1. Persepsi Aktor Mengenai Pengembangan Prasarana Angkutan
Barang Regional Tujuan Ekspor Menuju Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya
Miming Miharja 1
Sri Oka Rachmadita 2
1
Dosen Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung
2
Peneliti Pusat Pengkajian Logistik dan Rantai Pasok ITB
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung
Gedung Labtek IX-A. Jl Ganesha No. 10 Bandung 40132
Email: oka_planner@yahoo.co.id
Abstrak
Kesepakatan antar aktor sangat dibutuhkan dalam mengaplikasikan perencanaan agar tidak
berujung konflik. Perdebatan dalam pembangunan Jalan Tol Aloha Perak di Surabaya
merupakan salah satu contoh konflik kebijakan dalam pengembangan prasarana angkutan
barang regional yang menghubungkan hinterland dan pelabuhan. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi aktor mengenai penyediaan prasarana angkutan
barang regional tujuan ekspor menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Penelitian ini menggunakan metode Dynamic Actor Network Analysis untuk memetakan
persepsi aktor mengenai penyediaan prasarana angkutan barang regional. Pengambilan sampel
dalam penentuan aktor-aktor yang terkait dengan studi ini dilakukan secara snowballing dengan
limitasi.
Hasil temuan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan tindakan, serta alasan yang
mendasari tindakan dalam mencapai tujuan kelancaran arus barang dari hinterland ke
pelabuhan.Hasil studi ini merekomendasikan kesepakatan dan komunikasi antar aktor dalam
menetapkan kebijakan untuk menuju tujuan bersama.
Kata kunci : persepsi aktor, dynamic actor network analysis, prasarana angkutan barang
regional.
Pendahuluan
Kesepakatan antar aktor dalam penyediaan prasarana transportasi sangat dibutuhkan.
Hal ini mengingat rencana yang dihasilkan dari dalam organisasi dan hampir semua usulan
perencanaan yang dilaksanakan dengan melalui atau dikendalikan oleh organisasi. Oleh
karena itu, organisasi atau aktor menjadi sangat penting dalam perencanaan (Minnery,
1985). Menurut Fisher & Ury (1983), agar suatu rencana dapat diimplementasikan, maka
diperlukan kesepakatan antar aktor untuk memperkecil konflik yang merugikan.
Sebenarnya Pemerintah Kota Surabaya sudah berupaya menyediakan prasarana
angkutan barang regional. Hal ini ditunjukkan dengan konsistennya Pemerintah Kota
Surabaya pada rencana pembangunan jalan lingkar yang sudah direncanakan sejak tahun
1978 dalam Masterplan Surabaya 2000. Jalan lingkar tersebut terintegrasi dengan
Jembatan Suramadu, Rencana Pelabuhan Tanjung Bumi, dan Pelabuhan Petikemas
Tanjung Bulupandan Kabupaten Bangkalan. Pelabuhan Tanjung Bumi dan Tanjung
Bulupandan akan dibangun untuk mengantisipasi padatnya Pelabuhan Tanjung Perak dan
akan dioperasikan tahun 2020 (Kementerian Perhubungan, Mei 2011). Rencana tersebut
termuat dalam RTRW Provinsi Jawa Timur 2009-2029 sebagaimana ditunjukkan dalam
Gambar 1 mengenai Struktur Tata Ruang Perkotaan Surabaya Metropolitan Area.
2. 2 Seminar Nasional PlanoCosmo 2012
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi Jawa Timur merencanakan pembangunan jalan tol
tengah kota yang tertuang dalam RTRW Provinsi Jawa Timur tahun 2009 – 2029 hasil revisi.
Jalan Tol Tengah Kota atau Jalan Tol Aloha – Wonokromo – Perak direncanakan
menghubungkan Pelabuhan Tanjung Perak dengan sisi luar selatan Kota Surabaya. Jalan
tol tengah kota tersebut dianggap masih relevan, karena sebenarnya Pelabuhan Tanjung
Perak masih dalam satu sistem dengan Pelabuhan Tanjung Bumi yaitu sebagai Pelabuhan
Internasional (RTRWN 2008). Selain itu pengembangan terminal multi purpose ke arah
Teluk Lamong sekitar 50 Ha pada tahun 2013 oleh Pelindo III juga akan semakin
menambah kapasitas layanan Pelabuhan Tanjung Perak. Pengembangan terminal tersebut
dimaksudkan untuk mengatasi peningkatan arus barang dari hinterland menuju Pelabuhan
Tanjung Perak. Jalan Tol Tengah Kota Surabaya dengan biaya investasi sekitar 12 sampai
70 milyar/kilometer ini seharusnya sudah pada tahap pembebasan lahan tahun 2007.
Kebutuhan luas lahan yang dibebaskan untuk pembangunan infrastruktur ini adalah
630.264 km2 (BPJT, 2006). Namun terdapat conflict of interest antara pemerintah kota
provinsi dalam pembangunan Jalan Tol Tengah Kota.
Gambar 1. Struktur Tata Ruang Perkotaan Surabaya Mertopolitan Area
(Sumber: RTRW Provinsi Jawa Timur 2009-2029)
Pemerintah kota menolak rencana pembangunan jalan tol tengah kota dikarenakan
sudah mempunyai rencana pengembangan jalan lingkar yang terintegrasi dengan
pelabuhan baru yang akan dikembangkan. Dalam era otonomi daerah, pengadaan lahan
untuk pembangunan infrastruktur nasional seperti jalan tol dibebankan pada pemerintah
pusat atas ijin pemerintah daerah. Oleh karena itu, pembebasan lahan untuk pembangunan
jalan tol tengah kota belum dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan
tindakan antara pemerintah kota dan pemerintah provinsi yang didasari oleh perbedaan
kerangka pikir dari masing-masing aktor tersebut. Sementara tujuan dari tindakan tersebut
sama, yaitu kelancaran arus pengangkutan barang. Oleh karena itu diperlukan studi yang
3. Miming Miharja, Sri Oka Rachmadita 3
bertujuan untuk mengidentifikasi persepsi aktor yang terlibat dalam pengembangan
prasarana angkutan barang regional tujuan ekspor menuju Pelabuhan Tanjung Perak.
Kajian Pustaka
DANA (Dynamic Actor Network Analysis) merupakan konsep model dengan
menggunakan pendekatan persepsi aktor dan keterkaitan diantaranya dalam bentuk yang
cocok untuk penelitian, analisis dan perancangan. Pengertian network dalam DANA didapat
dari asumsi adanya hubungan antar aktor. Network juga mengindikasikan adanya posisi
dan pengaruh suatu aktor terhadap aktor lain (Bots, 2000). DANA berguna untuk
menggambarkan diagram perspektif dari masing-masing aktor, dan untuk menganalisis
interaksi diantaranya. Definisi untuk masing-masing simbol dalam peta persepsi adalah
sebagai berikut:
1. Factor, simbol elips menggambarkan faktor penting untuk masing-masing
aktor.
2. Prospect, simbol elips putih dengan tanda plus/minus ( ) menggambarkan faktor
eksternal. Tanda plus/minus ( ) menggambarkan uncertainty.
3. Goals, elips berwarna ( ) menggambarkan tujuan aktor. Segitiga ( )
menggambarkan nilai utilitas yang dicapai atau menunjukkan bahwa aktor
menginginkan peningkatan dalam faktor ini.
4. Action, simbol kotak ( ) menggambarkan tindakan dari suatu aktor untuk
mempengaruhi beberapa faktor. Nama aktor tersebut akan masuk pada simbol
kotak. Aktor tersebut kemungkinan juga dimasukkan dalam beberapa tindakan dari
aktor lain di diagram perspektif. Tanda plus/minus ( ) juga
dimasukkan dalam kotak untuk mendeskripsikan multiplier
dari tindakan.
5. Link, panah ( ) menggambarkan hubungan antara dua simbol. Jika sebuah
faktor atau tindakan mempengaruhi faktor lain, sebuah panah akan digambarkan dari
faktor yang berpengaruh. Tanda positif dalam panah ( ) menggambarkan
jenis dari pengaruh atau multiplier, baik pengaruh kecil searah ( ), pengaruh
medium uncertainty , maupun pengaruh besar . Begitu pula sebaliknya untuk
tanda minus.
Kelemahan penggunakan DANA ada pada bounded rationality yang diakibatkan oleh
keterbatasan informasi yang dimiliki, keterbatasan kognitif dari pikiran narasumber, dan
keterbatasan waktu dalam membuat keputusan. Bias berpotensi terjadi karena aktor yang
diwawancara bisa saja memberikan pendapat individu (bukan instansi).
Pembahasan
Persepsi aktor-aktor yang terkait dapat disintesis berdasarkan tujuan, tindakan (terkait
prasarana), dan alasan yang mendasari tindakan sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.
Berikut ini merupakan beberapa temuan secara umum.
• Terdapat perbedaan tujuan yang ingin dicapai antara organisasi user dan operator
dengan pemerintah (kota, provinsi, maupun pusat), dimana kedua aktor tersebut
memiliki tujuan profit.
• Terdapat perbedaan tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan menurut
masing-masing kelompok aktor.
4. 4 Seminar Nasional PlanoCosmo 2012
• Terdapat perbedaan alasan untuk masing-masing tindakan antara lain:
a. Alasan yang melatarbelakangi tindakan pengembangan jalan rel baik berupa
pengembangan double track, maupun berupa pembangunan dry port adalah
biaya dan waktu.
b. Alasan yang melatarbelakangi tindakan pengembangan jalan tol adalah waktu
dan kapasitas.
c. Alasan yang melatarbelakangi sinergitas jalan tol dan rel adalah waktu, biaya,
fleksibilitas, dan kapasitas.
d. Alasan yang melatarbelakangi tindakan pembangunan jalan lingkar adalah
kapasitas.
Tabel 1. Sintesis Persepsi Aktor
Kelompok Tujuan Tindakan Alasan
Pemerintah Penyediaan Prasarana Sinergitas Jalan Tol Biaya
Pusat Angkutan Barang yang dan Jalan Rel Tarif
Menunjang Pengembangan Waktu
Wilayah Kapasitas
Fleksibilitas
Pembangunan Dry Port Biaya
Tarif
Waktu
Fleksibilitas
Pengembangan Double Waktu
Track
Pemerintah Penyediaan Prasarana Pembangunan Dry Port Waktu
Provinsi Angkutan Barang yang Kapasitas
Menunjang Biaya
Pengembangan Wilayah Pembangunan jalan tol Kapasitas
Reduksi Kemacetan Pembangunan Biaya
Pelabuhan Pengumpan
Pemerintah Penyediaan Prasarana Pembangunan Jalan Waktu
Kota Angkutan Barang yang Lingkar Kapasitas
Menunjang Pembangunan Dry Port Waktu
Pengembangan Wilayah Sinergitas jalan tol dan Fleksibilitas
Reduksi kemacetan jalan rel Biaya
Waktu
Kapasitas
Organisasi Penyediaan Prasarana Pembangunan Dry Port Biaya
User Angkutan Barang yang Tarif
Menunjang Waktu
Pengembangan Wilayah Kapasitas
Profit Pembangunan jalan tol Waktu
Reduksi kemacetan Kapasitas
Pembangunan Jalan Kapasitas
Lingkar
Operator Penyediaan Prasarana Pembangunan Dry Port Waktu
Angkutan Barang yang Kapasitas
Menunjang Investasi
Pengembangan Wilayah Biaya
Profit Tarif
(Sumber: Hasil Sintesis)
Temuan secara umum tersebut dijelaskan pada peta persepsi aktor yang paling
berpengaruh pada tiap kelompok berikut ini.
5. Miming Miharja, Sri Oka Rachmadita 5
a. Kelompok Pemerintah Pusat
Berdasarkan 3 peta persepsi di bawah ini, terlihat bahwa Pemerintah Pusat yang
diwakili oleh BPJT, Ditjen Binamarga PU, dan Ditjen KA Kemenhub memiliki tujuan yang
sama, yaitu Penyediaan Angkutan Barang yang Menunjang Pengembangan Wilayah.
Sedangkan tindakan yang dilakukan setiap instansi untuk mencapai tujuan tersebut
berbeda-beda. Namun terdapat benang merahnya, yaitu: dukungan terhadap kebijakan
sinergitas jalan tol dan jalan rel didasari oleh alasan biaya, tarif, waktu, kapasitas, dan
fleksibilitas; pembangunan dry port didasari oleh alasan biaya, tarif, waktu, dan fleksibilitas;
sedangkan pengembangan double track didasari oleh alasan waktu.
A2
A27 A12
Mengesahkan Tarif Jalan
Melakukan Tol
Studi
Pengadaan D itjen Binamarga PU
Kelayakan
Investasi Jalan Tol
BPJT
meningkatkan BPJT meningkatkan
meningkatkan At1
meningkatkan Mengusulkan Tarif Tarif
Awal Jalan Tol BPJT
BPJT
At7 A13
Fleksibilitas meningkatkan
BPJT meningkatkan A5 F1
At6
Biaya
Management Memeriksa
mempersingkat Total
System Laporan Bulanan
At3 BPJT BPJT
Waktu menurunkan
BPJT
menurunkan
mempersingkat A28 G1
Penyediaan Prasarana
Standard menurunkan Angkutan Barang yang
Pelayanan Minimum Menunjang
BPJT Pengembangan Wilayah
Gambar 2. Persepsi Badan Pengatur Jalan Tol
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
Menurut BPJT, faktor yang merupakan permasalahan dalam kelancaran
pengangkutan barang ekspor dari hinterland ke Pelabuhan Tanjung Perak dan sebaliknya
adalah faktor waktu (At3) dan biaya total (F1). Faktor waktu (At3) disebabkan oleh faktor
fleksibilitas (At7), sedangkan faktor biaya (F1) disebabkan oleh faktor tarif (At1). BPJT
berpengaruh terhadap tarif (At1), seperti dengan mengusulkan tarif awal jalan tol (A13).
Sementara itu, pengadaan investasi jalan tol (A2) yang dilakukan oleh BPJT dapat
mempengaruhi waktu. Pemeriksaan laporan bulanan (A5), penetapan Standard Pelayanan
Minimum (A28) yang dilakukan oleh BPJT merupakan bagian dari pengawasan
management system jalan tol (At6) (lihat Gambar2).
6. 6 Seminar Nasional PlanoCosmo 2012
A10
Mengeluarkan SK Tarif
D itjen KA, Kemenhub
A6
A7 meningkatkan
Menetapkan Masterplan At1d
Menetapkan Pedoman Percepatan Pengembangan Tarif
Penyelenggaraan Pembangunan Ekonomi D itjen KA, Kemenhub
Perkeretaapian Indonesia
mengurangi meningkatkan
D itjen KA, Kemenhub M enko Perekonomian
Biaya F1
meningkatkan meningkatkan
Total
standar kualitas
Bea meningkatkan
Cukai
mengurangi
F9 F4
Teknologi Energi
mengurangi mempersingkat
A11 mengurangi
Mengembangkan Double F10
Waktu
Track
F11 D itjen KA, Kemenhub
Management mempersingkat
System
meningkatkan F5
meningkatkan meningkatkan
Fleksibilitas
meningkatkan G1
Cultural
meningkatkan Penyediaan Prasarana
Angkutan Barang yang
A9 Menunjang meningkatkan
Pengembangan Wilayah A1a
Mengadakan Sertifikasi
D itjen KA, Kemenhub
Membangun Dry Port
D itjen KA, Kemenhub
Gambar 3 Persepsi Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan
(Sumber:Hasil Analisis, 2011)
Menurut persepsi Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan mengenai
kelancaran pengangkutan barang dari hinterland ke Pelabuhan Tanjung Perak dan
sebaliknya dipengaruhi oleh faktor management system (operasional) (F11), fleksibilitas
(F5), dan teknologi (F9). Kedua faktor tersebut menyebabkan permasalahan dari sisi waktu
(F10) dan biaya total (F1). Selama ini, biaya total pengangkutan barang melalui jalan rel
dinilai tidak dapat bersaing dengan pengangkutan melalui jalan tol maupun jalan raya. Hal
ini dikarenakan pengangkutan melalui jalan rel di Indonesia masih belum terintegrasi
sehingga ada biaya tambahan atau double handling. Selain itu, pengangkutan barang
melalui jalan rel masih dikenakan bea cukai. Jika terdapat equal treatment dari pemerintah
pada pengangkutan barang melalui jalan rel dan jalan tol maupun jalan raya, maka
pengangkutan melalui jalan rel dapat bersaing.
Permasalahan tersebut dinilai dapat diatasi dengan adanya kebijakan double track
(A11), dry port (A1a), dan penetapan pedoman penyelenggaraan perkeretaapian (A7).
Selain itu, untuk membenahi management system (F11) dari operator pengangkutan
barang, Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan melakukan sertifikasi (A9).
Kebijakan lain yang disebutkan berpengaruh dalam upaya penyediaan prasaran angkutan
barang yang menunjang pengembangan wilayah adalah penetapan Masterplan Percepatan
Pengembangan Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia oleh Kementerian
Koordinator Bidang Perkonomian (A6). Dalam kebijakan tersebut disebutkan adanya
integrasi antar moda yang mengubungkan kawasan industri dengan pelabuhan.
7. Miming Miharja, Sri Oka Rachmadita 7
A23 juga membahas A24
Rapat Koordinasi untuk Rencana Umum Jaringan mempersingkat F1
Menghasilkan Keputusan Jalan Nasional 0 Waktu
Bersama Ditjen Binamarga PU
Menko Perekonomian A12
meningkatkan meningkatkan
Mengesahkan Tarif Jalan
Tol
Menyediakan Lahan Ditjen Binamarga PU
untuk Pengembangan
Infrastruktur At1c mempersingkat
Bappeda Jatim
Tarif
Ditjen Binamarga PU
Menyusun RTRW mengur menambah
Provinsi Jatim meningkatkan
angi
Bappeda Jatim F1
menunjang Biaya
membahas membahas menambah Total
A25
meningkatkan
F5
Sinergitas Jalan Tol dan meningkatkan
Jalan Rel Fleksibilitas G1
Ditjen Bina marga PU
At4f meningkatkan Penyediaan Prasarana
A8 meningkatkan Kapasitas/ Volume Barang Angkutan Barang yang
Ditjen Binamarga PU Menunjang
Menetapkan Pedoman Pengembangan Wilayah
Teknis dan Standard Teknologi meningkatkan
Pelayanan Minimum F9
Ditje n Binamarga PU
meningkatkan
Gambar 4 Persepsi Ditjen Binamarga PU
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
Faktor yang mempengaruhi kelancaran arus barang berdasarkan persepsi Binamarga
PU, adalah kapasitas atau volume barang prasarana (At4f), fleksibilitas (F5), biaya total
(F1), teknologi (F9), dan waktu (F10). Menurut instansi ini, prasarana yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan pengembangan wilayah (G1) adalah yang saling terintegrasi, mampu
mengimbangi peningkatan volume barang sebagai akibat peningkatan pertumbuhan
ekonomi (Tahun 2011 pertumbuhan ekonomi sekitar 6%), dan meminimasi biaya
pengangkutan.
b. Kelompok Pemerintah Provinsi
Berdasarkan 2 peta persepsi di bawah ini, terlihat bahwa Pemerintah Provinsi yang
diwakili oleh Bappeda Jatim, Dinas Binamarga PU Jatim, dan Dishub Jatim memiliki tujuan
yang sama, yaitu Penyediaan Angkutan Barang yang Menunjang Pengembangan Wilayah
dan reduksi kemacetan (Dinas Binamarga PU). Sedangkan tindakan yang dilakukan setiap
instansi untuk mencapai tujuan tersebut berbeda-beda. Namun dapat disintesis, yaitu:
pembangunan dry port didasari alasan waktu, kapasitas, dan biaya; pembangunan jalan tol
didasari alasan kapasitas; dan pembangunan pelabuhan pengumpang didasari alasan
biaya.
Badan Perencanaan Pembangunan Prov.Jawa Timur (Bappeda Jatim) memiliki
persepsi yang hampir sama dengan BPJT. Dalam RTRW Prov.Jatim yang disusun
disebutkan pengembangan jaringan jalan tol, termasuk Jalan Tol Aloha-Perak yang
merupakan bagian dari rencana pengembangan jaringan jalan tol di Jawa Timur. Meskipun
jaringan jalan tol tersebut sudah termuat dalam RTRW Jatim, tetapi Bappeda Jatim tidak
mempunyai kekuasaan saat implementasi rencana tersebut. Hal ini dikarenakan yang
memiliki kewenangan atas penggunaan lahan di Kota Surabaya adalah Pemerintah Kota
Surabaya.
8. 8 Seminar Nasional PlanoCosmo 2012
A18b
A17
Merencanakan
Menyusun RTRW mendukung Pembangunan Dry
Provinsi Jatim
Port
Bappeda Jatim
Bappeda Jatim
A20a A18a
Merencanakan/ Mengusulkan Merencanakan
Jaringan Jalan Tol Pembangunan Dry Port
Bappeda Jatim PU Binamarga Jatim
mempersingkat meningkatkan
memperkuat meningkatkan A2
Melakukan
At4a Pengadaan mempersingkat
Kapasitas/ Volume Investasi Jalan Tol
Barang BPJT
A19 Bappeda Jatim mengurangi
F1 F4
Merencanakan Energi Mengurangi konsumsi
Pembangunan Biaya
Pelabuhan Pengumpan Total
Bappe da Jatim menurunkan kecil F10
F3
meningkatkan Dampak
Waktu
Lingkungan
menurunkan
G1 meningkatkan
Penyediaan Prasarana
Angkutan Barang yang
Menunjang
Pengembangan Wilayah
Gambar 5 Persepsi Bappeda Jatim
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
Faktor yang menjadi issu permasalahan menurut Bappeda Jatim adalah faktor waktu
(F10). Sedangkan, yang menjadi faktor penyebab timbulnya permasalahan adalah
kapasitas/volume barang (At4a). Selama ini kapasitas prasarana yang ada dinilai masih
kurang seimbang dengan volume barang yang harus didistribusikan. Dalam upaya
mencapai tujuan penyediaan prasarana angkutan barang yang menunjang pengembangan
wilayah (G1), Bappeda Jatim memiliki rencana pengembangan prasarana angkutan barang
berupa rencana pembangunan jaringan jalan tol (A20a), pembangunan pelabuhan
pengumpan (A19) dan pembangunan dry port (A18b). Ketiga tindakan tersebut tertuang
dalam RTRW Provinsi Jawa Timur (A17).
Dinas Binamarga PU Jatim berpendapat bahwa faktor yang menjadi issu permasalahan
adalah biaya total pengangkutan (F1), sedangkan faktor yang menjadi penyebab
permasalahan adalah kapasitas atau volume barang prasarana angkutan barang (At4d).
Teknologi (F9) dianggap mempengaruhi keandalan sistem (F7) pada arah positif.
9. Miming Miharja, Sri Oka Rachmadita 9
A20b
F9
Merencanakan/ Mengusulkan Teknologi
Jaringan Jalan Tol
PU Binamarga Jatim meningkatkan
F7
mengurangi
F1 mempersi Keandalan
Biaya Sistem
ngkat
Total mempersingkat A2
mengurangi F10
A25 Melakukan
Waktu Pengadaan
Sinergitas Jalan Tol dan Investasi Jalan Tol
Jalan Rel mempersingkat BPJT
D itjen Binamarga PU
meningkatkan
meningkatkan
At4d meningkatkan
Kapasitas/ Volume
Barang
PU Binamarga Jatim
meningkatkan G1
meningkatkan Penyediaan Prasarana
Reduksi Angkutan Barang yang
Kemacetan Menunjang
Pengembangan Wilayah
G2
Gambar 6 Persepsi Dinas Binamarga PU Jatim
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
Sementara itu, keandalan sistem mempengaruhi waktu (F10) secara negatif. Artinya,
semakin andal suatu sistem pengelolaan prasarana angkutan barang akan mampu
mengurangi total waktu yang dibutuhkan. Kebijakan Binamarga PU Jatim sesuai dengan
kapasitasnya, yaitu merencanakan/mengusulkan jaringan jalan tol (A20b). Selain kebijakan
yang dilakukan Binamarga PU Jatim, disebutkan pula kebijakan lembaga lain yang berkaitan
dengan kelancaran pengangkutan barang, seperti sinergitas jalan tol dan jalan rel yang
diusulkan oleh Ditjen Binamarga PU (A25) dan pengadaan investasi jalan tol yang dilakukan
oleh BPJT (A2). Adapun tujuan yang ingin dicapai Dinas Binamarga PU Jatim adalah
penyediaan prasarana angkutan barang yang menunjang pengembangan wilayah dan
reduksi kemacetan.
c. Kelompok Pemerintah Kota
Persepsi kelompok Pemerintah Kota diwakili oleh instansi Bappeko Surabaya dan Dinas
Perhubungan Kota Surabaya. Berdasarkan 2 peta persepsi di bawah ini, terlihat bahwa
kedua aktor tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu Penyediaan Angkutan Barang yang
Menunjang Pengembangan Wilayah dan reduksi kemacetan (Dinas Perhubungan Kota
Surabaya). Sedangkan tindakan yang dilakukan setiap instansi untuk mencapai tujuan
tersebut terdapat perbedaan. Namun dapat disimpulkan: pembangunan jalan lingkar
didasari oleh alasan waktu dan kapasitas; pembangunan dry port didasari oleh alasan
waktu; sedangkan sinergitas jalan tol dan jalan rel didasari oleh alasan fleksibilitas, biaya,
waktu, dan kapasitas.
Persepsi Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya berbeda dengan aktor lain
dari segi tindakan yang dianggap sesuai dalam menyelesaikan permasalahan penyediaan
prasarana angkutan barang. Dalam hal ini, Bappeko Surabaya berpendapat bahwa
pengembangan jaringan jalan tol justru akan semakin menambah kemacetan. Selain itu,
jalan tol akan menggusur banyak permukiman penduduk.
Berdasarkan gambar di bawah ini, diketahui bahwa Bappeko Surabaya menganggap
solusi bagi penyediaan prasarana angkutan barang yang menunjang pengembangan
wilayah adalah dengan pembangunan jalan lingkar (A21). Hal ini mengingat jalan lingkat
merupakan jalan arteri primer yang sudah direncanakan sejak lama, yaitu semenjak dalam
10. 10 Seminar Nasional PlanoCosmo 2012
Masterplan Surabaya 2000 pada tahun 1978. Dengan tidak dibangunnya jalan tol tengah
kota (A20b dan A2) dan hanya mengandalkan jalan lingkar, maka diperkirakan akan dapat
menambah kapasitas arus barang yang dapat didistribusikan (At4b) dan mereduksi
kemacetan (F2). Adanya reduksi kemacetan akan mempersingkat waktu yang dibutuhkan
dari hinterland ke pelabuhan (F10).
Penyediaan Prasarana
G1 Angkutan Barang yang
Menunjang
Pengembangan Wilayah
A20
meningkatkan
Merencanakan/ Mengusulkan
F7 mempersingkat
F10 Jaringan Jalan Tol
Keandalan
Waktu Bappeda Jatim
Sistem
mengurangi A2
A22 mempersingkat Melakukan
F2 Pengadaan
Menyusun RTRW Kota Reduksi mengurangi Investasi Jalan Tol
Bappeko Surabaya Kemacetan BPJT
meliputi mengurangi
meningkatkan
A20b
A meningkatkan At4b
Kapasitas/ Volume Merencanakan/ Mengusulkan
21
Pembangunan Jalan Barang Jaringan Jalan Tol
Lingkar Bappeko Surabaya PU Binamarga Jatim
Bappeko Surabaya
Gambar 7 Persepsi Bappeko Surabaya
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
Dinas Perhubungan Kota Surabaya (Dishub Surabaya) memiliki persepsi yang berbeda
dari Bappeko Surabaya mengenai penyediaan prasarana angkutan barang yang menunjang
pengembangan wilayah (G1) dan reduksi kemacetan (G2). Jika Bappeko Surabaya
mengandalkan jaringan jalan lingkar untuk kelancaran pengangkutan barang, maka Dishub
Surabaya mendukung adanya sinergitas jalan tol dan rel (A25) serta pembangunan dry port
(A1a). Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan oleh Dishub Surabaya adalah
melakukan pengawasan muatan kendaraan (A29) dan melaksanakan koordinasi dan
kerjasama dalam bidang sarana dan prasarana (A30a).
A30a A25 A29
Melaksanakan
Koordinasi dan
juga membahas Sinergitas Jalan Tol dan Melakukan
Jalan Rel Pengawasan Muatan
Kerjasama
D itjen Binamarga PU Kendaraan
D ishub Surabaya
D ishub Sura baya
membahas meningkatkan uncertainty
A meningkatkan melimitasi
1a F5
Membangun Dry Port Fleksibilitas mengurangi meningkatkan
Ditjen KA, Kemenhub
meningkatkan F9
mengurangi
F1 Teknologi
Biaya At4e At
Total Kapasitas/ Volume
2
Keselamatan
mempersingkat Barang
meningkatkan D ishub Sura baya D ishub Surabaya
G1
meningkatkan meningkatkan
Penyediaan Prasarana G2 F7
Angkutan Barang yang Reduksi Keandalan
Menunjang Kemacetan Sistem
Pengembangan Wilayah meningkatkan
meningkatkan F8
F10 meningkatkan
Ketepatan
Waktu
mempersingkat Waktu
Gambar 8 Persepsi Dinas Perhubungan Kota Surabaya
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
11. Miming Miharja, Sri Oka Rachmadita 11
Adapun faktor yang dianggap issu permasalahan adalah waktu (F10), sedangkan yang
dianggap sebagai faktor penyebab permasalahan utama adalah kapasitas atau volume
barang prasarana angkutan barang (At4e). Kapasitas tersebut dipengaruhi oleh teknologi
(F9) dan keandalan sistem (F7). Keandalan sistem meliputi ketepatan waktu (F8) dan
keselamatan (At2). Ketepatan waktu (F8) berkorelasi dengan waktu (F10). Sementara itu,
biaya total (F1) dipengaruhi oleh fleksibilitas (F5). Hal ini dikarenakan dengan adanya
karakteristik fleksibilitas, maka angkutan barang dapat melayani dari pintu ke pintu dan
mengurangi biaya (menghindari double handling).
d. Kelompok Organisasi User
Berdasarkan 3 peta persepsi di bawah ini, terlihat bahwa Organisasi User yang diwakili
oleh Organda DPC Jatim, ALFI dan APINDO yang memiliki tujuan yang sama, yaitu
Penyediaan Angkutan Barang yang Menunjang Pengembangan Wilayah, reduksi
kemacetan, dan profit. Sedangkan tindakan yang dilakukan setiap instansi untuk mencapai
tujuan tersebut berbeda-beda. Namun terdapat benang merahnya, yaitu: pembangunan dry
port didasari oleh alasan biaya, tarif, waktu, dan kapasitas; pembangunan jalan tol didasari
oleh alasan waktu dan kapasitas; sedangkan pembangunan jalan tol didasari alasan
kapasitas.
Organda DPC Jawa Timur menjadi wadah pengusaha jasa angkutan. Berdasarkan
interest pengusaha jasa angkutan yang melalui jalan, maka Organda DPC Jawa Timur
mendukung adanya penyediaan prasarana jaringan jalan apapun yang dapat memperlancar
pengangkutan barang dari hinterland ke Pelabuhan Tanjung Perak (G1). Dengan demikian,
Organda DPC Jawa Timur mendukung pembangunan jalan lingkar yang merupakan
kebijakan Bappeko Surabaya (A21) dan pembangunan jaringan jalan tol yang merupakan
kebijakan Bappeda Jawa Timur dan BPJT (A20a, A2). A2
A4 Merencanakan/ Mengusulkan
Jaringan Jalan Tol
Membuat Kesepakatan Bappeda Jatim A20a
Bersama
ORGAND A D PC JAT IM meningkatkan
F6 Melakukan
Kapasitas/ Volume Pengadaan
uncertainty Barang Investasi Jalan Tol
meningkatkan meningkatkan BPJT
meningkatkan
At1e mempersingkat
Tarif
ORGAND A D PC JAT IM
meningkatkan mempersingkat
meningkatkan F1 A31
A
Biaya
Total 21 Demorage dan
Pembangunan Jalan
Lingkar Closing Time
menghambat
Bappeko Surabaya PT .Pelindo III
G1 mempersingkat
Penyediaan Prasarana
Angkutan Barang yang
Waktu F10
Menunjang
meningkatkan
Pengembangan Wilayah
Gambar 9 Persepsi Organda DPC Jawa Timur
(Sumber:Hasil Analisis, 2011)
Faktor yang menjadi issu permasalah menurut Organda DPC Jawa Timur adalah faktor
waktu (F10) dan biaya total (F1). Biaya total tersebut dalam satuan tiap jarak tempuh.
Sementara itu faktor yang menjadi penyebab permasalahan adalah kapasitas atau volume
barang prasarana angkutan barang (F6). Organda DPC Surabaya mempunyai pengaruh
untuk mempengaruhi faktor-faktor tersebut berdasarkan kapasitas yang dimiliki. Upaya
tersebut antara lain membuat kesepakatan bersama (A4) dalam penetapan tarif baru
pengangkutan barang (At1e).
12. 12 Seminar Nasional PlanoCosmo 2012
ALFI mempunyai pendapat bahwa faktor yang menjadi faktor penyebab timbulnya
permasalahan dalam kelancaran pengangkutan barang ekspor dari hinterland ke Pelabuhan
Tanjung Perak dan sebaliknya adalah faktor waktu (F1). Sementara itu, kapasitas/volume
barang (At4) merupakan faktor penyebab permasalahan kelancaran pengangkutan barang
ekspor dari hinterland ke Pelabuhan Tanjung Perak dan sebaliknya. ALFI
merekomendasikan pembangunan dry port (A1) untuk mereduksi kemacetan lalu lintas.
Pembenahan strategi operasi (A26) dari internal masing-masing perusahan khususnya dan
ALFI sebagai wadah perusahaan forwarder umumnya dipercaya akan menurunkan biaya
total (At5) dan meningkatkan profit (G3).
A26 G1
F1 meningkatkan Penyediaan Prasarana
Strategi Angkutan Barang yang
Operasi Waktu
Menunjang
ALFI mempersingkat Pengembangan Wilayah
menurunkan
G3 mempersingkat
Profit mempersingkat
A1
meningkatkan At
5 Biaya Total Membangun Dry Port meningkatkan
ALFI Ditjen KA, Kemenhub
menurunkan
meningkatkan meningkatkan
meningkatkan At 1 At G2
Tarif Kapasitas/ Volume
4 Reduksi
BPJT Barang Kemacetan
meningkatkan
Gambar 10 Persepsi Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
Menurut APINDO, faktor Biaya Total (At5) dan Waktu (F1) menjadi faktor yang menjadi
faktor permasalahan dalam kelancaran pengangkutan barang ekspor dari hinterland ke
Pelabuhan Tanjung Perak dan sebaliknya. Faktor penyebab timbulnya permasalahan
tersebut adalah faktor kapasitas/volume barang (F6).
F1 A3
mempersingkat Waktu
Memberikan
A1 potongan harga
PT.KAI D aop VIII
Membangun Dry Port
Ditjen KA, Kemenhub menurunkan menurunkan
meningkatkan
meningkatkan A3
F6 At menurunkan
Kapasitas/ Volume 5 Biaya Total Memberikan potongan harga
Barang meningkatkan APINDO ORGAND A DPC JAT IM
G2 meningkatkan
G3
meningkatkan Reduksi
Kemacetan Profit
Gambar 11 Persepsi APINDO
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
e. Kelompok Operator
Persepsi kelompok Operator diwakili oleh instansi PT.Pelindo III dan PT.KAI Daop VIII.
Berdasarkan 2 peta persepsi di bawah ini, terlihat bahwa kedua aktor tersebut memiliki
tujuan yang sama, yaitu Penyediaan Angkutan Barang yang Menunjang Pengembangan
Wilayah dan profit. Sedangkan tindakan yang dilakukan setiap instansi untuk mencapai
tujuan tersebut terdapat perbedaan. Namun dapat disimpulkan keduanya
merekomendasikan pembangunan dry port didasari oleh alasan waktu; sedangkan
13. Miming Miharja, Sri Oka Rachmadita 13
sinergitas jalan tol dan jalan rel didasari oleh alasan waktu, kapasitas, investasi, biaya, dan
tarif.
A1b
Membangun Dry
Port
PT.Pelindo I II
mempersingkat menurunkan
At 8 F1
F2 Investasi Biaya
Waktu PT .Pelindo III Total
mempersingkat perlu ditambah menurunkan
menurunkan
A31 Demorage dan
Penyediaan Prasarana
Angkutan Barang yang
Closing Time
Menunjang
PT .Pelindo III G1
Pengembangan Wilayah
Gambar 12 Persepsi PT.Pelindo III
(Sumber: Hasil Analisis, 2011)
Berdasarkan persepsi PT Pelindo III, faktor biaya (F1) menjadi faktor permasalahan
dalam kelancaran pengangkutan barang ekspor dari hinterland ke Pelabuhan Tanjung Perak
dan sebaliknya. Hal ini dilihat dari jumlah link masuk ke suatu faktor terbanyak. Sementara
itu, faktor waktu (F2) menjadi faktor penyebab timbulnya permasalahan tersebut. Hal ini
dilihat dari jumlah link keluar suatu faktor terbanyak. Atribut investasi (At8) dipersepsikan
dapat mengurangi biaya (F1). Adapun solusi yang direkomendasikan PT.Pelindo III adalah
konsep dry port (A1).
PT Kereta Api Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Subbid. Pengangkutan Barang
PT.KAI Daop VIII, sebagai operator angkutan barang melalui jalan rel. Secara sistem
mempunyai kapasitas dalam menyebabkan perubahan biaya total pengangkutan barang
melalui jalan rel (F1). Menurut Sub Bidang Pengangkutan Barang PT.KAI Daop VIII, faktor
yang menjadi issu permasalahan pengangkutan barang dari hinterland ke Pelabuhan
Tanjung Perak dan sebaliknya adalah faktor biaya (F1) dan waktu (At3b). Sedangkan faktor
penyebab permasalahannya adalah investasi (At8a) dan kapasitas atau volume
pengangkutan (At4g).
G3
Profit
Bea
G1 Cukai mengurangi A16
Penyediaan Prasarana F1
Angkutan Barang yang Biaya Menyediakan Sepur
Menunjang Total Simpang
Pengembangan Wilayah
meningkatkan Ditje n KA, Kemenhub
A3b
meningkatkan meningkatkan mengurangi mengurangi
meningkatkan At8a Memberikan
Investasi Kapasitas/ Volume Waktu Tarif potongan harga
PT.KAI Da op VI II Barang PT.KAI Da op VI II PT .KAI Daop VIII PT .KAI Daop VIII
PT .KAI Daop VII I
At3b At1b
meningkatkan At4g meningkatkan meningkatkan
membuka mempersingkat
Mengembangkan Double Mengusulkan Tarif
Studi Kelayakan Track Membangun Dry Port Kereta Api Mengeluarkan SK Tarif
PT.KAI Daop VI II Ditje n KA, Kemenhub Ditje n KA, Kemenhub PT .KAI Daop VIII D itjen KA, Kemenhub
A11
A27a A1a A14 A10
Gambar 13 Persepsi PT.KAI Daop VIII
(Sumber:Hasil Analisis, 2011)
Senada dengan pendapat Ditjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan,
permasalahan tersebut dinilai dapat diatasi dengan adanya kebijakan double track (A11),
dry port, dan sepur simpang (A16). Sementara itu, terkait dengan misinya, PT.KAI
melakukan usulan tarif (A14), studi kelayakan pembukaan rute baru (A27a), dan potongan
14. 14 Seminar Nasional PlanoCosmo 2012
harga (A3b). Tindakan–tindakan tersebut memiliki tujuan profit dan dimaksudkan menunjang
pengembangan wilayah.
Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil studi yang telah disampaikan, maka didapatkan kesimpulan bahwa
persepsi aktor yang terlibat dalam pengembangan prasarana angkutan barang regional
tujuan ekspor menuju Pelabuhan Tanjung Perak secara eksplisit memiliki perbedaan tujuan,
tindakan, dan alasan yang mendasari masing-masing tindakan. Dengan demikian
direkomendasikan kepada aktor-aktor yang berkepentingan untuk melakukan kesepakatan
dan komunikasi antar aktor dalam menetapkan kebijakan untuk menuju tujuan bersama.
Sementara itu, studi mengenai hubungan antar aktor direkomendasikan untuk studi lanjutan.
Daftar Pustaka
Bappeprov Jatim. 2005. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur hasil revisi 2009-
2029.
Bots, P.W.G., J.R. Van Duin, M.J.W. Van Twist. 2000. Designing a Power Tool for Policy
Analysts: Dynamic Actor Network Analysis. Proceedings of the 32nd Hawaii
International Conference on System Sciences. Los Alamitos, CA: IEEE Press.
BPJT. 2006. FS Jalan Tol Aloha-Perak.
Fisher, R.,& Ury, W. 1983. Getting to Yes. Negotiating Agreement Without Giving In.
Middlesex,England: Penguin Books Ltd.
Kementerian Perhubungan. 2010. Menhub: Pelabuhan Socah di bangun untuk kurangi
kepadatan Tanjung Perak. Pusat Komunikasi Publik, 16 Agustus.
Keputusan Menteri PU 295/PRT/M/2005 tentang Tugas,Pokok, dan Fungsi BPJT.
Keputusan Menteri PU No. 369/KPTS/M/2005 tentang Rencana Umum Jaringan Jalan
Nasional.
Minnery, J. R. 1985. Conflict Management Urban Planning. Vermont USA: Gower Publishing
Company.
Peraturan Menteri PU No.11 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Jalan Tol.
Peraturan Pemerintah No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.