Dokumen tersebut membahas tentang metode pemeriksaan vitamin D pada pasien diabetes melitus tipe 2. Metode yang dibahas meliputi competitive protein binding assay, immunoassay, dan high-performance liquid chromatography (HPLC) beserta kelebihan dan kekurangannya. Vitamin D memainkan peran penting dalam regulasi kadar gula darah dan fungsi sel beta pankreas.
FARMASETIKA dasar menjelaskan teori farmasetika, sejarah farmasi, bahasa kati...
Kadar serum vitamin d pada diabetes mellitus
1. Metode Pemeriksaan Vitamin D
Pada
Diabetes Mellitus Tipe 2
Oleh : Mona Yuliari
Pembimbing : dr. Catur Suci S, M. Biomed, Sp. PK
2. Definisi DM
• Menurut American Diabetes Association, Diabetes Mellitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya.
• DM juga disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara
relatif maupun absolut
3. Prevalensi DM
• Pada 2002 diperkirakan 18.2 juta orang di USA menderita DM
(Diabetes Mellitus), di mana sekitar 1 juta menderita DM tipe 1, dan
sisanya DM tipe 2
• Secara global populasi DM tipe 2 meningkat dari 171 juta tahun 2000
dan diperkirakan menjadi 366 juta pada 2030
• Data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan, jumlah
penyandang diabetes di Indonesia diperkirakan sebesar 10 juta dan
menempati urutan ketujuh tertinggi di dunia.
5. Gejala DM
• Gejala Diabetes Mellitus tipe 1 dan tipe 2 tidak banyak berbeda hanya
gejala Diabetes mellitus tipe 2 lebih ringan dan prosesnya lambat,
bahkan kebanyakan orang tidak merasakan adanya gejala. Akibatnya
penderita baru mengetahui menderita DM setelah timbul komplikasi
• Gejala klasik hiperglikemi yang biasa terjadi pada penderita DM :
Poliuria (banyak kencing)
Polidipsi (banyak minum)
Penurunan berat badan tanpa alasan yang jelas
7. Patofisiologi Diabetes Mellitus tipe 2
• Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel beta menunjukan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan
baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel
beta pankreas
• Kerusakan sel-sel beta pankreas akan terjadi secara progresif
seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin sehingga penderita
memerlukan insulin eksogen. Pada penderita DM tipe 2 umumnya
ditemukan kedua faktor tersebut yakni resistensi insulin dan defisiensi
insulin
8.
9. • Terdapat berbagai teori mengenai patofisiologi hiperglikemia pada
DM, dimana berhubungan dengan sekresi insulin dan toleransi
glukosa.
• Vitamin D merupakan suatu hormon aktif yang berperan dalam
pengaturan ekspresi sejumlah gen.
• Vitamin D memiliki banyak peran selain sebagai vitamin pengatur
metabolisme tulang. Reseptor vitamin D dapat ditemukan juga pada
system skeletal, eritrosit, sel-sel tubuler ginjal , sel-sel imun,
neuron, sel otot dan sel endotel.
10. • Peran vitamin D dalam mempengaruhi kadar gula darah masih belum
diketahui secara jelas.
• Mekanisme yang paling memungkinkan meliputi peran vitamin D
dalam regulasi sintesis dan sekresi insulin di sel β pankreas,
meningkatkan uptake glukosa perifer dan hepatik, serta menghambat
inflamasi yang sering terjadi pada obesitas
12. • Terdapat beberapa bentuk vitamin D, yaitu: vitamin D1, vitamin D2,
vitamin D3, vitamin D4 dan vitamin D5. Bentuk utama dari vitamin D
adalah vitamin D2 dan vitamin D3.
• Vitamin D2 atau ergocalciferol didapatkan dari makanan.
Ergocalciferol dibentuk oleh berbagai tanaman dan jamur.
• Vitamin D3 atau cholecalciferol dibentuk di kulit atas pengaruh radiasi
ultraviolet B (UVB).
• Vitamin D2 dan D3 sama efektifnya ketika dikonversi oleh hati dan
ginjal menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxyvitamin D.
15. Faktor-faktor yang mempengaruhi Vitamin D
• Ada 3 hal penting yang harus diperhatikan untuk menjaga kadar
vitamin D tetap adekuat: paparan sinar matahari, asupan makanan,
dan suplementasi
• Sumber vitamin D terbanyak (80-90%) berasal dari hasil sintesisnya di
kulit yang dipengaruhi oleh cahaya ultraviolet B matahari (UVB).
Sumber vitamin D dari asupan makanan memegang pengaruh
sebanyak 10-20% yang kemudian dapat menjadi sumber signifikan
apabila diperkaya dengan suplementasi
16. Faktor yang menentukan jumlah vitamin D3 secara fotokimia diproduksi
dengan adanya paparan sinar matahari pada kulit :
1. Kuantitas(efektifitas) dan kualitas (panjang gelombang yang cukup)
radiasi sinar UVB untuk dapat mencapai 7-dehydrocholesterol pada
stratum basal atau stratum spinosum
2. Konsentrasi 7-dehydrocholesterol pada kulit
3. Konsentrasi melanin pada kulit
Faktor-faktor yang mempengaruhi cukup tidaknya paparan matahari
adalah letak geografis suatu negara, kemajuan daerah tempat tinggal,
lamanya aktivitas di ruang terbuka, usia, jenis kelamin, dan kebiasaan
berpakaian
17. Fungsi Vitamin D:
Klasik
• Sebagai sistem endokrin, vitamin D merupakan komponen penting
dalam interaksi antara ginjal, tulang, hormon paratiroid dan usus,
yang mempertahankan konsentrasi kalsium ekstraseluler dalam batas
normal, sehingga dapat mempertahankan proses fisiologis dan
integritas tulang.
Non klasik
• Supresi pertumbuhan sel, regulasi apoptosis, modulasi respon imun,
regulasi fungsi dan diferensiasi kulit, regulasi sistem renin
angiotensin, regulasi sekresi insulin, kontrol fungsi otot dan kontrol
fungsi sistem saraf pusat.
18. Vitamin D dan sel β pankreas
• 1,25(OH)2D telah dilaporkan secara langsung melindungi terhadap
kematian sel β dengan mengurangi ekspresi MHC kelas I molekul,
menginduksi ekspresi protein A20 antiapoptotic dan penurunan
ekspresi Fas
• Pengobatan in vitro pankreas dengan 1,25(OH)2D3 juga terbukti
menurunkan IL-1b dan IL-15 sitokin serta IP-10 chemokine (IFN-g)
protein yang diinduksi ekspresi dalam sel β pankreas, menunjukkan
bahwa pemberian 1,25(OH)2D3 dapat mengurangi migrasi dan
perekrutan sel T efektor dan makrofag ke sel pankreas
20. Hubungan Vitamin D dengan Diabetes
Mellitus tipe 2
• Mekanisme utama yang menentukan perkembangan T2DM adalah
resistensi insulin, disfungsi β-sel pankreas dan inflamasi sistemik
• Vitamin D meningkatkan fungsi sel β pankreas dalam berbagai cara :
1. Tindakan langsung
2. Tindakan tidak langsung
22. Penentuan Status Vitamin D
• 25(OH)D adalah penjumlahan dari asupan vitamin D dan vitamin D
yang dihasilkan dari paparan sinar matahari
• 25 (OH) D adalah satu-satunya metabolit vitamin D yang digunakan
untuk menentukan apakah seseorang defisiensi vitamin D, sufisien
atau intoksikasi.
• Meskipun 1,25 (OH) D3 adalah bentuk vitamin D yang aktif secara
biologis dan dengan demikian akan dipikirkan untuk menjadi ukuran
ideal untuk status vitamin D, tetapi hal ini tidak dilakukan karena
Waktu paruh 1,25 (OH) D di sirkulasi hanya 4-6 jam. Kadar 1,25 (OH)
D di sirkulasi seribu kali lipat kurang dari 25(OH)D.
24. Measurement of 25 OHD
• Competitive protein binding assay
• Immunoassay
• HPLC and LC-MS/MS
25. Competitive Protein Binding Assay (CPB)
• Employs serum or tissue-binding protein, quantitative
• Principle of analysis: Competition between 25-OH-vitamin D in serum
sample extract and 3H-labeled analog for binding to tissue or serum
D-binding protein; separation of bound and free labeled ligand by
treatment with dextran-coated charcoal
• Comments: Preliminary chromatography essential for accurate
measurement at high concentrations of 25-OH-vitamin D
26. • Prosedur CBP memanfaatkan fungsi alami dari vitamin D binding
protein (VBP) yang memiliki afinitas tinggi terhadap 25-OH-vitamin D3.
• CPB juga mengikat metabolit vitamin D lainnya yang bersirkulasi,
termasuk 24,25- (OH) 2-vitamin D dan 25,26- (OH) 2-vitamin D. Karena
kurangnya spesifisitas protein pengikat dan keberadaan adanya
gangguan lipid nonspesifik dalam serum, pengukuran konsentrasi 25-
OH-vitamin D secara langsung dalam ekstrak serum menggunakan
pemeriksaan CPB menghasilkan nilai yang lebih tinggi daripada
menggunakan kromatografi.
• 25-OH-vitamin D dapat dengan mudah dipisahkan dari metabolit lain
dengan kromatografi pada minicolumn silica gel.
• Dengan demikian untuk pemeriksaan 25-OH-vitamin D, jika dibutuhkan
indeks cepat status vitamin D secara keseluruhan, penggunaan
pemeriksaan CPB dengan didahului kromatografi lebih disukai
27.
28. Immunoassays
• Pada tahun-tahun awal, pemeriksaan protein pengikat manual dan
radioimmunoassays (RIA) digunakan untuk analisis vitamin D di
laboratorium klinis
• Lalu metode secara bertahap ditinggalkan dan diganti dengan metode
otomatis termasuk pemeriksaan ikatan-protein kompetitif /
competitive binding-protein assays (CBPA), enzyme-linked
immunoassays (ELISA) dan chemiluminescent immunoassays (CLIA),
berdasarkan berbagai kit komersial
29. CLIA
• Chemiluminescent Immunoassay, kuantitatif
• Inkubasi pertama vitamin D 25OH dipisahkan dari protein pengikatnya
dan terikat pada antibody spesifik di fase padat selama 10 menit,
kemudian ditambahkan tracer (vit D yang terikat pada derivate
isoluminol) dan diinkubasi 10 menit.
• Ditambahkan starter reagent untuk menginisiasi reaksi
chemiluminescent. Sinyal cahaya diukur oleh photomultiplier sebagai
relative light unit dan berbanding terbalik dengan konsentrasi vit D
25Oh pada sampel
30. CLIA
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan:
• Sampel yang beku ulang dan terkontaminasi
• Sampel yang mengandung partikulat, lipemik dan eritrosit harus
dilakukan sentrifugasi pada 10.000 g selama 10 menit
• Sampel yang sangat lipemik atau sangat hemolisis tidak dapat
digunakan
• Pasien disarankan puasa 8-12 jam
31. • Research shows that immunoassay techniques are not the best choice
for the estimation of vitamin D in human blood samples. The main
reasons are that some immunoassays are not able to distinguish
between 25-OHD3 and 25-OHD2 vitamin D metabolites.
• Furthermore, immunoassays cannot differentiate between 25OHD
and inactive epimers of vitamin D. Vitamin D epimers and isobars
have been known to overlap with the 25OHD signals and give false
positives when tested
32. Calcidiol (25 OHD) sulit untuk diukur dengan akurat. Hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor
pengganggu pada metode yang yang digunakan:
1) Matrix effect
• 25(OH)D merupakan molekul lipophilic. Adanya lipid lain dalam serum atau plasma mengubah
kemampuan binding agent untuk berikatan dengan 25(OH)D pada sampel dan standard yang
seharusnya cenderung seimbang.
• 25(OH)D juga merupakan molekul hydrophobic yang dalam sirkulasi berikatan dengan DBP,
albumin dan lipoprotein dengan afinitas kuat. Sebelum pengukuran, 25-(OH)D harus
dilepaskan dari protein pembawanya
2) Reaksi silang dengan metabolit yang lain
• Teknik untuk mengukur 25(OH)D termasuk competitive binding protein assays rawan terjadi
reaksi silang dengan metabolit vitamin D yang lain sehingga dapat menyebabkan kesalahan
pengukuran. Pada hampir semua immunoassay ditemukan adanya reaksi silang yang bermakna
dengan 24,25-(OH)2D, 25,26-(OH)2D, dan 25(OH)D-26,23-lactone. Walaupun dianggap
secara klinis tidak relevan, metabolit 24,25-(OH)2D berkontribusi sebesar 10–15% dari total
kadar 25(OH) sehingga adanya metabolit tersebut dapat sedikit meningkatkan kadar 25(OH)D
bila diukur dengan immunoassay
33. HPLC
• Prinsip kerja alat HPLC adalah pertama fase gerak dialirkan melalui
kolom kedetektor dengan bantuan pompa. Kemudian cuplikan
dimasukan ke dalam aliran fase gerak dengan cara penyuntikan.
• Didalam kolom terjadi pemisahan komponen-komponen campuran
karena perbedan kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap fase
diam.
• Solut-solut yang kurang kuat interaksinya dengan fase diam akan
keluar dari kolom terlebih dahulu. Sebaliknya solut-solut yang
interaksinya kuat dengan fase diam akan keluar dari kolom lebih lama.
• Setiap komponen campuran yang keluar kolom dideteksi oleh
detektor kemudian direkam dalam bentuk kromatogram.
34.
35. High-performance liquid chromatography
• Metode HPLC memiliki beberapa keterbatasan. Misalnya efek matriks
yang kuat dalam sampel kompleks dapat mempengaruhi presisi
analisis, sehingga prosedur pretreatment yang ketat sering
diperlukan.
• Detektor HPLC konvensional tidak cukup sensitif untuk mendeteksi
vitamin D dalam sampel. Akibatnya, kebanyakan metode HPLC
diterapkan untuk obat-obatan, suplemen dan makanan yang
diperkaya dengan konsentrasi vitamin D yang relatif tinggi.
Selanjutnya, metode HPLC sulit dalam pemisahan banyak jenis
vitamin D dengan struktur dan sifat kimia yang serupa, sehingga
membatasi penerapannya
36. HPLC
• High-performance liquid chromatography (HPLC); chromatographic,
quantitative
Principle of analysis: Serum extracts are resolved on silica columns,
and the concentration of 25-OH-vitamin D is calculated by peak area
(A254) integration.
Comments: Accuracy depends on efficiency of separation of 25-OH-
vitamin D from interfering peaks.
37. LC-MS/MS
• Liquid chromatography–mass spectrometry (LC-MS/MS)
Principle of analysis: Tandem mass spectrometry is not
only sensitive but also provides specificity and does not
require extensive chromatography, as required in HPLC.
Concentration of 25-OH-vitamin D is calculated by ratio
of peak area/height of analyte/internal standard.
Comments: Initially requires expensive capital
investment
38. LC-MS/MS
• Liquid chromatography tandem-mass spectrometry (LC–MS/MS) can
differentiate between 25OHD3 and 25OHD2.
• Separating epimers and isobars (which have the same molecular
weight) from vitamin D is achieved through chromatographic
separation from actual 25OHD peaks.
39. HPLC and LC-MS/MS
• The techniques of sample extraction allied to chromatography
with MS detection methods offer increased specificity for the
molecule of interest, so the combination of HPLC and MS in
tandem, LC-MS/MS, has become a commonly used technique in
routine clinical biochemistry laboratories.
40.
41. • All of these method changes contribute to increased throughput,
improved reliability, and better cost-effectiveness of LC-MS/MS assays
for 25OHD.
• Isotope dilution LC-MS/MS is currently considered the
gold standard method for 25OHD measurement, being able
to simultaneously quantitate 25OHD2 and 25OHD3, with
summation of the two values resulting in total 25OHD
42. 1, 25-Dihydroxy vitamin D
• May be useful for evaluating calcium metabolism in individuals with
hypercalcemia or renal failure. Test is not appropriate for diagnosing
vitamin D deficiency or insufficiency
• Metode : Quantitative Chemiluminescent Immunoassay
43. Quantitative Chemiluminescent Immunoassay
• During the first incubation, calibrators, controls, or patient samples are
incubated with the recombinant protein (binding agent) and assay buffer.
Following this incubations the solid phase containing the specific
monoclonal antibody is added and allowed to bind with the complex from
the first incubation.
• After the second incubation, a wash cycle is performed to remove any
unbound material. The third step consists of adding the conjugate and
incubating. The unbound material is removed with a second wash step. The
starter reagents are then added and a flash chemiluminescent reaction is
initiated. The light signal is measured by a photomultiplier as relative light
units (RLU) and is proportional to the concentration of 1,25
dihydroxyvitamin D present in the calibrators, control, or patient samples
45. CPB (Competitive Protein Binding)
• The earliest published method used 20 mL of sample extracted using
methanol–chloroform and subsequent chromatographic purification.
Detection was performed using intestinal vitamin D receptor freshly
isolated from chicken intestine, so this was a classical CPB assay utilizing
[3H]-1,25(OH)2D.
• Further developments in CPB assays came from the use of SPE sample
using C-18 Sep-Pak and silica cartridge purification plus the move to
utilizing vitamin D receptor isolated from calf thymus glands, which was
much more stable than chick intestine preparations.
• This assay was able to detect low 1,25(OH)2D in chronic renal failure
46. Immunoassay
• In 1978 the first report of an RIA for 1,25(OH)2D was published
• Improved antibody technology resulted in RIAs with better
performance and detection limits, but antibody cross-reactivity with
25OHD and 24,25(OH)2D meant that extensive purification of
1,25(OH)2D from serum was still required
• By manipulation of the extraction and chromatography or use of
particular antibodies, assays specific for 1,25(OH)2D2 and
1,25(OH)2D3 were produced
47. HPLC, LC-MS/MS, and GC-MS
• Measurement of 1,25(OH)2D by direct detection UV methods is not
possible due to the low concentration in blood (picomoles per liter).
1,25(OH)2D has few ionizable polar groups, so techniques to increase the
ionization efficiency (namely, sample derivitization) have been
incorporated in all of the published methods
• An isotope dilution-mass fragmentography assay for 1,25(OH)2D was first
published in 1979. Extraction of 20 mL of serum was performed using
chloroform–methanol after addition of [26-2H3]-1,25(OH)2D3 and
purification by liquid chromatography. The purified material was converted
into the trimethylsilyl ether and analyzed by GC-MS
48. • A comparison of LC-MS/MS measurement of 1,25(OH)2D and the IDS
immunoassay has highlighted differences in recognition of 1,25(OH)2D2
when high-dose vitamin D2 (300,000 IU) is administered intramuscularly
• The LC-MS/MS method detected a significant increase in total 1,25(OH)2D,
mainly due to an increase in 1,25(OH)2D2; but the immunoassay failed to
detect this increase in 1,25(OH)D.
• This appears to be very similar to the situation observed with 25OHD
immunoassays, discussed previously, where antibodies incorporated in the
assay system are not able to recognize the 1,25(OH)2D2 synthesized in vivo
after exogenous administration of vitamin D2
49.
50.
51.
52.
53.
54.
55.
56. • Pasien kekurangan vitamin D penurunan penyerapan kalsium usus
• Sinyal ini dikenali oleh sensor kalsium di kelenjar paratiroid untuk
meningkatkan produksi dan sekresi hormon paratiroid (PTH)
• PTH mengatur metabolisme kalsium dengan meningkatkan reabsorpsi
tubular kalsium di ginjal, meningkatkan mobilisasi kalsium dari
kerangka dan dengan meningkatkan produksi 1,25 (OH) D di ginjal.
• Jadi, pada pasien dengan insufisiensi atau defisiensi vitamin D,
peningkatan kadar PTH akan menghasilkan kadar 1,25 (OH) D yang
normal atau meningkat. Hal ini menjadikan pemeriksaan 1,25 (OH) 2D
tidak berguna sebagai ukuran status vitamin D.
57. PEMERIKSAAN VITAMIN D di RSSA
• Metode yang digunakan adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) kompetitif.
• Mendeteksi 25OHD
• Dengan menggunakan alat ALEGRIA
58. Pengumpulan, penyimpanan, dan perlakuan
spesimen
• Lakukan pengambilan whole blood dengan teknik pengambilan yang
baik untuk mencegah hemolisis. Kemudian sentrifuge tabung untuk
memisahkan serum atau plasma dari bekuan darah. Serum yang baik
adalah yang jernih dan non-hemolisis. Keadaan hemolisis dan lipemia
sebenarnya bukan merupakan suatu gangguan terhadap pemeriksaan
ini, tetapi walaupun begitu kondisi ini harus dihindari.
• Spesimen dapat disimpan di dalam kulkas pada suhu 2-8oC agar dapat
bertahan hingga 5 hari dan pada suhu -20oC agar dapat bertahan
hingga 6 bulan. Hindari pembekuan dan pencairan sampel serum atau
plasma berulang. Tidak disarankan untuk memanaskan serum
sampel.
59. Prosedur Pemeriksaan:
• Pindahkan foil dari sumur 1 – 4 yang kosong pada Alegria® Test Strip.
Jangan buang foil yang terdapat barcode yang menutupi sumur 5 – 8.
• Pipet 80 µL sampel pasien yang tidak terdilusi (serum atau plasma).
• Masukkan strip ke dalam SysTray.
• Letakkan SysTray pada posisi tepat dalam alat Alegria® dan mulai
pemeriksaan. Tahap selanjutnya akan berlangsung secara otomatis.
Tes selesai dikerjakan ketika alat telah mulai mencetak hasil.
Tahap pemeriksaan vitamin D menggunakan alat Alegria
60. Prinsip Pemeriksaan :
• Pemeriksaan Alegria® dilengkapi dengan 8-well-microstrips, yang disebut
Alegria® Test Strips.
• Setiap strip dibuat untuk digunakan oleh satu sample pasien.
• Pada Alegria® Test Strips telah disediakan serangkaian reagen lengkap,
termasuk didalamnya adalah enzyme conjugate, enzyme substrate, sample
buffer dan test specific control.
• Dua sumur (well) dalam Alegria® Test Strips telah dilapisi oleh antibodi
terhadap 25-OH Vitamin D2/D3 dan berguna sebagai sumur tempat reaksi
berlangsung bagi satu control dan satu sampel pasien.
• Dua sumur lagi dilapisi oleh 25-OH Vitamin D2/D3 tracer dan 25-OH Vitamin
D2/D3 tracer ditambahkan dengan kontrol 25-OH vitamin D
61.
62. • Metode yang digunakan adalah Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) kompetitif.
• Pertama, sampel dipipet ke dalam sumur No. 1 di dalam Alegria®
Random Access Analyzer, dengan demikian 25-OH Vitamin D2/D3 yang
didapat dari Vitamin D binding protein (VBP) tercampur dengan tracer
reagent. 25-OH vitamin D dan tracer reagent yang ada di well no.2
disuspensikan dengan buffer. Lalu sampel dan kontrol dipindahkan ke
sumur reaksi no.3 dan no.4 dimana 25-OH vitamin D3/D2 dan 25-OH
vitamin D tracer berkompetisi untuk berikatan dengan 25-OH vitamin
D3/D2 antibodi yang telah ditempelkan di sumur no.3 dan no.4.
63. • Reaksi tersebut akan menmbentuk kompleks antara 25-OH vitamin
D3/D2 dan antibodi atau 25-OH vitamin D tracer reagent dan antibodi.
Setelah inkubasi, langkah pencucian pertama dilakukan untuk
menghilangkan molekul-molekul yang tidak terikat dan tidak spesifik.
Selanjutnya ditambahkan enzyme konjugate yang akan berikatan
dengan kompleks tracer-antibodi.
• Setelah inkubasi, langkah pencucian kedua menghilangkan enzyme
konjugate yang tak terikat. Penambahan cairan enzyme konjugate
menyebabkan terjadinya hidrolisasi dan timbulnya warna selama
inkubasi. Intensitas warna biru kemudian diukur menggunakan
fotometer pada gelombang 650 nm. Intensitas warna biru berkorelasi
terbalik dengan konsentrasi vitamin D dalam sampel.
64. Karakteristik hasil
Rentang kalkulasi pemeriksaan menggunakkan alat ALEGRIA adalah
antara 5 – 200 ng/mL. Status vitamin D diklasifikasikan menjadi:
• Defisiensi : <12 ng/mL (<30nmol/L)
• Insufficiency : 12 – 20 ng/mL (30-50nmol/L)
• Sufficiency : >20 – 160 ng/mL (>50 – 400nmol/L)
Faktor konversi: 1ng/mL = 2,5nmol/L; 1nmol/L = 0,4 ng/mL. Nilai
terendah dari konsentrasi 25-OH Vitamin D3/D2 yang terdeteksi adalah
sebesar 5 ng/mL.
65. Faktor pengganggu
• Tidak ada faktor pengganggu pada pemeriksaan ini. Kondisi serum
atau plasma yang hemolisis atau lipemik tidak menjadi faktor
pengganggu. Demikian pula kadar bilirubin tinggi dalam plasma dan
penggunaan antikoagulan (sitrat, EDTA, heparin) tidak menjadi
pengganggu.
66. Spesifisitas Pemeriksaan
Spesifisitas ditentukan dari pengukuran reaktivitas silang terhadap 25-
OH Vitamin D dengan bahan-bahan lain. Reaktivitas silang disebutkan
dalam persentase relatif terhadap reaktivitas 25-OH Vitamin D3 :
• 25-OH Vitamin D2 100%
• 25-OH Vitamin D3 100%
• Vitamin D3 (Cholecalciferol) <0.1%
• Vitamin D2 (Ergocalciferol) <0.6%