Dokumen tersebut membahas tentang kernikterus pada bayi baru lahir. Kernikterus adalah komplikasi berbahaya dari ikterus neonatorum yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Ikterus neonatorum umumnya disebabkan oleh tingginya produksi bilirubin dan rendahnya ekskresi bilirubin pada masa transisi bayi baru lahir. Kernikterus akan terjadi bila kadar bilirubin tidak terkendalikan dan menyebabkan pengend
1. KERNIKTERUS
PENDAHULUAN
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000
kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi ―Indonesia Sehat 2010‖, maka salah satu
tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi
pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab
mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai
kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling
berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa
berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan
rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi
bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia
gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus
ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan.
Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan
menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil
memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).
Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama
kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah sakit pemerintah dan
pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan 75% bayi baru lahir
menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, insidens ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan di beberapa RS pendidikan antara lain RSCM, RS Dr.
Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi bervariasi dari 13,7% hingga 85%(1).
DEFINISI
2. - Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi
di dalam sel-sel otak(2).
- Kernikterus ialah kerusakan otak akibat perlekatan bilirubin indirek pada otak
terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus, hipokampus dan nucleus pada
dasar ventrikel IV(3).
PATOFISIOLOGI
Penimbunan pigmen empedu dalam tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi
lebih kuning dan disebut sebagi ikterus. Ikterus biasanya dapat dideteksi pada sklera, kulit,
atau urine yang menjadi gelapbila bilirubin serum mencapai 2 sampai 3 mg/dl. Bilirubin
serum normal adalah 0,3 – 0,1 mg/dl. Jaringan permukaan yang kaya elastin, seperti sklera
dan permukaan bawah lidah, biasanya menjadi kuning pertama kali. Pemahaman mekanisme
ikterus menyangkut pengertian, transpor, metabolisme, dan ekskresi bilirubin(4).
Metabolisme Bilirubin Normal
Pada individu normal, pembentukan dan ekskresi bilirubin melalui langkah-langkah seperti
yang terlihat dalam gambar. Sekitar 80 hingga 85% bilirubin terbentuk dari pemecahan
eritrosit tua dalam sistem monosit-makrofag. Masa hidup rata-rata eritrosit 120 hari. Setiap
hari dihancurkan sekitar 50 ml darah, dan menghasilkan 250 sampai 350 mg bilirubin. Kini
diketahui bahwa sekitar 15 hingga 20 % pigmen empedu total tidak bergantung pada
mekanisme ini, tetapi berasal dari destruksisel eritrosit matur dalam sumsum tulang dan dari
hemoprotein lain, terutama dari hati.
Pada katabolisme hemoglobin, globin mula-mula dipisahkan dari heme, setelah itu heme
dirubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin.
Biliverdin adalah pigmen kehijauaan yang dibentuk melalui oksidasi bilirubin. Bilirubin tak
terkonjugasi larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat diekskresi dalam
empedu atau urine. Bilirubin tak terkonjugasi berikatan dengan albumin dalam suatu komleks
larut air, kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin di dalam hati
berlangsung dalam tiga langkah ; ambilan, konjugasi, dan ekskresi. Ambilan oleh sel hati
memerlukan dua protein hati. Konjugasi bilirubin dengan asam glukoronat dikatralisis oleh
enzim glukoronil tranferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut
dalam lemak, tetapi larut dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urine. Langkah
terakhir dalam metabolisme bilirubin hati adalah transpor bilirubin terkonjugasi melalui
membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Bilirubin tak terkonjugasi tidak
diekskresikan ke dalam empedu, kecuali setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerisasi.
3. Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang disebut
sterkobilin atau urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10
hingga 20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil
diekskresikan dalam urine(4).
Empat mekanisme umum yang menyebabkan hiperbilirubinemia dan ikterus :
Pembetukan bilirubin yang berlebihan
Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati.
Gangguan konjugasi bilirubin
Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstra
hepatik yang bersifat fungsional atau disebabkan oleh obstruksi mekanik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme pertama,
sedangkan mekanisme ke empat terutama menyebabkan hiper bilirubinemia terkonjugasi(4).
Gambar 1. Metabolisme Bilirubin :
Ikterus
4. Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan
bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum
yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin
yang tidak dikendalikan.
neonatal jaudince kuning pada bayi baru lahir) dapat dibagi menjadi 2 katagori berdasarkan
penyebabnya :
1. Physilogical Sebagian besar bayi baru lahir mengalami peningkatan kadar bilirubin
inderek pada hari – hari pertama kehidupan ( biasanya hari ke 2 – 3 ), mencapai puncaknya
pada hari ke 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10–14 . kadar bilirubin pun
biasanya tidak melebihi 12 mg/dl. Proses tersebut antara lain karena bayi baru lahir
mempunyai kadar Hb yang tinggi (18–19 g/dl) yang diperlukan selama masa janin untuk
membawa oksigen. Setelah bayi lahir dan dapat bernapas (menghirup oksigen), kadar Hb
yang tinggi tidak diperlukan lagi sehingga Hb mulai turun. Penurunan Hb sampai sekitar 11–
12 g/dl ini terjadi pada minggu pertama kehidupan dan pemecahan ini menyebabkan
unconjugated bilirubin (bilirubin inderek) meningkat dalam darah. Selain itu belum
matangnya fungsi hati bayi baru lahir. Pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap
normal dan karenanya disebut ikterus fisiologis(5).
Teori lain mengatakan bahwa sel-sel darah merah yang telah tua dan rusak akan dipecah atau
dihidrolisis menjadi bilirubin (pigmen warna kuning), yang oleh hati akan dimetabolisme dan
dibuang melalui feses. Di dalam usus juga terdapat banyak bakteri yang mampu mengubah
bilirubin sehingga mudah dikeluarkan bersama feses. Hal ini terjadi secara normal pada orang
dewasa. Pada bayi baru lahir, jumlah bakteri yang melakukan metabolisme bilirubin ini masih
belum mencukupi sehingga ditemukan bilirubin yang masih beredar dalam tubuh tidak
dibuang bersama feses. Begitu pula dalam usus bayi terdapat enzim glukoronil transferase
yang mampu mengubah bilirubin dan menyerap kembali bilirubin ke dalam darah sehingga
makin memperparah akumulasi bilirubin dalam badannya. Akibatnya pigmen tersebut akan
disimpan di bawah kulit, sehingga jadilah kulit bayi kuning. Biasanya dimulai dari wajah,
dada, tungkai dan kaki menjadi kuning(6)
2. Patological
Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin terlalu berlebihan atau konyugasi hati
menurun sehingga terjadi kumulasi bilirubin di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin
yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel otak apabila bilirubin tadi menembus
sawar darah otak. Kelainan pada otak ini disebut kernikterus(5).
5. Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama
pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning.
Penyebab yang sering adalah hemolisis akibat inkompatibilitas golongan darah atau Rh
(biasanya kuning sudah terlihat pada 24 jam pertama), defisiensi enzim G6PD. Hemolisis
dapat pula timbul karena perdarahan tertutup seperti cefal hematom. Bilirubin inderek akan
lebih mudah melalui sawar darah otak pada bayi berat lahir rendah, immaturitas, hipoksia,
hipoglikemia dan infeksi(5). Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat
toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang
bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan
terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa
kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih
dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak hanya
tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan mudak melewati darah otak apabila
bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah, hipoksia, dan hipolikemia(7).
Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:
Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)
Ikterus yang disertai oleh:
Berat lahir <2000 gram
Masa gestasi 36 minggu
Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
Infeksi
Trauma lahir pada kepala
Hipoglikemia, hiperkarbia
Hiperosmolaritas darah
Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada
NKB)(8).
ETIOLOGI
Kernikterus terjadi akibat peninggian kadar blirubin indirek sehingga mencapai keadaan yang
disebut sebagai hiperbilirubinemia, yaitu bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% untuk bayi
cukup bulan dan 15 mg% untuk bayi kurang bulan(3).
6. Etiologi hiperbilirubin antara lain :
1. Peningkatan produksi
Penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit merupakan penyebab tersering
dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut sebagai
ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai
bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan hati. Hal ini mengakibatkan peningkatan
kadar bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Meskipun demikian, pada penderita hemolitik
berat, kadar bilirubin serum jarang melebihi 5 mg/dl dan ikterus yang timbul bersifat ringan
serta berwarna kuning pucat. Bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air, sehingga tidak
dapat di ekskresi dalam urin dan tidak terjadi bilirubinuria. Namaun demikian terjadi
peningkatan pembentukan urobilinogen (akibat peningkatan beban bilirubin terhadap hati dan
peningkatan konjugasi serta ekskresi), yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan ekskresi
dalam feses dan urine. Urine dan feses berwarna lebih gelap.
Beberapa penyebab lazim ikterus hemolitik adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada
anemia sel sabit), eretrosit abnormal ( verositosis herediter), antibodi dalam serum
(inkompatibilitas Rh atau transfusi atau akibat penyakit hemolitik autoimun), pemberian
beberapa obat, dan peningkatan hemolisis. Sebagian kasus ikterus hemolitik dapat disebabkan
oleh suatu proses yang disebut sebagai eritropoiesis yang tidak efektif. Proses ini
meningkatkan dekstruksi eritrosit atau prekursornya dalam sumsum tulang ( talasemia,
anemia pernisiosa, dan porfiria).
Pada orang dewasa, pembentukan bilirubin berlebihan yang berlangsung kronis dapat
menyebabkan terbentuknya batu empedu yang mengandung sejumlah besar bilirubin ; diluar
itu, hiperbilirubinemia ringan umumnya tidak membahayakan. Pengobatan langsung
ditujukan untuk memperbaiki penyakit hemolitik. Akan tetapi, kadar bilirubin tak
terkonjugasi yang melebihi 20 mg/dl pada bayi dapat menyebabkan terjadinya kernikterus(4).
Beberapa penyebab peningkatan produksi bilirubin :
• Hemolisis, misalnya pada inkompalibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah dan anak pada penggolongan rhesus dan ABO.
• Perdarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
7. • Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolic yang terdapat
pada bayi hipoksia atau asidosis
• Defisiensi G6PD (Glukosa 6 Phostat Dehidrogenase)
• Breast milk jaundice yang disebabkan oleh kekurangannya pregnan 3 (alfa), 20
(beta), diol (steroid), Galaktosemia
• Kurangnya enzim glukoronil transferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat
misalnya pada BBLR
• Kelainan congenital
2. Gangguan ambilan bilirubin
Ambilan bilirubun tak terkonjugasi terikat-albumin oleh sel hati dilakukan dengan
memisahkan dan mengikatkan bilirubin terhadap protein penerima. Hanya beberapa obat
yang telah terbukti berpengaruh dalam ambilan bilirubin oleh hati : asam flavaspidat (dipakai
untuk mengobati cacing pita), novobiosin, dan bebrapa zat warna kolesistografi.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan ikterus biasanya menghilang bila obat pencetus
dihentikan. Dahulu, ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom gilbert dianggap disebabkan
oleh defisiensi protein penerima dan gangguan ambilan oleh hati. Namun pada sebagian besar
kasus ditemukan adanya defisiensi glukoronil transferase, sehingga keadaan ini paling baik
dianggap sebagai defek konjugasi bilirubin(4).
3. Gangguan konjugasi bilirubin
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (<12,9 mg/100ml) yang timbul antara hari kedua
dan kelima setelah lahir disebut sebagai ikterus fisiologis neonatus. Ikterus neonatal yang
normal ini disebabkan oleh imaturitas enzim glukoronil transferase. Aktivitas glukoronil
transferasebiasanya meningkat beberapa hari hingga minggu kedua setelah lahir, dan setelah
itu ikterus akan menghilang.
Apabila bilirubin tak terkonjugasi pada bayi baru lahir melampaui 20 mg/dl, terjadi suatu
keadaan yang disebut kernikterus. Keadaan ini dapat timbul bila suatu proses hemolitik
(seperti eritroblastosis fetalis) terjadi pada bayi baru lahir dengan defesiensi glukoronin
transferase normal. Kernikterus (atau bilirubin ensefalopati) timbul akibat penimbunan
8. bilirubin tak terkonjugasi pada daerah ganglia basalis yang banyak mengandung lemak. Bila
keadaan ini tidak diobati maka terjadi kematian atau kerusakan neurologis yang berat.
Tindakan pengobatan terbaru pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
adalah dengan foto terapi. Foto terapi adalah pemajanan sinar biru atau sinar fluoresen
(panjang gelombang 430-470 nm) pada kulit bayi. Penyinaran ini menyebabkan perubahan
struktural bilirubin (foto-isomerisasi) menjadi isomer terpolarisasi yang larut dalam air,
isomer ini diekskresikan dengan cepat kedalam empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih
dahulu(4).
Tiga gangguan herediter yang menyebabkan defisiensi progresif enzim glukoronil transferase
adalah : sindsrom Gilbert dan sindrom Crigler-Najjar tipe I dan tipe II. Sindrom Gilbert
merupakan suatu penyakit familiar ringa yang dicirikan dengan ikterus dan
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ringan (2-5 mg/ml) yang kronis. Penelitian terbaru telah
mengidentifikasi adanya dua bentuk sindrom Gilbert. Bentuk pertama pasien dengan bukti
hemolisis dan peningkatan penggantian bilirubin. Bentuk kedua memiliki bersihan bilirubin
yang menurun dan tidak terdapat hemolisis. Kedua bentuk ini dapat terjadi pada pasien yang
sama dan dalam waktu yang sama (Isselbacher, 1998). Pada sindrom Gilbert, derajat ikterus
berubah-ubah dan sering kali memburuk pada puasa lama, infeksi, stres, oprasi, dan asupan
alkohol yang berlebihan. Awitan paling sering terjadi semasa remaja. Sindrom Gilbert sering
terjadi dan menyerang sampai 5 % penduduk pria. Uji fungsi hati serta kadar urobilinogen
urin dan feses , normal. Tidak ada urobilinuria . Penelitian mengungkapkan bahwa penderita
ini mengalami defisiensi parsial glukorinil transferase. Keadaan ini dapat diobati dengan
fenobarbital, yang merangsang aktivitas enzim glukoronil transferase(4).
Sindrom Crigler najjar tipe 1 merupakan gangguan herediter yang jarang terjadi. Penyebabya
adalah suatu gen resesif, dengan tidak adanya glukoronil transferase sama sekali sejak lahir .
Oleh karena itu tidak terjadi konjugasi bilirubin sehingga empedu tidak berwarna dan kadar
bilirubin tak terkonjugasi melampaui 20 mg/100ml. Hal ini menyebabkan terjadinya
kernikterus. Fototerapi dapat mengurangi hiperbilirubinemia tak terkonjugasi untuk
sementara waktu, tetapi biasanya bayi meninggal pada usia satu tahun . Sindrom Cigler–
Najjar tipe II adalah bentuk penyakit yang lebih ringan , diwariskan sebagai suatu sifat
genetik dominan dengan defisiensi sebagian glokorinil transerase . Kadar bilirubin tak
terkonjugasi serum lebih frendah (6-20 mg/dl) dan ikterus mungkin tidak terlihat sampai usia
remaja. Fenobarbital yang meningkatkan aktivitas glukoronil transferase seringkali dapat
menghilangkan ikterus pada pasien ini(4).
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi
Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor fungsional maupun obstruktif,
terutama menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi
larut dalam air, sehingga dapat diekskresi dalam urine dan menimbulkan bilirubinuria serta
urine yang gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen urine sering menurun sehingga feses
terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai bukti-bukti kegagalan
ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali, AST, kolesterol, dan garam
9. empedu dalam serum. Kadar garam empedu yang meningkat dalam darah menimbulkan
gatal-gatal pada ikterus. Ikterus akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi biasanya lebih kuning
dibandingkan akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Perubahan warna berkisar dari
oranye–kuning muda atau tua sampai kuning–hijau muda atau tua bila terjadi obstruksi total
aliran empedu. Perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang merupakan
nama lain ikterus obstruktif. Kolestatis dapat berupa intrahepatik (mengenai sel hati,
kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati). Pada
kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa(4).
Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah penyakit hepatoselular dengan kerusakan
sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis pada penyakit ini,
pembengkakan dan dis organisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau
kolangiola. Penyalit hepato selular biasanya mengganggu semua pase metabolisme bilrubin-
ambilan, konjugasi, dan ekskresi-tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang
paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab kolestasis intrahepatik
yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin-
Johnson serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada keadaan ini terjadi gangguan trasfer
bilirubin melalui membran hepatosik yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam
sel. Obat yang sering mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anastetik), kontrasepsi oral,
estrogen, steroid anabolik, isoniazit, dan klorpomazin(4).
Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada
ujung bawah duktus koledokus ; karsinoma kaput pankreas menyebabkan tekanan pada
duktus koledokus dari luar ; demikian juga dengan karsinoma ampula Vateri. Penyebab yang
lebih jarang adalah striktur paska peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar
limfe pada porta hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat
menyumbat duktus hepatikus kanan atau kiri(4).
5. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya
hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya sulfadiazine(7).
6. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang
dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, toksoplasmosis, syphilis,
hepatitis neonatus(7).
7. Peningkatan sirkulasi enterohepatik, misalnya pada ileus obstruktif
8. Hipotiroidisme(7).
Faktor risiko untuk timbulnya hiperbilirubinemia:
10. Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
- Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
- ASI
Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
- Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia(1)
11. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda dan gejala kernikterus biasanya muncul 2-5 hari sesudah lahir pada bayi cukup
bulan dan paling lambat hari ke-7 pada bayi premature, tetapi setiap saat hiperbilirubinemia
dapat menyebabkan sindrom setiap saat selama neonatus. Tanda-tanda awal bias tidak dapat
dibedakan dengan sepsis, asfiksia, hipoglikemia, perdarahan intracranial, dan penyakit
sistemik akut lainnya pada neonatus(2).
Gejala-gejala awal pada Kernikterus :
- Lesu
- Nafsu makan jelek
- Refleks Moro hilang
- Bayi tampak sangat sakit
- Refleks tendo (-)
- Kegawatan pernafasan
- Opistotonus
- Fontanela mencembung
- Muka dan tungkai berkedut
- Tangisan melengking (high pitch cry)
12. Pada kasus yang lanjut dapat terjadi konvulsi dan spasme, kekakuan pada bayi dengan lengan
yang terekstensi dan berotasi ke dalam serta tangannya menggenggam. Rigiditas jarang
terjadi pada stadium lanjut(2).
DIAGNOSIS
Berbagai teknik diagnostik telah digunakan untuk menilai ikterus pada bayi baru lahir.
Pengukuran bilirubin serum dianggap sebagai metode paling tepercaya, tetapi memiliki
keterbatasan karena bersifat invasif dan juga keterbatasan dalam hal peralatan dan biaya.
Pemeriksaan langsung secara visual tidak dapat dipercaya sepenuhnya dan dapat
menyebabkan kesalahan diagnosis. Metode pemeriksaan non-invasif lain seperti
transcutaneus bilirubinometry (TcB) merupakan alternatif pemeriksaan (skrining)
pengukuran bilirubin serum(1).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah :
Kadar bilirubin serum (total)
Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
Pemeriksaan kadar enzim G6PD
Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap
galaktosemia.
Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan
pemeriksaan C reaktif protein (CRP)(8).
Untuk menentukan tatalaksana pada kasus-kasus hiperbilirubinemia yang predominan tak
terkonjugasi, gunakan kadar bilirubin serum total.
Kadar albumin serum tidak perlu diperiksa.
Bilirubin serum dari sampel kapiler dianggap sama dengan yang dari sampel vena.
Penjemuran tidak dianjurkan untuk penanganan ikterus.
13. Derajat Ikterus pada neonatus menurut Kramer Ikterus dimulai dari kepala, leher dan
seterusnya. Dan membagi tubuh bayi baru lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut,
tumit-pergelangan kaki dan bahu pergelanagn tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak
kaki dan telapak tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain. Kemudian penilaian kadar bilirubin
dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan angka rata-rata didalam tabel di bawah ini (7,9):
Tabel 1: derajat ikterus menurut kramer
Zona Bagian tubuh yang kuning Rata-rata serum bilirubin indirek (umol/L)
1 Kepala dan leher 100
2 Pusat – leher 150
3 Pusat – paha 200
4 Lengan + tungkai 250
5 Tangan + kaki > 250
PENATALAKSANAAN
Sampai saat ini belum ada keseragaman tata laksana ikterus neonatorum di Indonesia. Kadar
serum bilirubin untuk memulai masing-masing jenis terapi (terapi sinar, transfusi tukar, obat-
obatan) masih menjadi pertanyaan. Di satu sisi kelambatan terapi dapat berakibat buruk di
masa datang, di lain sisi terapi yang berlebihan berarti menyia-nyiakan sumber daya yang
tidak perlu(1).
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah kadar bilirubin indirek dalam
darah mencapai kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksisitas, dianjurkan agar
dilakukan fototerapi, dan jika tidak berhasil transfuse tukar dapat dilakukan untuk
mempertahankan kadar maksimum bilirubin total dalam serum dibawah kadar maksimum
pada bayi preterm dan bayi cukup bulan yang sehat (2)
14. Tabel 2 : Kadar bilirubin indirek maksimum (bayi preterm)(1)
BB lahir (g) Tidak ada komplikasi Ada komplikasi
< 1000 12-13 10-12
1000-1250 12-14 10-12
1251-1499 14-16 12-14
1500-1999 16-20 15-17
2000-2500 20-22 18-20
Komplikasi : Asfiksia, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia, meningitis, PIV,
hemolisis, hipoglikemia atau tanda-tanda kernikterus.
Tabel 3 : Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan yang sehat (1)
Umur (jam) Fototerapi Fototerapi&persiapan transfusi tukar Transfusi tukar jika
fototerapi gagal
< 24 - - -
24-48 15-18 25 20
49-72 18-20 30 25
> 72 20 30 25
> 2 Minggu Transfusi tukar Transfusi tukar Transfusi tukar
Berdasarkan pada penyebabnya maka manajemen bayi dengan hiperbilirubinemia diarahkan
untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari hiperbilirubinemia. Pengobatan mempunyai
tujuan :
1. Menghilangkan anemia
2. Menghilangkan antibody maternal dan eritrosit teresensitisasi
3. Meningkatkan badan serum albumin
4. Menurunkan serum bilirubin
15. Metode terapi hiperbilirubinemia meliputi : fototerapi, transfuse pangganti, dan therapi
obat(7).
A. Fototherapi
Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfuse pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi (a
bound of fluorescent light bulbs or bulbs in the blue light spectrum) akan menurunkan
bilirubin dalam kulit. Fototerapi menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi
ekskresi bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan
merubah bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam
darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati. Fotobilirubin kemudian
bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum untuk di buang bersama feses
tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi
bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine(7).
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar bilirubin, tetapi tidak
dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat menyebabkan anemia. Secara
umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Noenatus yang sakit
dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus difototerapi dengan konsentrasi bilirubin 5
mg/dl. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24
jam pertama pada bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah(7).
Bilirubin menyerap cahaya secara maksimal pada kisaran biru (dari 420-470 nm). Meskipun
demikian cahaya putih berspektrum luas dan biru, biru (super) berspektrum sempit khusus,
dan hijau efektif menurunkan kadar bilirubin(2).
Komplikasi fototerapi pada bayi meliputi tinja lembek, ruam macular eritematosa, kepanasan
dan dehidrasi (peningkatan kehilangan air yang tidak terasa [insensible water loss], diare,
menggigil karena pajanan, dan sindrom bayi perunggu (perubahan warna kulit yang coklat
keabu-abuan dan gelap). Fototerapi merupakan kontraindikasi bila ada porfiria. Jejas mata
atau oklusi hidung karena pembalut tidak lazim terjadi(2).
Mekanisme kerja
Bilirubin tidak larut dalam air. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin
menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika
16. bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat
konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat
dibersihkan dari plasma melalui empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi
bilirubin akibat terapi sinar pada manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi
diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin
lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui
empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin(1).
Terapi sinar konvensional
Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm. Intensitas cahaya yang biasa digunakan
adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi. Jumlah
bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru
khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes. Cahaya biru khusus memiliki kerugian
karena dapat membuat bayi terlihat biru, walaupun pada bayi yang sehat, hal ini secara umum
tidak mengkhawatirkan. Untuk mengurangi efek ini, digunakan 4 tabung cahaya biru khusus
pada bagian tengah unit terapi sinar standar dan dua tabung daylight fluorescent pada setiap
bagian samping unit(1).
Teknik terapi sinar :
Persiapan Unit Terapi sinar
Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah
lampu antara 38 0C sampai 30 0C.
Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.
Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):
Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.
Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa
berfungsi.
Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah
unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayi(1).
Pemberian Terapi Sinar :
Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar. (Gambar 3)
17. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet.
Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.
Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.
Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup.
Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.
Balikkan bayi setiap 3 jam
Pastikan bayi diberi makan:
Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam:
- Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata
- Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh:
pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.
Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan
volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari (tabel 3) selama bayi masih
diterapi sinar .
Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari
sinar terapi sinar .
Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek
dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.
Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:
Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa
dilakukan di dalam unit terapi sinar . Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar
terapi sinar sebentar untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan
bibir biru)
Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih
dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi
sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C – 37,5 0C.
Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar (tabel 4), persiapkan
kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk
transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
18. Setelah terapi sinar dihentikan:
Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila memungkinkan,
atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis. (tabel 1)
Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk memulai
terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap
penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui
metode klinis berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.
Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada
masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi
bertambah kuning(1).
Komplikasi Terapi Sinar
Komplikasi terapi sinar umumnya ringan, sangat jarang terjadi dan reversibel.
Tabel 3. Komplikasi terapi sinar
Kelainan Mekanisme yang mungkin terjadi
Bronze baby syndrome Berkurangnya ekskresi hepatik hasil penyinaran bilirubin
Diare Bilirubin indirek menghambat laktase
Hemolisis Fotosensitivitas mengganggu sirkulasi eritrosit
Dehidrasi Bertambahnya Insensible Water Loss (30-100%) karena menyerap energi
foton
Ruam kulit Gangguan fotosensitasi terhadap sel mast kulit dengan pelepasan histamin
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas terapi sinar :
Intensitas radiasi, kurva spektrum emisi dan luas tubuh bayi yang terpapar. Intensitas cahaya
yang diperlukan 6-12 nm. Terdapat hubungan antara dosis dengan degradasi bilirubin sampai
dosis saturasi tercapai. Hal ini bisa dicapai dengan memberikan paparan pada permukaan
kulit secara maksimum dari 40 mW/cm2 per nm cahaya yang sesuai. Di atas titik saturasi,
peningkatan intensitas tidak memberikan efek tambahan apa-apa(1).
19. Efikasi terapi sinar meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bilirubin, tetapi tidak efektif
untuk menurunkan konsentrasi bilirubin di bawah 100 mmol/l. Penurunan sebanyak 50%
dapat dicapai dalam 24 jam dengan kadar bilirubin >15 mg/dL menggunakan cahaya biru
yang memiliki spektrum emisi yang sama dengan spektrum absorpsi bilirubin.
Faktor lain adalah usia bayi, umur gestasi, berat badan dan etiologi ikterus. Terapi sinar
paling efektif untuk bayi prematur yang sangat kecil dan paling tidak efektif untuk bayi matur
yang sangat kecil (gangguan pertumbuhan yang sangat berat) dengan peningkatan
hematokrit. Selain itu, makin tinggi kadar bilirubin pada saat memulai fototerapi, makin
efektif.
Faktor yang mengurangi efikasi terapi sinar adalah paparan kulit yang tidak adekuat, sumber
cahaya terlalu jauh dari bayi (radiasi menurun secara terbalik dengan kuadrat jarak), lampu
fluoresens yang terlalu panas menyebabkan perusakan fosfor secara cepat dan emisi spektrum
dari lampu yang tidak tepat. Idealnya, semua ruang perawatan perinatologi memiliki
peralatan untuk melakukan terapi sinar intensif(1).
Gambar 2. Bayi dalam Unit Terapi sinar
Beberapa faktor risiko yang penting adalah :
Penyakit hemolisis autoimun (penghancuran sel darah merah oleh sistem kekebalan tubuh
sendiri)
Kekurangan enzim G6PD yang dibutuhkan sel darah merah untuk berfungsi normal
Kekurangan oksigen
Kondisi lemah atau tidak responsif
Tidak stabilnya suhu tubuh
Sepsis (keadaan infeksi berat di mana bakteri telah menyebar ke seluruh tubuh)
Gangguan keasaman darah
Kadar albumin (salah satu protein tubuh) < 3.0 g/dL(10)
Pada bayi yang menerima ASI yang harus menjalani terapi cahaya, pemberian ASI
dianjurkan untuk tetap dilakukan :
Selama terapi cahaya, beberapa hal ini perlu diperhatikan:
20. Pemberian ASI atau susu formula setiap 2-3 jam
Jika TSB >25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 2-3 jam
Jika TSB 20–25 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 3-4 jam
Jika TSB <20 mg/dL, ulangi pengukuran dalam 4-6 jam
Jika TSB terus menurun, ulangi pengukuran dalam 8-12 jam
Jika TSB tidak menurun atau meningkat menuju batas perlunya exchange transfusion,
pertimbangkan exchange transfusion.(10)
B. Transfusi Tukar Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah
yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang
dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin
dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi,
transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi
maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki
anemia. Munculnya tanda-tanda klinis yang memberikan
kesan kernikterus merupakan indikasi untuk melakukan transfusi tukar pada kadar bilirubin
berapapun(2).
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :
1. Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
2. Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
3. Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
4. Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama
5. Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama
6. Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl
21. 7. Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus(7)
Transfusi pengganti digunakan untuk:
1. Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap sel darah
merah terhadap antibody maternal
2. Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)
3. Menghilangkan serum bilirubin
4. Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan bilirubin
Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari),
Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B.
setiap 4-8 jam kadar bilirubin harus di cek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai
stabil.(7)
Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar
Darah yang digunakan golongan O.
Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood. Kerjasama dengan dokter kandungan dan
Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.
Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O
dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,
dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.
Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama
dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah
antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB,
untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.
Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.
22. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) —- 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%(1).
SIMPLE DOUBLE VOLUME. Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter
vena umbilikalis/ vena saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.
ISOVOLUMETRIC. Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri
umbilikalis dan dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.
PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION. Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada
bayi dengan polisitemia.
Teknik Transfusi Tukar
Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O
rhesus positif(1).
Pelaksanaan tranfusi tukar :
Personel. Seorang dokter dan minimal 2 orang perawat untuk membantu persiapan,
pelaksanaan dan pencatatan serta pengawasan penderita.
Lokasi. Sebaiknya dilakukan di ruang NICU atau kamar operasi dengan penerangan dan
pengaturan suhu yang adekuat, alat monitor dan resusitasi yang lengkap serta terjaga
sterilitasnya.
Persiapan Alat.
Alat dan obat-obatan resusitasi lengkap
Lampu pemanas dan alat monitor
Perlengkapan vena seksi dengan sarung tangan dan kain penutup steril
Masker, tutup kepala dan gaun steril
Nier bekken (2 buah) dan botol kosong, penampung darah
Set tranfusi 2 buah
Kateter umbilikus ukuran 4, 5, 6 F sesuai berat lahir bayi atau abbocath
Three way stopcock semprit 1 mL, 5 mL, 10 mL, 20 mL, masing-masing 2 buah
Selang pembuangan
Larutan Calsium glukonas 10 %, CaCl2 10 % dan NaCl fisiologis
Meja tindakan(1).
Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:
24. - Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi(1)
Persiapan Tindakan Tranfusi Tukar :
Berikan penjelasan tentang tujuan dan risiko tindakan, mintakan persetujuan tertulis dari
orang tua penderita
Bayi jangan diberi minum 3 – 4 jam sebelum tindakan. Bila tranfusi harus segera dilakukan
isi lambung dikosongkan dengan sonde dan menghisapnya
Pasang infus dengan tetesan rumatan dan bila tali pusat telah mengering kompres dengan
NaCl fisiologis
Bila memungkinkan 2 jam sebelumnya berikan infus albumin terutama jika kadar albumin <
2,5 gr/dL. Diharapkan kapasitas ikatan albumin-bilirubin di dalam darah meningkat sebelum
tranfusi tukar sehingga resiko kernikterus menurun, kecuali ada kontra indikasi atau tranfusi
tukar harus segera dilakukan
Pemeriksaan laboratorium pra tranfusi tukar antara lain semua elektrolit, dekstrostik, Hb,
hematokrit, retikulosit, trombosit, kadar bilirubin indirek, albumin, golongan darah, rhesus,
uji coombs direk dan indirek, kadar G6PD dan enzim eritrosit lainnya serta kultur darah
Koreksi gangguan asam basa, hipoksia, dan hipotermi sebelum memulai tranfusi tukar
Periksa ulang apakah donor yang diminta telah sesuai dengan permintaan (cek label
darah)(1).
Jumlah Darah Donor yang Dipakai
Jika darah donor yang diberikan berturut-turut 50 mL/kgBB, 100 mL/kgBB, 150 mL/kgBB
dan 200 mL/kgBB maka darah bayi yang terganti berturut-turut adalah sebagai berikut: 45%,
70%, 85-85% dan 90%(1).
Pemasangan Kateter Vena Umbilikalis/Abbocath
Bayi diletakkan dalam posisi terlentang. Fiksasi lengan dan tungkai, dijaga agar tidak banyak
bergerak (diikat longgar)
25. Pasang alat monitor yang dibutuhkan (neonatal monitoring). Suhu bayi dipertahankan pada
suhu optimal atau jika ada meja resusitasi bayi diletakkan di bawah lampu pemanas/sorot
dengan jarak 2 meter
Semua tindakan harus dilaksanakan secara aseptik dan antiseptik, personil yang terlibat
langsung harus memakai gaun, sarung tangan, dan masker steril
Bersihkan daerah sekitar tali pusat atau tempat lain yang akan dipasang abbocath dengan
cairan antiseptik, tutup dengan kain steril yang berlubang ditengahnya sehingga tampak tali
pusat atau daerah yang akan dipasangkan abbocath
Jika dilakukan melalui vena umbilikalis, bersihkan dengan betadine 10%, tali pusat dipotong
kurang lebih 1 cm di atas dasar/kulit abdomen dengan skalpel/pisau steril
Jika tali pusat kering, lunakkan dengan kompres NaCl fisiologis selama ½ – 1 jam
Vena umbilikalis dicari dan masukkan kateter vena sesuai ukuran bayi, diisi NaCl fisiologis.
Kateter dimasukkan sampai (1) tampak ada darah mengalir dari tubuh bayi atau (2) pada
posisi aman, yaitu ujung kateter sedikit di atas diafragma dan di dalam vena cava inferior
(ukuran sekitar panjang dari bahu kiri/kanan ke tali pusat kemudian diukur ke diagram
khusus ukuran kateter tali pusat). Kateter harus diisi cairan untuk mencegah emboli udara
Setelah kateter vena umbilikalis terpasang dilakukan fiksasi dengan jahitan melingkari
kulit/tali pusat diameter 1,5 cm dengan benang sutra steril
Jika kateter gagal dipasang di vena umbilikalis, tranfusi dapat dilakukan di vena saphena
magna
Kateter atau abbocath dihubungkan dengan three way stopcock, bagian depan dengan selang
infus donor dan bagian belakang dengan selang infus pembuangan yang telah dihubungkan
dengan botol kosong di bawah botol tindakan(1).
Pelaksanaan Tranfusi Tukar
Mula-mula darah bayi dihisap sebanyak 10–20 mL atau tergantung berat badan bayi, jangan
melebihi 10 % dari perkiraan volume darah bayi
Darah dibuang melalui pipa pembuangan dengan mengatur klep pada three way stopcock.
Jika ada pemeriksaan yang belum lengkap dapat memakai darah ini karena belum bercampur
dengan darah donor
Masukkan darah donor dengan jumlah yang sama secara perlahan-lahan. Kecepatan
menghisap dan mengeluarkan darah sekitar 2 mL/kgBB/menit
Setelah darah masuk ke tubuh ditunggu selama 20 detik, agar beredar dalam sirkulasi
Hisap dan masukkan darah berulang kali dengan cara yang sama sampai target transfusi tukar
selesai
Catat setiap kali darah yang dikeluarkan dan yang masuk pada lembaran observasi transfusi
tukar
26. Jika memakai darah dengan pengawet asam sitrat atau stearat fosfat (ACD/PCD) setiap
tranfusi 100 mL diberikan 1 mL kalcium glukonas 10 % intra vena perlahan-lahan.
Pemberian tersebut terutama bila kadar kalsium sebelum tranfusi < 7,5 mg/dL. Bila kadarnya
di atas normal maka kalsium glukonas tidak perlu diberikan. Pemberian larutan kalsium
glukonas harus dilakukan secara perlahan-lahan karena bila terlalu cepat dapat
mengakibatkan timbulnya bradikardi atau cardiac arest. Beberapa peneliti menganjurkan
untuk tidak memberikan kalsium kecuali pada pemeriksaan fisik dan elektrokardiografi
menunjukkan adanya tanda-tanda hipokalsemia
Selama tindakan semua tanda-tanda vital harus diawasi dengan neonatal monitoring
Setelah transfusi tukar selesai, darah bayi diambil untuk pemeriksaan pasca transfusi tukar
Jika tidak diperlukan transfusi tukar ulang, lakukan jahitan silk purse string atau ikatan
kantung melingkari vena umbilikalis. Ketika kateter dicabut jahitan yang mengelilingi tali
pusat dikencangkan(1).
C. Terapi Obat Phenobarbital dapat menstimulus hati untuk menghasilkan enzim yang
meningkatkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif baik diberikan
pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan.
Penggunaan Phenobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek
sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan mengeluarkannya lewat
urine sehingga menurunkan siklus enterohepatika(7).
Pemberiannya Phenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis pada bayi baru
lahir bila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum persalinan atau pada saat
bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam. Meskipun demikian Phenobarbital tidak
secara rutin dianjurkan untuk mengobati ikterus pada bayi neonatus karena :
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedative yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi(2).
Pemberian Timah (Sn)-Protoporfirin (atau timah-mesoporfirin) juga telah diusulkan untuk
mengurangi kadar bilirubin. Timah tersebut dapat menghambat konversi biliverdin menjadi
bilirubin melalui heme oksigenase. Walaupun kadar bilirubin dapat turun, pengaruhnya tidak
lebih besar daripada yang dicapai dengan fototerapi. Komplikasinya meliputi eritema
sementara jika bayi sedang menjalani fototerapi(2).
27. KOMPLIKASI
- Cerebral palsy
- Tuli nada tinggi
- Paralisis dan displasia dental
- Koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter
- Retardasi mental
- Kuadriplegia spastis(1,2)
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer :
ASI sedini mungkin dan sering (8-12 kali/hari selama hari-hari pertama). Hindari
suplementasi rutin dengan air atau dekstrosa pada bayi yang diberi ASI yang tidak
mengalami dehidrasi. Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan
dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan
frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat
pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses
menyusui yang baik.
AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada
neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus
neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.
Pencegahan Sekunder:
28. Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi
ikterus neonatorum.
Pemeriksaan Golongan Darah Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan
darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah
menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O
dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O,
dapat dilakukan tes Coombs.
Penilaian Klinis Dokter harus memastikan bahwa semua neonatus dimonitor secara berkala
untuk mengawasi terjadinya ikterus. Ruang perawatan sebaiknya memiliki prosedur standar
tata laksana ikterus. Ikterus harus dinilai sekurang-kurangnya setiap 8 jam bersamaan dengan
pemeriksaan tanda-tanda vital lain.
Pada bayi baru lahir, ikterus dapat dinilai dengan menekan kulit bayi sehingga
memperlihatkan warna kulit dan subkutan. Penilaian ini harus dilakukan dalam ruangan yang
cukup terang, paling baik menggunakan sinar matahari. Penilaian ini sangat kasar, umumnya
hanya berlaku pada bayi kulit putih dan memiliki angka kesalahan yang tinggi. Ikterus pada
awalnya muncul di bagian wajah, kemudian akan menjalar ke kaudal dan ekstrimitas. Jika ibu
yang belum diketahui golongani darahnya atau Rh-negatif, harus dilakukan uji Coombs,
golongan darah, dan jenis Rhesus (D) pada darah plasenta bayi. Jika terdapat kemungkinan
tidak dilakukannya surveilans, penilaian risiko sebelum pulang dan follow up yang adekuat,
maka jika golongan darah ibu O dianjurkan dilakukan pemeriksaan golongan darah bayi dan
uji Coombs. Semua bayi harus dimonitor secara rutin untuk melihat adanya ikterus(10).
DONT’S:
1. Jangan berikan Questran
2. Jangan berikan luminal
3. Jangan berikan infus albumin
4. Jangan stop ASI
5. Jangan jemur bayi
6. Jangan tergopoh-gopoh memberikan susu formula kecuali bayi dehidrasi(10).
PROGNOSIS
Dengan menggunakan kriteria patologis, sepertiga bayi (semua umur kehamilan) yang
penyakit hemolitiknya tidak diobati dan kadar bilirubinnya lebih dari 20 mg/dl, akan
mengalami kernikterus. Tanda-tanda neurologis yang jelas mempunyai prognosis yang jelek,
29. ada 75% atau lebih bayi-bayi yang demikian meninggal, dan 80% yang bertahan hidup
menderita koreoatetosis bilateral dengan spasme otot involunter. Retardasi mental, tuli, dan
kuadriplegia sapstis lazim terjadi. Bayi yang berisikio harus menjalani skrining
pendengaran(2).