Dokumen tersebut merangkum sejarah perkembangan lembaga keuangan Islam sejak zaman Rasulullah hingga masa modern. Pada zaman Rasulullah didirikan lembaga Baitul Maal untuk mengelola pendapatan dan belanja negara, serta Wilayatul Hisbah untuk mengawasi pasar. Rasulullah juga membangun etika bisnis dengan melarang riba dan mensosialisasikan perbedaan antara riba dan jual beli.
1. ISLAMIC FINANCIAL MANAGEMENT
BAB 2
SEJARAH ISLAMIC FINANCIAL
Prof.Dr.H. Veitzhal Rivai, M.B.A.
Andria Permata Veitzhal. B.Acct., M.B.A.
2. A. PENDAHULUAN
1.
Beberapa
Pertanyaan
dalam Islamic
Financial
Institutions:
2.
3.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
selalu muncul dalam pemikiran kita
pada saat mendiskusikan konsep
lembaga keuangan dalam prespektif AlQur’an, klasik dan modern.
Apakah konsep
lembaga keuangan ini
telah ada sejak zaman
Rasulullah atau baru
muncul belakangan ini?
Apakah Al-Qur’an telah
menjelaskan mengenai
konsep lembaga
keuangan?
Selanjutnya, apakah
masa setelah Rasulullah
telah terjadi pemikiran
dan praktik lembaga
keuangan hingga
zaman Islam modern?
3. B. KONSEP ISLAMIC FINANCIAL INSTITUTION
Konsep Financial Institution tidak disebut secara eksplisit
dalam Al-Qur’an.
Namun jika yang dimaksud lembaga itu sesuatu yang
memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi
serta hak kewajiaban, maka semua lembaga itu disebut
secara jelas.
Kata-kata seperti kaum, ummat (kelompok masyarakat),
muluk (pemerintah), balad (negeri), suq (pasar) dan
sebagainya mengidentifikasikan bahwa Al-Qur’an
mengisyaratkan nama-nama itu memiliki fungsi dan peran
tertentu dalam perkembangan masyarakat.
Demikian juga konsep-konsep yang merujuk kepada
ekonomi, seperti zakat, shadaqah, fai, ghanimah, bai,
dain, maal dan sebagainya memiliki konotasi fungsi yang
dilaksanakan oleh peran tertentu.
4.
Apakah mereka yang membagi-bagikan rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia,
dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan. (QS Al-Zukhruf [43] : 32)
Sebagaimana halnya lembaga politik yang tidak pernah disebut bentuknya
apakah itu kerajaan, republik, federal, dan sebagainya nampaknya AlQur’an membebaskan kaum muslimin untuk memberi bentuk-bentuk kapada
prinsip-prinsip ekonomi yang diangkat darinya, apakah itu perusahaan,
bank, asuransi, dan sebagainya. Pada akhirnya financial institutions
tersebut bertindak seperti individu yang bisa melakukan transaksi ekonomi
antara satu dengan yang lainnya. Dalam fiqih lembaga ini disebut dengan
istilah ”syakhsyiyah i’tibariyyah” atau ”syakhsyiyah ma’nawiyyah”.
Dengan demikian lembaga
5. yang bertindak seperti individu ini memiliki
kewajiban yang sama seperti layaknya
sebuah individu, seperti membayar zakat
dari keuntungan yang diperoleh dari
usahanya.
Di sisi lain, dalam hal akhlak, Al-Qur’an
menyebutkan secara eksplisit, baik berupa
kisah maupun perintah. Konsep
accountability dan trust (amanah),
misalnya, terletak pada ayat yang panjang
dan berupa perintah.
6. c. LEMBAGA KEUANGAN MASA RASULULLAH
Sebelum Muhammad diangkat sebagai rasul, dalam masyarakat jahiliyah
sudah terdapat sebuah lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat
untuk ukuran masa itu yang disebut Daarun Nadwah. Di dalamnya para
tokoh Makkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu
keputusan. Ketika dilantik sebagai rasul, mereka mengadakan semacam
lembaga tandingan untuk itu, yaitu Daarul Arqam. Perkembangan lembaga
ini terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan, sampai
akhirnya Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah.
Ketika beliau hijrah ke Madinah, maka yang pertama kali didirikan
Rasulullah adalah masjid (Quba), yang bukan saja merupakan tempat
beribadah, tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau
masuk Madinah dan membentuk ”lembaga” persatuan di antara para
sahabatnya, yaitu persaudaraan antara Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini
diikuti dengan pembangunan masjid lain yang lebih besar (masjid
Nabawi), yang kemudian menjadi sentral pemerintah untuk selanjutnya.
Pendirian ”lembaga” dilanjutkan dengan penertiban pasar. Rasulullah
diriwayatkan menolak membentuk pasar baru yang khusus untuk kaum
muslimin, karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah dan harus
berjalan dengan sunnatullah. Demikian halnya, dalam penentuan harga.
Akan halnya mata uang tidak ada satu pun bukti sejarah yang
menunjukkan bahwa Nabi menciptakan mata uang sendiri.
7. 1. Pendirian Baitul Maal
Sesuatu yang revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wa Salam adalah pembentukan lembaga penyimpanan yang
disebut Baitul Maal. Apa yang dilaksanakan Rasul itu merupakan proses
penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan
(expenditure) yang transparan yang bertujuan apa yang disebut
sekarang ini sebagai welfare oriented. Ini sangat asing pada waktu itu,
karena umumnya pajak-pajak yang dikumpulkan oleh para penguasa di
kerajaan-kerajaan tetangga sekitar jazirah Arabia seperti Romawi dan
Persia umumnya dikumpulkan oleh seorang menteri dan dipergunakan
untuk memenuhi kebutuhan kaisar dan raja. Kalaupun lembaga Baitul
Maal yang menurut pada orientalis bukan sesuatu yang baru, maka
proses siklus dana masyarakat (zakat, wakaf, ushr dan sebagainya)
yang dinamis dan berputar dengan cepat merupakan preseden yang
sama sekali baru.
Para penulis muslim sendiri berbeda pendapat dalam hal fungsi Baitul
Maal ini. Sebagian berpendapat bahwa Baitul Maal serupa dengan bank
sentral seperti yang ada sekarang walaupun tentunya lebih sederhana
karena berbagai keterbatasan pada waktu itu. Untuk sebagian yang lain,
Baitul Maal berfungsi seperti Menteri Keuangan atau Bendahara Negara
masa kini, karena fungsinya yang aktif dalam menyeimbangkan antara
pendapatan dan belanja negara, bukan hanya berfokus kepada
pengaturan suplai dan moneter. Tetapi seiring dengan keperluan zaman
kedua fungsi ini kemudian dilaksanakan.
8. 2. Wilayatul Hisbah
Konsep yang sama sekali baru adalah sistem pengawasan atau kontrol
oleh negara yang pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam
dipegang sendiri oleh beliau. Ini sejalan dengan apa yang pada zaman
modern disebut “enfocement agency”. Beberapa waktu kemudian konsep
pengawasan ini terkenal dengan sebutan “Wilayatul Hisbah”. Konsep ini
merupakan preseden baru, mengingat pada zaman itu dimensi
pengontrolan di kerajaan sekitar Laut Tengah tidak ada sama sekali.
Raja-raja dan penguasa lokal seenaknya mengenakan upeti dari rakyat
dan mempermainkan harga di pasar agar komoditas yang mereka miliki
mahal harganya, sedangkan barang-barang yang diperlukan jatuh
harganya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menegur seseorang yang menjual
kurmanya dengan harga yang berbeda di pasar. Juga diriwayatkan
bahwa Rasulullah menolak permintaan para sahabatnya agar
menentukan harga yang layak bagi kaum muslimin karena harga-harga
yang ada di pasar terlalu tinggi.
Pilar infranstruktur yang satu ini barangkali yang terpenting menurut
prespektif ekonomi dari sekian pilar yang ada, karena ini merupakan
bingkai (framework) bagi aktivitas ekonomi dan mualamat. Dengan kata
lain, aktivitas muamalat pada zaman itu tidak akan berhasil tanpa “law
and order”.
9. 3. Pembangunan Etika Bisnis
Rasulullah tidak saja meletakkan dasar
tradisi penciptaan suatu lembaga, tetapi
juga membangun sumber daya manusia
dan akhlak (etika) lembaga sebagai
pendukung dan prasyarat dari lembaga
itu sendiri.
Kelembagaan “pasar”, misalnya, tidak
akan berjalan dengan baik tanpa akhlak
dan etika yang diterapkan.
11. 1. Dasar Hukum Tentang Riba
a.
Konsep Riba
dalam
Pandanga
n NonMuslim
b.
Pandangan
Kalangan Yahudi
Pandangan
Kalangan Kristen
12. a. Pandangan Yahudi Tentang Riba
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan: “Jika
engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku,
orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai penagih utang terhadap dia; janganlah engkau bebankan
bunga uang terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan,
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang
maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36—37 menyatakan,
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya,
melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu
bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu
kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah
kauberikan dengan meminta riba.”
13. b. Pandangan Kristen Tentang Riba
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan
masalah ini secara jelas. Akan tetapi,
sebagian kalangan Kristiani menganggap
bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:
34—35 sebagai ayat yang mengecam
praktik pengambilan bunga. Ayat tersebut
menyatakan: “ Dan, jikalau kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang
Tid
ak
karena kamu berharap akan menerima
Te
ga
sn
sesuatu darinya, apakah jasamu? Orangya
Ay
orang berdosa pun meminjamkan kepada
at
orang berdosa supaya mereka menerima
kembali sama banyak. Tetapi kamu,
kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik
kepada mereka dan pinjamkan dengan
tidak mengharapkan balasan, maka
upahmu akan besar dan kamu akan
menjadi anak-anak Tuhan yang Maha
Tinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang
yang tidak tahu berterima kasih dan
terhadap orang-orang jahat.”
Muncul
berbagai
Tanggap
an Dari
Kalangan
Kristen
Tentang
Riba:
14. Pandangan Pendeta Awal Kristen
(Abad I-XIII)
Pada masa ini umumnya
pengambilan bunga
dilarang.
Mereka merujuk
masalah pengambilan
bunga kepada Kitab
Perjanjian Lama yang
juga diimani oleh orang
Kristen:
a. St. Basil
(329-379)
b. St. Gregory
dari Nyssa (335-395)
c. St. John Chrysostom
(344-407)
d. St. Ansel, dari centerbury
(1033-1109)
15. St.
Basil (329—379) menganggap mereka yang memakan
bunga sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan.
Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan
dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan
emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang
miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335—395) mengutuk praktik bunga
karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah
palsu. Pada awal kontrak seperti membantu, tetapi pada saat
menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat
kejam.
St. John Chrysostom (344—407) berpendapat bahwa
larangan yang teradapat dalam Perjanjian lama yang
ditujukan bagi orang-orang Yahudi, juga berlaku bagi
penganut Perjanjian Baru.
St. Ansel, dari Centerbury (1033—1109) menganggap
bunga sama dengan perampokan.
16. Larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh
gereja dalam bentuk undang-undang, yaitu:
Council of Elvira (Spanyol tahun 306)
mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja
gereja mempraktikkan pengambilan bunga. Barangsiapa
yang melanggar, pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314)
mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja
gereja mempraktikkan pengambilan bunga.
Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru
dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang
menyatakan bahwa barangsiapa menganggap bunga itu
adalah sesuatu yang tidak berdosa, ia telah keluar dari
Kristen (murtad).
17. b. Pandangan pada Sarjana Kristen
(Abad XII-XVI)
Para tokoh sarjana
Kristen tentang
konsep Bunga (Riba):
1. Robert of Courcon
(1152—1218),
2. William of Auxxerre
(1160—1220),
3. St. Raymond of
Pennaforte (1180—
1278),
4. St. Bonaventure
(1221—1274)
5. St. Thomas Aquinas
(1225—1274).
Pendapat Calvin tentang
Bunga:
a. Dosa apabila bunga
memberatkan
b. Uang dapat membiak
(kontra dengan
Aristoteles)
c. Tidak menjadikan
pengambilan bunga
sebagai profesi
d. Jangan mengambil bunga
dari orang miskin
18. c. Pandangan Yunani Tentang Riba
Konsep Bunga di kalangan Yunani dan Romawi. Pada masa Yunani,
sekitar abad VI Sebelum Masehi hingga abad I Masehi, telah terdapat
beberapa jenis bunga. Selanjutnya pada masa Romawi, sekitar abad V
sebelum Masehi hingga abad IV Masehi, terdapat undang-undang yang
membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga
sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum”, tapi dalam
pelaksanaannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga. Pada
masa pemerintahan Genucia (342 SM), kegiatan pengambilan bunga
tidak diperbolehkan, akan tetapi pada masa Unciria (88 SM), praktik
tersebut diperbolehkan kembali seperti semula. Meskipun demikian,
praktik tersebut dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat
Yunani terkemuka, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM),
mengecam praktik bunga. Demikian pula dengan Cato (234-149) dan
Cirero (106-43SM). Para ahli filsafat tersebut mengutuk orang-orang
Romawi yang memraktikkan pengambilan bunga.
19. Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
Islam melarang
mengambil riba
apa pun
jenisnya.
Islam melarang
mengambil Riba
sekecil apa pun
nilainya.
Tahapan Pelarangan Riba:
1.Tahap pertama
2. Tahap kedua
3. Tahap Ketiga
4. Tahap keempat
20. Tahapan Pelarangan Riba dalam Pandangan Islam
1.
Tahap pertama,
Menolak anggapan bahwa pinjaman
riba yang pada zahirnya seolah-olah
menolong mereka yang memerlukan
sebagai suatu perbuatan mendekati
atau taqarrub kepada Allah
Shubhannahu Wa Ta’alaa dalam
surah aL-Ruum [30]: 39,
Dan, sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia menambah pada
harga manusia, maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. Dan, apa
yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya).” (QS
aL-Ruum [30]: 39)
2. Tahap kedua,
riba digambarkan sebagai suatu yang
buruk. Allah Shubhannahu Wa Ta’alaa
mengancam akan memberi balasan yang
keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba, dalam surah AlNisaa’”( 4 : 160—161):
Maka, disebabkan kezaliman orangorang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (mamakan makanan) yang
baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang
darinya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan
yang batil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir di
antara mereka itu siksa yang pedih.
(QS Al-Nisaa’ [4] : 160—161)
21. Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan
tingkat bunga yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan
pada masa tersebut. Allah berfirman dalam surah Ali ’Imran [3]: 130,
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS Ali ’Imran
[3] : 130)
Tahap keempat, Allah Subhanahu Wa Ta’alaa dengan jelas dan tegas
mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman, dalam surah
al-Baqarah [2]:278—279,
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan
sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat
(dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula
dianiaya. (QS Al-Baqarah [2] : 278—279)
22. b. Larangan Riba dalam Hadis
Dalam amanat terakhirnya
pada tanggal 9 Dzulhijjah
tahun 10 Hijriah, Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wa Salam,
masih menekankan sikap Islam
yang melarang riba :
“Ingatlah bahwa kamu akan
menghadap Tuhanmu dan Dia
pasti akan menghitung
amalanmu. Allah telah
melarang kamu mengambil riba.
Oleh karena itu, utang akibat
riba harus dihapuskan. Modal
(utang pokok) kamu adalah
hak kamu. Kamu tidak akan
menderita ataupun mengalami
ketidakadilan.”
Selanjutnya sabda
Rasulullah dalam hadits
yang dirawikan oleh HR.
Muslim No. 2995, kitab a lM a q a h yang artinya:
us
Ja bir be rka ta ba hwa
Ra s ululla h s ha la lla hu a la ihi
wa s a lla m m e ng utuk o ra ng
y a ng m e ne rim a riba , o ra ng
y a ng m e m ba y a rny a , d a n
o ra ng y a ng m e nc a ta tny a ,
d a n d ua o ra ng s a ks iny a ,
ke m ud ia n be lia u be rs a bd a ,
”M re ka itu s e m ua ny a
e
s a m a ”.
23. Mengapa Riba Haram?
Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya. (QS Al -Baqarah [2]: 275)
25. Jenis-Jenis Riba
1. Riba Hutang Piutang
a. Riba Qardh
b. Riba Jahiliyah
Jenis-Jenis Riba:
2. Riba Jual Beli
a. Riba Fadhl
b. Riba Nasi’ah
26. 1. Riba Hutang Piutang
a.
Riba Qardh,
adalah suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang
(Muqtaridh).
b. Riba Jahiliyyah,
adalah hutang dibayar lebih dari
pokoknya, karena si peminjam
tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.
27. 2. Riba Jual Beli
a.
Riba Fadhl, adalah pertukaran antar
barang-barang sejenis dengan
kadar/takaran yang berbeda dan
barang yang dipertukarkan termsuk
dalam jenis “barang ribawi”.
b.
Riba Nasi’ah, adalah penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi dengan jenis barang
ribawi lainnya.
28. Hal-hal Yang Harus dihindari dalam Islamic
Financial Institution:
1.
2.
3.
4.
5.
DILARANG
!!!
Maisir,
Gharar,
Bathil,
Penghapusan Riba
Monopoli
29. Hal-hal Yang Harus dihindari dalam Islamic
Financial Institution:
1.
2.
3.
Maisir, adalah praktek
spekulasi/gambling/judi untuk
mendapatkan keuntungan.
Gharar, adalah transaksi yang
mengandung tipuan dari salah
satu pihak sehingga pihak yang
lain dirugikan.
Bathil, adalah terjadinya
transaksi yang disertai kerusakan
dari barang yang diperdagangkan
sehingga kesepakatan menjadi
batal.
DILARAN
G!
30. DILARANG
!!!
4. Penghapusan Riba
Walaupun basic infrastructure telah barhasil dibangun, namun
kondisi Madinah masih belum lagi kondusif untuk pembangunan
sektor ekonomi, terutama public economics. Keberadaan para
yahudi dengan praktik ribanya membuat penduduk Madianah
resah, kerana sering kali perbuatan mereka itu mencekik leher.
Untuk Rasulullah sendiri praktik ini sudah beliau ketahui sejak
masih berada di Mekkah, karena ayat-ayat yang turun di
Mekkah ada yang menceritakan praktik kotor orang Yahudi
tersebut.
5. Monopoli
Merupakan kejahatan pasar yang tidak pernah dimanfaatkan
oleh siapapun. Ini sudah dilarang oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa
Salam sejak abad 14 yang lalu. Demikian pula sebaliknya, yang
monopsoni. Kedua hal ini bertentangan dengan kebijakan
ekonomi muamalah gaya Rasulullah yang mementingkan
keadilan.
31. Dasar Hukum
“Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena
mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih. An-Nissaa’ (4 : 160-161)
32.
Opini umum menganggap
bahwa dengan
melakukan peminjaman
uang kepada orang lain
dan menetapkan riba
pada pinjaman itu maka
pinjaman itu akan
tumbuh.
Tapi opini ini dijawab
langsung oleh Al-Qur’an,
bahwa itu tidak betul.
Firman Allah
Shubhannahu Wa Ta’alaa
dalam Al Qur’an dalam
Surah ar-Ruum (30 : 39)
menyebutkan:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia. Maka riba itu
tidak menambah pada sisi Allah.
Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah
orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)”.
Ar-Ruum (30 : 39)
33.
Namun teguran Al-Qur’an ini tidak dihiraukan oleh beberapa
orang sahabat yang terlanjur terlibat dengan praktik itu. Lalu
datang teguran berikutnya, agar dalam memberikan pinjaman
dengan menetapkan riba yang berlipat ganda. Dengan teguran
yang kedua ini banyak para sahabat yang meninggalkan riba.
Hanya orang Yahudi saja yang tetap melakukan praktik itu
dengan dalih bahwa tidak ada bedanya antara jual beli dengan
riba, sebab keduanya sama-sama merupakan praktik mencari
margin dari modal yang diputarkan.
Sementara para sahabat yang telah meninggalkan riba telah
bertaubat sebelum sempat mengatakan agar mereka hanya
mengambil modalnya saja.
Penghapusan riba ini terbukti berhasil menciptakan kondisi yang
memungkinkan untuk tumbuhya ekonomi secara cepat. Jika pad
masa hijrah, Madinah merupakan kota yang miskin, tetapi ketika
Nabi meningggal, Madinah merupakan kota baru yang tumbuh
dan berkembang menghidupi daerah-daerah sekitarnya.
34. 4. Prinsip & Etika Bisnis Yang Dianjurkan
Rasulullah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Jujur & Amanah
Adil,
Baik (ikhsan),
Kerjasama (ta’awun),
Amanah,
Tawakal,
Qoan’ah,
Sabar dan tabah
Meninggalkan sifat kotor
perdagangan, zalim, menipu, suka
marah dan benci, terlalu memuja
uang, tidak memperdulikan hukum
dan hutang yang berlebihan.
S,
RU KA
HA JI IN H
G
N KA
I R
BE !
35. Prinsip-prinsip yang dianut Dalam Bisnis Islam
Secara Umum:
1.
2.
3.
4.
5.
Keadilan
Transparansi
Responsabilitas
Akuntabilitas
Kemandirian
S,
RU KA
HA JI IN H
G
N KA
I R
BE !
36. a. Keadilan
Dalam setiap kebijakan ekonomi Nabi mementingkan keadilan
yang bukan saja berlaku untuk kaum Muslimin, tetapi juga berlaku
untuk kaum kaum lainnya sekitar Madinah. Terbukti ketika diminta
untuk menetapkan harga, Rasulullah marah dan menolaknya. Ini
membuktikan bahwa Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam menyerahkan
penetapan harga itu pada kekuatan pasar yang alami (bukan karena
monopoli atau proteksi). Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan
atas dasar bagi hasil dan pengembilan margin keuntungan yang
disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
b. Transparansi
Dalam mengelolan usaha, perbankan syariah diwajibkan
mengumumkan hasil usaha secara terbuka kepada para Shahibul mal
atau pemilik dana setiap bulannya.
c. Responsibilitas
Apabila terjadi kerugian usaha yang sedang dikerjakan bersama,
maka para pihak harus bersedia menanggung kerugian tersebut
sesuai share masing-masing.
37. d. Accountabilitas
Adanya tuntunan bahwa setiap transaksi
yang mengakibatkan utang piutang
hendaknya dilakukan pencatatan agar tidak
mengakibatkan kesalahan.
e. Kemandirian
Adalah mendorong kegiatan investasi
pada sektor riil dan mencegah terjadinya
simpanan yang tidak produktif melalui
prinsip bagi hasil serta memperluas
kesempatan kerja.
38. D. Lembaga Keuangan Zaman Khulafaurrasyidin
Baitul
Mal
Berkembang dengan baik:
1. Dimulai Oleh rasulullah
cikal bakalnya (melalui
Musyawarah)
2. Dibentuk dan Mulai
diberdayakan Masa
Kepemimpinan Umar bin
Khatab.
3. Semakin Dikembangkan
Fungsinya Masa Usman
Bin Affan Dan Ali Bin Abi
Thalib
Para khalifah rasyidin
itu amat serius dalam
memikirkan
kesejahteraan rakyat
dengan memfungsikan
secara maksimal
pendapatan dan
penerimaan dalam
Baitul Maal.
Baitul Maal benar-benar
berfungsi sebagai
instrumen dalam
kebijakan fiskal.
39. E. LEMBAGA KEUANGAN DI ZAMAN DINASTI
1.
2.
3.
4.
Dinasti Mu’awiyah
Dinasti Abassiyah.
Kepemimpinan Turki
Runtuhnya Dinasti
Usmaniyah di Turki
40. 1.
Dinasti Mu’awiyah
Fungsi Baitul Maal tetap berjalan sebagaimana
mestinya. Namun, mulai terjadi disfungsi pada
pengeluaran-pengeluaran disebabkan tingkat
ketaatan agama khalifah-khalifah pada dinasti
Umawiyah tidak sebagaimana pada khulafa
rasyidin.
2.
Dinasti Abassiyah.
Fungsi Baitul Maal telah bertambah, yang tadinya
hanya mengeluarkan kebijakan fiskal, kini juga
mengatur kebijakan moneter.
41. 3. Kepemimpinan Turki
Fungsi Baitul Maal berkembang menjadi perbendaharaan
negara dan pengatur kebijakan fiskal dan moneter.
Sepanjang dinasti ini, kekayaan Baitul Maal selain dalam
bentuk fisik tetapi juga uang yang tidak berubah, yaitu
emas dan perak.
4. Runtuhnya Dinasti Usmaniyah di Turki
Menangnya kolonialisme di negeri negeri Islam, baik
secara fisik maupun pemikiran. Karena itu meskipun
kemudian negeri-negeri Islam merdeka dari penjajahan,
nama Baitul Maal tidak pernah muncul lagi, padahal
fungsinya dalam negara tetap dilaksanakan, seperti
kebijakan fiskal dan moneter.
42. F. KEHADIRAN ISLAMIC FINANCIAL
1. Embrio Perbankan
Sepanjang sejarah Islam, sejak zaman rasulullah, sampai
Turki Usmani adalah lembaga keuangan yang pernah ada
yang ada pada zaman itu hanyalah dimiliki
pemerintahan. Sementara kegiatan bisnis dilakukan
secara perorangan.
Meskipun sejak tahun 1940-an satu per satu negeri
muslim mulai merdeka dari zaman penjajahan, namun
arahnya pembentukan sebuah negara Islam dengan
pelaksanaan syariat islam mengalami banyak kendala. Di
antaranya karena paham nasionalisme sekuler yang
ditanamkan oleh para penjajah dan dijadikan alat
perjuangan oleh penduduk negeri-negeri muslim itu kini
menjadi bumerang.
Hal ini dipahami karena pemahaman agama dalam dunia
barat tempat mereka belajar adalah tradisi Judeo-Kristian
yang telah terkalahkan oleh pemikiran sekuler. Para
pemimpin pasca penjajahan inilah yang kemudian
menjadi penghalang bagi bangkitnya kembali politik
Islam.
43.
Kegiatan ekonomi adalah sesuatu yang jarang terlepas kaitannya
dengan politik. Jika usaha untuk membangun negara dengan
tatanan Islam sulit terpenuhi, demikian pula dengan tatanan
ekonominya. Oleh sebab itu tidak ada suatu negeri islampun yang
telah merdeka dari penjajahan yang kemudian menggunakan atribut
Islam sebagai metode penyusunan lembaganya. Bahkan nama
”Baitul Maal” pun sudah tersingkir dari kosa kata pemerintahan
mereka.
Yang tertinggal oleh mereka adalah negara bekas jajahan yang
meniru penjajahannya dengan pemerintah yang baru dan berasal
dari mereka sendiri. Mereka merdeka secara politik, tetapi tidak
secara sistem, terutama sistem ekonomi.
Tanpa diketahui, sistem yang mereka wariskan juga membawa
penyakit yang inheren dalam sistem itu, seperti inflansi,
pengangguran, resesi dan sebagainya. Dengan teknologi yang jauh
tertinggal, mereka bahkan tidak pernah bisa bersaing dengan negra
penjajahnya sehingga hubungan antara pusat dan pinggiran.
Hal ini kemudian orang mulai mencari sistem baru yang bisa
menyelamatkan masyarakat terutama di negeri-negeri Islam.
Meskipun relatif tidak sukses dalam gerakan politik-idiologis, mereka
mencoba membuat terobosan dengan menggunakan idiom ekonomi.
44.
Gerakan Islamic Financial Institution modern dimulai dengan
didirikannya sebuah bank dengan simpanan lokal (lokal saving
bank) yang beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir, ditepi
Sungai Nil, Mesir pada tahun 1969 oleh Abdul Hamid An-Naggar.
Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena masalah
manajemen, bank lokal ini mencatatkan sejarah yang amat
berarti, karena mengilhami konferensi ekonomi Islam pertama di
Mekkah pada tahun 1975.
Dan dua tahun kemudian lahir Bank Pembangunan Islam (IDM)
yang merupakan tindak lanjut dari rekomendasi yang lahir dari
konferensi tersebut. Setelah itu muncul bank-bank komersial yang
transkasi-transaksinya didasarkan pada ajaran Islam.
Bila diperhatikan, bank-bank komersial didirikan dengan berbagai
latar belakang, di antaranya isu tentang bunga, yang tidak pernah
dikenal dalam sejarah Islam. Sebagian ada yang karena faktor
politik dan sebagian lagi disebabkan keperluan akan
pembangunan masyarakat muslim vis-a-vis masyarakat maju.
Tetapi semua merupakan inovasi dari yanng lazim berlaku dalam
sejarah Islam klasik, yaitu bahwa kegiatan bisnis dilakukan oleh
individu sedangkan keuangan (Baitul Maal) ditangani oleh negara.
45.
Munculnya bank-bank swasta Islam baik tingkat desa
maupun internasional, diiringi dengan keperluan akan
lembaga-lembaga pendukungnya seperti asuransi. Kerana
itu biasanya jika ada Islamic Banking disuatu negara, maka
muncul pula asuransi Islami (takaful). Tetapi tidak sampai
disitu saja. Karena pada saat bersamaan muncul keperluan
akan adanya pasar modal yang islami.
Oleh karena itu muncul pula fund manager-fund manager
Islam dengan kriteria investasi yang sesuai dengan syariat
Islam. Langkah ini ternyata bukan hanya dilakukan oleh
kaum muslim tetapi juga oleh orang lain.
Baru-baru ini Dow Jones misalnya, mengeluarkan apa yang
disebut Islamic Index yang memuat index saham yang
diperdagangkan secara Islam.
46. 2. KONSEP PERBANKAN ISLAM MODERN
Bank secara etimologis berasal dari bahasa Italia, banco, yang artinya
”kepingan papan tempat buku:”, sejenis ”meja”. Kemudian
penggunaannya lebih diperluas untuk menunjukan ”meja” atau diartikan
dengan ”bangku” tempat penukaran uang, yang dugunakan oleh para
pemberi pinjaman dan para pedagang valuta di Eropa pada abad
Pertengahan untuk memamerkan uang mereka.
Dari kata banco inilah berkembang terus menjadi istilah bank yang
berkembang di era modern sekarang. Istilah ini pun, oleh para ekonom
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. B.N. Ajuna mendefinisikan
bank sebagai :
Bank provide means by which capital is transferred from those who
cannot use it profitable to those who can use it productively for the
society as whole. Bank provide which channel to invest whithout any risk
and at a good rate of interest.
Bank berarti menyalurkan modal dari mereka yang tidak dapat menggunakannya
secara menguntungkan kepada mereka yang dapat membuatnya lebih produktif
untuk keuntungan masyarakat. Bank juga berarti saluran untuk keuntungan
tabungan secara aman dan dengan tingkat bunga yang menarik.
47.
Tampaknya dari definisi di atas, lebih menekankan bahwa bank
adalah financial institution yang menyalurkan dana untuk usaha
yang lebih produktif. Di samping menekankan bank dan suku bunga
yang menarik. Bunga menjadi faktor penting bagi seseorang untuk
mengiventasikan uangnya. Semakin tinggi tingkat suku bungnya
semakin menarik masyarakat mengiventasikan uangnya.
Namun bank dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit/pembiayaan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Jadi, bank tidak hanya berfungsi mengejar keuntungan person atau
kelompok, tapi lebih dari itu, bank harus mempunyai komitmen dan
usaha pada peningkatan kualitas ekonomi masyarakat umum.
Berangkat dari berbagai definisi di atas, maka Islamic Banking
adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ada dalam ajaran Islam, berfungsi sebagai badan usaha yang
menyalurkan dana, dari dan kepada masyarakat, atau sebagai
lembaga perantara keuangan. Islamic Banking merupakan unit
sistem ekonomi Islam yang beroperasi dengan doktrin dasar
larangan terhadap praktik riba.
48.
Dalam konteks perbankan nasional
Indonesia, Islamic Banking diistilahkan
dengan Bank Umum atau Bank
Perkreditan Rakyat yang
pembiayaannya berdasarkan pada
prinsip-prinsip syariah. Pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara
bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan
tersebut setelah jangka waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip syariah yang dimaksudkan
dalam undang-undang tersebut
adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara
bank dengan pihak lain untuk
menyimpan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau
lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah; antara lain:
pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (m ud a a ra ba h),
pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (m us y a ra ka h),
prinsip jual beli barang dengan
memeroleh keuntungan
(m ura ba ha h), atau pembiayaan
barang modal berdasarkan prinsip
sewa murni tanpa pilihan (ija ra h),
atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari pihak
bank oleh pihak lain
(ija ra h wa iq tina ).
49. ALASAN PERLUNYA BANK
1.
2.
Kelemahan
Sistem
Perbankan
Berbasis Bunga
3.
4.
5.
Transaksi berbasis bunga melanggar
keadilan atau kewajaran bisnis.
Transaksi fleksibelnya sistem
transaksi berbasis bunga
menyebabkan kebangkrutan.
Komitmen bank untuk menjaga
keamanan uang deposan berikut
bunganya membuat bank cemas
untuk mengmbalikan pokok dan
bunganya.
Sistem transaksi berbasis bunga
menghalangi munculnya inovasi oleh
usaha kecil.
Dalam sistem bunga, bank tidak
akan tertarik dalam kemitraan usaha
kecuali bila ada jaminan kepastian
pengembalian modal dan pendapatan
bunga mereka.
50. PERSPEKTIF BANK
1.
2.
3.
Perbankan syariah memiliki peran strategis dalam
meningkatkan kesejahteraan ummat; melalui
proses intermediasi kegiatan penghimpunan dan
penyaluran dana maupun penyediaan jasa
keuangan lainnya, berlandaskan kepada prinsipprinsip syariah.
Ketika sistem perbankan konensional sempoyongan
karena krisis moneter dan memerlukan biaya yang
begitu besar untuk mempertahankannya,
perbankan syariah justru mampu menyelamatkan
sebagian ekonomi umat.
Kemampuan survival perbankan syariah dalam era
krisis, telah menarik banyak perhatian para banker
konvensional yang kemudian membuka kantorkantor cabang syariah.
51. KEUNGGULAN OPERASIONAL BANK
a. Kegiatan usaha dilakukan secara professional, namun tetap
realistis, seraya mengakui keterbatasan manusia yang tidak selalu
dapat memeroleh hasil sebagaimana yang diinginkannya.
Sama halnya dengan bank konvensional, prinsip prudential maupun
profesionalitas juga diterapkan dalam perbankan syariah.
Bank syariah tidak memastikan besaran return dalam menjalankan
usahanya, dan karenanya tidak mengenal “bunga” sebagai parameter
balas jasa finansial.
“……Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang
diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana
dia akan mati……”. Luqman (31 : 34)
b. Bagi hasil dalam perbankan syariah dilakukan dengan cara
menetapkan porsi pembagian keuntungan (nisbah), baik antara
bank dengan nasabah pemilik dana (liabilities) maupun dengan
nasabah penguna dana (assets). Sedangkan angka nominal yang
akan diperoleh oleh para pihak akan sangat tergantung pada
realisasi hasil usaha.
c. Berbeda dengan bank konvensional, pendekatan usaha yang
dilakukan perbankan syariah adalah pada sisi assets terlebih
dahulu, baru kemudian dari sisi liabilities.
52. LANDASAN OPERASIONAL BANK
1.
2.
3.
Tidak membenarkan transaksi spekulatif (masyir),
jual beli atas suatu barang yang dibeli (gharar) dan
jual-beli bersyarat (mengandung unsur riba).
Dalam berinteraksi dengan nasabah, bank syariah
memposisikan diri sebagai mitra investor dan
pedagang, bukan dalam hubungan lender dan
borrower sebagaimana yang berlaku pada bank
konvensional.
Akad transaksi yang sudah disepakati dengan
nasabah tidak akan mengalami perubahan sampai
dengan berakhirnya, walaupun misalnya terjadi
gejolak moneter.
53. 3. TUJUAN ISLAMIC BANKING
Pa nd angan
Para Teoritis
2. Pandangan
Praktisi
ekonomi
Islam.
1.
Tujuan
Islamic
Banking
54. 3. TUJUAN ISLAMIC BANKING
1.
Para teoritis ekonomi Islam,
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, adalah perbankan yang
menyediakan fasilitas dengan cara mengupayakan
instrumen-instrumen yang sesuai dengan ketentuanketentuan dan norma-norma syariah. Perangkat-perangkat
tersebut bertujuan utnuk memberikan keuntungankeuntungan sosio ekonomis bagi orang-orang muslim,
bukan semata-mata ditujukan untuk memaksimumkan
keuntungan yang diperoleh, sebagaimana yang menjadi
tujuan perbankan konvensional.
Komitmen akan pembangunan dan kemajuan bagi
masyarakat muslim menjadi tujuan utama keberadaan
Islamic Banking. Tidak heran jika Islamic Development
Bank (IDB) mengkhususkan diri bagi pembangunan
negara-negara Islam.
55.
Pandangan yang serupa menurut oleh M. Umer
Chapra, bahwa Islamic Banking bertujuan untuk
meningkatkan kesempatan kerja dan
kesejahteraan masyarakat Islam yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam.
Oleh karenanya, Islamic Banking harus sungguhsungguh dalam menyiapkan berbagai perantinya
yang menekankan bahwa pembiayaan yang
disedikannnya tidak akan meningkatkan
konsentrasi kekayaan atau meningkatkan
konsumsi.
Ia sangat menekankan adanya keseimbangan dan
keadilan dalam berbagai pembiayaan yang berlaku
dalam perbankan Islam, sehingga kesenjangan
sosial dan ekonomi dalam masyarakat Islam dapat
dieliminir, kalau tidak dapat dihapuskan.
56. 2. Para praktisi ekonomi Islam atau bankir Islam
Menganggap bahwa peranan Islamic Banking sematasemata bertujuan untuk komersial dengan mendasarkan
pada instrumen-instrumen keuangan yang bebas bunga dan
ditujukan untuk menghasilkan keuntungan finansial. Ini
berarti bahwa para bankir Islam menganggap bahwa
Islamic Banking bukan sebagai lembaga sosial semata. Hal
ini didasarksn pada pandangan Abdul Halim Ismail, Bank
Islam Malaysia Berhad, mengemukakan: ”sebagai seorang
bisnis muslim patuh, sebagai bank semata-mata
mengupayakan setinggi mungkin keuntungan tanpa
menggunakan instrumen yang berdasarkan bunga.”
Namun demikian, tidak berarti bahwa para bankir Islam
menganggap bahwa Islamic Banking adalah sebuah
lembaga yang hanya berorientasi pada profit semata tanpa
memerhatikan aspek kepedulian kepada perkembangan
masyarakat Islam, jika perbankan didasarkan pada sistem
dan norma-norma Islam maka ia harus tunduk dan patuh
kepada semua aturan yang berlaku dalam ajaran Islam.
Salah satu dari ajaran Islam adalah kepedulian dan adanya
komitmen yang kuat untuk membangun solidaritas sosial
dan ekonomi.
57. 4. BEBAS BUNGA SEBAGAI
PRINSIP DASAR ISLAMIC BANKING
Islamic Banking adalah bank yang beroperasi dengan prinsip
dasar tanpa menggunakan sistem bunga dalam sistem
operasionalnya. Prinsip ini yang membedakan secara prinsipil
antara sistem operasional Islamic Banking dengan bank
konvensional. Kelahiran Islamic Banking sendiri lahir sebagai
solusi terhadap praktik membungakan uang dengan menawarkan
sistem lain yang sesuai dengan syariah Islam.
Bagi bank konvensional bunga merupakan hal penting untuk
menarik minat para investor mengiventasikan modalnya pada
suatu bank. Semakin tinggi tingkat bunganya semakin tertarik
para investor menabung. Tingkat suku bunga merupakan unsur
penting dalam sistem perbankan konvensional. Islamic Banking
yang bekerja menggunakan sistem non bunga melakukan
transaksi dengan menggunakan sistem, misalnya profit and loss
sharing, yaitu sistem bagi hasil. Keuntungan dan kerugian yang
terjadi ditanggung oleh kedua belah pihak, mudharib dan shahib
al-maal.
58.
Sistem tersebut telah dikenal dan dipraktikkan dalam dunia
perdagangan Islam sejak zaman Rasulullah shalallahu alaihi wa
salam. Sampai dengan abad ke-19, sebelum dunia Islam
berkenalan dan berada dalam kendali penjajahan Barat yang
memperkenalkan sistem bunga bank. Namun demikian, tidak
berarti bahwa setelah itu sistem bagi hasil dihapus dalam praktik
perdagangan umat Islam. Sebab dalam berbagai kasus terutama
masyarakat yang mempunyai tradisi keislaman yang kuat, tetap
mempertahankan sistem bagi hasil dalam praktik perdagangannya.
Dalam sistem bunga bank dan bagi hasil mempunyai sisi
persamaan yaitu sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik
modal, namun keduanya memiliki perbedaan yang prinsipil.
Perbedaaan yang pokok adalah sistem bunga uang merupakan
sistem yang dilarang oleh agama Islam, sedangkan bagi hasil
merupakan keuntungan yang tidak mengandung riba sehingga
tidak diharamkan oleh ajaran Islam.
Sistem bagi hasil mempunyai keuntungan sebab tidak akan
menimbulkan negative spread, pertumbuhan modal negatif, dalam
permodalan bank sebagaimana yang biasa terjadi dalam perbankan
konvensional yang menggunakan sistem bunga. Hal ini terjadi, di
satu pihak disebabkan karena adanya tingkat suku bunga deposito
yang tinggi, dan di pihak lain bunga kredit dibebani tingkat bunga
yang rendah untuk menarik para investor menanamkan modalnya.
59.
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad berlangsung
dengan asumsi harus selalu untung, tidak ada asumsi
kerugian. Pembayaran bunga tetap akan dilakukan, misalnya
dalam suatu proyek, tanpa mempertimbangkan apakah
proyek yang dijalankan itu mempunyai keuntungan atau tidak.
Sedangkan sistem bagi hasil, penentuan besarnya rasio atau
nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman
pada kemungkinan untung dan rugi. Maka dalam suatu proyek
yang dilakukan nasabah, apabila mengalami kerugian akan
ditanggung bersama. Sisi lain pada sistem bagi hasil, jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan sedangkan sistem konvensional, jumlah
pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah
keuntungan berlipat. Dengan demikian, fungsi pengawasan
dalam sistem Islamic Banking sangat penting.
Oleh karena itu, Islamic Banking dirancang untuk terbinanya
hubungan kebersamaan dalam menanggung risiko uasah dan
berbagai hasil usaha antara pemilik modal yang menyimpan
uangnya di bank, bank selaku pengelola dana dan masyarakat
yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana
atau pengelola usaha.