SlideShare a Scribd company logo
1 of 132
Download to read offline
Bunyi MerdekaSejarah Sosial dan Tinjauan Musikologi
Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Dirdho Adithyo
dan
I Gusti Agung Anom Astika
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Direktorat Kesenian
2017
Bunyi Merdeka
Edisi Pertama, ebook, Juli 2017, 122 hlm, 14,8 x 21 cm
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Direktorat Kesenian
Komp. Kemdikbud Gedung E Lt. 9 Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, 10270,
021 5725578 – 021 5725035 - 021 5725572
Penanggung Jawab
Direktur Jenderal Kebudayaan
Hilmar Farid
Pengarah
Direktur Kesenian
Restu Gunawan
Panitia Pelaksana
Edi Irawan
Ibnu Sutowo
Farida Berliana S.
Oktavia Yulliea Susanto
Penulis
Dirdho Adithyo & I Gusti Agung Anom Astika
Editor
M. Fauzi
Penata Letak dan Perancang Sampul
Alit Ambara
Daftar Isi
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan	 vii
I Overture	1
1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda	 1
1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya	26
1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi	 32
II Musik Sebelum Indonesia Raya	39
2.1. Etude Syailendra	 41
2.2. Musik Barat di Hindia Belanda	 51
2.3. Musik Modern, Nyanyian Perjuangan, dan Indonesia Raya	54
III Indonesia Raya dan Kemerdekaan Dalam Bunyi	62
3.1. Detik-detik Kelahiran Indonesia Raya	62
3.2. Aransemen Musikal Indonesia Raya	69
3.3. Mengeja dan Menala Lagu Indonesia Raya	87
IV Sesudah Indonesia Raya	 98
4.1. Indonesia Raya Sebagai Musik Anti-Kolonial	 102
4.2. Crescendo Lagu-lagu Perjuangan 	 103
4.3. Decrescendo Lagu-lagu Perjuangan	 109
V Coda Kebangsaan	 117
5.1. Keaslian dan Kebangsaan	 117
5.2. Titi Nada Kebangsaan	120
vi
vii
BUNYI MERDEKA
Sambutan Direktur Jenderal
Kebudayaan
Seorang perwira intelejen kolonial mencatat dalam laporannya pada bu-
lan Desember 1928 mengenai Kongres Pemuda Kedua: “28 Oktober 1928
diterima dengan antusiasme luar biasa. Setelah penutupan kongres itu,
bahkan sampai sekarang, pada pertemuan para pribumi masih terdengar
siulan melodi lagu ini, khususnya di kalangan pramuka.” Sang perwira te-
ngah berbicara tentang lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan untuk
pertama kali dalam Kongres itu.
Lagu yang diciptakan W.R. Supratman untuk menggambarkan semangat
dan cita-cita kaum pergerakan kebangsaan itu menerbitkan kegelisahan
di mata kolonialisme. Melodinya disiulkan dari bibir ke bibir kaum terjajah
hingga membentuk imajinasi bersama yang menghimpun mereka semua
sebagai suatu bangsa. Di situ nampak bagaimana musik bisa punya andil
dalam kelahiran sebuah bangsa dan merawat jiwanya menghadapi segala
rintangan penjajahan.
Peran lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai pengejawantahan jiwa bang-
sa pun masih terekam dengan baik dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Ta-
hun 1958 yang menyatakan bahwa lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai
“pernyataan perasaan nasional”.
Semangat ini dilandasi oleh visi tentang bangsa sebagai suatu usaha poli-
tik bersama, yakni suatu usaha bantu-binantu bersama untuk mewujudkan
kebudayaan nasional sendiri, suatu kebudayaan yang mau mengakhiri se-
gala bentuk penjajahan dan melahirkan manusia baru. Inilah usaha besar
kebangsaan kita: menegaskan kedaulatan politik, mewujudkan kemandi-
rian ekonomi dan mengambil sikap kebudayaan yang berpribadi. Itulah
imajinasi kebangsaan kita.
Kendati begitu, perikehidupan kebangsaan memang tak bisa dipisahkan
viii
dari upacara, prosedur dan protokol. Hal itu dapat saja membiakkan rutini-
tas yang punya risiko memadamkan semangat pemerdekaan yang semula
mengiringi terbentuknya bangsa Indonesia. Api kebangsaan harus dijaga
nyalanya dengan pemaknaan-pemaknaan baru atas praktik kebangsaan
dan kenegaraan kita.
Untuk merawat api kebangsaan itulah Direktorat Jenderal Kebudayaan
menyelenggarakan kegiatan perekaman ulang lagu kebangsaan Indonesia
Raya dalam versi tiga stanza yang asli. Usaha ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam imajinasi
kebangsaan bersama, hak untuk memetik buahnya kebudayaan nasional.
Dengan menghadirkan Indonesia Raya versi tiga stanza yang selama ini
cenderung terlupakan kepada seluruh warga bangsa, Direktorat Jenderal
Kebudayaan mau membuka akses seluas-luasnya pada salah satu sumber
imajinasi kebangsaan kita.
Dalam rangka itulah, buku ini diterbitkan. Buku Bunyi Merdeka ini akan
menjadi panduan yang membantu kita semua mengakses pandangan hi-
dup yang tertuang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya versi tiga stanza.
Lewat pemaparan sejarah sosial dan tinjauan musikologi, buku ini dapat
mengantarkan kita pada rahasia bunyi yang membawa kita pada ke-
merdekaan.
Semoga buku ini dapat berperan memperkuat rasa kebangsaan kita dan
memelihara komitmen bersama kita sebagai bangsa merdeka.
Hilmar Farid
Direktur Jenderal Kebudayaan
I
Overture
Indonesia Raya, sebagai sebuah lagu kebangsaan negara Republik Indonesia
sebenarnya memiliki sulur-sulur akar sejarah yang panjang. Indonesia Raya
lahir di tengah bara sekam perlawanan rakyat bumiputera yang tak hangus
ditindas oleh kolonialisme Belanda. Pun ia tumbuh sebagai bentuk perju-
angan yang baru, refleksi dari perjuangan-perjuangan di periode abad ke-19.
Karena itu penting kemudian untuk menempatkan lagu Indonesia Raya dalam
konteks sejarah politik dan kebudayaan bangsa Indonesia.
1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda
1.1.1. Suita Tetabuhan Nusantara
Sampai dengan akhir abad ke-19, nama Indonesia belum menjadi. Ia baru se-
rupa kawasan yang sedang dalam proses penaklukan yang sepenuh-penuh-
nya oleh kolonialisme Belanda. Negeri Hindia Timur sebutan awalnya, lalu
berubah menjadi Hindia Belanda kemudian. Sebuah kawasan seluas 1.905 juta
km2 yang terdiri dari belasan ribu pulau tempat beragam suku, bangsa, dan
bahasa, yang saling berinteraksi, dan bermukim sejak periode awal Masehi.
Narasi sejarah tentangnya merangkum berbagai kisah tentang peradaban
yang bergerak maju, yang berjaya di sepanjang Samudra Hindia dan Laut Cina
Selatan sampai saat pedagang-pedagang besar Eropa tiba di abad ke-17.
Setelah itu, sejarah tentang kawasan yang kemudian dikenal sebagai Nu-
santara ini lebih banyak bercerita tentang monopoli perdagangan rempah,
penaklukan bandar perdagangan dan kerajaan, peperangan dan kekerasan.
Peradaban bergerak mundur seiring dengan kekalahan raja-raja Nusantara
yang berulang kali diperdaya dan ditundukkan oleh yang kemudian disebut
sebagai kolonialisme. Massa rakyat pun dilanda ketakutan dan pemiskinan,
oleh karena raja-raja mereka tak lagi menjadi pimpinan mereka. Malah seba-
liknya, raja-raja itu menjadi boneka kolonial untuk memeras rakyat. Hingga
sepertinya tak ada jalan keluar lain kecuali bangkit melawan kolonialisme.
2
Karenanya, menjelang abad ke-20 adalah sebuah masa yang penuh dengan
pergolakan melawan panji suci gemilang kolonialisme. Di sepanjang garis
pantai barat dan timur belahan utara Pulau Sumatra, derap juang rakyat
Aceh bertahan dari siram desing mesiu pasukan marsose Belanda. Kenda-
ti satu demi satu pimpinan perjuangan rakyat Aceh gugur di medan laga,
gerak berlawan tak henti. Setelah Tjoet Njak Dhien ditangkap pada 1904,
perlawanan rakyat Aceh bergerak ke selatan, sebagian bergabung dengan
pasukan Sisingamangaraja di wilayah Sumatra Utara. Mereka terus berla-
wan hingga 1907.
Sementara, di sisi selatan Nusantara golak-golak keresahan kaum tani di
Jawa akibat pemberlakuan pajak tanah yang tinggi oleh kolonial memba-
wa kobar-kobar api pemberontakan di lahan-lahan perkebunan. Ciomas,
di tahun 1886 sekelompok rakyat yang dipimpin oleh Muhamad Idris
menyerang sebuah acara pesta tahunan yang dihadiri oleh para pegawai
tuan tanah. Puluhan tahun sebelumnya, di Pekalongan, Jawa Tengah, Haji
Ahmad Rifai menuliskan syair-syair protes baik terhadap pemerintah ko-
lonial, maupun kepada aparat birokrasi feodal yang dianggapnya kaki ta-
ngan kolonial. Seperti syair berikut, yang meresahkan penguasa kolonial,
hingga membuang beliau ke Ambon pada 1860:
Bahasa Jawa
Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur
Iku amar naha ora gugur
Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur
Uga bisa ghalib derajate luwih luhur
Bahasa Indonesia
Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa
Berjuang mencegah selalu diharapkan
Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan
Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh
kemuliaan
Tiga minggu pemberontakan petani di Cilegon yang dipimpin oleh Haji
Tubagus Ismail pada 1888, berlanjut kemudian pemberontakan Ciomas di
belah barat Pulau Jawa; lalu syair Haji Rifai, dan gerakan tolak bayar pajak a
la Samin di sekitaran Jawa Tengah, semuanya adalah ekspresi perlawanan
3
BUNYI MERDEKA
terhadap kolonialisme.
Lepas pantai utara dan timur dari Pulau Jawa, perlawanan terhadap kolo-
nialisme berkembang di wilayah Pulau Kalimantan dan Bali. Oleh karena
persengketaan hak tawan karang antara pemerintah kolonial dan raja-ra-
ja di Bali, Benteng Jagaraga Buleleng sepanjang tahun 1846-1849 berha-
dap-hadapan dengan pasukan kolonial Belanda. Perselisihan ini kembali
muncul di tahun 1906 yang berujung pada peristiwa Puputan Badung. De-
mikian juga dengan perlawanan rakyat Kalimantan di sepanjang periode
1859-1906, yang menolak intervensi Belanda dalam suksesi kerajaan. Se-
muanya merupakan reaksi terhadap upaya kolonialisme di dalam men-
cengkeram lebih jauh lembaga-lembaga adat masyarakat setempat. Semua
paparan di muka menyimpulkan, kolonialisme Belanda tak pernah seu-
tuhnya menundukkan bangsa-bangsa Nusantara.
1.1.2. Elegi Tanam Paksa
Bagi kolonialisme yang maju dan beradab adalah yang taat pada hukum
kolonial dan gerak industri. Para penguasa tradisional, sebagai akibat dari
perang-perang penaklukkan, kehilangan tanah-tanah luas nan subur mi-
liknya. Tanah-tanah itu diambil alih oleh pemerintah kolonial untuk di-
jadikan sebagai lahan-lahan perkebunan-perkebunan besar. Ini berkait
dengan kebijakan tanam paksa yang dimulai sejak 1830. Sejak saat itu po-
sisi kebangsawanan para penguasa tradisional itu terus merosot secara
ekonomi, politik dan militer. Mereka bukan lagi penguasa atas rakyatnya,
tetapi berubah menjadi pegawai korps birokrasi kolonial (Binnenland Bestu-
ur). Karenanya kebangsawanan kemudian lebih ditentukan oleh pengab-
dian dan loyalitas seseorang di dalam korps tersebut, ketimbang berdasar
genealogi keturunan, demi menyukseskan praktik tanam paksa.
Apa sebabnya? Karena praktik tanam paksa sesungguhnya adalah upaya
pengerahan segala sumber daya alam dan makhluk hidup di Hindia Belan-
da guna memproduksi hasil-hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pasar
Eropa. Kendati hanya seperlima dari tanah yang dimiliki oleh rakyat, yang
diminta diserahkan untuk kebutuhan tanam paksa, secara perlahan rakyat
dipaksa untuk menyerahkan semua miliknya. Para penguasa tradisional
yang dimandatkan untuk menjalankan proses tanam paksa ini mendapa-
tkan upah dari pemerintah kolonial menurut besar setoran hasil produk
tanam paksa. Karena itu, para penguasa tersebut menindas rakyat sede-
mikian rupa agar tanah-tanah mereka bisa menghasilkan produk tanam
4
paksa, seperti kopi, kina, tebu, dan sebagainya.
Akibat langsung dari praktik tanam paksa ini adalah kegagalan panen ba-
han pangan, lantaran tanah sudah telanjur dipakai untuk tanaman ekspor.
Tidak mengherankan jika kemudian jumlah penduduk di Jawa menurun
drastis, oleh karena kelaparan, wabah penyakit, dan kemiskinan, pun ke-
bodohan yang meraja, merayap membentuk kesadaran bangsa kuli. Ini
masih ditambah lagi dengan praktik kerja rodi di sejumlah wilayah, plus
pajak yang tinggi. Tepatnya, tahun 1843 ketika terjadi bencana kelapa-
ran di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan beberapa
tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan
untuk para pribumi. Kelaparan antara 1843-1848 mengakibatkan jumlah
penduduk turun dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk
menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya
berkurang sekitar 80.500 jiwa.
1.1.3. Fantasia Balas Budi
Kendati tanam paksa membawa banyak keuntungan bagi pemerintah Be-
landa, tetapi pelaksanaannya tanpa kontrol pemerintah kolonial. Akibat-
nya terjadi kehancuran sumber daya alam dan manusia, dan ini membuat
peluang realisasi industri modern menjadi susah dibangun di tanah Hindia.
Lebih-lebih karena industri modern menuntut peningkatan kualitas tena-
ga kerja, dan intensifikasi lahan-lahan perkebunan. Akhirnya, tanam paksa
dihapuskan secara bertahap. Penghapusan diawali dengan dikeluarkannya
undang-undang (Regering Reglement) tahun 1854 tentang penghapusan per-
budakan. Namun pada praktiknya, kerja rodi baru dihapuskan pada 1860.
Ini lalu diikuti dengan penghentian wajib tanam lada (1862), cengkeh dan
pala (1864), indigo, teh, dan kayu manis (1865), dan tembakau (1866). Ta-
nam paksa benar-benar dihapuskan pada 1917, terkait penghapusan kewa-
jiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat.
Seiring dengan proses penghapusan tersebut kaum liberal Belanda men-
gajukan banyak kritik terhadap praktik tanam paksa. Douwes Dekker, Van
Hoevel, dan Van Deventer adalah tiga juru bicara yang mengemuka dari
kaum liberal, terkait catatan-catatan mereka tentang kondisi kemiskinan
yang dialami penduduk Jawa. Kritik-kritik ini tidak segera mendapat tang-
gapan karena pemerintah kolonial masih sibuk dengan sejumlah perang
penaklukkan di luar Jawa, terutama Perang Aceh. Tulisan-tulisan mereka
yang lalu mendorong pemerintah Kerajaan Belanda mengubah arah kebi-
5
BUNYI MERDEKA
jakannya. Pada 1901, Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato tahunannya
menyatakan perihal kewajiban yang luhur serta tanggung jawab sosial Be-
landa untuk rakyat Hindia Belanda sehubungan dengan keadaan ekonomi
yang buruk di Hindia Belanda pada 1901.
Pidato Ratu Wilhelmina itu kerap dianggap sebagai awal dari Politik Etis.
Sebuah upaya pemerintah kolonial Belanda untuk semacam merevitalisasi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hancur karena prak-
tik tanam paksa. Upaya ini diperlukan mengingat persaingan ekonomi di
antara negeri-negeri Eropa bergerak ke arah industrialisasi, sehingga dib-
utuhkan sumber daya manusia yang terdidik dan terawat kesehatannya,
dan membuka ruang investasi yang lebih besar di tanah jajahan dengan
membangun irigasi bagi wilayah perkebunan swasta. Dengan kata lain,
Politik Etis adalah semacam kebijakan pemerintah kolonial untuk berger-
ak ke arah industri.
1.1.4. Aria Kebangsaan
Di tengah perkembangan menuju industrialisasi Hindia Belanda, di tengah
kehancuran ekonomi dan budaya masyarakat Jawa, roh berlawan terhadap
kolonialisme tetap hidup. Setidaknya itu muncul dari seorang perempuan
yang dengan kemampuannya menulis dan berbahasa Belanda menggam-
barkan keadaan masyarakat Jawa sekitarnya dan mengajukan gagasan ten-
tang kebangkitan bumiputra.
“Saya malu sekali memikirkan kepentingan pribadi. Saya ber-
pikir-pikir dan mengelamun tentang keadaan saya sendiri dan
di luar, di sekeliling saya demikian banyaknya orang yang
hidup menderita dan sengsara. Seolah-olah udara tiba-tiba
bergetar disebabkan oleh suara orang-orang menderita di
sekeliling saya yang menjerit, mengerang dan mengeluh. Le-
bih keras lagi dari suara mengerang dan mengeluh, terden-
gar bunyi mendesing dan menderau dalam telinga saya: Be-
kerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Baru
setelah kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu
menolong orang lain! Bekerja! Suara itu saya dengar terang
sekali.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon-Man-
dri, 8 April 1902, cetak miring sesuai aslinya)1
1 Kartini. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. (Penerjemah Sulastin
6
Kutipan di muka, yang ditulis oleh Kartini dalam salah satu surat-surat-
nya Kartini kepada sahabatnya di negeri Belanda, menegaskan tentang
keadaan masyarakat Jawa dan tentang kebutuhan untuk melakukan peru-
bahan terhadap keadaan itu. Lebih jauh lagi Kartini mulai membuat analisa
tentang keadaan masyarakat Jawa di hadapan kolonialisme:
“Tetapi perbuatlah sekehendak hati tuan, tuan tidak akan da-
pat menahan paksaan zaman juga. Saya sayang kepada orang
Belanda. Sayang, amat sayang dan saya berterima kasih atas
banyak hal, yang kami nikmati dengan keikhlasan hati mereka
dan atas usaha mereka. Banyak, amat banyak di antara mereka
boleh kami sebut sahabat karib kami. Tiada lain sebabnya, ha-
nyalah karena kami berani berdaya upaya menjadi cerdas dan
maju, hampir-hampir sama dengan mereka. Dengan cara yang
halus sekali mereka membuat kami merasakan hal itu. “Saya
orang Eropah, kamu orang Jawa” atau dengan perkataan lain
“Saya yang memerintah, kamu saya perintah … Oh, sekarang
saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan
orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan
lagi mengiakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin
dikatakan atau diwajibkan kepadanya oleh atasannya.” (Surat
Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 12 Januari 1900)
Kartini memang belum lagi berpikir tentang Indonesia, tapi ia memahami
adanya bangsa Jawa, yang kemudian ia sebut juga “bangsa boemipoetra”
yang tidak hidup bahagia dan tidak merdeka di bawah kekuasaan feodal
dan kolonial.
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami
sebagai orang-orang setengah Eropah atau orang-orang Jawa
kebarat-baratan. Dengan pendidikan bebas kami bertujuan
terutama sekali akan menjadikan orang Jawa sebagai orang
Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat
untuk tanah air dan bangsanya. Dijiwai dengan mata dan hati
terbuka untuk keindahannya dan kesukarannya! (Surat Kartini
kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri, 10 Juni 1902, cetak
miring sesuai aslinya)
Sutrisno). Jakarta: Djambatan, 1985. Kutipan surat-surat Kartini pada halaman berikutnya
mengacu ke buku ini.
7
BUNYI MERDEKA
Hingga kemudian Kartini merumuskan bahwa membangun bangsa berarti
juga membangun kaum perempuannya. Ini terkait dengan upaya mem-
peradabkan masyarakat, di mana perempuan yang terdidik dan berbu-
di akan menjadi teman seiring kaum laki-laki. Saat mereka menjadi ibu,
merekalah yang sejak awal berpengaruh besar dalam memberi pendidikan
budi pekerti bagi anak-anaknya.
“Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan ka-
rena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan
karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari
perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar bahwa dia-
lah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar
kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu perta-
ma-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah
seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata.
Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan
yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan.
Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik
anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?”
(Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon, 21 Januari
1901)
Demikianlah Kartini, yang belum mengetahui peristilahan nasionalisme,
ataupun gagasan kebangsaan secara utuh, sudah merumuskan bibit-bibit
pemikiran tentang bangsa dan kebangkitan sebuah bangsa.
1.1.5. Serenade Pergerakan Kebangsaan
Kartini wafat di usia muda pada 1904. Sebuah masa ketika kebijakan Politik
Etis mulai dijalankan di wilayah Hindia Belanda. Dalam hal pendidikan, di
bawah Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon, pemerintah kolonial mem-
buka pendidikan barat berbahasa Belanda di wilayah tanah jajahan Hin-
dia Belanda untuk generasi elite penguasa tradisional dan mempersiapkan
mereka untuk menjadi pegawai negeri. Sebelumnya pada 1893 pemerintah
kolonial juga membagi sekolah-sekolah menjadi dua kelas, agar anak-anak
dari kaum penguasa tradisional mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Ini dengan harapan agar rakyat Hindia Belanda dengan sukarela akan me-
nerima peradaban barat dan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
Pendidikan barat tersebut, melahirkan generasi kaum terpelajar bumipu-
8
tra, yang mulai paham tentang sejumlah perlawanan terhadap kolonial-
isme di dalam maupun di luar Pulau Jawa, dan bagaimana semua perla-
wanan dengan perang tersebut bertumbangan satu demi satu. Pun sebuah
generasi yang mulai menyadari bahwa untuk melawan kolonialisme me-
reka harus menggunakan alat-alat penguasa seperti ilmu pengetahuan,
institusi pendidikan, organisasi, pertemuan umum, percetakan dan pe-
nerbitan. Sebuah generasi yang melahirkan Tirto Adhi Soerjo yang telah
merintis berbagai penerbitan surat kabar; Tjipto Mangoenkoesoemo sang
dokter penerima bintang Oranje Nassau, dengan pandangan-pandangan
politiknya yang maju dan berani; Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar
Dewantara, seniman dan penganjur pendidikan, serta sejumlah tokoh per-
gerakan kebangsaan lainnya yang berlibat di dalam berbagai organisasi
perjuangan. Pun sebuah generasi yang nantinya menggunakan kata “Indo-
nesia” sebagai pengganti kata Hindia atau Hindia Belanda.
Khususnya pada dunia musik periode ini merupakan pergaulan yang ak-
tif antara para pemusik lokal dan pemusik Eropa di Jawa. Sekolah-sekolah
guru Belanda pada masa Hollands Indische Kweekschool (HIK) dan Kweek-
school menjadi tempat para pemusik pribumi belajar musik barat, salah
satunya Soerjopoetro seorang priayi Puro Pakualaman. Pada masa itu to-
koh-tokoh karawitan di Jawa bertemu dengan para pemusik Eropa yang
progresif seperti Walter Spies, Linda Bandara dan Collin Mcphee, serta
ahli-ahli teori karawitan Belanda seperti Jaap Kunst dan Brans Buy. Kare-
nanya tidak mengherankan jika kemudian muncul komponis abad ke-20
yang telah menggunakan pola kehidupan budaya musik barat sebagai sa-
rana guna mengungkapkan ekspresi musikal. Beliau adalah Soerjopoetro
tahun 1916-1917 dengan karyanya Rarjuo Sarojo duet vokal dan biola. Ma-
teri komposisi diangkat dari sebuah lagu dolanan anak. Melodi vokal dan
biola pada prinsipnya sama, tetapi gerakan melodi pada biola diberikan
nada-nada hiasan seperti halnya penggarapan unsur rebab dalam karaw-
itan Jawa. Analisis komposisi karya Soerjopoetro dapat dikatakan sebuah
awal upaya untuk menggarap musik tradisional menjadi sebuah garapan
komposisi barat.2
Bersamaan dengan proses industrialisasi dan Politik Etis, berbagai macam
perkembangan teknologi industri produksi massal hadir di tanah Hindia.
2 Wisnu Mintargo. “Musik Nasional dalam Konsep Trikon Ki Hadjar Dewantara: Akultur-
asi Budaya Timur dan Barat”, dimuat dalam situs web http://wisnumintargo.web.ugm.
ac.id/?p=64
9
BUNYI MERDEKA
Industri kereta api yang mulai dibangun pada 1867 mulai berkembang
sembilan tahun kemudian di tahun 1876. Mesin cetak yang pada periode
sebelum abad ke-19 hanya dimiliki oleh kantor pemerintah kolonial atau
kantor misionaris, di pertengahan dan akhir abad ke-19 mulai menjadi ba-
gian dari industri surat kabar. Ini terlihat dari terbitnya surat kabar per-
tama berbahasa Jawa di Surakarta, Bromartani, pada 1855. Bahkan perusa-
haan rekaman sudah mulai masuk Hindia Belanda di awal abad ke-20. Di
masa itu setidaknya ada tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti dunia
musik dengan mendirikan perusahaan rekaman, yaitu Tio Tek Hong di Pa-
sar Baru dan Lie A Kon di Pasar Senen, dan satu lagi di Surabaya.
Sebagaimana yang telah dikemukakan, situasi ini di satu sisi membuka
mata kaum terpelajar bumiputra tentang kemajuan ilmu pengetahuan.
Tetapi, di sisi lain kaum terpelajar juga tidak mungkin menutup mata terh-
adap kemiskinan dan diskriminasi yang dialami kaum bumiputra. Karena-
nya membangun organisasi dan menerbitkan surat kabar atau berkala lain
menjadi sarana untuk membela kaum bumiputra, membela bangsa.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), sosok pendiri pers nasional yang
telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/
TK/2006. Sejak muda, Tirto Adhi Soerjo merintis berbagai penerbitan su-
rat kabar. Yang paling terkenal adalah surat kabar Medan Prijaji (beredar
sejak Januari 1907 sampai Januari 1912). Inilah surat kabar pertama yang
dikelola sepenuhnya oleh tenaga pribumi dan menggunakan bahasa Me-
layu. Inilah juga surat kabar pergerakan pertama yang menjadi model bagi
berbagai surat kabar pergerakan sesudahnya (seperti Sarotomo dan Soeloeh
Indonesia).
Sebagai surat kabar pergerakan, Medan Prijaji memuat laporan dan liputan
yang dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Metode jurnalismen-
ya dikenal sebagai jurnalisme advokasi, yakni suatu cara kerja jurnalis-
tik yang menekankan pada pembelaan pada kaum tertindas yang tengah
diliput.
“Sekarang betapakah halnja tentang orang Boemi poetera?
orang berkoeli, jaitoe mentjeri makan dengan dapet opahan
dari angkatken orang laen punja barang… “tjoba lihat, itoe
disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa sopan. Dog-
cart dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari,
barangkali soedah empat lima djam lamanja
10
„sekarang berhenti disini sir‟,
„saja toean‟,
„ini sewanja een kwartje‟,
„minta tambah, toean!‟,
„apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟,
„tida toean, ini terlaloe sedikit sebab dogcart dipake 4 djam
lamanja‟,
„Peng!‟. Apa itu, soeara bedil! Boekan! Itoe soeara tapak ta-
ngan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan!””
Kutipan di muka adalah salah satu contoh laporan dan liputan Medan Prijaji
yang khas, karena dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Melalui
kerja jurnalistik semacam inilah, Tirto Adhi Soerjo mengobarkan seman-
gat anti-kolonial dan menyulut kesadaran berkebangsaan yang mandiri.
Generasi muda yang tumbuh melalui bacaan atas surat kabar ini kemudian
membawa dalam diri mereka kesadaran tentang ketidakadilan pemerintah
kolonial dan situasi keterjajahan bangsa Indonesia.
Boedi Oetomo, sebagai organisasi pergerakan yang didirikan pada 1908 be-
rangkat dari semangat membantu kaum bumiputra untuk mendapatkan
pendidikan yang layak dan murah. Pandangan mereka tentang keadaan
masyarakat bumiputra, sebagaimana diungkapkan oleh Goenawan Mango-
enkoesoemo, salah satu pendiri Boedi Oetomo:
“Kaum bumiputera mempunyai nilai tidak lebih dari sebuah
keset kaki atau seekor anjing yang dilempari batu oleh anak-
anak. Di dalam kereta api, trem, di sekolah-sekolah, di jalan
raya, di kantor-kantor, di perkebunan-perkebunan, bangsa
bumiputera senantiasa dipandang rendah dengan cara sangat
menghina, dipandang sebagai bangsa tanpa tenaga dan tan-
pa kekuatan. Bangsa bumiputera selalu menjadi obyek perco-
baan untuk pertanian, obyek pengamatan, dan sesuatu yang
dianalisis dan dipelajari orang, serta sesuatu yang dapat ditu-
lis untuk bahan-bahan ceramah ilmiah.”
11
BUNYI MERDEKA
Karenanya, organisasi ini bertujuan melawan kolonialisme melalui jalan
pendidikan. Ini ditegaskan di dalam salah satu dokumennya:
“Tujuan Budi Utomo adalah mengusahakan persatuan kaum
Boemipoetera yang sedapat mungkin bersifat umum, sehingga
akan tercapai Persatuan orang Jawa pada umumnya, dengan
Boedi Oetomo hanya sebagai pelopor, yang tugas utamanya
adalah untuk merancang cara-cara yang tepat untuk menca-
pai terwujudnya suatu pendidikan yang serasi bagi negara dan
rakyat Hindia Belanda.”
Walaupun belum sampai pada tuntutan Indonesia Merdeka, Boedi Oeto-
mo menjadi inspirasi bagi para pejuang kebangsaan selanjutnya. Barulah
dengan berdirinya Indische Partij pada 25 Desember 1912 tuntutan ke-
merdekaan menjadi eksplisit sebagai tujuan partai. Tiga serangkai pendi-
rinya yakni Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi So-
erjaningrat tak lama kemudian berurusan dengan polisi kolonial karena
mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Kesadaran tentang bertanah
air dan berbangsa satu bangkit dari sana.
1.1.6. Etude Pandu
Variasi gerakan menentang kolonialisme juga muncul melalui modifikasi
organisasi kepanduan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Pada
1916, S.P. Mangkunegara VII membuat organisasi kepanduan kaum bu-
miputra, yang kemudian diberi nama Javaansche Padvinders Organisatie
dan merupakan organisasi kepanduan pertama di Nusantara. Bagi kaum
pergerakan nasional Indonesia organisasi kepanduan ini bisa menjadi sara-
na membentuk manusia yang baik dan menjadi kader pergerakan nasional.
Karenanya, muncul kemudian sejumlah organisasi kepanduan seperti or-
ganisasi kepanduan milik Muhammadiyah yang diberi nama Padvinder
Muhammadiyah di mana pada 1920 mengganti nama mereka menjadi Hiz-
bul Wathan. Selain Muhammadiyah, ada juga Nationale Padvinderij milik
Boedi Oetomo, Sarekat Islam Afdeling Padvinderij milik Sarekat Islam yang
namanya kemudian diubah menjadi Sarekat Islam Afdeling Pandu (SIAP),
Nationale Islamietische Padvinderij (Natipij) yang berdiri berkat Jong Is-
lamieten Bond, dan terakhir adalah Indonesisch Nationale Padvinders Or-
ganisatie (INPO) yang berutang kepada Pemuda Indonesia untuk berdiri.
Pada 23 Mei 1928, rasa persatuan yang timbul dalam organisasi kepanduan
12
di Indonesia mulai mewujudkan dirinya dengan nama “Persaudaraan An-
tara Pandu Indonesia” (PAPI) yang beranggotakan INPO, SIAP, Natipij, dan
PPS.
Sejarah terus berlanjut. Melihat maraknya organisasi kepramukaan milik
pribumi yang bermunculan, Belanda akhirnya membuat peraturan untuk
melarang organisasi kepramukaan di luar milik Belanda menggunakan isti-
lah Padvinder. Karena itu kemudian Haji Agoes Salim menggunakan istilah
“Pandu” dan “Kepanduan”.
Demi mempererat persaudaraan di antara tiap organisasi, Badan Pusat
Persaudaraan Kepanduan Indonesia berencana untuk mengadakan sebuah
jambore besar. Kegiatan ini mengalami beberapa kali perubahan rencana
dalam waktu dan nama kegiatan, meskipun pada akhirnya nama kegiatan
disetujui sebagai “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” atau dis-
ingkat Perkino. Tanggal acara yang tadinya juga sempat didebatkan akhir-
nya diputuskan untuk dilakukan pada 19 hingga 23 Juli 1914 di suatu daerah
di Yogyakarta. Selanjutnya, pada 1930 timbul kesadaran dari tokoh-tokoh
Indonesia untuk mempersatukan organisasi kepramukaan. Maka terben-
tuklah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI merupakan gabungan dari
organisasi kepanduan seperti INPO, PK (Pandu Kesultanan), PPS (Pandu
Pemuda Sumatra).
Maka, dimulailah apa yang disebut sebagai “Zaman Bergerak”, yakni era
perlawanan rakyat Indonesia yang terorganisasikan secara modern terha-
dap pemerintahan kolonial, struktur feodal dan pranata kapitalis di Hindia
Belanda yang terjadi antara 1912 dan 1926. Perlawanan ini dikatakan ‘ter-
organisasikan secara modern’ karena tak lagi menggunakan pendekatan
feodal seperti pépé (berjemur) di halaman pembesar lokal memohon kes-
udiannya untuk menjalankan perubahan situasi, melainkan menggunakan
instrumen politik seperti organisasi/perserikatan (vereeniging) dan pemo-
gokan (werkstaking) yang difungsikan secara strategis untuk memaksa pe-
modal menerima tuntutan gerakan. Berbagai gerakan pekerja dan intelek-
tual muda bergabung dalam aksi-aksi bersama yang menentang tatanan
kolonial yang represif.
Pada masa inilah timbul kesadaran baru bahwa tatanan politik kolonial
bukanlah nasib yang ditimpakan begitu saja ke bumi manusia, melaink-
an dapat diubah sewaktu-waktu oleh tangan rakyat Indonesia sendiri. Haji
Misbach, seorang aktivis pergerakan masa itu, berbicara tentang “djaman
13
BUNYI MERDEKA
balik boeono” (zaman terjungkir-baliknya dunia). Dalam pidatonya di salah
satu pemogokan ia menyatakan:
“Tjeritanja ja-itoe di negri Oostenrijk (Austria), dhoeloe djoe-
ga di kepalai oleh saorang Radja tetapi sekarang soedah boe-
ono baliknja-itoe di kepalai Republiek, mendjadi waktoe itoe
banjak sekali ambtenaar-ambtenaar jang di-boenoeh oleh re-
publiek asal bekas ambtenaar kelihatan djalan, teroes potong
sadja lehernja, begitoelah seteroesnja. Maka soedara, ajo! in-
getlah, bila tanah ini boekan poenjanja siapa-siapa, terang bila
poenja kita sendiri. Tida boleh tida, ini tanah temtoe kombali
pada kita lagi.” (Shiraishi 1997: 263-264)
Kesadaran tentang zaman yang telah berganti rupa semacam ini terus
muncul di kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia.
Dalam hiruk-pikuk semangat perubahan inilah lahir gerakan para pemuda
yang mengupayakan ikatan komitmen bersama sebagai bangsa.
1.1.7. Rondo Kongres Pemuda (I)
Pada 1925 dilangsungkan rapat-rapat persiapan yang akan mengarah pada
terlaksananya Kongres Pemuda Pertama. Para perintisnya tergabung da-
lam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berasal dari se-
kolah-sekolah tinggi di Jakarta dan Bandung. Mereka yang aktif di sana
antara lain Soegondo Djojopoespito, Sigit, Abdul Sjukur, Gularso, Sumitro,
Samijono, Hendromartono, Subari, Rochjani, S. Djoened Poesponegoro,
Kuntjoro, Wilopo, Surjadi, Muhammad Yamin, A.K. Gani dan Aboe Hanifah.
Sebagai angkatan muda yang mengenyam pendidikan model Eropa, me-
reka antusias mempelajari dan memperdebatkan berbagai revolusi be-
sar dunia, seperti Revolusi Amerika 1776, Revolusi Prancis 1789, Revolusi
Cina 1911 dan Revolusi Rusia 1917. Mereka pun mendiskusikan beragam
pemikiran politik dunia, mulai dari Plato, Aristoteles, Niccolo Machiavel-
li, Thomas Hobbes, Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan John Stuart
Mill (Rahman 2016: 5). Sekalipun menimba pelajaran dari berbagai belahan
dunia, cita-cita mereka tentang sebuah forum yang mendeklarasikan per-
satuan bangsa Indonesia terinspirasi dari wacana persatuan yang diden-
gungkan oleh Perhimpunan Indonesia (PI).
14
Sebagai wadah para pelajar Indonesia di Negeri Belanda, PI mengalami ra-
dikalisasi berkat bergabungnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soerjaningrat pada 1913. Keduanya dibuang ke Belanda akibat aktivitas
mereka dalam Indische Partij. Berkat kehadiran keduanya, PI yang semula
hanya menggelar forum silaturahim dan pesta-pesta kemudian mulai aktif
membicarakan kemungkinan persatuan kebangsaan di dalam panji Indo-
nesia merdeka. Pada 1925, diskusi-diskusi mereka tentang kondisi bangsa
mengantar mereka pada segugus kesimpulan yang kemudian dikenal se-
bagai Manifesto Politik 1925:
1.	 Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah
yang dipilih sendiri oleh mereka.
2.	 Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak
diperlukan bantuan dari pihak manapun.
3.	 Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat,
tujuan perjuangan itu akan sulit dicapai.
Semangat merdeka ini tercermin dalam terbitan mereka. Perhimpunan In-
donesia mengeluarkan terbitan rutin berjudul Indonesia Merdeka yang mel-
ontarkan seruan-seruan nasionalis untuk kemerdekaan Indonesia. Seruan
inilah yang ditangkap oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dan
mulai digencarkan di dalam negeri serta diwujudkan dalam bentuk kong-
res persatuan Indonesia.
Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan di Jakarta antara 30 April dan 2
Mei 1926. Susunan kepanitiaan kongres ini adalah sebagai berikut:
Ketua: Mohammad Tabrani (Jong Java)
Wakil Ketua: Soemarto (Jong Java)
Sekretaris: Djamaluddin Adinegoro (Jong Soematranen Bond)
Bendahara: Soewarso (Jong Java)
Anggota:
1.	 Bahder Djohan (Jong Soematranen Bond)
2.	 Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon)
3.	 Paul Pinontoan (Jong Celebes)
4.	 Achmad Hamami (Sekar Roekoen)
5.	 Sanoesi Pane (Jong Bataks Bond)
6.	 Sarbaini (Jong Soematranen Bond)
15
BUNYI MERDEKA
Tema utama yang ditekankan dalam kongres ini adalah “penyebaran jiwa
kebangsaan Indonesia di kalangan pemuda Indonesia” (de Nationaal Indone-
sische geest onder de Indonesische Jeugd). Kongres ini diselenggarakan dengan
cita-cita untuk:
1.	 Membentuk badan terpusat dari organisasi-organisasi
pemuda yang ada.
2.	 Memajukan gagasan persatuan nasional.
3.	 Menjalin kerjasama lebih erat antar-organisasi pemuda
yang bernafaskan persatuan nasional.
Hadir dalam kongres ini adalah perwakilan dari berbagai organisasi pemu-
da kebangsaan seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Ambon,
Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Minahasa, dan Jong Bataks
Bond.
Kongres Pemuda Pertama kesulitan menghasilkan keputusan yang tajam
karena perasaan kedaerahan masih sangat mewarnai pandangan dari seti-
ap delegasi pemuda. Meski begitu, sudah ada usaha bersama untuk meng-
gagas cita-cita persatuan Indonesia dan kesadaran bersama tentang per-
lunya menghilangkan pandangan adat kedaerahan yang kolot dan sempit.
Tetapi, perwujudannya dalam bentuk komitmen bersama yang positif be-
lum berhasil dirumuskan secara tegas.
Apa yang terjadi di sana lebih merupakan pertemuan penjajakan tentang
berbagai ide terkait persatuan kebangsaan. Muhammad Yamin, misalnya,
menyampaikan pidato “Kemungkinan-Kemungkinan Masa Depan Bahasa
dan Sastra Indonesia” yang berargumen bahwa bahasa Melayu adalah ba-
hasa yang paling cocok digunakan sebagai bahasa persatuan. Sementara
yang lain berpendapat bahasa Jawa lebih tepat digunakan sebagai bahasa
persatuan. Sedangkan keseluruhan diskusi itu sendiri dilakukan dalam ba-
hasa Belanda.
Kesulitan menyatukan pandangan amat terasa dalam sidang-sidang Kong-
res Pemuda Pertama. Bahkan pimpinan kongres, Mohammad Tabrani, be-
rulang kali mesti memediasi berbagai pendapat yang menjurus pada senti-
men kedaerahan agar tidak pecah sebagai konflik terbuka antar organisasi
pemuda.
16
1.1.8. Rondo Kongres Pemuda (II)
Pada 3 Mei 1928, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia mulai menggelar
rapat persiapan menuju Kongres Pemuda Kedua. Rapat itu dilanjutkan lagi
pada 12 Agustus 1928 yang dihadiri perwakilan dari berbagai organisasi
pemuda dan berhasil memutuskan akan menggelar kongres pada 27-28 Ok-
tober 1928. Dalam rapat tersebut disepakati susunan kepanitiaan sebagai
berikut:
Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond)
Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I: Djohan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III: R.C.L. Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV: Johanes Leimena (Jong Ambon)
Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Dengan susunan kepanitiaan semacam itu akhirnya terselenggara Kongres
Pemuda Kedua di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Dari sekitar tujuh ratus
peserta yang hadir, nama-nama peserta yang tercatat adalah sebagai beri-
kut (Rahman 2016: 17-19):
1.	 Abdoel Halim
2.	 Abdoel Moethalib Sangadji
3.	 Abdoel Rachman
4.	 Abdoellah Sigit (Indonesische Studieclub)
5.	 Aboe Hanifah
6.	 Achmad Hamami
7.	 Adnan Kapau Gani
8.	 Dr. Mohammad Amir (Dienaren van Indie)
9.	 Anta Permana
10.	 Anwari
11.	 Arnold Mononutu
12.	 Assaat dt Muda
13.	 Bahder Djohan
14.	 Dali
15.	 Darsa Arsa
16.	 Dien Pantouw
17
BUNYI MERDEKA
17.	 Djuanda
18.	 Dominee (pdt) van Hoorn
19.	 Dr. Pijper (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
20.	 Dr. Poerbatjaraka (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
21.	 Dr. Van der Plaas (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
22.	 Emma Poeradiredja
23.	 F. Dahler
24.	 Hoofdcommissaris van Politie van der Plugt
25.	 Inoe Martakoesoema
26.	 J.E. Stokvis
27.	 Jo Tumbuhan
28.	 Joesoepadi Danoehadiningrat
29.	 John Lau Tjoan Hok
30.	 Jos Masdani
31.	 Kadir
32.	 Karto Menggolo
33.	 Kasman Singodimedjo
34.	 Koentjoro Poerbopranoto
35.	 Kwee Thiam Hong
36.	 Ma’moen Ar Rasjid
37.	 Moehidin (Pasundan)
38.	 Moekarno
39.	 Moewardi
40.	 Mohammad Ali Hanafiah
41.	 Mohammad Nazif
42.	 Mohammad Roem
43.	 Mohammad Tamzil
44.	 Mr. Sartono
45.	 Muhammad Husni Thamrin
46.	 Nona Tumbel
47.	 Oey Kay Siang
48.	 Patih Batavia, Raden Achmad
49.	 Poernamawoelan
50.	 R.M. Djoko Marsaid
51.	 Raden Soeharto
52.	 Raden Soekamso
53.	 Ramelan
54.	 S.M. Kartosoewirjo
55.	 Saerun (Keng Po)
56.	 Sahardjo
18
57.	 Sarbaini
58.	 Sarmidi Mangoensarkoro
59.	 Setiawan
60.	 Siti Soendari
61.	 Sjahbuddin Latif
62.	 Sjahrial
63.	 Soedjono Djoened Poesponegoro
64.	 Soehara
65.	 Soejono (Volksraad)
66.	 Soekamto
67.	 Soekmono
68.	 Soelaeman
69.	 Soemanang
70.	 Soemarto
71.	 Soenario (PAPI dan INPO)
72.	 Soerjadi
73.	 Soewadji Prawirohardjo
74.	 Soewarni
75.	 Soewirjo
76.	 Soeworo
77.	 Tjahija
78.	 Tjio Djien Kwie
79.	 Tjokorda Gde Raka Sukawati (Volksraad)
80.	 Wage Rudolf Soepratman
81.	 Wilopo
82.	 Koesoemo Oetojo
Rangkaian kongres tersebut terbagi ke dalam tiga rapat yang diselengga-
rakan di tempat yang berbeda-beda. Rapat pertama diadakan pada pukul
20.00 di gedung Katholieke Jongenlingen Bond yang berlokasi di Water-
looplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam rapat pertama ini, Muham-
mad Yamin berpidato tentang lima prasyarat persatuan Indonesia yakni
sejarah, bahasa, hukum, pendidikan, dan kemauan.
Pidato ini ditanggapi secara positif oleh Inoe Martakoesoema yang me-
nekankan pentingnya persatuan agar Indonesia bisa sejajar dengan Ing-
gris dan Belanda. Secara tidak langsung, Inoe mau mengatakan bahwa
persatuan berguna buat kemerdekaan Indonesia. Maksud ini ditangkap
oleh Hoofdcommissaris van Politie bernama van der Plugt. Agen polisi itu
memotong tanggapan Inoe dan mengimbaunya untuk meninggalkan kong-
19
BUNYI MERDEKA
res. Mr. Sartono kemudian memberikan tanggapan yang mempersoalkan
polisi Belanda yang doyan main larang.
Rapat kedua diadakan di gedung bioskop Oost Java yang terletak di Koning-
splein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Dalam rapat kali ini
Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro berbicara tentang pent-
ingnya pendidikan kebangsaan yang membawa semangat demokratis di
rumah dan sekolah. Selain itu, Siti Soendari mengajukan pandangannya
tentang kondisi perempuan yang tertindas dalam masyarakat.
Rapat terakhir diadakan di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kra-
mat Raya 106, yang merupakan rumah indekos kepunyaan Sie Kong Liang,
tempat aktivis-aktivis pemuda seperti Muhammad Yamin dan Amir Sjar-
ifuddin pernah menyewa. Dalam pertemuan itu, Soenario Sastrowardoyo
menyampaikan pidato yang menekankan perlunya nilai-nilai nasionalisme
dan demokrasi serta mengingatkan pentingnya gerakan pramuka dalam
konteks pembentukan gerakan pemuda yang berorientasi kebangsaan.
Ketika itu, sempat terjadi insiden yang membawa risiko pembubaran kong-
res oleh aparat keamanan. Pasalnya, terlontar frasa “Indonesia merdeka”
dari peserta kongres. Pejabat kepolisian van der Plugt beserta barisan
aparat intel kolonial (Politieke Inlichtingen Dienst, PID) mengancam akan
membubarkan kongres seketika itu juga. Menghadapi ketegangan itu,
Soegondo Djojopoespito selaku pimpinan kongres segera menengahi de-
ngan menyatakan bahwa pernyataan itu (maksudnya “Indonesia merde-
ka”) tidak perlu dilontarkan secara eksplisit, cukup tahu sama tahu saja.
Para peserta pun menyambutnya dengan riuh, gembira dan sesekali mel-
ontarkan nada mengolok-olok barisan aparat keamanan kolonial.
Dalam rapat terakhir itulah lagu Indonesia Raya dibawakan lewat gesekan
biola Wage Rudolf Soepratman dan sesudah itu dibacakan sebuah mak-
lumat yang dinamai “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”.
Inilah dokumen yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, se-
buah dokumen historis pernyataan komitmen bersama tentang persatuan
yang dirumuskan dalam tiga keputusan:
“Pertama
Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah
yang satu, tanah Indonesia.
20
Kedua
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu,
bangsa Indonesia.
Ketiga
Kami putra dan putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.”
Lewat maklumat inilah para pemuda mendeklarasikan prinsip persatuan
Indonesia, persatuan tanah air, bangsa dan bahasa.
1.1.9. Balada si Wage
Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada Senin Wage, 9 Maret 1903 di Desa
Somongari yang terletak sekitar 12 kilometer sebelah tenggara Kota Pur-
worejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Jumeno Senen Sastrosuharjo, adalah ser-
dadu KNIL berpangkat sersan, sementara ibunya bernama Siti Senen. Pada
malam kelahirannya, sang ayah memberinya nama Wage Soepratman.
Akan tetapi, pada umur sebelas tahun, nama Rudolf ditambahkan padanya
supaya memudahkan Soepratman masuk ke Europeesche Lagere School,
Sekolah Dasar yang mayoritas diisi anak-anak Belanda.
21
BUNYI MERDEKA
Potret W.R. Soepratman
Pada 1914, Soepratman mengikuti kakak sulungnya, Rukiyem, ke Makas-
sar. Di sana, ia bersekolah sampai ke taraf Normaalschool. Soepratman lan-
tas bekerja di kantor pengacara Belanda, kemudian sebagai guru Sekolah
Angka 2 dan juga di kantor sebuah perusahaan dagang serta firma hukum.
Semasa tinggal di Makassar inilah bakat musiknya dikembangkan oleh ka-
kak iparnya, suami Rukiyem, yang berprofesi sebagai guru musik tentara
kolonial. Sastromiarjo alias Willem Mauritius van Eldik, sang kakak ipar,
mengajarinya bermain biola.
Sepulangnya ke Pulau Jawa pada 1924, Soepratman bekerja sebagai war-
tawan di Bandung dan Jakarta. Ia menyumbangkan artikel-artikel pelapo-
ran pada surat kabar Kaoem Moeda, Kaoem Kita dan juga Sin Po. Pada ma-
sa-masa inilah ketertarikannya pada dunia pergerakan kebangsaan yang
22
sudah muncul semasa ia di Makassar semakin menguat dan ia pun mulai
bergaul dengan para tokohnya. Dalam suasana perjuangan kebangsaan
inilah Soepratman menciptakan sejumlah lagu-lagu perjuangan yang
membangkitkan semangat patriotik. Gubahan pertamanya adalah sebuah
lagu berjudul Dari Barat Sampai Ke Timur:
“Dari Barat sampai ke Timur/ Berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu/ Itulah Indonesia
Indonesia Tanah Airku/ Aku berjanji padamu
Menjunjung Tanah Airku/ Tanah Airku Indonesia”
Lagu perjuangan yang diciptakan pada 1926 ini dari segi musik menyerupai
lagu La Marseillaise, sebuah lagu perjuangan Revolusi Prancis yang kemudi-
an diadopsi sebagai lagu kebangsaan Prancis.
Sekitar masa inilah Soepratman membaca sebuah artikel di majalah Tim-
boel terbitan Solo yang menantang para komponis Indonesia untuk men-
ciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Tantangan ini juga dibarengi dengan
kabar yang tersiar dari Indonesische Clubgebouw yang menghendaki
supaya segera diciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Menjawab kebu-
tuhan historis bangsa ini, Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya yang
pada subjudulnya dengan terang tertulis “lagu kebangsaan”.
Berikut adalah lirik asli Indonesia Raya yang ditulis W.R. Soepratman pada
pertengahan tahun 1928 (Hutabarat 2001: 19-21):
I
Indonesia Tanah Airku
Tanah Tumpah Darahku
Di sanalah Aku Berdiri
Jadi Pandu Ibuku
Indonesia Kebangsaanku
Kebangsaan Tanah Airku
Marilah Kita Berseru
Indonesia Bersatu
Hiduplah Tanahku
Hiduplah Negeriku
Bangsaku, Jiwaku Semuanya
23
BUNYI MERDEKA
Bangunlah Rakyatnya
Bangunlah Bangsanya
Untuk Indonesia Raya
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Tanahku Negriku Yang Kucinta
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya.
II
Indonesia Tanah Yang Mulia
Tanah Kita Yang Kaya
Di sanalah Aku Hidup
Untuk Slama-lamanya
Indonesia Tanah Pusaka
Pusaka Kita Semuanya
Marilah Kita Berseru
Indonesia Bersatu
Suburlah Tanahnya
Suburlah Jiwanya
Bangsanya Rakyatnya Semuanya
Sadarlah Hatinya
Sadarlah Budinya
Untuk Indonesia Raya
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Tanahku Negriku Yang Kucinta
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
III
Indonesia Tanah Yang Suci
Tanah Kita Yang Sakti
Di sanalah Aku Berdiri
Menjaga Ibu Sejati
Indonesia Tanah Berseri
24
Tanah Yang Aku Sayangi
Marilah Kita Bernyanyi
Indonesia Abadi
Selamatlah Rakyatnya
Selamatlah Puteranya
Pulaunya, Lautnya, Semuanya
Majulah Negerinya
Majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Tanahku Negriku Yang Kucinta
Indones, Indones, Merdeka Merdeka
Hiduplah Indonesia Raya
Itulah lirik asli Indonesia Raya tiga stanza yang digubah W.R. Soepratman.
Pada 8 September 1944, Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan sejumlah
perubahan kecil atas lagu tersebut dengan ketentuan umum: apabila di-
nyanyikan satu stanza saja, maka ulangannya dinyanyikan dua kali, se-
dangkan jika dinyanyikan tiga stanza, maka ulangannya dinyanyikan satu
kali pada dua stanza pertama dan dua kali pada stanza ketiga. Pada 26 Juni
1958, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 44 yang menetapkan gu-
bahan, irama, nada dan tata tertib dalam membawakan lagu tersebut.
Kisah dikumandangkannya lagu Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda
Kedua punya latar yang menarik. Sebagai wartawan koran Sin Po, Soeprat-
man pernah meliput Kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan an-
tara 30 April dan 2 Mei 1926. Ketika akan diselenggarakan Kongres Pemuda
Kedua yang nantinya menghasilkan Sumpah Pemuda, Soepratman pun di-
tugasi meliputnya kembali.
Mula-mula, demi keperluan liputan, Soepratman bertemu dengan Soegon-
do Djojopoespito, salah seorang tokoh muda dan kawan satu indekos Su-
karno ketika di Surabaya. Dalam pertemuan itu, ia diminta Soegondo mem-
bawakan lagu Indonesia Raya dalam suatu acara di gedung Indonesische
Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106. Acara inilah yang kemudian digelar
sebagai Kongres Pemuda Kedua. Pada malam 28 Oktober 1928, tepat sebe-
lum putusan kongres dibacakan, W.R. Soepratman membawakan Indone-
sia Raya dalam gesekan biola. Atas pertimbangan Soegondo, demi mengh-
25
BUNYI MERDEKA
indari represi oleh agen-agen kolonial yang terus memantau keseluruhan
acara, lagu itu pun sengaja tidak dinyanyikan.
Pada tahun 1930, lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan di depan umum.
Pemerintah kolonial menganggap lagu itu subversif dan mengganggu
“ketenangan dan ketertiban” (rust en orde). Lagu tersebut dikhawatir-
kan dapat memicu semangat kemerdekaan atau pemberontakan terha-
dap pemerintah yang sah. Seiring dengan pelarangan lagu Indonesia Raya,
Soepratman pun ditangkap polisi dan diinterogasi badan intelijen kolonial
(Politieke Inlichtingen Dients). Pelarangan tersebut memicu protes yang
meluas sampai menjadi perdebatan keras di Volksraad.
Catatan intelejen kolonial tentang Indonesia Raya
Dalam menyuarakan cita-cita kemerdekaan, Soepratman tak hanya ber-
henti pada gubahan musik. Ia juga menulis novel berjudul Perawan Desa
yang ditulis dan diterbitkan pada 1929. Novel itu berkisah tentang keseng-
saraan hidup di bawah kolonialisme yang dipotret melalui cerita para kuli
kontrak di tanah perkebunan Deli, Sumatra Utara. Karena mengandung
kritik atas pemerintah kolonial, novel itu pun disita dan dimusnahkan oleh
aparat Belanda.
SelainmenggubahIndonesiaRaya, DariBaratSampaiKeTimur, IndonesiaIbuku,
Di Timur Matahari, serta sejumlah lagu mars pergerakan, W.R. Soepratman
juga mencipta Ibu Kita Kartini, yang terinspirasi dari liputannya atas Kong-
res Perempuan Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928,
dan Matahari Terbit. Lagu terakhir itu dianggap subversif oleh pemerintah
26
kolonial dan menggiring Soepratman dijebloskan ke penjara Kalisosok,
Surabaya, pada Agustus 1938. Kelelahan fisik dan psikis membuat Soeprat-
man jatuh sakit dan akhirnya meninggal di Surabaya, Jawa Timur, pada 17
Agustus 1938. Pada detik-detik penghabisannya, ia menulis secarik surat
wasiat (Rahman 2016: 34):
“Selamat tinggal tanah airku
Tanah tumpah darahku
Indonesia tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Selamat tinggal bangsaku!”
1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya
W.R. Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya dengan dua versi. Versi
pertama menggunakan tanda sukat 6/8 yang bisa dilihat dari partitur yang
diterbitkan oleh koran Sin Po. Versi lainnya adalah versi dengan menggu-
nakan tanda sukat 4/4. Keduanya tidak terlalu memiliki perbedaan, kecuali
pada nilai-nilai nada. Lain daripada itu, Soepratman juga memberikan versi
keroncong dan versi waltz. Kemungkinan yang dimaksud dengan Indonesia
Raya versi waltz adalah yang menggunakan sukat 6/8, dan versi keroncong
yang menggunakan sukat 4/4.
Syair yang pertama kali dibuat oleh Soepratman juga sudah diubah bebe-
rapa kali, sesuai dengan kebutuhan artistik dan politik. Adapun syair awal
Soepratman berbunyi:
Indonesia, tanah airku,
Tanah tumpah darahku
Disanalah aku berdiri
Menjaga Pandu ibuku
Indonesia, kebangsaanku
Kebangsaan tanah airku
Marilah kita berseru
“Indonesia bersatu”
Hiduplah tanahku
Hiduplah neg’riku
Bangsaku, jiwaku, semua
27
BUNYI MERDEKA
Bangunlah rakyatnya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Tanahku, neg’riku yang kucinta
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Hiduplah Indonesia Raya
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Tanahku, neg’riku yang kucinta
Indones’, Indones’
Mulia, mulia
Hiduplah Indonesia Raya
Judul yang pertama kali diberikan Soepratman untuk karangannya adalah
Indonesia.
Setelah melihat kemerdekaan sudah mulai muncul di cakrawala, Sukarno
meminta Kusbini untuk membentuk sebuah panitia guna menyempur-
nakan lagu dan syair Indonesia Raya agar dapat menjadi lagu kebangsaan.
Pada pertengahan 1944, dibentuklah sebuah Panitia Lagu Kebangsaan yang
dipimpin oleh Kusbini. Adapun panitia tersebut terdiri dari para tokoh na-
sional, yaitu:
1.	 Sukarno
2.	 Ki Hadjar Dewantara
3.	 Achiar
4.	 Bintang Sudibyo
5.	 Darmajaya
6.	 Kusbini
7.	 Kyai Haji Mansyur
8.	 Muhammad Yamin
9.	 Sastromulyono
10.	 Sanoesi Pane
11.	 Cornel Simandjuntak
12.	 A. Subardjo
28
13.	 Utoyo
Panitia Lagu Kebangsaan itu selesai merumuskan persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan syair dan sekaligus membuat ketetapan-ketetapan
sebagai berikut:
1.	 Apabila lagu Indonesia Raya dinyanyikan satu kuplet saja, maka
ulangannya dilagukan dua kali. Apabila dinyanyikan tiga kuplet,
maka ulangannya dilagukan satu kali, kecuali kuplet ketiga yang
ulangannya tetap dilagukan dua kali.
2.	 Ketika menaikkan bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indone-
sia Raya harus diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. Kalau se-
dang berbaris, dipakai ukuran cepat 120.
3.	 Perkataan “semua” diganti dengan perkataan “sem’wanya.” Not
ditambah dengan Do.
4.	 Perkataan “refrein” diganti dengan perkataan “ulangan.”
Pada kenyataannya, perubahan pada syair Indonesia Raya bukan hanya
pada kata “semua,” tetapi, lebih dari itu. Perubahan itu didasarkan atas
pertimbangan tata bahasa, sastra dan musik. Di bawah ini adalah perban-
dingan antara syair asli Indonesia Raya buatan Soepratman dan revisi yang
dibuat oleh Panitia Lagu Kebangsaan:
Kuplet I
	1928						1944
Menjaga pandu ibuku				 Jadi pandu ibuku
Kebangsaan tanah-airku			 Bangsa dan tanah airku
Bangsaku, jiwaku semua		 Bangsaku, rakyatku sem’wanya
Bangunlah, rakyatnya			 Bangunlah jiwanya
Bangunlah, bangsanya			 Bangunlah badannya
Kuplet II
Disanalah aku hidup				 Disanalah aku berada
Marilah kita berseru				 Marilah kita mendoa
29
BUNYI MERDEKA
Indonesia bersatu				Indonesia bahagia
Kuplet III
Menjaga ibu sejati				 Njaga ibu sejati
Selamatlah rakyatnya				S’lamatlah rakyatnya
Selamatlah putranya				S’lamatlah putranya
Pulaunya, lautnya semua		 Pulaunya, lautnya sem’wanya
Pada praktiknya, setelah kemerdekaan, meskipun sudah dikodifikasi
oleh Panitia Lagu Kebangsaan, masih banyak ditemukan berbagai varia-
si cara memainkan lagu Indonesia Raya. Akhirnya, pemerintah pada masa
itu menganggap perlu suatu intervensi untuk menetapkan cara-cara lagu
kebangsaan dimainkan. Oleh sebab itu, pada 16 November 1948, Presiden
Sukarno memutuskan untuk membentuk Panitia Indonesia Raya. Tugas
utama dari panitia tersebut adalah untuk memberikan saran-saran kepada
Pemerintah mengenai:
1.	 Cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam
berbagai upacara resmi dan tidak resmi.
2.	 Cara mengibarkan dan memakai bendera kebangsaan
Sang Merah Putih.
3.	 Bentuk, isi dan cara pemakaian lambang negara Republik
Indonesia.
4.	 Hal-hal lain yang dianggap perlu dan bersangkutan de-
ngan lagu kebangsaan, bendera kebangsaan Sang Merah
Putih dan lambang negara yang belum tersebut dalam
butir 1, 2 dan 3.
Judul Indonesia Raya baru diberikan kemudian, setelah dirasa judul awalnya
kurang mencerminkan kemegahan negeri Indonesia. Kata-kata “mulia”
dalam syair awal buatan Soepratman juga mengalami perubahan pada
1944. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Lagu Kebangsaan yang diminta
Sukarno untuk merumuskan lagu kebangsaan, mengingat kemungkinan
kemerdekaan yang sudah ada di depan mata. Keputusan Sukarno itu lalu
menetapkan bahwa lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia.
30
Lebih dari satu dasawarsa kemudian, pada 1958 pemerintah mengeluarkan
penetapan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1958 yang
menegaskan perihal Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya. Selanjutnya PP
tersebut juga menegaskan tentang cara menyanyikan, penggunaan dan
tata tertib penggunaan lagu kebangsaan. Berkait dengan cara menyanyi-
kan PP tersebut menyatakan sebagaimana termaktub dalam pasal 2 ayat
(1), (2) dan (3):
(1)	 Pada kesempatan-kesempatan di mana diperdengarkan Lagu Ke-
bangsaan dengan alat-alat musik, maka lagu itu dibunyikan leng-
kap satu kali, yaitu satu strofe dengan dua kali ulangan.
(2)	 Jika pada kesempatan-kesempatan Lagu Kebangsaan dinyanyi-
kan, maka lagu itu dinyanyikan lengkap satu bait, yaitu bait per-
tama dengan dua kali ulangan.
(3)	 Jika dalam hal tersebut pada ayat 2 di atas, Lagu Kebangsaan di-
nyanyikan seluruhnya, yaitu tiga bait, maka sesudah bait yang
pertama dan sesudah bait yang kedua dinyanyikan ulangan satu
kali dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan satu kali
dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan dua kali.
Perkembangan selanjutnya berdasarkan peraturan pemerintah melalui In-
struksi Menteri Muda Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan Nomor
1 tanggal 17 Agustus 1959, telah ditetapkan tujuh lagu-lagu perjuangan
sebagai lagu wajib yaitu (1) lagu ‘Kebangsaan Indonesia Raya’ ciptaan W.R.
Soepratman. (2) lagu ‘Bagimu Neg’ri’ ciptaan Kusbini. (3) lagu ‘Maju tak
Gentar’ ciptaan Cornel Simandjuntak. (4) lagu ‘Hallo-hallo Bandung’ cip-
taan Ismail Marzuki. (5) lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ ciptaan Ismail Marzu-
ki. (6) lagu ‘Berkibarlah Benderaku’ ciptaan Bintang Sudibyo, dan (7) lagu
‘Satu Nusa Satu Bangsa’ ciptaan L. Manik.
Kodifikasi terakhir terhadap lagu Indonesia Raya adalah melalui UU Nomor
24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, yang sekali
menegaskan perihal Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan berikut aturan
tambahan penggunaannya. Ini tercantum dalam Bab V bagian kedua ter-
kait penggunaan lagu kebangsaan, pasal 59 ayat (1), Lagu Kebangsaan wajib
diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a.	 untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden;
31
BUNYI MERDEKA
b.	 untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau
penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara;
c.	 dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah;
d.	 dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawa-
ratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah;
e.	 untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan ne-
gara sahabat dalam kunjungan resmi;
f.	 dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan
g.	 dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.
Selain itu lagu kebangsaan Indonesia Raya juga boleh digunakan untuk
momen tertentu. Pada pasal 59 ayat (2) disebutkan bahwa lagu kebangsaan
dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a.	 sebagai pernyataan rasa kebangsaan;
b.	 dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran;
c.	 dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi,
partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau
d.	 dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni internasional.
Menurut pasal 60 pada bagian ketiga undang-undang, tata cara penggu-
naan lagu kebangsaan adalah sebagaimana berikut:
1.	 Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat
musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan
secara instrumental.
2.	 Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan
lengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrein.
3.	 Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinya-
nyikan lengkap satu stanza pertama, dengan satu kali u-
langan pada bait ketiga stanza pertama.
Sebagai tambahan dari pasal 61, apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan
lengkap tiga stanza, bait ketiga pada stanza kedua dan stanza ketiga dinya-
nyikan ulang satu kali. Sementara sikap hadirin tertulis pada pasal 62 yang
berisi bahwa setiap orang yang hadir pada saat lagu kebangsaan diperde-
ngarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
32
1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi
Sebelum ini sudah dibahas mengenai gambaran umum situasi pra-ke-
merdekaan, lebih tepatnya, Kebangkitan Nasional sampai Sumpah Pemu-
da, terutama kisah tragis pahlawan bangsa, W.R. Soepratman dan karya
gubahannya yang kita kenal sebagai lagu kebangsaan.
Bagian ini akan menguraikan kemerdekaan sebagai bunyi atau kemung-
kinan-kemungkinan bunyi kemerdekaan. Apa maksudnya kemerdekaan
sebagai bunyi? Dapatkah bunyi menjadi merdeka atau, setidaknya, melam-
bangkan kemerdekaan? Apakah mungkin musik menyampaikan mak-
na kemerdekaan sebagai sebuah karya abstrak?3
Bagaimana sebuah bu-
nyi-bunyian yang tersistematisasi membakar semangat perjuangan ke-
merdekaan? Apakah memang mungkin? Pertanyaan-pertanyaan semacam
ini akan coba dilukiskan secara umum sebagai pengantar kajian yang lebih
mendalam pada bab selan-
jutnya.
Sudah dijelaskan bahwa
lagu kebangsaan Indone-
sia Raya digubah oleh W.R.
Soepratman menggunakan
biola. Kemudian, agar men-
jadi lagu kebangsaan yang
sekarang kita kenal, gu-
bahan Soepratman itu di-
orkestrasi oleh seorang
komponis Belanda bernama
Josef Cleber. Tidak semua
komponis menggubah la-
gunya memang untuk orkes
besar, Soepratman salah sa-
tunya. Mengingat kondisi
bangsa tatkala Soepratman
menggubah Indonesia Raya,
wajar saja ia tidak memper-
3 Karya abstrak berarti karya yang disarikan dari nilai-nilai kunci sebuah satuan wujud.
Sebagai misal, sila-sila dari Pancasila merupakan abstraksi dari nilai-nilai filosofis bangsa
Indonesia yang terperikan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Josef Cleber
33
BUNYI MERDEKA
siapkan orkestrasi penuh. Soepratman menggubah Indonesia Raya di bawah
bayang-bayang kuasa kolonial di mana kehidupan serba sementara dan ti-
dak ada kepastian masa depan. Benar saja, Soepratman meninggal di usia
muda sebelum sempat mendengar kebangkitan bangsa yang ia impikan.
Baik Indonesia Raya bentuk asli Soepratman dan Cleber memiliki napas yang
sama, napas perjuangan dan kebangkitan bangsa. Namun, nuansa kedua
bentuk tersebut amat berbeda. Hal ini dikarenakan perbedaan karakter
alat musik, di mana versi asli menggunakan biola dan versi di kemudian
hari, versi yang kita kenal sekarang, menggunakan orkestra penuh. Jika
dalam seni lukis kita mengenal warna, maka seni musik juga mengenal
warna. Warna dalam seni musik digunakan untuk memberikan kesan yang
berbeda, sama halnya dengan seni lukis. Oleh sebab itu, setiap alat musik
memiliki warnanya masing-masing, sesuai dengan karakter yang dimiliki
oleh alat musik itu sendiri.
Sebelum kita masuk lebih jauh ke dalam pemahaman musik Indonesia Raya,
terutama dalam kaitan dengan bunyi kemerdekaan, kita perlu memastikan
apa itu musik. Ini perlu agar kita tidak keliru antara bunyi kemerdekaan
dan bunyi-bunyi yang tersistematisasi lainnya. Juga karena lagu kebang-
saan kita adalah Indonesia Raya, bukan Bendera gubahan kelompok musik
Coklat, bukan juga Padamu Neg’RI ciptaan Kusbini dan lagu-lagu nasional
lainnya.4
1.3.1. Apa Itu Musik?
Perlunya mencari definisi musik yang tidak hanya niscaya, tetapi juga me-
madai menjadi penting dalam pembahasan mengenai musik kebangsaan,
4 Ternyata, ketika Kusbini menggubah lagu Padamu Neg’RI, kata terakhir, yaitu Neg’RI bu-
kan dimaksudnya sebagai negeri dalam artian tanah tumpah darah. Kata Neg’RI, dan ini
adalah alasan saya menggunakan huruf besar untuk sukukata “RI,” rupanya adalah sing-
katan dari Negara Republik Indonesia. Ketika itu, Kusbini dipanggil oleh Sukarno ke ibukota
Indonesia yang waktu itu bertempat di Yogyakarta. Konon katanya, Sukarno beberapa kali
memanggil Kusbini untuk melihat lagu apa yang sudah dikarang olehnya. Pada hari itu,
Kusbini datang dengan sepeda dan membawa sebuah map berisikan naskah lagu Padamu
Neg’RI. Pada awalnya, kalimat terakhir dari syair lagu tersebut adalah “Indonesia Raya.”
Menyadari hal itu, Sukarno menegur Kusbini agar ia mengubahnya karena ketika itu belum
ada yang namanya Republik Indonesia. Oleh sebab itu, sekarang kita mengenal lagu terse-
but dengan syair penutup “Jiwa raga kami.” Sedangkan singkatan pada judul lagu tersebut
menunjukkan bentuk-bentuk perlawanan kepada pemerintahan kolonial dalam bentuk pe-
san-pesan tersembunyi.
34
terutama Indonesia Raya sebagai perwujudan saripati pergerakan kebang-
saan. Definisi memadai secara logis lebih kuat daripada definisi niscaya.
Artinya begini, bunyi-bunyian merupakan salah satu elemen musik paling
dasar, tetapi tidak semua bunyi-bunyian bisa dikatakan sebagai musik.
Sedangkan definisi memadai tetap berlaku, meskipun definisinya dibalik.
Misalnya, contoh yang cukup populer, manusia adalah binatang rasional.
Ketika dibalik, semua binatang rasional adalah manusia dan berlaku juga
sebaliknya, semua manusia adalah binatang rasional.
Mengingat unsur di atas, maka dari itu, musik biasanya dijelaskan sebagai
bunyi atau suara. Definisi ini terlalu luas, meskipun secara umum bisa me-
nerangkan apa itu musik, sehingga suara-suara yang dihasilkan oleh apa
pun, selama memiliki frekuensi, baik yang bisa didengar oleh manusia atau
tidak, akan jatuh ke dalam kategori musik. Menurut definisi ini, maka anak
kecil yang memukul panci atau menangis bisa disebut musik. Bukan itu.
Terutama untuk keperluan kita sekarang, tidak mungkin kita menyamakan
antara Indonesia Raya dan tangisan anak kecil karena kehilangan mainan-
nya. Indonesia Raya digubah dengan pertumpahan darah W.R. Soepratman
justru agar anak kecil itu bisa bebas menangis sekarang.
Pengembangan dari definisi awal itu biasanya menentukan musik sebagai
suara yang tersistematisasi. Artinya, suara yang disusun, dibentuk atau
dirangkai dengan atau tidak saksama sehingga menjadi sebuah kesatuan
baru. Sekali lagi, definisi ini masih sedikit luas, meski sudah mulai menyem-
pit. Dapat kita lihat, definisi ini juga menyertakan suara-suara yang ter-
sistematisasi seperti misalnya seruan para pekerja yang sedang demons-
trasi, erangan (keluh kesah) kucing meminta makan (minta kawin), keluh
kesah kucing kelaparan yang minta makan dan kawin, dan seterusnya.
Suara-suara seperti itu merupakan bunyi yang terorganisir dan memiliki
tujuan tertentu, bukan hanya keusilan untuk membuang waktu. Tetapi,
apakah suara semacam itu adalah musik? Untuk itu, kita harus menyem-
pitkan lagi definisi kerja kita agar lebih menyesuaikan dengan Indonesia
Raya sebagai sebuah karya seni musik. Dengan mempertimbangkan pelaku
yang memproduksi suara, kita sebetulnya sudah mengarah kepada definisi
yang lebih baik dan tegas. Kesulitannya adalah tidak semua produksi suara
manusia, sebagai pelaku, bisa dikategorikan sebagai musik. Contohnya,
tangisan anak kecil yang menuntut mainan kegemarannya tadi.
Musik juga tidak bisa dibilang selalu dibuat untuk menyampaikan ide yang
35
BUNYI MERDEKA
dimiliki oleh penggubahnya. Lagi pula, tidak semua musik memiliki ide
atau gagasan yang ingin disampaikan. Sandi suara, kalau begitu, bisa dise-
but musik karena menyampaikan pesan tertentu dengan menggunakan
frekuensi yang terorganisir. Diperlukan sebuah kategori lagi untuk lebih
memperjelas definisinya sehingga bisa menjadi memadai, yaitu, kategori
tujuan. Oleh sebab itu, mungkin musik dapat dijelaskan sebagai:
“Bebunyian yang disusun secara temporal oleh seseorang de-
ngan maksud memperkaya atau menegaskan pengalaman me-
lalui kesertaan aktif (misalnya, mendengar, menari, memper-
tunjukkan) dengan menggunakan medium suara, setidaknya
hampir seluruhnya, sebagai suara.”
Dengan memberikan landasan definisi musik, maka kita bisa memulai ka-
jian tentang musik Indonesia Raya dengan lebih terang. Jelas dari definisi
tersebut kita bisa melihat bahwa Indonesia Raya masuk ke kategori musik.
Pertama-tama karena lagu tersebut digubah oleh seseorang yaitu W.R.
Soepratman. Kemudian, jelas pula maksud dari Soepratman menggubah
lagu Indonesia Raya, yaitu untuk memperkaya atau menegaskan penga-
laman masyarakat Indonesia. Semua ini dimungkinkan melalui kesertaan
aktif para pendengarnya yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri.
Berbicara mengenai maksud atau tujuan sebuah karya musik, kita harus
bicara mengenai kemampuan ekspresinya. Pada umumnya, ada dua arus
besar dalam teori kajian musik. Arus pertama adalah formalisme, yang
menghasilkan musik absolut, yaitu arus yang menolak makna terselubung
di balik tatanan musikal yang sudah rapi tersusun oleh seorang kompo-
nis dan/atau merasa bahwa musik tidak mungkin merujuk pada sesuatu di
luar dirinya sendiri.5
Sedangkan arus kedua adalah paham musik program,
artinya, musik yang memang sengaja digubah dengan tujuan membang-
kitkan perasaan tertentu dan/atau berupaya menggambarkan tema-tema
tertentu. Paham pertama biasanya menolak kemampuan ekspresif dari
musik sama sekali, tetapi keduanya biasanya sepakat bahwa musik tidak
memiliki rujukan semantik.
5 Selain menolak makna terselubung, para penganut formalisme juga menolak makna ek-
splisit. Intinya, segala bentuk makna betul-betul ditolak. Meskipun begitu, formalisme juga
memiliki posisi moderat yang masih memberi ruang bagi ekspresi musikal untuk aneka
rupa musik program atau musik dengan lirik atau teks seperti opera dan tentu saja Indonesia
Raya.
36
Lagu Indonesia Raya masuk ke kategori nomor dua, yaitu musik yang sen-
gaja digubah dengan tujuan membangkitkan perasaan tertentu dan, khu-
susnya untuk kasus Indonesia Raya, berupaya menggambarkan tema-tema
tertentu. Tentunya yang digambarkan oleh Indonesia Raya bukan kenya-
taan itu sendiri, tetapi kesan yang ditimbulkan dari rangkaian nada-nada
tertentu. Komponis Hungaria Franz Liszt masuk ke kategori musik pro-
gram ini dan memang menurut Liszt, musik program menuntut kemam-
puan lebih tinggi dari penggubahnya karena sang penggubah tidak hanya
melakukan manipulasi atas relasi formal musikal semata.6
Jadi, seperti apa itu musik absolut atau musik formal? Musik yang tidak
dipengaruhi atau berhubungan dengan peristiwa atau wujud di luar musik.
Musik absolut tidak menggambarkan gugusan awan, sinar rembulan, su-
ngai yang memercik, gemuruh samudra, palung tak berdasar dan seterus-
nya. Musik program, dengan sendirinya, mampu menggambarkan pan-
tulan matahari di tebing gunung kuarsa, kicauan burung, keindahan alam
semesta, sangkakala maut, arak-arakan kematian, sampai pengalaman
mencapai langit ke tujuh.7
Dalam musik program, nada-nada dirangkai se-
demikian rupa sehingga kesan yang diinginkan dapat tercapai.
1.3.2. Pergerakan Nasional dan Musik
Berbicara tentang musik sebagai bagian dari Pergerakan Nasional, pada
dasarnya memiliki dua kandungan yang berbeda namun tidak mudah di-
pisahkan. Pertama, ini terkait dengan gagasan nasionalisme dalam musik,
dan kedua, terkait dengan peran musik di dalam menumbuhkan identi-
tas nasional. Gagasan nasionalisme dalam musik ini sebenarnya meru-
pakan refleksi dari munculnya semangat identitas nasional sebagai ke-
kuatan politik di abad ke-19, termasuk di dalamnya gelombang gerakan
kemerdekaan. Kelahirannya berkaitan erat dengan pemujaan terhadap
“rasa” dan “identitas”, plus tuntutan liberal akan negara yang lebih ber-
basis pada kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan raja maupun Tuhan.
6 Yang dimaksud dengan relasi formal adalah betapapun kita ingin membayangkan keadaan
atau peristiwa tertentu ketika mendengarkan musik absolut, kita akan kesulitan mendapat-
nya. Hal ini dikarenakan ketika digubah, musik macam ini tidak ditujukan untuk menggu-
gah khayalan korespondensi.
7 Penekanan ada dalam kata “mampu”. Artinya, musik program berupaya untuk menggam-
barkan berbagai kondisi nyata di luar musik. Soal keberhasilannya menggambarkan kondi-
si-kondisi itu, ternyata adalah masalah lain.
37
BUNYI MERDEKA
Karena itu, gagasan musik dalam nasionalisme di sini merujuk pada negeri,
wilayah, bahkan etnisitas sebagaimana yang ditampilkan melalui nada-na-
da, ritmis, dan harmoni musik rakyat/daerah, maupun adopsi subjek-sub-
jek nasional untuk opera, simfoni maupun bentuk-bentuk musik lainnya.
Fenomena nasionalisme dalam musik ini, dari sisi musik klasik terwakili
oleh figur Frederic Chopin yang mencipta Etude ke-12, yang biasa disebut
sebagai Etude Revolusioner ataupun Etude Bombardemen Warsawa, yang
muncul bersamaan dengan serangan kekaisaran Rusia terhadap Polandia
pada 1831. Begitu juga ketika Chopin pindah ke Prancis dan berhubungan
erat dengan sastrawan aktivis Georges Sand, pada 1848 saat pecah gelom-
bang yang kesekian dari Revolusi Prancis, Chopin membuat lagu Polonaise
in A-flat major, Op. 53, atau biasa disebut Polonaise Kepahlawanan (Heroic).
Komponis lain yang juga tersangkut gelombang nasionalisme dalam musik
adalah Bela Bartok. Antipatinya terhadap dominasi ruang-ruang pertun-
jukan musik Eropa yang mengharuskan penampilan repertoar bergaya
Beethoven pada abad ke-19, membuatnya memilih untuk menggali musik-
musik dari kaum tani Hungaria dan Romania. Ini ditujukan untuk menun-
jukkan kepada masyarakat musik Eropa bahwa musik itu tidak berasal dari
kantong uang para maesenas, tetapi dari rakyat yang ada di pegunungan
Moravia misalnya.
Kandungan yang kedua, beranjak pada fungsi sosial musik sebagai sara-
na masyarakat untuk menghadapi kesukaran, menyuarakan keresahan,
ataupun menyerukan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam
hal ini musik menjadi bagian dari identitas politik yang membuat pem-
bedaan-pembedaan antara “kita” dan “yang lain”. Walaupun demikian,
patut diperhatikan juga bahwa musik adalah juga instrumen yang memi-
liki kemampuan untuk merangsang konflik ataupun perang, sebagaimana
juga kemampuannya untuk memulihkan perdamaian. Musik-musik perge-
rakan yang dibuat oleh para musisi Afrika Selatan seperti Miriam Makeba,
Hugh Masekela, Abdullah Ibrahim, di dalam perjuangan menentang politik
diskriminasi ras apartheid Afrika Selatan adalah bagian dari upaya mem-
bangun identitas politik.
Paling tidak sejak abad ke-17 musik sudah dihubung-hubungkan dengan
bahasa tutur. Tentu saja, teori ini berkembang di belahan dunia barat. Ke-
tika itu, seorang komponis dari Italia, Jacopo Peri, dengan karyanya yang
berjudul Euridice, menggunakan teknik bernyanyi yang mirip dengan gaya
tutur. Dalam tatanan musik barat, gaya bernyanyi tutur seperti ini disebut
38
recitativo. Opera Euridice sendiri berulang kali dianggap sebagai salah satu
karya opera pertama yang pernah digubah. Sebagai penggabungan antara
teater dan musik, opera mesti memiliki dialog antara pemain-pemainnya.
Debat mengenai musik dan bahasa tutur ini berlanjut dan menemui pun-
caknya ketika Charles Darwin menolak pandangan Herbert Spencer yang
menyatakan bahwa musik berasal dari tuturan manusia. Menurut Dar-
win, bukan musik yang berasal dari bahasa tutur, melainkan bahasa tutur
yang berasal dari musik. Tetapi, terlepas dari kedua perbedaan pendapat
itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya musik mengemban
nilai-nilai emosional.
Tidaklah berlebihan apabila kita mengatakan bahwa W.R. Soepratman da-
lam kandungan musik identitas politik berada di atas puncak gunung kom-
ponis nasionalisme musik bersama Smetana, Dvorak, Liszt, Bartok, Enescu,
Sibelius, Elgar, Shostakovich. Karena apa yang dituturkannya, dan yang di-
bunyikannya seolah-olah menyuarakan hal yang sama dengan para kom-
ponis besar tersebut: “Aku sudah hidup dan mati untuk negaraku.”
II
Musik Sebelum Indonesia Raya
Tidak bisa dipungkiri, terdapat pengaruh kebudayaan barat dalam komposisi
Indonesia Raya bahkan sebelum Josef Cleber ditugasi untuk mengorkestrasin-
ya. W.R. Soepratman menggubahnya pertama kali menggunakan biola, se-
buah instrumen yang tidak ditemukan di tanah air. Kemudian, kita bisa men-
dengar sekilas pengaruh musik keroncong dalam gubahan awal Soepratman,
lagi-lagi dipengaruhi oleh musik Portugis yang waktu itu datang membawa
alat musik semacam ukulele bernama cavaquinho atau braguinha. Tergantung
dari sukat (time signature) yang digunakan, kita juga dapat merasakan pen-
garuh musik waltz dalam gubahan Soepratman, sekali lagi membuktikan bah-
wa dalam Indonesia Raya pengaruh musik barat begitu mencolok.8
Bab ini akan memaparkan perjumpaan budaya antara Indonesia dan negara
lain, karena pengaruh budaya tidak hanya berlaku satu arah saja. Di Belanda,
misalnya, terdapat komunitas yang aktif melestarikan musik-musik daerah
jajahan, terutama Indonesia.9
Tujuan dari bab ini adalah memberikan gam-
baran umum mengenai kondisi budaya tanah air, termasuk di dalamnya pen-
garuh tekanan kolonial terhadap alam pikir masyarakat pada masa pemerin-
tahan kolonial. Diharapkan pembaca dapat memahami peristiwa pertukaran
budaya yang terjadi dengan lebih jernih dan terbuka.
Penjelasan yang diberikan di sini sifatnya hanya penjelasan umum, bukan
penjelasan menyeluruh tentang tradisi musik Nusantara. Pemaparan budaya
musik tanah air membutuhkan riset etnomusikologi yang lebih meluas, se-
mentara ruang yang ada terbatas untuk membahas musik Indonesia Raya.
Perlu diketahui bahwa budaya tradisional masyarakat tanah air sudah banyak
yang punah. Kepunahan ini sudah terjadi bahkan sebelum ada arus mod-
8 Tanda sukat yang digunakan oleh Indonesia Raya yang kita kenal sekarang adalah 4/4, se-
dangkan, sebelumnya tanda sukat yang digunakan adalah 6/8 sehingga kita bisa mendengar
pengaruh musik waltz yang kentara dalam versi itu.
9 Contoh yang paling terkenal adalah Wieteke van Dort. Ia bahkan memiliki sebuah acara tele-
visi yang menjangkitkan kebudayaan Nusantara, terutama Jawa.
40
ernisasi sekarang ini. Kepunahan ini ada yang dipaksakan dan ada yang
memang terjadi secara sukarela, seperti misalnya perubahan yang terjadi
akibat pertukaran budaya antar pedagang yang berjumpa di pelabuhan.
Tetapi, perubahan yang terjadi akibat pemaksaan juga tidak sedikit jum-
lahnya. Misalnya saja, agama-agama samawi yang masuk ke tanah air me-
maksa penduduk asli untuk meninggalkan budaya yang berkaitan dengan
ritus-ritus yang dianggap kafir atau memuja berhala di mana di dalam rit-
us-ritus pemujaan itu banyak kebudayaan yang mengandung, tidak hanya
musik, tetapi juga tari-tarian dan kearifan lokal lain.
Bagian ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar ke dalam tradisi musik
Nusantara sehingga bukan sama sekali bermaksud untuk menjadi lengkap.
Pemilihan tradisi yang diangkat juga tidak berdasarkan sistematika ter-
tentu, melainkan hanya sebuah pilihan praktis di tengah sedikitnya infor-
masi yang tersedia. Oleh sebab itu, bisa saja tradisi musik masyarakat adat
lain di Indonesia tidak termasuk ke pembahasan singkat ini. Catatan lain,
musik tradisional Jawa dan Bali, sebagai musik tradisional paling popu-
ler, baik di Nusantara maupun di dunia internasional, tidak akan dibahas.
Alasannya, karena sudah cukup banyak kajian mengenai musik tradisional
Jawa dan Bali dan sumber-sumber yang ada membahasnya dengan amat
terinci.10
Gamelan menjadi begitu populer dan koleksi gubahannya masih
berkembang terus sampai sekarang dibandingkan dengan musik tradisio-
nal masyarakat Indonesia lainnya. Orkes gamelan juga tidak lagi terbatas
pada tanah air Indonesia saja karena di Amerika Serikat, misalnya, ter-
dapat puluhan orkes gamelan yang melakukan pementasan rutin sekaligus
mengkaji aspek musikalnya.11
10 Lihat misalnya, Sumarsam, Jaap Kunst, Philip Yampolsky dan seterusnya, yang pernah
menulis musik tradisional Jawa, gamelan.
11 Tidak hanya itu, hampir semua institusi pembelajaran etnomusikologi di Amerika Utara
memiliki jurusan khusus musik gamelan, baik Jawa ataupun Bali. Pak Tjokro atau K.P.H.
Notoprojo, misalnya, pernah mengajar di California Institute of the Arts selama beberapa
waktu. Salah seorang murid beliau adalah komponis Amerika terkenal bernama Lou Harri-
son yang berulang kali menggunakan gamelan dalam komposisi modernisnya. Selain itu, I
Wayan Suweca mendirikan gamelan Sekar Jaya bersama beberapa muridnya, juga di Ame-
rika Serikat, selain mengajar di berbagai institusi pendidikan formal di sana. Peran musik
gamelan Jawa dan Bali begitu kuat, sehingga Rahayu Supanggah pernah menggubah musik
untuk pementasan I La Galigo, sebuah lakon yang diangkat dari kebudayaan Bugis kuno,
yang diciptakan oleh sutradara lakon kenamaan, Robert Wilson, menggunakan beberapa
instrumen gamelan dari Jawa dan Bali untuk komposisi musik yang seharusnya murni ber-
asal dari kebudayaan musik Bugis. (Ini bukan berarti komposisi Rahayu Supanggah jelek
41
BUNYI MERDEKA
Musik dalam tradisi masyarakat adat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
berbagai ritual upacara yang mengikutinya. Musik tradisional Nusantara
pada umumnya juga tidak pernah berdiri sendiri, seperti pada musik tra-
disional barat, karena musik tradisional Indonesia biasanya dimainkan un-
tuk mengiringi, misalnya tarian-tarian dan berbagai upacara adat. Oleh se-
bab itu, tidak banyak bisa disaksikan musik tradisional dipentaskan tanpa
ritual-ritual yang mengikutinya. Memang, berbagai upaya dilakukan untuk
terus melestarikan tradisi musik Nusantara yang semakin lama semakin
menghilang.
2.1. Etude Syailendra
Jejak-jejak awal kehidupan musik di Indonesia dapat ditemukan dalam
relief-relief Candi Borobudur dan Prambanan. Pada Candi Borobudur ter-
dapat 105 relief yang menggambarkan adegan musik dalam segala lingkun-
gan masyarakat dan dunia supernatural. Relief-relief tersebut ditemukan
pada cerita Karmawibangga, Lalitawistara, Jatakamala Jataka, Awadhana,
Gandawyuha dan Bhadracari. Relief-relief itu juga menggambarkan adanya
empat kelompok jenis alat musik yaitu Tata Vadya/Kordofon yang terdiri
dari alat musik petik; Ghana Vadya/Ideofon yang terdiri dari alat musik
pukul, dengan sumber bunyi pada alat musik itu sendiri seperti simbal,
genta, gambang, saron, dan sebagainya; Sushira Vadya/Aerofon yang ter-
diri dari alat-alat musik tiup; serta Avanaddha Vadya/Membranofon se-
perti gendang.12
atau bahkan salah. Komposisi Rahayu Supanggah boleh dikatakan tidak setia kepada tradisi
Bugis, akan tetapi, dalam proses penggubahan sebuah karya seni, hal semacam itu sah-sah
saja).
12 Peter Ferdinandus. “Perkembangan Musik Pada Dinasti Sailendra abad VIII-IX,” Kum-
pulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI, Solo 13-16 Juni 2008.
42
Gambar alat musik pada relief Candi Borobudur
Sementara pada kompleks Candi Prambanan terutama Candi Siwa terlihat
relief alat-alat musik dengan bentuk tarian yang dipahatkan pada pagar
langkan candi tersebut. Apabila seseorang mengelilingi candi tersebut dan
melihat ke atas akan terlihat adegan penari-penari dengan pemain musik
dan alat musik.
Selanjutnya bila diperhatikan perjalanan sejarah musik juga tampak pada
Candi Jalatunda, Jago, Jawi dan Penataran, terkait fungsi musik yang memi-
liki peran yang besar dalam masyarakat. Ini diperkuat lagi dengan data-da-
ta yang terdapat dalam prasasti-prasasti abad ke-8-15 Masehi.
Dari data arkeologi tersebut tampak gambaran bahwa musik tetap dikon-
trol oleh tokoh masyarakat seperti raja atau golongan istana. Dalam prasas-
ti berbahasa Jawa kuno maupun Bali kuno sepanjang abad ke-9-15 Masehi
tercatat peran penting musik dalam pendirian sima yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Naskah-naskah Jawa kuno se-
rupa kakawin, kidung dan sejenisnya menempatkan musik sebagai bagian
dari upacara, komunikasi, pemberi semangat dan taktik perang.
2.1.1. Syair Gendang dan Gong Nias
Fo’ere merupakan salah satu alat musik perkusi yang memiliki bentuk se-
43
BUNYI MERDEKA
rupa dengan moko dan nekara lokal, memiliki bentuk berpinggang sebagai
batas antara bagian tubuh. Pada salah satu bagian lubangnya digunakan
sebagai bidang pukul (timpanum). Pola hias fo’ere dan keletakan pola hias
menunjukkan kesamaan dengan pola hias nekara ataupun moko yaitu
pada pola hias kedok muka manusia, bulu burung dan segitiga berjajar. Se-
bagian fungsi fo’ere sama dengan fungsi nekara yaitu digunakan sebagai
alat musik untuk keperluan religi semata. Persamaan bentuk dan fungsi
serta pola hias dan peletakan pola hias yang diacu pada masa pembabakan
prasejarah (megalitik) yang dikaitkan dengan budaya Dong Son menguat-
kan hipotesis bahwa fo’ere bentuk alat musik perkusi dari budaya praseja-
rah.
Aramba (gong) merupakan alat musik jenis perkusi yang digunakan pada
upacara yang bersifat sakral maupun profan pada masyarakat Nias. Bentuk
aramba (gong) yang serupa dengan bentuk batu kenong dan batu gong,
yang merupakan hasil budaya megalitik memiliki kesamaan dengan aram-
ba (gong) yang digunakan masyarakat Nias pada khususnya. Mengingat ba-
han baku aramba (gong) yang digunakan adalah perunggu serta temuan
batu kenong dan batu gong berkaitan dengan budaya megalitik, maka sa-
ngat memungkinkan aramba (gong) merupakan salah satu bentuk budaya
materi yang berkaitan dengan budaya Dong Son masa prasejarah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa fo’ere dan aramba (gong) merupakan
bentuk alat musik perkusi yang berasal dari budaya Dong Son pada masa
prasejarah.
2.1.2. Ansambel Krinok
Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat
Melayu di Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Muara Bungo, Jambi.
Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian tertua yang telah ada
sejak prasejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini.
Cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum ma-
suknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digu-
nakan untuk pembacaan mantra atau doa tertentu, inilah yang kemudian
berkembang menjadi kesenian krinok.
Sebagai sebuah bentuk kesenian, krinok pada awalnya merupakan seni
vokal yang sangat sederhana. Krinok hanya berupa puisi lama yang dinya-
nyikan sedemikian rupa dengan nada-nada tinggi dan tanpa alat musik.
44
Krinok belumlah menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melain-
kan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi.
M. Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya dilantun-
kan oleh kaum laki-laki saat mereka bekerja di ladang atau mencari kayu di
hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga berbalasan dengan pe-
lantun lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini
sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang
sesuai dengan ajaran Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi rata-
pan. Namun, kesenian ini tetap bertahan karena dianggap memiliki fungsi
tersendiri bagi masyarakat. Krinok pada masa ini memiliki tiga fungsi yaitu
sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas dan untuk menarik
hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur
diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyu-
arakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka.
Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri de-
ngan memainkan alat musik kelintang kayu disela-sela waktu istirahat
saat bekerja di sawah. Kelintang kayu ini adalah alat musik tunggal yang
mampu menghasilkan nada yang harmonis. Kelintang kayu dibuat sendiri
oleh kaum perempuan di Rantau Pandan dengan menggunakan beberapa
potong kayu dari pohon ngkring beluka yang sudah dikeringkan. Setelah
kering, kayu dibelah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasil-
kan. Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu persegi panjang
dengan diberi alas dari ban bekas. Uniknya, kelintang kayu hanya memiliki
enam potongan kayu sehingga hanya memiliki enam nada. Pada masa da-
hulu masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang
kayu sehingga lebih mengandalkan naluri si pemain. Agar menghasilkan
nada-nada yang indah, kelintang kayu dimainkan oleh dua pemain.
Awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pan-
dan memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehing-
ga menghasilkan seni musik yang lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai
dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal solo maupun duet. Bahkan kri-
nok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi
yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong-royong) di sawah maupun
ladang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi
dengan alat musik kelintang kayu. Beberapa alat musik mulai dipadukan
45
BUNYI MERDEKA
dengan krinok seperti gong, gendang panjang serta biola. Keempat alat
musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi musik pengiring krinok.
Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok semakin memikat
para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase penting dalam
perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring kri-
nok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima poin
perkembangan yang terjadi pada fase ini selain penambahan alat musik,
yaitu: Pertama, ruang pementasan krinok semakin luas. Krinok tidak han-
ya dimainkan saat kegiatan beselang, tetapi juga menjadi hiburan pada pes-
ta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk sebuah kelom-
pok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan krinok
sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, krinok mulai mengenal li-
rik baku yang dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Ke-
empat, seniman krinok mulai menggunakan kostum dan tata rias. Kostum
pemain laki-laki terdiri dari peci hitam, baju teluk belango beserta celana
dan kain sarung sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum untuk pemain
krinok perempuan adalah kerudung, baju kurung panjang yang dipadu-
kan dengan kain sarung. Warna kostum disesuaikan dengan selera pemain
musik. Kelima, hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni vokal yang ber-
sifat ekspresif dan personal.
2.1.3. Aceh dan Budaya Musik Syariah
Kebudayaan tradisional Aceh, terutama yang terwujud dalam tari-tarian-
nya, seperti misalnya tari Saman, adalah salah satu budaya yang cukup
populer di kalangan masyarakat kontemporer. Budaya kesenian tari dan
musik Aceh dapat dibagi menjadi dua periode utama, yaitu periode pra-Is-
lam dan periode setelah Islam masuk. Kebudayaan yang berasal dari peri-
ode sebelum Islam menyebar di provinsi itu kini sudah banyak mengalami
Islamisasi karena dianggap kafir atau tidak sesuai dengan ajaran syariah.
Oleh sebab itu, kebudayaan Aceh, sebagai provinsi yang dikenal sebagai
Serambi Mekah, sangat kental tradisi Islamnya.
2.1.4. Musik Upacara Masyarakat Pekantan
Masyarakat Pekantan adalah masyarakat yang sekarang terletak di Keca-
matan Pekantan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Masyara-
kat Pekantan adalah salah satu komunitas yang cukup terisolir dari dunia
luar. Hal ini membuat kebudayaan Pekantan cukup terjaga dari pengaruh
dunia luar, meskipun, beberapa perubahan juga sudah terjadi, terutama
46
sejak agama Islam masuk. Sistem pemerintahan masyarakat Pekantan, se-
perti halnya masyarakat adat lainnya di Indonesia, adalah kerajaan. Jika
disebut bahwa masyarakat Pekantan mengenal sistem kerajaan, jangan
dibayangkan yang dimaksud dengan kerajaan adalah kerajaan modern
dengan wilayah dan kuasa yang luas. Budaya Pekantan mengenal banyak
raja, yang artinya raja mengatasi berbagai aspek kehidupan masyarakat
adat atau suku. Jadi, lebih tepatnya, raja adalah semacam kepala suku yang
mengepalai suatu komunitas atau pemukiman.
Biasanya raja dalam masyarakat Pekantan tinggal di dataran yang le-
bih tinggi dari masyarakat biasa. Dalam sistem kekastaan ini berarti raja
mendapatkan air yang paling dekat dengan sumber mata air, artinya air
tersebut belum tercemar.13
Ini sekaligus menandakan pentingnya air da-
lam kehidupan masyarakat Pekantan. Rumah tempat raja tinggal bernama
bagas na godang atau bagas borlang. Raja dalam masyarakat adat Pekantan
memiliki fungsi administratif dan yudikatif sekaligus bertugas memimpin
upacara adat. Raja menjalankan tugas eksekutifnya dari sebuah pendopo
bernama sopo godang atau sopo gordang, di mana dalam pendopo tersebut
raja memimpin upacara ritual atau mengadakan pertemuan dengan pe-
mimpin suku lain. Sopo godang terletak di dataran yang lebih tinggi dari
pemukiman rakyat biasa. Di dalam sopo gordang inilah tersimpan alat musik
orkes gordang sembilan, alat musik yang dianggap paling suci berdasarkan
sistem kelas masyarakat Pekantan.14
Masyarakat adat Pekantan, seperti layaknya masyarakat adat di Nusantara
lainnya, memiliki berbagai upacara ritual keagamaan.15
Musik menempati
peran yang teramat penting dalam ritual upacara keagamaan masyarakat
Pekantan Mandailing sehingga tidak bisa dipisahkan dari ritual-ritual kea-
gamaan tersebut. Hanya dalam ritual upacara tertentu saja orkes gordang
sembilan boleh dimainkan, misalnya dalam upacara kematian raja. Lebih te-
patnya, hanya raja dan keturunannya yang dapat menggelar acara di mana
13 Sistem kasta masyarakat Pekantan terbagi menjadi tiga kelas, yaitu bangsawan, masya-
rakat biasa dan budak.
14 Gordang sembilan tersusun dari sembilan gendang, perkusi berbahan metal atau metalo-
fon dan alat musik tiup dengan reed ganda.
15 Upacara keagamaan di sini berarti upacara menghormati leluhur atau upacara persem-
bahan untuk leluhur untuk berterima kasih atas keberhasilan panen, misalnya. Bukan ritual
keagamaan seperti yang kita kenal sekarang, tetapi ide dasarnya kurang lebih sama.
47
BUNYI MERDEKA
orkes gordang sembilan dimainkan. Upacara besar dikenal dengan nama
Horja na godang sedangkan upacara kecil atau biasa-biasa saja dikenal de-
ngan nama Horja na menek. Jika kematian raja dikategorikan sebagai upaca-
ra besar, maka upacara kelahiran anak penduduk biasa, misalnya, diklasifi-
kasikan sebagai upacara kecil dan hanya bisa dirayakan dengan alat musik
orkes biasa saja.
Seperti kebanyakan masyarakat adat di Nusantara, masyarakat Pekantan
mengenal paham dualisme. Musik, terutama musik ansambel, diakui se-
bagai bentuk ekspresi paling luhur karena dianggap mampu mendamaikan
pertentangan antara dua kutub bertentangan, yaitu sintaksis musik (ben-
tuk) dan ekspresi emosional (isi) yang dikiaskan.16
Apabila bunyi gendang
dan metalofon terkesan kaku dan terkekang oleh irama yang tidak beru-
bah-ubah, itu karena memang dimaksudkan demikian. Di sini, peran alat
musik tiup dan vokal menjadi penting sebab kedua instrumen itulah yang
memberikan improvisasi bebas atas fondasi yang diberikan oleh gendang
dan metalofon.
Ada sebelas komposisi yang digubah untuk tujuan upacara besar; lima di
antaranya untuk dimainkan dalam upacara-upacara utama, sedangkan
enam lainnya hanya dimainkan untuk upacara kematian, pernikahan dan
upacara untuk membangkitkan semangat. Orkes ansambel yang boleh di-
mainkan oleh anggota masyarakat Pekantan berbeda-beda tergantung
pada posisi kasta pemilik hajat. Apabila ada tiga kelas kasta dalam sistem
masyarakat Pekantan, maka ada tiga pula kelas orkes ansambel mengikuti
kelas kasta di mana gordang sembilan menempati posisi puncak. Jenis in-
strumen dalam setiap kelas orkes cenderung sama, yang berbeda adalah
jumlah gendang yang boleh dimainkan sehingga akhirnya dinamika dari
komposisi musik berbeda pula.17
Sudah jelas dari namanya, gordang sembi-
16 Dalam hal ini, kebudayaan musik masyarakat Pekantan tidak sendirian. Kebudayaan
musik barat juga mengenal pertentangan yang sama antara isi dan bentuk. Keseimbangan
terjadi bila bentuk dapat menyampaikan isi yang tepat. Musik yang hanya menekankan
bentuk tidak akan memiliki isi atau pesan, tetapi di sisi lain mustahil ada isi tanpa memiliki
bentuk. Oleh sebab itu, tegangan antara isi dan bentuk adalah dua jenis aspek yang harus
diperhatikan dalam menggubah sebuah karya seni, tidak hanya musik.
17 Dinamika dalam musik adalah tingkat kuatnya sebuah bagian dimainkan. Dinamika se-
buah komposisi bisa berubah-ubah tergantung dari orkestrasi atau komposisi. Sebuah kom-
posisi yang baik biasanya memiliki aneka rupa penanda dinamika yang akhirnya bisa diter-
jemahkan ketika karya tersebut ditampilkan. Sekalipun komponis memberikan petunjuk
dinamika dalam sebuah komposisi, adalah pengaba yang bebas menerjemahkan sejauh apa
48
lan memiliki sembilan jenis gendang maka dari itu, komposisi yang dimain-
kan dengan gordang sembilan cenderung lebih membahana.
Gordang sembilan dimainkan oleh lima orang yang bertugas menabuh de-
ngan sekuat tenaga sehingga menghasilkan suara menggelegar. Jumlah
gendang yang boleh dimainkan dalam musik adat Pekantan selalu berjum-
lah ganjil. Sama halnya dengan upacara pengorbanan kerbau yang juga ha-
rus berjumlah ganjil. Diperkirakan sembilan gendang yang sekarang dike-
nal pertama-tama hanya berjumlah tujuh saja. Hal ini diperkuat dengan
temuan di beberapa daerah yang masih menggunakan tujuh gendang.
Konon katanya, jumlah gendang dalam susunan instrumen gordang sem-
bilan pada awalnya hanya berjumlah lima sehingga dikenal dengan nama
gordang lima.18
Penambahan jumlah gendang ke dalam susunan instrumen gordang meru-
pakan perlambangan dari penyerapan marga ke dalam pemerintahan Raja
Pekantan. Dari kacamata ini, gordang lima dianggap sebagai awal mula dari
masyarakat Pekantan di mana kemudian sedikit demi sedikit jumlah marga
yang terserap bertambah. Hal inilah yang dilambangkan dengan penamba-
han juga jumlah gendang menjadi tujuh dan kemudian sembilan. Sejumlah
lima gendang dalam susunan gordang sembilan melambangkan marga Nasu-
tion, Lintang, Hasibuan, Kotalanca dan Hutagambir. Tiga gendang dianggap
sebagai perwakilan dari marga Lubis yang terdiri dari Lubis Hutanopan,
Lubis Singasora dan satu marga turunan lain. Susunan ini menyisakan satu
gendang sebagai lambang Raja Pekantan yang mengepalai seluruh marga
tersebut. Raja Pekantan sendiri harus berasal dari marga Lubis.
Jika dulu gondang sembilan hanya boleh dimainkan atas persetujuan atau
permintaan raja, maka sekarang ini saudagar kaya boleh mengadakan pe-
ngorbanan kerbau dengan diiringi oleh orkes gondang sembilan.19
Prosesi
seharusnya amanat sang komponis dijalankan. Itulah sebabnya, kita sering kali mendengar
banyak variasi, terutama dalam dinamika dan tempo, meskipun lagu yang dimainkan sama.
18 Gordang lima sampai sekarang masih digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan
dengan sihir atau ilmu gaib.
19 Hanya rajalah pada waktu itu yang boleh dan mampu mengorbankan kerbau dengan
diiringi orkes gondang sembilan. Tentu saja ini wajar karena harga kerbau tidak murah.
Pengadaan upacara di zaman dahulu biasanya akan dimusyawarahkan dalam sebuah forum
masyarakat bertempat di sopo godang, di mana jenis dan kelas upacara itu akan ditentukan
49
BUNYI MERDEKA
upacara yang paling panjang adalah ketika raja atau keturunan bangsawan
meninggal dunia. Upacara kematian ini bisa memakan waktu beberapa
bulan dan selama itu pula jenazahnya tidak akan dikubur sampai semua
kerabatnya datang. Penundaan penguburan itu terutama dilakukan untuk
menunggu orang-orang yang berutang bisa hadir dan membawa persem-
bahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.20
Upacara penguburan raja akan berlangsung selama kurang lebih sembilan
hari dan sembilan malam, atau dalam kasus tertentu, sampai persediaan
makanan dari hewan kurban habis.21
Adapun gunanya upacara kematian
itu adalah untuk mengantar arwah yang meninggalkan dunia ini ke alam
selanjutnya. Selain raja dan keturunannya, yang mendapat kehormatan
untuk diberikan upacara begitu megah adalah harimau. Jika raja dianggap
sebagai penguasa manusia, harimau dianggap sebagai penguasa alam. Apa-
bila seekor harimau kedapatan bersalah dalam membunuh manusia maka
ia akan dibunuh kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian lalu
dikubur.22
Bagian tubuh harimau yang sudah terbagi menjadi beberapa po-
tongan akan dikuburkan di bawah lumbung, di mana ia akan menjadi lam-
bang kesuburan.
2.1.5. Spiritualisme Masyarakat Parmalim Batak Toba
Masyarakat Parmalim Batak Toba adalah salah satu kelompok etnis yang
bersama-sama.
20 Aturan adat ini sedikit banyak mirip dengan yang terdapat di Toraja, di mana seseorang
baru akan dimakamkan bila jumlah pengorbanan sudah cukup.
21 Pada kala itu, para kerabat atau anggota masyarakat Pekantan akan datang dari penju-
ru negeri dengan membawa persembahan. Tidak jarang di antara mereka membawa he-
wan-hewan yang sekarang ini, terutama setelah Islam masuk, dilarang oleh agama seperti
babi dan anjing. Tidak diketahui pasti apakah semua hewan kurban itu, termasuk babi dan/
atau anjing, juga dimakan atau tidak.
22 Kasus harimau menyerang manusia biasanya disebabkan oleh pembakaran hutan demi
perluasan lahan pertanian. Harimau yang terganggu akan marah dan menyerang para
petani. Harimau akan ditangkap melalui upaya perburuan kolektif atau dengan bantuan
dukun. Dulu, setelah tertangkap, harimau tersebut akan diadili oleh sibaso (semacam me-
dium yang akan dirasuki arwah). Peran “hakim” ini kemudian berpindah kepada raja dan
lama kelamaan diputuskan bersama oleh seluruh warga. Soal bagaimana menentukan see-
kor harimau bersalah telah menyerang atau membunuh manusia belum diketahui dan tidak
dijelaskan dalam teks.
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA

More Related Content

What's hot

Laporan kimia praktikum 1
Laporan kimia praktikum 1Laporan kimia praktikum 1
Laporan kimia praktikum 1Ryuzaeky Ika
 
Ekstraksi daun sirsak dengan pelarut etanol
Ekstraksi daun sirsak dengan pelarut etanolEkstraksi daun sirsak dengan pelarut etanol
Ekstraksi daun sirsak dengan pelarut etanolFarhan Yuzevan
 
Indonesia Cinnamon for the World
Indonesia Cinnamon for the WorldIndonesia Cinnamon for the World
Indonesia Cinnamon for the WorldSidi Rana Menggala
 
PERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGAS
PERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGASPERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGAS
PERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGASYOHANIS SAHABAT
 
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1Iim Fatimura
 
Drying Operasi teknik kimia
Drying Operasi teknik kimiaDrying Operasi teknik kimia
Drying Operasi teknik kimiaRatna54
 
Final acara 1 pengenalan alat dan bahan
Final acara 1 pengenalan alat dan bahanFinal acara 1 pengenalan alat dan bahan
Final acara 1 pengenalan alat dan bahanAlfian Nopara Saifudin
 
Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...
Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...
Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...Oswar Mungkasa
 
Acara II Kadar Amilosa
Acara II Kadar AmilosaAcara II Kadar Amilosa
Acara II Kadar Amilosadewiresty
 
Standar susu segar
Standar susu segarStandar susu segar
Standar susu segarmtienz
 
thermodinamika teknik kimia
thermodinamika teknik kimiathermodinamika teknik kimia
thermodinamika teknik kimiasartikot
 
Penanganan pascapanen buah dan sayuran segar
Penanganan pascapanen buah dan sayuran segarPenanganan pascapanen buah dan sayuran segar
Penanganan pascapanen buah dan sayuran segarIgnazio Hadi Saragih
 

What's hot (20)

Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)
Bab i kelarutan (Farmasi Fisika)
 
Laporan Pengeringan
Laporan PengeringanLaporan Pengeringan
Laporan Pengeringan
 
Laporan kimia praktikum 1
Laporan kimia praktikum 1Laporan kimia praktikum 1
Laporan kimia praktikum 1
 
Indera Pengecap
Indera PengecapIndera Pengecap
Indera Pengecap
 
Laporan Praktikum Agroklimatologi
Laporan Praktikum AgroklimatologiLaporan Praktikum Agroklimatologi
Laporan Praktikum Agroklimatologi
 
Ekstraksi daun sirsak dengan pelarut etanol
Ekstraksi daun sirsak dengan pelarut etanolEkstraksi daun sirsak dengan pelarut etanol
Ekstraksi daun sirsak dengan pelarut etanol
 
Indonesia Cinnamon for the World
Indonesia Cinnamon for the WorldIndonesia Cinnamon for the World
Indonesia Cinnamon for the World
 
PERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGAS
PERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGASPERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGAS
PERALATAN & HSE MANAGEMENT SYSTEM PENGOLAHAN MIGAS
 
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
153335269 tutorial-hysys-untuk-mahasiswa-1
 
Laporan praktikum urea formaldehid
Laporan praktikum urea formaldehidLaporan praktikum urea formaldehid
Laporan praktikum urea formaldehid
 
Prinsip dasar sterilisasi
Prinsip dasar sterilisasiPrinsip dasar sterilisasi
Prinsip dasar sterilisasi
 
Drying Operasi teknik kimia
Drying Operasi teknik kimiaDrying Operasi teknik kimia
Drying Operasi teknik kimia
 
Final acara 1 pengenalan alat dan bahan
Final acara 1 pengenalan alat dan bahanFinal acara 1 pengenalan alat dan bahan
Final acara 1 pengenalan alat dan bahan
 
Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...
Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...
Desa Percontohan Pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Desa Olimoo'...
 
Kristalisasi gula
Kristalisasi gulaKristalisasi gula
Kristalisasi gula
 
Acara II Kadar Amilosa
Acara II Kadar AmilosaAcara II Kadar Amilosa
Acara II Kadar Amilosa
 
Standar susu segar
Standar susu segarStandar susu segar
Standar susu segar
 
thermodinamika teknik kimia
thermodinamika teknik kimiathermodinamika teknik kimia
thermodinamika teknik kimia
 
Pengendalian persediaan
Pengendalian persediaanPengendalian persediaan
Pengendalian persediaan
 
Penanganan pascapanen buah dan sayuran segar
Penanganan pascapanen buah dan sayuran segarPenanganan pascapanen buah dan sayuran segar
Penanganan pascapanen buah dan sayuran segar
 

Viewers also liked

Pengertian taqwa
Pengertian   taqwaPengertian   taqwa
Pengertian taqwaHelmon Chan
 
Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...
Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...
Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...Dr. William J. Ward
 
Blue Mafia_Marketing Plan_Report
Blue Mafia_Marketing Plan_ReportBlue Mafia_Marketing Plan_Report
Blue Mafia_Marketing Plan_ReportVictoria Shaw
 
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKHSEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKHprimagraphology consulting
 
Sketchnotes: what & why
Sketchnotes: what & whySketchnotes: what & why
Sketchnotes: what & whydebra24
 
Bagaimana agama menjamin kebahagiaan
Bagaimana agama menjamin kebahagiaanBagaimana agama menjamin kebahagiaan
Bagaimana agama menjamin kebahagiaanrivalzi I.s
 
Berdagang dalam islam
Berdagang dalam islamBerdagang dalam islam
Berdagang dalam islamHelmon Chan
 
Melihat kebaikan-di-segala-hal
Melihat   kebaikan-di-segala-halMelihat   kebaikan-di-segala-hal
Melihat kebaikan-di-segala-halHelmon Chan
 
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISIMEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISIprimagraphology consulting
 
The Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion Rate
The Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion RateThe Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion Rate
The Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion RateVladimir Blagojevic
 
History Of The Mafia
History Of The MafiaHistory Of The Mafia
History Of The MafiaTop Scent
 
En jinns and_angels
En   jinns and_angelsEn   jinns and_angels
En jinns and_angelsHelmon Chan
 
Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...
Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...
Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...Nathalie Nahai
 
Digital Sketchnotes 101
Digital Sketchnotes 101Digital Sketchnotes 101
Digital Sketchnotes 101Karen Bosch
 
Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014
Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014
Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014Mike Rohde
 
Practical Sketchnoting
Practical SketchnotingPractical Sketchnoting
Practical SketchnotingJason Alderman
 
WORKING CAPITAL MANAGEMENT
WORKING CAPITAL MANAGEMENTWORKING CAPITAL MANAGEMENT
WORKING CAPITAL MANAGEMENTipermeeta
 

Viewers also liked (20)

Pengertian taqwa
Pengertian   taqwaPengertian   taqwa
Pengertian taqwa
 
Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...
Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...
Why Are Amazon, Apple, Facebook and Google The Gang Of 4? Who Are Their Victi...
 
System akutansi
System   akutansiSystem   akutansi
System akutansi
 
Blue Mafia_Marketing Plan_Report
Blue Mafia_Marketing Plan_ReportBlue Mafia_Marketing Plan_Report
Blue Mafia_Marketing Plan_Report
 
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKHSEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
SEJARAH TEORI KRISIS : SEBUAH PENGANTAR ANALISA MARXIS -- ANWAR SHAIKH
 
Sketchnotes: what & why
Sketchnotes: what & whySketchnotes: what & why
Sketchnotes: what & why
 
Bagaimana agama menjamin kebahagiaan
Bagaimana agama menjamin kebahagiaanBagaimana agama menjamin kebahagiaan
Bagaimana agama menjamin kebahagiaan
 
Berdagang dalam islam
Berdagang dalam islamBerdagang dalam islam
Berdagang dalam islam
 
Melihat kebaikan-di-segala-hal
Melihat   kebaikan-di-segala-halMelihat   kebaikan-di-segala-hal
Melihat kebaikan-di-segala-hal
 
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISIMEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
MEMBUKA GERBANG KEHIDUPAN : KIAT MENGATASI KEPUTUSASAAN -- ABBAS AL-MUDARRISI
 
Cosa Nostra
Cosa NostraCosa Nostra
Cosa Nostra
 
Sketchnoting FOR Learning
Sketchnoting FOR LearningSketchnoting FOR Learning
Sketchnoting FOR Learning
 
The Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion Rate
The Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion RateThe Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion Rate
The Mafia Offer: How to Presell your Product at 80% (!) Conversion Rate
 
History Of The Mafia
History Of The MafiaHistory Of The Mafia
History Of The Mafia
 
En jinns and_angels
En   jinns and_angelsEn   jinns and_angels
En jinns and_angels
 
Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...
Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...
Nathalie Nahai - The secret psychology of persuasive copy (Conversion Confere...
 
Digital Sketchnotes 101
Digital Sketchnotes 101Digital Sketchnotes 101
Digital Sketchnotes 101
 
Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014
Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014
Sketchnote Mini-Workshop: DSGNDAY 2014
 
Practical Sketchnoting
Practical SketchnotingPractical Sketchnoting
Practical Sketchnoting
 
WORKING CAPITAL MANAGEMENT
WORKING CAPITAL MANAGEMENTWORKING CAPITAL MANAGEMENT
WORKING CAPITAL MANAGEMENT
 

Similar to BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA

Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1People Power
 
Pertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesiaPertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesiaantonius buzgedebuz
 
Kelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptx
Kelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptxKelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptx
Kelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptxAgustini44
 
Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013
Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013
Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013irenefakhrozi
 
kelas 8 materi sumpah pemuda.pptx
kelas 8 materi sumpah pemuda.pptxkelas 8 materi sumpah pemuda.pptx
kelas 8 materi sumpah pemuda.pptxNiPutuYuliartini1
 
PANCASILA dalam konteks perjuangan bangsa
PANCASILA dalam konteks perjuangan bangsaPANCASILA dalam konteks perjuangan bangsa
PANCASILA dalam konteks perjuangan bangsaCiciParamida4
 
`sejarah peminatan K1.pptx
`sejarah peminatan K1.pptx`sejarah peminatan K1.pptx
`sejarah peminatan K1.pptxRikaDamayanti39
 
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptxDampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptxDivaputriDamayanti
 
Faktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
Faktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan NasionalismeFaktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
Faktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan NasionalismeFrestiany Regina Putri
 
92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda
92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda
92 e96358d01 refleksi sumpah pemudaEric Galih
 
Membangun jati diri bangsa indonesia
Membangun jati diri bangsa indonesiaMembangun jati diri bangsa indonesia
Membangun jati diri bangsa indonesiamashud94jkt
 
DAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptx
DAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptxDAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptx
DAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptxDanangSuryo1
 
Presentasi PKn VII Bab Proklamasi II
Presentasi PKn VII Bab Proklamasi IIPresentasi PKn VII Bab Proklamasi II
Presentasi PKn VII Bab Proklamasi IISMPN 21 KOta Serang
 
Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...
Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...
Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...musniumar
 
Jaman penemuan daerah baru
Jaman penemuan daerah baruJaman penemuan daerah baru
Jaman penemuan daerah barumaranathatesa
 
Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)
Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)
Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)maalaman
 
Wisata Sejarah
Wisata SejarahWisata Sejarah
Wisata Sejarahdenos2
 

Similar to BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA (20)

Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1Manifesto prd 2010-1
Manifesto prd 2010-1
 
Pertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesiaPertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesia
Pertumbuhan dan perkembangan_nasionalisme_indonesia
 
Kelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptx
Kelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptxKelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptx
Kelas_8_BAB_5_SUMPAH_PEMUDA_DALAM_BINGKA.pptx
 
Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013
Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013
Slide pembelajaran IPS kelas 8 bab 4 kurikulum 2013
 
kelas 8 materi sumpah pemuda.pptx
kelas 8 materi sumpah pemuda.pptxkelas 8 materi sumpah pemuda.pptx
kelas 8 materi sumpah pemuda.pptx
 
PANCASILA dalam konteks perjuangan bangsa
PANCASILA dalam konteks perjuangan bangsaPANCASILA dalam konteks perjuangan bangsa
PANCASILA dalam konteks perjuangan bangsa
 
`sejarah peminatan K1.pptx
`sejarah peminatan K1.pptx`sejarah peminatan K1.pptx
`sejarah peminatan K1.pptx
 
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptxDampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
Dampak Kolonialisasi di Bidang SosBud.pptx
 
Nasionalisme
NasionalismeNasionalisme
Nasionalisme
 
Faktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
Faktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan NasionalismeFaktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
Faktor Pendorong Munculnya Ruh Kebangsaan dan Nasionalisme
 
Konsep dasar sejarah
Konsep dasar sejarahKonsep dasar sejarah
Konsep dasar sejarah
 
92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda
92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda
92 e96358d01 refleksi sumpah pemuda
 
Membangun jati diri bangsa indonesia
Membangun jati diri bangsa indonesiaMembangun jati diri bangsa indonesia
Membangun jati diri bangsa indonesia
 
DAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptx
DAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptxDAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptx
DAERAH DALAM KERANGKA NKRI.pptx
 
Presentasi PKn VII Bab Proklamasi II
Presentasi PKn VII Bab Proklamasi IIPresentasi PKn VII Bab Proklamasi II
Presentasi PKn VII Bab Proklamasi II
 
Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...
Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...
Musni Umar: Happy Chinese New Year dan Pentingnya Membangun Kemajuan Bersama ...
 
Jaman penemuan daerah baru
Jaman penemuan daerah baruJaman penemuan daerah baru
Jaman penemuan daerah baru
 
Document (4)
Document (4)Document (4)
Document (4)
 
Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)
Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)
Bab 1 antara kolonialisme dan imperialisme (1)
 
Wisata Sejarah
Wisata SejarahWisata Sejarah
Wisata Sejarah
 

More from primagraphology consulting

Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdfKeagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdfprimagraphology consulting
 
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdfMengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdfprimagraphology consulting
 
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...primagraphology consulting
 
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...primagraphology consulting
 
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIBPEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIBprimagraphology consulting
 
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...primagraphology consulting
 
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM primagraphology consulting
 
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITIONMAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITIONprimagraphology consulting
 
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013primagraphology consulting
 
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIBBADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIBprimagraphology consulting
 
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABITENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABIprimagraphology consulting
 
NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...
NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...
NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...primagraphology consulting
 

More from primagraphology consulting (20)

pengantar-daras-filsafat.pdf
pengantar-daras-filsafat.pdfpengantar-daras-filsafat.pdf
pengantar-daras-filsafat.pdf
 
Teologi pembebasan dalam Islam.pdf
Teologi pembebasan dalam Islam.pdfTeologi pembebasan dalam Islam.pdf
Teologi pembebasan dalam Islam.pdf
 
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdfKeagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
Keagungan Rasulullah SAW & Keutamaan Ahlul Bait.pdf
 
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdfMengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
Mengapa. Sebaiknya Kita Sujud di Atas Tanah_ Editor Musyayya Ba abud.pdf
 
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
MANUSIA, PEREMPUAN, LAKI-LAKI : PENGANTAR KE PEMIKIRAN HANNAH ARENDT, SEYLA B...
 
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
TAHUN YANG TAK PERNAH BERAKHIR : MEMAHAMI PENGALAMAN KORBAN 65 -- ESAI-ESAI L...
 
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIBPEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
PEMBAHARUAN TANPA APOLOGIA : ESAI-ESAI TENTANG AHMAD WAHIB
 
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
ISLAM RADIKAL : TELAAH KRITIS RADIKALISME DARI IKHWANUL MUSLIMIN HINGGA ISIS ...
 
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
STRATEGI SUKSES MENGELOLA KARIER DAN BISNIS -- JOHANES LIM
 
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIAMENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
MENGOREK ABU SEJARAH HITAM INDONESIA
 
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITIONMAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
MAJALAH TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO -- LIMITED EDITION
 
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
Majalah TEMPO EDISI KHUSUS "RAHASIA-RAHASIA ALI MURTOPO", 14 - 20 OKTOBER 2013
 
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIBBADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
BADAI PEMBALASAN : EPISODE KEEMPAT SERI KARBALA -- MUHSEIN LABIB
 
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABITENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
TENTARA LANGIT DI KARBALA : EPIC SUCI CUCU SANG NABI
 
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIBDEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
DEWI-DEWI SAHARA -- MUHSIN LABIB
 
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALASEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
SEJARAH AL-HUSAIN DAN TRAGEDI KARBALA
 
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COMTRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
TRAGEDI KARBALA -- SWARAMUSLIM.COM
 
DUKA PADANG KARBALA -- SAYYID IBNU THAWUS
DUKA PADANG KARBALA -- SAYYID IBNU THAWUSDUKA PADANG KARBALA -- SAYYID IBNU THAWUS
DUKA PADANG KARBALA -- SAYYID IBNU THAWUS
 
NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...
NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...
NABI MUHAMMAD BERDUKA DAN MENANGISI AL HUSAIN, MENGAPA KITA TIDAK ? -- ABU NU...
 
TRAGEDI KARBALA NAINAWA
TRAGEDI KARBALA NAINAWATRAGEDI KARBALA NAINAWA
TRAGEDI KARBALA NAINAWA
 

Recently uploaded

Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxsdn3jatiblora
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfSitiJulaeha820399
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxssuser50800a
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfDimanWr1
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxdpp11tya
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfbibizaenab
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptxcontoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptxHR MUSLIM
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfNurulHikmah50658
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTIndraAdm
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxadimulianta1
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapsefrida3
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatanssuser963292
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 

Recently uploaded (20)

Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptxAksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
Aksi nyata Malaikat Kebaikan [Guru].pptx
 
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdfModul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
Modul 1.2.a.8 Koneksi antar materi 1.2.pdf
 
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptxKontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
Kontribusi Islam Dalam Pengembangan Peradaban Dunia - KELOMPOK 1.pptx
 
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdfAksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
Aksi nyata disiplin positif Hj. Hasnani (1).pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptxPPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
PPT PERUBAHAN LINGKUNGAN MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X.pptx
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdfBab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
Bab 6 Kreatif Mengungap Rasa dan Realitas.pdf
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptxcontoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan  .pptx
contoh penulisan nomor skl pada surat kelulusan .pptx
 
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdfMODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
MODUL 1 Pembelajaran Kelas Rangkap-compressed.pdf
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UTKeterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
Keterampilan menyimak kelas bawah tugas UT
 
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptxPerumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
Perumusan Visi dan Prakarsa Perubahan.pptx
 
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genapDinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
Dinamika Hidrosfer geografi kelas X genap
 
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi SelatanSosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
Sosialisasi PPDB SulSel tahun 2024 di Sulawesi Selatan
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 

BUNYI MERDEKA : SEJARAH SOSIAL DAN TINJAUAN MUSIKOLOGI LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA

  • 1.
  • 2.
  • 3. Bunyi MerdekaSejarah Sosial dan Tinjauan Musikologi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya Dirdho Adithyo dan I Gusti Agung Anom Astika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kesenian 2017
  • 4. Bunyi Merdeka Edisi Pertama, ebook, Juli 2017, 122 hlm, 14,8 x 21 cm Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Kesenian Komp. Kemdikbud Gedung E Lt. 9 Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, 10270, 021 5725578 – 021 5725035 - 021 5725572 Penanggung Jawab Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid Pengarah Direktur Kesenian Restu Gunawan Panitia Pelaksana Edi Irawan Ibnu Sutowo Farida Berliana S. Oktavia Yulliea Susanto Penulis Dirdho Adithyo & I Gusti Agung Anom Astika Editor M. Fauzi Penata Letak dan Perancang Sampul Alit Ambara
  • 5. Daftar Isi Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan vii I Overture 1 1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda 1 1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya 26 1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi 32 II Musik Sebelum Indonesia Raya 39 2.1. Etude Syailendra 41 2.2. Musik Barat di Hindia Belanda 51 2.3. Musik Modern, Nyanyian Perjuangan, dan Indonesia Raya 54 III Indonesia Raya dan Kemerdekaan Dalam Bunyi 62 3.1. Detik-detik Kelahiran Indonesia Raya 62 3.2. Aransemen Musikal Indonesia Raya 69 3.3. Mengeja dan Menala Lagu Indonesia Raya 87 IV Sesudah Indonesia Raya 98 4.1. Indonesia Raya Sebagai Musik Anti-Kolonial 102 4.2. Crescendo Lagu-lagu Perjuangan 103 4.3. Decrescendo Lagu-lagu Perjuangan 109 V Coda Kebangsaan 117 5.1. Keaslian dan Kebangsaan 117 5.2. Titi Nada Kebangsaan 120
  • 6. vi
  • 7. vii BUNYI MERDEKA Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan Seorang perwira intelejen kolonial mencatat dalam laporannya pada bu- lan Desember 1928 mengenai Kongres Pemuda Kedua: “28 Oktober 1928 diterima dengan antusiasme luar biasa. Setelah penutupan kongres itu, bahkan sampai sekarang, pada pertemuan para pribumi masih terdengar siulan melodi lagu ini, khususnya di kalangan pramuka.” Sang perwira te- ngah berbicara tentang lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan untuk pertama kali dalam Kongres itu. Lagu yang diciptakan W.R. Supratman untuk menggambarkan semangat dan cita-cita kaum pergerakan kebangsaan itu menerbitkan kegelisahan di mata kolonialisme. Melodinya disiulkan dari bibir ke bibir kaum terjajah hingga membentuk imajinasi bersama yang menghimpun mereka semua sebagai suatu bangsa. Di situ nampak bagaimana musik bisa punya andil dalam kelahiran sebuah bangsa dan merawat jiwanya menghadapi segala rintangan penjajahan. Peran lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai pengejawantahan jiwa bang- sa pun masih terekam dengan baik dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Ta- hun 1958 yang menyatakan bahwa lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebagai “pernyataan perasaan nasional”. Semangat ini dilandasi oleh visi tentang bangsa sebagai suatu usaha poli- tik bersama, yakni suatu usaha bantu-binantu bersama untuk mewujudkan kebudayaan nasional sendiri, suatu kebudayaan yang mau mengakhiri se- gala bentuk penjajahan dan melahirkan manusia baru. Inilah usaha besar kebangsaan kita: menegaskan kedaulatan politik, mewujudkan kemandi- rian ekonomi dan mengambil sikap kebudayaan yang berpribadi. Itulah imajinasi kebangsaan kita. Kendati begitu, perikehidupan kebangsaan memang tak bisa dipisahkan
  • 8. viii dari upacara, prosedur dan protokol. Hal itu dapat saja membiakkan rutini- tas yang punya risiko memadamkan semangat pemerdekaan yang semula mengiringi terbentuknya bangsa Indonesia. Api kebangsaan harus dijaga nyalanya dengan pemaknaan-pemaknaan baru atas praktik kebangsaan dan kenegaraan kita. Untuk merawat api kebangsaan itulah Direktorat Jenderal Kebudayaan menyelenggarakan kegiatan perekaman ulang lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam versi tiga stanza yang asli. Usaha ini dilandasi oleh keyakinan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam imajinasi kebangsaan bersama, hak untuk memetik buahnya kebudayaan nasional. Dengan menghadirkan Indonesia Raya versi tiga stanza yang selama ini cenderung terlupakan kepada seluruh warga bangsa, Direktorat Jenderal Kebudayaan mau membuka akses seluas-luasnya pada salah satu sumber imajinasi kebangsaan kita. Dalam rangka itulah, buku ini diterbitkan. Buku Bunyi Merdeka ini akan menjadi panduan yang membantu kita semua mengakses pandangan hi- dup yang tertuang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya versi tiga stanza. Lewat pemaparan sejarah sosial dan tinjauan musikologi, buku ini dapat mengantarkan kita pada rahasia bunyi yang membawa kita pada ke- merdekaan. Semoga buku ini dapat berperan memperkuat rasa kebangsaan kita dan memelihara komitmen bersama kita sebagai bangsa merdeka. Hilmar Farid Direktur Jenderal Kebudayaan
  • 9. I Overture Indonesia Raya, sebagai sebuah lagu kebangsaan negara Republik Indonesia sebenarnya memiliki sulur-sulur akar sejarah yang panjang. Indonesia Raya lahir di tengah bara sekam perlawanan rakyat bumiputera yang tak hangus ditindas oleh kolonialisme Belanda. Pun ia tumbuh sebagai bentuk perju- angan yang baru, refleksi dari perjuangan-perjuangan di periode abad ke-19. Karena itu penting kemudian untuk menempatkan lagu Indonesia Raya dalam konteks sejarah politik dan kebudayaan bangsa Indonesia. 1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda 1.1.1. Suita Tetabuhan Nusantara Sampai dengan akhir abad ke-19, nama Indonesia belum menjadi. Ia baru se- rupa kawasan yang sedang dalam proses penaklukan yang sepenuh-penuh- nya oleh kolonialisme Belanda. Negeri Hindia Timur sebutan awalnya, lalu berubah menjadi Hindia Belanda kemudian. Sebuah kawasan seluas 1.905 juta km2 yang terdiri dari belasan ribu pulau tempat beragam suku, bangsa, dan bahasa, yang saling berinteraksi, dan bermukim sejak periode awal Masehi. Narasi sejarah tentangnya merangkum berbagai kisah tentang peradaban yang bergerak maju, yang berjaya di sepanjang Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan sampai saat pedagang-pedagang besar Eropa tiba di abad ke-17. Setelah itu, sejarah tentang kawasan yang kemudian dikenal sebagai Nu- santara ini lebih banyak bercerita tentang monopoli perdagangan rempah, penaklukan bandar perdagangan dan kerajaan, peperangan dan kekerasan. Peradaban bergerak mundur seiring dengan kekalahan raja-raja Nusantara yang berulang kali diperdaya dan ditundukkan oleh yang kemudian disebut sebagai kolonialisme. Massa rakyat pun dilanda ketakutan dan pemiskinan, oleh karena raja-raja mereka tak lagi menjadi pimpinan mereka. Malah seba- liknya, raja-raja itu menjadi boneka kolonial untuk memeras rakyat. Hingga sepertinya tak ada jalan keluar lain kecuali bangkit melawan kolonialisme.
  • 10. 2 Karenanya, menjelang abad ke-20 adalah sebuah masa yang penuh dengan pergolakan melawan panji suci gemilang kolonialisme. Di sepanjang garis pantai barat dan timur belahan utara Pulau Sumatra, derap juang rakyat Aceh bertahan dari siram desing mesiu pasukan marsose Belanda. Kenda- ti satu demi satu pimpinan perjuangan rakyat Aceh gugur di medan laga, gerak berlawan tak henti. Setelah Tjoet Njak Dhien ditangkap pada 1904, perlawanan rakyat Aceh bergerak ke selatan, sebagian bergabung dengan pasukan Sisingamangaraja di wilayah Sumatra Utara. Mereka terus berla- wan hingga 1907. Sementara, di sisi selatan Nusantara golak-golak keresahan kaum tani di Jawa akibat pemberlakuan pajak tanah yang tinggi oleh kolonial memba- wa kobar-kobar api pemberontakan di lahan-lahan perkebunan. Ciomas, di tahun 1886 sekelompok rakyat yang dipimpin oleh Muhamad Idris menyerang sebuah acara pesta tahunan yang dihadiri oleh para pegawai tuan tanah. Puluhan tahun sebelumnya, di Pekalongan, Jawa Tengah, Haji Ahmad Rifai menuliskan syair-syair protes baik terhadap pemerintah ko- lonial, maupun kepada aparat birokrasi feodal yang dianggapnya kaki ta- ngan kolonial. Seperti syair berikut, yang meresahkan penguasa kolonial, hingga membuang beliau ke Ambon pada 1860: Bahasa Jawa Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur Iku amar naha ora gugur Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur Uga bisa ghalib derajate luwih luhur Bahasa Indonesia Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa Berjuang mencegah selalu diharapkan Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh kemuliaan Tiga minggu pemberontakan petani di Cilegon yang dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail pada 1888, berlanjut kemudian pemberontakan Ciomas di belah barat Pulau Jawa; lalu syair Haji Rifai, dan gerakan tolak bayar pajak a la Samin di sekitaran Jawa Tengah, semuanya adalah ekspresi perlawanan
  • 11. 3 BUNYI MERDEKA terhadap kolonialisme. Lepas pantai utara dan timur dari Pulau Jawa, perlawanan terhadap kolo- nialisme berkembang di wilayah Pulau Kalimantan dan Bali. Oleh karena persengketaan hak tawan karang antara pemerintah kolonial dan raja-ra- ja di Bali, Benteng Jagaraga Buleleng sepanjang tahun 1846-1849 berha- dap-hadapan dengan pasukan kolonial Belanda. Perselisihan ini kembali muncul di tahun 1906 yang berujung pada peristiwa Puputan Badung. De- mikian juga dengan perlawanan rakyat Kalimantan di sepanjang periode 1859-1906, yang menolak intervensi Belanda dalam suksesi kerajaan. Se- muanya merupakan reaksi terhadap upaya kolonialisme di dalam men- cengkeram lebih jauh lembaga-lembaga adat masyarakat setempat. Semua paparan di muka menyimpulkan, kolonialisme Belanda tak pernah seu- tuhnya menundukkan bangsa-bangsa Nusantara. 1.1.2. Elegi Tanam Paksa Bagi kolonialisme yang maju dan beradab adalah yang taat pada hukum kolonial dan gerak industri. Para penguasa tradisional, sebagai akibat dari perang-perang penaklukkan, kehilangan tanah-tanah luas nan subur mi- liknya. Tanah-tanah itu diambil alih oleh pemerintah kolonial untuk di- jadikan sebagai lahan-lahan perkebunan-perkebunan besar. Ini berkait dengan kebijakan tanam paksa yang dimulai sejak 1830. Sejak saat itu po- sisi kebangsawanan para penguasa tradisional itu terus merosot secara ekonomi, politik dan militer. Mereka bukan lagi penguasa atas rakyatnya, tetapi berubah menjadi pegawai korps birokrasi kolonial (Binnenland Bestu- ur). Karenanya kebangsawanan kemudian lebih ditentukan oleh pengab- dian dan loyalitas seseorang di dalam korps tersebut, ketimbang berdasar genealogi keturunan, demi menyukseskan praktik tanam paksa. Apa sebabnya? Karena praktik tanam paksa sesungguhnya adalah upaya pengerahan segala sumber daya alam dan makhluk hidup di Hindia Belan- da guna memproduksi hasil-hasil bumi untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Kendati hanya seperlima dari tanah yang dimiliki oleh rakyat, yang diminta diserahkan untuk kebutuhan tanam paksa, secara perlahan rakyat dipaksa untuk menyerahkan semua miliknya. Para penguasa tradisional yang dimandatkan untuk menjalankan proses tanam paksa ini mendapa- tkan upah dari pemerintah kolonial menurut besar setoran hasil produk tanam paksa. Karena itu, para penguasa tersebut menindas rakyat sede- mikian rupa agar tanah-tanah mereka bisa menghasilkan produk tanam
  • 12. 4 paksa, seperti kopi, kina, tebu, dan sebagainya. Akibat langsung dari praktik tanam paksa ini adalah kegagalan panen ba- han pangan, lantaran tanah sudah telanjur dipakai untuk tanaman ekspor. Tidak mengherankan jika kemudian jumlah penduduk di Jawa menurun drastis, oleh karena kelaparan, wabah penyakit, dan kemiskinan, pun ke- bodohan yang meraja, merayap membentuk kesadaran bangsa kuli. Ini masih ditambah lagi dengan praktik kerja rodi di sejumlah wilayah, plus pajak yang tinggi. Tepatnya, tahun 1843 ketika terjadi bencana kelapa- ran di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan beberapa tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan untuk para pribumi. Kelaparan antara 1843-1848 mengakibatkan jumlah penduduk turun dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya berkurang sekitar 80.500 jiwa. 1.1.3. Fantasia Balas Budi Kendati tanam paksa membawa banyak keuntungan bagi pemerintah Be- landa, tetapi pelaksanaannya tanpa kontrol pemerintah kolonial. Akibat- nya terjadi kehancuran sumber daya alam dan manusia, dan ini membuat peluang realisasi industri modern menjadi susah dibangun di tanah Hindia. Lebih-lebih karena industri modern menuntut peningkatan kualitas tena- ga kerja, dan intensifikasi lahan-lahan perkebunan. Akhirnya, tanam paksa dihapuskan secara bertahap. Penghapusan diawali dengan dikeluarkannya undang-undang (Regering Reglement) tahun 1854 tentang penghapusan per- budakan. Namun pada praktiknya, kerja rodi baru dihapuskan pada 1860. Ini lalu diikuti dengan penghentian wajib tanam lada (1862), cengkeh dan pala (1864), indigo, teh, dan kayu manis (1865), dan tembakau (1866). Ta- nam paksa benar-benar dihapuskan pada 1917, terkait penghapusan kewa- jiban tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat. Seiring dengan proses penghapusan tersebut kaum liberal Belanda men- gajukan banyak kritik terhadap praktik tanam paksa. Douwes Dekker, Van Hoevel, dan Van Deventer adalah tiga juru bicara yang mengemuka dari kaum liberal, terkait catatan-catatan mereka tentang kondisi kemiskinan yang dialami penduduk Jawa. Kritik-kritik ini tidak segera mendapat tang- gapan karena pemerintah kolonial masih sibuk dengan sejumlah perang penaklukkan di luar Jawa, terutama Perang Aceh. Tulisan-tulisan mereka yang lalu mendorong pemerintah Kerajaan Belanda mengubah arah kebi-
  • 13. 5 BUNYI MERDEKA jakannya. Pada 1901, Ratu Belanda, Wilhelmina, dalam pidato tahunannya menyatakan perihal kewajiban yang luhur serta tanggung jawab sosial Be- landa untuk rakyat Hindia Belanda sehubungan dengan keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Belanda pada 1901. Pidato Ratu Wilhelmina itu kerap dianggap sebagai awal dari Politik Etis. Sebuah upaya pemerintah kolonial Belanda untuk semacam merevitalisasi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hancur karena prak- tik tanam paksa. Upaya ini diperlukan mengingat persaingan ekonomi di antara negeri-negeri Eropa bergerak ke arah industrialisasi, sehingga dib- utuhkan sumber daya manusia yang terdidik dan terawat kesehatannya, dan membuka ruang investasi yang lebih besar di tanah jajahan dengan membangun irigasi bagi wilayah perkebunan swasta. Dengan kata lain, Politik Etis adalah semacam kebijakan pemerintah kolonial untuk berger- ak ke arah industri. 1.1.4. Aria Kebangsaan Di tengah perkembangan menuju industrialisasi Hindia Belanda, di tengah kehancuran ekonomi dan budaya masyarakat Jawa, roh berlawan terhadap kolonialisme tetap hidup. Setidaknya itu muncul dari seorang perempuan yang dengan kemampuannya menulis dan berbahasa Belanda menggam- barkan keadaan masyarakat Jawa sekitarnya dan mengajukan gagasan ten- tang kebangkitan bumiputra. “Saya malu sekali memikirkan kepentingan pribadi. Saya ber- pikir-pikir dan mengelamun tentang keadaan saya sendiri dan di luar, di sekeliling saya demikian banyaknya orang yang hidup menderita dan sengsara. Seolah-olah udara tiba-tiba bergetar disebabkan oleh suara orang-orang menderita di sekeliling saya yang menjerit, mengerang dan mengeluh. Le- bih keras lagi dari suara mengerang dan mengeluh, terden- gar bunyi mendesing dan menderau dalam telinga saya: Be- kerja! Bekerja! Bekerja! Berjuanglah membebaskan diri! Baru setelah kamu bekerja membebaskan diri, akan dapatlah kamu menolong orang lain! Bekerja! Suara itu saya dengar terang sekali.” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon-Man- dri, 8 April 1902, cetak miring sesuai aslinya)1 1 Kartini. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. (Penerjemah Sulastin
  • 14. 6 Kutipan di muka, yang ditulis oleh Kartini dalam salah satu surat-surat- nya Kartini kepada sahabatnya di negeri Belanda, menegaskan tentang keadaan masyarakat Jawa dan tentang kebutuhan untuk melakukan peru- bahan terhadap keadaan itu. Lebih jauh lagi Kartini mulai membuat analisa tentang keadaan masyarakat Jawa di hadapan kolonialisme: “Tetapi perbuatlah sekehendak hati tuan, tuan tidak akan da- pat menahan paksaan zaman juga. Saya sayang kepada orang Belanda. Sayang, amat sayang dan saya berterima kasih atas banyak hal, yang kami nikmati dengan keikhlasan hati mereka dan atas usaha mereka. Banyak, amat banyak di antara mereka boleh kami sebut sahabat karib kami. Tiada lain sebabnya, ha- nyalah karena kami berani berdaya upaya menjadi cerdas dan maju, hampir-hampir sama dengan mereka. Dengan cara yang halus sekali mereka membuat kami merasakan hal itu. “Saya orang Eropah, kamu orang Jawa” atau dengan perkataan lain “Saya yang memerintah, kamu saya perintah … Oh, sekarang saya mengerti, mengapa orang tidak setuju dengan kemajuan orang Jawa. Kalau orang Jawa berpengetahuan, ia tidak akan lagi mengiakan dan mengamini saja segala sesuatu yang ingin dikatakan atau diwajibkan kepadanya oleh atasannya.” (Surat Kartini kepada Nona E.H. Zeehandelaar, 12 Januari 1900) Kartini memang belum lagi berpikir tentang Indonesia, tapi ia memahami adanya bangsa Jawa, yang kemudian ia sebut juga “bangsa boemipoetra” yang tidak hidup bahagia dan tidak merdeka di bawah kekuasaan feodal dan kolonial. “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang-orang setengah Eropah atau orang-orang Jawa kebarat-baratan. Dengan pendidikan bebas kami bertujuan terutama sekali akan menjadikan orang Jawa sebagai orang Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat untuk tanah air dan bangsanya. Dijiwai dengan mata dan hati terbuka untuk keindahannya dan kesukarannya! (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon-Mandri, 10 Juni 1902, cetak miring sesuai aslinya) Sutrisno). Jakarta: Djambatan, 1985. Kutipan surat-surat Kartini pada halaman berikutnya mengacu ke buku ini.
  • 15. 7 BUNYI MERDEKA Hingga kemudian Kartini merumuskan bahwa membangun bangsa berarti juga membangun kaum perempuannya. Ini terkait dengan upaya mem- peradabkan masyarakat, di mana perempuan yang terdidik dan berbu- di akan menjadi teman seiring kaum laki-laki. Saat mereka menjadi ibu, merekalah yang sejak awal berpengaruh besar dalam memberi pendidikan budi pekerti bagi anak-anaknya. “Perempuan sebagai pendukung Peradaban! Bukan, bukan ka- rena perempuan yang dianggap cakap untuk itu, melainkan karena saya sendiri juga yakin sungguh-sungguh, bahwa dari perempuan mungkin akan timbul pengaruh besar bahwa dia- lah yang paling banyak dapat membantu meninggikan kadar kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia itu perta- ma-tama menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir, dan berkata-kata. Dan makin lama makin jelaslah bagi saya, bahwa pendidikan yang mula-mula itu bukan tanpa arti bagi seluruh kehidupan. Dan bagaimanakah ibu-ibu Bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?” (Surat Kartini kepada Nyonya R.M. Abendanon, 21 Januari 1901) Demikianlah Kartini, yang belum mengetahui peristilahan nasionalisme, ataupun gagasan kebangsaan secara utuh, sudah merumuskan bibit-bibit pemikiran tentang bangsa dan kebangkitan sebuah bangsa. 1.1.5. Serenade Pergerakan Kebangsaan Kartini wafat di usia muda pada 1904. Sebuah masa ketika kebijakan Politik Etis mulai dijalankan di wilayah Hindia Belanda. Dalam hal pendidikan, di bawah Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon, pemerintah kolonial mem- buka pendidikan barat berbahasa Belanda di wilayah tanah jajahan Hin- dia Belanda untuk generasi elite penguasa tradisional dan mempersiapkan mereka untuk menjadi pegawai negeri. Sebelumnya pada 1893 pemerintah kolonial juga membagi sekolah-sekolah menjadi dua kelas, agar anak-anak dari kaum penguasa tradisional mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ini dengan harapan agar rakyat Hindia Belanda dengan sukarela akan me- nerima peradaban barat dan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda. Pendidikan barat tersebut, melahirkan generasi kaum terpelajar bumipu-
  • 16. 8 tra, yang mulai paham tentang sejumlah perlawanan terhadap kolonial- isme di dalam maupun di luar Pulau Jawa, dan bagaimana semua perla- wanan dengan perang tersebut bertumbangan satu demi satu. Pun sebuah generasi yang mulai menyadari bahwa untuk melawan kolonialisme me- reka harus menggunakan alat-alat penguasa seperti ilmu pengetahuan, institusi pendidikan, organisasi, pertemuan umum, percetakan dan pe- nerbitan. Sebuah generasi yang melahirkan Tirto Adhi Soerjo yang telah merintis berbagai penerbitan surat kabar; Tjipto Mangoenkoesoemo sang dokter penerima bintang Oranje Nassau, dengan pandangan-pandangan politiknya yang maju dan berani; Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, seniman dan penganjur pendidikan, serta sejumlah tokoh per- gerakan kebangsaan lainnya yang berlibat di dalam berbagai organisasi perjuangan. Pun sebuah generasi yang nantinya menggunakan kata “Indo- nesia” sebagai pengganti kata Hindia atau Hindia Belanda. Khususnya pada dunia musik periode ini merupakan pergaulan yang ak- tif antara para pemusik lokal dan pemusik Eropa di Jawa. Sekolah-sekolah guru Belanda pada masa Hollands Indische Kweekschool (HIK) dan Kweek- school menjadi tempat para pemusik pribumi belajar musik barat, salah satunya Soerjopoetro seorang priayi Puro Pakualaman. Pada masa itu to- koh-tokoh karawitan di Jawa bertemu dengan para pemusik Eropa yang progresif seperti Walter Spies, Linda Bandara dan Collin Mcphee, serta ahli-ahli teori karawitan Belanda seperti Jaap Kunst dan Brans Buy. Kare- nanya tidak mengherankan jika kemudian muncul komponis abad ke-20 yang telah menggunakan pola kehidupan budaya musik barat sebagai sa- rana guna mengungkapkan ekspresi musikal. Beliau adalah Soerjopoetro tahun 1916-1917 dengan karyanya Rarjuo Sarojo duet vokal dan biola. Ma- teri komposisi diangkat dari sebuah lagu dolanan anak. Melodi vokal dan biola pada prinsipnya sama, tetapi gerakan melodi pada biola diberikan nada-nada hiasan seperti halnya penggarapan unsur rebab dalam karaw- itan Jawa. Analisis komposisi karya Soerjopoetro dapat dikatakan sebuah awal upaya untuk menggarap musik tradisional menjadi sebuah garapan komposisi barat.2 Bersamaan dengan proses industrialisasi dan Politik Etis, berbagai macam perkembangan teknologi industri produksi massal hadir di tanah Hindia. 2 Wisnu Mintargo. “Musik Nasional dalam Konsep Trikon Ki Hadjar Dewantara: Akultur- asi Budaya Timur dan Barat”, dimuat dalam situs web http://wisnumintargo.web.ugm. ac.id/?p=64
  • 17. 9 BUNYI MERDEKA Industri kereta api yang mulai dibangun pada 1867 mulai berkembang sembilan tahun kemudian di tahun 1876. Mesin cetak yang pada periode sebelum abad ke-19 hanya dimiliki oleh kantor pemerintah kolonial atau kantor misionaris, di pertengahan dan akhir abad ke-19 mulai menjadi ba- gian dari industri surat kabar. Ini terlihat dari terbitnya surat kabar per- tama berbahasa Jawa di Surakarta, Bromartani, pada 1855. Bahkan perusa- haan rekaman sudah mulai masuk Hindia Belanda di awal abad ke-20. Di masa itu setidaknya ada tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti dunia musik dengan mendirikan perusahaan rekaman, yaitu Tio Tek Hong di Pa- sar Baru dan Lie A Kon di Pasar Senen, dan satu lagi di Surabaya. Sebagaimana yang telah dikemukakan, situasi ini di satu sisi membuka mata kaum terpelajar bumiputra tentang kemajuan ilmu pengetahuan. Tetapi, di sisi lain kaum terpelajar juga tidak mungkin menutup mata terh- adap kemiskinan dan diskriminasi yang dialami kaum bumiputra. Karena- nya membangun organisasi dan menerbitkan surat kabar atau berkala lain menjadi sarana untuk membela kaum bumiputra, membela bangsa. Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), sosok pendiri pers nasional yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/ TK/2006. Sejak muda, Tirto Adhi Soerjo merintis berbagai penerbitan su- rat kabar. Yang paling terkenal adalah surat kabar Medan Prijaji (beredar sejak Januari 1907 sampai Januari 1912). Inilah surat kabar pertama yang dikelola sepenuhnya oleh tenaga pribumi dan menggunakan bahasa Me- layu. Inilah juga surat kabar pergerakan pertama yang menjadi model bagi berbagai surat kabar pergerakan sesudahnya (seperti Sarotomo dan Soeloeh Indonesia). Sebagai surat kabar pergerakan, Medan Prijaji memuat laporan dan liputan yang dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Metode jurnalismen- ya dikenal sebagai jurnalisme advokasi, yakni suatu cara kerja jurnalis- tik yang menekankan pada pembelaan pada kaum tertindas yang tengah diliput. “Sekarang betapakah halnja tentang orang Boemi poetera? orang berkoeli, jaitoe mentjeri makan dengan dapet opahan dari angkatken orang laen punja barang… “tjoba lihat, itoe disana ada koetsier, dan dinaiki seorang bangsa sopan. Dog- cart dibawa poeter kota, dari sini kesana, dari sana kemari, barangkali soedah empat lima djam lamanja
  • 18. 10 „sekarang berhenti disini sir‟, „saja toean‟, „ini sewanja een kwartje‟, „minta tambah, toean!‟, „apa! Kaoe berani boeka moeloet!‟, „tida toean, ini terlaloe sedikit sebab dogcart dipake 4 djam lamanja‟, „Peng!‟. Apa itu, soeara bedil! Boekan! Itoe soeara tapak ta- ngan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan!”” Kutipan di muka adalah salah satu contoh laporan dan liputan Medan Prijaji yang khas, karena dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Melalui kerja jurnalistik semacam inilah, Tirto Adhi Soerjo mengobarkan seman- gat anti-kolonial dan menyulut kesadaran berkebangsaan yang mandiri. Generasi muda yang tumbuh melalui bacaan atas surat kabar ini kemudian membawa dalam diri mereka kesadaran tentang ketidakadilan pemerintah kolonial dan situasi keterjajahan bangsa Indonesia. Boedi Oetomo, sebagai organisasi pergerakan yang didirikan pada 1908 be- rangkat dari semangat membantu kaum bumiputra untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan murah. Pandangan mereka tentang keadaan masyarakat bumiputra, sebagaimana diungkapkan oleh Goenawan Mango- enkoesoemo, salah satu pendiri Boedi Oetomo: “Kaum bumiputera mempunyai nilai tidak lebih dari sebuah keset kaki atau seekor anjing yang dilempari batu oleh anak- anak. Di dalam kereta api, trem, di sekolah-sekolah, di jalan raya, di kantor-kantor, di perkebunan-perkebunan, bangsa bumiputera senantiasa dipandang rendah dengan cara sangat menghina, dipandang sebagai bangsa tanpa tenaga dan tan- pa kekuatan. Bangsa bumiputera selalu menjadi obyek perco- baan untuk pertanian, obyek pengamatan, dan sesuatu yang dianalisis dan dipelajari orang, serta sesuatu yang dapat ditu- lis untuk bahan-bahan ceramah ilmiah.”
  • 19. 11 BUNYI MERDEKA Karenanya, organisasi ini bertujuan melawan kolonialisme melalui jalan pendidikan. Ini ditegaskan di dalam salah satu dokumennya: “Tujuan Budi Utomo adalah mengusahakan persatuan kaum Boemipoetera yang sedapat mungkin bersifat umum, sehingga akan tercapai Persatuan orang Jawa pada umumnya, dengan Boedi Oetomo hanya sebagai pelopor, yang tugas utamanya adalah untuk merancang cara-cara yang tepat untuk menca- pai terwujudnya suatu pendidikan yang serasi bagi negara dan rakyat Hindia Belanda.” Walaupun belum sampai pada tuntutan Indonesia Merdeka, Boedi Oeto- mo menjadi inspirasi bagi para pejuang kebangsaan selanjutnya. Barulah dengan berdirinya Indische Partij pada 25 Desember 1912 tuntutan ke- merdekaan menjadi eksplisit sebagai tujuan partai. Tiga serangkai pendi- rinya yakni Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi So- erjaningrat tak lama kemudian berurusan dengan polisi kolonial karena mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Kesadaran tentang bertanah air dan berbangsa satu bangkit dari sana. 1.1.6. Etude Pandu Variasi gerakan menentang kolonialisme juga muncul melalui modifikasi organisasi kepanduan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial. Pada 1916, S.P. Mangkunegara VII membuat organisasi kepanduan kaum bu- miputra, yang kemudian diberi nama Javaansche Padvinders Organisatie dan merupakan organisasi kepanduan pertama di Nusantara. Bagi kaum pergerakan nasional Indonesia organisasi kepanduan ini bisa menjadi sara- na membentuk manusia yang baik dan menjadi kader pergerakan nasional. Karenanya, muncul kemudian sejumlah organisasi kepanduan seperti or- ganisasi kepanduan milik Muhammadiyah yang diberi nama Padvinder Muhammadiyah di mana pada 1920 mengganti nama mereka menjadi Hiz- bul Wathan. Selain Muhammadiyah, ada juga Nationale Padvinderij milik Boedi Oetomo, Sarekat Islam Afdeling Padvinderij milik Sarekat Islam yang namanya kemudian diubah menjadi Sarekat Islam Afdeling Pandu (SIAP), Nationale Islamietische Padvinderij (Natipij) yang berdiri berkat Jong Is- lamieten Bond, dan terakhir adalah Indonesisch Nationale Padvinders Or- ganisatie (INPO) yang berutang kepada Pemuda Indonesia untuk berdiri. Pada 23 Mei 1928, rasa persatuan yang timbul dalam organisasi kepanduan
  • 20. 12 di Indonesia mulai mewujudkan dirinya dengan nama “Persaudaraan An- tara Pandu Indonesia” (PAPI) yang beranggotakan INPO, SIAP, Natipij, dan PPS. Sejarah terus berlanjut. Melihat maraknya organisasi kepramukaan milik pribumi yang bermunculan, Belanda akhirnya membuat peraturan untuk melarang organisasi kepramukaan di luar milik Belanda menggunakan isti- lah Padvinder. Karena itu kemudian Haji Agoes Salim menggunakan istilah “Pandu” dan “Kepanduan”. Demi mempererat persaudaraan di antara tiap organisasi, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia berencana untuk mengadakan sebuah jambore besar. Kegiatan ini mengalami beberapa kali perubahan rencana dalam waktu dan nama kegiatan, meskipun pada akhirnya nama kegiatan disetujui sebagai “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” atau dis- ingkat Perkino. Tanggal acara yang tadinya juga sempat didebatkan akhir- nya diputuskan untuk dilakukan pada 19 hingga 23 Juli 1914 di suatu daerah di Yogyakarta. Selanjutnya, pada 1930 timbul kesadaran dari tokoh-tokoh Indonesia untuk mempersatukan organisasi kepramukaan. Maka terben- tuklah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI merupakan gabungan dari organisasi kepanduan seperti INPO, PK (Pandu Kesultanan), PPS (Pandu Pemuda Sumatra). Maka, dimulailah apa yang disebut sebagai “Zaman Bergerak”, yakni era perlawanan rakyat Indonesia yang terorganisasikan secara modern terha- dap pemerintahan kolonial, struktur feodal dan pranata kapitalis di Hindia Belanda yang terjadi antara 1912 dan 1926. Perlawanan ini dikatakan ‘ter- organisasikan secara modern’ karena tak lagi menggunakan pendekatan feodal seperti pépé (berjemur) di halaman pembesar lokal memohon kes- udiannya untuk menjalankan perubahan situasi, melainkan menggunakan instrumen politik seperti organisasi/perserikatan (vereeniging) dan pemo- gokan (werkstaking) yang difungsikan secara strategis untuk memaksa pe- modal menerima tuntutan gerakan. Berbagai gerakan pekerja dan intelek- tual muda bergabung dalam aksi-aksi bersama yang menentang tatanan kolonial yang represif. Pada masa inilah timbul kesadaran baru bahwa tatanan politik kolonial bukanlah nasib yang ditimpakan begitu saja ke bumi manusia, melaink- an dapat diubah sewaktu-waktu oleh tangan rakyat Indonesia sendiri. Haji Misbach, seorang aktivis pergerakan masa itu, berbicara tentang “djaman
  • 21. 13 BUNYI MERDEKA balik boeono” (zaman terjungkir-baliknya dunia). Dalam pidatonya di salah satu pemogokan ia menyatakan: “Tjeritanja ja-itoe di negri Oostenrijk (Austria), dhoeloe djoe- ga di kepalai oleh saorang Radja tetapi sekarang soedah boe- ono baliknja-itoe di kepalai Republiek, mendjadi waktoe itoe banjak sekali ambtenaar-ambtenaar jang di-boenoeh oleh re- publiek asal bekas ambtenaar kelihatan djalan, teroes potong sadja lehernja, begitoelah seteroesnja. Maka soedara, ajo! in- getlah, bila tanah ini boekan poenjanja siapa-siapa, terang bila poenja kita sendiri. Tida boleh tida, ini tanah temtoe kombali pada kita lagi.” (Shiraishi 1997: 263-264) Kesadaran tentang zaman yang telah berganti rupa semacam ini terus muncul di kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia. Dalam hiruk-pikuk semangat perubahan inilah lahir gerakan para pemuda yang mengupayakan ikatan komitmen bersama sebagai bangsa. 1.1.7. Rondo Kongres Pemuda (I) Pada 1925 dilangsungkan rapat-rapat persiapan yang akan mengarah pada terlaksananya Kongres Pemuda Pertama. Para perintisnya tergabung da- lam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang berasal dari se- kolah-sekolah tinggi di Jakarta dan Bandung. Mereka yang aktif di sana antara lain Soegondo Djojopoespito, Sigit, Abdul Sjukur, Gularso, Sumitro, Samijono, Hendromartono, Subari, Rochjani, S. Djoened Poesponegoro, Kuntjoro, Wilopo, Surjadi, Muhammad Yamin, A.K. Gani dan Aboe Hanifah. Sebagai angkatan muda yang mengenyam pendidikan model Eropa, me- reka antusias mempelajari dan memperdebatkan berbagai revolusi be- sar dunia, seperti Revolusi Amerika 1776, Revolusi Prancis 1789, Revolusi Cina 1911 dan Revolusi Rusia 1917. Mereka pun mendiskusikan beragam pemikiran politik dunia, mulai dari Plato, Aristoteles, Niccolo Machiavel- li, Thomas Hobbes, Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan John Stuart Mill (Rahman 2016: 5). Sekalipun menimba pelajaran dari berbagai belahan dunia, cita-cita mereka tentang sebuah forum yang mendeklarasikan per- satuan bangsa Indonesia terinspirasi dari wacana persatuan yang diden- gungkan oleh Perhimpunan Indonesia (PI).
  • 22. 14 Sebagai wadah para pelajar Indonesia di Negeri Belanda, PI mengalami ra- dikalisasi berkat bergabungnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat pada 1913. Keduanya dibuang ke Belanda akibat aktivitas mereka dalam Indische Partij. Berkat kehadiran keduanya, PI yang semula hanya menggelar forum silaturahim dan pesta-pesta kemudian mulai aktif membicarakan kemungkinan persatuan kebangsaan di dalam panji Indo- nesia merdeka. Pada 1925, diskusi-diskusi mereka tentang kondisi bangsa mengantar mereka pada segugus kesimpulan yang kemudian dikenal se- bagai Manifesto Politik 1925: 1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih sendiri oleh mereka. 2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak manapun. 3. Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat, tujuan perjuangan itu akan sulit dicapai. Semangat merdeka ini tercermin dalam terbitan mereka. Perhimpunan In- donesia mengeluarkan terbitan rutin berjudul Indonesia Merdeka yang mel- ontarkan seruan-seruan nasionalis untuk kemerdekaan Indonesia. Seruan inilah yang ditangkap oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia dan mulai digencarkan di dalam negeri serta diwujudkan dalam bentuk kong- res persatuan Indonesia. Kongres Pemuda Pertama diselenggarakan di Jakarta antara 30 April dan 2 Mei 1926. Susunan kepanitiaan kongres ini adalah sebagai berikut: Ketua: Mohammad Tabrani (Jong Java) Wakil Ketua: Soemarto (Jong Java) Sekretaris: Djamaluddin Adinegoro (Jong Soematranen Bond) Bendahara: Soewarso (Jong Java) Anggota: 1. Bahder Djohan (Jong Soematranen Bond) 2. Jan Toule Soulehuwij (Jong Ambon) 3. Paul Pinontoan (Jong Celebes) 4. Achmad Hamami (Sekar Roekoen) 5. Sanoesi Pane (Jong Bataks Bond) 6. Sarbaini (Jong Soematranen Bond)
  • 23. 15 BUNYI MERDEKA Tema utama yang ditekankan dalam kongres ini adalah “penyebaran jiwa kebangsaan Indonesia di kalangan pemuda Indonesia” (de Nationaal Indone- sische geest onder de Indonesische Jeugd). Kongres ini diselenggarakan dengan cita-cita untuk: 1. Membentuk badan terpusat dari organisasi-organisasi pemuda yang ada. 2. Memajukan gagasan persatuan nasional. 3. Menjalin kerjasama lebih erat antar-organisasi pemuda yang bernafaskan persatuan nasional. Hadir dalam kongres ini adalah perwakilan dari berbagai organisasi pemu- da kebangsaan seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Ambon, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Minahasa, dan Jong Bataks Bond. Kongres Pemuda Pertama kesulitan menghasilkan keputusan yang tajam karena perasaan kedaerahan masih sangat mewarnai pandangan dari seti- ap delegasi pemuda. Meski begitu, sudah ada usaha bersama untuk meng- gagas cita-cita persatuan Indonesia dan kesadaran bersama tentang per- lunya menghilangkan pandangan adat kedaerahan yang kolot dan sempit. Tetapi, perwujudannya dalam bentuk komitmen bersama yang positif be- lum berhasil dirumuskan secara tegas. Apa yang terjadi di sana lebih merupakan pertemuan penjajakan tentang berbagai ide terkait persatuan kebangsaan. Muhammad Yamin, misalnya, menyampaikan pidato “Kemungkinan-Kemungkinan Masa Depan Bahasa dan Sastra Indonesia” yang berargumen bahwa bahasa Melayu adalah ba- hasa yang paling cocok digunakan sebagai bahasa persatuan. Sementara yang lain berpendapat bahasa Jawa lebih tepat digunakan sebagai bahasa persatuan. Sedangkan keseluruhan diskusi itu sendiri dilakukan dalam ba- hasa Belanda. Kesulitan menyatukan pandangan amat terasa dalam sidang-sidang Kong- res Pemuda Pertama. Bahkan pimpinan kongres, Mohammad Tabrani, be- rulang kali mesti memediasi berbagai pendapat yang menjurus pada senti- men kedaerahan agar tidak pecah sebagai konflik terbuka antar organisasi pemuda.
  • 24. 16 1.1.8. Rondo Kongres Pemuda (II) Pada 3 Mei 1928, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia mulai menggelar rapat persiapan menuju Kongres Pemuda Kedua. Rapat itu dilanjutkan lagi pada 12 Agustus 1928 yang dihadiri perwakilan dari berbagai organisasi pemuda dan berhasil memutuskan akan menggelar kongres pada 27-28 Ok- tober 1928. Dalam rapat tersebut disepakati susunan kepanitiaan sebagai berikut: Ketua: Soegondo Djojopoespito (PPPI) Wakil Ketua: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java) Sekretaris: Muhammad Yamin (Jong Soematranen Bond) Bendahara: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond) Pembantu I: Djohan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond) Pembantu II: R. Katjasoengkana (Pemoeda Indonesia) Pembantu III: R.C.L. Senduk (Jong Celebes) Pembantu IV: Johanes Leimena (Jong Ambon) Pembantu V: Rochjani Soe’oed (Pemoeda Kaoem Betawi) Dengan susunan kepanitiaan semacam itu akhirnya terselenggara Kongres Pemuda Kedua di Jakarta pada 27-28 Oktober 1928. Dari sekitar tujuh ratus peserta yang hadir, nama-nama peserta yang tercatat adalah sebagai beri- kut (Rahman 2016: 17-19): 1. Abdoel Halim 2. Abdoel Moethalib Sangadji 3. Abdoel Rachman 4. Abdoellah Sigit (Indonesische Studieclub) 5. Aboe Hanifah 6. Achmad Hamami 7. Adnan Kapau Gani 8. Dr. Mohammad Amir (Dienaren van Indie) 9. Anta Permana 10. Anwari 11. Arnold Mononutu 12. Assaat dt Muda 13. Bahder Djohan 14. Dali 15. Darsa Arsa 16. Dien Pantouw
  • 25. 17 BUNYI MERDEKA 17. Djuanda 18. Dominee (pdt) van Hoorn 19. Dr. Pijper (Adviseur voor Inlandsche Zaken) 20. Dr. Poerbatjaraka (Adviseur voor Inlandsche Zaken) 21. Dr. Van der Plaas (Adviseur voor Inlandsche Zaken) 22. Emma Poeradiredja 23. F. Dahler 24. Hoofdcommissaris van Politie van der Plugt 25. Inoe Martakoesoema 26. J.E. Stokvis 27. Jo Tumbuhan 28. Joesoepadi Danoehadiningrat 29. John Lau Tjoan Hok 30. Jos Masdani 31. Kadir 32. Karto Menggolo 33. Kasman Singodimedjo 34. Koentjoro Poerbopranoto 35. Kwee Thiam Hong 36. Ma’moen Ar Rasjid 37. Moehidin (Pasundan) 38. Moekarno 39. Moewardi 40. Mohammad Ali Hanafiah 41. Mohammad Nazif 42. Mohammad Roem 43. Mohammad Tamzil 44. Mr. Sartono 45. Muhammad Husni Thamrin 46. Nona Tumbel 47. Oey Kay Siang 48. Patih Batavia, Raden Achmad 49. Poernamawoelan 50. R.M. Djoko Marsaid 51. Raden Soeharto 52. Raden Soekamso 53. Ramelan 54. S.M. Kartosoewirjo 55. Saerun (Keng Po) 56. Sahardjo
  • 26. 18 57. Sarbaini 58. Sarmidi Mangoensarkoro 59. Setiawan 60. Siti Soendari 61. Sjahbuddin Latif 62. Sjahrial 63. Soedjono Djoened Poesponegoro 64. Soehara 65. Soejono (Volksraad) 66. Soekamto 67. Soekmono 68. Soelaeman 69. Soemanang 70. Soemarto 71. Soenario (PAPI dan INPO) 72. Soerjadi 73. Soewadji Prawirohardjo 74. Soewarni 75. Soewirjo 76. Soeworo 77. Tjahija 78. Tjio Djien Kwie 79. Tjokorda Gde Raka Sukawati (Volksraad) 80. Wage Rudolf Soepratman 81. Wilopo 82. Koesoemo Oetojo Rangkaian kongres tersebut terbagi ke dalam tiga rapat yang diselengga- rakan di tempat yang berbeda-beda. Rapat pertama diadakan pada pukul 20.00 di gedung Katholieke Jongenlingen Bond yang berlokasi di Water- looplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam rapat pertama ini, Muham- mad Yamin berpidato tentang lima prasyarat persatuan Indonesia yakni sejarah, bahasa, hukum, pendidikan, dan kemauan. Pidato ini ditanggapi secara positif oleh Inoe Martakoesoema yang me- nekankan pentingnya persatuan agar Indonesia bisa sejajar dengan Ing- gris dan Belanda. Secara tidak langsung, Inoe mau mengatakan bahwa persatuan berguna buat kemerdekaan Indonesia. Maksud ini ditangkap oleh Hoofdcommissaris van Politie bernama van der Plugt. Agen polisi itu memotong tanggapan Inoe dan mengimbaunya untuk meninggalkan kong-
  • 27. 19 BUNYI MERDEKA res. Mr. Sartono kemudian memberikan tanggapan yang mempersoalkan polisi Belanda yang doyan main larang. Rapat kedua diadakan di gedung bioskop Oost Java yang terletak di Koning- splein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Dalam rapat kali ini Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro berbicara tentang pent- ingnya pendidikan kebangsaan yang membawa semangat demokratis di rumah dan sekolah. Selain itu, Siti Soendari mengajukan pandangannya tentang kondisi perempuan yang tertindas dalam masyarakat. Rapat terakhir diadakan di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kra- mat Raya 106, yang merupakan rumah indekos kepunyaan Sie Kong Liang, tempat aktivis-aktivis pemuda seperti Muhammad Yamin dan Amir Sjar- ifuddin pernah menyewa. Dalam pertemuan itu, Soenario Sastrowardoyo menyampaikan pidato yang menekankan perlunya nilai-nilai nasionalisme dan demokrasi serta mengingatkan pentingnya gerakan pramuka dalam konteks pembentukan gerakan pemuda yang berorientasi kebangsaan. Ketika itu, sempat terjadi insiden yang membawa risiko pembubaran kong- res oleh aparat keamanan. Pasalnya, terlontar frasa “Indonesia merdeka” dari peserta kongres. Pejabat kepolisian van der Plugt beserta barisan aparat intel kolonial (Politieke Inlichtingen Dienst, PID) mengancam akan membubarkan kongres seketika itu juga. Menghadapi ketegangan itu, Soegondo Djojopoespito selaku pimpinan kongres segera menengahi de- ngan menyatakan bahwa pernyataan itu (maksudnya “Indonesia merde- ka”) tidak perlu dilontarkan secara eksplisit, cukup tahu sama tahu saja. Para peserta pun menyambutnya dengan riuh, gembira dan sesekali mel- ontarkan nada mengolok-olok barisan aparat keamanan kolonial. Dalam rapat terakhir itulah lagu Indonesia Raya dibawakan lewat gesekan biola Wage Rudolf Soepratman dan sesudah itu dibacakan sebuah mak- lumat yang dinamai “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia”. Inilah dokumen yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, se- buah dokumen historis pernyataan komitmen bersama tentang persatuan yang dirumuskan dalam tiga keputusan: “Pertama Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
  • 28. 20 Kedua Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga Kami putra dan putri Indonesia mengaku menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Lewat maklumat inilah para pemuda mendeklarasikan prinsip persatuan Indonesia, persatuan tanah air, bangsa dan bahasa. 1.1.9. Balada si Wage Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada Senin Wage, 9 Maret 1903 di Desa Somongari yang terletak sekitar 12 kilometer sebelah tenggara Kota Pur- worejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Jumeno Senen Sastrosuharjo, adalah ser- dadu KNIL berpangkat sersan, sementara ibunya bernama Siti Senen. Pada malam kelahirannya, sang ayah memberinya nama Wage Soepratman. Akan tetapi, pada umur sebelas tahun, nama Rudolf ditambahkan padanya supaya memudahkan Soepratman masuk ke Europeesche Lagere School, Sekolah Dasar yang mayoritas diisi anak-anak Belanda.
  • 29. 21 BUNYI MERDEKA Potret W.R. Soepratman Pada 1914, Soepratman mengikuti kakak sulungnya, Rukiyem, ke Makas- sar. Di sana, ia bersekolah sampai ke taraf Normaalschool. Soepratman lan- tas bekerja di kantor pengacara Belanda, kemudian sebagai guru Sekolah Angka 2 dan juga di kantor sebuah perusahaan dagang serta firma hukum. Semasa tinggal di Makassar inilah bakat musiknya dikembangkan oleh ka- kak iparnya, suami Rukiyem, yang berprofesi sebagai guru musik tentara kolonial. Sastromiarjo alias Willem Mauritius van Eldik, sang kakak ipar, mengajarinya bermain biola. Sepulangnya ke Pulau Jawa pada 1924, Soepratman bekerja sebagai war- tawan di Bandung dan Jakarta. Ia menyumbangkan artikel-artikel pelapo- ran pada surat kabar Kaoem Moeda, Kaoem Kita dan juga Sin Po. Pada ma- sa-masa inilah ketertarikannya pada dunia pergerakan kebangsaan yang
  • 30. 22 sudah muncul semasa ia di Makassar semakin menguat dan ia pun mulai bergaul dengan para tokohnya. Dalam suasana perjuangan kebangsaan inilah Soepratman menciptakan sejumlah lagu-lagu perjuangan yang membangkitkan semangat patriotik. Gubahan pertamanya adalah sebuah lagu berjudul Dari Barat Sampai Ke Timur: “Dari Barat sampai ke Timur/ Berjajar pulau-pulau Sambung menyambung menjadi satu/ Itulah Indonesia Indonesia Tanah Airku/ Aku berjanji padamu Menjunjung Tanah Airku/ Tanah Airku Indonesia” Lagu perjuangan yang diciptakan pada 1926 ini dari segi musik menyerupai lagu La Marseillaise, sebuah lagu perjuangan Revolusi Prancis yang kemudi- an diadopsi sebagai lagu kebangsaan Prancis. Sekitar masa inilah Soepratman membaca sebuah artikel di majalah Tim- boel terbitan Solo yang menantang para komponis Indonesia untuk men- ciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Tantangan ini juga dibarengi dengan kabar yang tersiar dari Indonesische Clubgebouw yang menghendaki supaya segera diciptakan lagu kebangsaan Indonesia. Menjawab kebu- tuhan historis bangsa ini, Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya yang pada subjudulnya dengan terang tertulis “lagu kebangsaan”. Berikut adalah lirik asli Indonesia Raya yang ditulis W.R. Soepratman pada pertengahan tahun 1928 (Hutabarat 2001: 19-21): I Indonesia Tanah Airku Tanah Tumpah Darahku Di sanalah Aku Berdiri Jadi Pandu Ibuku Indonesia Kebangsaanku Kebangsaan Tanah Airku Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu Hiduplah Tanahku Hiduplah Negeriku Bangsaku, Jiwaku Semuanya
  • 31. 23 BUNYI MERDEKA Bangunlah Rakyatnya Bangunlah Bangsanya Untuk Indonesia Raya Indones, Indones, Merdeka Merdeka Tanahku Negriku Yang Kucinta Indones, Indones, Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya. II Indonesia Tanah Yang Mulia Tanah Kita Yang Kaya Di sanalah Aku Hidup Untuk Slama-lamanya Indonesia Tanah Pusaka Pusaka Kita Semuanya Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu Suburlah Tanahnya Suburlah Jiwanya Bangsanya Rakyatnya Semuanya Sadarlah Hatinya Sadarlah Budinya Untuk Indonesia Raya Indones, Indones, Merdeka Merdeka Tanahku Negriku Yang Kucinta Indones, Indones, Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya III Indonesia Tanah Yang Suci Tanah Kita Yang Sakti Di sanalah Aku Berdiri Menjaga Ibu Sejati Indonesia Tanah Berseri
  • 32. 24 Tanah Yang Aku Sayangi Marilah Kita Bernyanyi Indonesia Abadi Selamatlah Rakyatnya Selamatlah Puteranya Pulaunya, Lautnya, Semuanya Majulah Negerinya Majulah Pandunya Untuk Indonesia Raya Indones, Indones, Merdeka Merdeka Tanahku Negriku Yang Kucinta Indones, Indones, Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya Itulah lirik asli Indonesia Raya tiga stanza yang digubah W.R. Soepratman. Pada 8 September 1944, Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan sejumlah perubahan kecil atas lagu tersebut dengan ketentuan umum: apabila di- nyanyikan satu stanza saja, maka ulangannya dinyanyikan dua kali, se- dangkan jika dinyanyikan tiga stanza, maka ulangannya dinyanyikan satu kali pada dua stanza pertama dan dua kali pada stanza ketiga. Pada 26 Juni 1958, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 44 yang menetapkan gu- bahan, irama, nada dan tata tertib dalam membawakan lagu tersebut. Kisah dikumandangkannya lagu Indonesia Raya dalam Kongres Pemuda Kedua punya latar yang menarik. Sebagai wartawan koran Sin Po, Soeprat- man pernah meliput Kongres Pemuda Pertama yang diselenggarakan an- tara 30 April dan 2 Mei 1926. Ketika akan diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua yang nantinya menghasilkan Sumpah Pemuda, Soepratman pun di- tugasi meliputnya kembali. Mula-mula, demi keperluan liputan, Soepratman bertemu dengan Soegon- do Djojopoespito, salah seorang tokoh muda dan kawan satu indekos Su- karno ketika di Surabaya. Dalam pertemuan itu, ia diminta Soegondo mem- bawakan lagu Indonesia Raya dalam suatu acara di gedung Indonesische Clubgebouw, Jalan Kramat Raya 106. Acara inilah yang kemudian digelar sebagai Kongres Pemuda Kedua. Pada malam 28 Oktober 1928, tepat sebe- lum putusan kongres dibacakan, W.R. Soepratman membawakan Indone- sia Raya dalam gesekan biola. Atas pertimbangan Soegondo, demi mengh-
  • 33. 25 BUNYI MERDEKA indari represi oleh agen-agen kolonial yang terus memantau keseluruhan acara, lagu itu pun sengaja tidak dinyanyikan. Pada tahun 1930, lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan di depan umum. Pemerintah kolonial menganggap lagu itu subversif dan mengganggu “ketenangan dan ketertiban” (rust en orde). Lagu tersebut dikhawatir- kan dapat memicu semangat kemerdekaan atau pemberontakan terha- dap pemerintah yang sah. Seiring dengan pelarangan lagu Indonesia Raya, Soepratman pun ditangkap polisi dan diinterogasi badan intelijen kolonial (Politieke Inlichtingen Dients). Pelarangan tersebut memicu protes yang meluas sampai menjadi perdebatan keras di Volksraad. Catatan intelejen kolonial tentang Indonesia Raya Dalam menyuarakan cita-cita kemerdekaan, Soepratman tak hanya ber- henti pada gubahan musik. Ia juga menulis novel berjudul Perawan Desa yang ditulis dan diterbitkan pada 1929. Novel itu berkisah tentang keseng- saraan hidup di bawah kolonialisme yang dipotret melalui cerita para kuli kontrak di tanah perkebunan Deli, Sumatra Utara. Karena mengandung kritik atas pemerintah kolonial, novel itu pun disita dan dimusnahkan oleh aparat Belanda. SelainmenggubahIndonesiaRaya, DariBaratSampaiKeTimur, IndonesiaIbuku, Di Timur Matahari, serta sejumlah lagu mars pergerakan, W.R. Soepratman juga mencipta Ibu Kita Kartini, yang terinspirasi dari liputannya atas Kong- res Perempuan Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928, dan Matahari Terbit. Lagu terakhir itu dianggap subversif oleh pemerintah
  • 34. 26 kolonial dan menggiring Soepratman dijebloskan ke penjara Kalisosok, Surabaya, pada Agustus 1938. Kelelahan fisik dan psikis membuat Soeprat- man jatuh sakit dan akhirnya meninggal di Surabaya, Jawa Timur, pada 17 Agustus 1938. Pada detik-detik penghabisannya, ia menulis secarik surat wasiat (Rahman 2016: 34): “Selamat tinggal tanah airku Tanah tumpah darahku Indonesia tanah berseri Tanah yang aku sayangi Selamat tinggal bangsaku!” 1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya W.R. Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya dengan dua versi. Versi pertama menggunakan tanda sukat 6/8 yang bisa dilihat dari partitur yang diterbitkan oleh koran Sin Po. Versi lainnya adalah versi dengan menggu- nakan tanda sukat 4/4. Keduanya tidak terlalu memiliki perbedaan, kecuali pada nilai-nilai nada. Lain daripada itu, Soepratman juga memberikan versi keroncong dan versi waltz. Kemungkinan yang dimaksud dengan Indonesia Raya versi waltz adalah yang menggunakan sukat 6/8, dan versi keroncong yang menggunakan sukat 4/4. Syair yang pertama kali dibuat oleh Soepratman juga sudah diubah bebe- rapa kali, sesuai dengan kebutuhan artistik dan politik. Adapun syair awal Soepratman berbunyi: Indonesia, tanah airku, Tanah tumpah darahku Disanalah aku berdiri Menjaga Pandu ibuku Indonesia, kebangsaanku Kebangsaan tanah airku Marilah kita berseru “Indonesia bersatu” Hiduplah tanahku Hiduplah neg’riku Bangsaku, jiwaku, semua
  • 35. 27 BUNYI MERDEKA Bangunlah rakyatnya Bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya Indones’, Indones’ Mulia, mulia Tanahku, neg’riku yang kucinta Indones’, Indones’ Mulia, mulia Hiduplah Indonesia Raya Indones’, Indones’ Mulia, mulia Tanahku, neg’riku yang kucinta Indones’, Indones’ Mulia, mulia Hiduplah Indonesia Raya Judul yang pertama kali diberikan Soepratman untuk karangannya adalah Indonesia. Setelah melihat kemerdekaan sudah mulai muncul di cakrawala, Sukarno meminta Kusbini untuk membentuk sebuah panitia guna menyempur- nakan lagu dan syair Indonesia Raya agar dapat menjadi lagu kebangsaan. Pada pertengahan 1944, dibentuklah sebuah Panitia Lagu Kebangsaan yang dipimpin oleh Kusbini. Adapun panitia tersebut terdiri dari para tokoh na- sional, yaitu: 1. Sukarno 2. Ki Hadjar Dewantara 3. Achiar 4. Bintang Sudibyo 5. Darmajaya 6. Kusbini 7. Kyai Haji Mansyur 8. Muhammad Yamin 9. Sastromulyono 10. Sanoesi Pane 11. Cornel Simandjuntak 12. A. Subardjo
  • 36. 28 13. Utoyo Panitia Lagu Kebangsaan itu selesai merumuskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan syair dan sekaligus membuat ketetapan-ketetapan sebagai berikut: 1. Apabila lagu Indonesia Raya dinyanyikan satu kuplet saja, maka ulangannya dilagukan dua kali. Apabila dinyanyikan tiga kuplet, maka ulangannya dilagukan satu kali, kecuali kuplet ketiga yang ulangannya tetap dilagukan dua kali. 2. Ketika menaikkan bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indone- sia Raya harus diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. Kalau se- dang berbaris, dipakai ukuran cepat 120. 3. Perkataan “semua” diganti dengan perkataan “sem’wanya.” Not ditambah dengan Do. 4. Perkataan “refrein” diganti dengan perkataan “ulangan.” Pada kenyataannya, perubahan pada syair Indonesia Raya bukan hanya pada kata “semua,” tetapi, lebih dari itu. Perubahan itu didasarkan atas pertimbangan tata bahasa, sastra dan musik. Di bawah ini adalah perban- dingan antara syair asli Indonesia Raya buatan Soepratman dan revisi yang dibuat oleh Panitia Lagu Kebangsaan: Kuplet I 1928 1944 Menjaga pandu ibuku Jadi pandu ibuku Kebangsaan tanah-airku Bangsa dan tanah airku Bangsaku, jiwaku semua Bangsaku, rakyatku sem’wanya Bangunlah, rakyatnya Bangunlah jiwanya Bangunlah, bangsanya Bangunlah badannya Kuplet II Disanalah aku hidup Disanalah aku berada Marilah kita berseru Marilah kita mendoa
  • 37. 29 BUNYI MERDEKA Indonesia bersatu Indonesia bahagia Kuplet III Menjaga ibu sejati Njaga ibu sejati Selamatlah rakyatnya S’lamatlah rakyatnya Selamatlah putranya S’lamatlah putranya Pulaunya, lautnya semua Pulaunya, lautnya sem’wanya Pada praktiknya, setelah kemerdekaan, meskipun sudah dikodifikasi oleh Panitia Lagu Kebangsaan, masih banyak ditemukan berbagai varia- si cara memainkan lagu Indonesia Raya. Akhirnya, pemerintah pada masa itu menganggap perlu suatu intervensi untuk menetapkan cara-cara lagu kebangsaan dimainkan. Oleh sebab itu, pada 16 November 1948, Presiden Sukarno memutuskan untuk membentuk Panitia Indonesia Raya. Tugas utama dari panitia tersebut adalah untuk memberikan saran-saran kepada Pemerintah mengenai: 1. Cara menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dalam berbagai upacara resmi dan tidak resmi. 2. Cara mengibarkan dan memakai bendera kebangsaan Sang Merah Putih. 3. Bentuk, isi dan cara pemakaian lambang negara Republik Indonesia. 4. Hal-hal lain yang dianggap perlu dan bersangkutan de- ngan lagu kebangsaan, bendera kebangsaan Sang Merah Putih dan lambang negara yang belum tersebut dalam butir 1, 2 dan 3. Judul Indonesia Raya baru diberikan kemudian, setelah dirasa judul awalnya kurang mencerminkan kemegahan negeri Indonesia. Kata-kata “mulia” dalam syair awal buatan Soepratman juga mengalami perubahan pada 1944. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Lagu Kebangsaan yang diminta Sukarno untuk merumuskan lagu kebangsaan, mengingat kemungkinan kemerdekaan yang sudah ada di depan mata. Keputusan Sukarno itu lalu menetapkan bahwa lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia.
  • 38. 30 Lebih dari satu dasawarsa kemudian, pada 1958 pemerintah mengeluarkan penetapan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1958 yang menegaskan perihal Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya. Selanjutnya PP tersebut juga menegaskan tentang cara menyanyikan, penggunaan dan tata tertib penggunaan lagu kebangsaan. Berkait dengan cara menyanyi- kan PP tersebut menyatakan sebagaimana termaktub dalam pasal 2 ayat (1), (2) dan (3): (1) Pada kesempatan-kesempatan di mana diperdengarkan Lagu Ke- bangsaan dengan alat-alat musik, maka lagu itu dibunyikan leng- kap satu kali, yaitu satu strofe dengan dua kali ulangan. (2) Jika pada kesempatan-kesempatan Lagu Kebangsaan dinyanyi- kan, maka lagu itu dinyanyikan lengkap satu bait, yaitu bait per- tama dengan dua kali ulangan. (3) Jika dalam hal tersebut pada ayat 2 di atas, Lagu Kebangsaan di- nyanyikan seluruhnya, yaitu tiga bait, maka sesudah bait yang pertama dan sesudah bait yang kedua dinyanyikan ulangan satu kali dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan satu kali dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan dua kali. Perkembangan selanjutnya berdasarkan peraturan pemerintah melalui In- struksi Menteri Muda Pendidikan dan Pengajaran dan Kebudayaan Nomor 1 tanggal 17 Agustus 1959, telah ditetapkan tujuh lagu-lagu perjuangan sebagai lagu wajib yaitu (1) lagu ‘Kebangsaan Indonesia Raya’ ciptaan W.R. Soepratman. (2) lagu ‘Bagimu Neg’ri’ ciptaan Kusbini. (3) lagu ‘Maju tak Gentar’ ciptaan Cornel Simandjuntak. (4) lagu ‘Hallo-hallo Bandung’ cip- taan Ismail Marzuki. (5) lagu ‘Rayuan Pulau Kelapa’ ciptaan Ismail Marzu- ki. (6) lagu ‘Berkibarlah Benderaku’ ciptaan Bintang Sudibyo, dan (7) lagu ‘Satu Nusa Satu Bangsa’ ciptaan L. Manik. Kodifikasi terakhir terhadap lagu Indonesia Raya adalah melalui UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, yang sekali menegaskan perihal Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan berikut aturan tambahan penggunaannya. Ini tercantum dalam Bab V bagian kedua ter- kait penggunaan lagu kebangsaan, pasal 59 ayat (1), Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan: a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  • 39. 31 BUNYI MERDEKA b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara; c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah; d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawa- ratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah; e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan ne- gara sahabat dalam kunjungan resmi; f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia. Selain itu lagu kebangsaan Indonesia Raya juga boleh digunakan untuk momen tertentu. Pada pasal 59 ayat (2) disebutkan bahwa lagu kebangsaan dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan: a. sebagai pernyataan rasa kebangsaan; b. dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran; c. dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi, partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau d. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni internasional. Menurut pasal 60 pada bagian ketiga undang-undang, tata cara penggu- naan lagu kebangsaan adalah sebagaimana berikut: 1. Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan secara instrumental. 2. Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrein. 3. Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinya- nyikan lengkap satu stanza pertama, dengan satu kali u- langan pada bait ketiga stanza pertama. Sebagai tambahan dari pasal 61, apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan lengkap tiga stanza, bait ketiga pada stanza kedua dan stanza ketiga dinya- nyikan ulang satu kali. Sementara sikap hadirin tertulis pada pasal 62 yang berisi bahwa setiap orang yang hadir pada saat lagu kebangsaan diperde- ngarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
  • 40. 32 1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi Sebelum ini sudah dibahas mengenai gambaran umum situasi pra-ke- merdekaan, lebih tepatnya, Kebangkitan Nasional sampai Sumpah Pemu- da, terutama kisah tragis pahlawan bangsa, W.R. Soepratman dan karya gubahannya yang kita kenal sebagai lagu kebangsaan. Bagian ini akan menguraikan kemerdekaan sebagai bunyi atau kemung- kinan-kemungkinan bunyi kemerdekaan. Apa maksudnya kemerdekaan sebagai bunyi? Dapatkah bunyi menjadi merdeka atau, setidaknya, melam- bangkan kemerdekaan? Apakah mungkin musik menyampaikan mak- na kemerdekaan sebagai sebuah karya abstrak?3 Bagaimana sebuah bu- nyi-bunyian yang tersistematisasi membakar semangat perjuangan ke- merdekaan? Apakah memang mungkin? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan coba dilukiskan secara umum sebagai pengantar kajian yang lebih mendalam pada bab selan- jutnya. Sudah dijelaskan bahwa lagu kebangsaan Indone- sia Raya digubah oleh W.R. Soepratman menggunakan biola. Kemudian, agar men- jadi lagu kebangsaan yang sekarang kita kenal, gu- bahan Soepratman itu di- orkestrasi oleh seorang komponis Belanda bernama Josef Cleber. Tidak semua komponis menggubah la- gunya memang untuk orkes besar, Soepratman salah sa- tunya. Mengingat kondisi bangsa tatkala Soepratman menggubah Indonesia Raya, wajar saja ia tidak memper- 3 Karya abstrak berarti karya yang disarikan dari nilai-nilai kunci sebuah satuan wujud. Sebagai misal, sila-sila dari Pancasila merupakan abstraksi dari nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia yang terperikan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Josef Cleber
  • 41. 33 BUNYI MERDEKA siapkan orkestrasi penuh. Soepratman menggubah Indonesia Raya di bawah bayang-bayang kuasa kolonial di mana kehidupan serba sementara dan ti- dak ada kepastian masa depan. Benar saja, Soepratman meninggal di usia muda sebelum sempat mendengar kebangkitan bangsa yang ia impikan. Baik Indonesia Raya bentuk asli Soepratman dan Cleber memiliki napas yang sama, napas perjuangan dan kebangkitan bangsa. Namun, nuansa kedua bentuk tersebut amat berbeda. Hal ini dikarenakan perbedaan karakter alat musik, di mana versi asli menggunakan biola dan versi di kemudian hari, versi yang kita kenal sekarang, menggunakan orkestra penuh. Jika dalam seni lukis kita mengenal warna, maka seni musik juga mengenal warna. Warna dalam seni musik digunakan untuk memberikan kesan yang berbeda, sama halnya dengan seni lukis. Oleh sebab itu, setiap alat musik memiliki warnanya masing-masing, sesuai dengan karakter yang dimiliki oleh alat musik itu sendiri. Sebelum kita masuk lebih jauh ke dalam pemahaman musik Indonesia Raya, terutama dalam kaitan dengan bunyi kemerdekaan, kita perlu memastikan apa itu musik. Ini perlu agar kita tidak keliru antara bunyi kemerdekaan dan bunyi-bunyi yang tersistematisasi lainnya. Juga karena lagu kebang- saan kita adalah Indonesia Raya, bukan Bendera gubahan kelompok musik Coklat, bukan juga Padamu Neg’RI ciptaan Kusbini dan lagu-lagu nasional lainnya.4 1.3.1. Apa Itu Musik? Perlunya mencari definisi musik yang tidak hanya niscaya, tetapi juga me- madai menjadi penting dalam pembahasan mengenai musik kebangsaan, 4 Ternyata, ketika Kusbini menggubah lagu Padamu Neg’RI, kata terakhir, yaitu Neg’RI bu- kan dimaksudnya sebagai negeri dalam artian tanah tumpah darah. Kata Neg’RI, dan ini adalah alasan saya menggunakan huruf besar untuk sukukata “RI,” rupanya adalah sing- katan dari Negara Republik Indonesia. Ketika itu, Kusbini dipanggil oleh Sukarno ke ibukota Indonesia yang waktu itu bertempat di Yogyakarta. Konon katanya, Sukarno beberapa kali memanggil Kusbini untuk melihat lagu apa yang sudah dikarang olehnya. Pada hari itu, Kusbini datang dengan sepeda dan membawa sebuah map berisikan naskah lagu Padamu Neg’RI. Pada awalnya, kalimat terakhir dari syair lagu tersebut adalah “Indonesia Raya.” Menyadari hal itu, Sukarno menegur Kusbini agar ia mengubahnya karena ketika itu belum ada yang namanya Republik Indonesia. Oleh sebab itu, sekarang kita mengenal lagu terse- but dengan syair penutup “Jiwa raga kami.” Sedangkan singkatan pada judul lagu tersebut menunjukkan bentuk-bentuk perlawanan kepada pemerintahan kolonial dalam bentuk pe- san-pesan tersembunyi.
  • 42. 34 terutama Indonesia Raya sebagai perwujudan saripati pergerakan kebang- saan. Definisi memadai secara logis lebih kuat daripada definisi niscaya. Artinya begini, bunyi-bunyian merupakan salah satu elemen musik paling dasar, tetapi tidak semua bunyi-bunyian bisa dikatakan sebagai musik. Sedangkan definisi memadai tetap berlaku, meskipun definisinya dibalik. Misalnya, contoh yang cukup populer, manusia adalah binatang rasional. Ketika dibalik, semua binatang rasional adalah manusia dan berlaku juga sebaliknya, semua manusia adalah binatang rasional. Mengingat unsur di atas, maka dari itu, musik biasanya dijelaskan sebagai bunyi atau suara. Definisi ini terlalu luas, meskipun secara umum bisa me- nerangkan apa itu musik, sehingga suara-suara yang dihasilkan oleh apa pun, selama memiliki frekuensi, baik yang bisa didengar oleh manusia atau tidak, akan jatuh ke dalam kategori musik. Menurut definisi ini, maka anak kecil yang memukul panci atau menangis bisa disebut musik. Bukan itu. Terutama untuk keperluan kita sekarang, tidak mungkin kita menyamakan antara Indonesia Raya dan tangisan anak kecil karena kehilangan mainan- nya. Indonesia Raya digubah dengan pertumpahan darah W.R. Soepratman justru agar anak kecil itu bisa bebas menangis sekarang. Pengembangan dari definisi awal itu biasanya menentukan musik sebagai suara yang tersistematisasi. Artinya, suara yang disusun, dibentuk atau dirangkai dengan atau tidak saksama sehingga menjadi sebuah kesatuan baru. Sekali lagi, definisi ini masih sedikit luas, meski sudah mulai menyem- pit. Dapat kita lihat, definisi ini juga menyertakan suara-suara yang ter- sistematisasi seperti misalnya seruan para pekerja yang sedang demons- trasi, erangan (keluh kesah) kucing meminta makan (minta kawin), keluh kesah kucing kelaparan yang minta makan dan kawin, dan seterusnya. Suara-suara seperti itu merupakan bunyi yang terorganisir dan memiliki tujuan tertentu, bukan hanya keusilan untuk membuang waktu. Tetapi, apakah suara semacam itu adalah musik? Untuk itu, kita harus menyem- pitkan lagi definisi kerja kita agar lebih menyesuaikan dengan Indonesia Raya sebagai sebuah karya seni musik. Dengan mempertimbangkan pelaku yang memproduksi suara, kita sebetulnya sudah mengarah kepada definisi yang lebih baik dan tegas. Kesulitannya adalah tidak semua produksi suara manusia, sebagai pelaku, bisa dikategorikan sebagai musik. Contohnya, tangisan anak kecil yang menuntut mainan kegemarannya tadi. Musik juga tidak bisa dibilang selalu dibuat untuk menyampaikan ide yang
  • 43. 35 BUNYI MERDEKA dimiliki oleh penggubahnya. Lagi pula, tidak semua musik memiliki ide atau gagasan yang ingin disampaikan. Sandi suara, kalau begitu, bisa dise- but musik karena menyampaikan pesan tertentu dengan menggunakan frekuensi yang terorganisir. Diperlukan sebuah kategori lagi untuk lebih memperjelas definisinya sehingga bisa menjadi memadai, yaitu, kategori tujuan. Oleh sebab itu, mungkin musik dapat dijelaskan sebagai: “Bebunyian yang disusun secara temporal oleh seseorang de- ngan maksud memperkaya atau menegaskan pengalaman me- lalui kesertaan aktif (misalnya, mendengar, menari, memper- tunjukkan) dengan menggunakan medium suara, setidaknya hampir seluruhnya, sebagai suara.” Dengan memberikan landasan definisi musik, maka kita bisa memulai ka- jian tentang musik Indonesia Raya dengan lebih terang. Jelas dari definisi tersebut kita bisa melihat bahwa Indonesia Raya masuk ke kategori musik. Pertama-tama karena lagu tersebut digubah oleh seseorang yaitu W.R. Soepratman. Kemudian, jelas pula maksud dari Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya, yaitu untuk memperkaya atau menegaskan penga- laman masyarakat Indonesia. Semua ini dimungkinkan melalui kesertaan aktif para pendengarnya yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri. Berbicara mengenai maksud atau tujuan sebuah karya musik, kita harus bicara mengenai kemampuan ekspresinya. Pada umumnya, ada dua arus besar dalam teori kajian musik. Arus pertama adalah formalisme, yang menghasilkan musik absolut, yaitu arus yang menolak makna terselubung di balik tatanan musikal yang sudah rapi tersusun oleh seorang kompo- nis dan/atau merasa bahwa musik tidak mungkin merujuk pada sesuatu di luar dirinya sendiri.5 Sedangkan arus kedua adalah paham musik program, artinya, musik yang memang sengaja digubah dengan tujuan membang- kitkan perasaan tertentu dan/atau berupaya menggambarkan tema-tema tertentu. Paham pertama biasanya menolak kemampuan ekspresif dari musik sama sekali, tetapi keduanya biasanya sepakat bahwa musik tidak memiliki rujukan semantik. 5 Selain menolak makna terselubung, para penganut formalisme juga menolak makna ek- splisit. Intinya, segala bentuk makna betul-betul ditolak. Meskipun begitu, formalisme juga memiliki posisi moderat yang masih memberi ruang bagi ekspresi musikal untuk aneka rupa musik program atau musik dengan lirik atau teks seperti opera dan tentu saja Indonesia Raya.
  • 44. 36 Lagu Indonesia Raya masuk ke kategori nomor dua, yaitu musik yang sen- gaja digubah dengan tujuan membangkitkan perasaan tertentu dan, khu- susnya untuk kasus Indonesia Raya, berupaya menggambarkan tema-tema tertentu. Tentunya yang digambarkan oleh Indonesia Raya bukan kenya- taan itu sendiri, tetapi kesan yang ditimbulkan dari rangkaian nada-nada tertentu. Komponis Hungaria Franz Liszt masuk ke kategori musik pro- gram ini dan memang menurut Liszt, musik program menuntut kemam- puan lebih tinggi dari penggubahnya karena sang penggubah tidak hanya melakukan manipulasi atas relasi formal musikal semata.6 Jadi, seperti apa itu musik absolut atau musik formal? Musik yang tidak dipengaruhi atau berhubungan dengan peristiwa atau wujud di luar musik. Musik absolut tidak menggambarkan gugusan awan, sinar rembulan, su- ngai yang memercik, gemuruh samudra, palung tak berdasar dan seterus- nya. Musik program, dengan sendirinya, mampu menggambarkan pan- tulan matahari di tebing gunung kuarsa, kicauan burung, keindahan alam semesta, sangkakala maut, arak-arakan kematian, sampai pengalaman mencapai langit ke tujuh.7 Dalam musik program, nada-nada dirangkai se- demikian rupa sehingga kesan yang diinginkan dapat tercapai. 1.3.2. Pergerakan Nasional dan Musik Berbicara tentang musik sebagai bagian dari Pergerakan Nasional, pada dasarnya memiliki dua kandungan yang berbeda namun tidak mudah di- pisahkan. Pertama, ini terkait dengan gagasan nasionalisme dalam musik, dan kedua, terkait dengan peran musik di dalam menumbuhkan identi- tas nasional. Gagasan nasionalisme dalam musik ini sebenarnya meru- pakan refleksi dari munculnya semangat identitas nasional sebagai ke- kuatan politik di abad ke-19, termasuk di dalamnya gelombang gerakan kemerdekaan. Kelahirannya berkaitan erat dengan pemujaan terhadap “rasa” dan “identitas”, plus tuntutan liberal akan negara yang lebih ber- basis pada kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan raja maupun Tuhan. 6 Yang dimaksud dengan relasi formal adalah betapapun kita ingin membayangkan keadaan atau peristiwa tertentu ketika mendengarkan musik absolut, kita akan kesulitan mendapat- nya. Hal ini dikarenakan ketika digubah, musik macam ini tidak ditujukan untuk menggu- gah khayalan korespondensi. 7 Penekanan ada dalam kata “mampu”. Artinya, musik program berupaya untuk menggam- barkan berbagai kondisi nyata di luar musik. Soal keberhasilannya menggambarkan kondi- si-kondisi itu, ternyata adalah masalah lain.
  • 45. 37 BUNYI MERDEKA Karena itu, gagasan musik dalam nasionalisme di sini merujuk pada negeri, wilayah, bahkan etnisitas sebagaimana yang ditampilkan melalui nada-na- da, ritmis, dan harmoni musik rakyat/daerah, maupun adopsi subjek-sub- jek nasional untuk opera, simfoni maupun bentuk-bentuk musik lainnya. Fenomena nasionalisme dalam musik ini, dari sisi musik klasik terwakili oleh figur Frederic Chopin yang mencipta Etude ke-12, yang biasa disebut sebagai Etude Revolusioner ataupun Etude Bombardemen Warsawa, yang muncul bersamaan dengan serangan kekaisaran Rusia terhadap Polandia pada 1831. Begitu juga ketika Chopin pindah ke Prancis dan berhubungan erat dengan sastrawan aktivis Georges Sand, pada 1848 saat pecah gelom- bang yang kesekian dari Revolusi Prancis, Chopin membuat lagu Polonaise in A-flat major, Op. 53, atau biasa disebut Polonaise Kepahlawanan (Heroic). Komponis lain yang juga tersangkut gelombang nasionalisme dalam musik adalah Bela Bartok. Antipatinya terhadap dominasi ruang-ruang pertun- jukan musik Eropa yang mengharuskan penampilan repertoar bergaya Beethoven pada abad ke-19, membuatnya memilih untuk menggali musik- musik dari kaum tani Hungaria dan Romania. Ini ditujukan untuk menun- jukkan kepada masyarakat musik Eropa bahwa musik itu tidak berasal dari kantong uang para maesenas, tetapi dari rakyat yang ada di pegunungan Moravia misalnya. Kandungan yang kedua, beranjak pada fungsi sosial musik sebagai sara- na masyarakat untuk menghadapi kesukaran, menyuarakan keresahan, ataupun menyerukan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini musik menjadi bagian dari identitas politik yang membuat pem- bedaan-pembedaan antara “kita” dan “yang lain”. Walaupun demikian, patut diperhatikan juga bahwa musik adalah juga instrumen yang memi- liki kemampuan untuk merangsang konflik ataupun perang, sebagaimana juga kemampuannya untuk memulihkan perdamaian. Musik-musik perge- rakan yang dibuat oleh para musisi Afrika Selatan seperti Miriam Makeba, Hugh Masekela, Abdullah Ibrahim, di dalam perjuangan menentang politik diskriminasi ras apartheid Afrika Selatan adalah bagian dari upaya mem- bangun identitas politik. Paling tidak sejak abad ke-17 musik sudah dihubung-hubungkan dengan bahasa tutur. Tentu saja, teori ini berkembang di belahan dunia barat. Ke- tika itu, seorang komponis dari Italia, Jacopo Peri, dengan karyanya yang berjudul Euridice, menggunakan teknik bernyanyi yang mirip dengan gaya tutur. Dalam tatanan musik barat, gaya bernyanyi tutur seperti ini disebut
  • 46. 38 recitativo. Opera Euridice sendiri berulang kali dianggap sebagai salah satu karya opera pertama yang pernah digubah. Sebagai penggabungan antara teater dan musik, opera mesti memiliki dialog antara pemain-pemainnya. Debat mengenai musik dan bahasa tutur ini berlanjut dan menemui pun- caknya ketika Charles Darwin menolak pandangan Herbert Spencer yang menyatakan bahwa musik berasal dari tuturan manusia. Menurut Dar- win, bukan musik yang berasal dari bahasa tutur, melainkan bahasa tutur yang berasal dari musik. Tetapi, terlepas dari kedua perbedaan pendapat itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya musik mengemban nilai-nilai emosional. Tidaklah berlebihan apabila kita mengatakan bahwa W.R. Soepratman da- lam kandungan musik identitas politik berada di atas puncak gunung kom- ponis nasionalisme musik bersama Smetana, Dvorak, Liszt, Bartok, Enescu, Sibelius, Elgar, Shostakovich. Karena apa yang dituturkannya, dan yang di- bunyikannya seolah-olah menyuarakan hal yang sama dengan para kom- ponis besar tersebut: “Aku sudah hidup dan mati untuk negaraku.”
  • 47. II Musik Sebelum Indonesia Raya Tidak bisa dipungkiri, terdapat pengaruh kebudayaan barat dalam komposisi Indonesia Raya bahkan sebelum Josef Cleber ditugasi untuk mengorkestrasin- ya. W.R. Soepratman menggubahnya pertama kali menggunakan biola, se- buah instrumen yang tidak ditemukan di tanah air. Kemudian, kita bisa men- dengar sekilas pengaruh musik keroncong dalam gubahan awal Soepratman, lagi-lagi dipengaruhi oleh musik Portugis yang waktu itu datang membawa alat musik semacam ukulele bernama cavaquinho atau braguinha. Tergantung dari sukat (time signature) yang digunakan, kita juga dapat merasakan pen- garuh musik waltz dalam gubahan Soepratman, sekali lagi membuktikan bah- wa dalam Indonesia Raya pengaruh musik barat begitu mencolok.8 Bab ini akan memaparkan perjumpaan budaya antara Indonesia dan negara lain, karena pengaruh budaya tidak hanya berlaku satu arah saja. Di Belanda, misalnya, terdapat komunitas yang aktif melestarikan musik-musik daerah jajahan, terutama Indonesia.9 Tujuan dari bab ini adalah memberikan gam- baran umum mengenai kondisi budaya tanah air, termasuk di dalamnya pen- garuh tekanan kolonial terhadap alam pikir masyarakat pada masa pemerin- tahan kolonial. Diharapkan pembaca dapat memahami peristiwa pertukaran budaya yang terjadi dengan lebih jernih dan terbuka. Penjelasan yang diberikan di sini sifatnya hanya penjelasan umum, bukan penjelasan menyeluruh tentang tradisi musik Nusantara. Pemaparan budaya musik tanah air membutuhkan riset etnomusikologi yang lebih meluas, se- mentara ruang yang ada terbatas untuk membahas musik Indonesia Raya. Perlu diketahui bahwa budaya tradisional masyarakat tanah air sudah banyak yang punah. Kepunahan ini sudah terjadi bahkan sebelum ada arus mod- 8 Tanda sukat yang digunakan oleh Indonesia Raya yang kita kenal sekarang adalah 4/4, se- dangkan, sebelumnya tanda sukat yang digunakan adalah 6/8 sehingga kita bisa mendengar pengaruh musik waltz yang kentara dalam versi itu. 9 Contoh yang paling terkenal adalah Wieteke van Dort. Ia bahkan memiliki sebuah acara tele- visi yang menjangkitkan kebudayaan Nusantara, terutama Jawa.
  • 48. 40 ernisasi sekarang ini. Kepunahan ini ada yang dipaksakan dan ada yang memang terjadi secara sukarela, seperti misalnya perubahan yang terjadi akibat pertukaran budaya antar pedagang yang berjumpa di pelabuhan. Tetapi, perubahan yang terjadi akibat pemaksaan juga tidak sedikit jum- lahnya. Misalnya saja, agama-agama samawi yang masuk ke tanah air me- maksa penduduk asli untuk meninggalkan budaya yang berkaitan dengan ritus-ritus yang dianggap kafir atau memuja berhala di mana di dalam rit- us-ritus pemujaan itu banyak kebudayaan yang mengandung, tidak hanya musik, tetapi juga tari-tarian dan kearifan lokal lain. Bagian ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar ke dalam tradisi musik Nusantara sehingga bukan sama sekali bermaksud untuk menjadi lengkap. Pemilihan tradisi yang diangkat juga tidak berdasarkan sistematika ter- tentu, melainkan hanya sebuah pilihan praktis di tengah sedikitnya infor- masi yang tersedia. Oleh sebab itu, bisa saja tradisi musik masyarakat adat lain di Indonesia tidak termasuk ke pembahasan singkat ini. Catatan lain, musik tradisional Jawa dan Bali, sebagai musik tradisional paling popu- ler, baik di Nusantara maupun di dunia internasional, tidak akan dibahas. Alasannya, karena sudah cukup banyak kajian mengenai musik tradisional Jawa dan Bali dan sumber-sumber yang ada membahasnya dengan amat terinci.10 Gamelan menjadi begitu populer dan koleksi gubahannya masih berkembang terus sampai sekarang dibandingkan dengan musik tradisio- nal masyarakat Indonesia lainnya. Orkes gamelan juga tidak lagi terbatas pada tanah air Indonesia saja karena di Amerika Serikat, misalnya, ter- dapat puluhan orkes gamelan yang melakukan pementasan rutin sekaligus mengkaji aspek musikalnya.11 10 Lihat misalnya, Sumarsam, Jaap Kunst, Philip Yampolsky dan seterusnya, yang pernah menulis musik tradisional Jawa, gamelan. 11 Tidak hanya itu, hampir semua institusi pembelajaran etnomusikologi di Amerika Utara memiliki jurusan khusus musik gamelan, baik Jawa ataupun Bali. Pak Tjokro atau K.P.H. Notoprojo, misalnya, pernah mengajar di California Institute of the Arts selama beberapa waktu. Salah seorang murid beliau adalah komponis Amerika terkenal bernama Lou Harri- son yang berulang kali menggunakan gamelan dalam komposisi modernisnya. Selain itu, I Wayan Suweca mendirikan gamelan Sekar Jaya bersama beberapa muridnya, juga di Ame- rika Serikat, selain mengajar di berbagai institusi pendidikan formal di sana. Peran musik gamelan Jawa dan Bali begitu kuat, sehingga Rahayu Supanggah pernah menggubah musik untuk pementasan I La Galigo, sebuah lakon yang diangkat dari kebudayaan Bugis kuno, yang diciptakan oleh sutradara lakon kenamaan, Robert Wilson, menggunakan beberapa instrumen gamelan dari Jawa dan Bali untuk komposisi musik yang seharusnya murni ber- asal dari kebudayaan musik Bugis. (Ini bukan berarti komposisi Rahayu Supanggah jelek
  • 49. 41 BUNYI MERDEKA Musik dalam tradisi masyarakat adat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari berbagai ritual upacara yang mengikutinya. Musik tradisional Nusantara pada umumnya juga tidak pernah berdiri sendiri, seperti pada musik tra- disional barat, karena musik tradisional Indonesia biasanya dimainkan un- tuk mengiringi, misalnya tarian-tarian dan berbagai upacara adat. Oleh se- bab itu, tidak banyak bisa disaksikan musik tradisional dipentaskan tanpa ritual-ritual yang mengikutinya. Memang, berbagai upaya dilakukan untuk terus melestarikan tradisi musik Nusantara yang semakin lama semakin menghilang. 2.1. Etude Syailendra Jejak-jejak awal kehidupan musik di Indonesia dapat ditemukan dalam relief-relief Candi Borobudur dan Prambanan. Pada Candi Borobudur ter- dapat 105 relief yang menggambarkan adegan musik dalam segala lingkun- gan masyarakat dan dunia supernatural. Relief-relief tersebut ditemukan pada cerita Karmawibangga, Lalitawistara, Jatakamala Jataka, Awadhana, Gandawyuha dan Bhadracari. Relief-relief itu juga menggambarkan adanya empat kelompok jenis alat musik yaitu Tata Vadya/Kordofon yang terdiri dari alat musik petik; Ghana Vadya/Ideofon yang terdiri dari alat musik pukul, dengan sumber bunyi pada alat musik itu sendiri seperti simbal, genta, gambang, saron, dan sebagainya; Sushira Vadya/Aerofon yang ter- diri dari alat-alat musik tiup; serta Avanaddha Vadya/Membranofon se- perti gendang.12 atau bahkan salah. Komposisi Rahayu Supanggah boleh dikatakan tidak setia kepada tradisi Bugis, akan tetapi, dalam proses penggubahan sebuah karya seni, hal semacam itu sah-sah saja). 12 Peter Ferdinandus. “Perkembangan Musik Pada Dinasti Sailendra abad VIII-IX,” Kum- pulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI, Solo 13-16 Juni 2008.
  • 50. 42 Gambar alat musik pada relief Candi Borobudur Sementara pada kompleks Candi Prambanan terutama Candi Siwa terlihat relief alat-alat musik dengan bentuk tarian yang dipahatkan pada pagar langkan candi tersebut. Apabila seseorang mengelilingi candi tersebut dan melihat ke atas akan terlihat adegan penari-penari dengan pemain musik dan alat musik. Selanjutnya bila diperhatikan perjalanan sejarah musik juga tampak pada Candi Jalatunda, Jago, Jawi dan Penataran, terkait fungsi musik yang memi- liki peran yang besar dalam masyarakat. Ini diperkuat lagi dengan data-da- ta yang terdapat dalam prasasti-prasasti abad ke-8-15 Masehi. Dari data arkeologi tersebut tampak gambaran bahwa musik tetap dikon- trol oleh tokoh masyarakat seperti raja atau golongan istana. Dalam prasas- ti berbahasa Jawa kuno maupun Bali kuno sepanjang abad ke-9-15 Masehi tercatat peran penting musik dalam pendirian sima yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Naskah-naskah Jawa kuno se- rupa kakawin, kidung dan sejenisnya menempatkan musik sebagai bagian dari upacara, komunikasi, pemberi semangat dan taktik perang. 2.1.1. Syair Gendang dan Gong Nias Fo’ere merupakan salah satu alat musik perkusi yang memiliki bentuk se-
  • 51. 43 BUNYI MERDEKA rupa dengan moko dan nekara lokal, memiliki bentuk berpinggang sebagai batas antara bagian tubuh. Pada salah satu bagian lubangnya digunakan sebagai bidang pukul (timpanum). Pola hias fo’ere dan keletakan pola hias menunjukkan kesamaan dengan pola hias nekara ataupun moko yaitu pada pola hias kedok muka manusia, bulu burung dan segitiga berjajar. Se- bagian fungsi fo’ere sama dengan fungsi nekara yaitu digunakan sebagai alat musik untuk keperluan religi semata. Persamaan bentuk dan fungsi serta pola hias dan peletakan pola hias yang diacu pada masa pembabakan prasejarah (megalitik) yang dikaitkan dengan budaya Dong Son menguat- kan hipotesis bahwa fo’ere bentuk alat musik perkusi dari budaya praseja- rah. Aramba (gong) merupakan alat musik jenis perkusi yang digunakan pada upacara yang bersifat sakral maupun profan pada masyarakat Nias. Bentuk aramba (gong) yang serupa dengan bentuk batu kenong dan batu gong, yang merupakan hasil budaya megalitik memiliki kesamaan dengan aram- ba (gong) yang digunakan masyarakat Nias pada khususnya. Mengingat ba- han baku aramba (gong) yang digunakan adalah perunggu serta temuan batu kenong dan batu gong berkaitan dengan budaya megalitik, maka sa- ngat memungkinkan aramba (gong) merupakan salah satu bentuk budaya materi yang berkaitan dengan budaya Dong Son masa prasejarah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fo’ere dan aramba (gong) merupakan bentuk alat musik perkusi yang berasal dari budaya Dong Son pada masa prasejarah. 2.1.2. Ansambel Krinok Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat Melayu di Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Muara Bungo, Jambi. Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian tertua yang telah ada sejak prasejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini. Cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum ma- suknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digu- nakan untuk pembacaan mantra atau doa tertentu, inilah yang kemudian berkembang menjadi kesenian krinok. Sebagai sebuah bentuk kesenian, krinok pada awalnya merupakan seni vokal yang sangat sederhana. Krinok hanya berupa puisi lama yang dinya- nyikan sedemikian rupa dengan nada-nada tinggi dan tanpa alat musik.
  • 52. 44 Krinok belumlah menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melain- kan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi. M. Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya dilantun- kan oleh kaum laki-laki saat mereka bekerja di ladang atau mencari kayu di hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga berbalasan dengan pe- lantun lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang sesuai dengan ajaran Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi rata- pan. Namun, kesenian ini tetap bertahan karena dianggap memiliki fungsi tersendiri bagi masyarakat. Krinok pada masa ini memiliki tiga fungsi yaitu sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas dan untuk menarik hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyu- arakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka. Berbeda dengan kaum laki-laki, kaum perempuan menghibur diri de- ngan memainkan alat musik kelintang kayu disela-sela waktu istirahat saat bekerja di sawah. Kelintang kayu ini adalah alat musik tunggal yang mampu menghasilkan nada yang harmonis. Kelintang kayu dibuat sendiri oleh kaum perempuan di Rantau Pandan dengan menggunakan beberapa potong kayu dari pohon ngkring beluka yang sudah dikeringkan. Setelah kering, kayu dibelah dua dan dipotong menurut nada yang ingin dihasil- kan. Potongan kayu tersebut disusun di atas kotak kayu persegi panjang dengan diberi alas dari ban bekas. Uniknya, kelintang kayu hanya memiliki enam potongan kayu sehingga hanya memiliki enam nada. Pada masa da- hulu masyarakat Rantau Pandan belum mengenal notasi balok kelintang kayu sehingga lebih mengandalkan naluri si pemain. Agar menghasilkan nada-nada yang indah, kelintang kayu dimainkan oleh dua pemain. Awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja. Namun, dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pan- dan memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehing- ga menghasilkan seni musik yang lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal solo maupun duet. Bahkan kri- nok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong-royong) di sawah maupun ladang. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian krinok tidak hanya diiringi dengan alat musik kelintang kayu. Beberapa alat musik mulai dipadukan
  • 53. 45 BUNYI MERDEKA dengan krinok seperti gong, gendang panjang serta biola. Keempat alat musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi musik pengiring krinok. Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok semakin memikat para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase penting dalam perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring kri- nok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima poin perkembangan yang terjadi pada fase ini selain penambahan alat musik, yaitu: Pertama, ruang pementasan krinok semakin luas. Krinok tidak han- ya dimainkan saat kegiatan beselang, tetapi juga menjadi hiburan pada pes- ta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk sebuah kelom- pok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan krinok sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, krinok mulai mengenal li- rik baku yang dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Ke- empat, seniman krinok mulai menggunakan kostum dan tata rias. Kostum pemain laki-laki terdiri dari peci hitam, baju teluk belango beserta celana dan kain sarung sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum untuk pemain krinok perempuan adalah kerudung, baju kurung panjang yang dipadu- kan dengan kain sarung. Warna kostum disesuaikan dengan selera pemain musik. Kelima, hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni vokal yang ber- sifat ekspresif dan personal. 2.1.3. Aceh dan Budaya Musik Syariah Kebudayaan tradisional Aceh, terutama yang terwujud dalam tari-tarian- nya, seperti misalnya tari Saman, adalah salah satu budaya yang cukup populer di kalangan masyarakat kontemporer. Budaya kesenian tari dan musik Aceh dapat dibagi menjadi dua periode utama, yaitu periode pra-Is- lam dan periode setelah Islam masuk. Kebudayaan yang berasal dari peri- ode sebelum Islam menyebar di provinsi itu kini sudah banyak mengalami Islamisasi karena dianggap kafir atau tidak sesuai dengan ajaran syariah. Oleh sebab itu, kebudayaan Aceh, sebagai provinsi yang dikenal sebagai Serambi Mekah, sangat kental tradisi Islamnya. 2.1.4. Musik Upacara Masyarakat Pekantan Masyarakat Pekantan adalah masyarakat yang sekarang terletak di Keca- matan Pekantan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Masyara- kat Pekantan adalah salah satu komunitas yang cukup terisolir dari dunia luar. Hal ini membuat kebudayaan Pekantan cukup terjaga dari pengaruh dunia luar, meskipun, beberapa perubahan juga sudah terjadi, terutama
  • 54. 46 sejak agama Islam masuk. Sistem pemerintahan masyarakat Pekantan, se- perti halnya masyarakat adat lainnya di Indonesia, adalah kerajaan. Jika disebut bahwa masyarakat Pekantan mengenal sistem kerajaan, jangan dibayangkan yang dimaksud dengan kerajaan adalah kerajaan modern dengan wilayah dan kuasa yang luas. Budaya Pekantan mengenal banyak raja, yang artinya raja mengatasi berbagai aspek kehidupan masyarakat adat atau suku. Jadi, lebih tepatnya, raja adalah semacam kepala suku yang mengepalai suatu komunitas atau pemukiman. Biasanya raja dalam masyarakat Pekantan tinggal di dataran yang le- bih tinggi dari masyarakat biasa. Dalam sistem kekastaan ini berarti raja mendapatkan air yang paling dekat dengan sumber mata air, artinya air tersebut belum tercemar.13 Ini sekaligus menandakan pentingnya air da- lam kehidupan masyarakat Pekantan. Rumah tempat raja tinggal bernama bagas na godang atau bagas borlang. Raja dalam masyarakat adat Pekantan memiliki fungsi administratif dan yudikatif sekaligus bertugas memimpin upacara adat. Raja menjalankan tugas eksekutifnya dari sebuah pendopo bernama sopo godang atau sopo gordang, di mana dalam pendopo tersebut raja memimpin upacara ritual atau mengadakan pertemuan dengan pe- mimpin suku lain. Sopo godang terletak di dataran yang lebih tinggi dari pemukiman rakyat biasa. Di dalam sopo gordang inilah tersimpan alat musik orkes gordang sembilan, alat musik yang dianggap paling suci berdasarkan sistem kelas masyarakat Pekantan.14 Masyarakat adat Pekantan, seperti layaknya masyarakat adat di Nusantara lainnya, memiliki berbagai upacara ritual keagamaan.15 Musik menempati peran yang teramat penting dalam ritual upacara keagamaan masyarakat Pekantan Mandailing sehingga tidak bisa dipisahkan dari ritual-ritual kea- gamaan tersebut. Hanya dalam ritual upacara tertentu saja orkes gordang sembilan boleh dimainkan, misalnya dalam upacara kematian raja. Lebih te- patnya, hanya raja dan keturunannya yang dapat menggelar acara di mana 13 Sistem kasta masyarakat Pekantan terbagi menjadi tiga kelas, yaitu bangsawan, masya- rakat biasa dan budak. 14 Gordang sembilan tersusun dari sembilan gendang, perkusi berbahan metal atau metalo- fon dan alat musik tiup dengan reed ganda. 15 Upacara keagamaan di sini berarti upacara menghormati leluhur atau upacara persem- bahan untuk leluhur untuk berterima kasih atas keberhasilan panen, misalnya. Bukan ritual keagamaan seperti yang kita kenal sekarang, tetapi ide dasarnya kurang lebih sama.
  • 55. 47 BUNYI MERDEKA orkes gordang sembilan dimainkan. Upacara besar dikenal dengan nama Horja na godang sedangkan upacara kecil atau biasa-biasa saja dikenal de- ngan nama Horja na menek. Jika kematian raja dikategorikan sebagai upaca- ra besar, maka upacara kelahiran anak penduduk biasa, misalnya, diklasifi- kasikan sebagai upacara kecil dan hanya bisa dirayakan dengan alat musik orkes biasa saja. Seperti kebanyakan masyarakat adat di Nusantara, masyarakat Pekantan mengenal paham dualisme. Musik, terutama musik ansambel, diakui se- bagai bentuk ekspresi paling luhur karena dianggap mampu mendamaikan pertentangan antara dua kutub bertentangan, yaitu sintaksis musik (ben- tuk) dan ekspresi emosional (isi) yang dikiaskan.16 Apabila bunyi gendang dan metalofon terkesan kaku dan terkekang oleh irama yang tidak beru- bah-ubah, itu karena memang dimaksudkan demikian. Di sini, peran alat musik tiup dan vokal menjadi penting sebab kedua instrumen itulah yang memberikan improvisasi bebas atas fondasi yang diberikan oleh gendang dan metalofon. Ada sebelas komposisi yang digubah untuk tujuan upacara besar; lima di antaranya untuk dimainkan dalam upacara-upacara utama, sedangkan enam lainnya hanya dimainkan untuk upacara kematian, pernikahan dan upacara untuk membangkitkan semangat. Orkes ansambel yang boleh di- mainkan oleh anggota masyarakat Pekantan berbeda-beda tergantung pada posisi kasta pemilik hajat. Apabila ada tiga kelas kasta dalam sistem masyarakat Pekantan, maka ada tiga pula kelas orkes ansambel mengikuti kelas kasta di mana gordang sembilan menempati posisi puncak. Jenis in- strumen dalam setiap kelas orkes cenderung sama, yang berbeda adalah jumlah gendang yang boleh dimainkan sehingga akhirnya dinamika dari komposisi musik berbeda pula.17 Sudah jelas dari namanya, gordang sembi- 16 Dalam hal ini, kebudayaan musik masyarakat Pekantan tidak sendirian. Kebudayaan musik barat juga mengenal pertentangan yang sama antara isi dan bentuk. Keseimbangan terjadi bila bentuk dapat menyampaikan isi yang tepat. Musik yang hanya menekankan bentuk tidak akan memiliki isi atau pesan, tetapi di sisi lain mustahil ada isi tanpa memiliki bentuk. Oleh sebab itu, tegangan antara isi dan bentuk adalah dua jenis aspek yang harus diperhatikan dalam menggubah sebuah karya seni, tidak hanya musik. 17 Dinamika dalam musik adalah tingkat kuatnya sebuah bagian dimainkan. Dinamika se- buah komposisi bisa berubah-ubah tergantung dari orkestrasi atau komposisi. Sebuah kom- posisi yang baik biasanya memiliki aneka rupa penanda dinamika yang akhirnya bisa diter- jemahkan ketika karya tersebut ditampilkan. Sekalipun komponis memberikan petunjuk dinamika dalam sebuah komposisi, adalah pengaba yang bebas menerjemahkan sejauh apa
  • 56. 48 lan memiliki sembilan jenis gendang maka dari itu, komposisi yang dimain- kan dengan gordang sembilan cenderung lebih membahana. Gordang sembilan dimainkan oleh lima orang yang bertugas menabuh de- ngan sekuat tenaga sehingga menghasilkan suara menggelegar. Jumlah gendang yang boleh dimainkan dalam musik adat Pekantan selalu berjum- lah ganjil. Sama halnya dengan upacara pengorbanan kerbau yang juga ha- rus berjumlah ganjil. Diperkirakan sembilan gendang yang sekarang dike- nal pertama-tama hanya berjumlah tujuh saja. Hal ini diperkuat dengan temuan di beberapa daerah yang masih menggunakan tujuh gendang. Konon katanya, jumlah gendang dalam susunan instrumen gordang sem- bilan pada awalnya hanya berjumlah lima sehingga dikenal dengan nama gordang lima.18 Penambahan jumlah gendang ke dalam susunan instrumen gordang meru- pakan perlambangan dari penyerapan marga ke dalam pemerintahan Raja Pekantan. Dari kacamata ini, gordang lima dianggap sebagai awal mula dari masyarakat Pekantan di mana kemudian sedikit demi sedikit jumlah marga yang terserap bertambah. Hal inilah yang dilambangkan dengan penamba- han juga jumlah gendang menjadi tujuh dan kemudian sembilan. Sejumlah lima gendang dalam susunan gordang sembilan melambangkan marga Nasu- tion, Lintang, Hasibuan, Kotalanca dan Hutagambir. Tiga gendang dianggap sebagai perwakilan dari marga Lubis yang terdiri dari Lubis Hutanopan, Lubis Singasora dan satu marga turunan lain. Susunan ini menyisakan satu gendang sebagai lambang Raja Pekantan yang mengepalai seluruh marga tersebut. Raja Pekantan sendiri harus berasal dari marga Lubis. Jika dulu gondang sembilan hanya boleh dimainkan atas persetujuan atau permintaan raja, maka sekarang ini saudagar kaya boleh mengadakan pe- ngorbanan kerbau dengan diiringi oleh orkes gondang sembilan.19 Prosesi seharusnya amanat sang komponis dijalankan. Itulah sebabnya, kita sering kali mendengar banyak variasi, terutama dalam dinamika dan tempo, meskipun lagu yang dimainkan sama. 18 Gordang lima sampai sekarang masih digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan dengan sihir atau ilmu gaib. 19 Hanya rajalah pada waktu itu yang boleh dan mampu mengorbankan kerbau dengan diiringi orkes gondang sembilan. Tentu saja ini wajar karena harga kerbau tidak murah. Pengadaan upacara di zaman dahulu biasanya akan dimusyawarahkan dalam sebuah forum masyarakat bertempat di sopo godang, di mana jenis dan kelas upacara itu akan ditentukan
  • 57. 49 BUNYI MERDEKA upacara yang paling panjang adalah ketika raja atau keturunan bangsawan meninggal dunia. Upacara kematian ini bisa memakan waktu beberapa bulan dan selama itu pula jenazahnya tidak akan dikubur sampai semua kerabatnya datang. Penundaan penguburan itu terutama dilakukan untuk menunggu orang-orang yang berutang bisa hadir dan membawa persem- bahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.20 Upacara penguburan raja akan berlangsung selama kurang lebih sembilan hari dan sembilan malam, atau dalam kasus tertentu, sampai persediaan makanan dari hewan kurban habis.21 Adapun gunanya upacara kematian itu adalah untuk mengantar arwah yang meninggalkan dunia ini ke alam selanjutnya. Selain raja dan keturunannya, yang mendapat kehormatan untuk diberikan upacara begitu megah adalah harimau. Jika raja dianggap sebagai penguasa manusia, harimau dianggap sebagai penguasa alam. Apa- bila seekor harimau kedapatan bersalah dalam membunuh manusia maka ia akan dibunuh kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian lalu dikubur.22 Bagian tubuh harimau yang sudah terbagi menjadi beberapa po- tongan akan dikuburkan di bawah lumbung, di mana ia akan menjadi lam- bang kesuburan. 2.1.5. Spiritualisme Masyarakat Parmalim Batak Toba Masyarakat Parmalim Batak Toba adalah salah satu kelompok etnis yang bersama-sama. 20 Aturan adat ini sedikit banyak mirip dengan yang terdapat di Toraja, di mana seseorang baru akan dimakamkan bila jumlah pengorbanan sudah cukup. 21 Pada kala itu, para kerabat atau anggota masyarakat Pekantan akan datang dari penju- ru negeri dengan membawa persembahan. Tidak jarang di antara mereka membawa he- wan-hewan yang sekarang ini, terutama setelah Islam masuk, dilarang oleh agama seperti babi dan anjing. Tidak diketahui pasti apakah semua hewan kurban itu, termasuk babi dan/ atau anjing, juga dimakan atau tidak. 22 Kasus harimau menyerang manusia biasanya disebabkan oleh pembakaran hutan demi perluasan lahan pertanian. Harimau yang terganggu akan marah dan menyerang para petani. Harimau akan ditangkap melalui upaya perburuan kolektif atau dengan bantuan dukun. Dulu, setelah tertangkap, harimau tersebut akan diadili oleh sibaso (semacam me- dium yang akan dirasuki arwah). Peran “hakim” ini kemudian berpindah kepada raja dan lama kelamaan diputuskan bersama oleh seluruh warga. Soal bagaimana menentukan see- kor harimau bersalah telah menyerang atau membunuh manusia belum diketahui dan tidak dijelaskan dalam teks.