan perangkat lain, misalnya sejarah, filologi, arkeologi, studi literatur,
psikologi, sosiologi, antropologi, dan sebagainya.
Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani pahainomenon yang secara
harfiah berarti “gejala” atau “apa ayng telah menampakkan diri” sehingga nyata bagi
kita. Metode ini dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938).Dalam operasionalnya,
fenomenologi agama menerapkan metodologi ilmiah dalam meneliti fakta religius
yang bersifat subyektif seperti pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, ide-ide, emosi,
maksud, pengalaman, dan sebagainya dari seseorang yang diungkapkan dalam
tindakan luar.
Pendekatan fenomenologi berusaha memperoleh gambaran yang lebih utuh
dan lebih fundamental tentang fenomena keberagamaan manusia.Pendekatan
fenomenologi berupaya untuk mencari esensi keberagamaan manusia.Usaha
pendekatan fenomenologi agaknya mengarah ke arah balik, yakni untuk
mengembalikan studi agama yang bersifat historis-empiris ke pangkalannya agar
tidak terlalu jauh melampaui batas-batas kewenangannya.
Untuk memahami Islam dan agama terkait dengan tradisi, ternyata tidak
cukup dengan hanya menjelaskan dua pendekatan di atas.Agar komprehensif dan
sistematis, penjelasan Admas juga disertai dengan pemaparan tentang objek kajian
agama.Oleh karena itu, setelah menjelaskan pendekatan-pendekatan yang dapat
digunakan dalam studi Islam tersebut, Adams juga memetakan wilayah kajian studi
Islam. Adams mengelompokkan studi Islam menjadi:
13. 13
(1) Arabia pra-Islamic (pre-Islamic Arabia)
(2) Kajian tentang Rasul (studies of the Prophet)
(3) Kajian al-Qur'an (Qur‟anic studies)
(4) Hadits (prophetic tradition)
(5) Hukum Islam (Islamic law)
(6) Filsafat (falsafah)
(7) Tasawuf (tasawwuf)
(8) Aliran dalam Islam (the Islamic sects)
(9) Ibadah (worship and devotional life)
(10) Agama Rakyat (popular religion).
B. Pendekatan Dalam Pengkajian Islam Dengan Pendekatan Hukum
Pendekatan dalam pengkajian Islam maksudnya pendekatan dalam memahami
keislaman dalam berbagai disiplin Ilmu, baik dari segi politik, sosial, budaya,
ekonomi dsb. Pendekatan yang dominan dalam islam adalah pendekatan dalam
bidang Fikh dan pendekatan tekstual. Karena setiap perilaku seorang muslim selalu
saja berhububgan dengan fiqih. Akan tetapi tidak menutup kemungkainan pendekatan
yang dominan adalah pendekatan kontekstual.
Dalam pendekatan pengkajian Islam ini, kita kan memandang Islam bukan
hanya dalam satu aspek saja, tapi dalam berbagai aspek, Dan disini tentu kita sebagai
pemikir Islam kita harus mendaya gunakan akal kita agar sesuai dengan koridor Islam
tentunya, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan-penyimpang dalam konsep
hukum dan pelaksanaan ajaran Islam. Dan kalau hal ini kita abaikan maka yang akan
terjadi adalah penyimpangan dalam berpikir yang hanya mengikuti hawa nafsu saja
tanpa memikirkannya dari sudut hukum yang benar sesuai denga Al Qur'an dan
Assunnah.
14. 14
Dalam pembicaraan tentang hukum Islam yang terdapat dalam literature
bahasa Arab adalah "Fiqih" dan "Syari'at" atau "hukum syara'".Para ahli hukum Islam
mendefinisikan fiqih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara' yang
bersifat operasional (amaliyah) yang dihasilkan dari dalil-dalil yang
terperinci.Syari'at atau hukum syara' adalah seperangkat aturan dasar tentang tingkah
laku manusia yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan langsung oleh Allah dan
Rasul-Nya.
Dari definisi di atas istilah "hukum Islam" didefinisikan seperangkat aturan
berdasarkan wahyu Allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui
berlaku dan mengikat untuk semua orang yang terbebani hukum.
Mengingat hukum Allah yang dititahkan melalui wahyu hanya bersifat aturan
dasar dan umum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan operasional, sehingga dapat
dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.Untuk maksud ini, diperlukan usaha
optimal penggalian dan perumusan praktis yang disebut ijtihad. Langkah ini harus
dilakukan, karena titah (khithab) Allah yang bernilai hukum dalam Al-Qur'an
jumlahnya sangat terbatas, padahal persoalan yang harus diselesaikan sangat banyak,
yaitu semua dimensi kehidupan dengan berbagai persoalannya dan persiapan
hidupnya di akhirat kelak.
Seseorang mujtahid dalam memahami dan menggali titah Allah dan
penjelasan Nabi melalui hadisnya, disamping berpedoman pada kaidah kebahasaan
juga selalu memperhatikan kemaslahatan umat di mana hukum itu diberlakukan,
sehingga hukum betul-betulmenjadi hidup di tengah-tengah masyarakat. Kondisi
masyarakat dan yang menjadi keyakinannya, tidak sama antara satu tempat dengan
tempat lain, antara satu masa dengan masa berikutnya.
15. 15
C. Pengertian Istilah Kunci
1. Syari‟ah
Secara harfiah kata syari‟ah berasal dari kata syara‟a – yasy‟rau – syariatan
yang berarti jalan keluar tempat air untuk minum11. Pengertian lainya yang
dikemukakan dalam kitab Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafi‟i, secara
bahasa Syari‟ah adalah jalan lurus. Syariah dalam arti istilah adalah hukum-hukum
dan aturan-aturan yang disampaikan Allah kepada hamba-hambanya12, dengan
demikian syariah dalam pengertian ini adalah wahyu Allah, baik dalam pengertian
wahyu al-Matluww (Al-Qur‟an), maupun al-Wahyu gair matluw (Sunnah).
Syariah dalam literatur hukum Islam ada tiga pengertian :
1. Syari‟ah dalam arti sebagai hukum yang dapat berubah sepanjang masa.
2. Syari‟ah dalam arti sebagai hukum Islam baik yang tidak dapat berubah
sepanjang masa maupun yang dapat berubah.
3. Syari‟ah dalam pengertian hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang
disebut Istinbat ) dari Al–Qur‟an dan Sunnah13.
2. Fiqih
Fiqih secara bahasa berarti fahm yang bermakna mengetahui sesuatu dan
memahaminya dengan baik. Menurut pengertian isthilahnya Abu Hanifah
memberikan pengertian (Ma‟rifatu nafsi ma laha wa ma alaiha) mengetahui sesuatu
padanya dan apa apa yang bersamanya yaitu mengetahui sesuatu dengan dalil yang
ada. Pengertian yang Abu Hanifah kemukakan ini umum yang mencakup keseluruh
11
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughat, (Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.), h. 383.
12
Lajnah Marasiah, Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafii (Kairo:Maktabu Risalah
Wathabi‟iayah, 2000), h. 2.
13
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: LPPM Universitas Bandung,1995), h.10.
16. 16
aspek seperti Aqidah dengan wajibnya beriman atau Akhlak dan juga Tasawuf14.
Pengertian fiqh secara istilah yang paling terkenal adalah pengertian fiqh menurut
Imam Syafi‟i yaitu pengetahuan tentang syari‟ah ; pengetahuan tentang hukum-
hukum perbuatan mukallaf berdasarkan dalil yang terperinci.
Berdasarkan dengan perkembangan hukum Islam ke berbagai belahan Dunia,
term fiqh berkembang hingga digunakan untuk nama-nama bagi sekelompok hukum-
hukum yang bersipat praktis.Dalam peraturan perundang-undangan Islam dan sistem
hukum Islam kata fiqh ini diartikan dengan hukum yang dibentuk berdasarkan
syariah, yaitu hukum-hukum yang penggaliannya memerlukan renungan yang
mendalam, pemahaman atau pengetahuan dan juga Ijtihad15.Dalam kajian studi
Hukum Islam ini arti fiqh yang dimaksudkan adalah arti fiqh dalam pengertian yang
diberikan oleh Imam Syafi‟i yang lebih mengkhususkan artian fiqh kepada aturan-
aturan mengenai perbuatan mukallaf.
3. Usul al-Fiqh
Usul Fiqh terdiri dari dua kata usul jamak dari asl yang berarti dasar atau
sesuatu yang dengannya dapat dibina atau dibentuk sesuatu, dan kata fiqh yang
berarti pemahaman yang mendalam. Menurut Istilah, Pengertian usul fiqh adalah
ilmu tentang kaedah kaedah dan pembahasan yang mengantarkan kepada lahirnya
hukum-hukum syariah yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-alil yang
terperinci16. Dengan demikian usul al-fiqh adalah ilmu tyang digunakan untuk
memperoleh pemahaman tentang maksud syariah. Dengan kata lain usul al-fiqh
adalah sistem (metodologi) dari ilmu fiqh.
4. Mazhab
14
Wahbah Zuhaili, Al- Fiqh al-Islam wa-Adillatuhu, jld I (Damaskus: Darul Fikri,1997) h.29.
15
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: LPPM Universitas Bandung,1995), h.10
16
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Usul al-Fiqh ,cet XII (Kuwait: An-Nasir,1978), h.738.
17. 17
Pengertian mazhab secara bahasa berarti “tempat untuk pergi” yaitu jalan,
sedangkan pengertian mazhab secara istilah adalah: pendapat seorang tokoh fiqh
tentang hukum dalam masalah ijtihadiyah17. Secara lebih lengkap mazhab adalah:
faham atau aliran hukum dalam Islam yang terbentuk berdasarkan ijtihad seorang
mujtahid dalam usahanya memahami dan menggali hukum-hukum dari sumber Islam
yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah18.
5. Fatwa
Fatwa artinya petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan
hukum.Dalam istilah fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang
mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus
yang sifatnya tidak mengikat.
Pihak yang meminta fatwa bisa pribadi atau lembaga maupun kelompok
masyarakat.Fatwa yang dikemukakan mujtahid tersebut tidak bersifat mengikat atau
mesti diikuti oleh si peminta fatwa dan oleh karenanya fatwa ini tidak mempunyai
daya ikat.Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh disebut dengan Mufti,
sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut mustafti19.
6. Qaul
Kata Qaul secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja Qala-
Yaqulu.Kata Qaul dapat bermakna kata yang tersusun lisan, baik sempurna maupun
tidak.kiranya secara simpel Qaul dapat diartikan sebagai ujaran, ucapan, perkataan.
Dalam istilah fiqh kata Qaul dinisbatkan kepada imam atau pemimpin suatu mazhab
atau ulama fiqh yaitu berupa perkataan maupun ucapan daripada imam fiqh
17
Wahbah Zuhaili, h. 29
18
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ananda Utama, 1997), h.875
19
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997),
h.326
18. 18
tersebut.Istilah ini juga dikenal dalam fiqh Imam Syafi‟i, yaitu Qaul Qadim dengan
Jadid.Qaul Qadim adalah pendapat beliau ketika berada di Irak, sedangakan Qaul
Jadid adalah pendapat beliau ketika berada di Mesir20.
D. Mazhab Hukum Utama dan Pendekatan Mereka Terhadap Kajian Hukum
Al-Mazahib (aliran-aliran)dan arti secara sastranya adalah “jalan untuk pergi”.
Dalam karya-karya tentang agama Islam, istilah mazahab erat kaitannya dengan
hukum Islam adapun mazhab hukum yang terkenal sampai saat ini ada 4 mazhab
yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hanbali. Ini adalah hanya beberapa mazhab
yang ada dalam Islam dan mereka bukanlah hukum sunni yang refresentatif karna
sejak dari abad pertama sampai kepada permulaan abad keempat tidak kurang dari 19
mazhab hukum atau lebih dalam Islam yang dalam arti kata muslim terdahulu tidak
henti hentinya untuk menyesuaikan hukum dengan peradaban yang berkembang16.
Timbulnya mazhab-mazhab ini disebabkan oleh beberapa faktor yang oleh Ali
As-Sais dan Muhammad Syaltut mengemukakanya :
a. Perbedaan dalam memahami tentang lafaz Nash
b. Perbedaan dalam memahami Hadist
c. Perbedaan dalam memahami kaidah lughawiyah Nash
d. Perbedaan tentang Qiyas
e. Perbedaan tentang penggunaan dali-dalil hukum
f. Perbedaan tentang mentarjih dalil-dalil yang berlawanan
g. Pebedaan dalam pemahaman Illat hukum
h. Perbedaan dalam masalah Nasakh21.
20
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1997),
h.326.
21
M. Ali As-Sais dan Mahmud Syaltut, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, terj.
Ismuha (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h.16-18
19. 19
Berbagai kemungkinan yang menjadi penyebab timbulnya selain yang
dikemukakan di atas, lahirnya mazhab juga terjadi karena perbedaan lingkungan
tempat tinggal mereka, para fuqaha‟ terus mengembangkan istinbath hukum yang
mereka gunakan secara individu dari berbagai persoalan hukum yang mereka hadapi
dan metode yang mereka gunakan terus melembaga dan terus di ikuti oleh para
pengikutnya yaitu para murid-murid mereka.
Mazhab hukum yang terkenal dan pendekatannya terhadap kajian hukum
Sebagaimana telah disinggung, bahwa lahirnya berbagai mazhab yang ada
dilatar belakangi oleh faktor yang pada dasarnya perbedaan tersebut dikarenakan
perbedaan metodologi dalam melahirkan hukum. Perbedaan ini melahirkan mazhab
yang berkembang luas di berbagai wilayah Islam sampai saat ini diantaranya adalah
mazhab dari golongan Syi‟ah dan dari golongan Sunni:
a) Imam Ja‟far
Nama lengkapnya Ja‟far bin Muhammad al- Baqir bin Ali Zainal- Abidin bin
Husain bin Ali bin Abi Thalib. Beliau adalah ulama besar dalam banyak bidang ilmu
Filsafat, Tasawuf, Fiqih, dan juga ilmu kedokteran.
Fiqh Ja;fari adalah fiqih dalam mazhab Syi‟ah pada zamannya karena sebelum
dan pada masa Ja‟far Ash-Shadiq tidak ada perselisihan. Perselisihan itu muncul
sesudah masanya. Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil kepastian hukun
adalah: Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, „Aqal (Ra‟yu)22. Pengikutnya banyak di Iran dam
negara sekitarnya, Turki, Syiria, dan Afrika Barat.Mazhab ini diikuti juga oleh ummat
Islam negara lainnya meskipun jumlahnya tidak banyak.
22
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja‟fary, (Muhadharat ad-Dirasah
al-Arabiyah al-„Aliyah, 1995) h.28.
20. 20
b) Mazhab Hanafi
Mazhab ini dihubungkan dengan Imam Abu Hanifah, ia di kenal sebagai
pendiri mazhab hanafi. Nama lengkapnya adalah Nukman bin Tsabit bin Zuthyi
keturunan parsi yang cerdas dan punya kepribadian yang kuat serta berbuat, didukung
oleh faktor lingkungan sehingga dalam mengantar beliau menuju jenjang karier yang
sukses dalam bidang ilmiyah. Dasar istinbat yang beliau pakai dalam mengambil
kepastian hukum fiqih adalah: Al-Qur‟an, Sunnah, Ijma‟, Qawlu Shahaby, Qiyas,
Istihsan, „Uruf.
Pola fiqih Abu Hanifah adalah:
a. Kelapangan dan kelonggaran dalam pengalaman ibadah
b. Dalam memberi keputusan dan fatwa, lebih memperhatikan kepentingan
golongan miskin dan orang lemah
c. Menghormati hak kebebasan seseorang sebagai manusia
d. Fiqh Abu Hanifah diwarnai dengan masalah fardhiyah (Perkara yang diada-
adakan). Banyak kejadian atau perkara yang belum terjadi, tetapi telah
difikirkan dan telah ditetapkan hukumnya.
Adapun diantara murid-murid Abu Hanifah yang berperan sangat penting dalam
penyebaran mazhab Abu Hanifah maraka adalah:
1. Abu Yusuf dialah orang pertama menyusun kitab mazhab Hanafi dan
memyebarkannya sebagai dalil dari Dasar istinbat imam Malik.Dasar istinbat fiqh
Imam Malik adalah Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Masalihul Mursalah, „Uruf, Qaulu
Shahabi. Adapum pola fiqh Imam Malik meliputi:
a. Ushul fiqh Imam Malik lebih luwes, lafadz „Am atau Muthlaq dalam nash Al-
Qur‟an dan Sunnah
b. Fiqhnya lebih banyak didasarkan pada Maslahah
21. 21
c. Fatwa Sahabat dan keputusan-keputusan pada masa sahabat, mewarnai
penjabaran pengembangan hukum Imam Malik.
Diantara beberapa murid-murid Imam Malik yang mengembangkan ajarannya adalah:
Abdullah bin Wahab, Abdul Rahman bin Kosim, Asyhab bin Abdul Aziz, Abdur-
rahman bin Hakam, Ashbaga bin Al-faraz al Umawi23.
d). Mazhab Syafi‟i
Mazhab ini dibentuk oleh Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin
al-Saib bin Abdu-Yazid bin Hasim. Dan kemudian, dia dipopulerkan dengan nama
imam Syafi‟i. Ia merupakan seorang muntaqil ras Arab asli dari keturunan Quraiys
dan berjumpa nasab dengan Rasullulah pada Abdu Al-Manaf. Adapun sumber
istinbat beliau mengenai hukum fiqih adalah: Al-Qur‟an, As-Sunnah, Ijma‟,
Perkataan Sahabat, Qias, Istishab24.banyakkarya-karya iam Syafi‟idalam
memeberikan keterangan kajian fiqh menurut imam Syafi‟i diantaranya : kitab ar-
Risalah. al-Um, serta banyaknya pengikut mazhab ini sampai sekarang. Pola pikir
imam Syafi‟i:
1. Ciri khas yang dapat dipetik dari fiqih Syafi;i ialah polanya mengawinkan
antara cara yang ditempuh Imam Malik dengan Imam Hanafi.
2. Pembatasan hukum dibatasi pada urusan atau kejadian yang benar-benar
terjadi.
3. Terdapat banyak perbedaan antara pendapat Syafi‟i sendiri, antara Qaul
Qodim ( paendaptnya sewakyu di Irak ) dengan Qaul Jadid ( pendapatnya
sewaktu di Mesir ). Sahabat-sahabatnya yang menyebarkan mazhab ini
antaranya Ahmad Ibnu Hambal, Al Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah
Az-Zakfani, Abu Ali al Husein bin Ali Qarabisy, Yusuf bin Yahyah Al
23
Ibid h. 83.
24
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: Raja Grafindo Persada 1996),
h.151
22. 22
Buaithy, Abu Ibrahim Ismail Yahya al Muzani dan Ar-Rabik bin Sulaiman al
Murady.
e). Mazhab Hanbali
Imam Ahmad adalah tokoh dari mazhab ini beliau bernama Ahmad bin
Muhammad bin Hambal bin Hilal. Beliau berpegang teguh pada ayat Al-Quran
dipahami secara lahir dan secara mafhum adapun dasar istinbat mengenai hukum
fiqih adalah Al-Qur‟an, Sunnah, Fatwa sahabat, Qiyas. Adapun pola fikir imam
Hanbal adalah:
1. al-Nushush dari al-Qur‟an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalan
alqur,an maka Ia mengambil makna yang tersurat, makna yang tersirat sia
abaikan.
2. Apabila tidak ada ketentuan dalam al-Qur‟an dan Sunnah maka ia mengambil
atau menukilfatwasahabatyang disepakati dari sahabat sebelumya.
3. Apabla fatwa sahabat berbeda-beda maka ia mengambil fatwa sahabat yang
paling dekat dengan dalil yang ada dalam al-Qur‟an dan Sunnah.
4. Beiau menggunakan hadist mursal dan hadist dha‟if apabila tidak ada
ketentuan sahabat, atsar, ataupun ijmak yang menyalahinya.
5. Apabila hadist mursal dan dhaif tidak ada maka ia menggunakan metode
Qiyas dalam keadaan terpaksa25.
6. Langkah terakhir adalah menggunakan Sadd al-Dzar‟i
7. Beliau tidak memiliki karya yang dia buat sendiri hanya saja para muridnya
mengembangkan ajarannya dan membuat karya –karya tentang istinbat
hukum yang beliau lakukan, salah satu contoh dari kitab mazhab ini adalah
sahabat al-Jamik al-Kabir karya Ahmad bin Muhammad bin Harun. Adapun
tokoh yang menyebarkan ajarannya adalah Ahmad bin Muhammad bin Harun,
25
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosyda Karya,
2000) h.118
23. 23
Ahmad bin Muhammad ibn Hajjaj al Maruzi, Ishak bin Ibrahim, Shalih ibn
Hanbal, „Abdul Malik ibn „Abdul Hamid ibn Mahran al-Maumuni26
E. Disiplin-disiplin Utama Studi Hukum dan Cabang-cabangnya
Disisplin Hukum adalah sistem ajaran mengenai kenyataan atau gejala gejala
hukum yang ada dan hidup di tengah pergaulan. Menghadapi kenyataan yang terjadi
dalam pergaulan hidup yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan dalam
menghadapi kenyataan tertentu.
Berbicara disiplin hukum, maka ruang lingkup utamanya tiga yaitu:
1. Ilmu Hukum adalah Ilmu tentang hukum yang paling umum, sebagai aturan
yang paling luas dan konsep yang paling penting. Ilmu hukum ini bisa di defenisikan
sebagai ilmu kaidah yang menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah
dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum.
Pohon Ilmu Hukum
Ilmu Hukum
Filsafat Hukum Sosiologi hukum sosiological yurisprudence
Politik Hukum Perbandingan hukum
Psikologi hukum Antropologi Hukum
2. Filsafat Hukum
Adalah Ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum, yang isinya dasar dasar
kekuatan yang mengikat dari hukum atau perenungan dan perumusan nilai-nilai,
termasuk penyesuain nilai-nilai
26
Ibid, h.116.
24. 24
3. Politik Hukum
Adalah disiplin hukum tang mengkhususkan diri pada usaha memerankan
hukum dalam mencapai tujuan yang di cita-citakan oleh masyarakat tertentu atau
kegiatan-kegiatan mencari dan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai tersebut bagi
hukum dalam mencapai tujuannya27.
Adapun disiplin utama studi hukum dalam hukum Islam tidak lepas dari
beberapa kajian yaitu: Disiplin utama Syari‟ah, Tarekh Tasyri‟, Ushul fiqh, fiqh
selanjutnya akan berkembang menjadi cabang cabang kajian studi hukum lain seperti:
Ilmu Fiqh ( Fiqh Siyasah, Muamalat, Jinayah, Munakahat dan sebagainya)
selanjutnya ada juga kajian Qawaid Fiqhiyah dan Ushuliyah, fatwa, Qanun, Qadha‟
dan lain nya.
4. Psikologi hukum
Merupakan cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena
kebutuhan dan tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali
kebutuhan bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan
di muka sidang pengadilan.
Psikologi hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai suatu perwujudan dari perkembangan jiwa manusia. Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang perilaku manusia (human behaviour) maka dalam kaitannya
dengan studi hukum, ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencermin-an
perilaku manusia. Suatu kenyataan bahwa salah satu yang menonjol pada hukum,
terutama pada hukum modern adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk
mencapai tujuan--tujuan yang dikehendaki.Dengan demikian sadar atau tidak, hukum
27
Soedjono Dirjo Sisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2000),h.46.
25. 25
telah memasuki bidang psikologi, terutama psikologi sosial28.Sebagai contoh hukum
pidana misalnya merupakan bidang hukum yang berkait rapat dengan psikologi,
seperti tentang paksaan psikologis, peranan sanksi pidana terhadap kriminalitas dan
lain-lain sebagainya yang menunjukkan hubung-an antara hukum dengan psikologi.
5. Sosiologi hukum
Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu hukum
yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi hukum
di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai hukum
yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang
biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif.Lain halnya dengan
pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan
mencatat hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha
untuk menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi
sebagai subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan
hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak
dan efektivitas hukum, kultur hukum.
F. Contoh Penelitian yang Relevan
1. Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Mandailing
Godang29(Studi pada Mandailing Godang Kabupaten Madina)
Bahwa pelaksanaan hukum waris pada masyarakat Mandailing Godang belum
sepenuhnya berdasarkan hukum waris Islam.Dimana dalam menentukan objek harta
warisan pada umumya masih membedakan harta pusaka dan harta pencaharian
sedangkan menurut hukum waris Islam objek harta warisan adalah 12 (setengah) dari
harta pencaharian dan harta pusaka.Pada umumnya bagian para ahli waris masih
28
Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2002), h. 317.
29
Farida Hanum, Tesis, e-USU Repository, Universitas Sumatera Utara (2004)
26. 26
berdasarkan hukum adat.Kalaupun ada bagian ahli waris berdasarkan hukum waris
Islam, ayah danIbu belum termasuk ahli waris utama.Cara pembagian harta warisan
pada umumnya langsung melaksanakan musyawarah.Pada hal seharusnya ditentukan
lebih dahulu bagian masing-masing ahli waris sehingga masing-masing memahami
bagiannya.Setelah masing-masing memahami bagiannya baru dilaksanakan
tsaluh.Hambatan pelaksanaan hukum waris Islam ada beberapa faktor; pertama faktor
adat yaitu masih berpegang pada hukum warisan adat dan kedua kurangnya sosialiasi
oleh pemuka adat tentang hukum warisan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Sedangkan cara penyelesaian jika terjadi sengketa yaitu dengan cara pertama; cara
musyawarah adat, tetapi tidak bersifat final dan kedua ke Pengadilan Agama .
2. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Dalam Perjanjian Kerja Dengan
Sistem Outsourcing di Indonesia30
Terdapat persamaan dan perbedaan mengenai pengaturan upah dan pekerja
perempuan dalam Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Persamaan mengenai pengaturan upah dalam Hukum Islam dan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 dapat dilihat dari pengertian upah, bentuk
upah dan keharusan untuk mengatur tentang upah di dalam perjanjian kerja. Tidak
banyak perbedaan mengenai upah di antara Hukum Islam dengan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003. Salah satu perbedaan yang didapat adalah mengenai
penetapan upah, dimana dalam Hukum Islam digunakan prinsip adil dan layak,
sedangkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 hanya menggunakan prinsip
kebutuhan hidup layak. Mengenai pekerja perempuan dibandingkan mengenai alasan-
alasan perempuan boleh bekerja, pekerjaan-pekerjaan yang dilarang untuk
perempuan, mengenai prinsip non-diskriminasi dalam bekerja, serta mengenai hak-
hak pekerja perempuan dan perlindungan bagi mereka menurut Hukum Islam dan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Upah dalam
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal
88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, sedangkan pengaturan mengenai pekerja
perempuan diatur dalam Pasal 76. Mengenai upah dan pekerja perempuan diatur
dalam Hukum Islam tersebar-sebar dalam AlQur‟an dan Hadist.
30
Ade Irma Tesis, e-USU Repository, Universitas Sumatera Utara.
27. 27
3. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah (KHES) dalam Tinjauan Hukum
31
Islam
Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari‟ah (KHES) yang dikordinir
oleh Mahkamah Agung (MA) RI belakangan ini merupakan respon terhadap
perkembangan baru dalam kajian dan praktek hukum muamalat (ekonomi Islam) di
Indonesia. Praktik hukum muamalat secara institusional di Indonesia itu sudah
dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1990,
kemudian disusul oleh lembaga keuangan syari‟ah (LKS) lainnya setelah melihat
prospek dan ketangguhan LKS seperti BMI ketika melewati krisis ekonomi nasional
sekitar tahun 1998. Belakangan, perkembangan
LKS tersebut semakin pesat yang tentu akan menggambarkan banyaknya
praktek hukum muamalat di kalangan umat Islam.
Banyaknya praktek hukum tersebut juga sarat dengan berbagai permasalahan
yang muncul akibat dari tarik menarik antar kepentingan para pihak dalam persoalan
ekonomi, sementara untuk saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur secara khusus terhadap permasalahan itu.Sejak tahun 1994, jika ada
sengketa ekonomi syariah maka diselesaikan lewat Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) yang hanya sebagai mediator (penengah) dan belum mengikat secara
hukum.Peraturan yang diterapkan juga masih terbatas pada peraturan Bank Indonesia
(BI) yang merujuk kepada fatwa-fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN-MUI).Sedangkan fatwa itu, sebagaimana dimaklumi dalam hukum
Islam, adalah pendapat hukum yang tidak mengikat seluruh umat Islam.Sama halnya
dengan fikih.
Upaya positifisasi hukum perdata Islam seperti ini juga pernah dilakukan juga
oleh Pemerintahan Turki Usmani dalam meberlakukan Kitab Hukum Perdata Islam
Majalah al-Ahkam a‟-‟Adliyyah yang terdiri dari 1851 pasal.1
Disamping itu, ”positifisasi” hukum perdata Islam tersebut merupakan
realisasi impian sebagian umat Islam sejak zaman dulu yang pada masa pemerintahan
Hindia Belanda masih diterapkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)
yang notebene adalah terjemahan dari Borgelijk Wetbook (BW) ciptaan Kolonial
Belanda.
Diakui, untuk saat ini positifisasi hukum muamalat sudah menjadi
keniscayaan bagi umat Islam, mengingat praktek ekonomi syari‟ah sudah semakin
semarak melalui LKS-LKS.Kompilasi tersebut kemudian dijadikan acuan dalam
31
Abdul mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (Khes) Dalam Tinjauan Hukum Islam,
Program Pascasarjana Uin Sunan Kalijaga. Al-mawarid edisi xviii tahun (2008)
28. 28
penyelesaian perkara-perkara ekonomi syari‟ah yang semakin hari semakin
bertambah, seiring dengan perkembangan LKS. Adapun lembaga peradilan yang
berkompetensi dalam penerapan KHES adalah Peradilan Agama (PA), karena secara
materiil, KHES adalah hukum Islam, sebagaimana wewenang PA dalam pelaksanaan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebelumnya melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991.
4. Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan Tunisia32
Diskriminasi, marginalisasi dan subordinasi hak kaum perempuan di
lingkungan setiap komunitas peradaban manusia berlangsung tanpa ada perubahan
yang berarti hingga awal abad ke-20, namun sejak saat itu sejumlah ikhtiar untuk
memodifikasi hukum status personal dilakukan di berbagai wilayah.
Sebelum awal abad ke-20, negara membiarkan kontrol terhadap kaum
perempuan dan keluarga berada di tangan kelompok-kelompok keluarga patriarkhal.
Berbeda dengan tindakan yang sangat intervensionis dalam hukum perdata,
komersial, dan pidana Islam, negara menolak usaha yang beresiko tinggi, yakni
mencampuri peraturan-peraturan status personal, inti terdalam dari identitas muslim
(maskulin). Kontrol patriarkhal terhadap prilaku kaum perempuan dan unit keluarga
adalah hal pokok bagi konstruksi identitas ini Namun, pada akhirnya, keengganan
Negara mulai meluntur, paling tidak karena tekanan yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok prempuan di bawah kepemimpinan perempuan-perempuan terkemuka
seperti Mesir dan seluruh kesultanan „Utsmaniyyah.
Seiring dengan derasnya arus modernisasi yan terutama dimulai awal abad XX yang
dibarengi dengan adanya usaha reformasi huku keluarga di dunia Islam, maka secara
bertahap perempuan mulai mendapatkan hak-haknya baik hak domestik maupun
publik.
Terlepas dari perdebatan apakah proses reformasi itu merupakan implikasi
dari gejolak internal maupun desakan eksternal, tetapi reformasi Undang-undang
Keluarga muslim termsuk Syiria dan Tunisia telah mengalami kemajuan. Secara
substansial kebijakan negara terhadap perempuan jauh lebih baik jika dibandingkan
dengan substansi bangunan fiqih klasik.Dengan demikian usaha interpretasi dan
transformasi huku keluarga yang selaras dengan kebutuhan masyarakat yang menjadi
habitatnya mutlak diperlukan.Bukankah produk fiqih-fiqih klasik merupakan hasil
dialektika antara ulama dengan tuntutan zamannya? Munculnya qaul qadim dan qaul
jaded dari ualama sekaliber Imam Syafi‟i merupakan indikasi kuat bahwaa hukum
Islam dibentuk dan membentuk masyarakat.
Terakhir terkait dengan usaha reformasi nasib kaum perempuan (istri) di
Indonesia sudah waktunya dipikirkan konsep hukum perkawinan yang berkeadilan
gender.Usaha ini tidak cukup hanya dengan slogan dan symbol-simbol kesetaraan,
tetapi mencakup dataran substansi perundang-undangan yang ada.
32
Masnun Tahir IAIN Mataram, Hak-hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syiria dan
Tunisia, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta., Al-Mawarid Edisi XVIII Tahun (2008).
29. 29
5. Tinjauan Yuridis Terhadap Praktek Pembuatan Perjanjian Kawin Di Kota
Bandung33
Perkawinan yang dilangsungkan antara seorang pria dan wanita akan
melahirkan akibat hukum tertentu dalam kehidupan rumah tangganya. Salah satu
akibat hukum dari perkawinan tersebut adalah pengaturan mengenai harta kekayaan
suami isteri baik yang berasal sebelum maupun selama perkawinan berlangsung.
Dalam kaitannya dengan harta kekayaan suami isteri, calon suami isteri yang akan
melangsungkan perkawinan dapat melakukan pengaturan harta kekayaannya tersebut
melalui perjanjian kawin.
Walaupun sebagian besar, masyarakat Indonesia, menganggap perjanjian
kawin yang dibuat oleh calon sami isteri merupakan sesuatu hal yang tabu, namun
dalam perkembangannya lembaga ini semakin banyak dipakai oleh calon suami isteri
yang akan melangsungkan perkawinan. Pada dasarnya pengaturan mengenai harta
kekayaan suami istri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37.
Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 137 sampai dengan Pasal 145 KUH Perdata.
Namun demikian baik dalam UUP maupun dalam PP No. 9 tahun 1975 tidak
mengatur secara spesifik mengenai harta kekayaan perkawinan, hal ini berbeda
dengan ketentuan di KUH Perdata yang mengatur harta kekayaan perkawinan.
Dalam tesis ini ada tiga hal diungkap oleh peneliti yaitu, mengenai dasar
pertimbangan calon suami isteri membuat perjanjian kawin,ketentuan hukum yang
dipakai dalam pembuatan perjanjian kawin serta isi dari perjanjian kawin. Penelitian
ini dilakukan di Kota Bandung, dengan metode pendekatan yuridis empiris.Metode
pendekatan ini digunakan untuk mengetahui penerapan ketentuan hukum dalam
Undang-Undang Perkawinan dan KUH Perdata dalam kaitannya dengan praktek
pembuatan perjanjian kawin di Kota Bandung.Dari hasil penelitian, diketahui bahwa
alasan yang diajukan oleh calon suami isteri pada saat membuat perjanjian kawin
adalah alasan yang bersifat individualistik, adanya pergeseran sistem nilai serta
pandangan suami dan isteri terhadap harta kekayaan perkawinan. Sementara itu
ketentuan yang dipakai sebagai landasan hukum dalam pembuatan perjanjian kawin
untuk WNI asli/ pribumi adalah UUP sedangkan untuk WNI Keturunan/ Tionghoa
mengacu pada KUH Perdata, keduanya menggunakan Peraturan Pelaksana yang lama
dalam KUH Perdata. Di sisi lain isi perjanjian kawin yang dibuat dalam praktek di
33
Hj.Dwi Ratna, Thesis, Tinjauan Yuridis Terhadap Praktek Pembuatan Perjanjian Kawin
Di Kota Bandung., Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (2005).
30. 30
Kota Bandung adalah mengenai pemisahan harta kekayaan, sedangkan materi lain
diluar harta kekayaan perkawinan jarang terjadi.
6. Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim Mengenai Perkara Perceraian Akibat
Murtad Studi Kasus Putusan Perkara Nomor 370/Pdt.G/2002/Pa.Jp Pengadilan
Agama Jakarta Pusat34
Tujuan perkawinan adalah untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin,
perkawinan dapat putus karena alasan murtad, hal tersebut dapat menimbulkan
masalah dalam rumah tangga hingga akhirnya dapat diputuskan untuk mengajukan
perceraian ke Pengadilan. Murtad adalah perbuatan dimana seorang muslim keluar
dari agamanya menjadi non muslim, murtad merupakan hal yang paling prinsipil
dalam kehidupan beragama dan berumah tangga, adanya pebuatan murtad dalam
suatu hubungan perkawinan banyak di temui di Indonesia dan menjadi fenomena
yang dijadikan alasan untuk dapat memutus suatu perkara sebagai alasan perceraian.
Bagaimana pertimbangan hukum dan putusan oleh hakim Pengadilan Agama perkara
nomor 370/Pdt.G/2002/PA.JP dalam memutus perkawinan atas alasan murtad apakah
sudah sesuai dengan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, karena
kedua masalah tersebut saling berkaitan, untuk itulah kedua masalah tersebut akan
dibahas dalam penelitian ini. Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan
metode pendekatan yaitu yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian yaitu
deskriftif. Adapun metode pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakanan
dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan, serta meneliti bahan pustaka
yang merupakan data sekunder yang berhubungan dengan judul dan pokok
permasalahan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa alasan perceraian akibat murtad dapat
digunakan untuk mengajukan permohonan bercerai di Pengadilan Agama, ketentuan
Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa peralihan agama
/murtad yang menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga. Dalam
pertimbangan hukumnya dan keputusannya hakim akan menilai apakah hal tersebut
menjadi masalah berdasarkan dengan bukti-bukti, saksi-saksi serta keyakinan hakim
mengenai keadaan perkawinan tersebut yang diselesaikan atau putusan peceraian.
Putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 370/Pdt.G/2002/P.A.JP telah
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974
mengenai putusan perkara serta akibatnya jo Pasal dalam Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975. Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan
hidup rukun sebagai suami istri. Hakim menjadikan penjelasan Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9
34
Aditama, Masters Thesis, Analisis Yuridis Terhadap Putusan Hakim Mengenai Perkara
Perceraian Akibat Murtad ( Studi Kasus Putusan Perkara Nomor 370/Pdt.G/2002/Pa.Jp Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (2008).
31. 31
Tahun 1975 sebagai salah satu alasan perceraian yaitu : ”antara suami istri terus
menerus terjadi peselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga”.
Daftar Pustaka
________, “Pendekatan Sosiologi dalam Studi Hukum Islam” dalam Amin
Abdullah dkkk., Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
________, “Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multireligius” dalam Ahmad Baidowi, dkk (Ed.), Rekonstruksi
Metodologi Ilmu-Ilmu Keislaman, Yogyakarta: SUKA-Press, 2003.
________, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002.
Abdullah, M. Amin, “Relevansi Studi Agama-Agama dalam Milenium
Ketiga” dalam Amin Abdullah dkk., Mencari Islam (Studi Islam dengan Berbagai
Pendekatan), Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
Adams, Charles J., “Islamic Religious Tradition” dalam Leonard Binder (Ed.)
The Study of The Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the
Social Science, Canada: John Wiley and Sonc, Inc, 1976.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2000.
Hasbi AR, Perbandingan Mazhab Suatu Pengantar, Medan: Naspar Djaja
1985
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM Universitas
Bandung, 1995.
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughat, Beirut: Dar al-Masyriq, t.th.
Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: Remaja
Rosyda Karya, 2000.
32. 32
Mudzhar, M. Atho‟, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Muhammad Abu Zahrah, Muhadarat fil Ushul al-Fiqh al-Ja‟fary, Muhadharat
ad-Dirasah al-Arabiyah al-„Aliyah, 1995
MuhammadSaleh,StudiHukumIslam,http://mrlungs.wordpress.com/2010/08/0
7/ studi-hukum-islam/ (7 Agustus 2010)
Mukti Ali, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi,
Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1982.
Nasution, Khoiruddin, “Pembidangan Ilmu dalam Studi Islam dan
Kemungkinan Pendekatannya” dalam Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam
dalam Era Multikultural, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000.
Said Ramadan.Islamic Law its Scope and Equity. Jakarta:Gaya Media
Pratama, 1996.
Soedjono Dirjo Sisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000
Wahbah Zuhaili, Al- Fiqh al-Islam wa-Adillatuhu, jld I, Damaskus: Darul
Fikri,1997