Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas pentingnya pengaturan dan penegakan kedaulatan Indonesia atas ruang udara nasional, terutama di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia.
2. Ia menjelaskan konsekuensi hukum pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan beserta penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia.
3. Dokumen tersebut juga membahas perlunya pengaturan ru
1. KEDAULATAN DI RUANG UDARA
PENEGAKAN KEDAULATAN DI RUANG UDARA INDONESIA
SEBAGAI MAIN INTERNATIONAL AIR ROUTE DI ATAS ALUR LAUT
KEPULAUAN INDONESIA (ALKI)
(DALAM PRESPEKTIF SISTEM PERTAHANAN NEGARA)
Oleh : Dhesy Kase, SH.,MH
Latar Belakang
Wilayah udara, perairan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh apabila satu
Negara akan mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian serta pertahanan keamanan rakyat
Indonesia; khususnya kekayaan alam di udara mengandung berbagai sumber daya alam yang
potensial dan terbatas serta dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia.
Dukungan terpenting yang dibutuhkan oleh Negara Indonesia dalam mempertahankan
yurisdiksi adalah dengan pengakuan internasional untuk dapat mengakui semua aturan yang
berlaku di Indonesia, terlebih aturan yang berlaku secara universal termasuk di dalamnya
penegakan kedaulatan di udara.
Mengacu pada Konvensi Chicago 1944 Pasal 1 yang menyatakann bahwa “Setiap
Negara mempunyai kedaulatan penuh dan ekslusif atar ruang udara diatasnya”. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa ruang udara di atas wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah ruang udara penuh dan utuh yang dapat dikelola dan dimanfaatkan
kepentingan pemiliknya.
Setelah meratifikasi ketentuan hokum laut internasional UNCLOS Tahun 1982
melalui UU No.17 Tahun 1985, NKRI diterima dan ditetapkan sebagai Negara
kepulauan/archipelago country, mempunyai laut pedalaman, yang dapat diartikan bahwa laut
di dalam Negara kepulauan (Indonesia) adalah wilayah yurisdiksi Negara yang dimaksud. Hal
ini bukannya tanpa konsekuensi, Indonesia harus menyediakan jalur laut yang aman guna
menghubungkan dua lautan bebas yaitu pasifik dan Samudera Hindia bagi pengguna umum;
maka ditetapkan tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang memotong wilayah
perairan (dalam) Negara kesatuan RI. Alur laut kepulauan ini dapat digunakan secara umum
seperti layaknya berlayar di atas laut bebas.
2. Duplikasi pengaturan ruang udara ini berkenaan dengan system pertahanan keamanan
akan menjadi sulit karena Main International Air Route akan berpotongan dengan ALKI pada
ruang udara nasional kita.
Bila mengacu pada keselamatan penerbangan maka akan lebih baik dan akan
mendapat dukungan internasional bila penentuan ruang udara beserta peraturan-peraturannya
dapat menjamin keselamatan pengguna lalu lintas udara.
Dengan diberlakukannya ketentuan tentang ALKI maka hal tersebut juga berlaku pada
wilayah udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut
belum ada kesepakatan antara International Maritim Organization dan International Civil
Aviation Organization (ICAO), akibatnya belum ada ketentuan tentang pesawat udara yang
mengikuti alur laut tersebut.
Kedaulatan Atas Ruang Udara Nasional
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta
sumber daya di dalamnya adalah maslaha yurisdiksi.
Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip territorial, nasional, persinalitas pasif,
perlindungan atau keamanan, universalitas dan kejahatan menurut criteria hokum yang
berlaku. Dalam hubungan yurisdiksi Negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan
penegakan hokum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negra yang
bersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melakukan
penegakan hokum di udra.
Sesuai Konvensi Chicago 1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa ‘setiap Negara
mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complex and eclusive souvereignty) atas udara
ats wilayah kedaulatannya’. Dari pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan
dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah territorial adalah :
1) Setiap Negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang
udara nasionalnya.
2) Tidak satu pun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin
terlebih dahulu sebagaimana telah diatur dalam satu perjanjian udara antara Negara
dengan Negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.
3. Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara holistic, sampai dikeluarkannya perjanjian atau
Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 (UNCLOS).
Dan sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai hokum internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah dengan UU No.17 Tahun 1985[1].
Sejak ditetapkannya Konvensi tersebut sebagai hokum internasional dan yang diratifikasi
oleh pemerintah dengan UU No.17 Tahun 1985[2].
Berdasarkan UU No.6 Tahun 1996 tentan Perairan, merupakan salah satu hokum
nasional seb agai salah satu bentuk implementasi dari konvensi PBB tentang Hukum Laut
1982. UU lain yang terkait dengan wilayah kedaulatan adalah UU No.5 Tahun 1983 tentang
ZEE Indonesia.
Dari uraian di atas, bahwa batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum
diatur dalam peraturan perundang-undangn yang ada, hanya menetapkan bahwa Indonesia
mempunyai kedaulatan atas ruang udara nasional sebagaimana ditetapkan dalam pasal 4 dan 5
UU No.5 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
Kegiatan penerbangan merupakan salah satu wujud kegiatan dan atau usaha terhadap
wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang diberi wewenang dan tanggung jawab kepada
pemerintah, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan Negara atas wilayah udara RI,
pemerinth melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk
kepentingan pertahanan dan keamanan Negara, penerbangan dan ekonomi social.
Guna memberi keleluasan bagi pengguna udara yang ada di satu Negara, maka
disepakati untuk dibuat jalur penerbangan / Main International Air Route yang dikendalikan
oleh Air Trafic Service/ATS untuk memudahkan pengguna dan dibantu dengan pemasangan
4. berbagai alat Bantu navigasi, di bawah pengendalian badan penerbangan Internasional
(ICAO) dan peralatan ini harus selalu beroperasional dan dapat dipergunakan semua
penggunaruang udara demi keselamatan penerbangan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terbentang di antara 2 samudera dan 2
benua ini dilewati 42 jalur penerbangan internasional terpadat di dunia yang selama ini
diketahui seluruh perangkat pengendalian runag udara diatas wilayah kita dapat dikelola
dengan baik dan aman, sehingga dapat di artikan bahwa kita dapaty memfasilitasi prasarana
tersebut dengan baik dan benar.
Dengan ditetapkannya batas ketinggian wilayah kedaulatan atas ruang udara
nasional 110 km dari permukaan laut sebagai patokan untuk keperluan praktis untuk dunia
penerbangan dan dalam siding PBB dengan bahan bahasan mengenai ruang angkasan yang
dikenal dengan UNCOPUOS.
Beberapa sikap dan implementasi Negara-negara berkaitan dengan batas (delimitasi) ruang
udara dan antariksa, seperti :
1. Australia, dalam siding sub komite hokum 1002, bahwa delimitasi ruang udara dan
antariksa merupakan masalah yang cukup a lot dan rumit dalam pembatasan.
Diusulkan oleh Australia sebuah RUU yang meminta batas ketinggian 100km di atas
permukaan laut sebagai patokan untuk keperluan praktis dan bahwabenda yang berada
diatas ketinggian tersebut dipertimbangkan secara space objects. Namun penetapan
tersebut tidak secara tegas merupakan delimitasi antariksa.
2. Amerika Serikat, dalam siding UNCOPUOS mendesak untuk menentukan definisi dan
delimitasi tesebut dengan alas an bahwa penetapan hal tersebut akan menghambat
perkembangan teknologi. Namun diam-diam US space command telah menetapkan
batas ketinggian antariksa mulai dari 100km.
3. Korea Selatan,meminta batas ruang udara dan antarikasa dengan ususlan 100 –
110km.
4. Uni Soviet, mengusulkan agar batas ruang udara 100 – 120km dari permukaan laut.
Dalam perkembangannya Rusia mengajukan pembahsan rejim hokum aerospace
objects dalam agenda UNCOPUOS.
Meskipun sikap Negara-negara di dunia belum menetapkan batas kedaulatan Negara di ruang
udara, bagi Indonesia, batasan tersebut sangat diperlukan dengan berbagai alas an, antara lain
: pertama, perlu ketegasan wilayah udara nasional sebagai wilayah kedaulatan;
5. Kedua, untuk melindungi kepentingan nasional termasuk Negara sebagi Negara berkembang
dimana SDA di atas wilayah Indonesia sangat strategis dan bernilai ekonomis.
2. Pertahanan Keamanan Negara
Pemanfaatan ruang udara nasional bagi kepentingan pertahanan keamanan Negara
sebagai media mengamankan dan mempertahankan wilayah nasional terdiri atas pengamanan
sumber daya alam baik di ruang udara, ruang daratan maupun perairan.
Di Indonesia, TNI AU yang memiliki otoritas mengamankan wilayah udara nasional
dari berbagai ancaman yang dating dari udara termasuk para insane penerbangan nasional.
Dalam upaya meningkatkan pembinaan potensial nasinal maupun swasta ikut dalam upaya
meningkatkan pembinaan potensial nasional maupun swasta ikut dalam upaya meningkatkan
pembinaan potensi nasional aspek dirgantara menjadisatu kekuatan guna mempertahankan
keutuhan Negara.
Jika diperhatikan pembagian sector pertahanan di ruang udara dengan luas wilayah
ruang udara Indonesia, maka pembagian tersebut belum memadai karena satu sector harus
mempertahankan ruang udara lebih kurang 4 juta km2. sejalan dengan perkembangan
teknologi perang, memungkinkan ancaman dating dari berbagai arah dan kapan saja.
Perkembangan teknologi dan ekonomi dari Negara-negara di kawasan Asia Pasifik
semakin meningkat, sperti Jepang, Korea Selatan dan Taiwan, dimana kelangkaan SDA yang
mereka miliki mendorong Negara-negara tersebut memperluas investasinya keluar negeri
termasuk ke Indonesia.
Dengan adanya revolusi 3T (transportarion, telecommunication, travel) maka arus
perhubungan, komunikasi, perdagangan dan wisata melalui ruang udara Indonesia akan
semakin meningkat.
Kondisi ini menyebabkan ruang udara Indonesia menjadi potensial bagi
perkembangan pembangunan khususnya di bidang kedirgantaraan. Dilain pihak perlu
diantisipasi dan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya konflik ekonomi dan politik
sebagai akibat dari benturan kepentingan antar Negara.
Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan Negara
termasuk kedaulatan atas ruang udara nasional, sehingga keutuhan wilayah NKRI dan
keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman dapat terhindar. Wewenang dan
tanggung jawab untuk mempertahankan wilayah kedaulatan atas ruang udara termasuk
menjadi penting karena Indonesia adalah Negara kepulauan yang juga merupakan Negara
khatulistiwa dan terletak pada posisi silang dunia. Kondisi terdebut mendukung terwujudnya
6. berbagai kegiatan dan/atau usaha dapat dilakukan di ruang udara nasional Indonesia baik
kepentingan nasionalk maupun internasional.
Konsekuensi dari kondisi di atas bahwa pengaturan ruang udara menjadi semakin sulit
karena Main International Air Route berpotongan dengan ruang udara di atas ALKI. Hal ini
tertuang dalam pasal 4 dari PP 37 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa kapal atau pesawat
udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh
menyimpang lebih dari 25 mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan. Dan
juga ruang udara Indonesia dilalui 2 ribu sampai 3 ribu armada lintas udara pertahunnya,
angka ini masih sedikit dibandingkan dengan AS yang total dilintasi 500.000 perlintasan
pertahun[8].
Dari uraian di atas, bahwa ruang udara sebagai SDA di udara selain dapat
dimanfaatkan kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan UUD 1945, juga merupakan
dimensi ketiga dari wilayah kedaulatan satu Negara.
Oleh sebab itu, perlu dikelola dan dipelihara agar pemenfaatannya efektif an efisien serta
berkelanjutan untuk mewujudkan keseimbangan antara kepentingan kesejahteraan rakyat
dengan pertahanan keamanan Negara sebagai wilayah kedaulatan.
Konsekuensi Hukum Bagi Indonesia
Perjanjian Indonesia untuk ditetapkan sebagai Negara maritime membutuhkan waktu
dan akhirnya pada siding International Maritim Organization/IMO, Indonesia memperoleh
pengakuan sebagai Negara maritime namun penetapan ALKI ini harus didukung dengan
perangkat perundangan nasional dan disosialisasikan secara internasional bagi para pengguna
hak lintas dalam ALKI.
Negara-negara yang dengan gigih meminta hak lintas laut (termasuk ruang udara di
atasnya), diantaranya Amerika Serikat dan Australia, dimana mereka menuntut alur laut
Timur-Barat ditengah laut Jawa untuk dibuka karena dianggap sebagai jalur laut dan ruang
udara diatasnya; yang juga posisinya memotong tepat ditengah Negara kita, melewati lalu
lintas laut dan udara padat serta sangat dekat dengan obyek vital nasional termasuk ibukota
Jakarta.
Kasus yang terjadi kemudian tepatnya tanggal 3 Juli 2003 merupakan pengalaman
bagi Indonesia yang baik, dimana sebagai Negara pengguna, AS melewati jalur tradisional
7. mereka yaitu tepat diantara pulau Jawa dan Kalimantan, permaslahan menjadi lain setelah
pada hari ketiga armada AS meluncurkan 5 pesawat F-18 Hornet hingga ketinggian 15.000
kaki dengan melakukan berbagai maneuver militer.
Maneuver yang membahayakan penerbangan sipil ini (sperti yang dilaporkan
penerbang Bouraq air Lines) telah memaksa pihak otoritas pertahanan dalam hal ini
KOHANUDNAS (Komando Pertahanan Udara Nasional) melakukan aksi penyergapana
dengan pesawat F-16 yang berpangkalana di Lanud Iswayudi.
Dua kekuatan udara berhadapan antara 5 pesawat F-18 US Navy dengan 2 pesawat F-16 TNI
AU. Setelah terjadi perang elektronik yang menegangkan akhirnya pihak US terpaksa dan
mau membuka frekuensi radio internasional sebagai persyaratan utama dalam hokum udara
dan tidak lagi melakukan maneuver militer[9].
Dapat dilihat dengan jelas bahwa kasus di atas dapat terlihat siapa yang kuat tetapi siapa yang
berada pada ketentuan hokum yang benar yang dapat memenangkan adu kekuatan tersebut.
Dengan perjuangan yang cukup gigih dan panjang, akhirnya bangsa Indonesia berusaha
memperoleh pengakuan internasional sebagai Negara kepulauan dan hal ini tidak sia-sia
karena Indonesia dapat menunjukkan sebagai Negara berdaulat dan menegakkan kepentingan
Negara-negara lain di dunia, tanpa harus mengusik dan mengorbankan kepentingan nasional
kita.
Kesimpulan
1. Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional dan Konvensi
Hukum Laut Internasional tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan UU No. 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Ntion Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), pada intinya menegaskan kedaulatan penuh di wilayah udara Indonesia.
2. duplikasi pengaturan ruang udara berkenaan dengan system partahanan keamanan
Negara dianggap sulit karena antara Main International Air Route akan berpotongan
dengan ALKI pada ruang udara nasional kita; dan hal ini jika mengacu pada
keselamatan penerbangan maka akan lebih baik dan akan mendapat dukungan
internasional karena penentuan ruang udara beserta peraturan-peraturannya dapat
menjamin keselamatan pengguna lalu lintas udara dan kini telah terbukti.
8. 3. Implementasi pengawasan dan penegakan hokum di ruang udara oleh TNI-AU
termasuk di daerah perbatasan, seperti ruang udara dari perbatasan antara Indonesia
dengan Singapura, Indonesia dan Malaysia, dan sebagainya sangat penting mengingat
letak Indonesia pada posisi silang dunia, menyebabkan wilayah udara nasional
Indonesia menjadi jalan atau lintas bagi penerbangan dari berbagai Negara di dunia.
9. Makalah PKn
Wilayah Ruang Angkasa Indonesia
Disusun Oleh:
Kelompok 3
Anggota :
1. Dwi Maesaroh XI 3 / 5
2. Peni Yuliana XI 3 / 18
3. Rizky Anita Putri XI 3 / 15
4. Rusmala XI 4 / 18
5. Tatsuya Akashi XI 3 / 19
DINAS PENDIDIKAN DAERAH KOTA BLITAR
SMA NEGERI 1 BLITAR
TAHUN AJARAN 2014/2015