1. Kitab Shalat Qashar
Bab Ke-1: Keterangan-Keterangan Perihal Mengqashar Shalat dan Berapa
Jarak Jauhnya Boleh Mengqashar Shalat
564. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nabi menetap (di Mekah-5/95) selama sembilan belas
hari dengan mengqashar (dalam satu riwayat: shalat dua rakaat). Oleh sebab itu,
jika kami bepergian selama sembilan belas hari,[1] kami mengerjakan shalat qashar
saja. Tetapi, jika lebih dari waktu itu, maka kami menyempurnakan shalat kami."
565. Anas r.a. berkata, "Kami keluar bersama Nabi dari Madinah ke Mekah. Maka,
beliau shalat dua rakaat dua rakaat[2] sehingga kami pulang ke Madinah." Aku
(perawi) bertanya (kepada Anas), "Anda tinggal di Mekah berapa lama?" Ia
menjawab, "Kami tinggal di sana selama sepuluh hari (dengan mengqashar shalat
5/95)."
Bab Ke-2: Shalat di Mina
566. Abdullah bin Umar berkata, "Saya shalat dua rakaat di Mina bersama Nabi, Abu
Bakar, Umar, dan Utsman pada permulaan pemerintahannya (dalam satu riwayat:
kekhalifahannya 2/173), kemudian ia menyempurnakannya (empat rakaat)."
567. Haritsah bin Wahbin berkata, "Nabi shalat dua rakaat bersama kami
(sedangkan kami adalah paling banyak bertempat di sana, dan 2/173) tunduk
mengikuti apa yang di Mina."
568. Abdur Rahman bin Yazid berkata, "Utsman bin Affan r.a. pernah shalat
bersama kami di Mina empat rakaat. Kemudian hal itu diberitakan kepada Abdullah
bin Mas'ud, lalu ia mengucapkan istirja' (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun).
Kemudian ia berkata, 'Saya shalat dua rakaat bersama Rasulullah di Mina, saya
2. shalat dua rakaat bersama Abu Bakar ash-Shiddiq di Mina, dan saya shalat dua
rakaat bersama Umar ibnul-Khaththab di Mina, (kemudian kamu bersimpang jalan
2/173). Maka, betapa beruntungnya aku, dari empat empat rakaat menjadi dua
rakaat yang diterima."
Bab Ke-3: Berapa Lama Nabi Bermukim dalam Hajinya?
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian
dari hadits Ibnu Abbas yang tersebut pada '25 AL-HAJJ/23-BAB'.")
Bab Ke-4: Berapa Jauhnya Jarak Bepergian untuk Dapat Mengqashar
Shalat?
Nabi saw. menyebut bepergian selama sehari semalam sebagai safar.[3]
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. mengqashar shalat dan berbuka puasa dalam
bepergian sejauh empat burud, yakni enam belas farsakh.[4]
569. Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Janganlah seorang wanita
bepergian sampai tiga hari, melainkan disertai oleh mahramnya."
570. Abu Hurairah r.a. berkata, "Nabi bersabda, 'Tidak halal bagi seorang wanita
yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian perjalanan sehari
semalam tanpa disertai mahram.'"[5]
Bab Ke-5: Mengqashar Shalat Apabila Telah Keluar dari Tempat
Tinggalnya
3. Ali r.a. keluar dari rumah dan menqashar shalat, padahal dia masih dapat melihat
rumah-rumah (di kampung). Maka ketika pulang, dikatakan kepadanya, "Ini kan
kota Kufah?"[6] Jawabnya, 'Tidak, sehingga kita memasukinya.'"[7]
571. Anas r.a. berkata, "Aku shalat Zhuhur bersama Nabi di Madinah empat rakaat
dan di Dzulhulaifah dua rakaat"
572. Aisyah r.a. berkata, "Shalat itu pada pertama kalinya difardhukan adalah dua
rakaat. Kemudian untuk shalat pada waktu bepergian ditetapkan apa adanya (yakni
dua rakaat). Sedangkan, untuk shalat yang tidak sedang bepergian dijadikan
sempurna." Zuhri berkata, "Aku bertanya kepada 'Urwah, 'Mengapa Aisyah
menyempurnakan shalatnya (yakni pada waktu bepergian tetap mengerjakan empat
rakaat)?'" Urwah berkata, 'Beliau itu mentakwilkan sebagaimana halnya Utsman juga
mentakwilkannya.'"[8]
Bab Ke-6: Shalat Magrib Tiga Rakaat dalam Bepergian
573. Salim dari Abdullah bin Umar r.a. berkata, "Saya melihat Nabi apabila tergesa-
gesa hendak bepergian, beliau akhirkan shalat magrib, sehingga beliau jama'
dengan Isya." Salim berkata, "Abdullah mengerjakan begitu apabila tergesa-gesa
dalam bepergian."
Al-Laits menambahkan[9] bahwa Salim berkata, "Ibnu Umar r.a. pernah menjama'
antara magrib dan isya di Muzdalifah."[10]
Salim berkata, "Ibnu Umar mengakhirkan shalat magrib (di jalan menuju Mekah
2/205), dan ia dimintai tolong atas istrinya Shafiyah binti Abi Ubaid. (Dan dalam satu
riwayat: sampai informasi kepadanya tentang Shafiyah bin Abi Ubaid bahwa ia sakit
keras, lalu Ibnu Umar segera berjalan), maka aku berkata kepadanya, 'Shalatlah.' Ia
menjawab, 'Berangkatlah.' Aku berkata lagi, 'Shalatlah.' Ia menjawab,
'Berangkatlah.' Kemudian ia berangkat hingga mencapai dua atau tiga mil, lantas dia
4. turun sesudah tenggelamnya mega merah. Lalu, mengerjakan shalat magrib dan
isya dengan jama'. Kemudian berkata, 'Demikianlah aku melihat Rasulullah apabila
tergesa-gesa dalam bepergian.' Abdullah berkata, 'Saya melihat Nabi apabila
tergesa-gesa (dalam bepergian 2/39), beliau mengakhirkan shalat magrib. Kemudian
beliau shalat tiga rakaat, lalu salam. Beliau diam sejenak sampai beliau tunaikan
shalat isya dua rakaat, kemudian salam. Beliau tidak melakukan shalat sunnah di
antara keduanya dan tidak pula sesudah shalat isya itu, sehingga beliau bangun di
tengah malam.'"
Bab Ke-7: Shalat Sunnah di Atas Kendaraan. Ke Arah Mana Menghadapnya
Kendaraan Itu, ke Arah Itulah Orang yang Shalat Sunnah Menghadap
574. Jabir bin Abdullah r.a. berkata, "Nabi shalat sunnah sedangkan beliau
berkendaraan dengan tidak menghadap kiblat." (Dan dari jalan lain dari Jabir, "Aku
melihat Nabi pada waktu Perang Anmar melakukan shalat sunnah di atas
kendaraannya dengan menghadap ke arah timur 5/55). Maka, apabila beliau hendak
melakukan shalat wajib, beliau turun, lalu menghadap kiblat."
Bab Ke-8: Berisyarat Di Atas Kendaraan
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits
Ibnu Umar yang akan disebutkan pada nomor 578.")
Bab Ke-9: Turun dari Kendaraan Untuk Mengerjakan Shalat Wajib
575. Amir bin Rabi'ah berkata, "Aku melihat Rasulullah dan beliau berada di atas
kendaraan mengerjakan shalat pada malam hari (2/38).[11] Beliau memberikan
isyarat dengan kepalanya dengan menghadap ke arah mana saja kendaraannya
menghadap. Beliau tidak pernah melakukannya pada shalat wajib."
5. Salim berkata,[12] "Abdullah biasa melakukan shalat malam di atas kendaraannya
ketika sedang bepergian dengan tidak menghiraukan ke mana wajahnya
menghadap. Ibnu Umar berkata, 'Rasulullah pernah shalat malam di atas kendaraan
dengan menghadap ke arah mana saja, dan melakukan shalat witir di atasnya.
Hanya saja beliau tidak melakukan shalat wajib di atasnya.'"
Bab Ke-10: Shalat Tathawwu' di Atas Keledai
576. Anas bin Sirin berkata, "Kami menemui Anas bin Malik ketika datang dari Syam,
lalu kami berjumpa dengannya di desa Ainut Tamar.[13] Aku melihat nya shalat di
atas keledai. Wajahnya di sebelah kiri kiblat, kemudian aku berkata, 'Aku melihat
engkau shalat tanpa menghadap kiblat?' Ia berkata, 'Seandainya saya tidak melihat
Nabi melakukannya, niscaya saya tidak melakukan yang tadi saya lakukan.'"
Bab Ke-11: Orang yang Tidak Melakukan Shalat Sunnah Sesudah dan
Sebelum Shalat Wajib di Dalam Bepergian
577. Anas r.a. berkata, "Saya menemani Nabi, maka beliau tidak pernah menambah
dari dua rakaat di dalam bepergian. Demikian pula yang saya alami bersama Abu
Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu anhum, padahal Allah berfirman,
'Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat contoh yang baik bagi kamu sekalian.'"
Bab Ke-12: Orang yang Shalat Tathawwu' dalam Bepergian, Tetapi Bukan
Shalat Rawatib Sehabis Shalat Fardhu Ataupun Sebelumnya
Nabi saw. melakukan dua rakaat shalat fajar di dalam bepergian.[14]
6. 578. Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah saw. shalat sunnah (dalam bepergian
2/37) di atas punggung kendaraannya dan menghadapkan mukanya ke arah mana
pun kendaraannya itu menuju. Beliau memberikan isyarat dengan kepala (setiap
berpindah dari satu rukun ke rukun lain) dan berwitir di atas kendaraan. Cara
demikian itu juga di lakukan oleh Abdullah bin Umar.
Bab Ke-13: Menjama' Shalat dalam Bepergian Antara Magrib dan Isya
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah menjama' antara shalat zhuhur dan ashar
apabila berada di dalam perjalanan (bepergian), dan menjama' antara magrib dan
isya."[15]
Anas bin Malik r.a. berkata, "Rasulullah menjama' antara shalat magrib dan isya di
dalam bepergian."[16]
Bab Ke-14: Apakah Berazan dan Beriqamah Jika Menjama' Antara Shalat
Magrib dan Isya
Anas r.a mengatakan bahwa Rasulullah saw. menjama' antara kedua shalat ini,
yakni magrib dan isya dalam bepergian.
Bab Ke-15: Mengakhirkan Shalat Zhuhur Sampai Waktu Ashar Apabila
Bepergian Sebelum Matahari Condong ke Barat
Dalam bab ini terdapat riwayat Ibnu Abbas dari Nabi saw.[17]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits
Anas yang tercantum dalam bab sesudahnya.")
7. Bab Ke-16: Apabila Bepergian Setelah Matahari Condong ke Barat, Beliau
Shalat Zhuhur Dulu Lalu Menaiki Kendaraannya
579. Anas bin Malik r.a. berkata, "Apabila Nabi berangkat sebelum matahari condong
ke barat (sebelum zhuhur), maka diundurnya shalat zhuhur hingga waktu ashar,[18]
kemudian dijamanya keduanya. Apabila matahari telah condong sebelum berangkat,
beliau shalat zhuhur lebih dahulu, sesudah itu baru beliau menaiki kendaraannya."
Bab Ke-17: Shalat Orang yang Duduk
580. Imran bin Hushain, orang yang terkena penyakit wasir, berkata, "Aku bertanya
kepada Rasulullah perihal orang yang shalat dengan duduk. Beliau bersabda, 'Jika
(dan dalam satu riwayat: orang yang 2/41) shalat dengan berdiri, maka itulah yang
paling utama. Orang yang shalat dengan duduk, maka pahala nya seperdua pahala
shalat dengan berdiri. Dan orang yang shalat dengan berbaring, maka pahalanya
seperdua orang yang shalat dengan duduk"' (Dan dalam satu riwayat dari Imran bin
Hushain, katanya, "Saya terkena penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada Nabi
tentang cara shalat. Kemudian beliau menjawab, 'Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak
dapat, shalatlah dengan duduk Dan, jika tidak dapat, shalatlah dengan berbaring.")
Bab Ke-18: Shalat Orang Sambil Duduk dengan Memberikan Isyarat
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits
Imran tersebut di muka.")
Bab Ke-19: Orang yang Tidak Berkuasa Duduk, Maka Boleh Shalat di Atas
Lambungnya (Sambil Berbaring)
8. Atha' berkata, "Kalau ia tidak mampu berpindah menghadap kiblat, ia boleh
melakukan shalat ke mana saja wajahnya menghadap."[19]
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits
Imran tadi.")
Bab Ke-20: Jika Shalat dengan Duduk Lalu Sehat Kembali atau Merasakan
Ada Keringanan pada Tubuhnya (Yakni Penyakitnya Berkurang), Maka Ia
Menyempurnakan Shalat yang Masih Tersisa (Dengan Berdiri)
Al-Hasan berkata, "Kalau si sakit mau, boleh ia shalat dua rakaat sambil berdiri, dan
yang dua rakaat sambil duduk."[20]
581. Aisyah r.a. berkata, "Saya tidak pernah melihat Nabi shalat malam dengan
duduk sampai beliau tua. Maka, beliau membaca dengan duduk, sampai apabila
beliau hendak ruku, maka beliau berdiri. Lalu, beliau membaca sekitar 30 ayat atau
40 ayat, kemudian ruku dan sujud. Beliau lakukan hal serupa pada rakaat yang
kedua. Apabila telah selesai, beliau memandang(ku). (Dan dalam satu riwayat:
beliau melakukan shalat dua rakaat 2/52). Jika saya bangun, beliau bercakap-cakap
denganku. Dan, jika saya tidur, beliau berbaring (atas lambung kanannya 2/50)
hingga dikumandangkan azan untuk shalat." Saya bertanya kepada Sufyan,
"Sebagian orang meriwayatkannya sebagai dua rakaat fajar?" Sufyan menjawab,
"Memang begitu."
Catatan Kaki:
[1] Yakni, apabila kami bepergian ke suatu negeri, bukan untuk pindah dan menetap
di sana. Permulaan hadits ini menunjukkan makna tersebut.
9. [2] Kecuali shalat magrib, dan pengecualian ini tidak disebutkan karena sudah jelas.
[3] Imam Bukhari mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah yang akan
disebutkan dalam bab ini.
[4] Di-maushul-kan oleh Ibnul Mundzir dengan sanad sahih dari Atha' bin Abi Rabah
dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a.
[5] Yaitu lelaki yang haram menikah dengannya, baik karena hubungan nasab
maupun bukan.
[6] Yakni shalatlah dengan sempurna (bukan qashar). Ali menjawab, "Tidak,
sehingga kita memasukinya." Yakni, kita masih boleh menqashar sehingga kita
memasuki kota Kufah (tempat tinggal kita). Karena, selama kita belum
memasukinya, berarti masih dihukumi musafir. Demikian keterangan al-Hafizh, dan
inilah yang benar.
[7] Di-mauhsul-kan oleh Hakim dan Baihaqi dari jalan Wiqa' bin Iyas, dari Ali bin
Rabi'ah dari Ali r.a. Dan Wiqa' ini lemah haditsnya, sebagaimana dikatakan oleh al-
Hafizh dalam at-Taqrib.
[8] Yakni tentang bolehnya mengqashar dan shalat tamam (sempurna).
[9] Di-maushul-kan oleh al-Ismaili dengan panjang. Diriwayatkan dari al-Laits kisah
permintaan tolong oleh Abu Dawud dan Ahmad dari jalan Nafi' darinya yang hampir
sama redaksinya dengan itu, dan dimaushulkan oleh penyusun (Imam Bukhari) dari
jalan lain dari Ibnu Umar.
[10] Apa yang disebutkan sesudah Hilal bukanlah kelengkapan hadits mu'allaq itu
sebagaimana pemahaman spontan. Tetapi, ia hanyalah kesempurnaan hadits yang
10. maushul.
[11] yakni shalat sunnah. Ini termasuk bab memutlakkan sebagian atas keseluruhan
(yakni mengucapkan sesuatu secara mutlak atau umum, tetapi yang dimaksud
adalah sesuatu yang tertentu - penj.)
[12] Di-maushul-kan oleh al-Ismaili. Imam Bukhari memaushulkannya secara ringkas
sebagaimana yang akan disebutkan pada hadits berikutnya.
[13] Yaitu di suatu jalan jurusan Irak - Syam.
[14] Di-maushul-kan oleh Muslim dalam kisah tertidur dari shalat Shubuh (hingga
lewat waktu) dari hadits Abu Qatadah (2/138 dan 138-139).
[15] Hadits ini diriwayatkan secara mu'allaq oleh Imam Bukhari, tetapi dimaushulkan
oleh Baihaqi.
[16] Hadits ini juga diriwayatkan oleh penyusun (Imam Bukhari) secara mu'allaq,
tetapi diriwayatkannya secara maushul pada bab sesudahnya.
[17] Menunjuk kepada haditsnya yang tersebut pada nomor 113 di muka, dan Anda
pun sudah mengetahui siapa yang me-maushul-kannya.
[18] Yakni dijamanya antara keduanya pada awal waktu ashar sebagaimana
disebutkan dengan jelas dalam riwayat Muslim (2/151).
[19] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad sahih dari Atha'.
[20] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan di-maushul-kan oleh Tirmidzi
dengan lafal lain.