1. Dampak dan Implikasi Bisnis yang Beretika
Disusun oleh :
Handini Cekka 01720000
Puja Lestari 0172000076
Wulandari 01720000
Saliamah Putri 01720000
Vina Hamidah 01720000
2. BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etika bisnis merupakan cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek
yang berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam
membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham,
masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan
kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika
sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen
dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan
dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang profesional.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui arti dari etika bisnis dan bagaimana
etika bisnis ini yang di terapkan akan berdampak positif dan bagaimana bila etika bisnis ini bila
tidak di terapkan.
1.3 Ruang Lingkup Materi
Etika bisnis adalah cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang
berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam
membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan atau mitra kerja, pemegang saham,
masyarakat.
3. BAB II
DASAR TEORI
2.1 Pengertian Etika Bisnis
Etika bisnis adalah cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang
berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam
membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham,
masyarakat.
Perusahaan meyakini prinsip bisnis yang baik adalah bisnis yang beretika, yakni bisnis dengan
kinerja unggul dan berkesinambungan yang dijalankan dengan mentaati kaidah-kaidah etika
sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Etika Bisnis dapat menjadi standar dan pedoman bagi seluruh karyawan termasuk manajemen
dan menjadikannya sebagai pedoman untuk melaksanakan pekerjaan sehari-hari dengan
dilandasi moral yang luhur, jujur, transparan dan sikap yang professional
2.2 Ciri- Ciri Bisnis yang Beretika
1. Ketaatan pada Hukum dan Aturan
Pelaku usaha dikatakan menyimpang dari aturan dan hukum bila tidak mengindahkan ketentuan-
ketentuan dalam undang-undang (contoh: Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-
Undang tentang Pangan, Undang-Undang Lingkungan, dsb.) atau mengingkari kesepakatan yang
telah dibuat oleh para pihak, misalnya :
• Pengembang yang menjual rumah dengan mengabaikan persyaratan legalitas maupun
ketentuan standar keselamatan;
• Perusahaan yang mempekerjakan anak, melanggar ketentuan cuti hamil dan cuti bersalin, libur
dan dan istirahat karyawan.
• Perusahaan yang memungut imbalan atau jaminan uang atas pekerjaan yang diberikan kepada
karyawan;
• Perusahaan yang menjual produk yang rusak, daluarsa, dan berbahaya;
Pengelola parkir yang mencantumkan klausula eksonerasi (pengingkaran atau pengalihan
tanggung jawab) atas risiko kehilangan kendaraan atau barang dalam kendaraan yang di parkir di
wilayahnya
• Perusahaan yang menggunakan iklan yang menyesatkan
2.Akuntabilitas
Pelaku dikatakan tidak menerapkan prinsip akuntabilitas bila pelaku usaha tidak menerapkan
prinsip-prinsip usaha yang sehat dan bertanggungjawab, yang meliputi tahapan perencanaan,
perancangan, produksi, pemasaran, penjualan, dan pelayanan purna jual. Asas ini mengharuskan
4. pelaku usaha menjalankan usaha dengan profesional dan bertanggungjawab. Berikut ini contoh
perusahaan yang tidak akuntabel bila:
• Manager investasi yang menanamkan uang klien pada investasi yang berisiko tinggi hanya
demi mengejar ’rente’;
• Produsen yang tidak cermat dalam mengolah produk sehingga membahayakan kesehatan
konsumen;
• Perusahaan periklanan membuat iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, menyudutkan
pesaing, dan cenderung merupakan muslihat.
• Kontraktor bangunan mengabaikan konstruksi bangunan sehingga membahayakan konsumen.
3. Responsibilitas
Responsibilitas adalah suatu sikap bertanggungjawab atas suatu kerugian yang dikeluhkan
konsumen, atau yang didesakkan oleh masyarakat tentang suatu penyimpangan. Perusahaan
mestinya memegang teguh janji yang harus ditepati, dan segera menepatinya. Dalam dunia
usaha, penyimpangan yang banyak terjadi adalah pengalihan tanggungjawab (eksonerasi), yang
mana pelaku usaha secara sepihak memutuskan untuk tidak bertanggungjawab atas risiko
kerugian yang diderita konsumen, meskipun barang tersebut dalam wilayah kekuasaan pengelola
parkir. Contoh pelaku usaha yang tidak bertanggungjawab:
• Penjual menolak memberi ganti rugi atas kerusakan barang yang merugikan pembeli;
• Pengelola parkir yang menolak mengganti kerugian atas kendaraan yang hilang di wilayah
parkirnya;
• Perusahaan yang menolak membantu biaya perawatan rumah sakit pada karyawan yang
mengalami kecelakaan kerja;
4.Transparansi
Pelaku usaha disebut transparan apabila mereka memberikan informasi secara proporsional dan
efektif. Seringkali pelaku usaha sengaja menutupi atau menyembunyikan informasi tertentu
kepada konsumen dengan tujuan mengelabui atau memanipulasi kesan.
Contoh pelanggaran diantaranya:
• Penjual barang tidak menginformasikan cacat yang tersembunyi kepada konsumen;
• Perusahaan pembiayaan konsumen tidak menjelaskan risiko hukum yang timbul bila terjadi
wanprestasi;
• Produsen obat tidak mencantumkan efek samping obat y ang dijual;
5.Kejujuran
Kejujuran adalah suatu nilai dimana pelaku usaha mengatakan sesuatu dengan sebenar-benarnya,
tanpa ada yang dipalsukan atau disembunyikan. Dalam praktik, banyak pelaku usaha yang
membuat iklan atau promosi yang manipulatif, menutupi cacat, membuat kesan yang
menyesatkan, dan sebagainya.
5. Contoh pelanggaran:
• Penjual obat mengklaim obatnya bisa menyembuhkan bermacam-macam penyakit seketika;
• Pemilik toko memasang iklan menjual barang diskon, yang sebenarnya hanya bermaksud
menggiring orang orang membeli barang lain;
• Bank menentukan sepihak menaikkan beban tagihan yang sudah disepakati semula;
6. Independensi
Independen artinya mandiri, tidak dipengaruhi oleh pihak lain. Pelaku usaha yang berbisnis
dibawah tekanan dari pihak lain. Pelaku usaha yang berbisnis dibawah tekanan dari pihak lain
tidak akan bisa menghasilkan produk maupun proses yang bisa dipertanggungjawabkan. Pelaku
usaha yang independen akan berpedoman pada keyakinan dan kompetensinya sehingga produk
yang dihasilkan diyakini aman dan memberi manfaat terbaik bagi konsumen. Contoh adanya
intervensi:
• Pengembang ’menyunat’ spesifikasi konstruksi perumahan agar bisa menyisihkan sejumlah
uang untuk para pejabat pemerintah bagian perijinan.
• Anggota asosiasi usaha dilarang menjual barang atau jasa dibawah harga yang sudah dipatok
oleh asosiasi, meskipun harga rendah tersebut sudah menguntungkan.
• Pengelola media massa hanya boleh menyampaikan berita-berita yang tidak ’menyinggung’
penguasa
7. Empati
Bisnis yang berempati artinya bisnis yang bisa memperlakukan pihak lain sebagaimana dirinya
mau diperlakukan. Ini selaras dengan ajaran ’the golden rule’ .
Contoh pelanggaran diantaranya:
• Perusahaan pembiayaan tidak mau tahu kesulitan konsumen untuk membayar angsuran
meskipun yang bersangkutan sedang di rawat di rumah sakit;
• Penjual menjual produk yang membahayakan keselamatan konsumen;
• Pengerah tenaga kerja memeras para TKI;
2.3 Tujuan Etika Bisnis
Salah satu tujuan etika bisnis yaitu memberikan kesadaran akan moral dan memberikan batasan
kepada para pelaku bisnis dalam menjalankan bisnisnya dengan bersikap baik, sehingga tidak
berperilaku yang dapat merugikan banyak pihak yang ada berkaitan dengan bisnis tersebut.
6. 2.4 Prinsip-Prinsip Pelaku Bisnis
Dalam etika bisnis berlaku prinsip-prinsip yang seharusnya dipatuhi oleh para pelaku bisnis.
Menurut Sonny Keraf, prinsip dimaksud adalah :
1. Prinsip Otonomi, yaitu kemampuan mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan
kesadaran tentang apa yang baik untuk dilakukan dan bertanggung jawab secara moral
atas keputusan yang diambil.
2. Prinsip Kejujuran, bisnis tidak akan bertahan lama apabila tidak berlandaskan kejujuran
karena kejujuran merupakan kunci keberhasilan suatu bisnis (misal, kejujuran dalam
pelaksanaan kontrak, kejujuran terhadap konsumen, kejujuran dalam hubungan kerja dan
lain-lain).
3. Prinsip Keadilan, bahwa tiap orang dalam berbisnis harus mendapat perlakuan yang
sesuai dengan haknya masing-masing, artinya tidak ada yang boleh dirugikan haknya.
4. Prinsip Saling Mengutungkan, agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan,
demikian pula untuk berbisnis yang kompetitif.
5. Prinsip Integritas Moral, prinsip ini merupakan dasar dalam berbisnis dimana para pelaku
bisnis dalam menjalankan usaha bisnis mereka harus menjaga nama baik perusahaan agar
tetap dipercaya dan merupakan perusahaan terbaik.
Di samping 5 prinsip diatas, dalam menciptakan etika bisnis ada beberapa hal yang juga perlu
diperhatikan, antara lain adalah:
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan
pengusaha ke bawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang
berupa peraturan perundang-undangan
7. Tiga Aspek Pokok Dari Bisnis
1. Sudut pandang ekonomis
Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini adalah adanya interaksi antara
produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen dengan konsumen, produsen dengan produsen
dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh
karena itu menjadi kegiatan ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak,
tetapi dilakukan melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. Dari sudut pandang
ekonomis, good business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang
berkualitas etis.
2. Sudut pandang moral
Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar, akan tetapi jangan keuntungan yang
diperoleh tersebut justru merugikan pihak lain. Tidak semua yang bisa kita lakukan boleh
dilakukan juga. Kita harus menghormati kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan,
bahwa dengan itu kita sendiri tidak dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang
lain itu juga perlu dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.
3. Sudut pandang Hukum
Bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat dengan “Hukum” Hukum Dagang atau
Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek
hukum banyak masalah timbul dalam hubungan bisnis, pada taraf nasional maupun international.
Seperti etika, hukum juga merupakan sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang
harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti
daripada etika, karena peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila
terjadi pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal “Quid leges sine
moribus” yang artinya “apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.“
Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu :
1. Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan etis yang muncul
mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial lainnya dimana bisnis beroperasi.
2. Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-pertanyaan yang dalam
perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini mencakup pertanyaan tentang moralitas
8. aktivitas, kebijakan, praktik dan struktur organisasional perusahaan individual sebagai
keseluruhan.
3. Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang muncul seputar individu
tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk pertanyaan tentang moralitas keputusan,
tindakan dan karakter individual.
2.5 Model Etika Dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) dalam Rudito (2007:49) membagi tiga tingkatan manajemen dilihat
dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika dalam bisnisnya, yaitu :
1. Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan
prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama
sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal
organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang
tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-
kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara
individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang
disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.
2. Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral
manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini
sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe
amoral ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional amoral
manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala
keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek
pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah
aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja
punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka
apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini biasanya lebih berorientasi
hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum sebagai pedoman dalam
beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat amoral. Manajemen dengan pola ini
sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang harus dijalankan, namun terkadang secara
sengaja melanggar etika tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka,
misalnya ingin melakukan efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang
9. berpandangan bahwa etika hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka
percaya bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan
moralitas.
Widyahartono (1996:74) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis
dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai
berikut :
Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan dan mendahulukan kepentingan ego-
pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan (game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan
yang ada dalam kehidupan sosial pada umumnya.
Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (sosial responsiveness) akan berada
dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang tak mengenal “values”
yang menghasilkan segala cara.
Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal (karena sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku dan karena law enforcement-nya lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru
menyatakan bahwa praktek bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat
dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka. Bisnis amoral
dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen moral” karena mereka
menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha mencapai laba.
3. Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral
manajemen. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level
standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk
dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa
meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk
dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang
dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti
keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka
dilihat sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktifitas dan tujuan bisnisnya
akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan hukum. Manajer yang
bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip etika seperti, keadilan, kebenaran, dan
aturan-aturan emas (golden rule) sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang
diambilnya.
10. BAB III
PEMBAHASAN
Dampak dan implikasi dari bisnis yang beretika merupakan salah satu hasil yang di terapkan dari
kegunaan dari penggunaan bisnis yang beretika ini. Dewasa ini kalangan bisnis sudah memiliki
kesadaran akan pentingnya etika bisnis dalam operasi bisnis. Bahkan dalam perkembangannya
etika bisnis tidak lagi menjadi beban yang terpaksa harus dilaksanakan perusahan melainkan
sudah menjadi salah satu strategi pengembangan perusahaan. Karena tujuan perusahaan dapat
didefinisikan sebagai upaya untuk memaksimumkan kesejahteraan si pemilik dalam rentang
waktu jangka panjang melalui aktivitas penjualan barang dan/atau jasa. Manfaat bagi perusahaan
dengan menerapkan etika bisnis adalah untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan
memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-
creation) yang tinggi,diperlukan suatu landasan yang kokoh.Biasanya dimulai dari perencanaan
strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya
perusahaan yang andal serta etika perusahaan yangdilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu
menguntungkanerusahaan untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
1. Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern
perusahaan maupun dengan eksternal.
2. Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
3. Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
4. Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan
masyarakat dan akan sangat kontra produktif,misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan
beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai
perusahaan.Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya
perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila
perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem
remunerasi atau jenjang karier.Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling. berharga
bagiperusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Memang benar, Kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar atau dunia bisnis dipenuhi oleh orang-
orang jujur, berhati mulia dan bebas dari akal bulus serta kecurangan/manipulasi. Tetapi
11. sungguh, tidak ada gunanya berbisnis dengan mengabaikan etika dan aspek spiritual. Biarlah
pemerintah melakukan pengawasan, biarlah masyarakat memberikan penilaian, dan sistem pasar
(dan sistem Tuhan tentunya) akan bekerja dengan sendirinya.
Membumikan Etika Bisnis di Perusahaan
Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar-salah, baik -buruk.
Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat pengertian tentang etika perusahaan, etika kerja dan
etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial antara perusahaan, karyawan dan
lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan karyawan sebagai satu
kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan lain atau masyarakat setempat),
etika kerja terkait antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika perorangan mengatur
hubungan antar karyawan.
Perilaku etis yang telah berkembang dalam perusahaan menimbulkan situasi saling percaya
antara perusahaan dan stakeholders, yang memungkinkan perusahaan meningkatkan keuntungan
jangka panjang. Perilaku etis akan mencegah pelanggan, pegawai dan pemasok bertindak
oportunis, serta tumbuhnya saling percaya.
Budaya perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku etis,
karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing tindakan
karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku, dan sebaliknya dapat pula mendorong
terciptanya perilaku yang tidak etis.
Kebijakan perusahaan untuk memberikan perhatian serius pada etika perusahaan akan
memberikan citra bahwa manajemen mendukung perilaku etis dalam perusahaan. Kebijakan
perusahaan biasanya secara formal didokumentasikan dalam bentuk Kode Etik (Code of
Conduct). Di tengah iklim keterbukaan dan globalisasi yang membawa keragaman budaya, code
of conduct memiliki peran yang semakin penting, sebagai buffer dalam interaksi intensif
beragam ras, pemikiran, pendidikan dan agama.
Sebagai persemaian untuk menumbuhkan perilaku etis, perlu dibentuk iklim etika dalam
perusahaan. Iklim etika tercipta, jika dalam suatu perusahaan terdapat kumpulan pengertian
tentang perilaku apa yang dianggap benar dan tersedia mekanisme yang memungkinkan
permasalahan mengenai etika dapat diatasi.
Terdapat tiga faktor utama yang memungkinkan terciptanya iklim etika dalam perusahaan.
Pertama, terciptanya budaya perusahaan secara baik. Kedua, terbangunnya suatu kondisi
organisasi berdasarkan saling percaya (trust-based organization). Dan ketiga, terbentuknya
manajemen hubungan antar pegawai (employee relationship management).
12. Iklim etika dalam perusahaan dipengaruhi oleh adanya interaksi beberapa faktor, yaitu faktor
kepentingan diri sendiri, keuntungan perusahaan, pelaksanaan efisiensi dan kepentingan
kelompok.
Penciptaan iklim etika mutlak diperlukan, meskipun memerlukan waktu, biaya dan ketekunan
manajemen. Dalam iklim etika, kepentingan stakeholders terakomodasi secara baik karena
dilandasi rasa saling percaya.
Dengan demikian, ketika seorang atasan memerintahkan seorang karyawan untuk melakukan
sebuah tindakan yang mereka ketahui salah, karyawan secara moral bertanggung jawab atas
tindakan itu jika dia melakukannya. Atasan juga bertanggung jawab secara moral, karena fakta
atasan menggunakan bawahan untuk melaksanakan tindakan yang salah tidak mengubah fakta
bahwa atasan melakukannya.
Manfaat perusahaan menerapkan etika bisnis dalam hal ini adalah kinerja perusahaan yang akan
bertambah baik dengan didukung dengan karyawan/bawahan yang bermoral dan
bertanggungjawab atas sikap dan pekerjaannya serta menaati semua perintah atasan dengan baik.
Dalam zaman informasi seperti ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan
cepat dan massif. Memperlakukan karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat
umum secara etis, adil dan jujur adalah satu-satunya cara supaya kita dapat bertahan di dalam
dunia bisnis sekarang.
Adapun manfaat perusahaan dalam menerapkan etika bisnis, yaitu:
1. Perusahaan mendapatkan kepercayaan dari konsumen.
Perusahaan yang jujur akan menciptakan konsumen yang loyal. Bahkan konsumen akan
merekomendasikan kepada orang lain untuk menggunakan produk tersebut.
2. Citra perusahaan di mata konsumen baik.
Dengan citra yang baik maka perusahaan akan lebih dikenal oleh masyarakat dan produknya pun
dapat mengalami peningkatan penjualan
3. Meningkatkan motivasi pekerja.
Karyawan akan bekerja dengan giat apabila perusahaan tersebut memiliki citra yang baik dimata
perusahaan.
4. Keuntungan perusahaan dapat di peroleh.
Etika adalah berkenaan dengan bagaimana kita hidup pada saat ini dan mempersiapkan diri
untuk masa depan. Bisnis yang tidak punya rencana untuk menghasilkan keuntungan bukanlah
perusahaan yang beretika.
13. Dalam perusahaan modern, tanggung jawab atas tindakan perusahaan sering didistribusikan
kepada sejumlah pihak yang bekerja sama. Tindakan perusahaan biasanya terdiri atas tindakan
atau kelalaian orang-orang berbeda yang bekerja sama sehingga tindakan atau kelalaian mereka
bersama-sama menghasilkan tindakan perusahaan. Jadi, siapakah yang bertanggung jawab atas
tindakan yang dihasilkan bersama-sama itu? Pandangan tradisional berpendapat bahwa mereka
yang melakukan secara sadar dan bebas apa yang diperlukan perusahaan, masing-masing secara
moral bertanggung jawab.
Lain halnya pendapat para kritikus pandangan tradisional, yang menyatakan bahwa ketika
sebuah kelompok terorganisasi seperti perusahaan bertindak bersama-sama, tindakan perusahaan
mereka dapat dideskripsikan sebagai tindakan kelompok, dan konsekuensinya tindakan
kelompoklah, bukan tindakan individu, yang mengharuskan kelompok bertanggung jawab atas
tindakan tersebut
14. BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Etika bisnis adalah cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang
berkaitan dengan individu, perusahaan dan juga masyarakat. Etika Bisnis dalam suatu
perusahaan dapat membentuk nilai, norma dan perilaku karyawan serta pimpinan dalam
membangun hubungan yang adil dan sehat dengan pelanggan/mitra kerja, pemegang saham,
masyarakat. Maka dari itu bisnis yang beretika sangat penting di jalankan agar tidak merugikan
pihak siapapun bila kita tidak menggunakan bisnis yang beretika ini
4.2. Saran
Dalam perkembangannya etika bisnis terbukti sangat menguntungkan bila di terapkan dalam
keseharian perusahaan. Maka dari itu kita seharusnya menerapkan bisnis yang beretika ini karena
terbukti bahwa bisnis yang beretika ini berdampak pada kelangsungan jangka pangjang maupun
menengah