SlideShare a Scribd company logo
1 of 19
1
PSIKOANALISIS DALAM PROSA SASTRA
1 Pengertian Prosa Sastra
Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena
variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih
sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang
artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk
mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk
surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media
lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan prosa baru,prosa
lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat,dan
prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun
(http://id.wikipedia.org/wiki/Prosa).
Prosa dibagi menjadi dua yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama
adalah karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan
barat. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan,
disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Setelah agama dan
kebudayaan Islam masuk ke indonesia, masyarakat menjadi akrab dengan tulisan,
bentuk tulisan pun mulai banyak dikenal. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal
dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sastra indonesia
mulai ada. Sedangkan prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah
mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat.
Prosa lama ditandai dengan sifatnya yang statis artinya pola kalimat pada
prosa lama banyak yang sama bahkan temaceritapun banyak yang sama. Selain
itu, cerita lama umumnya mempunyai suatu keterkaitan unsur-unsur yang sama.
Prosa lama yang bersifat tradisional terbentuk di tengah-tengah masyarakat.
Kebanyakan hasil sastra dalam kesusastraan lama tidak diketahui siapa
pengarangnya.Prosa baru menceritakan dengan jelas keadaan masyarakat. Ia juga
bersifat dinamis artinya dapat diubah. Pada awalnya prosa baru muncul adalah
karena pengaruh budaya Belanda dan Inggris.
2
2 Pengertian Psikoanalisis dalam Prosa Sastra Menurut Para Ahli
Menurut Endraswara (2003:97) psikologi sastra merupakan kajian yang
memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Dalam arti luas bahwa karya
sastra tidak lepas dari kehidupan yang menggambarkan berbagai rangkaian
kepribadian manusia. Ratna (dalam Albertine, 2010:54) berpendapat psikologi,
khususnya psikologi analitik diharapkan mampu menemukan aspek-aspek
ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis
sekaligus dengan terapinya. Selain itu, teknologi dengan berbagai dampak
negatifnya dan lingkungan hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya
gangguan psikologis.
Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah psikologis. Namun
secara definitif, tujuan psikologi sastra ialah memahami aspek-aspek kejiwaan
yang terkandung dalam suatu karya. Psikologi lahir untuk mempelajari kejiwaan
manusia, yakni manusia yang ada di bumi inilah yang menjadi objek penelitian
psikologi, sastra lahir dari masyarakat, pengarang hidup dalam tengah-tengah
masyarakat dan pengarang juga menciptakan karya sastranya termasuk tokoh yang
ada didalamnya. Tokoh yang diciptakan secara tidak sadar oleh pengarang
memiliki muatan kejiwaan yang timbul dari proyeksi pelaku yang ada dalam
masyarakat, karya sastra berupa novel lebih panjang dan terperinci dalam
penggambaran tokohnya, oleh karena itu kejiwaan yang ada dalam novel lebih
kental pula. Pendapat yang sama mengenai kejiwaan tokoh dalam karya sastra,
dikemukakan oleh Ratna (dalam Albertine 2010:54) ialah berpendapat bahwa
pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah unsur
kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya.
3 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Menurut Albertine (2010:11), psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang
dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis ini
berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia, serta ilmu ini
merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontibusi besar dan dibuat
untuk psikologi manusia selama ini.
3
Psikoanalisis merupakan sejenis psikologi tentang ketidaksadaran;
perhatian-perhatiannya terarah pada bidang motivasi, emosi, konflik, sistem
neurotic, mimpi-mimpi, dan sifat-sifat karakter. Menurut Freud (dalam
Suryabrata, 2002:3), psikoanalisis adalah sebuah metode perawatan medis bagi
orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Psikoanalisis merupakan suatu
jenis terapi yang bertujuan untuk mengobati seseorang yang mengalami
penyimpangan mental dan syaraf.
Dalam struktur kepribadian Freud, ada tiga unsur sistem penting, yakni id,
ego, dan superego. Menurut Bertens (2006:32) istilah lain dari tiga faktor tersebut
dalam psikoanalisis dikenal sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup psikis.
Dari ketiga sistem atau ketiga instansi ini satu sama lain saling berkaitan sehingga
membentuk suatu kekuatan atau totalitas. Maka dari itu untuk mempermudah
pembahasan mengenai kepribadian pada kerangka psikoanalisa, kita jabarkan
sistem kepribadian ini.
a. Id
Menurut Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling
mendasar sekaligus id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih
lanjut. Artinya id merupakan sisitem kepribadian asli paling dasar yakni yang
dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat
dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting,
impuls, dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah unconscious, mewakili
subyektivitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat
dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk
mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya. Energi psikis dalam id
itu dapat meningkat oleh karena perangsang, dan apabila energi itu meningkat
maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak
menyenangkan). Dari situlah id harus mereduksikan energi untuk menghilangkan
rasa tidak enak dan mengejar keenakan. Id beroperasi berdasarkan prinsip
kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan
menghindari rasa sakit.
4
Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan yang relative inaktif atau tingkat
enerji yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan enerji yang
mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimulasi yang memicu enerji untuk
bekerja-timbul tegangan energi-id beroperasi dengan prinsip kenikmatan;
berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu; mengembalikan diri ke
tingkat energi rendah. Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut
dengan proses primer. Proses primer ialah reaksi membayangkan atau
mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan-
dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar
membayangkan makanan atau putting ibunya. Id hanya mampu membayangkan
sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-
benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan benar-
salah , tidak tahu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu
secara nyata, yang member kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru
khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id
memunculkan ego.
b. Ego
Ego adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul karena
kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan
atau realita (Freud dalam Suryabrata 2010:126). Ego berbeda dengan id. Menurut
Koeswara (1991:33-34), ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai
pengaruh individu kepada objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya
berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut (Freud dalam Bertens 2006:33), ego
terbentuk dengan diferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia luar,
khususnya orang di sekitar bayi kecil seperti orang tua, pengasuh, dan kakak adik.
Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan
transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia realita atau kenyataan.
Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua
tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau
insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua,
menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan
5
tersedianya peluang yang resikonya minimal. Menurut Bertens (2006:33), tugas
ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin
penyesuaian dengan lingkungan sekitar, lagi untuk memecahkan konflik-konflik
dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok
satu sama lain. Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha
memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan
kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari superego.
Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak
memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id. Untuk itu sekali lagi
memahami apa yang dimaksudkan dengan proses sekunder, perlu untuk melihat
sampai dimana proses primer membawa seorang individu dalam pemuasan
keinginan sehingga dapat diwujudkan dalam sebuah kenyataan. Proses sekunder
terdiri dari usaha menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan jalan suatu
rencana tindakan yang telah dikembangkan melalui pikiran dan oral (pengenalan).
c. Superego
Menurut Bertens (2006:33-34), superego dibentuk melalui internalisasi
(internalization), artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal
dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa sehingga
akhirnya terpancar dari dalam. Dengan kata lain, superego adalah buah hasil
proses internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya
merupakan sesuatu yang “asing” bagi si subyek, akhirnya dianggap sebagai
sesuatu yang berasal dari subyek sendiri, seperti “Engkau tidak boleh…atau
engkau harus…” menjadi “Aku tidak boleh…atau aku harus…”
Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2010:127) Super Ego adalah aspek
sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita
masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya yang
dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan. Super Ego lebih merupakan
kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu, Super Ego dapat pula
dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya yang pokok ialah
menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak,
dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat.
6
Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi
memakai prinsip idealistic sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip
realitik dari ego. Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan,
menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru
dalam fikiran. Superego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda
pemuasan tapi merintangi pemenuhannya.
1 Fungsi utama dari superego yang dihadirkan antara lain adalah:
Sebagai pengendali dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls-
impuls tersebut disalurkan dengan cara atau bentuk yang dapat diterima
oleh masyarakat.
2 Untuk mengarahkan ego pada tujuan-yang sesuai dengan moral ketimbang
dengan kenyataan.
3 Mendorong individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa
ego untuk menekan hasrat-hasrat yang berbeda kealam sadar. Superego
bersama dengan id, berada dialam bawah sadar (Hall dan Lindzey,
1993:67-68).
Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan
membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski
memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam prakteknya, namun ketiganya selalu
berinteraksi secara dinamis.
Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund
Freud dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia.
Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang
pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang
kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-
hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah
mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam
psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra.
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya
7
sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi
yang diterapkan pada karya sastra.
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya
perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai
diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi (The Interpretation of
Dreams) dan Three Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan
Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan
sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan
aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber
dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat)
dan tata cara Viktorianoisme (pergaulan kaku).
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi
dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan
menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah
studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena
jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan (fissure),
ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya
sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara
psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak
sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya.
Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.
4 Psikoanalisis dalam Prosa Sastra Indonesia
Dalam sastra Indonesia pendekatan psikologi berkembang sejak tahun
enam puluhan, antara lain oleh Hutagalung dan Oemarjati dalam buku
pembahasan masing-masing atas Jalan Tak Ada Ujung dan Atheis. Berbicara
tentang psikologi dan sastra, Rene Wellek dan Austin Warren menulis bahwa
istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama,
studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi proses kreatif.
Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.
Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Sastra
8
adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam hubungan di atas,
hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala bentuk seni. Yang
khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra yang berupa cerita
(prosa dan drama).
Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang
paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah seorang
yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak
muda. Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian
sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam
karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespeare),
dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia
yang menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya.
5 Psikoanalisis tokoh Buyung dalam Novel Harimau! Harimau!
SEBUAH PENCARIAN JATI DIRI
Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis menampilkan tokoh
Buyung dengan perkembangan kepribadiannya yang menarik untuk dikaji.
Buyung, pemuda 19 tahun, jatuh cinta kepada teman sepermainannya waktu kecil,
Zaitun. Keraguannya akan kecintaan Ziatun terhadap dirinya membuat ia
bungkam, tak mengungkapkan perasaannya kepada gadis pujaannya itu.
Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan perasaannya kepada seorang yang
sangat ia cintai tidak mampu mengelakkan hasratnya sebagai seorang pemuda
yang beranjak dewasa untuk mencintai dan merasa dibutuhkan oleh seorang
perempuan. Hasrat Buyung yang demikian tersebut pada akhirnya berujung pada
bentuk aktualisasi cinta yang keliru. Ia meniduri Siti Rubiyah, seorang perempuan
yang secara psikologis membutuhkan kasih sayang seorang laki-laki. Dari sinilah
awal kepribadian Buyung terbentuk. Perenungannya akan „dosa‟ beserta norma-
norma agama dan masyarakat menuntunnya menemukan „jalan kebenaran‟
kembali.
9
1 Kepribadian Tokoh Buyung
Buyung merupakan tokoh utama dalam novel Harimau! Harimau! Dia
seorang pemuda yang dikenal baik dan sopan di kampungnya. Dalam
kesehariannya, Buyung bertindak wajar seperti pemuda-pemuda lainnya yang
tinggal di Desa Air Jernih.
“Sutan, Buyung, Talib, dan Sanip juga termasuk anak muda yang
dianggap sopan dan baik di kampung.”
“Mereka orang-orang wajar seperti sebagaian terbesar orang di
kampung. Mereka baik dalam pergaulan, pergi sembahyang ke
mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi seperti orang lain, mereka
ikut bekerja bersama-sama ketika ada orang membangun rumah,
memperbaiki jalan-jalan, Bandar atau pun menyelenggarakan
perhelatan….” (Lubis, 2004: 6).
Buyung dibesarkan secara Islamiah, sebagai seorang yang menganut agama
Islam ia mengenal shalat, mengaji dan berusaha menjauhkan diri pada perbuatan
dosa. Bahkan dalam kutipan di atas dijelaskan bahwa Buyung juga pergi ke
masjid untuk bersembahyang. Usaha Buyung untuk menghindari dirinya dari
perbuatan dosa ada pada kutipan di bawah ini.
“Aduh aku lupa memeriksa perangkap kancil,” katanya kepada
Sutan yang berjalan di depannya.
“Siapa tahu barangkali ada isinya pagi ini.”
“Mengapa engkau tak kembali memeriksanya?” Kata Sutan.
“Sayang bukan.”
“Tetapi kita telah jauh.”
“Mana jauh, baru jalan setengah jam. Tinggalkan saja
keranjangmu di pinggir jalan, tak aka nada orang yang
mencurinya. Demikian engkau akan dapat berjalan lebih cepat.
Susul kami nanti di tempat bermalam.”
“Ah, biarlah,” kata Buyung, masih ragu-ragu.
“Tetapi kalau ada isinya, kancilnya bisa mati kelaparan,” kata
Talib. “Berdosa engkau.”
Buyung tampak ragu. Ucapan Talib menyebabkan dia
mengambil keputusan untuk kembali.
10
“Baiklah, aku kembali memeriksa perangkap,” katanya, “kalian
terus saja. Nanti aku susul.” (Lubis, 2004: 58).
Begitu diingatkan Talib akan dosa, Buyung berusaha sebisa mungkin
untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Ia bersedia kembali untuk memeriksa
perangkap kancil yang lupa diperiksanya saat akan melanjutkan perjalanan
pulang. Ia takut berdosa menyiksa kancil yang mungkin akan mati kelaparan jika
tidak ia selamatkan dari perangkapnya.
Walaupun demikian, Buyung masih mempercayai takhayul karena ia
tinggal di desa terpencil yang kuat kepercayaannya pada sesuatu yang bersifat
takhayul. Dia percaya pada ilmu sihir, dan jimat-jimat Wak Katok. Buyung juga
menjadi murid ilmu sihir Wak Katok.
“……dan Buyung, yang termuda diantara mereka, baru
berumur sembilan belas tahun. Anak-anak muda itu semuanya
murid pencak Wak Katok. Mereka juga belajar ilmu sihir dan
gaib padanya” (Lubis, 2004: 4).
Buyung dan kawan-kaeannya selalu bermimpi akan diberi
pelajaran oleh Wak Katok ilmu sihir yang dahsyat. Dia
terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati
gadis…. (Lubis, 2004: 10)
Buyung dan kawan-kawannya juga amat ingin mendapat ilmu
menghilanh. Dia telah bermimpi tentang hal-hal yang dapat
dilakukannya…. (Lubis, 2004: 11).
Namun pada perkembangannya, Buyung tahu bahwa ilmu-ilmu Wak
Katok palsu dan ia tidak percaya lagi.
“Jimat-jimatmu palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat-
jimat yang dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan,
lihatlah, dimana mereka kini, mereka mempercayai
engkau…mereka telah mati, telah binasa…. Wak Katok diam
saja.” Buyung – kepada Wak Katok (Lubis, 2004: 192).
11
Buyung merasa paling kecil di antara rombongan pencari damar lainnya.
Hal ini menyebabkan Buyung tidak cukup percaya diri. Terutama masalah cinta,
ia tidak berani mengungkapkan cintanya kepada gadis pujaan hatinya, Zaitun.
Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati
gadis. Telah jatuh cinta benar kepada si Zaitun, anak Wak
Hamdan, akan tetapi sang gadis seakan acuh tak acuh saja
(Lubis, 2004: 10).
Bagaimana hendak memikat hati gadis yang demikian, kalau
tidak dengan mantera Wak Katok? Buyung bersedia melakukan
apa saja, asal Wak Katok mengajarkan mantera yang
diperlukan (Lubis, 2004: 12).
Sikap Buyung yang tidak percaya diri dan takut ditolak cintanya oleh
Zaitun mendorong Buyung untuk meminta mantera kepada Wak Katok agar
Buyung dapat menggunakannya untuk memikat hati Zaitun tanpa takut cintanya
ditolak. Namun pada perkembangan psikologinya, tokoh Buyung mempunyai
keberanian dan hendak mengungkapkan cintanya kepada Zaitun tanpa
menggunakan mantera dan jimat dari Wak Katok.“… aku akan kawin dengan
Zaitun, karena dia cinta padaku, dan bukan karena mantera dan jimat.” (Lubis,
2004: 202).
Selain tidak percaya diri akan cintanya, pada awal penceritaan Buyung
juga tidak memiliki rasa percaya diri pada kemampuan yang dimilikinya. Ia
menganggap bahwa orang lain lebih unggul darinya.
Dalam hati Buyung amat ingin lekas menjadi dewasa dan lelaki
yang matang, seperti kawan-kawannya yang lain. Umpamanya
Sutan yang lebih pandai bersilat dari dia, meskipun mereka
sama-sama murid Wak Katok, yang telah menikah dan amat
pandainya bergaul dengan perempuan, tua atau muda, dan
pandai pula bekerja mencari uang. Sanip pandai bermain
dangung-dangung. Dia ingin semudah Sanip menyanyi dan
menari dan bercerita. (Lubis, 2004:15-16)
Sikap Buyung yang tidak percaya diri membawa Buyung untuk selalu taat
dan patuh pada apa yang diperintahkan oleh orang lain. Dalam memimpin
12
perburuan ia juga menyerahkan pada Wak Katok. Padahal Buyung sebenarnya
lebih pintar berburu dibandingkan dengan Wak Katok. Namun dalam
perkembangannya, tokoh Buyung menjadi pribadi yang memiliki rasa percaya
diri. Ia percaya pada kemampuan yang dimilikinya. Ia lalu memimpin perburuan
menggantikan Wak Katok.
“Ikat dia baik-baik!” kata Buyung. Dengan sendirinya,
Buyung kini yang mengambil pimpinan antara mereka
berdua. Sedang Sanip mengikat Wak Katok, Buyung
memadamkan api-api unggun lain yang telah dipasang Wak
Katok (Lubis, 2004: 200).
Harimau itu memperhatikan tempat yang agak terbuka
dihadapannya dan kemudian dia menegangkan tubuhnya….
Harimau itu merendahkan badannya, siap hendak
melompat. Buyung membidik hati-hati. Membidikkan
senapan tepat di tengah antara kedua mata harimau.
dengan gembira ia melihat tangannya tidak gemetar.
Sepanjang hari hatinya selalu bertanya-tanya, dan dia
merasa khawatir, apakah dia tidak akan ketakutan dan tak
kuasa membidik, tangannya dan seluruh badannya akan
gemetar jika melihat harimau. Akan tetapi kini dia merasa
seluruh badannya dan pikirannya tenang. Dia tahu apa
yang dilakukannya, dia menginsyafi bahaya besar yang
mereka hadapi, dia yakin pada dirinya sendiri (Lubis,
2004: 208-209).
Sebagai seorang remaja yang beranjak dewasa Buyung masih labil dalam
mengambil keputusan. Ia tidak tegas dalam menyikapi suatu masalah.
Saat-saat yang menyuruh orang melakukan pilihan atau
mengambil keputusan, pilihan yang mungkin membawanya
ke puncak kebahagiaan, atau juga ke dasar ngarai gelap
kenistaas. Atau yang membawa kesyukuran atau kesesalan
seumur hidup. Saat serupa itulah yang tiba akan tetapi
berlaku kembali antara Buyung dan Siti Rubiyah (Lubis,
2004: 55)
13
Buyung sebagai seorang pemuda yang sudah berusia sembilan belas tahun,
juga pandai bekerja mencari nafkah. Hal ini dapat dilihat dari perbincangan antara
orang tua Buyung.
“Si Buyung pun sudah besar. Sudah Sembilan belas tahun
umurnya. Dan dia pun sudah pandai bekerja,” kata
ayahnya.
Sedang Buyung menganggap dirinya telah dewasa. Dia
telah berumur Sembilan belas tahun, dia telah tamat
sekolah rakyat, dia telah tamat Qur’an sampai dua kali,
dan dia pun pandai mencari nafkah sendiri (Lubis, 2004:
12-13).
Kepandaian Buyung dalam mencari nafkah didukung oleh kepandaiannya
berburu. Ia mahir menggunakan senapan untuk membidik hewan buruannya.
Kepandaiannya dalam berburu mendapatkan pujian dari guru Buyung yaitu Wak
Katok. Nama Buyung pun mulai dikenal sebagai pemuda yang pandai berburu di
kampungnya.
….Buyung bangga benar dengan kepandaiannya
menembakkan senapan lantak. Jarang benar ia melesat.
Hampir selalu kena sasarannya.
Dia pernah membidik seekor babi yang sedang lari, yang
dibidiknya tepat di belakang kupingnya, dan disanalah
peluru mengenai sang babi. Wak Katok sendiri pernah
memujinya, ketika dalam berburu babi ramai-ramai dengan
orang kampung, pelurunya menembus mata kiri seekor babi
yang datang menyerang. Wak Katok dalam kemarahan
hatinya ketika itu mengatakan, bahwa dia sendiri pun tak
dapat memperbaiki tembakan Buyung. Sungguh sebuah
pujian besar datang dari Wak Katok. Buyung merasa amat
bangga dan namanya sebagai penembak yang mahir mulai
termasyur di kampung.
Pujian dari Wak Katok sebagai pemburu yang termahir dan
penembak yang terpandai di seluruh kampung, merupakan
semacam pengangkatan resmi juga untuk Buyung….. (Lubis,
2004: 8-9)
14
Rasa belas kasih Buyung ia tunjukkan kepada keluarganya. Ia hendak
memberikan ibunya uang. Buyung juga mempunyai rasa perhatian kepada ibunya.
Ia bahkan tahu warna kesukaan ibunya. Padahal itu suatu hal yang sepele.
Oh, dia akan membelikan sebuah kain sembahyang yang baru
untuk ibunya. Ibunya akan senang benar dengan kain
sembahyang baru nanti, sebuah kain pelekat berwarna merah
tua. Itulah warna yang disenangi ibunya. Kemudian apa lagi?
Oh, dia akan memberi ibunya uang untuk membantu belanja di
rumah. Sejak ia pandai menyimpan uang, selalu dia memberi
uang pada ibunya, meskipun ibunya mengatakan, bahwa dia
tak perlu memberikan uang, kata ibunya kepada Buyung
(Lubis, 2004: 59).
Selain pada keluarganya, Buyung juga peduli dan mempunyai rasa
tanggung jawab terhadap warga kampung tempat ia tinggal. Ia takut jika bahaya
yang sedang ia hadapi sekarang juga akan menyerang warga kampungnya,
sehingga Buyung bersedia memerangi bahaya yang ada di depan matanya
sebelum bahaya itu sampai ke kampung kelahirannya dan merugikan banyak
orang.
“dan jika tak kita buru kini, maka harimau akan datang ke
kampung menyerang ternak. Akan habis lembu dan kambing, dan
siapa tahu orang kampung pun akan jadi korbannya.
“Tetapi tidaklah itu menjadi urusan orang sekampung nanti?”
kata Pak Haji, “mengapa kita saja yang memikul tugas
membunuhnya?”
“Tak sampai kesana pikiranku,” kata Buyung, “menurut rasa
hatiku, di mana kita bertemu dengan yang jahat, dan hendak
merusak kita, atau merusak orang lain, merusak orang banyak,
maka kita yang paling dekat wajib melawannya. Masa harus kita
tunggu dulu diri kita yang kena bala, maka baru kita bangkit
melawannya? Masa kita berdiam diri selama diri kita yang tak
kena?” (Lubis, 2004: 181-182).
15
2 Perkembangan Kepribadian Tokoh Buyung
Sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa, Buyung mempunyai
ketertarikan terhadap lawan jenis. Dia jatuh cinta kepada Zaitun, bunga desa yang
tak hanya cantik tetapi juga pintar mengaji dan menjahit. Bagi Buyung, Zaitun
merupakan potret gadis desa yang sempurna. Keinginan terbesar Buyung (Id)
adalah memiliki Zaitun seutuhnya, baik jiwa maupun raga. Hal ini terlihat pada
pikiran Buyung:
“Buyung merasa, bahwa jika Zaitun tak merasa seperti yang
dirasakannya, maka rasanya tak puas hatinya akan kawin
dengan Zaitun, meskipun kedua orang tua mereka menyetujui
perkawinan itu. Buyung tahu, bahwa biasanya orang kawin
menurut pilihan yang dilakukan orang tua saja, akan tetapi dia
sendiri ingin memilih isteri, dan isterinya memilih dia pula.”
(Lubis, 2008: 14).
Pada kutipan di atas dapat ditarik simpulan bahwa Buyung benar-benar
memiliki keinginan untuk menjalin hubungan yang serius dengan Zaitun.
Hubungan tersebut bukan hanya hubungan sebatas pacar, melainkan hubungan
pernikahan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang antara keduanya.
Usia sembilan belas tahun merupakan usia yang cukup dewasa bagi seorang
laki-laki untuk dapat mandiri, tidak bergantung kepada kedua orang tua. Pada usia
ini, seorang laki-laki juga ingin mendapatkan kasih sayang selain dari ibu. Begitu
pula dengan tokoh Buyung. Dia menginginkan dicintai dan disayangi oleh Zaitun.
Selain itu, Buyung ingin merasa dibutuhkan oleh perempuan yang dicintainya.
“Kadang-kadang serasa hilang akal Buyung memikirkan
bagaimana dapat membuat Zaitun jatuh cinta padanya, supaya
Zaitun setiap saat ingat padanya, rindu padanya,…” (Lubis,
2008:14).
Kutipan di atas menyiratkan betapa cintanya Buyung pada Zaitun.
Namun, Buyung merasa pesimis akan kemungkinan terwujudnya keinginannya
16
tersebut (Id). Ia tidak dapat menafsirkan sikap Zaitun yang terkadang manis dan
terkadang acuh tak acuh terhadap Buyung.
Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan perasaannya kepada seorang
yang sangat ia cintai, ia tidak mampu mengelak dari hasratnya sebagai seorang
pemuda yang beranjak dewasa untuk mencintai dan merasa dibutuhkan oleh
seorang perempuan. Hal ini terbukti pada saat istri muda Wak Katok, Siti Rubiyah
yang sering mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya, membutuhkan
pertolongan dan perlindungannya.
“Akan tetapi melihat Siti Rubiyah duduk mencangkung
demikian di depannya, dan menundukkan kepala ke tanah, tak
sampai hatinya untuk mengaku kalah, dan tak berbuat apa –
apa. Dijangkaukannya tangannya memegang bahu Siti
Rubiyah, dan Siti Rubiyah merebahkan kepalanya ke pangkuan
Buyung, dan Buyung menghapus – hapus kening Siti Rubiyah,
dan berkata:
“Diamlah, diamlah Rubiyah, jangan engkau menangis.
Tenanglah.” Kembali rasa lelakinya timbul mengalir kuat
bersama darahnya, ketika Siti Rubiyah memegang tangannya,
dan kemudian memeluk pinggangnya dan menyembunyikan
kepalanya ke perut Buyung sambil berkata:
“Lindungi aku, Kak. Tak ada orang yang mau menolong aku,
selain Kakak. Kepada siapa aku akan meminta tolong kini?”
(Lubis, 2008:67).
Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah tercermin pada tindakan Buyung
di atas. Buyung berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman kepada Siti
Rubiyah yang memang membutuhkan perlindungan dari seorang laki – laki. Sikap
Rubiyah yang demikian ini menjadikan Buyung merasa sebagai seorang laki –
laki dewasa yang dibutuhkan. Perasaan inilah yang selama ini ia inginkan dan
tidak ia dapatkan dari Zaitun, gadis pujaan hatinya.
Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah menjerumuskan mereka
mengaktualisasikan bentuk kasih sayang yang salah. Buyung yang pada dasarnya
17
merupakan pemuda baik – baik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
agamis pada akhirnya melakukan bentuk kasih sayang yang melanggar agama.
Tindakan Buyung terhadap Siti Rubiyah tersebut pada dasarnya
adalah Ego yang merupakan perwujudan dari Id-nya (keinginan untuk
mendapatkan cinta Zaitun) yang ia simpan atau tekan.
Pada dasarnya, Buyung mempunyai keinginan (Id) yang baik.
Namun, Buyung mengambil tindakan yang salah dalam mewujudkan Id-nya. Ego-
nya yaitu 1) berusaha memikat Zaitun dengan guna-guna dan 2) menyimpan
perasaan cintanya kepada Zaitun yang justru dimanifestasikan dalam bentuk
tindakan cinta yang salah itu tidak sesuai dengan Superego-nya. Hati nurani dan
agama yang dianut Buyung yang merupakan Superego-nya menuntun dia untuk
merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya. “Meskipun mereka memicingkan
mata, akan tetapi pikirannya tak berhenti. Ketukan Pak Balam terhadap hati
nurani mereka masih berkumandang juga di dalam relung hati dan pikiran,
bergema ke bawah sadar.” (Lubis, 2008:113). Kutipan tersebut mengisyaratkan
bahwa Buyung memikirkan semua tindakan yang sebenarnya tidak pantas ia
lakukan. Hal ini juga terlihat pada pikiran Buyung: “Bukankah Siti Rubiyah istri
orang lain?” (Lubis, 2008: 74).
Dalam diri Buyung timbul pula ketakutan akan dosa-dosa yang telah ia
lakukan seperti terlihat pada: “Tiba-tiba Buyung teringat pada dosa-dosanya
sendiri, dan pikirannya bertambah kacau…. Maka lalu ia tak dapat lagi damai
dengan dosa-dosanya,…” (Lubis, 2008: 159). Konflik batin yang dialami tokoh
Buyung secara tidak langsung telah menghukum jiwanya. Hukuman ini berasal
dari hati nuraninya sendiri dan kesadaran akan pengetahuan agama yang Buyung
peroleh sejak kecil. Di sinilah peran penting Superego dibutuhkan dalam
mengarahkan pikiran sadar manusia untuk menjadi pribadi yang baik.
Buyung juga mendapatkan pelajaran yang berharga dari Ego memendam
perasaan cinta kepada Zaitun. Memendam perasaan cinta justru membawanya
kepada masalah baru yang berkaitan dengan Siti Rubiyah, seorang perempuan
yang tidak dicintainya. Sebagai seorang pemuda yang sedang mencari
18
identitasnya untuk menjadi laki-laki dewasa, ia ingin berkomitmen kepada
perempuan yang benar-benar dicintainya saja.
Buyung yang pada awalnya merupakan pemuda yang masih belum dapat
mengambil keputusan, kini telah mampu menentukan pilihan – pilihan hidupnya.
Buyung telah memutuskan untuk tidak lagi mempercayai takhayul. Ia juga telah
menentukan sikap yang tegas atas perasaan cintanya kepada Zaitun. Ia tidak akan
terlalu lama memendam perasaannya. Ia bertekad untuk menikahi Zaitun.
Keberanian Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan kematangannya dalam
berpikir dan bersikap, karena menikah adalah suatu keputusan dewasa yang
mengandung banyak konsekuensi.
Kemampuan dalam menentukan pilihan hidup ini menunjukkan bahwa ia
telah berhasil melewati proses pencarian jati diri. Semua ini tidak terlepas dari
peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada dirinya.
Id yang tidak direalisasikan akan tersimpan di dalam pikiran dan lama –
lama menjadi sesuatu yang tidak disadari. Keinginan Buyung yang tidak
direalisasikan tersimpan di dalam pikiran dan lama-lama menjadi sesuatu yang
tidak disadari. Bentuk ketidaksadaran ini diwujudkan dalam mimpi yang dialami
oleh Buyung. Zaitun gadis yang dicintainya hadir dalam mimpinya.
Keinginan Buyung untuk mendapatkan cinta Zaitun yang tertekan dalam
Ego, kemudian tersimpan di dalam pikiran dan menjadi sesuatu yang tak disadari.
Keinginan tersebut dimanifestasikan lewat mimpinya. Dalam mimpi tersebut,
Buyung yang hendak menyeberangi danau dalam kondisi alam yang tak
bersahabat, dipanggil-panggil oleh Zaitun. Sikap Zaitun yang tampak dalam
mimpi tersebut menyiratkan bahwa ia menaruh perhatian yang besar terhadap
Buyung. Zaitun khawatir akan keselamatan Buyung. Melalui mimpi ini, keinginan
Buyung untuk mendapatkan cinta Zaitun terealisasi dalam alam bawah sadarnya.
19
6 Simpulan
Sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa, Buyung mempunyai
keinginan menjadi laki-laki dewasa pada umumnya. Dia ingin menjalin hubungan
yang serius dengan Zaitun. Namun keingianan (Id) Buyung tersebut terhalang
oleh ketidakberaniannya dalam mengambil keputusan. Ketidakberaniannya ini
menunjukkan bahwa tokoh Buyung belum memiliki jati diri sebagai laki-laki
dewasa. Sikapnya ini mendorong Buyung untuk menekan perasaan cintanya
kepada Zaitun, yang justru menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan Siti
Rubiyah (Ego). Hati nurani dan agama yang dianut Buyung (Superego) menuntun
dia untuk merenungkan hal-hal yang telah dilakukan sehingga ia pada akhirnya
menemukan jati diri sebagai seorang laki-laki dewasa. Ia menyadari bahwa cinta
yang sejati tidak datang karena guna-guna, tetapi muncul dengan sendirinya. Ia
tidak lagi percaya pada takhayul. Ia juga telah menentukan sikap yang tegas atas
perasaan cintanya kepada Zaitun. Ia bertekad untuk menikahi Zaitun. Keberanian
Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan kematangannya dalam berpikir dan
bersikap.
Kemampuan dalam menentukan pilihan hidup ini menunjukkan bahwa
Buyung telah berhasil melewati proses pencarian jati diri yang tidak terlepas dari
peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada dirinya. Dalam tokoh Buyung, Id-
nya lah yang lebih dominan. Walaupun Id-nya hanya sebentuk angan yang ditekan
saja, tanpa realisasi, tetapi keinginannya untuk mendapatkan cinta Zaitun ini
sangat kuat. Ego untuk mewujudkan Id tidak terlalu dominan karena adanya
penekanan terhadap Id tersebut. Demikian pula dengan Superego Buyung. Peran
Superego di awal kepribadian tidak terlalu menonjol sehingga Buyung melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan agama dan norma masyarakat.
Disadari atau tidak, setiap orang memiliki Id, Ego, dan Superego.
Ketiganya memberikan kontribusi dalam pembentukan kepribadian seseorang.
Baik atau buruk kepribadian yang terbentuk ditentukan oleh bagian kepribadian
mana antara Id, Ego, dan Superego yang lebih menonjol.

More Related Content

What's hot

Bab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporerBab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporerDek Matang
 
Makalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesiaMakalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesiasaint Corpino
 
Postkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksiPostkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksiAjengIlla
 
Kata/Istilah Baku dan Tidak Baku
Kata/Istilah Baku dan Tidak BakuKata/Istilah Baku dan Tidak Baku
Kata/Istilah Baku dan Tidak BakuDwi Firli Ashari
 
Materi Hikayat Bahasa Indonesia
Materi Hikayat Bahasa IndonesiaMateri Hikayat Bahasa Indonesia
Materi Hikayat Bahasa IndonesiaAdetya Preteers
 
Bahasa Indonesia : Teks Editorial
Bahasa Indonesia : Teks EditorialBahasa Indonesia : Teks Editorial
Bahasa Indonesia : Teks EditorialNesha Mutiara
 
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Marliena An
 
Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)
Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)
Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)SalVani SalVani
 
Pronomina,Verba, & Konjungsi
Pronomina,Verba, & KonjungsiPronomina,Verba, & Konjungsi
Pronomina,Verba, & KonjungsiResma Puspitasari
 
ppt Teks laporan hasil observasi
ppt Teks laporan hasil observasippt Teks laporan hasil observasi
ppt Teks laporan hasil observasiDalilah Adani
 
Kalimat efektif baru
Kalimat efektif baruKalimat efektif baru
Kalimat efektif baruRezaKene
 
Bilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosiaBilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosiaYahyaChoy
 
KOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIA
KOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIAKOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIA
KOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIAEman Syukur
 
Makalah notasi ilmiah
Makalah notasi ilmiahMakalah notasi ilmiah
Makalah notasi ilmiahf471h
 
Notasi ilmiah
Notasi ilmiahNotasi ilmiah
Notasi ilmiahaks247
 
Makalah sejarah sma perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...
Makalah sejarah sma   perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...Makalah sejarah sma   perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...
Makalah sejarah sma perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...Endang Mahpudin
 

What's hot (20)

Bab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporerBab i pendahulua nsastra kontemporer
Bab i pendahulua nsastra kontemporer
 
Makalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesiaMakalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesia
 
Postkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksiPostkolonial - kajian prosa fiksi
Postkolonial - kajian prosa fiksi
 
Kata/Istilah Baku dan Tidak Baku
Kata/Istilah Baku dan Tidak BakuKata/Istilah Baku dan Tidak Baku
Kata/Istilah Baku dan Tidak Baku
 
Materi Hikayat Bahasa Indonesia
Materi Hikayat Bahasa IndonesiaMateri Hikayat Bahasa Indonesia
Materi Hikayat Bahasa Indonesia
 
Bahasa Indonesia : Teks Editorial
Bahasa Indonesia : Teks EditorialBahasa Indonesia : Teks Editorial
Bahasa Indonesia : Teks Editorial
 
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
Psikologi Sastra Novel "Cala Ibi"
 
Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)
Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)
Bahasa Indonesia - Puisi (kelas 10 K13)
 
Pronomina,Verba, & Konjungsi
Pronomina,Verba, & KonjungsiPronomina,Verba, & Konjungsi
Pronomina,Verba, & Konjungsi
 
variasi dan jenis bahasa
variasi dan jenis bahasavariasi dan jenis bahasa
variasi dan jenis bahasa
 
ppt Teks laporan hasil observasi
ppt Teks laporan hasil observasippt Teks laporan hasil observasi
ppt Teks laporan hasil observasi
 
Ppt gaya bahasa
Ppt gaya bahasaPpt gaya bahasa
Ppt gaya bahasa
 
Kalimat efektif baru
Kalimat efektif baruKalimat efektif baru
Kalimat efektif baru
 
Bilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosiaBilingualism and diglosia
Bilingualism and diglosia
 
KOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIA
KOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIAKOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIA
KOHESI, KOHERENSI, DAN JENIS WACANA BAHASA INDONESIA
 
Makalah notasi ilmiah
Makalah notasi ilmiahMakalah notasi ilmiah
Makalah notasi ilmiah
 
Notasi ilmiah
Notasi ilmiahNotasi ilmiah
Notasi ilmiah
 
Fonologi
FonologiFonologi
Fonologi
 
Materi teori sastra
Materi teori sastraMateri teori sastra
Materi teori sastra
 
Makalah sejarah sma perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...
Makalah sejarah sma   perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...Makalah sejarah sma   perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...
Makalah sejarah sma perkembangan politik & ekonomi masa demokrasi parle...
 

Similar to Makalah psikoanalisis prosa sastra mika

tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)
tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)
tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)d_maha
 
TUGAS KELOMPOK 1 (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdf
TUGAS KELOMPOK 1  (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdfTUGAS KELOMPOK 1  (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdf
TUGAS KELOMPOK 1 (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdfDellaAp1
 
Psikoanalisa
PsikoanalisaPsikoanalisa
Psikoanalisapsepti17
 
TEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptx
TEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptxTEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptx
TEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptxkhoir33
 
Paper dokmatika III
Paper dokmatika IIIPaper dokmatika III
Paper dokmatika IIIMelkiasAdu
 
Manusia dalam Pandangan Psikologi
Manusia dalam Pandangan PsikologiManusia dalam Pandangan Psikologi
Manusia dalam Pandangan PsikologiMelkiasAdu
 
Pendekatan psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisisPendekatan psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisisadepeni
 
Makalah psikoanalisa
Makalah psikoanalisaMakalah psikoanalisa
Makalah psikoanalisapsepti22
 
Siti nuriah psikologi komunikasi
Siti nuriah psikologi komunikasiSiti nuriah psikologi komunikasi
Siti nuriah psikologi komunikasiSITINURIAH1
 
Psikoterapi (asosiasi bebas)
Psikoterapi (asosiasi bebas)Psikoterapi (asosiasi bebas)
Psikoterapi (asosiasi bebas)coryditapratiwi
 
Ppt pak chamid
Ppt pak chamidPpt pak chamid
Ppt pak chamidnim_nang
 
Pendekatan konseling psykoanalisis
Pendekatan konseling psykoanalisisPendekatan konseling psykoanalisis
Pendekatan konseling psykoanalisisvarizalamir
 
Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).
Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).
Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).adriandunggun
 
Psychoanalisa
PsychoanalisaPsychoanalisa
Psychoanalisaelmakrufi
 
Psikologi abhidama dan transpersonal
Psikologi abhidama dan transpersonalPsikologi abhidama dan transpersonal
Psikologi abhidama dan transpersonalIkha Mardiyah
 

Similar to Makalah psikoanalisis prosa sastra mika (20)

Psikologi sastra
Psikologi sastraPsikologi sastra
Psikologi sastra
 
tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)
tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)
tugas kelompok 4 psikososial (UMB MENTENG)
 
TUGAS KELOMPOK 1 (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdf
TUGAS KELOMPOK 1  (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdfTUGAS KELOMPOK 1  (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdf
TUGAS KELOMPOK 1 (RINGKASAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN).pdf
 
Psikoanalisa
PsikoanalisaPsikoanalisa
Psikoanalisa
 
TEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptx
TEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptxTEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptx
TEORI PSIKOLOGI DAN PSIKOANALISIS.pptx
 
Paper dokmatika III
Paper dokmatika IIIPaper dokmatika III
Paper dokmatika III
 
Manusia dalam Pandangan Psikologi
Manusia dalam Pandangan PsikologiManusia dalam Pandangan Psikologi
Manusia dalam Pandangan Psikologi
 
Pendekatan psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisisPendekatan psikoanalisis
Pendekatan psikoanalisis
 
Psikologi
PsikologiPsikologi
Psikologi
 
Psikologi
PsikologiPsikologi
Psikologi
 
Teori Tokoh Psikologi
Teori Tokoh PsikologiTeori Tokoh Psikologi
Teori Tokoh Psikologi
 
psikoanalisme2.pdf
psikoanalisme2.pdfpsikoanalisme2.pdf
psikoanalisme2.pdf
 
Makalah psikoanalisa
Makalah psikoanalisaMakalah psikoanalisa
Makalah psikoanalisa
 
Siti nuriah psikologi komunikasi
Siti nuriah psikologi komunikasiSiti nuriah psikologi komunikasi
Siti nuriah psikologi komunikasi
 
Psikoterapi (asosiasi bebas)
Psikoterapi (asosiasi bebas)Psikoterapi (asosiasi bebas)
Psikoterapi (asosiasi bebas)
 
Ppt pak chamid
Ppt pak chamidPpt pak chamid
Ppt pak chamid
 
Pendekatan konseling psykoanalisis
Pendekatan konseling psykoanalisisPendekatan konseling psykoanalisis
Pendekatan konseling psykoanalisis
 
Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).
Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).
Tugas dokmatika iii peiper (ADRIAN DUNGGUN).
 
Psychoanalisa
PsychoanalisaPsychoanalisa
Psychoanalisa
 
Psikologi abhidama dan transpersonal
Psikologi abhidama dan transpersonalPsikologi abhidama dan transpersonal
Psikologi abhidama dan transpersonal
 

More from mujahidah khilafah (Shintia Minandar)

More from mujahidah khilafah (Shintia Minandar) (20)

Drama sebagai teater
Drama sebagai teaterDrama sebagai teater
Drama sebagai teater
 
Rpp drama sebagai teater
Rpp drama sebagai teaterRpp drama sebagai teater
Rpp drama sebagai teater
 
hubungan bahasa dengan Retorika
hubungan bahasa dengan Retorikahubungan bahasa dengan Retorika
hubungan bahasa dengan Retorika
 
Jurnal semantik-nan-cantik
Jurnal semantik-nan-cantikJurnal semantik-nan-cantik
Jurnal semantik-nan-cantik
 
draft penting implikatur
draft penting implikaturdraft penting implikatur
draft penting implikatur
 
Shinmin
ShinminShinmin
Shinmin
 
Proposal menulis karya ilmiah shintia M
Proposal menulis karya ilmiah shintia MProposal menulis karya ilmiah shintia M
Proposal menulis karya ilmiah shintia M
 
Hubungan antara ilmu dengan kebudayaan
Hubungan antara ilmu dengan kebudayaanHubungan antara ilmu dengan kebudayaan
Hubungan antara ilmu dengan kebudayaan
 
Mahkota dewa atau phaleria papuana atau phaleriae fructus
Mahkota dewa atau phaleria papuana atau phaleriae fructusMahkota dewa atau phaleria papuana atau phaleriae fructus
Mahkota dewa atau phaleria papuana atau phaleriae fructus
 
Kisi kisi
Kisi kisiKisi kisi
Kisi kisi
 
Paper peserta diskusi
Paper peserta diskusiPaper peserta diskusi
Paper peserta diskusi
 
Bab vi
Bab viBab vi
Bab vi
 
Tugas kel pk dudung
Tugas kel pk dudungTugas kel pk dudung
Tugas kel pk dudung
 
Print peserta
Print pesertaPrint peserta
Print peserta
 
Kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan data
Kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan dataKriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan data
Kriteria dan teknik pemeriksaan keabsahan data
 
1105113581 shintia bu char
1105113581 shintia bu char1105113581 shintia bu char
1105113581 shintia bu char
 
Istilah variabel dapat diartikan bermacam
Istilah variabel dapat diartikan bermacamIstilah variabel dapat diartikan bermacam
Istilah variabel dapat diartikan bermacam
 
Studi bahasa sebagai sistem tanda
Studi bahasa sebagai sistem tandaStudi bahasa sebagai sistem tanda
Studi bahasa sebagai sistem tanda
 
Variabel penelitian
Variabel penelitianVariabel penelitian
Variabel penelitian
 
Cover
CoverCover
Cover
 

Makalah psikoanalisis prosa sastra mika

  • 1. 1 PSIKOANALISIS DALAM PROSA SASTRA 1 Pengertian Prosa Sastra Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan prosa baru,prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat,dan prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun (http://id.wikipedia.org/wiki/Prosa). Prosa dibagi menjadi dua yaitu prosa lama dan prosa baru. Prosa lama adalah karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan, disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke indonesia, masyarakat menjadi akrab dengan tulisan, bentuk tulisan pun mulai banyak dikenal. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sastra indonesia mulai ada. Sedangkan prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa lama ditandai dengan sifatnya yang statis artinya pola kalimat pada prosa lama banyak yang sama bahkan temaceritapun banyak yang sama. Selain itu, cerita lama umumnya mempunyai suatu keterkaitan unsur-unsur yang sama. Prosa lama yang bersifat tradisional terbentuk di tengah-tengah masyarakat. Kebanyakan hasil sastra dalam kesusastraan lama tidak diketahui siapa pengarangnya.Prosa baru menceritakan dengan jelas keadaan masyarakat. Ia juga bersifat dinamis artinya dapat diubah. Pada awalnya prosa baru muncul adalah karena pengaruh budaya Belanda dan Inggris.
  • 2. 2 2 Pengertian Psikoanalisis dalam Prosa Sastra Menurut Para Ahli Menurut Endraswara (2003:97) psikologi sastra merupakan kajian yang memandang karya sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Dalam arti luas bahwa karya sastra tidak lepas dari kehidupan yang menggambarkan berbagai rangkaian kepribadian manusia. Ratna (dalam Albertine, 2010:54) berpendapat psikologi, khususnya psikologi analitik diharapkan mampu menemukan aspek-aspek ketaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis sekaligus dengan terapinya. Selain itu, teknologi dengan berbagai dampak negatifnya dan lingkungan hidup merupakan salah satu sebab utama terjadinya gangguan psikologis. Psikologi sastra tidak bermaksud memecahkan masalah psikologis. Namun secara definitif, tujuan psikologi sastra ialah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Psikologi lahir untuk mempelajari kejiwaan manusia, yakni manusia yang ada di bumi inilah yang menjadi objek penelitian psikologi, sastra lahir dari masyarakat, pengarang hidup dalam tengah-tengah masyarakat dan pengarang juga menciptakan karya sastranya termasuk tokoh yang ada didalamnya. Tokoh yang diciptakan secara tidak sadar oleh pengarang memiliki muatan kejiwaan yang timbul dari proyeksi pelaku yang ada dalam masyarakat, karya sastra berupa novel lebih panjang dan terperinci dalam penggambaran tokohnya, oleh karena itu kejiwaan yang ada dalam novel lebih kental pula. Pendapat yang sama mengenai kejiwaan tokoh dalam karya sastra, dikemukakan oleh Ratna (dalam Albertine 2010:54) ialah berpendapat bahwa pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. 3 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Menurut Albertine (2010:11), psikoanalisis adalah disiplin ilmu yang dimulai sekitar tahun 1900-an oleh Sigmund Freud. Teori psikoanalisis ini berhubungan dengan fungsi dan perkembangan mental manusia, serta ilmu ini merupakan bagian dari psikologi yang memberikan kontibusi besar dan dibuat untuk psikologi manusia selama ini.
  • 3. 3 Psikoanalisis merupakan sejenis psikologi tentang ketidaksadaran; perhatian-perhatiannya terarah pada bidang motivasi, emosi, konflik, sistem neurotic, mimpi-mimpi, dan sifat-sifat karakter. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2002:3), psikoanalisis adalah sebuah metode perawatan medis bagi orang-orang yang menderita gangguan syaraf. Psikoanalisis merupakan suatu jenis terapi yang bertujuan untuk mengobati seseorang yang mengalami penyimpangan mental dan syaraf. Dalam struktur kepribadian Freud, ada tiga unsur sistem penting, yakni id, ego, dan superego. Menurut Bertens (2006:32) istilah lain dari tiga faktor tersebut dalam psikoanalisis dikenal sebagai tiga “instansi” yang menandai hidup psikis. Dari ketiga sistem atau ketiga instansi ini satu sama lain saling berkaitan sehingga membentuk suatu kekuatan atau totalitas. Maka dari itu untuk mempermudah pembahasan mengenai kepribadian pada kerangka psikoanalisa, kita jabarkan sistem kepribadian ini. a. Id Menurut Bertens (2006:32-33), id merupakan lapisan psikis yang paling mendasar sekaligus id menjadi bahan dasar bagi pembentukan hidup psikis lebih lanjut. Artinya id merupakan sisitem kepribadian asli paling dasar yakni yang dibawa sejak lahir. Dari id ini kemudian akan muncul ego dan superego. Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti insting, impuls, dan drives. Id berada dan beroperasi dalam daerah unconscious, mewakili subyektivitas yang tidak pernah disadari sepanjang usia. Id berhubungan erat dengan proses fisik untuk mendapatkan energi psikis yang digunakan untuk mengoperasikan sistem dari struktur kepribadian lainnya. Energi psikis dalam id itu dapat meningkat oleh karena perangsang, dan apabila energi itu meningkat maka menimbulkan tegangan dan ini menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Dari situlah id harus mereduksikan energi untuk menghilangkan rasa tidak enak dan mengejar keenakan. Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure principle), yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit.
  • 4. 4 Bagi Id, kenikmatan adalah keadaan yang relative inaktif atau tingkat enerji yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan enerji yang mendambakan kepuasan. Jadi ketika ada stimulasi yang memicu enerji untuk bekerja-timbul tegangan energi-id beroperasi dengan prinsip kenikmatan; berusaha mengurangi atau menghilangkan tegangan itu; mengembalikan diri ke tingkat energi rendah. Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut dengan proses primer. Proses primer ialah reaksi membayangkan atau mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan tegangan- dipakai untuk menangani stimulus kompleks, seperti bayi yang lapar membayangkan makanan atau putting ibunya. Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar- benar memuaskan kebutuhan. Id tidak mampu menilai atau membedakan benar- salah , tidak tahu moral. Jadi harus dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yang member kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral. Alasan inilah yang kemudian membuat id memunculkan ego. b. Ego Ego adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan atau realita (Freud dalam Suryabrata 2010:126). Ego berbeda dengan id. Menurut Koeswara (1991:33-34), ego adalah sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengaruh individu kepada objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut (Freud dalam Bertens 2006:33), ego terbentuk dengan diferensiasi dari id karena kontaknya dengan dunia luar, khususnya orang di sekitar bayi kecil seperti orang tua, pengasuh, dan kakak adik. Ego timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan organisme memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia realita atau kenyataan. Ego adalah eksekutif (pelaksana) dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama; pertama, memilih stimuli mana yang hendak direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan prioritas kebutuhan. Kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu dipuaskan sesuai dengan
  • 5. 5 tersedianya peluang yang resikonya minimal. Menurut Bertens (2006:33), tugas ego adalah untuk mempertahankan kepribadiannya sendiri dan menjamin penyesuaian dengan lingkungan sekitar, lagi untuk memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik antara keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Dengan kata lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego yang tidak memiliki energi sendiri akan memperoleh energi dari id. Untuk itu sekali lagi memahami apa yang dimaksudkan dengan proses sekunder, perlu untuk melihat sampai dimana proses primer membawa seorang individu dalam pemuasan keinginan sehingga dapat diwujudkan dalam sebuah kenyataan. Proses sekunder terdiri dari usaha menemukan atau menghasilkan kenyataan dengan jalan suatu rencana tindakan yang telah dikembangkan melalui pikiran dan oral (pengenalan). c. Superego Menurut Bertens (2006:33-34), superego dibentuk melalui internalisasi (internalization), artinya larangan-larangan atau perintah-perintah yang berasal dari luar (para pengasuh, khususnya orang tua) diolah sedemikian rupa sehingga akhirnya terpancar dari dalam. Dengan kata lain, superego adalah buah hasil proses internalisasi, sejauh larangan-larangan dan perintah-perintah yang tadinya merupakan sesuatu yang “asing” bagi si subyek, akhirnya dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari subyek sendiri, seperti “Engkau tidak boleh…atau engkau harus…” menjadi “Aku tidak boleh…atau aku harus…” Menurut Freud (dalam Suryabrata, 2010:127) Super Ego adalah aspek sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya yang dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan. Super Ego lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan. Oleh karena itu, Super Ego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Fungsinya yang pokok ialah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat.
  • 6. 6 Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip idealistic sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realitik dari ego. Superego bersifat nonrasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam fikiran. Superego dalam hal mengontrol id, bukan hanya menunda pemuasan tapi merintangi pemenuhannya. 1 Fungsi utama dari superego yang dihadirkan antara lain adalah: Sebagai pengendali dorongan atau impuls-impuls naluri id agar impuls- impuls tersebut disalurkan dengan cara atau bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat. 2 Untuk mengarahkan ego pada tujuan-yang sesuai dengan moral ketimbang dengan kenyataan. 3 Mendorong individu kepada kesempurnaan. Superego senantiasa memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang berbeda kealam sadar. Superego bersama dengan id, berada dialam bawah sadar (Hall dan Lindzey, 1993:67-68). Jadi superego cenderung untuk menentang, baik ego maupun id, dan membuat dunia menurut konsepsi yang ideal. Ketiga aspek tersebut meski memiliki karakteristik sendiri-sendiri dalam prakteknya, namun ketiganya selalu berinteraksi secara dinamis. Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum- hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra. Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya
  • 7. 7 sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi (The Interpretation of Dreams) dan Three Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme (pergaulan kaku). Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan (fissure), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra. Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya. 4 Psikoanalisis dalam Prosa Sastra Indonesia Dalam sastra Indonesia pendekatan psikologi berkembang sejak tahun enam puluhan, antara lain oleh Hutagalung dan Oemarjati dalam buku pembahasan masing-masing atas Jalan Tak Ada Ujung dan Atheis. Berbicara tentang psikologi dan sastra, Rene Wellek dan Austin Warren menulis bahwa istilah “psikologi sastra” memunyai empat kemungkinan pengertian. Pertama, studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pribadi. Kedua, studi proses kreatif. Ketiga, studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Keempat, studi tentang dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca). Sastra
  • 8. 8 adalah salah satu bentuk karya seni. Dari empat macam hubungan di atas, hubungan pertama, kedua, dan keempat bisa terjadi pada segala bentuk seni. Yang khas sastra mungkin hanya hubungan ketiga, itu pun sastra yang berupa cerita (prosa dan drama). Di antara berbagai aliran dalam psikologi, psikoanalisis adalah aliran yang paling akrab dengan seni. Sigmund Freud, pendiri psikoanalisis, adalah seorang yang menghargai kebudayaan, menyukai seni, dan gemar membaca sastra sejak muda. Tidak heran kalau kemudian ia menjadikan sastra sebagai medan penelitian sekaligus ilustrasi untuk membuktikan teori-teori yang dikembangkannya. Dalam karya-karya sastra besar, misalnya Oedipus (Sophokles), Hamlet (Shakespeare), dan The Brother Karamazov (Dostoyevsky), Freud menemukan tipe-tipe manusia yang menyerupai dan sesuai dengan pemikirannya. 5 Psikoanalisis tokoh Buyung dalam Novel Harimau! Harimau! SEBUAH PENCARIAN JATI DIRI Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis menampilkan tokoh Buyung dengan perkembangan kepribadiannya yang menarik untuk dikaji. Buyung, pemuda 19 tahun, jatuh cinta kepada teman sepermainannya waktu kecil, Zaitun. Keraguannya akan kecintaan Ziatun terhadap dirinya membuat ia bungkam, tak mengungkapkan perasaannya kepada gadis pujaannya itu. Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan perasaannya kepada seorang yang sangat ia cintai tidak mampu mengelakkan hasratnya sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa untuk mencintai dan merasa dibutuhkan oleh seorang perempuan. Hasrat Buyung yang demikian tersebut pada akhirnya berujung pada bentuk aktualisasi cinta yang keliru. Ia meniduri Siti Rubiyah, seorang perempuan yang secara psikologis membutuhkan kasih sayang seorang laki-laki. Dari sinilah awal kepribadian Buyung terbentuk. Perenungannya akan „dosa‟ beserta norma- norma agama dan masyarakat menuntunnya menemukan „jalan kebenaran‟ kembali.
  • 9. 9 1 Kepribadian Tokoh Buyung Buyung merupakan tokoh utama dalam novel Harimau! Harimau! Dia seorang pemuda yang dikenal baik dan sopan di kampungnya. Dalam kesehariannya, Buyung bertindak wajar seperti pemuda-pemuda lainnya yang tinggal di Desa Air Jernih. “Sutan, Buyung, Talib, dan Sanip juga termasuk anak muda yang dianggap sopan dan baik di kampung.” “Mereka orang-orang wajar seperti sebagaian terbesar orang di kampung. Mereka baik dalam pergaulan, pergi sembahyang ke mesjid, duduk mengobrol di kedai kopi seperti orang lain, mereka ikut bekerja bersama-sama ketika ada orang membangun rumah, memperbaiki jalan-jalan, Bandar atau pun menyelenggarakan perhelatan….” (Lubis, 2004: 6). Buyung dibesarkan secara Islamiah, sebagai seorang yang menganut agama Islam ia mengenal shalat, mengaji dan berusaha menjauhkan diri pada perbuatan dosa. Bahkan dalam kutipan di atas dijelaskan bahwa Buyung juga pergi ke masjid untuk bersembahyang. Usaha Buyung untuk menghindari dirinya dari perbuatan dosa ada pada kutipan di bawah ini. “Aduh aku lupa memeriksa perangkap kancil,” katanya kepada Sutan yang berjalan di depannya. “Siapa tahu barangkali ada isinya pagi ini.” “Mengapa engkau tak kembali memeriksanya?” Kata Sutan. “Sayang bukan.” “Tetapi kita telah jauh.” “Mana jauh, baru jalan setengah jam. Tinggalkan saja keranjangmu di pinggir jalan, tak aka nada orang yang mencurinya. Demikian engkau akan dapat berjalan lebih cepat. Susul kami nanti di tempat bermalam.” “Ah, biarlah,” kata Buyung, masih ragu-ragu. “Tetapi kalau ada isinya, kancilnya bisa mati kelaparan,” kata Talib. “Berdosa engkau.” Buyung tampak ragu. Ucapan Talib menyebabkan dia mengambil keputusan untuk kembali.
  • 10. 10 “Baiklah, aku kembali memeriksa perangkap,” katanya, “kalian terus saja. Nanti aku susul.” (Lubis, 2004: 58). Begitu diingatkan Talib akan dosa, Buyung berusaha sebisa mungkin untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Ia bersedia kembali untuk memeriksa perangkap kancil yang lupa diperiksanya saat akan melanjutkan perjalanan pulang. Ia takut berdosa menyiksa kancil yang mungkin akan mati kelaparan jika tidak ia selamatkan dari perangkapnya. Walaupun demikian, Buyung masih mempercayai takhayul karena ia tinggal di desa terpencil yang kuat kepercayaannya pada sesuatu yang bersifat takhayul. Dia percaya pada ilmu sihir, dan jimat-jimat Wak Katok. Buyung juga menjadi murid ilmu sihir Wak Katok. “……dan Buyung, yang termuda diantara mereka, baru berumur sembilan belas tahun. Anak-anak muda itu semuanya murid pencak Wak Katok. Mereka juga belajar ilmu sihir dan gaib padanya” (Lubis, 2004: 4). Buyung dan kawan-kaeannya selalu bermimpi akan diberi pelajaran oleh Wak Katok ilmu sihir yang dahsyat. Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis…. (Lubis, 2004: 10) Buyung dan kawan-kawannya juga amat ingin mendapat ilmu menghilanh. Dia telah bermimpi tentang hal-hal yang dapat dilakukannya…. (Lubis, 2004: 11). Namun pada perkembangannya, Buyung tahu bahwa ilmu-ilmu Wak Katok palsu dan ia tidak percaya lagi. “Jimat-jimatmu palsu, mantera-manteramu palsu. Inilah jimat- jimat yang dipakai juga oleh Pak Balam, oleh Talib, oleh Sutan, lihatlah, dimana mereka kini, mereka mempercayai engkau…mereka telah mati, telah binasa…. Wak Katok diam saja.” Buyung – kepada Wak Katok (Lubis, 2004: 192).
  • 11. 11 Buyung merasa paling kecil di antara rombongan pencari damar lainnya. Hal ini menyebabkan Buyung tidak cukup percaya diri. Terutama masalah cinta, ia tidak berani mengungkapkan cintanya kepada gadis pujaan hatinya, Zaitun. Dia terutama sekali ingin dapat belajar mantera pemikat hati gadis. Telah jatuh cinta benar kepada si Zaitun, anak Wak Hamdan, akan tetapi sang gadis seakan acuh tak acuh saja (Lubis, 2004: 10). Bagaimana hendak memikat hati gadis yang demikian, kalau tidak dengan mantera Wak Katok? Buyung bersedia melakukan apa saja, asal Wak Katok mengajarkan mantera yang diperlukan (Lubis, 2004: 12). Sikap Buyung yang tidak percaya diri dan takut ditolak cintanya oleh Zaitun mendorong Buyung untuk meminta mantera kepada Wak Katok agar Buyung dapat menggunakannya untuk memikat hati Zaitun tanpa takut cintanya ditolak. Namun pada perkembangan psikologinya, tokoh Buyung mempunyai keberanian dan hendak mengungkapkan cintanya kepada Zaitun tanpa menggunakan mantera dan jimat dari Wak Katok.“… aku akan kawin dengan Zaitun, karena dia cinta padaku, dan bukan karena mantera dan jimat.” (Lubis, 2004: 202). Selain tidak percaya diri akan cintanya, pada awal penceritaan Buyung juga tidak memiliki rasa percaya diri pada kemampuan yang dimilikinya. Ia menganggap bahwa orang lain lebih unggul darinya. Dalam hati Buyung amat ingin lekas menjadi dewasa dan lelaki yang matang, seperti kawan-kawannya yang lain. Umpamanya Sutan yang lebih pandai bersilat dari dia, meskipun mereka sama-sama murid Wak Katok, yang telah menikah dan amat pandainya bergaul dengan perempuan, tua atau muda, dan pandai pula bekerja mencari uang. Sanip pandai bermain dangung-dangung. Dia ingin semudah Sanip menyanyi dan menari dan bercerita. (Lubis, 2004:15-16) Sikap Buyung yang tidak percaya diri membawa Buyung untuk selalu taat dan patuh pada apa yang diperintahkan oleh orang lain. Dalam memimpin
  • 12. 12 perburuan ia juga menyerahkan pada Wak Katok. Padahal Buyung sebenarnya lebih pintar berburu dibandingkan dengan Wak Katok. Namun dalam perkembangannya, tokoh Buyung menjadi pribadi yang memiliki rasa percaya diri. Ia percaya pada kemampuan yang dimilikinya. Ia lalu memimpin perburuan menggantikan Wak Katok. “Ikat dia baik-baik!” kata Buyung. Dengan sendirinya, Buyung kini yang mengambil pimpinan antara mereka berdua. Sedang Sanip mengikat Wak Katok, Buyung memadamkan api-api unggun lain yang telah dipasang Wak Katok (Lubis, 2004: 200). Harimau itu memperhatikan tempat yang agak terbuka dihadapannya dan kemudian dia menegangkan tubuhnya…. Harimau itu merendahkan badannya, siap hendak melompat. Buyung membidik hati-hati. Membidikkan senapan tepat di tengah antara kedua mata harimau. dengan gembira ia melihat tangannya tidak gemetar. Sepanjang hari hatinya selalu bertanya-tanya, dan dia merasa khawatir, apakah dia tidak akan ketakutan dan tak kuasa membidik, tangannya dan seluruh badannya akan gemetar jika melihat harimau. Akan tetapi kini dia merasa seluruh badannya dan pikirannya tenang. Dia tahu apa yang dilakukannya, dia menginsyafi bahaya besar yang mereka hadapi, dia yakin pada dirinya sendiri (Lubis, 2004: 208-209). Sebagai seorang remaja yang beranjak dewasa Buyung masih labil dalam mengambil keputusan. Ia tidak tegas dalam menyikapi suatu masalah. Saat-saat yang menyuruh orang melakukan pilihan atau mengambil keputusan, pilihan yang mungkin membawanya ke puncak kebahagiaan, atau juga ke dasar ngarai gelap kenistaas. Atau yang membawa kesyukuran atau kesesalan seumur hidup. Saat serupa itulah yang tiba akan tetapi berlaku kembali antara Buyung dan Siti Rubiyah (Lubis, 2004: 55)
  • 13. 13 Buyung sebagai seorang pemuda yang sudah berusia sembilan belas tahun, juga pandai bekerja mencari nafkah. Hal ini dapat dilihat dari perbincangan antara orang tua Buyung. “Si Buyung pun sudah besar. Sudah Sembilan belas tahun umurnya. Dan dia pun sudah pandai bekerja,” kata ayahnya. Sedang Buyung menganggap dirinya telah dewasa. Dia telah berumur Sembilan belas tahun, dia telah tamat sekolah rakyat, dia telah tamat Qur’an sampai dua kali, dan dia pun pandai mencari nafkah sendiri (Lubis, 2004: 12-13). Kepandaian Buyung dalam mencari nafkah didukung oleh kepandaiannya berburu. Ia mahir menggunakan senapan untuk membidik hewan buruannya. Kepandaiannya dalam berburu mendapatkan pujian dari guru Buyung yaitu Wak Katok. Nama Buyung pun mulai dikenal sebagai pemuda yang pandai berburu di kampungnya. ….Buyung bangga benar dengan kepandaiannya menembakkan senapan lantak. Jarang benar ia melesat. Hampir selalu kena sasarannya. Dia pernah membidik seekor babi yang sedang lari, yang dibidiknya tepat di belakang kupingnya, dan disanalah peluru mengenai sang babi. Wak Katok sendiri pernah memujinya, ketika dalam berburu babi ramai-ramai dengan orang kampung, pelurunya menembus mata kiri seekor babi yang datang menyerang. Wak Katok dalam kemarahan hatinya ketika itu mengatakan, bahwa dia sendiri pun tak dapat memperbaiki tembakan Buyung. Sungguh sebuah pujian besar datang dari Wak Katok. Buyung merasa amat bangga dan namanya sebagai penembak yang mahir mulai termasyur di kampung. Pujian dari Wak Katok sebagai pemburu yang termahir dan penembak yang terpandai di seluruh kampung, merupakan semacam pengangkatan resmi juga untuk Buyung….. (Lubis, 2004: 8-9)
  • 14. 14 Rasa belas kasih Buyung ia tunjukkan kepada keluarganya. Ia hendak memberikan ibunya uang. Buyung juga mempunyai rasa perhatian kepada ibunya. Ia bahkan tahu warna kesukaan ibunya. Padahal itu suatu hal yang sepele. Oh, dia akan membelikan sebuah kain sembahyang yang baru untuk ibunya. Ibunya akan senang benar dengan kain sembahyang baru nanti, sebuah kain pelekat berwarna merah tua. Itulah warna yang disenangi ibunya. Kemudian apa lagi? Oh, dia akan memberi ibunya uang untuk membantu belanja di rumah. Sejak ia pandai menyimpan uang, selalu dia memberi uang pada ibunya, meskipun ibunya mengatakan, bahwa dia tak perlu memberikan uang, kata ibunya kepada Buyung (Lubis, 2004: 59). Selain pada keluarganya, Buyung juga peduli dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap warga kampung tempat ia tinggal. Ia takut jika bahaya yang sedang ia hadapi sekarang juga akan menyerang warga kampungnya, sehingga Buyung bersedia memerangi bahaya yang ada di depan matanya sebelum bahaya itu sampai ke kampung kelahirannya dan merugikan banyak orang. “dan jika tak kita buru kini, maka harimau akan datang ke kampung menyerang ternak. Akan habis lembu dan kambing, dan siapa tahu orang kampung pun akan jadi korbannya. “Tetapi tidaklah itu menjadi urusan orang sekampung nanti?” kata Pak Haji, “mengapa kita saja yang memikul tugas membunuhnya?” “Tak sampai kesana pikiranku,” kata Buyung, “menurut rasa hatiku, di mana kita bertemu dengan yang jahat, dan hendak merusak kita, atau merusak orang lain, merusak orang banyak, maka kita yang paling dekat wajib melawannya. Masa harus kita tunggu dulu diri kita yang kena bala, maka baru kita bangkit melawannya? Masa kita berdiam diri selama diri kita yang tak kena?” (Lubis, 2004: 181-182).
  • 15. 15 2 Perkembangan Kepribadian Tokoh Buyung Sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa, Buyung mempunyai ketertarikan terhadap lawan jenis. Dia jatuh cinta kepada Zaitun, bunga desa yang tak hanya cantik tetapi juga pintar mengaji dan menjahit. Bagi Buyung, Zaitun merupakan potret gadis desa yang sempurna. Keinginan terbesar Buyung (Id) adalah memiliki Zaitun seutuhnya, baik jiwa maupun raga. Hal ini terlihat pada pikiran Buyung: “Buyung merasa, bahwa jika Zaitun tak merasa seperti yang dirasakannya, maka rasanya tak puas hatinya akan kawin dengan Zaitun, meskipun kedua orang tua mereka menyetujui perkawinan itu. Buyung tahu, bahwa biasanya orang kawin menurut pilihan yang dilakukan orang tua saja, akan tetapi dia sendiri ingin memilih isteri, dan isterinya memilih dia pula.” (Lubis, 2008: 14). Pada kutipan di atas dapat ditarik simpulan bahwa Buyung benar-benar memiliki keinginan untuk menjalin hubungan yang serius dengan Zaitun. Hubungan tersebut bukan hanya hubungan sebatas pacar, melainkan hubungan pernikahan yang didasari oleh cinta dan kasih sayang antara keduanya. Usia sembilan belas tahun merupakan usia yang cukup dewasa bagi seorang laki-laki untuk dapat mandiri, tidak bergantung kepada kedua orang tua. Pada usia ini, seorang laki-laki juga ingin mendapatkan kasih sayang selain dari ibu. Begitu pula dengan tokoh Buyung. Dia menginginkan dicintai dan disayangi oleh Zaitun. Selain itu, Buyung ingin merasa dibutuhkan oleh perempuan yang dicintainya. “Kadang-kadang serasa hilang akal Buyung memikirkan bagaimana dapat membuat Zaitun jatuh cinta padanya, supaya Zaitun setiap saat ingat padanya, rindu padanya,…” (Lubis, 2008:14). Kutipan di atas menyiratkan betapa cintanya Buyung pada Zaitun. Namun, Buyung merasa pesimis akan kemungkinan terwujudnya keinginannya
  • 16. 16 tersebut (Id). Ia tidak dapat menafsirkan sikap Zaitun yang terkadang manis dan terkadang acuh tak acuh terhadap Buyung. Bagaimanapun usahanya untuk menyimpan perasaannya kepada seorang yang sangat ia cintai, ia tidak mampu mengelak dari hasratnya sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa untuk mencintai dan merasa dibutuhkan oleh seorang perempuan. Hal ini terbukti pada saat istri muda Wak Katok, Siti Rubiyah yang sering mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya, membutuhkan pertolongan dan perlindungannya. “Akan tetapi melihat Siti Rubiyah duduk mencangkung demikian di depannya, dan menundukkan kepala ke tanah, tak sampai hatinya untuk mengaku kalah, dan tak berbuat apa – apa. Dijangkaukannya tangannya memegang bahu Siti Rubiyah, dan Siti Rubiyah merebahkan kepalanya ke pangkuan Buyung, dan Buyung menghapus – hapus kening Siti Rubiyah, dan berkata: “Diamlah, diamlah Rubiyah, jangan engkau menangis. Tenanglah.” Kembali rasa lelakinya timbul mengalir kuat bersama darahnya, ketika Siti Rubiyah memegang tangannya, dan kemudian memeluk pinggangnya dan menyembunyikan kepalanya ke perut Buyung sambil berkata: “Lindungi aku, Kak. Tak ada orang yang mau menolong aku, selain Kakak. Kepada siapa aku akan meminta tolong kini?” (Lubis, 2008:67). Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah tercermin pada tindakan Buyung di atas. Buyung berusaha memberikan perlindungan dan rasa aman kepada Siti Rubiyah yang memang membutuhkan perlindungan dari seorang laki – laki. Sikap Rubiyah yang demikian ini menjadikan Buyung merasa sebagai seorang laki – laki dewasa yang dibutuhkan. Perasaan inilah yang selama ini ia inginkan dan tidak ia dapatkan dari Zaitun, gadis pujaan hatinya. Rasa empati Buyung kepada Siti Rubiyah menjerumuskan mereka mengaktualisasikan bentuk kasih sayang yang salah. Buyung yang pada dasarnya
  • 17. 17 merupakan pemuda baik – baik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang agamis pada akhirnya melakukan bentuk kasih sayang yang melanggar agama. Tindakan Buyung terhadap Siti Rubiyah tersebut pada dasarnya adalah Ego yang merupakan perwujudan dari Id-nya (keinginan untuk mendapatkan cinta Zaitun) yang ia simpan atau tekan. Pada dasarnya, Buyung mempunyai keinginan (Id) yang baik. Namun, Buyung mengambil tindakan yang salah dalam mewujudkan Id-nya. Ego- nya yaitu 1) berusaha memikat Zaitun dengan guna-guna dan 2) menyimpan perasaan cintanya kepada Zaitun yang justru dimanifestasikan dalam bentuk tindakan cinta yang salah itu tidak sesuai dengan Superego-nya. Hati nurani dan agama yang dianut Buyung yang merupakan Superego-nya menuntun dia untuk merenungkan hal-hal yang telah dilakukannya. “Meskipun mereka memicingkan mata, akan tetapi pikirannya tak berhenti. Ketukan Pak Balam terhadap hati nurani mereka masih berkumandang juga di dalam relung hati dan pikiran, bergema ke bawah sadar.” (Lubis, 2008:113). Kutipan tersebut mengisyaratkan bahwa Buyung memikirkan semua tindakan yang sebenarnya tidak pantas ia lakukan. Hal ini juga terlihat pada pikiran Buyung: “Bukankah Siti Rubiyah istri orang lain?” (Lubis, 2008: 74). Dalam diri Buyung timbul pula ketakutan akan dosa-dosa yang telah ia lakukan seperti terlihat pada: “Tiba-tiba Buyung teringat pada dosa-dosanya sendiri, dan pikirannya bertambah kacau…. Maka lalu ia tak dapat lagi damai dengan dosa-dosanya,…” (Lubis, 2008: 159). Konflik batin yang dialami tokoh Buyung secara tidak langsung telah menghukum jiwanya. Hukuman ini berasal dari hati nuraninya sendiri dan kesadaran akan pengetahuan agama yang Buyung peroleh sejak kecil. Di sinilah peran penting Superego dibutuhkan dalam mengarahkan pikiran sadar manusia untuk menjadi pribadi yang baik. Buyung juga mendapatkan pelajaran yang berharga dari Ego memendam perasaan cinta kepada Zaitun. Memendam perasaan cinta justru membawanya kepada masalah baru yang berkaitan dengan Siti Rubiyah, seorang perempuan yang tidak dicintainya. Sebagai seorang pemuda yang sedang mencari
  • 18. 18 identitasnya untuk menjadi laki-laki dewasa, ia ingin berkomitmen kepada perempuan yang benar-benar dicintainya saja. Buyung yang pada awalnya merupakan pemuda yang masih belum dapat mengambil keputusan, kini telah mampu menentukan pilihan – pilihan hidupnya. Buyung telah memutuskan untuk tidak lagi mempercayai takhayul. Ia juga telah menentukan sikap yang tegas atas perasaan cintanya kepada Zaitun. Ia tidak akan terlalu lama memendam perasaannya. Ia bertekad untuk menikahi Zaitun. Keberanian Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan kematangannya dalam berpikir dan bersikap, karena menikah adalah suatu keputusan dewasa yang mengandung banyak konsekuensi. Kemampuan dalam menentukan pilihan hidup ini menunjukkan bahwa ia telah berhasil melewati proses pencarian jati diri. Semua ini tidak terlepas dari peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada dirinya. Id yang tidak direalisasikan akan tersimpan di dalam pikiran dan lama – lama menjadi sesuatu yang tidak disadari. Keinginan Buyung yang tidak direalisasikan tersimpan di dalam pikiran dan lama-lama menjadi sesuatu yang tidak disadari. Bentuk ketidaksadaran ini diwujudkan dalam mimpi yang dialami oleh Buyung. Zaitun gadis yang dicintainya hadir dalam mimpinya. Keinginan Buyung untuk mendapatkan cinta Zaitun yang tertekan dalam Ego, kemudian tersimpan di dalam pikiran dan menjadi sesuatu yang tak disadari. Keinginan tersebut dimanifestasikan lewat mimpinya. Dalam mimpi tersebut, Buyung yang hendak menyeberangi danau dalam kondisi alam yang tak bersahabat, dipanggil-panggil oleh Zaitun. Sikap Zaitun yang tampak dalam mimpi tersebut menyiratkan bahwa ia menaruh perhatian yang besar terhadap Buyung. Zaitun khawatir akan keselamatan Buyung. Melalui mimpi ini, keinginan Buyung untuk mendapatkan cinta Zaitun terealisasi dalam alam bawah sadarnya.
  • 19. 19 6 Simpulan Sebagai seorang pemuda yang beranjak dewasa, Buyung mempunyai keinginan menjadi laki-laki dewasa pada umumnya. Dia ingin menjalin hubungan yang serius dengan Zaitun. Namun keingianan (Id) Buyung tersebut terhalang oleh ketidakberaniannya dalam mengambil keputusan. Ketidakberaniannya ini menunjukkan bahwa tokoh Buyung belum memiliki jati diri sebagai laki-laki dewasa. Sikapnya ini mendorong Buyung untuk menekan perasaan cintanya kepada Zaitun, yang justru menimbulkan masalah baru yang berkaitan dengan Siti Rubiyah (Ego). Hati nurani dan agama yang dianut Buyung (Superego) menuntun dia untuk merenungkan hal-hal yang telah dilakukan sehingga ia pada akhirnya menemukan jati diri sebagai seorang laki-laki dewasa. Ia menyadari bahwa cinta yang sejati tidak datang karena guna-guna, tetapi muncul dengan sendirinya. Ia tidak lagi percaya pada takhayul. Ia juga telah menentukan sikap yang tegas atas perasaan cintanya kepada Zaitun. Ia bertekad untuk menikahi Zaitun. Keberanian Buyung untuk menikah tersebut menunjukkan kematangannya dalam berpikir dan bersikap. Kemampuan dalam menentukan pilihan hidup ini menunjukkan bahwa Buyung telah berhasil melewati proses pencarian jati diri yang tidak terlepas dari peranan Id, Ego, dan Superego yang ada pada dirinya. Dalam tokoh Buyung, Id- nya lah yang lebih dominan. Walaupun Id-nya hanya sebentuk angan yang ditekan saja, tanpa realisasi, tetapi keinginannya untuk mendapatkan cinta Zaitun ini sangat kuat. Ego untuk mewujudkan Id tidak terlalu dominan karena adanya penekanan terhadap Id tersebut. Demikian pula dengan Superego Buyung. Peran Superego di awal kepribadian tidak terlalu menonjol sehingga Buyung melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan agama dan norma masyarakat. Disadari atau tidak, setiap orang memiliki Id, Ego, dan Superego. Ketiganya memberikan kontribusi dalam pembentukan kepribadian seseorang. Baik atau buruk kepribadian yang terbentuk ditentukan oleh bagian kepribadian mana antara Id, Ego, dan Superego yang lebih menonjol.