1. Bagaimanapun orang Muna masa kini menafikkan Kolope, tapi sejarah membuktikan
Kolope tidak dapat dipisahkan dengan budaya masa lalu orang muna.
Kalaupun buahnya tidak diakui sebagai makanan tradisional, namun daunnya melanglang
dunia membawa harum kabupaten Muna berkibar di angkasa Internasional. Layang-layang
daun Kolope berulang kali menjuarai Festival layang-layang internasional.
Dan karena daun Kolope itu juga, berbagai negara di dunia sudi datang ke muna untuk
festival layang-layang internasional. Seperti kulitnya mengolah buah Kolope hingga
sampai di meja makan, mengolah daun Kolope menjadi kertas layang-layang juga tidak
mudah.
Kolope merekahkan daunnya sekitar bulan Mei, persis ketika iklim menandai musim
penghujan tiba. Daun baru itu terlalu muda untuk diolah menjadi kertas layang-layang
nanti sekitar bulan juli, daun Kolope sudah cukup matang untuk dipetik. Ada juga pilihan
lain yakni menungu daun itu kering secara alami lalu gugur di tanah.
Tapi daun seperti itu terlalu rapuh dan mudah robek. Lagipula, hasilnya kertas Kolope
akan berwarna kuning. Kualitas terbaik daun Kolope adalah dipetik saat daun menua lalu
dipanggang diatas bara api (bahasa muna : dikandela). Setelah itu, dijemur dibawah terik
matahari selama dua hari.
Hasilnya, kertas putih, elastis dan kedap air (water resistant). Untuk satu layang-layang,
dibutuhkan sekitar seratus lembar daun Kolope. Setelah menjadi kertas putih, daundaun itu direkatkan satu sama lain pada sisi-sinya sehingga menjadi satu lembaran yang
ututh.
Lembaran calon kertas layang-layang itu dikepik dengan kerangka kayuagar tidak cerai
berai dan disimpan selama lima hari.
2. Lima hari kemudian, lembaran itu dirajut dengan tali agar menjadi lembaran utuh kertas
layang-layang. Sambil menunggu itu, dapatlah dibuat kerangka layang-layang. Bahan
bakunya bambu atau orang muna menyebutnya patu-patu. Kemudian mempersiapkan tali
untuk layang-layang.
Tali layang-layang juga unik karena dibuat dari daun nenas hutan. Seperti memilih daun
Kolope, daun nenas yang dipetik sebaiknya daun tua. Daun ini tidak langsung diolah
melainkan disimpan dahulu selama dua hari. Setelah kering, daun dikerok dengan bambu
sehingga yang tersisa hanya serat lalu dicecar menjadi jumbai-jumbai benang.
Jumbai-jumbai itu selanjutnya dipilin menjadi seutas tali siap pakai. Satu helai daun
nenas hutan dapat menghasilkan sepuluh meter tali layang-layang. Ketika kerangka dan
tali sudah siap, berarti semua bahan sudah siap untuk distukan menjadi satu layanglayang Kolope utuh.
Zaman dahulu, kerangka layang-layang Kolope dibuat setinggi “Tegap Merdeka”
pembuatanya tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang.
Setelah semuanya siap layang-layang diberi sentuhan terakhir yakni nada dering atau
bahasa Muna-nya kamumu. Kamumu sebenarnya semacam pita suara yang dibuat dari
daun nyiur yang apabila ditiup angin pita itu bergetar dengan frekwensi tertentu lalu
mengeluarkan bunyi khas nan merdu mendayu terutama pada malam yang sunyi.
Karena kertas Kolope anti air, maka layang-layang ini tahan bergetar diudara siang
malam, selama berhari-hari. Sekehendak pemiliknya, kapan mau diturunkan. Dan, karena
setiap orang memiliki ukuran pita Kamumu yang digemarinya, maka bunyi yang
dihasilkannya juga menjadi spesifik.
Tak heran, bagi telinga yang berpengalaman dari bunyi kamumu, segera bisa menebak
siapa pemilik layang-layang yang mengangkasa diatas langit malam itu.***