1. 2.1 dinamika perubahan isu kebijakan pemerintah
Walaupun telah dijelaskan pada awal bab pertama buku ini, namun
untuk memahami lebih konkret bagaimana perumusan kebijakan
terjadi melalui dinamika perubahan isu yang berkembang, pada bab
ini dijelaskan kembali mulai dari agenda isu yang menjadi proses awal
kegiatan, semua isu yang termuat melalui media massa, berkembang
dan menjadi ramai diperbincangkan oleh publik (umum) dan akan
mengkristal dalam berbagai pendapat publik (opini). Pendapat umum
yang di setting melalui identifikasi permasalahan dan dicarikan model
model perumusan dengan mengundang berbagai komponen dalam
sistem kebijakan.
Kalau terjadi konsensus dalam agenda setting maka disalurkanlah
identifikasi isu dengan usulan pemecahannya kepada pemerintah guna
dijadikan agenda pemerintah, sebagaimana ruang publik yang
disediakan TV ONE melalui acara jakarta laywer club. Di sinilah
proses perundang-undangan mulai berjalan mulai dari hak inisiatif
hingga hak prakarsa dewan yang pada akhirnya diputuskan dalam
bentuk perundang-undangan yang merupakan kebijakan strategik.
Proses adalah suatu rangkaian kegiatan yang diketahui awal (starting
point nya) tetapi tidak pernah diketahui kapan berakhirnya kegiatan.
Apalagi bagi proses perumusan kebijakan, ia bermula dari isu dan
akan berakhir dengan isu baru yang berlangsung secara terus menerus
dalam dinamika perubahan lingkungan dan kemauan politik,
kepentingan sosial ekonomi, serta kehendak kelompok sasaran.
Isu adalah permasalahan dalam kebijakan, indikator yaitu:
2. 1. masalah yang sifatnya kontinuitas. Contohnya: masalah penerimaan
PNS. Ia bermula dari isu kebutuhan atas kekurangan pegawai negeri,
setelah dilakukan pengangkatan melahirkan dalam anggaran
pembiayaan karena kurang tersedianya dana anggaran sehingga
melahirkan isu baru dalam penggunaan anggaran antara lain
terserapnya anggaran untuk pegawai negeri daripada anggaran untuk
pembangunan, dari isu pun akan melahirkan isu diperlunya
moratorium pengangkatan kepegawaian, dan ini pun melahirkan
masalah baru dalam dunia tenaga kerja berupa pengangguran yang
terdidik. Isu berkesinambungan demikian inilah yang disebut masalah
kebijakan.
2. masalahnya sangat dinamis dan berubah tuntutan lingkungan yang
bergerak maju dan setiap saat mengalami perubahan akibat pengaruh
dari berbagai faktor. Contoh: kebijakan pendidikan gratis. Kebijakan
ini adalah atas kehendak konstitusi yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa, yang oleh pemerintah atas dasar otoritas yang dimiliki
dilakukan perumusan kebijakan. Pada awalnya, kebijakan ini
belumlah perlu dilakukan mengingat jumlah penduduk yang belum
banyak, kemampuan rumah tangga membiayai anggota rumah
tangganya untuk mengikuti pendidikan masih memungkinkan,
keperluan berbagai kebutuhan yang diperlukan dalam proses
pembelajaran belumlah banyak, ketersediaan tenaga pendidik masih
cukup tersedia dengan tingkat pendapatan yang lumayan. Namun,
perkembangan zaman lama kelamaan, sektor pendidikan semakin
memerlukan pembiayaan baik dalam sarana dan prasarana maupun
dalam keperluan proses pembelajaran untuk memenuhi tantangan
3. tuntutan kualitas akibat globalisasi. Di sisi lain kemampuan ekonomi
masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan
hidup tenaga guru, pada akhirnya menutut adanya kebijakan
pendidikan yang membebaskan anak didik dari biaya proses
pembelajaran, di sisi lain tenaga pendidik dilakukan upaya
peningkatan yang menyerap biaya yang tinggi diikuti dengan tuntutan
perbaikan sarana seperti gedung dan perlakuan otonomi daerah di
mana pada ujung-ujungnya melahirkan berbagai isu, seperti isu
pendidikan gratis tidak jalan dan kalau jalan, ternyata kemudian
terjadi pemungutan oleh guru dengan berbagai kebijakan yang
diperlakukan, isu penguliran dana bos yang dalam implementasinya
melahirkan masalah seperti terjadinya dugaan korupsi, gedung sekolah
yang tidak terawat akibat dari ketidakmampuan daerah otonom untuk
membiayai, dan begitu banyak faktor penyebab dari terjadinya isu isu.
3. masalahnya dalam varian paradigma yang berbeda yang artinya
masalah dapat terjadi pada perumusan namun setelah dicarikan jalan
pemecahannya akan muncul masalah dalam paradigma implementasi,
demikian pula bisa muncul pada paradigma evaluasi. Contoh: isu
bersumber dari kehendak otoritas karena inisiatif dan karena prakarsa,
dapat pula dari dampak keberlakuan sesuatu kebijakan. Oleh karena
itu untuk memahami dinamika isu kebijakan dapatlah melalui alur
berpikir sebagai berikut:
Isu > perumusan pemecahannya > diimplementasikan > dievaluasi >
isu baru > perumusan kembali (reformulation) > diimplementasikan
kembali (reimplementation) > dievaluasi kembali (reevaluation) dan
4. seterusnya berlangsung secara terus menerus sehingga nampak
dinamika isu dalam proses kebijakan.
Kebijakan pemerintah bertujuan mengatur, sehingga aktualisasinya
pada aturan perundang-undangan, apakah aturan yang baru akan
dibentuk ataukah pada aturan yang telah ada tetapi akan dirumuskan
kembali karena terjadinya isu (permasalahan) dalam aplikasinya.
2.2 aktualisasi kebijakan pemerintah
Kebijakan sebagai pernyataan kehendak atas pilihan alternatif yang
dikehendaki untuk dilakukan dan yang dibangun atas dasar pengaturan
kehendak, dalam aktualisasinya dirumuskan ke dalam bentuk aturan
perundang-undangan. Secara hierarkis aturan tersebut berlaku sesuai
keperluan kebijakan dalam garis hubungan kewenangan kelembagaan.
Di dalam garis hubungan kewenangan kelembagaan pemerintahan,
kehendak diawali oleh kesepakatan kehendak politik dalam rangka
pendirian negara. Dimensi awal yang nampak dalam kebijakan adalah
kebijakan pilitik yang dirumuskan ke dalam suatu kesepakatan yang
dapat disebut sebagai kebijakan hukum dalam bentuk undang-undang
dasar.
Kebijakan negara dalam bentuk kebijakan hukum yang disepakati
dalam tata urutan kebijakan berkedudukan sebagai kebijakan strategis
yang tertinggi. Dari sanalah lahir berbagai kebijakan dalam berbagai
aktualisasi yang secara hierarkis dimulai dari kebijakan tertinggi
setelah undang-undang dasar, hingga pada tingkat terbawah seperti
peraturan-peraturan daerah.
5. Organisasi pemerintahan negara republik indonesia berdasarkan
kebijakan hukum yang tertuang dalam undang undang dasar 1945,
dalam penyelenggaraannya membagi pemerintahan pusat dengan
pemerintahan daerah dan desa. Pada tingkat pemerintahan pusat,
penyelenggaraan didasarkan pada kebijakan kebijakan yang
dirumuskan dan diperlakukan dalam berbagai dimensi dan dinamika
yang secara aktual dapat disebutkan secara hierarkis sebagai berikut:
1. kebijakan politik teraktualisasikan ke dalam kebijakan hukum
dalam bentuk undang-undang yang secara hierarkis sebagai berikut:
dalam bentuk undang-undang yang secara konseptual diartikan
sebagai aturan hukum yang karena bentuknya disebut undang undang
dan isinya mengikat setiap penduduk.
Undang undang dalam arti formal adalah tiap keputusan pemerintah
yang merupakan undang undang karena cara pembentukannya.
Menurut undang undang dasar 1945 undang undang dibentuk oleh
presiden dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat 1) dan dapat pula oleh
DPR atas inisiatif sendiri asal saja mendapatkan pengesahan presiden
(pasal 21 ayat 1 dan 2). Baik formal maupun materiil, undang undang
dilihat dalam konteks kebijakan adalah merupakan kebijakan strategis
yang dilakukan oleh pemerintah (dalam artian yang sempit). Hal ini
disebabkan karena keberlakuannya yang umum dalam suatu wilayah
yang luas atau dalam wilayah wilayah tertentu dan atau umum dalam
hal hal tertentu. Sifatnya yang umum itulah menyebabkan undang
undang dapat menyelesaikan tuntutan lingkungan yang berubah dan
penuh ketidakpastian. Hal itu akan diperhadapkan dengan begitu
banyak alternatif yang harus dipilih. Pilihan alternatif yang terbaik
6. itulah yang secara konseptual disebut sebagai sesuatu yang strategis
(salusu, 1996) dan demikian pula oleh gasperz (1988)
2. kebijakan pemerintah yang diaktualisasikan ke dalam kebijakan
adminsitrasi dan politik dalam bentuk peraturan pemerintah disingkat
PP, secara konseptual adalah aturan hukum yang karena terjadinya
dibuat oleh pemerintah (dalam arti sempit), dan karena isinya adalah
merupakan keputusan pemerintah (dalam arti sempit) untuk
menjalankan seluruh kehendak dalam berbagai dimensi yang terdapat
dalam kebijakan hukum yang disebut UU.
Peraturan pemerintah dimaksudkan dalam konteks kebijakan disebut
sebagai kebijakan taktis operasional untuk kemudian ditindaklanjuti
oleh kebijakan kebijakan teknis operasional seperti keputusan menteri.
Sedangkan pada tingkat pemerintahan daerah (provinsi dan kabupaten
serta kota), penyelenggaraan selain didasarkan pada keberlakuan
kebijakan kebijakan pada tingkat yang dalam dimensi secara hierarkis
(mustopadidjaya, 1988) dapat disebutkan sebagai berikut:
1. kebijakan politik yang diaktualisasikan oleh kebijakan hukum
dalam bentuk peraturan daerah, secara konseptual diartikan sebagai
kehendak yang dituangkan ke dalam bentuk aturan hukum yang
terjadinya dibentuk oleh DPRD dalam hal isinya disebut keputusan
yang mengatur sesuatu hal yang umum dalam wilayah daerah dan hal
hal tertentu dalam wilayah daerah.
Peraturan daerah sebagai suatu kebijakan strategis di tingkat
pemerintahan daerah (mustopadidjaya, 1988) dalam pelaksanaannya
dijabarkan oleh eksekutif (kepala daerah) ke dalam kebijakan
adminstratif.
7. 2. kebijakan kepala daerah yang diaktualisasikan ke dalam kebijakan
administrasi dalam bentuk keputusan bupati kepala daerah / walikota
kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah sesuai
fungsi dan tugasnya dalam berbagai dimensi kehidupan.
Keputusan bupati kepala daerah / walikota kepala daerah sebagai
suatu kebijakan disebut sebagai kebijakan taktis operasional
(mustodidjaya, 1988) diimplementasikan selanjutnya oleh kebijakan
kebijakan teknis operasional.
Pada tingkat pemerintahan desa selain didasarkan pada kebijakan
kebijakan nasional, provinsi dan kabupaten / kota, penyelenggaraan di
dasarkan pada kebijakan tingkat desa yang dalam dimensi hierarkis
dapat disebutkan sebagai berikut:
1. kebijakan politik yang diaktualissikan ke dalam kebijakan hukum
dalam bentuk keputusan desa secara konseptual merupakan aturan
hukum yang karena bentuknya merupakan produk lembaga
musyawarah desa atau lembaga yang sama kedudukannya dan karena
isinya memuat aturan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan
otonomi desa.
2. kebijakan kepada desa sebagai pelaksanaan kebijakan hukum dalam
bentuk keputusan desa diaktualisasikan ke dalam kebijakan
adminsitrasi berbagai dimensi dalam bentuk keputusan kepala desa.
Uraian ketiga aktualisasi kebijakan pada tingkat tingkat pemerintahan
berdasarkan undang undang nomor 5 tahun 1974 memberikan
petunjuk bahwa dari sekian kebijakan yang berlangsung, ada tiga
tingkat kebijakan yang selalu ada dalam aktualisasi kebijakan yang
8. berlangsung yaitu : kebijakan strategis, kebijakan taktis operasional,
kebijakan teknis operasional.
Kebijakan strategis adalah kebijakan yang dicirikan oleh sejumlah
ketidakpastian dan berorientasi ke masa depan. Di sinilah dituntut
kemampuan suatu kebijakan untuk dapat menyesuaikan tuntutan
lingkungan yang berubah dan berbeda, sebagaimana keberlakuan
sesuatu undang undang di tingkat pemerintahan pusat, peraturan
daerah di tingkat pemerintahan daerah.
Kebijakan taktis operasional adalah kebijakan yang berhubungan
dengan kegiatan yang harus dilaksanakan dalam jangka waktu yang
pendek dan berkaitan dengan penentuan sumber daya untuk mencapai
tujuan.
Kebijakan teknis operasional adalah kebijakan yang berisikan standar
standar yang harus diperlakukan. Hasil yang bersifat deterministik
yang diharapkan, seperti kebijakan intensifikasi dalam rangka
peningkatan perolehan pajak daerah adalah kebijakan kebijakan yang
bersifat teknis operasional.
Penulis melakukan identifikasi dan klasifikasi atas kebijakan dan
aktualisasinya dalam aturan perundangan berdasarkan tingkat sebagai
berikut:
2.3 sistem dan proses kebijakan pemerintah
Secara konseptual, sistem dapat diartikan ‘’cara’’ dan dapat pula di
pahami sebagai komponen komponen dalam suatu keseluruhan. Hal
itu dapat diartikan dalam dua sisi yaitu dalam artian yang statis dan
dalam artian yang dinamis. Jika pemahaman diarahkan pada sisi yang
9. statis maka sistem diartikan sebagai totalitas dari sejumlah komponen
yang saling berinterdefendensi, saling interkoneksitas. Pada sisi yang
kedua, sistem diarahkan pada pengertian proses, di mana setidak
tidaknya ada tiga komponen yang berlangsung dalam suatu proses, di
mana ada awal kegiatan yang diakhiri oleh kegiatan namun dalam
akhir kegiatan akan memungkinkan terjadinya awal baru dari sesuatu
kegiatan. Demikian seterusnya yang terjadi, dimana dalam proses
kebijakan selalu ada input dalam bentuk perumusan yang
bertransportasi ke dalam kegiatan implementasi yang pada akhirnya
akan melahirkan sesuatu hasil yang dapat dievaluasi sebagai
dampaknya.
Di dalam kebijakan (pemerintah), sistem statisnya akan menampak
dalam totalitas komponen yang oleh nasrun (1999) totalitas itu sendiri
dari :
(1) tataran hierarkis yang terdiri dari kepemimpinan negara,
kepemimpinan politik, sosial, dan lain lain
(2) tataran horizontal yang terdiri dari berbagai bidang seperti bidang
politik, bidang ekonomi dan lain lainnya.
Sedangkan sistem dinamikanya, oleh nasrun (1999) adalah terdiri dari
berbagai bidang seperti bidang politik, bidang ekonomi dan terdiri
dari:
1. Komponen kondisi
2. Komponen trasnformasi
3. Komponen keputusan
4. Komponen implementasi dalam berbagai aspek kehidupan
seperti pelayanan dan pemberdayaan.
10. Pemahaman terhadap kebijakan pemerintah dalam kedua sisi haruslah
digunakan, ketika ada kehendak memahami sistem kehidupan nasional
dan lokal (daerah). Pada saat pemahaman atas kondisi kehidupan
nasional atau lokal dalam perspektif kebijakan, kebijakan publik
dapatlah dalam upaya kepelayanan, pemberdayaan, kewenangan, dan
kepemimpinan, guna meminimalkan potensi konflik dan
mengoptimalkan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebijakan pemerintah berkaitan dengan sistem kehidupan nasional
yang berada dalam kondisi yang berubah dari waktu ke waktu, ada
saat saat potensi konflik dapat direndam dengan upaya penciptaan
kesatuan bentuk dalam segala aspek kehidupan nasional, dan ada saat
saat dimana konflik harus dikembangkan dalam alam demokratisasi
guna pemberdayaan yang diharapkan. Hal ini akan berbeda beda pula
dalam setiap konteks kehidupan, seperti konteks politik, administrasi
negara dan pemerintahan daerah.
Nasrun (1999) menegaskan bahwa kebijakan pemerintah dalam
penciptaan sistem kehidupan nasional dalam tataran tata laksana
administrasi negara, komponenn kebijakan terdiri dari:
1. Komponen struktural yang terdiri dari sub komponen:
Umum strategis
Operasional
Teknis administratif
2. Komponen departemental.
Sedangkan untuk sistem pemerintahan nasional, nasrun (1999)
membagi ke dalam 3 sub komponen, yaitu:
11. 1) Kelembagaan tertinggi dan tinggi negara
2) Kekuatan kekuatan politik
3) Masyarakat indonesia secara keseluruhan
Untuk tataran pemerintah daerah, nasrun (1999) membagi kedalam 3
sub komponen utama, yaitu:
1. suprastruktur. Suprastruktur berkaitan dengan kelembagaan
pemerintah daerah.
2. infra. Infra berkaitan dengan kekuatan kekuatan politik.
3. sub struktur. Adalah masyarakat lokal pada umumnya.
Khusus pada sistem kebijakn (pemerintah) dalam konteks yang mikro,
dalam proses kebijakan hanya ada tiga komponen yang saling
berinteraksi, yaitu:
1. kebijakan itu sendiri
2. pelaku kebijakan
3. lingkungan
Kebijakan adalah isi yang menjadi komitmen dari kebijakan,
sedangkan pelaku kebijakan yang disebut pula sebagai stakeholder.
Adapun yang dimaksudkan dengan lingkungan adalah keadaan sosial
politik, sosial budaya, sosial ekonomi, pertananan dan keamanan,
kehidupan lokal, basional, regional, dan internasional, yang secara
mengkhusus ketiga aspek dalam sistem ini akan dibahas pada bab
berikutnya.
Menurut dye (dunn,1981), pola yang diperlihatkan oleh sistem
kebijakan menunjukkan bahwa ada 3 sub sistem yang saling
berinteraksi dalam satu kesatuan sistem tindakan. Terlihat sub sistem
stakeholder atau para pelaku kebijakan berinteraksi dengan
12. lingkungan kebijakan(policy environment) dan dengan kebijakan
publik yang diperlukan (public policy). Interaksi berlangsung secara
timbal balik dalam pengertian para stakeholder yang memengaruhi
lingkungan dan sebaliknya lingkungan akan mempengaruhi para
pelaku kebijakan. Artinya para pelaku kebijakan terhadap lingkungan
berupaya memengaruhi, mengendalikan, merencanakan, mengatur dan
bisa mungkin memaksakan kehendaknya, sebaliknya lingkungan
kebijakan akan mempengaruhi pemikiran para pelaku kebijakan,
memberi warna terhadap apa yang dilakukan oleh para pelaku
kebijakan dan bisa mungkin akan dapat menentukan dan dapat
memaksakan kehendaknya terhadap para pelaku kebijakan.
Lingkungan kebijakan dapat berupa manusia dalam berbagai statusnya
seperti para administrator, para pemerintahan dalam berbagai eselon,
para publik dalam berbagai peran sebagai kelompok sasaran (target
group), dapat berupa alam seperti lingkungan alamiah, geografis, dan
aspek alam lainnya.
Interaksi sub sistem lainnya adalah interaksi para pelaku kebijakan
dengan kebijakan itu sendiri. Para pelaku kebijakan adalah manusia
dalam beragam otoritasnya sedangkan kebijakan publik adalah
kehendak otoritas yang tersimpul dalam komitmen yang terumus dan
yang akan dilaksanakan. Interaksi yang berlangsung di antara dua sub
sistem ini berlangsung secara timbal balik dalam artian bahwa
terumus dan terlaksananya komitmen adalah ditentukan oleh para
pelaku kebijakan sebaliknya komitmen yang menjadi isi kebijakan
publik akan menentukan luas sempitnya kegiatan yang dilaksanakan
13. atau mudah sulitnya kegiatan terlaksana dan atau tercapai
sebagaimana yang diharapkan oleh komitmen itu sendiri.
Sub sistem lainnya yang berinteraksi secara timbal balik adalah sub
sistem lingkungan kebijakan dengan kebijakan itu sendiri. Interaksi
akan berlangsung berupa pengaruh lingkungan terhadap komitmen
dari kebijakan itu sendiri dan sebaliknya isi kebijakan akan
menentukan reaksi atau aksi apa yang terjadi dan dilakukan oleh
lingkungan, apakah reaksi yang ditimbulkan oleh komitmen akan
memperlihatkan warna dari lingkungan di mana kebijakan itu
diperlakukan dan bisa mungkin pada saat dirumuskan. Dapat saja
terjadi lingkungan akan bergerak aktif dan dinamis jika isi atau
komitmen dari kebijakan publik menghendakinya. Demikian pula jika
terjadi sebaliknya atau lingkungan akan bergerak fasif ketika
komitmen menghendaki demikian.
Interaksi dan atau interinfluecing atau bisa mungkin terjadi
interdefedensi antar sesama sub sistem, menempatkan sistem
kebijakan sebagai sistem interaksi timbali balik baik secara partial
maupun secara holistik, sebagai sistem interinfluencing dan atau
sistem interdefedensi.
Sistem kebijakan dalam konteks teori dapat dijadikan sebagai teori di
dalam melakukan pengkajian atas kegiaan yang berlangsung dalam
proses kebijakan pada setiap tahapan.
Tiga sub sistem pada tahapab perumusan jika dikaji berdasarkan teori
sistem input, proses, dan outpot, dapat dideskritif sebagai berikut:
Sub sistem stakeholder adalah terdiri pelaku perumus yang terdiri
dari: publik sebagai pengisu yang bisa mungkin terdiri dari anggota
14. dan kelompok masyarakat, seorang dan atau kelompok warga, seorang
dan kelompok penduduk, sebagai rakyat dari suatu kawasan tertentu
kepentingan, para ilmuwan, para media massa, pemerintah sebagai
pemegang otoritas baik dalam kapasitas jabatan maupun dalam
kapasitas kelembagaan.
Sub sistem lingkungan kebijakan adalah segala sesuatu yang berada
dan berpengaruh terhadap perumusan suatu kebijakan. Sesuatu yang
dimaksud dapat berupa kondisi dan situasi, manusia dan segala
keprilakuan. Kondisi dan situasi bisa mungkin berkaitan dengan
lingkungan alam seperti realitas geografis, realitas alam fisik lainnya,
dan bisa mungkin yang non alamiah seperti kondisi sosial ekonomi,
sosial budaya dan sosial politik. Lingkungan yang mempengaruhi
perumusan kebijakan sebagaimana adanya sehingga setiap rumusan
suatu kebijakan akan beroleh warna yang dikehendaki oleh
lingkungan, namun warna apa yang seharusnya dapat signifikan
dengan kebijakan yang dirumuskan adalah tergantung pada manusia
pengendali lingkungan. Manusia pengendali lingkungan dapat saja
berasal dari publik dari berbagai peran dan statusnya, lebih lebih
berasal dari pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam keselamatan
dan kelestarian serta dalam pengembangan lingkungan.
Sub sistem kebijakan publik tidak diartikan sebagai suatu kebijakan
yang secara utuh keberadaannya dalam arti termasuk di dalamnya para
stakeholder dan lingkungan tetapi diarahkan dalam pengertian
komitmen yang dirumuskan menjadi isi dari suatu kebijakan publik.
Sebagai komitmen berawal dari berbagai harapan, berbagai tuntutan,
berbagai keinginan dan kebutuhan, yang disampaikan oleh publik
15. setelah melalui identifikasi atas komitmen lewat agenda setting dan
agenda government, yang berakhir dengan keputusan berupa isi
kebijakan yang disampaikan dalam formula pernyataan kebijakan oleh
pemegang otoritas (pemerintah atau lembaga), dan untuk kemudian
dituangkan ke dalam aturan perundangan.
Teori sistem menjelaskan bahwa input yang dijadikan sumber dan
sekaligus sebagai penyebab dilakukannya perumusan kebijakan adalah
berbagai harapan, tuntutan, keinginan dan kebutuhan dari publik yang
disampaikan lewat isu yang terangkat pada berbagai media massa
yang mengarah pada terbentuknya opini publik serta berbagai
permasalahan yang terangkat lewat berbagai forum publik sebagai
forum ilmiah seperti seminar dan semacamnya.
Isu isu yang berkembang serta pendapat dan berbagai forum dalam
proses waktu akan mengkristal dalam berbagai pendapat publik dan
mendorong terjadinya identifikasi atas isu berdasarkan urgensi dan
prioritasnya hingga tersetting dalam suatu agenda yang memerlukan
tindak lanjut pemecahannya. Urgensinya persoalan yang telah
tersetting oleh publik mendorong pemerintah sebagai pemegang
otoritas dalam kehidupan publik menjadikan persoalan yang telah
tersetting menjadi agenda yang harus diselesaikan melalui kebijakan
yang harus diperlakukan.
Pengagendaan pemerintah melalui kebijakan yang akan diperlakukan
dalam hal hal tertentu memerlukan kesepakatan politik dari lembaga
politik yang ada seperti lembaga perwakilan publik (DPR/D) jika hal
itu berkenaan dengan hal yang stratejik, dan dalam hal tertentu
16. pengagendaan pemerintah atas persoalan yang telah tersetting
dilakukan secara sepihak jika hal berkenaan dengan kebijakan taktis.
Baik kesepakatan dengan lembaga perwakilan publik maupun
kesepakatan secara sepihak dalam artian oleh eksekutif tanpa
melibatkan pihak legislatif, memerlukan legitimasi atas keberlakuan.
Dari proses agenda setting hingga terformulasi dengan memperoleh
legitimasi keberlakuan, semuanya itu adalah merupakan proses
perumusan kebijakan dalam suatu sistem perumusan yang melibatkan
para pelaku perumus kebijakan yang terdiri dari pemerintah, lembaga
politik dan partisipasi politik serta berbagai pengaruh yang berasal
dari lingkungan.
Hasil dari perumusan itulah yang disebut komitmen yang secara
normatif dirumuskan ke dalam bentuk aturan hukum sesuai tata
aturannya. Ini berarti jika komitmen yang dihasilkan adalah yang
bersifat stratejik maka bentuk aturan hukum tempat penuangan
komitmen adalah pada undang undang dasar, undang undang dan
peraturan daerah. Sedangkan yang tidak bersifat stratejik adalah pada
peraturan pemerintah dan yang sederajat dengan itu atau yang berada
di bawahnya serta pada peraturan gubernur, bupati dan atau walikota
jika pada tingkat pemerintah daerah.
Pada tahapan implementasi, ketiga sub sistem ini pun dapat digunakan
sebagai instrumen pengkajian, apakah sistem implementasi kebijakan
mendasarkan pada teori sistem input, proses dan output atau pada teori
sistem lainnya.
17. Telah dijelaskan bahwa di dalam implementasi kebijakan akan terjadi
sejumlah faktor yang berinteraksi satu dengan yang lain dan faktor
dimaksud terdiri dari:
1) Isi kebijakan
2) Lingkungan politik
3) Kelompok sasaran
4) Lingkungan
Jika keempat faktor dipandang sebagai sub sub sistem yang
berinteraksi satu dengan lainnya, dua faktor yang terdiri dari faktor
lingkungan politik dan faktor lingkungan dapat dikaji sebagai satu
kesatuan sub sistem lingkungan kebijakan. Dengan demikia secara
teoritis, dalam sistem implementasi kebijakan, sasaran, dan sub sistem
lingkungan kebijakan dapat dijadikan instrumen dalam melihat
keberlakuan sistem input, proses dan output dalam sistem
implementasi kebijakan. Hanya saja pada sistem implementasi
kebijakan, sub sistem yang memengaruhi dan yang dipengaruhi akan
tetapi keberlakuan komitmen sebagai sub sistem akan ditentukan oleh
tiga faktor, yaitu aparat yang mengimplementasikan komitmen,
sumber daya sebagai faktor pendukung dalam implementasi serta
manajemen sebagai faktor yang melakukan pengelolaan atas
komitmen yang diimplementasikan, mulai dari kegiatan perencanaan
dalam pelaksanaan kegiatan, pelaksanaan itu sendiri hingga pada
kegiatan pengawasan atas kegiatan yang berlangsung.
Alur pikir dalam sistem implementasi diungkapkan di atas
menunjukkan adanya alur feedback sebagai akibat dari dampak output
pada sistem implementasi yang memungkinkan munculnya siu baru
18. guna reformulasi kebijakan yang berjalan. Alur pikir demikian
memberikan petunjuk bahwa sistem implementasi kebijakan
mengaplikasikan sistem terbuka. Sistem implementasi demikian
sangat signifikan dengan sistem evaluasi kebijakan. Artinya, pada saat
sistem implementasi kebijakan dikaji dan dipahami pada saat yang
sama pengkajian sistem evaluasi kebijakan berlangsung.
Operasionalisasi dari sistem kebijakan dalam prosesnya dapat
dijelaskan lebih konkret dengan menampilkan kasus kasus kebijakan
sebagai berikut;
Contoh kasus: ketika para pelaku kebijakan akan memperlakukan
kebijakan. Kenaikan bahan bakar minyak pemerintah mengambil
tindakan dalam bentuk pengaturan dan bersifat memaksakan
kehendaknya sementara pelaku lainnya seperti masyarakat melakukan
reaksi penolakan baik itu yang terjadi lewat perjuangan masyarakat
melalui berbagai kelompok kepentingan maupun reaksi datang pula
dari legislatif sebagai lembaga kedaulatan rakyat sekaligus sebagai
mitra eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Reaksi yang
terjadi serta aspek kepentingan yang berupaya mempengaruhi
keputusan atau kebijakan publik yang akan diperlakukan. Sebaliknya
para stakeholder dengan berbagai stratejinya berupaya mempengaruhi
kehendak lingkungan dan kehendak para kelompok sasaran sebagai
mitra stakeholder dalam kebijakan. Demikian pula kebijakan tu
sendiri berinteraksi secara timbal balik dengan lingkungan kebijakan,
oleh karena bahan bakar minyak sangat terkait dengan alam dan
manusia di mana keberadaannya tidak lagi menyangkut manusia dan
alam secara mendunia karena keterbatasan persediaan sementara
19. kebutuhan yang semakin meningkat maka kebijakan bahan bakar
minyak adalah menjadi kebijakan nasional yang terkait dengan
kebijakan internasional dan oleh karena itu sangat berinteraksi dengan
lingkungan kebijakan dalam artian yang luas dalam pengertian tidak
saja bersangkut paut dengan kepentingan nasional dari suatu negara
tetapi terkait kepentingan nasional dalam kehidupan internasional.
Sebaliknya karena pengaruh lingkungan kebijakan maka isi penetapan
kebijakan publik pun tidak dapat dilakukan hanya menuntut
pertimbangan sepihak tetapi harus dalam konteks kepentingan
lingkungan internasional. Harga bahan bakar minyak akan mengikuti
struktur harga yang berlaku secara internasional dengan
mempertimbangkan sejumlah faktor yang ada dalam negeri seperti
subsidi, dan berbagai faktor lainnya.
Sistem kebijakan (statis dan dinamis) di dalam operasionalisasinya
akan menampak pada proses perumusan hingga dampak yang
ditimbulkan, dan pada implementasi secara khusus. Di dalam proses
perumusan, komponen yang tampak dalam satu totalitas maupun
dalam tahapan tahapan kegiatan (perumusan, implementasi, dan
dampak) adalah terdiri dari:
1. pengagendaan isu
2. penetapan isu menjadi agenda pemerintah
3. perumusan kebijakan dan program serta pengesahnya
4. pernyataan kebiijakan
5. implementasi kebijakan
6. tindakan kebijakan
7. dampak kebijakan
20. Pola tahapan proses kebijakan menunjukkan bahwa ada 2 sub sistem
utama sebagai dua kutud yang bermain dalam proses yaitu kutub sub
sistem tahapan kebijakan (policy stage) sub sistem baik pada kutub
tahapan maupun pada kutub hasil. Pada kutub tahapan, maka ketiga
sub sistem terdiri dari sub sistem agenda setting, sub sistem policy and
program formulation and legitimation, dan sub sistem program
implementasi. Sedangkan pada sub sistem hasil kebijakan (produk
policy), ada 4 (empat) sub sistem yaitu sub sistem produces of agenda
government, sub sistem produces policy statemen, sub sistem produce
policy action, dan sub sistem policy impact.
Di dalam interkasi sub sub sistem pada dua kutub sub sistem terjadilan
proses mulai dari proses awal dari agenda setting yang diarahkan
pemerintah inilah yang untuk kemudian dalam prosesnya diarahkan
kepada para perumusan kebijakan dan program serta penetapan pada
penuangan dalam aturan hukum melalui proses legitislasi guna
legtimasi kebijakan. Proses selanjutnya diarahkan kepada hasil berupa
pernyataan kebijakan (statement policy), untuk kemudian diarahkan
kepada program implementasi. Dari program implementasi inilah
dilakukan kegiatan dalam bentuk aksi kebijakan (policy action), yang
untuk keudian diarahkan pada pengasuh yang dikehendaki oleh
kebijakan (policy impact). Dari policy impact inilah maka untuk
dilakukan kembali evaluasi guna perumusan kembali atas kebijakan
yang diperlakukan maka ada 2 indikator yang harus dinilai, yaitu:
assessment of policy impact dan decisions on future of policy or
program.
21. Pola tahapan proses kebijakan dapat dijelaskan dengan contoh dengan
mengetengahkan kasus yang berkaitan dengan keberlakuan suatu
kebijakan pada tingkat nasional dan kasus kebijakan pada tingkat
lokal seperti berikut ini.
Contoh keberlakuan undang undang nomor 12 tahun 2004 sebagai
suatu kebijakan stratejik yang diperlakukan secara nasional terkecuali
untuk daerah papua dan aceh naggroe darussalam, pada saat perlakuan
kebijakan isu yang bermunculan beragam versi pemikiran dan
pandangan serta berbagai keinginan untuk melakukan perubahan dan
dengan sendirinya persoalan pro dan kontra adalah sesuatu yang
lumrah terjadi dan berkembang sebagai isu yang menarik perhatian
para stakeholder kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah. Tidak terluput sejumlah kemauan kemauan politik
pemerintahan yang diperlakukan secara nasional. Isu berkembang
pada prosesnya akan mengerucut pada identifikasi dan klasifikasi isu
yang dapat dijadikan agenda setting oleh para pelaku kebijakan. Isu
isu yang berkembang biasanya melalui media massa dan simpulan
simpulan atau rekomendasi dari kegiatan ilmiah seperti seminar,
lokakarya dan tidak terluput pula aspirasi yang masuk baik yang
ditujukan kepada eksekutif maupun yang ditujukan ke legislatif
melalui gerakan demonstratif dari berbagai masa dan kelompok
kepentingan.
Setelah isu menjadi agenda setting, dilanjutkan kepada dewan
perwakilan rakyat selaku pemegang kekuasaan dalam bidang
legislatif, bidang yang memiliki otoritas dalam perumusan undang
undang, perumusan kebijakan publik yang akan diperlakukan secara
22. nasional, dan kepada pemerintah dalam artian sebagai eksekutif jika
hal itu berkaitan dengan peraturan pemerintah sebagai kebijakan taktis
yang secara formal akan menjadi agenda pemerintahan dalam artian
luas (legislatif dan eksekutif) dan dalam artian sempit (eksekutif saja)
di bawah pengawasan mahkamah konsitusi atas kekuatan hukum
keberlakuannya.
Agenda government akan dirumuskan sebagai suatu kebijakan
sekaligus perumusan kegiatan dalam program untuk kemudian
dituangkan ke dalam aturan sesuai kebutuhan berdasarkan aturan
perundang undangan.
Rumusan kebijakan yang telah beroleh legitimasi akan disampaikan
sebagai hasil dari suatu kebijakan dan penyampaian dilakukan dalam
bentuk pernyataan kebijakan atau pernyataan atas inti isi dari
kebijakan baik itu bersangkut paut dengan kebijakan stratejik maupun
yang taktis. Inti kebijakan dimaksud seperti otonomi daerah dengan
paradigma pemberdayaan daerah. Berdasarkan pernyataan pernyataan
kebijakan, dilakukan penyusunan progam kegiatan dalam rangka
pelaksanaan kebijakan ke dalam program tindakan (aksi) melalui
identifikasi kegiatan program ke dalam bidang bidang / sektor sektor
unntuk keudian dijabarkan ke dalam berbagai kegiatan yang secara
aktual telah dirumuskan dalam satu kesatuan kegiatan dan anggaran
pembiayaan, apakah dalam kegiatan yang berisfat rutinitas ataukah
dalam kegiatan pembangunan yang terumuskan dalam sejumlah
proyek (satuan kegiatan dan anggaran pembangunan).
23. Contoh kasus kebijakan pada tingkat lokal: mengetengahkan aplikasi
undang undang sebagaimana undang undang nomor 12 tahun 2004
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah).
Berpedoman pada kebijakan stratejik dan taktis yang diperlakukan
secara nasional, maka dalam rangka implementasi atas isi kebijakan
nasional tersebut daerah provinsi dan kabupaten atau kota melakukan
perumusan kebijakan statejik di masing masing tingkat pemerintahan
daerah. Sebelumnya, dalam rangka pembentukan lembaga
pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif), kebijakan yang
menjadi acuan adalah kebijakan yang diperlakukan secara nasional.
Setelah terbentuk lembaga pemerintahan (DPRD dan gubernur atau
bupati dan atau walikota hasil pemilihan umum tingkat lokal) DPRD
merumuskan kebijakan stratejik berkenaan dengan perintah dari apa
yang menjadi isi dari kebijakan nasional, yaitu pemberdayaan
masyarakat dan daerah perumusan yang dilakukan dalam bentuk
peraturan daerah. Untuk melaksanakan kebijakan stratejik di tingkat
lokal inilah maka gubernur dan atau bupati dan atau walikota
merumuskan kebijakan taktis guna pelaksanaan peraturan daerah
dalam bentuk peraturan gubernur, bupati atau walikota atau dalam
bentuk aturan hukum lain yang dibenarkan oleh tata aturan hukum di
indonesia. Pelaksanaan kebijakan taktis oleh gubernur, bupati dan atau
walikota inilah yang dijabarkan lebih lanjut dalam kebijakan teknis
oleh perangkat pemerintahan daerah seperti oleh dinas, badan dan unit
pelaksana teknis yang ada.
Yang sebenarnya suatu kebijakan stratejik yang diperlakukan secara
nasional, pada tingkat pemerintahan daerah ia berlaku sebagai
24. kebijakan taktis tetapi karena hak otonomi yang dimiliki daerah maka
seiring dengan keberlakuan kebijakan taktis oleh pemerintah pusat di
tingkat pemerintahan daerah, pemerintah daerah berkewenangan pula
memperlakukan suatu kebijakan stratejik lewat peraturan daerah.
Berlangsungnya kegiatan tidak sekadar dilihat dalam pencapaian
tujuan dari kebijakan tetapi sebelumnya dilakukan evaluasi melalui
kebijakan atas dampaknya. Apakah otonomi daerah yang digulirakan
dapat memberdayakan masyarakat dan daerah di dalam kehidupan
negara kesatuan republik indonesia. Demikian pola tahapan dalam
proses kebijakan berlangsung secara terus menerus dalam suatu sistem
dan proses yang berkesinambungan, dalam arti setiap hasil
implementasi akan dilakukan evaluasi atas dampak yang terjadi guna
perbaikan dalam perumsan selanjutnya. Itulah yang dimaksud dengan
sistem dalam proses yang memperlihatkan interdefedensi komponen
dalam satu kesatuan sistem.