SlideShare a Scribd company logo
1 of 27
MAKALAH

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURAL
DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN

Diajukan untuk Presentasi Temu Ilmiah Nasional Guru 2011

Oleh
Dwi Fanda Larasati, S.Tp, M.Pd

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA BINA INSANI
Jl.KH. Sholeh Iskandar Kec. Tanah Sareal Bogor 16161

i
KATA PENGANTAR

Assalammu’allaikum wr.wb
Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya,
saya telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Implementasi Pendidikan Berbasis
Multikultural Dalam Institusi Pendidikan.
Makalah ini dibuat sebagai persyaratan untuk mengikuti Temu Ilmiah Nasional Guru 2011 yang
diselenggarakan oleh Universitas Terbuka. Adapun tujuan saya untuk mengikuti kegiatan Temu
Ilmiah Nasional Guru 2011 ini adalah untuk menambah wawasan saya dalam bidang pendidikan,
meningkatkan kompetensi diri, menjalin silahturahmi diantara praktisi pendidikan dan lain-lain.
Makalah ini belumlah sempurna, untuk itu saya mohon masukan dan saran yang membangun
untuk kesempurnaan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya saya
pribadi dan institusi di tempat saya bekerja serta masyarakat pada umumnya.
Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pimpinan dan staf Universitas
Terbuka beserta Panitia Temu Ilmiah Nasional Guru 2011 yang telah berupaya dalam
menyelenggarakan kegiatan ini. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk terhadap segala upaya yang kita lakukan
demi untuk peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Bogor, November 2011
Dwi Fanda Larasati, S.Tp, M.Pd

ii
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR

........................................................................

i

DAFTAR ISI ........................................................................................

ii

PROFIL PENULIS

…………………………………………………

iii

ABSTRAK

…....................................................................................

iv

BAB I

PENDAHULUAN
A. LatarBelakang ........................................................
B. Perumusan Masalah.................................................
C. Tujuan Penulisan ....................................................

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Perjalanan Multikulturisme dan Wacana Pendidikan
Multikultur...................................................................
B. Kajian Teoritis ............................................................

BAB III

4
6

PEMBAHASAN
A. Perspektif Pendidikan Multikultural Indonesia ........
B. Kebijakan yang Diperlukan ......................................
C. Implementasi Konsep Multikultural Pada Kurikulum
Pendidikan ………………………………………….
D. Implementasi Pendidikan Multikultural pada Bidang
Kesiswaaan …………………………………………
E. Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Proses
Pembelajaran ………………………………………..
F. Penutup ……………………………………………..

BAB IV

1
2
3

DAFTAR PUSTAKA .....................................................

iii

12
14
17
20
21
25
26
PROFIL PENULIS
Nama

: Dwi Fanda Larasati

Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 27 September 1972
Status

: Menikah, 2 anak

Riwayat Pendidikan : SDN 08 Jakarta
SMPN 37 Jakarta
SMAN 70 Jakarta
IPB, Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Pendidikan Indonesia, Pasca Sarjana,
Program Studi Administrasi Pendidikan
Riwayat Pekerjaan

: Batara Indra Group, Staf Administrasi Operasional
SMA Rimba Madya, Guru Fisika
SMP Bina Insani sd sekarang, Guru Matematika dan
Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum

Prestasi Yang Pernah Diraih : Memperoleh beasiswa dari Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat
Juara ke 2 Guru Berprestasi tingkat Kota Bogor

iv
Abstrak
Pendidikan berbasis Multikultural merupakan suatu proses pendidikan berjenjang yang mampu
menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan seperti status sosial,
etnis, gender dan agama dalam masyarakat yang multikultural agar tercipta kepribadian yang
cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman. Paradigma
pendidikan multikultural sangat bermanfaat untuk membangun harmoni sosial di antara
keragaman etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita.
Mengingat kompleksitas pluralitas dan multikultural di Indonesia dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, maka diperlukan strategi khusus untuk
memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan
pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan berbasis multikultural menawarkan
solusi melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat.
Pendidik dituntut tidak hanya menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata
pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilainilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau
menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang
dihasilkan tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu
menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan
yang ada. Penanaman nilai-nilai ini dilakukan pada pembelajaran di institusi pendidikan yang tidak
hanya ada pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaaraan dan Agama saja tapi dapat pula
berintegrasi dengan mata pelajaran lain termasuk dalam berbagai kegiatan intrakurikuler maupun
ekstrakurikuler.
Pendidikan multikultural perlu terus menerus dilakukan pendalaman secara komprehensif
sehingga tidak stagnan hanya sebatas wacana sehingga pada akhirnya dapat dimplementasikan
secara harmonis dan smooth tanpa adanya ekses yang sifatnya negatif, seperti : konflik panjang
yang tidak berkesudahan yang melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama yang
berujung pada hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain.
Berdasarkan hal tersebut di atas, urgensi pendidikan multikultural di indonesia sudah sangat
mendesak untuk diimplementasikan. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang komprehensif
meliputi berbagai aspek dan sendi kehidupan agar terjadi sinergi diantara civitas akademika dan
stake holders.
Keyword: multikultural, pluralitas, stake holders

v
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Kenyataan ini
dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti
korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan
hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk
nyata sebagai bagian dari multikulturisme tersebut.
Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung berujung konflik,
banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia
adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku,
agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara
sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas
"multikultur" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi
kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force yang
mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam, yang
suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial budaya yang memanas,
yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. Tentu penyebab konflik
banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras,
etnis dan budaya. Beberapa kasus yang pernah terjadi di tanah air yang melibatkan
kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar karena perbedaan pandangan sosial
politik atau perbedaan SARA tersebut.
Berbagai

masalah

yang

timbul

itulah

yang

akhirnya

menjadi

konflik

berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk masalah yang
menyangkut sosial budaya. Untuk itu diperlukan strategi khusus untuk memecahkan
persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan.
Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif
melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan
keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman
etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.
Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit bagi lembaga
pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya untuk
mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang, budaya, agama, dan
keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan
multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang
vi
berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme
di sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan
penyadaran bagi generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras,
etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Selain itu juga
agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial
yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada
lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun
model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan hingga krisis
ekonomi yang berimbas menjadi krisis multidimensi, menyadarkan kita akan pentingnya
modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa
kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap
anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi
kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan dalam masyarakat.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama
serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan
dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan
antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, konflik yang tiada
henti di Papua, tawuran antar pelajar dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita
bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya
disintegrasi bangsa.
Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang
dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen
bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia
pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan agent of change bagi
masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras,
agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan
dan dinamika dalam masyarakat. Implementasi pendidikan multikultur dipandang penting
untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan
kepribadian serta melatih kepekaan siswa dalam menghadapi gejala-gejala dan masalahmasalah sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
C. Tujuan Penulisan
Secara generik, pendidikan multikultur memang sebuah konsep yang dibuat
dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang
vii
berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari
konsep pendidikan multikultur adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran
seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi pluralistik serta diperlukan untuk
berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam.
Tujuan penulisan ini secara umum adalah untuk menyadarkan kepada kita semua
betapa pentingnya implementasi pendidikan multikultur agar terciptanya sebuah harmoni
sosial dengan tatanan masyarakat yang bermoral dan berjalan untuk kebaikan bersama.
Adapun tujuan penulisan ini secara spesifik adalah untuk menjelaskan sejauh
mana implementasi pendidikan multikultur tersebut pada institusi pendidikan baik di
dalam bidang kurikulum, kesiswaan maupun di dalam proses pembelajaran.

viii
D.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Perjalanan Multikulturisme dan Wacana Pendidikan Multikultur
Konsep pendidikan multikultur di negara-negara yang menganut konsep
demokratis seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah
melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang
kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional
di negaranya (Muhaemin, 2004).
Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas
yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturisme. Sejak Columbus
menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu.
Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk kolonikoloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda
bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo Sakson yang menyebarkan koloni di
abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang
ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari
alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama
sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara
generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan
kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan
berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap
kenyataan keragaman yang ada (Muhaemin, 2004).
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya
(4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara
yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru
yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan
pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD
sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam
perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilainilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan
pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam
pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya
diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan
berinteraksi dengan anggota masyarakat (Muhaemin, 2004).

ix
Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan
pendidikan multikultur yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif.
James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultur. Dia yang
membumikan konsep pendidikan multikultur menjadi ide persamaan pendidikan. Pada
pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant,
Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal
pendidikan multikultur, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan
pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial
(Muhaemin, 2004).
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga
pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta
didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap
masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan
pendidikan multikultur sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama
dua dekade konsep pendidikan multikultur menjadi slogan yang sangat populer di
sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam
mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok
etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana
direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di
antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan
kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan
pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk
berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan
hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaianpenyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi
dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan
konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga
meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran siswa sehingga dengan
demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran,
kemauan untuk berbagi dan memelihara.
Konsep pendidikan multikultur dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di
luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan
budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultur secara umum mencakup
ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya,
penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam
masyarakat pluralistik.
Wacana multikulturisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya
ketika sistem nasional yang otoriter militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim
x
Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antar
suku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para
anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin
mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang
sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup
damai dengan meminimalisir potensi konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan (2002), multikulturisme adalah konsep
yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturisme
merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah
keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak
kehidupan masyarakat. Multikulturisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang
mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku
bangsa dalam masyarakat yang multikultur. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempattempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat
secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
B. Kajian Teoritis
Pendidikan multikultur sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam
ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang
mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultur pada awalnya sangat bias
Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari
berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asalusul pendidikan multikultur yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan
Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di
lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara
lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada
saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara
yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan
menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para
tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang
pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari
konseptualisasi pendidikan multikultur.
Multikulturisme juga secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di
Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah multiculturalism merupakan deviasi
dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal
Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan
multi-lingual.

xi
Sedangkan secara sederhana pendidikan multikultur dapat didefenisikan sebagai
pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000) dalam Muhaemin (2004),
pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan
budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise
sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultur (multicultural education) merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi
setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultur merupakan pengembangan
kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah,
prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan
secara luas pendidikan multikultur itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Banks (1993) menjelaskan bahwa pendidikan multikultur
memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu :
1. Content integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep
mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The Knowledge Construction Process
Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran
(disiplin).
3. An Equity Paedagogy
Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka
memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya
ataupun sosial.
4. Prejudice Reduction
Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Exercise
Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan
seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya
akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, siswa merupakan sasaran (obyek) dan
sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat siswa,
xii
para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum siswa. Setidaknya
secara umum siswa memiliki lima ciri, yaitu :
1. Siswa dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk
menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya;
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Siswa mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Siswa melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar
yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar (2002), pendidikan multikultur berawal dari berkembangnya
gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan
gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik
internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial
dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai
akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultur, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam
program pendidikan multikultur, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada
kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah
menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas
terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orangorang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan
multikultur sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti akan perbedaan
(accepted difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orangorang dari kelompok minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultur melihat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "non-recognition" tidak
hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultur
mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya,
ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Paradigma seperti ini akan mendorong

tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya
dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dengan
demikian dapat tercapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok
minoritas dan disadvantaged.
Istilah "pendidikan multikultur" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan
normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan
dengan masyarakat multikultur. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang
pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam
xiii
masyarakat multikultur. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan
multikultur mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang
perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan
mediasi, HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain
yang relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultur yang
pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan,
yaitu:

pertama,

pendidikan

mengenai

perbedaan-perbedaan

kebudayaan

atau

multikulturisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau
pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat
pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultur sebagai pengalaman moral
manusia.
Pendidikan multikultur mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat
suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen (1996):
Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples
were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the
state and the dominant society. While many people had to discard their own cultures,
languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were
consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and
legal system.
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000)
dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum
sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan
kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan
populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga
pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan
putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa muridmurid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai
keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat
fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap
kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk
menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan.
Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat,
homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga
pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada
hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi
kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan
reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga
pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan,
xiv
jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang
sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah
pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan
pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus
seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana
pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi
keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi
perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan
ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Perspektif Pendidikan Multikultural Indonesia
Di Indonesia walaupun masih seputar wacana, pendidikan multikultur relatif baru
dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap perlu bagi masyarakat Indonesia yang
heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan.
Pendidikan multikultur yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan
demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan
kita ke dalam perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan
yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam,
memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif
bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultur. Berbarengan dengan proses
otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala
xv
"provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika
tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang
amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan
keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan
multikultur yang mencakup revisi atau materi pembelajara dan termasuk revisi buku-buku
teks.

Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian

masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan
tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang
dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih
inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia
juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi konflik berkepanjangan
di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultur tidak sekedar merevisi materi
pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri seperti
yang diungkapkan Muhaemin (2004). Affirmative action dalam seleksi siswa sampai
rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan
ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model
"sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari
berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok juga
dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk
meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultur di Indonesia
perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski (1980),
pendidikan multikultur dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1)
transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3)
transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultur dalam tatanan masyarakat yang penuh
permasalahan antara kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan
multikultur tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan
masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula
dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari
mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari
budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultur lebih
tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas
toleransi.
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa
mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai
xvi
kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan
menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima
perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup
bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita
mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui
lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta.
Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari
Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan,
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
B. Kebijakan Yang Diperlukan
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultur
dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi,
termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus
menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian,
musik, makanan kesukaan dan lain sebaginya yang secara struktur memiliki perbedaan.
Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat
beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan
keputusan secara demokratis.
Fenomena dalam masyarakat yang merupakan kumpulan besar individu yang
hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat
memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya
membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya
dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Disisi lain, apabila kehidupan di
dalam masyarakat berinteraksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang
menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain
masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap
masyarakat, diperlukan dasar-dasar sebagai berikut :
1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup,
dinamis, dan selalu berkembang.
2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan
melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi
kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang
disebut tantangan sosial.
xvii
4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara
individu dan komunitas yang membentuk masyarakat.
5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan
perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab
terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat
sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan
kepribadian individu siswa. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan
sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab
moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan
timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat
dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan.
Memperhatikan uraian-uraian di atas, kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan
dalam proses pendidikan multikultural, diantaranya:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education)
dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program
sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi
kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer
mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di
tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena
program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar
sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan
kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan
semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.
secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompokkelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara
terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan.
Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami
para

penyusun

program-program

pendidikan

multikultural

untuk

melenyapkan

kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka
dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan
perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru"
biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki
kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung
sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan
xviii
multikultural.

Mempertahankan

dan

memperluas

solidaritas

kelompok

adalah

menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya
dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa
kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh sejarah dan situasi
kondisi lingkungan sekitar.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah)
meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran
seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara
pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk
sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan
kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini
mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari
dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan
yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima kebijakan tersebut
haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan
manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu
tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah
Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai
kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan
agama.
C. Implementasi Konsep Multikultural Pada Kurikulum Pendidikan
Indonesia sebagai negara majemuk baik dalam segi agama, suku bangsa,
golongan maupun
sehingga

budaya lokal perlu menyusun konsep pendidikan multikultural

menjadi pegangan untuk memperkuat identitas nasional, Mata pelajaran

Kewarganegaraan dan Agama yang telah diajarkan di Sekolah Dasar hingga perguruan
tinggi, disempurnakan dengan memasukan pendidikan multikultural, seperti budaya
lokal antar daerah kedalamnya, agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia
yang selanjutnya dapat meningkatkan rasa nasionalisme. Dengan demikian, pendidikan
multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai calon
warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa hidup
berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak
setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat
bersama-sama

membangun

kekuatan

bangsa

sehingga

diperhitungkan dalam

percaturan global dan nation dignity yang kuat.
Menurut Hamid Hasan (2000),

bahwa masyarakat dan bangsa

Indonesia

memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan ekonomi.
xix
Keragaman

tersebut berpengaruh

melaksanakan

langsung

kurikulum, kemampuan

terhadap

sekolah

dalam

kemampuan

guru

menyediakan

dalam

pengalaman

belajar dan kemampuan siswa dalam berproses, belajar dan mengolah informasi
menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi
suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan
kurikulum, baik sebagai proses maupun sebagai hasil.
Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan
pengembangan

multikultural

harus

didasarkan

pada

empat

prinsip.

Pertama,

keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya
dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan,
konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan dari mulai
pendidikan tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi sehingga sumber belajar dan
objek studi harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum
berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional.
Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan Kewarganegaraan
dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot
kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks
pembinaan

akhlak

dan budi pekerti,

memiliki intensitas

untuk

membina

dan

mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan
pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga
harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian
dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma
sosial kemasyarakatan.
Pendidikan multikultur melalui pendidikan

Kewarganegaran dan pendidikan

Agama harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design perencanaan dan
kurikulum melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau penguatan terhadap
berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses pembelajaran yang bisa
mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati hak-hak orang lain, tanpa
membedakan

latar

belakang

ras,

agama, bahasa

dan

budaya.

Dan

terakhir

pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan multikultur harus dapat diukur melalui
evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes, non-tes atau melalui proses
pengamatan longitudinal dengan menggunakan portofolio siswa.
Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan
beberapa kompetensi dasar sebagai berikut:
1. Menjadi warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan
etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatnya.
2. Menjadi waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi
xx
kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan
bangsa.
3. Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga
negara

tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya

dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya, bahkan
untuk memelihara bahasa dan mengembangkan budaya mereka.
4. Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk
terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan,
baik legislatif maupun eksekutif.
5. Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan
mengembangkan rasa

keadilan

terhadap

semua

warga

negara

tanpa

membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.
Dengan

kompetensi-kompetensi

dasar

tersebut,

maka

pembelajaran

multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang memiliki sikap dan
kebiasaan multikultur dengan sikap dan prilaku yang toleran antar semua anak
bangsa, solider dan

bisa saling bekerjasama untuk kepentingan bangsa, bersikap

egaliter, memiliki sikap empati sesama warga, dan bersikap adil dengan tidak
membedakan latar belakang agama, ras, bahasa dan warna kulit.
Sejalan dengan konsepsi ini, John Dewey (1964) merekomendasikan tiga hal
yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah kurikulum. “Pertama,
hakikat dan kebutuhan peserta didik. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat.
Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli siswa untuk mengembangkan diri sebagai
pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi lain dalam
masyarakat”.
Agar pendidikan multikultur ini dapat menghasilkan output atau lulusan yang
tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ada pada setiap institusi
pendidikan ataupun yang ditekuninya, tetapi output tersebut juga mampu menerapkan
nilai-nilai keberagaman dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan yang
ada maka penanaman nilai-nilai ini tidak hanya dilakukan pada mata pelajaran
Kewarganegaraan dan Agama saja tapi dapat pula berintegrasi dengan mata pelajaran
lain. Dimana penanaman nilai multikultur ini bisa dilakukan oleh seorang guru atau
pendidik baik dalam pembelajaran di kelas atau dalam kegiatan sehari-hari. Contoh
penanaman nilai multikultur antara lain tidak membeda-bedakan siswa, membentuk
kelompok diskusi secara heterogen, pengambilan keputusan secara demokratis, memberi
kebebasan bagi siswa dalam mengeluarkan pendapatnya atau bertanya, menghargai
budaya dan bahasa dan lain-lain.
Dengan demikian pendidikan multikultur harus direncanakan dalam sebuah
design pengembangan kurikulum

yang integratif, sequentif dan didukung dengan
xxi
lingkungan serta struktur dan budaya yang bisa memberikan kontribusi positif terhadap
pembinaan sikap dan perilaku multikultur. Pendidikan multikultur, secara substantif
harus

bisa

menjadi

Kewargnegaraan

bagian integral

baik dalam

mata

pelajaran

Pendidikan

dan mata pelajaran Pendidikan Agama ataupun mata pelajaran lain

sebagai pendidikan nilai. Tema-tema multikultur harus disajikan dalam skope yang
komprehensif sebagai upaya pencapaian berbagai kompetensi yang telah disepakati dan
ditetapkan.
D. Implementasi Pendidikan Multikultural Pada Bidang Kesiswaan
Pendidikan multikultural pada institusi pendidikan selain didalam bidang
kurikulum diperlukan pula dalam bidang kesiswaan. Pendidikan tidak hanya bersifat
akademik saja, tetapi ada pula yang bersifat non akademik. Dalam lembaga-lembaga
pendidikan, pendidikan yang bersifat non akademik biasanya dimasukkan dalam
ekstrakurikuler ataupun OSIS/BEM.
Kegiatan-kegiatan kesiswaan merupakan suatu wadah atau kegiatan-kegiatan
yang positif agar siswa dapat menyalurkan bakat, minat ataupun kreativitasnya pada
kegiatan-kegiatan non akademik. Kegiatan ekstrakurikuler antara lain dalam bidang olah
raga, seni, ilmu pengetahuan ataupun keagamaan.

Kegiatan-kegiatan kesiswaan

diantaranya adalah kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
Kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler dapat menumbuhkan nilai-nilai
kebersamaan, kerukunan hidup serta menghargai keberadaan perbedaan yang ada. Setiap
siswa memperoleh hak yang sama untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler yang diminati
tanpa memandang asal dan latar belakangnya. Di setiap kegiatan intrakurikuler dan
ekstrakurikuler disisipkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kebiasaan multikultur
dengan sikap dan perilaku yang toleran antar teman, kebersamaan, solideritas dan bisa
saling bekerja sama dengan baik.
Contoh kegiatan kesiswaan intrakurikuler seperti lomba-lomba yang bersifat
nasionalisme ataupun keagamaan, dapat menumbuhkan semangat kebangsaan, cinta tanah
air dan juga melatih kerja sama diantara siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda.
Kegiatan outbond yang dikemas dengan berbagai permainan dapat menumbuhkan nilai
kerja sama dan juga kebersamaan tanpa memandang ras, etnik, bahasa, agama dan lainlain. Kegiatan pesantren ataupun keagamaan lain yang didalamnya bisa menumbuhkan
nilai religious, toleransi juga dapat melatih kepedulian sosial terhadap sesama tanpa
memandang perbedaan, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan intrakurikuler ataupun
ekstrakurikuler yang bisa disisipkan penanaman nilai-nilai multikultur dengan
mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar
anggota masyarakat.
E. Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Proses Pembelajaran
xxii
Dari aspek metode

strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek

penting dalam penerapan pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to
be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2)
mendefinisikan

manajemen

pembelajaran

sebagai

“praktik

dan

prosedur

yang

memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan prosedur ini,
Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen
pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial
(human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran
siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan
lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek
pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki
pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik
yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman
dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan
perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya. Dalam proses pembelajaran guru
tidak membedakan gender, suku, ras, etnik dan lain-lain.
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru
yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan
gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses
pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam
proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada tidaknya
peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru
berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter
tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang
diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya
kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk
menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya
kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk
menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang
budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis
(Donna Styles, 2004: 3).
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi
pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus
(Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan
sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa.
Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari
budaya apa pun ternyata juga dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan berinovasi.
Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk
memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu
dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan
xxiii
kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik,
budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus,
siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka
diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang
ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki
wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan
sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam
mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh
pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi
guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan
psikomotorik sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam
strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara
(equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas
yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru
dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang.
Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa. Adapun
hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a) guru berhak menilai para siswa
sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia, (b) guru berhak mengetahui kapan
menerapkan gaya pengajaran yang berbeda otoriter, demokratis, dan bebas untuk
meningkatkan hak-hak siswa, (c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana
menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan (d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi
mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak
sebagai berikut: (a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa
berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160).
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru
memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7)
menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan
hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa,
(c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d)
memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi
dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain itu,
James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus
dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif
terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan
teknik

pembelajaran

kelompok

untuk

pembelajaran.
xxiv

mempromosikan

integrasi

etnik

dalam
Implementasi pendidikan multikultur pada institusi pendidikan diperlukan pula
penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman nilai-nilai tersebut
hendaknya tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di dalam proses pembelajaran di
kelas pada setiap mata pelajaran.
Adapun nilai-nilai budaya dan karakter tersebut diantaranya adalah

Religius,

Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kerja Sama, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa
ingin

tahu,

Semangat

Bersahabat/Komunikatif,

kebangsaan,

Cinta

tanah

air,

Menghargai

prestasi,

Cinta damai, Percaya Diri, Gemar membaca, Peduli

lingkungan, Peduli sosial, Tanggungjawab.
Contoh penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada proses
pembelajaran antara lain diskusi kelompok di dalam kelas atau ruang kuliah untuk
menyelesaikan suatu materi atau soal yang diberikan oleh guru atau dosen (penanaman
nilai Kerja Sama, Bersahabat dan Komunikatif),

pembiasaan berdoa di setiap awal

pembelajaran di kelas atau ruang kuliah (nilai Religius), pembiasaan saling salaman antar
teman di pagi hari dan ketika pulang sekolah (nilai Persahabatan dan Cinta Damai),
melaksanakan upacara bendera atau menyanyikan lagu wajib nasional untuk selingan
(menumbuhkan Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air), melakukan kegiatan bakti
sosial pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan nilai Peduli Sosial) dan lain-lain.
Dengan demikian pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat nilai-nilai
budaya dan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk diimplementasikan
ke dalam dunia pendidikan baik itu di dalam kurikulumnya, kegiatan-kegiatan
siswa/mahasiswa dan proses pembelajaran ataupun perkuliahan.

xxv
BAB IV
PENUTUP

Pendidikan multikultur sebagai wacana baru di Indonesia namun urgensi
implementasinya sudah sangat tinggi mengingat fenomena dan fakta yang sudah sangat
kompleks sehingga implementasinya tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga
pendidikan non formal akademik dan non akademik yang dapat dimplementasikan dalam
kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan
multikultur ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai
Pendidikan Anak Usia Dini, TK, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Implementasi
pendidikan multikultural ini dapat melalui kurikulum tiap jenjang pendidikan, programprogram kesiswaan maupun di dalam pembiasaan-pembiasaan dalam proses pembelajaran
sehari-hari baik di lingkungan sekolah maupun keluarga. Pensisipan pendidikan multikultur
ini dapat dilakukan dalam penanaman nilai-nilai multikultur tersebut ke dalam KTSP
ataupun kegiatan pembelajaran yang responsive multikultur dengan mengedepankan
penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultur ini dapat diimplementasikan
dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat,
merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan
transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam
menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultur dengan mengedepankan
penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya
(agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang
paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem harmoni sosial yang lebih
berkeadilan.

xxvi
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Aly. 2003. “Menggagas Pendidikan Islam Multikultural di Indonesia”, dalam
Jurnal Ishraqi, Volume II Nomor 1, Januari-Juli 2003, hlm. 60-73.
Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and
Practice. Review of Research in Education.
Dewey, John. 1964. Democracy and Education, New York: The Mac Millan Company.
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S.
Garcia, Ricardo L. (1982). Teaching in a Pluristic Society: Concepts, Models, Strategies.
New York: Harper & Row Publisher.
Gollnick, Donna M. (1983). Multicultural Education in a Pluralistik Society. London: The
CV Mosby Company.
Hasan, Hamid S. (2000).
Multikulturalisme Untuk
Nasional, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan.

Penyempurnaan

Kurikulum

Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Muhaemin, E. (2004). Multikulturralisme dan Pendidikan Multikultural, dalam http://researchengines.com/muhaemin6-04.html .
Parsudi Suparlan. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” dalam Makalah
yang diseminarkan pada Simposium Internasional ke-3, Jurnal Antropologi
Indonesia,
Denpasar
Bali,
16-21
Juli.
Starr, Linda. 2004. Creating a Climate for Learning: Effective Classroom Management
Technique, dalam http://www.educationworld.com/a_curr/curr155.shtml.
Stavenhagen, Rudolfo, (1996). "Education for a Multikultural world", in Jasque Delors (et
all),
Learning:
the
treasure
within,
Paris,
UNESCO.
Styles, Donna. 2004. Class Meetings: A Democratic Approach to Classroom Management,
dalam
http://www.educationworld.com/a_curr/profdev012.shtml.
Tilaar, H. A. R, (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional.
Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.

xxvii

More Related Content

What's hot

8. silabus pp kn sd versi 110216
8. silabus pp kn sd versi 1102168. silabus pp kn sd versi 110216
8. silabus pp kn sd versi 110216Abdur Rasyidharahap
 
Konseppendidikanmultikultural
KonseppendidikanmultikulturalKonseppendidikanmultikultural
KonseppendidikanmultikulturalSalma Sosialita
 
dinamika perkembangan kurikulum
dinamika perkembangan kurikulumdinamika perkembangan kurikulum
dinamika perkembangan kurikulumkecuktp
 
kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...
kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...
kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...Sherly Jewinly
 
Kurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar sma
Kurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar smaKurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar sma
Kurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar smamir_din
 
Proposal gerakan literasi sekolah jatim
Proposal gerakan literasi sekolah jatimProposal gerakan literasi sekolah jatim
Proposal gerakan literasi sekolah jatimSunandar Triwibowo
 
Domain sivil dan budaya
Domain sivil dan budayaDomain sivil dan budaya
Domain sivil dan budayaAzmeen Minx
 
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulumPengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulumsman 2 mataram
 
Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...
Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...
Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...aris margono
 
Kepelbagaian pelajar dalam etnik write up
Kepelbagaian pelajar dalam etnik write upKepelbagaian pelajar dalam etnik write up
Kepelbagaian pelajar dalam etnik write upRadziah Mokhtar
 
Resensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikulturalResensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikulturalsitirohmah71
 
SITI ROHMAH
SITI ROHMAHSITI ROHMAH
SITI ROHMAHSafitri
 
Panduan pendidikan karakter di sd
Panduan pendidikan karakter di sdPanduan pendidikan karakter di sd
Panduan pendidikan karakter di sdNia Piliang
 
1. modul prasekolah (2)
1. modul prasekolah (2)1. modul prasekolah (2)
1. modul prasekolah (2)praba karan
 
A1 dinamika perkembangan kurikulum rev smk
A1 dinamika perkembangan kurikulum rev smkA1 dinamika perkembangan kurikulum rev smk
A1 dinamika perkembangan kurikulum rev smkAperiusTumanggor
 
4. dokumen kurikulum-2013
4. dokumen kurikulum-20134. dokumen kurikulum-2013
4. dokumen kurikulum-2013Deir Irhamni
 

What's hot (20)

8. silabus pp kn sd versi 110216
8. silabus pp kn sd versi 1102168. silabus pp kn sd versi 110216
8. silabus pp kn sd versi 110216
 
Konseppendidikanmultikultural
KonseppendidikanmultikulturalKonseppendidikanmultikultural
Konseppendidikanmultikultural
 
dinamika perkembangan kurikulum
dinamika perkembangan kurikulumdinamika perkembangan kurikulum
dinamika perkembangan kurikulum
 
56073879 1-docx-lakaran
56073879 1-docx-lakaran56073879 1-docx-lakaran
56073879 1-docx-lakaran
 
Multikultural
MultikulturalMultikultural
Multikultural
 
kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...
kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...
kepentingan penerapan unsur patriotisme serta nilai sivik dan kewarganegaraan...
 
Luar kelas1
Luar kelas1Luar kelas1
Luar kelas1
 
Kurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar sma
Kurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar smaKurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar sma
Kurikulum sma 2013 dan kompetensi dasar sma
 
Proposal gerakan literasi sekolah jatim
Proposal gerakan literasi sekolah jatimProposal gerakan literasi sekolah jatim
Proposal gerakan literasi sekolah jatim
 
Domain sivil dan budaya
Domain sivil dan budayaDomain sivil dan budaya
Domain sivil dan budaya
 
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulumPengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
Pengintegrasian pendidikan karakter dalam pengembangan kurikulum
 
Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...
Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...
Penguatan nilai nilai kebangasaan dan penghargaan atas kebhinekaaan melalui p...
 
Kepelbagaian pelajar dalam etnik write up
Kepelbagaian pelajar dalam etnik write upKepelbagaian pelajar dalam etnik write up
Kepelbagaian pelajar dalam etnik write up
 
Resensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikulturalResensi jurnal pai berbasis multikultural
Resensi jurnal pai berbasis multikultural
 
SITI ROHMAH
SITI ROHMAHSITI ROHMAH
SITI ROHMAH
 
Panduan pendidikan karakter di sd
Panduan pendidikan karakter di sdPanduan pendidikan karakter di sd
Panduan pendidikan karakter di sd
 
1. modul prasekolah (2)
1. modul prasekolah (2)1. modul prasekolah (2)
1. modul prasekolah (2)
 
A1 dinamika perkembangan kurikulum rev smk
A1 dinamika perkembangan kurikulum rev smkA1 dinamika perkembangan kurikulum rev smk
A1 dinamika perkembangan kurikulum rev smk
 
PPK Kurikulum 2013
PPK Kurikulum 2013PPK Kurikulum 2013
PPK Kurikulum 2013
 
4. dokumen kurikulum-2013
4. dokumen kurikulum-20134. dokumen kurikulum-2013
4. dokumen kurikulum-2013
 

Similar to Dwi fanda

Pendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklelPendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklelFelix Baskara
 
Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia
Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesiaMateri kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia
Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesiaYhana Hadayana
 
Tugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologiTugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologiZurie Hafiez
 
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolahPengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolahHari Adi
 
aliyaputri.antropologi.uts (1).docx
aliyaputri.antropologi.uts (1).docxaliyaputri.antropologi.uts (1).docx
aliyaputri.antropologi.uts (1).docxaliyaputri14
 
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"Ali Murfi
 
Kerja kursus edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...
Kerja kursus   edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...Kerja kursus   edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...
Kerja kursus edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...Karen Kayny
 
Pengantar pendidikan
Pengantar pendidikanPengantar pendidikan
Pengantar pendidikananitaairhi
 
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdfppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdfamaraffi57
 
Implikasi kepelbagaian sosiobudaya
Implikasi kepelbagaian sosiobudayaImplikasi kepelbagaian sosiobudaya
Implikasi kepelbagaian sosiobudayaPensil Dan Pemadam
 
M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...
M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...
M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...abuzaf
 
Sistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan NasionalSistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan NasionalDoanks
 
tugasan Edu 3106 individu
tugasan Edu 3106 individu tugasan Edu 3106 individu
tugasan Edu 3106 individu fitri norlida
 

Similar to Dwi fanda (20)

Pendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklelPendidikan multikultural-artiklel
Pendidikan multikultural-artiklel
 
Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia
Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesiaMateri kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia
Materi kelompok 5 pentingnya pendidikan multikultural di indonesia
 
Tugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologiTugas sosioantropologi
Tugas sosioantropologi
 
MultiKultural.pptx
MultiKultural.pptxMultiKultural.pptx
MultiKultural.pptx
 
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolahPengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
Pengembangan model pendidikan multikulturalisme untuk anak usia sekolah
 
aliyaputri.antropologi.uts (1).docx
aliyaputri.antropologi.uts (1).docxaliyaputri.antropologi.uts (1).docx
aliyaputri.antropologi.uts (1).docx
 
Nanda ppt
Nanda pptNanda ppt
Nanda ppt
 
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
Latar Belakang Masalah "Pendidikan Multikultural"
 
Kerja kursus edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...
Kerja kursus   edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...Kerja kursus   edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...
Kerja kursus edu 3106 - pelan bilik darjah & faktor-faktor ketidaksamaan pd...
 
Pengantar pendidikan
Pengantar pendidikanPengantar pendidikan
Pengantar pendidikan
 
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdfppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
ppt. pend.Multikultural kel.2.pdf
 
PPT IPS KEMPOK 3.pptx
PPT IPS KEMPOK 3.pptxPPT IPS KEMPOK 3.pptx
PPT IPS KEMPOK 3.pptx
 
Implikasi kepelbagaian sosiobudaya
Implikasi kepelbagaian sosiobudayaImplikasi kepelbagaian sosiobudaya
Implikasi kepelbagaian sosiobudaya
 
M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...
M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...
M. Abu Siri, Dr. Asnawan, S.Pd.I., M.Si PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL DAN PE...
 
Bakti dan ujang.p
Bakti dan ujang.pBakti dan ujang.p
Bakti dan ujang.p
 
Wawasan multikultural
Wawasan multikulturalWawasan multikultural
Wawasan multikultural
 
9.isuesosial
9.isuesosial9.isuesosial
9.isuesosial
 
Sistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan NasionalSistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan Nasional
 
tugasan Edu 3106 individu
tugasan Edu 3106 individu tugasan Edu 3106 individu
tugasan Edu 3106 individu
 
Assignment edu 2
Assignment edu 2Assignment edu 2
Assignment edu 2
 

Dwi fanda

  • 1. MAKALAH IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN Diajukan untuk Presentasi Temu Ilmiah Nasional Guru 2011 Oleh Dwi Fanda Larasati, S.Tp, M.Pd SEKOLAH MENENGAH PERTAMA BINA INSANI Jl.KH. Sholeh Iskandar Kec. Tanah Sareal Bogor 16161 i
  • 2. KATA PENGANTAR Assalammu’allaikum wr.wb Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya, saya telah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Implementasi Pendidikan Berbasis Multikultural Dalam Institusi Pendidikan. Makalah ini dibuat sebagai persyaratan untuk mengikuti Temu Ilmiah Nasional Guru 2011 yang diselenggarakan oleh Universitas Terbuka. Adapun tujuan saya untuk mengikuti kegiatan Temu Ilmiah Nasional Guru 2011 ini adalah untuk menambah wawasan saya dalam bidang pendidikan, meningkatkan kompetensi diri, menjalin silahturahmi diantara praktisi pendidikan dan lain-lain. Makalah ini belumlah sempurna, untuk itu saya mohon masukan dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya saya pribadi dan institusi di tempat saya bekerja serta masyarakat pada umumnya. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada seluruh pimpinan dan staf Universitas Terbuka beserta Panitia Temu Ilmiah Nasional Guru 2011 yang telah berupaya dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Semoga kegiatan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk terhadap segala upaya yang kita lakukan demi untuk peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Bogor, November 2011 Dwi Fanda Larasati, S.Tp, M.Pd ii
  • 3. DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR ........................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................ ii PROFIL PENULIS ………………………………………………… iii ABSTRAK ….................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang ........................................................ B. Perumusan Masalah................................................. C. Tujuan Penulisan .................................................... BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perjalanan Multikulturisme dan Wacana Pendidikan Multikultur................................................................... B. Kajian Teoritis ............................................................ BAB III 4 6 PEMBAHASAN A. Perspektif Pendidikan Multikultural Indonesia ........ B. Kebijakan yang Diperlukan ...................................... C. Implementasi Konsep Multikultural Pada Kurikulum Pendidikan …………………………………………. D. Implementasi Pendidikan Multikultural pada Bidang Kesiswaaan ………………………………………… E. Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Proses Pembelajaran ……………………………………….. F. Penutup …………………………………………….. BAB IV 1 2 3 DAFTAR PUSTAKA ..................................................... iii 12 14 17 20 21 25 26
  • 4. PROFIL PENULIS Nama : Dwi Fanda Larasati Tempat, tanggal lahir : Jakarta, 27 September 1972 Status : Menikah, 2 anak Riwayat Pendidikan : SDN 08 Jakarta SMPN 37 Jakarta SMAN 70 Jakarta IPB, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Pendidikan Indonesia, Pasca Sarjana, Program Studi Administrasi Pendidikan Riwayat Pekerjaan : Batara Indra Group, Staf Administrasi Operasional SMA Rimba Madya, Guru Fisika SMP Bina Insani sd sekarang, Guru Matematika dan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum Prestasi Yang Pernah Diraih : Memperoleh beasiswa dari Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Barat Juara ke 2 Guru Berprestasi tingkat Kota Bogor iv
  • 5. Abstrak Pendidikan berbasis Multikultural merupakan suatu proses pendidikan berjenjang yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan seperti status sosial, etnis, gender dan agama dalam masyarakat yang multikultural agar tercipta kepribadian yang cerdas, bijak dan santun dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman. Paradigma pendidikan multikultural sangat bermanfaat untuk membangun harmoni sosial di antara keragaman etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Mengingat kompleksitas pluralitas dan multikultural di Indonesia dilihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan berbasis multikultural menawarkan solusi melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat. Pendidik dituntut tidak hanya menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan. Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilainilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan yang ada. Penanaman nilai-nilai ini dilakukan pada pembelajaran di institusi pendidikan yang tidak hanya ada pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaaraan dan Agama saja tapi dapat pula berintegrasi dengan mata pelajaran lain termasuk dalam berbagai kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Pendidikan multikultural perlu terus menerus dilakukan pendalaman secara komprehensif sehingga tidak stagnan hanya sebatas wacana sehingga pada akhirnya dapat dimplementasikan secara harmonis dan smooth tanpa adanya ekses yang sifatnya negatif, seperti : konflik panjang yang tidak berkesudahan yang melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama yang berujung pada hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Berdasarkan hal tersebut di atas, urgensi pendidikan multikultural di indonesia sudah sangat mendesak untuk diimplementasikan. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang komprehensif meliputi berbagai aspek dan sendi kehidupan agar terjadi sinergi diantara civitas akademika dan stake holders. Keyword: multikultural, pluralitas, stake holders v
  • 6. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturisme tersebut. Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung berujung konflik, banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultur" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. Tentu penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang pernah terjadi di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar karena perbedaan pandangan sosial politik atau perbedaan SARA tersebut. Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya. Untuk itu diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain. Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang ada di dalamnya untuk mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang vi
  • 7. berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah atau institusi-institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Selain itu juga agar siswa memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan hingga krisis ekonomi yang berimbas menjadi krisis multidimensi, menyadarkan kita akan pentingnya modal sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, konflik yang tiada henti di Papua, tawuran antar pelajar dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa. Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya peran sangat strategis sebagai wahana dan agent of change bagi masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Implementasi pendidikan multikultur dipandang penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran dan kepribadian serta melatih kepekaan siswa dalam menghadapi gejala-gejala dan masalahmasalah sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. C. Tujuan Penulisan Secara generik, pendidikan multikultur memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang vii
  • 8. berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultur adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam. Tujuan penulisan ini secara umum adalah untuk menyadarkan kepada kita semua betapa pentingnya implementasi pendidikan multikultur agar terciptanya sebuah harmoni sosial dengan tatanan masyarakat yang bermoral dan berjalan untuk kebaikan bersama. Adapun tujuan penulisan ini secara spesifik adalah untuk menjelaskan sejauh mana implementasi pendidikan multikultur tersebut pada institusi pendidikan baik di dalam bidang kurikulum, kesiswaan maupun di dalam proses pembelajaran. viii
  • 9. D. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perjalanan Multikulturisme dan Wacana Pendidikan Multikultur Konsep pendidikan multikultur di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional di negaranya (Muhaemin, 2004). Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting pot sampai multikulturisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika, berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk kolonikoloni mereka di Amerika Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya. Tetapi di mata bangsa Anglo Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada (Muhaemin, 2004). Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilainilai kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat (Muhaemin, 2004). ix
  • 10. Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultur yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultur. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultur menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultur, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial (Muhaemin, 2004). Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultur sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultur menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini. Ide pendidikan multikulturisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaianpenyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan. Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran siswa sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara. Konsep pendidikan multikultur dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultur secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik. Wacana multikulturisme untuk konteks di Indonesia menemukan momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter militeristik tumbang seiring dengan jatuhnya rezim x
  • 11. Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau dengan berbagai konflik antar suku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi konflik. Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan (2002), multikulturisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan multikulturisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultur. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempattempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial. B. Kajian Teoritis Pendidikan multikultur sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong kemunculannya. Wacana pendidikan multikultur pada awalnya sangat bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asalusul pendidikan multikultur yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultur. Multikulturisme juga secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah multiculturalism merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multicultural dan multi-lingual. xi
  • 12. Sedangkan secara sederhana pendidikan multikultur dapat didefenisikan sebagai pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000) dalam Muhaemin (2004), pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan multikultur (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultur merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas pendidikan multikultur itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama. Selanjutnya James Banks (1993) menjelaskan bahwa pendidikan multikultur memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu : 1. Content integration Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu. 2. The Knowledge Construction Process Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin). 3. An Equity Paedagogy Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. 4. Prejudice Reduction Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. 5. Exercise Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik. Dalam aktifitas pendidikan manapun, siswa merupakan sasaran (obyek) dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat siswa, xii
  • 13. para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum siswa. Setidaknya secara umum siswa memiliki lima ciri, yaitu : 1. Siswa dalan keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya; 2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa. 3. Siswa mempunyai latar belakang yang berbeda. 4. Siswa melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu. Menurut Tilaar (2002), pendidikan multikultur berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa. Mengenai fokus pendidikan multikultur, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultur, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orangorang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultur sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti akan perbedaan (accepted difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orangorang dari kelompok minoritas. Dalam konteks itu, pendidikan multikultur melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultur mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dengan demikian dapat tercapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged. Istilah "pendidikan multikultur" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultur. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam xiii
  • 14. masyarakat multikultur. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multikultur mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan. Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultur yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturisme. Kedua, pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan multikultur sebagai pengalaman moral manusia. Pendidikan multikultur mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen (1996): Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system. Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper, 2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an. Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa muridmurid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik. Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, xiv
  • 15. jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan. Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial. BAB III PEMBAHASAN A. Perspektif Pendidikan Multikultural Indonesia Di Indonesia walaupun masih seputar wacana, pendidikan multikultur relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap perlu bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultur yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultur. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala xv
  • 16. "provinsialisme" yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini, jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik. Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultur yang mencakup revisi atau materi pembelajara dan termasuk revisi buku-buku teks. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi konflik berkepanjangan di berbagai wilayah. Model lainnya adalah pendidikan multikultur tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri seperti yang diungkapkan Muhaemin (2004). Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok juga dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok. Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultur di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski (1980), pendidikan multikultur dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat. Menyusun pendidikan multikultur dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultur tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultur lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi. Implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai xvi
  • 17. kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. B. Kebijakan Yang Diperlukan Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultur dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik, makanan kesukaan dan lain sebaginya yang secara struktur memiliki perbedaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis. Fenomena dalam masyarakat yang merupakan kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Disisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berinteraksi antara individu dan lingkungan sosialnya, maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain masyarakat pendidik. Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap masyarakat, diperlukan dasar-dasar sebagai berikut : 1. Masyarakat tidak ada dengan sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu berkembang. 2. Masyarakat bergantung pada upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu lain yang berupaya memenuhi kebutuhan. 3. Individu-individu, di dalam berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial. xvii
  • 18. 4. Setiap masyarakat bertanggung jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang membentuk masyarakat. 5. Pertumbuhan individu di dalam komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunnya untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya. Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan kepribadian individu siswa. Sebab keberadaan masyarakat merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya pelaksanaan proses pendidikan. Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting untuk kemajuan pendidikan. Memperhatikan uraian-uraian di atas, kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan multikultural, diantaranya: Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah. Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompokkelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik. Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan xviii
  • 19. multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis. Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh sejarah dan situasi kondisi lingkungan sekitar. Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik. Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima kebijakan tersebut haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh kesatuan negara, kebudayaan dan agama. C. Implementasi Konsep Multikultural Pada Kurikulum Pendidikan Indonesia sebagai negara majemuk baik dalam segi agama, suku bangsa, golongan maupun sehingga budaya lokal perlu menyusun konsep pendidikan multikultural menjadi pegangan untuk memperkuat identitas nasional, Mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama yang telah diajarkan di Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan memasukan pendidikan multikultural, seperti budaya lokal antar daerah kedalamnya, agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia yang selanjutnya dapat meningkatkan rasa nasionalisme. Dengan demikian, pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang kuat. Menurut Hamid Hasan (2000), bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan ekonomi. xix
  • 20. Keragaman tersebut berpengaruh melaksanakan langsung kurikulum, kemampuan terhadap sekolah dalam kemampuan guru menyediakan dalam pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam berproses, belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum, baik sebagai proses maupun sebagai hasil. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan dari mulai pendidikan tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi sehingga sumber belajar dan objek studi harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional. Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan Kewarganegaraan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak dan budi pekerti, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas. Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan. Pendidikan multikultur melalui pendidikan Kewarganegaran dan pendidikan Agama harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design perencanaan dan kurikulum melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan multikultur harus dapat diukur melalui evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes, non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal dengan menggunakan portofolio siswa. Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan beberapa kompetensi dasar sebagai berikut: 1. Menjadi warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatnya. 2. Menjadi waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi xx
  • 21. kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa. 3. Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan budaya mereka. 4. Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. 5. Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka. Dengan kompetensi-kompetensi dasar tersebut, maka pembelajaran multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang memiliki sikap dan kebiasaan multikultur dengan sikap dan prilaku yang toleran antar semua anak bangsa, solider dan bisa saling bekerjasama untuk kepentingan bangsa, bersikap egaliter, memiliki sikap empati sesama warga, dan bersikap adil dengan tidak membedakan latar belakang agama, ras, bahasa dan warna kulit. Sejalan dengan konsepsi ini, John Dewey (1964) merekomendasikan tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah kurikulum. “Pertama, hakikat dan kebutuhan peserta didik. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat. Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli siswa untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat”. Agar pendidikan multikultur ini dapat menghasilkan output atau lulusan yang tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ada pada setiap institusi pendidikan ataupun yang ditekuninya, tetapi output tersebut juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagaman dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan yang ada maka penanaman nilai-nilai ini tidak hanya dilakukan pada mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama saja tapi dapat pula berintegrasi dengan mata pelajaran lain. Dimana penanaman nilai multikultur ini bisa dilakukan oleh seorang guru atau pendidik baik dalam pembelajaran di kelas atau dalam kegiatan sehari-hari. Contoh penanaman nilai multikultur antara lain tidak membeda-bedakan siswa, membentuk kelompok diskusi secara heterogen, pengambilan keputusan secara demokratis, memberi kebebasan bagi siswa dalam mengeluarkan pendapatnya atau bertanya, menghargai budaya dan bahasa dan lain-lain. Dengan demikian pendidikan multikultur harus direncanakan dalam sebuah design pengembangan kurikulum yang integratif, sequentif dan didukung dengan xxi
  • 22. lingkungan serta struktur dan budaya yang bisa memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan sikap dan perilaku multikultur. Pendidikan multikultur, secara substantif harus bisa menjadi Kewargnegaraan bagian integral baik dalam mata pelajaran Pendidikan dan mata pelajaran Pendidikan Agama ataupun mata pelajaran lain sebagai pendidikan nilai. Tema-tema multikultur harus disajikan dalam skope yang komprehensif sebagai upaya pencapaian berbagai kompetensi yang telah disepakati dan ditetapkan. D. Implementasi Pendidikan Multikultural Pada Bidang Kesiswaan Pendidikan multikultural pada institusi pendidikan selain didalam bidang kurikulum diperlukan pula dalam bidang kesiswaan. Pendidikan tidak hanya bersifat akademik saja, tetapi ada pula yang bersifat non akademik. Dalam lembaga-lembaga pendidikan, pendidikan yang bersifat non akademik biasanya dimasukkan dalam ekstrakurikuler ataupun OSIS/BEM. Kegiatan-kegiatan kesiswaan merupakan suatu wadah atau kegiatan-kegiatan yang positif agar siswa dapat menyalurkan bakat, minat ataupun kreativitasnya pada kegiatan-kegiatan non akademik. Kegiatan ekstrakurikuler antara lain dalam bidang olah raga, seni, ilmu pengetahuan ataupun keagamaan. Kegiatan-kegiatan kesiswaan diantaranya adalah kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler dapat menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan, kerukunan hidup serta menghargai keberadaan perbedaan yang ada. Setiap siswa memperoleh hak yang sama untuk memilih kegiatan ekstrakurikuler yang diminati tanpa memandang asal dan latar belakangnya. Di setiap kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler disisipkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kebiasaan multikultur dengan sikap dan perilaku yang toleran antar teman, kebersamaan, solideritas dan bisa saling bekerja sama dengan baik. Contoh kegiatan kesiswaan intrakurikuler seperti lomba-lomba yang bersifat nasionalisme ataupun keagamaan, dapat menumbuhkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan juga melatih kerja sama diantara siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kegiatan outbond yang dikemas dengan berbagai permainan dapat menumbuhkan nilai kerja sama dan juga kebersamaan tanpa memandang ras, etnik, bahasa, agama dan lainlain. Kegiatan pesantren ataupun keagamaan lain yang didalamnya bisa menumbuhkan nilai religious, toleransi juga dapat melatih kepedulian sosial terhadap sesama tanpa memandang perbedaan, dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan intrakurikuler ataupun ekstrakurikuler yang bisa disisipkan penanaman nilai-nilai multikultur dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat. E. Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Proses Pembelajaran xxii
  • 23. Dari aspek metode strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam penerapan pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya. Dalam proses pembelajaran guru tidak membedakan gender, suku, ras, etnik dan lain-lain. Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004: 3). Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan berinovasi. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan xxiii
  • 24. kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka. Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus. Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a) guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia, (b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda otoriter, demokratis, dan bebas untuk meningkatkan hak-hak siswa, (c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan (d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160). Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain itu, James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk pembelajaran. xxiv mempromosikan integrasi etnik dalam
  • 25. Implementasi pendidikan multikultur pada institusi pendidikan diperlukan pula penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman nilai-nilai tersebut hendaknya tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di dalam proses pembelajaran di kelas pada setiap mata pelajaran. Adapun nilai-nilai budaya dan karakter tersebut diantaranya adalah Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kerja Sama, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat Bersahabat/Komunikatif, kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Cinta damai, Percaya Diri, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggungjawab. Contoh penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada proses pembelajaran antara lain diskusi kelompok di dalam kelas atau ruang kuliah untuk menyelesaikan suatu materi atau soal yang diberikan oleh guru atau dosen (penanaman nilai Kerja Sama, Bersahabat dan Komunikatif), pembiasaan berdoa di setiap awal pembelajaran di kelas atau ruang kuliah (nilai Religius), pembiasaan saling salaman antar teman di pagi hari dan ketika pulang sekolah (nilai Persahabatan dan Cinta Damai), melaksanakan upacara bendera atau menyanyikan lagu wajib nasional untuk selingan (menumbuhkan Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air), melakukan kegiatan bakti sosial pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan nilai Peduli Sosial) dan lain-lain. Dengan demikian pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya dan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan baik itu di dalam kurikulumnya, kegiatan-kegiatan siswa/mahasiswa dan proses pembelajaran ataupun perkuliahan. xxv
  • 26. BAB IV PENUTUP Pendidikan multikultur sebagai wacana baru di Indonesia namun urgensi implementasinya sudah sangat tinggi mengingat fenomena dan fakta yang sudah sangat kompleks sehingga implementasinya tidak hanya melalui pendidikan formal namun juga pendidikan non formal akademik dan non akademik yang dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam pendidikan formal pendidikan multikultur ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Anak Usia Dini, TK, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi. Implementasi pendidikan multikultural ini dapat melalui kurikulum tiap jenjang pendidikan, programprogram kesiswaan maupun di dalam pembiasaan-pembiasaan dalam proses pembelajaran sehari-hari baik di lingkungan sekolah maupun keluarga. Pensisipan pendidikan multikultur ini dapat dilakukan dalam penanaman nilai-nilai multikultur tersebut ke dalam KTSP ataupun kegiatan pembelajaran yang responsive multikultur dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat. Tak kalah penting wacana pendidikan multikultur ini dapat diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultur dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem harmoni sosial yang lebih berkeadilan. xxvi
  • 27. BAB V DAFTAR PUSTAKA Abdullah Aly. 2003. “Menggagas Pendidikan Islam Multikultural di Indonesia”, dalam Jurnal Ishraqi, Volume II Nomor 1, Januari-Juli 2003, hlm. 60-73. Banks, J (1993), Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education. Dewey, John. 1964. Democracy and Education, New York: The Mac Millan Company. Freire, Paulo. 2000. Pendidikan pembebasan, Jakarta, LP3S. Garcia, Ricardo L. (1982). Teaching in a Pluristic Society: Concepts, Models, Strategies. New York: Harper & Row Publisher. Gollnick, Donna M. (1983). Multicultural Education in a Pluralistik Society. London: The CV Mosby Company. Hasan, Hamid S. (2000). Multikulturalisme Untuk Nasional, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Penyempurnaan Kurikulum Kuper, Adam & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Muhaemin, E. (2004). Multikulturralisme dan Pendidikan Multikultural, dalam http://researchengines.com/muhaemin6-04.html . Parsudi Suparlan. 2002. “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural,” dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium Internasional ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli. Starr, Linda. 2004. Creating a Climate for Learning: Effective Classroom Management Technique, dalam http://www.educationworld.com/a_curr/curr155.shtml. Stavenhagen, Rudolfo, (1996). "Education for a Multikultural world", in Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within, Paris, UNESCO. Styles, Donna. 2004. Class Meetings: A Democratic Approach to Classroom Management, dalam http://www.educationworld.com/a_curr/profdev012.shtml. Tilaar, H. A. R, (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional. Zubaidi (2005), Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar. xxvii