SlideShare a Scribd company logo
1 of 310
Download to read offline
2        Kedamaian, di Manakah Kau Berada?




                              Sanksi Pelanggaran Pasal 72
             Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
    1.   Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
         sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
         ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1
         (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah),
         atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
         banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
    2.   Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
         atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
         Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
         dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
         banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3




Kedamaian,
di Manakah Kau Berada?
Catatan dan Pembicaraan Sepanjang Penziarahan Hidup




           Seeking Peace
           Notes and Conversations along the Way




         Johann Christoph Arnold
          Kata Pengantar oleh Madeleine L’Engle
           Pendahuluan oleh Thich Nat Hanh




                Penerbit DIOMA – Malang
4        Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

                        Seeking Peace
              Notes and Conversations along the Way

                              DM 220048
     Copyright terjemahan Indonesia ada pada Penerbit Dioma © 2008


                  PENERBIT DIOMA (Anggota IKAPI)
                         Jl. Bromo 24 Malang 65112
              Telp. (0341) 326370, 366228; Fax. (0341) 361895
                       E-mail: info@diomamedia.com
                       Website: www.diomamedia.com


                 Diterjemahkan dari buku ‘SEEKING PEACE
                NOTES AND CONVERSATIONS ALONG THE WAY’,
    by The Plough Publishing House of the Bruderhof Foundation, 1998


                           All rights reserved
      Published under agreement with The Plough Publishing House,
              Woodcrest Community, Rifton NY 12471, USA
            Darvell Community, Robertsbridge TN32 5DR, UK
    © 1998 by The Plough Publishing House of the Bruderhof Foundation


                     Cetakan pertama, Januari 2009


                    Penerjemah: Bambang Kussriyanto
                        Editor: L. Heru Susanto Pr
                  Tata letak: Yosef Benny Widyokarsono
                    Desain sampul: Ginanjar Pratama

                       ISBN 10 : 979 - 26 - 0024 - 8
                    ISBN 13 : 978 - 979 - 26 - 0024 - 7

                  Hak cipta dilindungi undang-undang
           Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
               dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi,
                     tanpa izin tertulis dari Penerbit.

                Dicetak oleh Percetakan DIOMA Malang
                  Isi di luar tanggung jawab Percetakan
5


P   ikirkanlah sejenak makna kata “damai”. Tidakkah
    kelihatan aneh ketika para malaikat menggemakan
damai, sementara dunia terus-menerus dilanda Perang
dan ketakutan akan Perang? Tidakkah Anda menganggap
suara-suara malaikat itu keliru, dan bahwa janji itu
mengecewakan dan palsu?
    Ingatlah sekarang, bagaimana Tuhan kita sendiri
bicara tentang damai. “Damai Kutinggalkan padamu,
damai-Ku Kuberikan padamu,”1 kata-Nya kepada para
murid-Nya. Apakah Tuhan memaknai damai itu seperti
yang dipahami para murid-Nya. Apakah Tuhan
memahami damai itu seperti yang kita pikirkan: Kerajaan
Inggris berdamai dengan negara-negara tetangga, para
buron penguasa daerah berdamai dengan Raja, kepala
rumah tangga menghitung penghasilannya dengan
tenteram, hatinya tenang, menyajikan anggur terbaik di
meja kepada seorang sahabat, istrinya menyanyi untuk
anak-anak? Para murid-Nya tidak mengenal keadaan
seperti itu: mereka melakukan perjalanan sampai jauh,
menderita di darat dan di laut, disiksa, dipenjarakan,
dikecewakan, mengalami kematian sebagai martir. Lalu
apa maksud Tuhan? Jika Anda bertanya demikian,
ingatlah bahwa Dia juga berkata, “bukan seperti yang
diberikan dunia ini, yang Kuberikan kepadamu.” Dengan
demikian, Tuhan memberikan kepada para umat-Nya
damai, tetapi bukan damai yang diberikan dunia.
                                              T.S Eliot
                  Cuplikan dari: Pembunuhan di Katedral




1
    Yoh.14:27
7




       Ucapan Terimakasih


B    elasan orang membantu sampai buku ini selesai
     dicetak, tetapi aku ingin menyampaikan terimakasih
khususnya kepada editorku Chris Zimmerman;
sekretarisku: Emmy Maria Blough, Hanna Rimes dan Ellen
Keiderling, dan seluruh staf dari Plough Publishing House.
     Terima kasih juga kepada mereka yang telah memberi
izin kepadaku menggunakan anekdot dan surat-surat, dan
mereka yang membantuku dengan berbagai cara
mengerjakan buku ini: Mumia Abu- Jamal, Imam
Muhammed Salem Agwa, Dale Aukerman, Daniel
Berrigan, Philip Berrigan, Rabbi Kenneth L.Cohen, Tom
8     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

Cornell, Pastor Benedict Groeschel, Thick Nath Hanh,
Molley Kelly, Frances Kieffer, Suster Ann La Forest,
Madeleine L   ’Engle, Pendeta William Marvin, Elizabeth Mc
Alister, Bill Peke. Uskup Samuel Ruiz Garcia, dan Assata
Shakur – juga banyak anggota komunitasku, Bruderhof.
     Atas segalanya, terima kasih pada istriku - Verena.
Tanpa dukungan dan semangat darinya, buku ini tak akan
pernah bisa kutulis.
9




                       Daftar Isi


Ucapan Terimakasih ..............................................     7
Kata Pengantar .................................................... 13
Pendahuluan ......................................................... 17

Bagian I
Mengupayakan Damai .......................................... 21

Bagian II
Berbagai Makna ................................................... 27
10      Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     Damai Karena Tak Ada Perang ..................................                 30
     Damai Dalam Kitab Suci ............................................            33
     Damai Sebagai Tujuan Sosial ......................................             36
     Damai Dalam Hidup Perorangan ................................                  39
     Damai Tuhan .............................................................      45
     Damai yang Mengatasi Pemahaman ............................                    48

Bagian III
Berbagai Paradoks ................................................. 51
     Bukan Damai Tapi Pedang ..........................................             53
     Kekerasan Kasih ........................................................       60
     Tak Ada Hidup Tanpa Kematian .................................                 66
     Kebijaksanaan Orang Bodoh .......................................              75
     Kekuatan dari Kelemahan ..........................................             82

Bagian IV
Berbagai Batu Pijakan .......................................... 91
     Kesederhanaan .......................................................... 101
     Kesunyian ................................................................. 107
     Kepasrahan ................................................................ 115
     Doa ........................................................................... 127
     Percaya ...................................................................... 138
     Pengampunan ............................................................ 149
     Bersyukur .................................................................. 157
     Ketulusan .................................................................. 166
     Kerendahan Hati ....................................................... 175
     Ketaatan .................................................................... 187
     Keputusan ................................................................. 196
     Penyesalan ................................................................. 205
     Keyakinan ................................................................. 216
     Realisme .................................................................... 226
     Pelayanan .................................................................. 235
Daftar Isi          11

Bagian V
Hidup yang Berkelimpahan ................................... 245
     Jaminan Keselamatan ................................................. 256
     Kepenuhan ................................................................ 265
     Kegembiraan .............................................................. 275
     Tindakan ................................................................... 285
     Keadilan .................................................................... 294
     Harapan .................................................................... 304
13




             Kata Pengantar
                    Oleh: Madeleine L’Engle2




S  halom. Damai. Suatu damai yang tidak pasif, tetapi
   aktif. Suatu damai yang bukan hanya karena
berhentinya kekerasan, tetapi meliputi dan lebih dari
mengatasi kekerasan. Damai sejati.
2
    Madeleine L’Engle adalah seorang penulis novel dan buku rohani
    Amerika. Mendapat banyak gelar doktor kehormatan dari berbagai
    universitas, khususnya di bidang sastra dan yang terakhir doktor dalam
    teologi dari Berkeley Divinity School. Di masa tuanya ia mengisi
    waktu sebagai pustakawan pada Katedral (Gereja Episcopal) Santo
    Yohanes Suci di Manhattan. Lahir pada 1918 di New York City dan
    meninggal pada 6 September 2007 di Connecticut pada usia 88 tahun.
14    Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     Pada akhir suatu abad yang kita ketahui jauh dari damai,
menyenangkan sekali membaca buku yang bagus dari Johann
Christoph Arnold: Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
Ia mengutip definisi kakeknya tentang damai: “damai rohani
antara kita dengan Allah; tidak ada kekerasan sepenuhnya,
melalui hubungan damai dengan sesama dan berlakunya
tatanan sosial yang adil dan damai.” Namun setiap pagi jika
aku mendengarkan berita, sepertinya kita makin jauh dan
lebih jauh lagi dari ketiga ambang damai itu. Kita memerlukan
buku ini untuk membimbing jalan kita menuju Shalom.
     Pada suatu sore di masa Puasa sepuluh tahun yang lalu,
di Gereja Katedral Santo Yohanes Suci di Manhattan, aku
mendengarkan Pastor Canon Edward West bicara tentang
damai yang kita cari. Ia menggunakan perumpamaan yang
tidak lazim tentang kereta bawah tanah.
     Kebanyakan dari kami yang hadir pada malam hari
itu menumpang kereta bawah tanah untuk pergi ke
Katedral dan untuk pergi dan pulang kerja. Ia
menunjukkan kepada kami, jika kita lihat sesama
penumpang kereta bawah tanah, kebanyakan dari mereka
tampak seolah-olah tak dicintai seorang pun. Dan itu
pada umumnya benar. Kemudian pastor melanjutkan, jika
kita mau berkonsentrasi tanpa menyolok mata kepada
seseorang di antara mereka, dan diam- diam kita
menyatakan dengan yakin dalam hati bahwa dia itu anak
yang dikasihi Allah, dan entah bagaimana keadaan di
sekitarnya, dapat tinggal dalam damai Allah, mungkin
kita akan melihat perbedaannya. Damai tidak selalu
merupakan sesuatu yang Anda “buat”; damai adalah
anugerah yang Anda sampaikan pada seseorang.
     Di kesempatan lain ketika aku menumpang kereta
bawah tanah lagi, aku melirik seorang wanita di pojok
yang bertopang dagu dengan tangan terkepal, wajahnya
Kata Pengantar     15

menunjukkan ketegangan tanpa harapan. Tanpa
melihat dia, aku mulai mencoba mengirimkan damai
kasih Allah kepadanya. Aku tidak bergerak. Aku tidak
memandang dia. Aku hanya mengikuti saran Pastor
Canon West, dan aku heran karena wanita itu tampak
berubah lebih santai. Kepalan tangannya dibuka;
tubuhnya lebih lentur; garis-garis kecemasan hilang dari
wajahnya. Saat itu adalah saat yang penuh syukur
bagiku, dan aku sendiri merasa diliputi dan dipenuhi
oleh kedamaian juga.
     Itulah yang kucoba kuingat bila aku menumpang
kereta bawah tanah atau naik bus, atau berjalan di jalanan
yang padat, atau berdiri antre di depan kasir supermarket.
Jika damai Tuhan ada di hati kita, dan kita membawanya
serta, kita dapat memberikannya kepada mereka yang ada
di sekitar kita. Bukan karena keutamaan dan kemauan
kita. Melainkan oleh Roh Kudus yang bekerja melalui kita.
Kita tidak memberikan apa yang kita tak punya, tetapi
jika Roh bertiup menembus awan kelabu, dan masuk ke
hati kita, maka kita pun dapat dijadikan-Nya wahana
damai, dan dengan demikian damai di hati kita juga
bertambah. Makin banyak damai yang kita sebarkan, makin
banyak pula damai yang kita peroleh.
     Dalam buku Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
ini Christoph Arnold menceritakan banyak kisah seperti
itu, baik sebagai selingan maupun penjelasan tentang
damai yang diamanatkan agar kita upayakan. Buku ini
penting dan indah, suatu buku yang sungguh perlu untuk
membantu kita membawa damai Tuhan di pengujung
milenium baru ini.
                                     Goshen, Connecticut
                                      Musim Panas 1998
16   Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
KATA PENGANTAR                                                      17




                 Pendahuluan
                   Oleh: Thich Nhat Hanh3



D    alam Khotbah di Bukit, Yesus berkata : “Berbahagialah
     orang yang membawa damai, karena mereka akan
disebut anak-anak Allah.”4 Untuk mengupayakan damai,
Anda sendiri harus punya hati yang damai. Dan jika Anda
punya kedamaian itu, Anda anak Allah. Sayangnya banyak
orang yang mengupayakan damai justru tidak damai hatinya.

3
    Thich Nhat Hanh adalah seorang bhiksu Zen Buddhisme, lahir di
    Vietnam 1926. Menjadi promotor Damai di berbagai forum. Pada
    tahun 1967 dicalonkan untuk menerima Hadiah Nobel untuk
    Perdamaian. Mengajar ilmu perbandingan agama. Tinggal di
    Dordogne, Perancis, dalam Biara Village des Pruniers (Plum Village).
4
    Mat 5:9
18     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

Mereka malahan marah dan frustrasi, sehingga apa yang
dikerjakannya tidak sungguh-sungguh menghasilkan damai.
Kita tak dapat merasakan bahwa mereka itu telah
menyentuh Kerajaan Allah. Untuk memelihara damai, hati
kita sendiri harus berdamai dengan dunia. Dengan saudara-
saudara kita. Kebenaran inilah yang merupakan inti dari
buku Christoph Arnold yang kita sambut ini, Kedamaian,
di Manakah Kau Berada?
     Kita sering memikirkan damai sebagai keadaan di
mana tak ada perang; sehingga jika negara-negara yang
kuat mengurangi persenjataan mereka, kita mungkin
akan mendapatkan damai. Tetapi jika kita merenung
lebih dalam tentang senjata-senjata itu, kita melihat
dalam batin kita ada prasangka, ketakutan dan sikap
acuh tak acuh. Sekalipun kita pindahkan semua senjata
dan bom itu ke bulan, akar peperangan dan sebab-sebab
adanya bom itu masih tetap ada di sini, dalam hati dan
batin kita, yang membuat kita cepat atau lambat akan
membuat senjata dan bom yang baru.
     Yesus berkata, “Ada tertulis, “Jangan membunuh, siapa
yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata
kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya
harus dihukum ... siapa yang berkata, ‘Jahil!’ harus diserahkan
ke dalam neraka yang menyala-nyala.”5 Mengupayakan Damai
berarti lebih dari sekadar meniadakan senjata. Awalnya
haruslah mencabuti akar perang yang ada dari antara kita
dan dari hati semua orang lelaki dan perempuan.
     Bagaimana kita mengakhiri lingkaran kekerasan?
Arnold menyatakan bahwa sebelum kita berdamai dengan
orang lain dan dengan dunia, kita harus berdamai dengan
diri kita sendiri. Itu sungguh benar. Jika kita sendiri
berperang melawan orang tua kita, melawan keluarga kita

5
     Mat 5:21-22
Pendahuluan       19

atau Gereja kita maka boleh jadi suatu perang sedang
berlangsung dalam diri kita juga. Dengan demikian langkah
dasar yang harus dilakukan dalam mengupayakan damai
adalah kembali pada diri kita sendiri dan menciptakan
keselarasan di antara unsur-unsur yang ada dalam diri kita:
perasaan kita, persepsi kita, keadaan mental kita.
     Sambil membaca buku ini, usahakanlah mengenali
unsur-unsur yang saling bertentangan dalam diri Anda dan
apa yang menjadi penyebabnya. Usahakanlah agar Anda
lebih menyadari apa yang menyebabkan kemarahan dan
perpisahan, dan apa yang bisa mengatasi hal itu. Cabutlah
akar kekerasan dalam kehidupan Anda dan belajarlah
hidup dengan memerhatikan orang lain dan berbelas kasih.
Upayakan damai. Jika Anda punya damai di hati Anda,
maka damai dengan orang lain pun jadi niscaya.
                              Village des Pruniers, Perancis
                                         Musim Semi 1998
20   Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
21




                 Bagian

                    I



Mengupayakan Damai
  “Harapan adalah yang tersisa bagi kita
          di masa yang sulit.”
          (Pepatah Irlandia)
22    Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


     Mengupayakan Damai

K     ita hidup dalam suatu dunia yang tidak damai;
     walaupun ada pembicaraan terus-menerus tentang
damai, nyatanya hanya sedikit saja damai yang ada.
Begitu sedikitnya damai yang sesungguhnya, sehingga
ketika aku memberitahu seorang sahabat dekat tentang
buku ini, ia menyatakan bahwa menulis tentang damai
tidak hanya sesuatu yang naif, tetapi juga sesuatu yang
bertentangan dengan kenyataan.
     Tak seorang pun menyangkal adanya kekerasan yang
memengaruhi hidup orang di seluruh dunia, mulai dari
tempat-tempat yang bergejolak seperti Chiapas, Irlandia
Utara, Timor Timur, Irak dan Tepi Barat, sampai ke jalanan
di kota-kota kita. Juga dalam kehidupan pribadi, sekalipun
di tempat-tempat yang paling damai di luar kota, setiap
hari situasi tidak-damai terwujud – dalam kekerasan
rumah tangga, dalam berbagai bentuk kecanduan yang
tidak sehat, dalam ketegangan yang merusak memecahkan
teman usaha, sekolah dan gereja-gereja.
     Kekerasan juga tersembunyi di balik wajah
masyarakat yang kita anggap telah mendapat pencerahan.
Ada di balik kerakusan, penipuan dan ketidak-adilan
yang menggerakan lembaga-lembaga keuangan besar dan
lembaga-lembaga budaya kita. Ada di balik prasangka-
prasangka yang mengikis perkawinan Kristiani yang
terbaik sekalipun. Ada pada sikap munafik yang
menggerogoti kehidupan rohani dan menodai ungkapan
pelaksanaan agama yang paling saleh sekalipun hingga
menjadi tidak kredibel lagi.
Mengupayakan Damai         23

     Melihat secara manusiawi segala hal itu, rasanya sia-
sia menulis sebuah buku tentang damai. Tetapi kita juga
mendengar jeritan kerinduan akan damai tertuju ke surga.
Suatu jeritan kerinduan dari relung hati yang paling dalam.
Sebutlah dengan nama lain sesuka Anda, apakah
keselarasan, ketenteraman, kesatuan, ketenangan jiwa,
kerinduan akan semua itu ada pada setiap orang. Tak ada
yang suka mendapat masalah, sakit kepala dan sakit hati.
Setiap orang menginginkan damai, bebas dari kecemasan
dan keraguan, kekerasan dan perpecahan. Setiap orang
menghendaki ketenangan dan keamanan.
     Sementara orang dan organisasinya (misalnya
International Fellowship of Reconciliation) memusatkan
perhatian pada perdamaian global. Tujuannya adalah
mencapai kerjasama politik dalam skala internasional.
Yang lain (misalnya Greenpeace) mengusahakan
peningkatan keselarasan antara manusia dan makhluk
hidup lainnya, dan kesadaran akan adanya hubungan
timbal balik dengan lingkungan.
     Yang lain mencari damai dengan mengubah gaya
hidup: dengan pindah kerja, pindah tempat tinggal dari
kota ke pinggiran kota (dan dari pinggiran kota ke
pedalaman), mengurangi anggaran belanja, melakukan
penyederhanaan, atau apa pun untuk meningkatkan mutu
kehidupan mereka. Ada anak muda yang setelah tinggal
di luar negeri kembali pada komunitasku, sesudah
meluncur liar dengan pergerakan uang yang begitu cepat
dan hubungan-hubungan zinah, ia rindu sekali untuk dapat
bangun pagi hari dan berdamai dengan diri sendiri dan
dengan Tuhan. Yang lain masih bertahan pada kehidupan
mereka sekarang: senang dan kecukupan, sehingga mereka
bilang tak memerlukan apa-apa lagi, tapi kukira di balik
apa yang tampak itu mereka tak punya damai sejati.
24     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     Ketika mengerjakan buku ini aku melihat iklan dengan
foto seorang wanita di atas kapal. Ia meringkuk di sebuah
kursi, memandang jauh ke seberang telaga pada matahari
yang sedang tenggelam. Tertulis di situ: “Suatu impian
tentang pekerjaan, anak-anak yang baik. Perkawinan yang
bahagia. Dan perasaan kosong sama-sekali yang sedang
mengancam.” Ada berapa banyak orang yang berbagi dengan
ketakutan yang tak terungkapkan dari wanita itu?
     Pada tingkatan tertentu kita semua mengusahakan
hidup sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Suatu
kehidupan yang selaras, gembira, adil dan damai. Masing-
masing dari kita memimpikan kehidupan tanpa sakit dan
penderitaan, yang dikeluhkan orang setelah hilangnya
Taman Eden (menurut Kitab Suci).
     Kerinduan akan tempat dan waktu seperti itu ada
sejak dulu dan selalu di mana saja. Beberapa ribu tahun
yang lalu, Nabi Yesaya mengimpikan kerajaan damai di
mana singa berbaring dengan anak domba.6 Dan setelah
berabad-abad kemudian, bagaimana gelapnya cakrawala,
dan betapapun sengitnya peperangan, lelaki dan
perempuan menaruh harapan kepada visi Nabi itu.
     Ketika aktivis antiperang Phillip Beriggan7 belum
lama berselang diadili dan dijatuhi hukuman karena
keterlibatannya dalam pembangkangan sipil di suatu
6
     Yes 11:6-9
7
     Phillip Berrigan adalah seorang aktivis antiperang kelahiran Two
     Harbors, Minnesota, 1923. Ia ditahbiskan menjadi pastor Katolik
     pada 1955 dan setelah 18 tahun berkarya ia meninggalkan imamat
     pada 1973. Dalam banyak aksinya menentang perang Phil terkesan
     anarkis. Pada tahun 1999 ia ditahan dan dijatuhi hukuman penjara
     30 bulan. Ia dilepaskan dari penjara pada Desember 2001. Selama
     hidupnya ia dipenjara 11 tahun karena aksi-aksinya. Pada 6 Desember
     2002 ia meninggal pada usia 79 tahun meninggalkan seorang istri
     dan tiga orang anak.
Mengupayakan Damai        25

galangan kapal di Maine, banyak orang tidak menyukai
tindakannya. Phillip menyatakan bahwa berdasarkan
norma apa pun mereka “membentuk suatu panggung
absurd.” Tetapi ia menambahkan bahwa ia lebih suka di
penjara karena keyakinannya daripada mati “di pantai
seperti itu”. Berapa banyak dari kita yang bisa berkata
begitu? Phillip berumur tujuh puluh tahun waktu itu,
tetapi ia terus saja melakukan kampanye tak jemu-jemu
melawan industri senjata nuklir dengan kekuatan yang
tak sesuai dengan usianya.
     Komunitasku, Bruderhof, juga sering dituduh tidak
realistis. Yah. Kami memang meninggalkan lorong
kehidupan yang cocok bagi kebahagiaan kelas-menengah.
Kami meninggalkan rumah dan kekayaan, karier, rekening
bank, reksa-dana bersama dan masa pensiun yang nyaman.
Sebaliknya kami berusaha hidup bersama menurut contoh
umat Kristiani Perdana. Kami memperjuangkan kehidupan
melalui pengorbanan dan disiplin dan saling melayani. Cara
ini bukanlah suatu damai yang diberikan dunia.
     Apa itu damai, dan apa itu realitas? Untuk apa kami
hidup dan apa yang hendak kami wariskan kepada anak-
anak dan cucu-cucu kami? Walaupun mungkin kita
bahagia, apa yang kita punya sesudah perkawinan dan
anak-anak. Sesudah punya mobil dan pekerjaan? Haruskah
yang kita wariskan adalah realitas dunia yang berisik oleh
senjata, dunia kebencian antar-kelas sosial dan keluhan
keluarga, dunia di mana tak ada cinta dan orang menusuk
dari belakang, ambisi egois dan penghinaan? Atau adakah
realitas yang lebih besar, di mana semua itu diatasi oleh
kuasa Sang Pangeran Perdamaian?
     Dalam halaman-halaman berikut kuusahakan untuk
tidak menguraikan pokok-pokok masalah ini, juga tidak
menyajikan argumentasi yang kokoh. Buku pedoman
26    Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

rohani “Bagaimana Caranya” dapat diperoleh di toko-toko
buku, namun pengalaman hidup damai tidaklah serapi itu.
Seringkali hidup ini acak-cakan tidak karuan.
Bagaimanapun setiap pembaca akan mendapatkan tempat
yang cocok bagi dia, berbeda-beda dalam pencariannya.
Aku juga akan berusaha menghindari jangan hanya tinggal
pada akar situasi tidak-damai. Orang dapat memusatkan
seluruh buku untuk membahas pokok persoalan, tetapi hal
itu dapat membuat pembaca terlalu tertekan. Tujuanku
sangat sederhana saja, yaitu menyajikan batu loncatan di
sepanjang jalan dan harapan secukupnya agar Anda selalu
Mengupayakan Damai.
27




                    Bagian

                     II



         Berbagai Makna
        “Hanya jika Anda telah berdamai
           dengan diri Anda sendiri
barulah Anda dapat menciptakan damai di dunia.”
             (Rabbi Sincha Bunim)
28     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


            Berbagai Makna

M      ulai dari kartu-kartu ucapan sampai sisipan
       pembatas buku, dari papan reklame sampai handuk
lap piring, kebudayaan kita berlimpah dengan bahasa
damai. Kata-kata seperti “damai dan kehendak baik”
tampaknya sangat luas penggunaannya, sehingga begitu
disusutkan menjadi slogan klise. Di dalam surat-
menyurat, banyak di antara kita memberikan sebagai
penutup surat pribadi dengan kata “Peace” atau “Damai”.
Pada tataran lain, banyak pemerintahan Negara dan
media massa berbicara tentang batalion “penjaga
perdamaian” bersenjata berat ditempatkan di wilayah-
wilayah yang porak-poranda oleh perang di seluruh dunia.
Di dalam gereja-gereja, para pastor dan pendeta menutup
ibadat dengan “Pergilah dalam damai,” dan walaupun
kata-kata itu dimaksudkan sebagai bagian dari berkat,
tetapi lebih sering dipahami sebagai isyarat untuk bubar
dan sampai ketemu dalam ibadat hari Minggu berikutnya.
    Muhammad Salem Agwa, Imam utama (Mubaliqh,
guru Islam) di New York City menunjukkan bahwa para
Muslim yang baik menyapa satu sama lain waktu berjumpa
dengan kata-kata Assalamu’alaikum. Namun katanya,
juga di antara mereka salam damai itu seringkali jatuh
menjadi kelaziman basa-basi yang disampaikan hanya
dengan sedikit kesadaran akan tanggungjawab bersama
yang terkandung di dalamnya:
          Saya menggunakan Assalamualaikum sebagai
     sapaan sehari-hari, tetapi artinya bukan sekadar
     “Selamat Pagi” atau “Selamat Sore”. Sapaan itu berarti
     “Damai dan berkat dari Allah atas dirimu.” Ketika saya
Berbagai Makna         29

    mengucapkannya, saya merasa damai dengan diri saya
    sendiri, dan antara saya dan Anda. Saya mengulurkan
    tangan untuk membantu Anda. Saya datang kepada
    Anda untuk menyampaikan damai kepada Anda. Dan
    sementara itu, sampai kita bertemu lagi, itu berarti
    bahwa saya berdoa agar Allah memberkati Anda dan
    mengasihani Anda dan mempererat hubungan saya
    dengan Anda sebagai saudara.
     Dunia niscaya akan berbeda keadaannya seandainya
kita sungguh-sungguh berdamai dengan siapapun yang
kita sapa sepanjang hari, jika kata-kata kita lebih dari
basa-basi kesopanan belaka dan sungguh-sungguh timbul
dari dalam hati kita. Dalam kenyataannya, seperti yang
tak henti-hentinya ditunjukkan oleh orang-orang yang
tak ber-Tuhan, beberapa konflik yang begitu banyak
menumpahkan darah sepanjang sejarah umat manusia
adalah karena kita tak berhenti bertengkar mengenai
perbedaan agama. Tak heran para Nabi zaman dulu
berkata, “Mereka mengobati luka umatku dengan
berkata, ‘Damai, damai’ padahal tak ada damai.”8




8
    Yer 6:14; 8:11
30     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


                         Damai
            Karena Tak Ada Perang


B    agi banyak orang damai berarti secara nasional keadaan
     aman, stabil, tertib dan teratur. Berhubungan dengan
pendidikan, kebudayaan dan kewajiban kewarganegaraan,
kemakmuran dan kesehatan nyaman dan tenang. Damai
adalah kehidupan yang sentosa. Tapi dapatkah damai
didasarkan pada hal-hal yang didistribusikan kepada semua
orang? Jika kehidupan yang sentosa berarti ada pilihan yang
tak terbatas dan konsumsi berlebihan pada sedikit orang
yang punya privilege (hak-hak khusus) saja, dan selanjutnya
itu pasti berarti kerja keras dan kemiskinan yang meruyak
bagi jutaan orang yang lain. Inikah damai?
     Di penghujung awal Perang Dunia Kedua, kakekku,
Eberhard Arnold9, menulis:
          Cukupkah sikap yang membela ketenangan?
     Kukira tidak memadai.
          Bila ribuan orang dibunuh secara tidak adil, tanpa
     proses pengadilan di bawah pemerintahan baru Hitler,
     bukankah itu sudah berarti perang?
          Jika ratusan ribu orang dimasukkan ke dalam kamp
     konsentrasi, direnggut kemerdekaannya, dicopot
     martabat kemanusiaannya, bukankah itu perang?


9
     Eberhard Arnold adalah pendiri Komunitas Bruderhof
     berdasarkan Khotbah di Bukit. Penulis, filsuf, teolog Kristiani.
     Lahir di Prusia pada 1888. Meninggal 1935. Komunitasnya
     dilanjutkan oleh putranya, dan kemudian oleh cucunya, yang
     adalah penulis buku ini.
Berbagai Makna           31

      Jika jutaan rakyat Asia mati kelaparan, sedang di
Amerika Utara dan di tempat lain ada jutaan ton gandum
ditumpuk, bukankah itu perang?
      Jika ribuan perempuan melacurkan tubuhnya dan
menghancurkan kehidupan mereka demi uang; jika jutaan
bayi digugurkan setiap tahun, bukankah itu perang?
      Jika orang dipaksa bekerja sebagai budak karena
mereka tak dapat memberikan susu dan roti kepada
anak-anak mereka, bukankah itu perang?
      Jika orang-orang kaya hidup di dalam villa-villa yang
dikelilingi kebun-kebun, sedang di kawasan lain
keluarga-keluarga hanya punya satu kamar untuk tinggal
bersama, bukankah itu perang?
      Jika orang menyimpan uang dalam jumlah besar
dalam rekening bank sementara yang lain tidak cukup
mendapat uang untuk kebutuhan dasar mereka,
bukankah itu perang?
      Jika pengemudi yang ceroboh menyebabkan ribuan
orang mati oleh kecelakaan di jalan setiap tahun,
bukankah itu perang?
      Aku tak dapat mewakili suatu aliran yang suka
ketenteraman yang mengatakan bahwa tak ada perang
lagi. Pernyataan itu tidak benar; perang sudah ada hari-
hari ini.... Aku tidak setuju dengan sikap suka
ketenteraman yang wakil-wakilnya justru berpegang
pada akar-akar penyebab perang : para tuan tanah dan
kapitalis. Aku tidak percaya kepada sikap pembela
ketenangan yang ditunjukkan oleh para pengusaha yang
justru menghabisi pesaingnya sampai bangkrut atau para
suami yang tidak dapat hidup dalam damai dan dalam
kasih justru dengan istrinya sendiri....
      Aku lebih suka sama sekali tidak menggunakan
istilah “pacifism” (penyuka ketenangan). Tetapi aku mau
memajukan perdamaian. Yesus berkata, “Berbahagialah
orang yang membawa damai!” Jika aku memang
32     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     menghendaki perdamaian, aku harus mewakili damai
     di semua bidang kehidupan.
     Di dalam khazanah politik, damai mungkin
mengambil bentuk perjanjian dagang, kompromi dan
perjanjian damai. Perjanjian semacam ini biasanya sedikit
lebih dari perimbangan kekuatan yang rapuh, yang
dirundingkan dengan tegang dan acapkali malah
menanamkan benih-benih konflik baru yang lebih buruk
daripada konflik-konflik yang sedang diusahakan untuk
dipecahkan. Ada banyak contohnya, mulai dari Perjanjian
Versailles yang mengakhiri Perang Dunia Pertama tetapi
menghasilkan nasionalisme yang menyulut Perang Dunia
Kedua, hingga Konferensi Yalta, yang mengakhiri Perang
Dunia Kedua tetapi menyebabkan ketegangan yang
mengarah pada Perang Dingin. Gencatan senjata
bukanlah suatu jaminan yang mengakhiri kebencian.
     Semua orang setuju bahwa damai merupakan
jawaban atas perang, tapi damai macam apa? Rabbi
Kenneth L. Cohen menulis:
          Kegelapan terjadi karena tak ada cahaya, tetapi
     damai bukan sekadar karena permusuhan berhenti.
     Perjanjian mungkin ditandatangani, para duta besar
     berganti, dan tentara dipulangkan ke barak-barak kembali,
     namun tetap saja tak ada damai. Damai mempunyai
     implikasi metafisik dan kosmis. Damai lebih dari sekadar
     tak ada perang. Sesungguhnya, damai bukan berarti
     sesuatu tidak ada, tetapi lebih merupakan penegasan
     mutlak dari sesuatu yang seharusnya ada.
Berbagai Makna     33


                    Damai
              Dalam Kitab Suci


S   alah satu cara mempelajari makna damai adalah
    dengan melihat apa yang dikatakan Kitab Suci. Di
dalam Perjanjian Lama mungkin tidak ada konsep yang
lebih kaya daripada kata Ibrani untuk damai: Shalom.
Shalom sulit diterjemahkan karena cakupan konotasinya
begitu dalam dan luas. Maknanya tidak tunggal,
walaupun orang dapat menerjemahkannya sebagai
sesuatu yang lengkap, mendalam dan menyeluruh.
Jangkauannya lebih jauh dari “damai” seperti yang
umumnya kita ketahui dalam bahasa kita.
     Shalom memang berarti berakhirnya perang atau
konflik, tetapi juga berarti persahabatan, senang, aman
dan sehat; kemakmuran, kelimpahan, ketenangan,
keselarasan dengan alam, bahkan keselamatan. Dan
semuanya itu untuk semua orang, bukan hanya untuk
sekelompok orang pilihan saja. Shalom akhirnya adalah
berkat, karunia dari Allah. Damai bukan berasal dari
usaha manusia. Shalom berlaku untuk orang perorangan,
tetapi juga berlaku untuk hubungan-hubungan di antara
orang-orang, bangsa-bangsa, dan antara Tuhan dan
manusia. Selain itu, Shalom sangat erat kaitannya dengan
keadilan, karena Shalom adalah kesukaan atau perayaan
dari hubungan manusia yang dibenarkan.
     Dalam buku He Is Our Peace, Howard Goeringer
melukiskan makna yang lebih dalam dari Shalom:
Kasih kepada musuh.
34     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     Pada tahun 600 SM tentara Babilon menyerang Yudea
dan membawa tawanan dari Yerusalem ke tempat
pengasingan/pembuangan. Situasinya begitu sulit sehingga
Yeremia menuliskan suratnya yang hebat ini kepada para
tawanan di Babilon yang membenci musuh mereka:
     “Carilah shalom di kota di mana Aku mengirim kamu
dalam pembuangan, dan berdoalah kepada Allah demi
mereka, sebab dalam Shalom mereka kamu akan
mendapatkan shalommu.”10
     Dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia
:”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku
buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab
kesejehteraannya adalah kesejahteraanmu.”
     Para tawanan dipaksa hidup sebagai orang buangan
dan mereka memerhatikan kebudayaan Yahudi mereka
runtuh. Karena membenci orang yang menawan mereka,
rindu kembali ke tanah air mereka, dan kecewa pada
kegagalan Tuhan dalam melindungi mereka, orang-orang
itu tidak percaya pada perkataan Yeremia. Bagaimana
mungkin orang gila suruhan Tuhan itu menyuruh mereka
mengasihi orang yang menawan mereka, menyuruh
mereka berbuat baik kepada musuh, dan menyuruh
mereka memintakan agar Tuhan memberkati para
penganiaya itu dengan shalom?
     Seperti dugaan kita, Surat Yeremia itu tidak populer,
bukan best seller. Kaum buangan yang menderita tidak
bisa memahami bagaimana kesejahteraan mereka dan
kesejehteraan musuh mereka terjalin menjadi satu tak
terpisahkan. Membayangkan bagaimana mereka disuruh
melayani bangsa yang menawan mereka dengan semangat
kebaikan hati, merawat bangsa lawan yang sakit,

10
     Yer 29:7
Berbagai Makna      35

mengajari anak-anak bangsa musuh dengan permainan
Yahudi, bekerja lembur untuk bangsa asing itu! – itu
semua jelas–jelas bodoh! Tidak masuk akal. Bukan hanya
di mata kaum cerdik pandai dunia, tetapi juga bagi umat
yang paling religius sekalipun.
     Damai merupakan tema sentral dalam Perjanjian Baru,
di mana kata eirene paling sering dipakai. Dalam konteks
biblis, eirene jauh melebihi makna klasik kata Yunani itu:
“tenteram,” dan meliputi berbagai konotasi dari shalom.
Di dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus adalah pembawa
tanda dan sarana damai dari Allah. Paulus menyatakan
Kristus adalah perdamaian kita.11 Di dalam Dia segala
sesuatu didamaikan. Dalam Kabar Gembira Kerajaan Allah
itulah segalanya dijadikan benar.




11
     Ef 4:12
36     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


                         Damai
               Sebagai Tujuan Sosial


D      unia penuh dengan para aktivis yang
      memperjuangkan tujuan-tujuan yang beharga: ada
yang membela lingkungan hidup dan yang membela para
gelandangan, para aktivis antiperang dan pejuang keadilan
sosial, para pembela kaum wanita yang teraniaya dan kaum
minoritas yang tertindas. Pada tahun enam puluhan banyak
orang dari berbagai kalangan keagamaan turun ke jalan
bersama Martin Luther King12. Dalam tahun sembilan
puluhan banyak orang berjuang menghapus hukuman
mati. Komunitas saya sangat gigih memperjuangkan hal
itu, yang dalam arti yang lebih luas lagi, berjuang melawan
ketidakadilan dalam sistem peradilan Amerika.
Keprihatinan yang kami lontarkan baik di dalam maupun
di luar negeri menunjukkan dengan jelas bahwa politik
tertib hukum lebih terkait dengan kekerasan dan
ketakutan daripada dengan perdamaian.
     Beberapa pria dan wanita yang kukenal dalam karya
ini adalah yang paling dedikatif di antara orang-orang
yang pernah kujumpai, dan sedikit pun aku tak
meremehkan prestasi mereka. Namun perpecahan yang

12
     Martin Luther King Jr adalah seorang pastor Gereja Baptist yang
     menjadi penjuang gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat. Orator
     ulung. Lahir pada tahun 1929. Pada tahun 1964 menerima Hadiah
     Nobel Perdamaian (yang termuda dalam sejarah). Pada tahun 1968
     mati ditembak orang (belakangan terungkap pembunuhnya sesama
     pendeta). Kematiannya menimbulkan huru-hara di 60 kota karena
     para pengagumnya marah. 300.000 orang hadir ketika ia dimakamkan.
Berbagai Makna         37

terjadi pada kehidupan orang lain dan pemisahan yang
sering kali disebabkan oleh pertengkaran mereka sendiri,
tampak jelas menyedihkan.
      Mengenang kembali tahun enampuluhan, suatu masa
di mana banyak orang disebut pecandu damai, timbul
beberapa gagasan. Para penggemar kelompok band The
Beatles yang dengan rindu menyanyi; “Beri peluang pada
damai” berulang-ulang tak dapat diremehkan; aku
merasakan mereka itu sungguh-sungguh spiritual. Tidak
seperti mayoritas besar anak muda sekarang, pria maupun
wanita, banyak kaum muda angkatan enam-puluhan dan
tujuh-puluhan menerjemahkan harapan dan impian mereka
menjadi tindakan. Mereka mengadakan demonstrasi dan
mengorganisir acara-acara rapat umum; membentuk
kelompok-kelompok dan melakukan aksi mogok; mereka
melakukan aksi duduk dan pendudukan, berbagai protes
dan melaksanakan proyek pengabdian masyarakat. Tak
seorang pun menuduh mereka itu tak berperasaan. Namun
sulit melupakan kemarahan yang mengubah wajah beberapa
orang yang paling keras menyerukan damai di tahun-tahun
itu, juga perbuatan anarki dan sinisme yang kemudian
melanda seluruh wilayah.
      Apa yang terjadi ketika idealisme luntur, ketika pawai
berakhir, ketika Musim Panas Cinta usai? Apa yang terjadi
ketika kelompok-kelompok damai dan hubungan-
hubungan cinta lalu cerai-berai? Apakah damai hanya
menjadi komoditi budaya berupa suatu simbol yang disablon
pada T-Shirt atau dicetak menjadi stiker tempelan di
bemper mobil? Dalam buku The Long Loneliness Dorothy
Day 13, radikal legendaris yang mendirikan Catholic Worker

13
     Dorothy Day adalah seorang wartawati Amerika. Seorang Katolik
     yang saleh. Lahir pada 1897. Ia menjadi Katolik pada 1927 dan
38     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

memberi komentar tentang kaum muda yang merindukan
dunia yang lebih baik itu kadang melakukan hal yang sama
dengan kaum nihilis (golongan yang yakin bahwa tatanan
sosial adalah buruk sehingga perlu dirusakkan tanpa
memberi alternatif yang konstruktif) dan egois juga. Kaum
muda mengidealkan perubahan, kata Dorothy, tetapi
jarang bersedia untuk mengubah diri mereka sendiri.
Mengutip Rabbi Cohen lagi:
          Orang dapat melakukan arak-arakan untuk
     perdamaian dan memilih perdamaian, dan mungkin
     punya pengaruh kecil terhadap keprihatinan dunia.
     Tetapi orang kecil yang sama dapat merupakan raksasa
     di mata seorang anak di rumah. Jika damai hendak
     ditumbuhkan, mulainya haruslah dari orang perorangan.
     Damai dibangun bata demi bata.




     mendirikan Gerakan Catholic Worker pada 1933. Gerakannya pada
     dasarnya pro-perdamaian, tetapi kadang-kadang juga anarkis. Dorothy
     keluar masuk penjara karena aktivitas gerakannya. Anti free-sex pada
     tahun 1960-an. Ia meninggal pada 1980. Pada tahun 2000 dicalonkan
     menjadi orang kudus oleh Keuskupan Agung New York. Dorothy
     oleh banyak orang sudah dianggap orang kudus ketika ia masih hidup.
Berbagai Makna          39


                      Damai
         Dalam Hidup Perorangan


S   ylvia Beels bergabung dengan komunitas kami dari
    London ketika ia gadis muda sebelum Perang Dunia
Kedua meletus. Sekarang dalam usia sembilan puluh
tahunan ia menceritakan sikap di dalam gerakan
perdamaian di masa mudanya dulu – suatu sikap anti
pembunuhan tetapi tidak menentang ketidakadilan
sosial. Sikap itu mengecewakan dirinya dan membuatnya
penasaran dan mencari sesuatu yang lebih lagi.
         Sebuah film perang yang kulihat ketika umurku
    sembilan tahunan membuatku ketakutan, dan sejak itu
    aku tak pernah menganggap perang sebagai sesuatu yang
    baik, walaupun alasannya mungkin baik.
         Sesudah aku menikah, suamiku Raymond dan aku
    bergabung dengan Left Book Club dan membaca semua
    buku mereka. Kami bertemu secara berkala dengan suatu
    kelompok teman, membicarakan gagasan-gagasan dalam
    buku-buku ini. Kami mencari dan mencari lagi untuk
    mendapatkan jalan dalam labirin gagasan manusia –
    perang, damai, politik, moral konvensional lawan cinta
    bebas – tapi kami tidak juga lebih dekat untuk
    menemukan suatu masyarakat yang adil dan damai.
    Di kemudian hari, dalam proses persalinan yang sulit
dan lama ketika melahirkan anaknya yang pertama, Sylvia
menyadari bahwa kehidupan pribadinya diwarnai oleh
kesulitan-kesulitan seperti yang dilawannya dalam
masyarakat. Kendati kariernya dalam musik menjanjikan,
namun perkawinannya goyah dan hatinya dalam kemelut.
40     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

Suatu ketika di situlah ia memutuskan, bahwa sebelum
ia dapat menyumbangkan sesuatu bagi perdamaian dunia,
ia perlu menemukan damai dalam dirinya dan orang lain
(tak lama kemudian suami Sylvia meninggal karena
penyakit jantung, tetapi mereka dapat berdamai
menjelang kematiannya).
     Maureen Burn, seorang anggota komunitas yang lain,
memperoleh kesimpulan yang sama setelah bertahun-tahun
menjadi aktivis antiperang, mula-mula di Edinburgh dan
kemudian di Birmingham, di mana uang, hubungan sosial
dan kepribadian yang ceria membuatnya sangat terkenal
dan menjadi pengikut kelompok pacifisme yang efektif:
          Aku selalu seorang yang idealis dan pemberontak.
     Walaupun waktu itu aku masih anak-anak, Perang Dunia
     Pertama menakutkan aku. Kami diberi tahu bahwa Pemimpin
     (Kaiser) Jerman telah memulai perang, dan ketika umurku
     sepuluh tahun aku menulis surat kepadanya memohon agar
     ia menghentikan perang. Aku selalu menentang perang.
          Suamiku, Matthew, seorang pejabat kesehatan
     publik yang cukup dikenal, juga seorang pengikut
     pacifisme. Setelah mengalami tinggal dalam parit
     perlindungan dalam Perang Dunia Pertama, ia menjadi
     sangat antimiliter dan pejuang keadilan sosial. Persamaan
     minat kami dalam mempelajari Revolusi Rusia 1918,
     karya-karya sastrawan Rusia Leo Tolstoy 14 dan
     perjuangan Mahatma Gandhi15 dari India menciptakan

14
     Leo Tolstoy sastrawan dan filsuf Rusia. Karyanya antara lain Anna
     Karenina dan War and Peace. Bersama Mahatma Gandhi dan Martin
     Luther King Jr dianggap paling berpengaruh pada abad ke-20. Lahir
     pada 1828, meninggal pada 1910. Hidupnya dipengaruhi oleh
     Sakyamuni Buddha dan Santo Fransiskus Assisi, dan Khotbah di
     Bukit. Seorang pecinta perdamaian yang antikekerasan.
15
     Mohandas K. Gandhi atau Mahatma Gandhi dilahirkan pada 1869
     di Porbandar, India, adalah tokoh yang memperjuangkan prinsip
Berbagai Makna          41

    ikatan di antara kami yang mengantar kami ke dalam
    perkawinan. Banyak anak muda akan ke pergi ke
    Moskow pada tahun-tahun itu, dan karena kami tertarik
    pada cita-cita komunis “dari setiap orang berdasarkan
    kemampuannya, untuk setiap orang berdasarkan
    kebutuhannya,” aku ingin juga pindah ke Rusia dengan
    anak-anakku yang masih kecil.... Hanya kemudian
    Matthew berkata, “sebuah bom yang dijatuhkan seorang
    komunis sama jahatnya dengan bom yang dijatuhkan
    kapitalis,” dan aku mengubah pendirianku.
         Matthew selalu menghilang pada Hari Angkatan
    Bersenjata. Aku tidak tahu ke mana ia pergi. Ia
    berpendapat bahwa parade militer besar-besaran di
    Cenotaph merupakan penghinaan terhadap prajurit-
    prajurit tak dikenal yang mati dan dikuburkan, yang tak
    pernah mendapatkan tanda jasa. Setelah perang ibunda
    Matthew memberi tahu aku bahwa Matthew suatu ketika
    pernah berkata bahwa ia tak akan berbuat sesuatu lagi
    bagi masyarakat yang begitu bobrok, di mana bahkan
    pemuka agama pun mengkhotbahkan pembunuhan
    kepada kaum muda….
     Dalam Perang Dunia Kedua, selama pengeboman atas
Inggris, banyak kota di Inggris mulai melakukan evakuasi
anak-anak dan keluarga Burn harus mendapatkan tempat
bagi keempat anak mereka, sedang yang bungsu belum
genap setahun umurnya. Pekerjaan Matthew sementara
itu mengharuskan dirinya tetap tinggal di kota, dan
Maureen tidak tahu harus pergi ke mana. Pada hari-hari
itu juga Maureen tahu bahwa ia hamil, mengandung
anaknya yang ke lima. Dalam keadaan yang tak menentu

    satyagraha atau perlawanan pada tirani dengan pemogokan, dan
    ahimsa atau antikekerasan yang mengantarkan India pada
    kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1945. Ia meninggal pada
    tahun 1948 di usia 78 tahun karena ditembak.
42     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

karena perang, dia dan Matthew memutuskan untuk
melakukan aborsi.
           Waktu aku pulang sesudahnya, suamiku
     menyarankan agar aku pergi ke rumah saudariku
     Kathleen untuk beristirahat beberapa hari. Kathleen
     tinggal di Bruderhof.16 Aku menulis padanya apakah
     aku bisa datang dan tinggal di sana untuk beberapa
     hari, dan dia menjawab boleh.
           Aku tidak membayangkan kejutan yang sedang
     menungguku di sana. Aku membaca beberapa literatur
     mereka, aku lupa judul bukunya. Di dalamnya
     dikatakan dengan tegas bahwa aborsi adalah suatu
     pembunuhan: membunuh kehidupan baru dalam
     rahim dan di mata Tuhan hal itu tak dapat dibenarkan,
     sama dengan pembunuhan yang terjadi di medan
     perang. Sampai saat itu aku adalah seorang yang
     rasional dan tidak menganggap aborsi begitu
     mengerikan. Tapi setelah itu hatiku kemelut dan aku
     merasakan untuk pertama kalinya betapa mengerikan
     tindakan yang telah kulakukan.
           Biasanya aku tidak gampang-gampang menangis
     tetapi pada saat itu yang kulakukan adalah menangis
     dan terus menangis. Aku sangat menyesal atas apa yang
     telah kulakukan dan aku berharap seandainya saja
     waktu bisa diputar berbalik dan aku dapat membatalkan
     tindakanku itu. Aku hanya seorang tamu dalam
     komunitas itu, tetapi saudariku mengantarkan diriku
     pada salah seorang pendeta di situ, dan aku
     menceritakan semuanya. Ia mengundangku ikut dalam
     suatu persekutuan, di mana mereka berdoa untuk

16
     Bruderhof berarti tempat untuk para saudara. Didirikan pada tahun
     1920 oleh Eberhard Arnold di Jerman sebagai suatu komunitas
     yang menghayati cara hidup orang kristen perdana dan Khotbah di
     Bukit dari Yesus Kristus (Mat 5-7). Tentang komunitas ini berangsur-
     angsur diuraikan dalam buku ini.
Berbagai Makna          43

     diriku. Aku segera tahu bahwa aku memperoleh
     pengampunan. Suatu mukjizat, suatu karunia. Aku
     merasa penuh dengan kegembiraan dan damai, dan
     dapat memulai suatu hidup baru.
     Tidak ada yang lebih penting atau lebih
menyedihkan dari hidup dan hati kita sendiri yang kita
tahu tidak-damai. Bagi sebagian dari kita, itu berarti
kita masih dikuasai rasa benci atau dendam; bagi yang
lain karena pengkhianatan, pengasingan, atau
kebingungan; yang lain lagi merasa kosong dan tertekan
jiwanya. Dalam makna yang terdalam, semua itu
merupakan kekerasan dan karena itu harus dihadapi
dan diatasi. Thomas Merton17 menulis:
           Ada sebentuk kekerasan zaman ini yang begitu
     luas tersebar, sehingga biarpun para idealis yang berjuang
     untuk damai dengan metode antikekerasan pun mudah
     kerasukan aktivisme dan kerja berlebihan. Ketegangan
     dan tekanan kehidupan modern merupakan suatu
     wajah, mungkin wajah yang paling umum, dari
     kekerasan pada diri seseorang. Membiarkan diri terbawa
     hanyut oleh begitu banyak urusan mendesak yang saling
     bertabrakan, menyerah pada begitu banyak tuntutan,
     mengikat diri pada begitu banyak proyek, berhasrat
     membantu setiap orang dalam segala hal, adalah sama
     saja dengan menyerah pada kekerasan hidup. Lebih
     dari itu, orang bahkan bekerja sama dengan kekerasan
     itu. Aktivis yang sangat sibuk mengebiri karyanya atas
     nama damai. Kesibukannya yang luar biasalah yang
     menghancurkan buah dari pekerjaannya, karena
17
     Thomas Merton lahir di kalangan jemaat Gereja Inggris pada 1915.
     Ia menjadi Katolik pada 1938 dan tinggal di Amerika Serikat. Pada
     tahun 1941 menjadi biarawan trapis dan menulis banyak buku
     keagamaan yang bersifat mistik. Pada 1949 ia ditahbiskan menjadi
     imam. Ia cinta perdamaian dan menentang Perang Vietnam. Sejak
     1960 memengaruhi banyak aktivis Katolik. Ia meninggal pada 1968.
44    Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     kesibukan itu membunuh akar kebijaksanaan batin
     yang mestinya dapat membuat pekerjaannya berbuah.
     Banyak orang merasa terpanggil memperjuangkan
alasan-alasan damai, tetapi kebanyakan dari mereka lalu
terpukul mundur begitu mereka sadar bahwa mereka tak
dapat memberikan damai sebelum mereka sendiri
memiliki damai dalam diri mereka. Karena tak dapat
menemukan keselarasan dalam hidup mereka, dengan
segera mereka minggir dari perjuangan itu.
     Malahan ada beberapa kejadian yang sangat tragis,
di mana seseorang yang sangat menderita setelah
menyadari ilusi mereka lalu bunuh diri. Penyanyi lagu-
lagu rakyat Phil Ochs, seorang aktivis perdamaian pada
tahun enam puluhan melakukannya; begitu pula Mitch
Snyder, pendiri Pusat Kegiatan Kreatif Non-Kekerasan.
Seorang pembela gelandangan yang sangat dihormati
di Washington DC.
Berbagai Makna     45


             Damai Tuhan

D     amai sejati bukan sekadar tujuan luhur yang
      dijunjung tinggi dan dikejar dengan sungguh-
sungguh. Damai sejati juga tidak begitu saja
didapatkan atau dimiliki. Damai membutuhkan
perjuangan. Damai ditemui dengan melakukan
pertarungan dasar dalam kehidupan: hidup lawan mati,
baik lawan buruk, benar lawan salah. Memang, damai
itu karunia, tetapi damai juga merupakan hasil dari
usaha yang sangat bersungguh-sungguh. Beberapa ayat
di dalam Mazmur menyatakan bahwa di dalam proses
untuk memperoleh damai itulah maka damai itu
ditemukan. Damai semacam itu merupakan hasil dari
usaha menghadapi dan mengatasi konflik, bukan
menghindari konflik. Karena begitu berakar dalam
kebenaran, damai sejati (yaitu damai Allah) mengusik
hubungan-hubungan yang penuh kepalsuan,
menggoyang sistem- sistem yang tidak benar, dan
menelanjangi kebohongan yang dijadikan dasar dari
damai yang palsu. Damai sejati mencabuti akar dan
benih-benih situasi yang tidak damai.
     Damai Allah tidak secara otomatis mencakup
ketenangan batin, ketiadaan konflik atau taksiran-
taksiran damai duniawi lainnya. Seperti kita lihat dari
kehidupan Kristus, damai yang sempurna justru
ditegakkan dari penolakan-Nya atas dunia dan atas damai
yang ditawarkan dunia. Dan damai yang sempurna itu
berakar pada kesediaan-Nya untuk mengorbankan diri
dengan cara yang paling mengerikan: mati di kayu salib.
46     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     Banyak orang yang menyebut diri sebagai orang
Kristiani dewasa ini melupakan hal ini, atau menutup mata
sepenuhnya pada kenyataan itu. Jika pun kita
menghendaki damai, kita memperjuangkan damai yang
dasarnya adalah keinginan kita sendiri. Kita menghendaki
damai yang gampangan. Tetapi damai tidak terwujud
dengan cepat atau gampang jika diharapkan punya daya
untuk bertahan lama. Damai itu bukan semata-mata
kesejahteraan atau keseimbangan psikologis, suatu perasaan
yang hari ini ada dan besok tiada. Damai Tuhan lebih dari
suatu tingkat kesadaran. Dorothy Sayers menulis:
           Aku yakin adalah suatu kesalahan besar
     mewartakan Kekristenan sebagai sesuatu yang indah
     dan populer, bahwa tak ada yang diserang di
     dalamnya.... Kita tak dapat memejamkan mata pada
     fakta bahwa Yesus yang lemah lembut itu begitu tegas
     pendirian-Nya dan begitu tajam menyerang dalam kata-
     kata-Nya sehingga Ia didorong keluar dari tempat
     ibadat, dilempari batu, dikejar-kejar dari satu tempat
     ke tempat lain dan akhirnya ditangkap sebagai
     penghasut dan musuh masyarakat. Apa pun damai-Nya
     itu, yang jelas bukanlah damai yang timbul dari sikap
     bersahabat yang tak acuh pada keadaan.
    Hendak aku katakan bahwa kendati aku beriman
kepada Kristus dan kendati bahasa buku ini yang oleh
sementara orang dianggap agak gerejawi, aku tidak yakin
bahwa orang harus menjadi Kristiani untuk mendapatkan
damai Yesus itu. Memang kita tidak dapat melalaikan
pernyataan Yesus: “Dia yang tidak mengumpulkan
bersama-sama Aku, ia mencerai-berikan,” dan “Siapa
tidak bersama Aku melawan Aku.”18 Tetapi apa artinya
perkataan itu bagi Yesus sendiri? Bukankah Dia
18
     Mat 12:30
Berbagai Makna     47

menyatakan dengan jelas bahwa masalahnya bukanlah
kata-kata ibadat ataupun sekadar wujud kesalehan
belaka? Ia menghendaki sikap yang lembut dan penuh
belas kasihan – demi cinta kasih.19 Dia berkata biarpun
hanya segelas air untuk orang yang kehausan akan
dihargai “dalam Kerajaan Surga”.20
     Yesus adalah seorang pribadi, bukan suatu konsep
atau karangan teologi, dan kebenaranNya menjangkau
lebih luas dari sekadar yang dapat dipahami oleh pikiran
kita yang terbatas. Dalam kasus tertentu jutaan
pengikut Buddha, para Muslim, orang Yahudi, bahkan
mereka yang tidak mengenal Allah dan yang
menyangkal Allah (ateis) melaksanakan cinta yang
diperintahkan Yesus agar dilakukan 21, lebih mantap
daripada banyak orang yang menyebut dirinya Kristiani.
Maka tidaklah pada tempatnya bagi kita untuk menilai
apakah mereka memiliki damai Kristus atau tidak.




19
     Mat 9:13; 12:7.
20
     Mat 10:42
21
     Yoh 15:12
48    Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


                    Damai
        yang Mengatasi Pemahaman


B    eberapa pembaca mungkin dapat menimba manfaat
     jika di sini aku melanjutkan kajian atas berbagai
pemahaman akan damai, dan membahas apakah damai
itu suatu status (keadaan) ataukah cara hidup. Yang
lain mungkin hanya ingin tahu apakah yang
kumaksudkan ketika aku mengatakan bahwa orang
mengupayakan damai. Apakah mereka berusaha agar
lebih akrab dengan orang lain, ataukah mereka haus
akan damai untuk diri mereka sendiri? Apakah mereka
rindu akan kepercayaan dan cinta kasih, akan sesuatu
yang lebih baik daripada hanya menarik diri dan diam
saja? Sesuatu yang berbeda sama sekali? Intinya, apa
itu damai? Suatu gagasan dari buku-buku kakekku
membantuku. Ia menulis tentang damai tiga dimensi:
kedamaian jiwa bersama Tuhan; hubungan yang rukun
dan damai tanpa kekerasan dengan orang lain; dan
ditegakkannya tatanan sosial yang adil dan damai.
     Namun pada akhirnya, masalahnya bukanlah
mengenai definisi yang terbaik, sebab definisi tidak
membantu kita mendapatkan damai itu. Untuk
mendapatkan makna damai itu kita harus mengalaminya
dalam kenyataan praktis, bukan hanya sesuatu yang ada
dalam kepala kita, juga bukan hanya dalam hati kita,
melainkan dalam kehidupan kita sehari-hari.
     Sadhu Sundar Singh, seorang mistikus Kristiani dari
India dari permulaan abad yang lalu menulis:
Berbagai Makna           49

      Misteri dan realitas hidup yang bahagia dalam Tuhan
tidak dapat dipahami tanpa menerima, menghayati, dan
mengalaminya. Jika kita berusaha memahaminya dengan
pikiran saja, usaha kita itu tidak berguna.
      Seorang ilmuwan memegang burung di tangannya.
Ia melihat burung itu punya kehidupan. Lalu ia ingin
tahu di bagian tubuh yang mana dari burung itu terletak
kehidupannya. Maka ia mulai mengiris-iris burung itu.
Hasilnya, kehidupan yang dicarinya itu hilang. Mereka
yang berusaha memahami misteri hidup sejati secara
intelektual niscaya menemui kegagalan seperti itu. Hidup
yang dicarinya akan lenyap dalam analisisnya.
      Seperti air tak akan tenang sebelum mencapai
kepenuhannya, jiwa pun tak akan damai sebelum
tinggal dalam Tuhan.
50   Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
51




                       Bagian

                        III



        Berbagai Paradoks
“Aku seorang tentara Kristus. Aku tak bisa berperang.”
                St. Martinus dari Tours
52    Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


        Berbagai Paradoks

K    ita telah melihat bahwa walaupun kerinduan akan
     damai begitu mendalam, suatu kelaparan universal,
namun damai sulit dirumuskan. Memang begitulah
kebanyakan hal yang bersifat rohani. Elias Chacour,
seorang imam Palestina, teman baikku, memberikan
komentar tentang hal ini dalam bukunya Blood Brothers.
Ketika bicara tentang agama-agama besar dari Timur ia
menunjukkan bagaimana para pemikir mereka (kontras
dengan banyak pemikir dalam budaya Barat) merasa
nyaman dengan berbagai paradoks dan bersedia
menerimanya dan hidup dengan paradoks-paradoks itu
dan tidak berusaha menyingkirkannya.
    Barangsiapa membaca Injil tentu tahu betapa Yesus
juga mengandalkan paradoks dan perumpamaan untuk
melukiskan kebenaran yang sangat dalam. Bagi pikiran
rasional, suatu paradoks tampak bertentangan
(kontradiktif), namun justru karena sifatnya itu, paradoks
memaksa kita melihat kebenaran di dalamnya dengan
mata yang baru. Dalam pengertian ini aku menulis bagian
berikut, masing-masing bagian merupakan suatu papan
loncatan ke arah pengertian yang lebih dalam atas damai.
Berbagai Paradoks         53


Bukan Damai Tapi Pedang
          Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang
     untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan
     untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku
     datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, dan
     anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari
     ibu mertuanya dan musuh orang ialah orang-orang seisi
     rumahnya. Barang siapa mengasihi bapa atau ibunya lebih
     daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barang siapa
     mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih
     daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
                                          Yesus dari Nazareth


K    etika Matius mencatat kata-kata Yesus ini dalam bab
     kesepuluh dari Injilnya22, ia memberikan argumen
yang disukai generasi-generasi Kristiani untuk
mempertahankan penggunaan kekuatan dalam berurusan
dengan orang lain. Tetapi sesungguhnya apa yang
dimaksud oleh Yesus? Yang pasti ia tidak bermaksud
membenarkan atau memajukan kekerasan dengan
menggunakan senjata. Bahkan sekalipun Ia mengusir
para penukar uang dari Bait Allah dengan cambuk 23,
namun Ia kemudian menegur Petrus karena telah
memotong telinga seorang prajurit dengan pedang dan
berkata, “Barang siapa menggunakan pedang, akan
binasa oleh pedang,”24 dan apa yang dilakukannya sampai
hembusan napas terakhir di kayu salib, mencerminkan

22
     Mat 10:34-35
23
     Yoh 2:12
24
     Mat 26: 52
54     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

kata-kata-Nya “Segala sesuatu yang kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian
juga kepada mereka.”25
     Bagiku jelas bahwa pedang yang dimaksudkan
Yesus bukanlah pedang yang merupakan senjata
manusia. Di dalam surat Rasul Paulus kita membaca
tentang pedang Roh Kudus yang dibandingkan dengan
pedang pemerintah, yang kadang-kadang disebut
pedang yang fana atau pedang kemurkaan Allah 26
Paulus menyatakan bahwa Allah Bapa menarik Roh
Kudus dari dunia karena pria dan wanita tidak taat
kepada-Nya; sebaliknya, Ia menyerahkan mereka
kepada “pedang” pemerintahan dunia, yang
kelangsungan dan wewenangnya berakar dalam
kekuatan tentaranya. Tetapi Gereja tentu tidak boleh
menggunakan senjata fisik, Gereja harus setia kepada
satu kekuatan saja: Kristus, dan pengikut-pengikutNya
hanya boleh menggunakan pedang Roh Kudus.
     Di tempat lain dalam Kitab Suci pedang digunakan
sebagai lambang kebenaran. Seperti senjata fisik yang
dilukiskannya, pedang, ini memotong segala sesuatu yang
mengikatkan kita pada dosa. Pedang itu membersihkan
dan menonjolkan (penulis Surat kepada orang Ibrani
menyebutnya “memisahkan sendi-sendi dan sumsum)27,
namun maksudnya bukanlah menghancurkan atau
membunuh. Mengutip penyair Phillip Britts dari Bruderhof,
damai adalah “persenjataan kasih dan penebusan.... bukan
persenjataan dunia, tapi persenjataan hasrat akan
kebenaran.” Perangnya bukan pergumulan antarmanusia

25
     Mat 7:12
26
     Rm 13:4
27
     Ibr 4:12
Berbagai Paradoks    55

satu sama lain, tetapi antara “sang pencipta melawan si
perusak; perang antara hasrat akan kehidupan melawan
hasrat kematian; perang antara cinta melawan kebencian;
antara persatuan melawan perceraian.”
     Di dalam Injil tertulis, “sejak tampilnya Yohanes
Pembaptis sampai sekarang, kerajaan surga diserong dan
orang yang menyerong mencoba mengusainya.” 28
Walaupun ini merupakan salah satu di antara wejangan
Yesus yang sulit, arti kata “diserong” cukup sederhana.
Kita tak dapat duduk dan menunggu surga, demi
kerajaan damai dari Allah, agar jatuh ke pangkuan kita.
Kita harus merebutnya dengan penuh hasrat. Thomas
Cahill menyatakan: “yang penuh hasrat, habis-habisan
dan di luar batas punya kesempatan lebih baik untuk
merebut surga daripada mereka yang puas diri, ragu-
ragu dan yang lengket dengan dunia.” Yang menarik,
kosa kata Kristiani tidak sendirian menggunakan bahasa
kekerasan untuk melukiskan jalan damai. Menurut
seorang nara sumber Muslim kata jihad tidak hanya
berarti perang suci Islam, tetapi juga perang spiritual
yang terjadi dalam diri setiap orang.
     Banyak orang Kristiani sekarang menyepelekan
perang spiritual. Di satu pihak mereka menganggap hal
itu semacam imajinasi; di lain pihak ada yang merasa
bahasa yang digunakan untuk melukiskannya terlalu
konfrontatif, terlau kasar, dan yang lebih buruk lagi,
terlalu kuno. Namun perang kosmis antara malaikat
Allah dan cecunguk setan terus berlangsung hingga saat
ini, kendati makin kurang saja yang percaya tentang hal
itu. Mengapa hanya karena kita tidak dapat melihatnya
kita menganggap hal itu hanya rekaan pikiran?

28
     Mat 11:12
56     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

    Aku percaya bahwa daya yang tampil dari yang baik
dan yang jahat sungguh nyata seperti daya-daya fisik yang
membentuk alam semesta, namun karena kita tidak bisa
mengetahuinya, kita tidak dapat menyaksikan
pertempuran besar yang terjadi di antara mereka.
Sebagaimana cahaya tidak dapat berbagi ruang dengan
kegelapan, maka baik dan jahat tidak dapat ada bersana
dalam damai, dan karena itu kita harus memutuskan
untuk ikut di pihak mana.
    Sekitar dua puluh lima tahun lalu, sebagai tetua
komunitas Bruderhof, ayahku29 menyusun suatu dokumen
yang berulangkali dilihat orang lagi selama bertahun-
tahun. Suatu “kesepakatan” yang ditanda-tangani oleh
semua anggota komunitas kami ketika ditulis (dan
disetujui oleh setiap anggota terbaru), karena sering
membantu kami mempertajam fokus kami pada akar suatu
masalah tertentu yang sedang kami hadapi.
     Kami memaklumkan perang kepada segala pelecehan
         terhadap semangat seperti anak-anak yang
         diajarkan Yesus.
     Kami memaklumkan perang kepada segala kekejaman
         emosional dan fisik terhadap anak-anak.
     Kami memaklumkan perang kepada semua usaha untuk
         menguasai jiwa orang lain.
     Kami memaklumkan perang kepada segala kebesaran
         manusia dan semua bentuk pameran kehebatan.
     Kami memaklumkan perang kepada kebanggaan palsu
         termasuk kebanggaan kolektif.
     Kami memaklumkan perang kepada semangat dendam,
         kebencian dan keengganan untuk memaafkan.


29
     Yang dimaksud adalah J. Heinrich Arnold (1913-1982).
Berbagai Paradoks       57

    Kami memaklumkan perang kepada segala macam
       bentuk kekejaman kepada orang lain termasuk
       kekejian terhadap pendosa.
    Kami memaklumkan perang kepada semua
       keingintahuan tentang sihir atau kegelapan setan.
     Salah satu risiko terbaru di dalam berperang melawan
yang jahat adalah salah menerapkan sesuatu perlawanan
sifat pada tatanan fisik manusia, dengan menciptakan
kubu antara “orang baik” dan “orang jahat. Kita sering
bicara tentang Tuhan dan gerakan yang berlawanan
dengan setan dan dunia, namun kenyataannya adalah
garis pemisah antara baik dan jahat itu juga melewati
setiap hati manusia. Dan siapa yang akan kita adili selain
diri kita sendiri?
     Gandhi suatu ketika mengajar, “jika Anda membenci
ketidakadilan, tirani, keserakahan dan kerakusan,
bencilah semua itu dalam diri Anda lebih dulu.” Setiap
orang membentuk suasana tertentu di sekelilingnya. Ketika
“bertarung demi kebaikan” janganlah lupa berhenti
sebentar, di sana atau di sini, dan bertanya pada diri sendiri,
apakah suasana yang terbentuk itu penuh ketakutan atau
suasana kasih yang menyingkirkan rasa takut.
     Ada godaan untuk membawa pertarungan itu ke luar
melawan orang lain daripada ke dalam melawan diri
sendiri. Karena ngeri pada keadaan dunia dan cara hidup
orang lain, kita mungkin dipenuhi perasaan bahwa kita
benar (jika bukan pembenaran diri). Namun bukannya
mengajak orang lain menuju hidup baru dengan menarik
hatinya, kita hanya memisahkan diri dari mereka,
membuat jarak. Padahal, pertarungan itu seharusnya
terlaksana dalam hati kita dulu.
     Tentang ini seorang pelayan umat, Glenn Swinger,
baru-baru ini menulis kepadaku:
58     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

          Setelah mengalami pertobatan, saya dibaptis pada
     pertengahan usia empat puluhan. Saya mengakui setiap
     dosa yang saya ingat, memperbaiki hubungan yang salah
     dengan orang lain dan berusaha melihat betapa dalam
     saya telah menentang Allah. Saya merasa mendapat
     pengampunan, yang membawa kegembiraan dan
     perdamaian. Tetapi ayah Anda, yang membaptis saya,
     berkata “Sekarang pertarungan yang sesungguhnya
     dimulai.” Saya pada waktu itu tidak benar-benar
     mengerti masalahnya, tetapi saya berkata pada diri saya
     sendiri agar waspada.
          Sedikit demi sedikit ternyata kembali lagi pada
     cara hidup saya yang lama, dan berangsur-angsur setan
     kecil kesombongan, iri hati dan kecemburuan masuk
     lagi dalam hidup saya. Memang, pengalaman baptis
     mengubah diri saya, saya tidak menyangkal. Namun
     saya belum mengalahkan diri saya sendiri. Diri saya
     sendiri masih merupakan pusat dari semua pengalaman
     batin saya. Saya menghayati kehidupan yang hebat
     dengan kekuatan saya sendiri, dengan kemampuan
     saya sendiri. Saya tidak “berjaga dan berdoa” sehingga
     pencobaan masuk ke dalam hati saya.... Akhirnya cinta
     pertama saya dengan Kristus berantakan.
          Kemudian muncullah sikap munafik, dan saya
     mengalami sakitnya tuntutan keadilan. Saya diminta
     lengser dari tugas saya sebagai pelayan jemaat dan
     pengajar. Saya meninggalkan Bruderhof selama empat
     bulan, dan selama itu saya dapat melihat dosa-dosa saya
     dan menyesalinya. Setelah pulang kembali dan
     menerima maaf dari saudara-saudara yang tempo hari
     saya tinggalkan, saya mendapatkan kebebasan baru,
     cinta dan perdamaian.
          Perjuangan masih timbul setiap hari, tetapi selama
     beberapa tahun saya belajar sesuatu dari 1 Kor 13:13;
     “demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman,
     pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya
Berbagai Paradoks          59

     adalah kasih.” Saya tak dapat mengadili atau memandang
     rendah orang lain, bagaimana pun keadaannya. Orang
     yang kaya membuat jarak antara dirinya dan Lazarus,
     dalam kehidupan selanjutnya kedudukan mereka
     dibalik.30 Ada dua kekuatan dasar yang bekerja dalam
     diri kita, baik dan jahat, dan dalam pertarungan di antara
     keduanya kita diadili dan berkali-kali memperoleh
     pengampunan. Di dalam pertarungan yang terus
     berlangsung inilah kita mengalami damai sejati.
     Pengamatan Glenn Swinger sangat menentukan
pemahaman atas paradoks. “Aku datang ke dunia bukan
membawa damai, tetapi pedang”, karena menyentuh
maknanya yang paling dalam. Pedang Kristus adalah
kebenaran, dan kita harus membiarkannya memotong
tandas dan berulang kali kapan saja dosa bertumbuh
dalam hidup kita, menegarkan diri dan melindungi diri
kita terhadap pedang itu berarti menutup diri kita pada
kerahiman dan kasih Allah.




30
     Luk 16:19-31
60     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


            Kekerasan Kasih

D     amai sejati memerlukan senjata, dan juga
      mengucurkan darah, tetapi bukan dalam makna
yang sekadar kita bayangkan. Kristus melarang kita
menggunakan kekerasan terhadap orang lain, namun
ia jelas meminta kita sedia menderita di tangan orang
lain. Dia sendiri “memberikan perdamaian kepada kita
melalui darahnya,”31 seperti dikatakan dalam Perjanjian
Baru, dan selama berabad-abad pria dan wanita
mengikuti teladanNya, dan bersedia mengorbankan
dirinya demi iman mereka.
     Pentingnya kematian seseorang demi iman mungkin
merupakan suatu hal yang paling sulit dijelaskan.
Kebanyakan dari kita gemetar ngeri membayangkan
pemandangan orang yang dibakar, ditenggelamkan, dan
dibelah. Namun para saksi mata berulang kali menulis
tentang damai yang diperlihatkan oleh para martir itu
pada saat-saat terakhir mereka.
     Buku The Chronicle of The Hutterian Brethren, suatu
sejarah era Reformasi yang memuat catatan tentang
banyak martir, menggambarkan orang- orang yang
menyongsong kematian mereka sambil menyanyi gembira.
Seorang di antaranya, Conrad, anak muda yang akan
dihukum mati, tetap tenang dan begitu mantap sehingga
orang-orang yang menonton berharap tak ingin bertemu
dia lagi, anak muda itu membuat mereka resah.
     Bagi kebanyakan orang kematian sepertinya tak
akan berakhir. Kita tidak lagi diminta mempertahankan
31
     Lih Kol 1:20
Berbagai Paradoks         61

iman kita dengan kata-kata, dan gambaran menderita
secara fisik demi iman kelihatannya sangat berlebihan.
Bersamaan dengan itu tidaklah dirasakan menyakitkan
lagi untuk mempertimbangkan iman bagi mereka yang
telah siap menderita demi keyakinan-keyakinan mereka,
juga bagi kita sendiri jika kita telah siap melakukan
hal yang sama. Setiap orang bisa mengendalikan
emosinya dan dapat tetap berdiri teguh menghadapi
kesulitan-kesulitan setiap hari. Namun supaya tetap
damai menghadapi perjuangan keras termasuk
menghadapi kematian, diperlukan lebih dari sekadar
maksud baik. Di suatu tempat pasti ada cadangan
kekuatan yang sangat besar.
     Uskup Agung dari El Salvador Oscar Romero
menyentuh rahasia damai ini ketika ia berpidato, tak
lama sebelum ia mati tentang pentingnya “menerima
kekerasan cinta.” Romero dibunuh pada tahun 198032
karena lantang membela kaum miskin.
          Kekerasan cinta ... membiarkan Kristus tergantung
     pada salib; kekerasan itulah yang harus kita lakukan
     pada diri kita sendiri untuk mengatasi egoisme kita dan
     ketidakadilan yang kejam di antara kita. Kekerasan
     itu bukan kekerasan pedang atau kekerasan kebencian.
     Itu adalah kekerasan persaudaraan, kekerasan yang
     melebur persenjataan menjadi hal yang tidak
     menyakitkan demi karya perdamaian.

32
     Oscar Romero adalah Uskup Agung San Salvador . Lahir 1917.
     Ditahbis menjadi imam tahun 1942. Pada tahun 1966 menjadi rektor
     Seminari Tinggi Interdiosesan Salvador. Tahun 1975 menjadi Uskup
     Santiago. Menjadi Uskup Agung San Salvador 1977. Ia
     memperjuangkan hak asasi manusia dan menentang ketidak adilan
     dan membela kaum miskin. Untuk itu ia memajukan Teologi
     Pembebasan. Pada 1980 ia ditembak sesudah homili dan meninggal.
     Tahun 1997 ia dicalonkan menjadi orang kudus.
62     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     Demikianlah cinta Kristus merupakan daya bagi
kebenaran dan kekudusan, yang melawan hingga
mendasar semua yang tidak suci dan bertentangan dengan
kebenaran. Kasih semacam itu jelas sangat berbeda dengan
yang diajarkan pengarang Marianne Williamson dari aliran
New Age yang populer, yang menyatakan bahwa untuk
memperoleh damai, yang perlu kita lakukan adalah
mengasihi diri kita sebagaimana adanya dan “menerima
Kristus yang telah ada dalam diri kita.”
     Tidak mengherankan bahwa banyak orang menyukai
khotbah Marianne. Kita tahu bahwa setiap orang
Kristiani harus memanggul salibnya sendiri, tetapi kita
tidak ingin membahas soal itu. Kita lebih menyukai
religiositas gereja modern yang hangat bersahabat dan
suka cita yang dijanjikan para malaikat di Betlehem33
daripada kedamaian yang telah dimenangkan Yesus
dengan susah payah di Golgotha. Kita mengakui hasil
karya Yesus ketika Ia mati - “Bapa, ke dalam tanganMu
kuserahkan jiwaKu” 34, tetapi melupakan sakratulmaut
yang dialamiNya di taman Getsemani pada malam yang
panjang dan sepi sebelumnya 35. Kita lebih menyukai
kebangkitan tanpa penyaliban.
     Belakangan ini suatu ayat dalam Kitab Yeremia
menyentuhku: “Bukankah kata-kataku seperti api,
seperti palu yang memukul hancur batu karang?”36 Tuhan
hanya bermaksud menggambarkan kerasnya hati manusia.
Biasanya kita menggambarkan kekerasan hati itu pada
wujud orang terpidana: pembunuhan, pemerkosaan,
33
     Luk 2:14
34
     Luk 23:46
35
     Mat 26:36-46 par
36
     Yer 23:29
Berbagai Paradoks    63

pezinah, pencuri. Tetapi dalam perjumpaan rohani dengan
penghuni penjara aku mendapatkan betapa penjahat yang
paling keji sekalipun punya hati yang lembut, karena ia
sangat sadar akan dosa-dosanya. Betapa ingin aku
mengatakan hal seperti itu pada orang-orang lain yang
kulayani – orang “baik-baik” yang penuh dengan ego dan
citra diri yang dibangun dengan cermat. Sebab mungkin
justru hati yang paling keras adalah hati mereka yang
tertimbun oleh hal-hal semacam itu.
     Sekalipun kita sadar akan kekurangan-kekurangan
dan perjuangan kita, seringkali kita menolak kekerasan
cinta. Kita mencari damai sejati dan abadi dan tahu
bahwa damai itu menuntut pengorbanan dari kita, tapi
dengan cepat kita menawar pengorbanan itu sekecil-
kecilnya. Seorang anak muda dalam jemaatku suatu
ketika berkata, “Saya berjuang terus untuk mendapatkan
kedamaian, tetapi kemudian saya bertanya pada diri saya
sendiri, ‘untuk apa kamu bersusah payah seperti itu?
Apakah sungguh ada gunanya?’ Tentu saja aku tak dapat
memberikan suatu jawaban bagi dirinya. Tetapi ketika
mengenangkan hal itu aku dapat kembali mengajukan
pertanyaan kepadanya: jika damai tidak berharga bagimu,
bagaimana mungkin kamu berusaha mencarinya?
     Walaupun kedengaran aneh, mereka yang paling
yakin bahwa mereka tidak mempunyai kedamaian
kadang-kadang berada sangat dekat untuk mendapatkan
kedamian itu. Robert (nama samaran) adalah seorang
terpidana di suatu penjara negara. Ia melakukan
kejahatan yang mengerikan dan berulangkali ia tersiksa
oleh kenangan tentang apa yang telah dilakukannya
sehingga ia merasa tak tahan hidup sehari lagi. Kadang-
kadang, situasi seperti itu membuatnya merasa damai.
Dalam sepucuk suratnya ia menulis:
64     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

          Anda bertanya apakah saya dapat menulis
     sesuatu tentang damai, damai Tuhan. Saya ingin
     mendapatkannya, tapi saya merasa tidak layak.
     Perasaan bahwa saya tidak layak itu adalah karena
     saya rasa damai yang Anda bicarakan itu justru berada
     di luar seluruh hidup saya.
           Saya mencari damai dalam banyak cara melalui
     para wanita, nenek saya, melalui prestasi, melalui
     narkotika, dan kadang-kadang melalui kekerasaan dan
     kebencian; melalui seks, perkawinan, anak-anak, uang
     dan harta. Saya tak memperoleh damai dari semua hal
     itu. Namun sungguh aneh. Walaupun saya tak pernah
     mengalami kedamaian, tetapi saya mengenalnya dan
     saya tahu rasanya. Saya melukiskannya sebagai
     kemampuan untuk bernapas dan tidur. Sepanjang hidup
     saya (dan masih sering saya alami) saya merasa tercekik
     atau tenggelam sehingga saya harus terus berjuang
     untuk bisa bernapas dan beristirahat.
           Saya merindukan damai semacam itu. Saya tahu …
     bahwa satu-satunya jalan untuk mendapatkan damai
     seperti itu adalah melalui Kristus, namun damai itu tetap
     menolak saya. Saya tidak mengalami damai karena apa
     yang telah saya lakukan dan apa yang dialami orang lain
     karena tindakan saya itu. Saya menyesal, sungguh.
           Saya mohon untuk mendapat kesempatan kedua,
     di luar penjara dari baja dan beton buatan manusia, dan
     di luar penjara dosa dari setan. Saya tahu bahwa Tuhanlah
     yang dapat memberikan hal itu dan di situlah kutaruh
     iman dan harapanku.
           Jika Tuhan akhirnya menjawab doa saya setelah
     semua derita, kegelisahan dan usaha saya ini, niscaya
     saya akan merasakan kedamaian. Begitu pula saya merasa
     damai karena tahu bahwa ada orang yang mengasihi
     saya begaimana pun saya ini dan apa pun yang telah
Berbagai Paradoks        65

     saya lakukan dan memberi ampunan agar saya
     memperoleh kesempatan kedua itu….
     Nada surat yang ditulis Robert serasa tak punya
harapan, tetapi aku (dan teman-teman lain yang
berkunjung kepadanya) memerhatikan perubahan yang
pasti pada dirinya sejak ditangkap tiga tahun sebelumnya.
Bukan karena dia telah mencapai “pencerahan” dan
mantap; sejujurnya tak seorang pun bisa mengatakan
bahwa Robert memperoleh kedamaian itu. Tapi Robert
sangat lapar akan kedamaian itu. Dan karena ia akan
berjuang keras melalui penyesalan yang sesungguhnya, ia
mungkin lebih dekat dengan Tuhan daripada kami semua.
     Dalam suatu paragraf tentang damai dalam sebuah
naskah Hindu kuno, Bhagawad Gita37, dikatakan: Bahkan
para pembunuh dan pemerkosa ... dan kaum fanatik yang
paling kejam sekalipun dapat mengenal penebusan melalui
kekuatan cinta, jika saja mereka bersedia menerima
rahmatnya, yang sekalipun pahit namun menyembuhkan.
Melalui transformasi yang menyakitkan mereka akan
memperoleh kebebasan, dan hati mereka akan menemukan
kedamaian.” Dan di dalam surat Kepada Orang Ibrani kita
baca, “Memang didikan dan ajaran pada waktu diberikan
tidak mendatangkan suka cita, tetapi duka cita. Tetapi
kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang
memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.”38
Robert mungkin tidak mengenal kedua naskah itu. Tetapi
di dalam usaha perjuangannya, ia mengalami kebenaran
dari keduanya. Ia menghayati kekerasan cinta.
37
     Bhagavad Gita adalah naskah dari abad ke-3 Seb.M yang merupakan
     petikan dari Mahabaratha, episode Bhisma Parwa, berisi
     pembicaraan antara Krisna dan Arjuna mengenai tugas seorang
     senapati perang dan Pangeran ketika Arjuna ragu melawan
     kakeknya sendiri, Bhisma dalam perang.
38
     Ibr 12:11
66     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?


             Tak Ada Hidup
                    Tanpa Kematian


S   ewaktu mengerjakan buku ini, dua perkataan Yesus
    dalam Injil Yohanes secara khusus memperdalam
pemahamanku tentang damai: “jikalau biji gandum
tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji
saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak
buah.” Dan “barang siapa (demi Aku) tidak mencintai
nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk
hidup yang kekal.”39
     Begitu pula tak ada perdamaian abadi tanpa
perjuangan, sebagaimana tak ada hidup sejati tanpa
kematian. Karena kita tidak berhadapan dengan ancaman
maut, kita tak dapat memahami fakta yang penting ini.
Kita lupa bahwa untuk memahami damai Yesus, kita
pertama-tama harus memahami penderitaanNya.
Kesediaan untuk menderita memang penting, tetapi tidak
memadai. Penderitaan itu juga harus dialami. Sebagaimana
pernah dituliskan oleh ayahku: “Mengalami, biarpun
sedikit, cita–rasa yang dipersembahkan ‘demi Tuhan’ sangat
menentukan bagi hidup rohani kita.”
     Bagi kebanyakan dari kita, cita rasa yang
dipersembahkan “demi Tuhan” mungkin tampak negatif
dan tak berhubungan dengan damai. Sebab hal itu terkait
dengan duka cita, bukan suka cita; penderitaan, bukan
kebahagiaan; pengorbanan diri, bukan pemeliharaan diri.
Hal itu berkaitan dengan kesepian, penyangkalan,

39
     Yoh 12:24-25
Berbagai Paradoks         67

pengasingan dan rasa takut. Namun jika kita mau
menyadari artinya kehidupan, kita harus dapat
menemukan makna itu dari semua hal ini! Penderitaan,
seperti dikatakan oleh psikiater terkenal Viktor Frankl
“tak dapat dihapus dari paket kehidupan. Tanpa
penderitaan, hidup manusia tidak sempurna.”
    Banyak orang berusaha menghabiskan waktunya
menghindari kebenaran ini; mereka adalah orang-
orang yang paling bahagia di dunia ini. Yang lain
memperoleh damai dan kepunahan dengan menerima
hal ini. Mary Poplin, seorang Amerika yang tinggal
bersama para Misionaris Suster-suster Cinta Kasih di
Kalkuta pada 1996, berkata:
         Para misionaris memandang pencobaan dan
    hinaan sebagai saat untuk memeriksa diri, untuk
    membangun kerendahan hati dan kesabaran untuk
    mencintai musuh – itulah kesempatan-kesempatan
    untuk bertambah kudus. Bahkan penyakit pun sering
    ditafsirkan sebagai cara untuk mendekatkan diri pada
    Tuhan, cara Tuhan mewahyukan diri dengan lebih jelas,
    dan peluang untuk merenungkan masalah-masalah
    karakter dengan lebih mendalam lagi.
         Kita telah membuang banyak waktu dalam hidup
    kita dalam usaha untuk memperingan dan
    menghindari penderitaan, dan ketika penderitaan itu
    datang, kita tak tahu harus berbuat apa. Kita bahkan
    tidak mengerti bagaimana menolong orang lain yang
    menderita. Kita melawan penderitaan, melemparkan
    kesalahan kepada perorangan dan sistem sosial serta
    berusaha melindungi diri sendiri. Jarang di antara kita
    menganggap penderitaan sebagai karunia dari Allah,
    yang memanggil kita untuk menjadi lebih suci.
         Sementara kita sering berkata bahwa krisis dan masa
    penderitaan membangun karakter, kita justru menghindar
    dari keduanya sejauh mungkin dan berusaha terus
68     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     menciptakan berbagai teknik untuk memberikan
     kompensasi demi menekan atau mengatasi penderitaan.
     Banyak bacaan sekuler kita menunjukkan bahwa ibu Teresa
     dan para misionaris secara psikologis cacat, karena menerima
     penderitaan dan rasa sakit. Setelah bekerja bersama mereka,
     aku kira pandangan sekuler itu meleset jauh sekali dari
     kebenaran. Kita orang Amerika jarang sekali memikul
     tanggungjawab atas penderitaan kita sendiri. Dan tanpa
     memandang situasi, setiap kita adalah yang paling miskin
     dalam hal pilihan untuk menanggapi penderitaan.
           Bagi para misionaris itu, penderitaan bukan hanya
     suatu pengalaman fisik, tetapi juga suatu penjumpaan
     spiritual yang mendorong mereka untuk mempelajari
     tanggapan-tanggapan baru, untuk mengusahakan
     pengampunan, untuk berpaling kepada Allah, untuk
     bertindak seperti Kristus, dan untuk bersyukur karena
     penderitaan memberikan hasil yang baik pada diri
     mereka. Dan akhirnya penderitaan itu membuat
     mereka melakukan tindakan.
    Begitu pula kesaksian orang seperti Philip Berrigan40,
yang tidak hanya menerima derita di dalam kehidupan
mereka, tetapi juga merangkulnya. Philip tahu lebih
banyak tentang makna kehilangan nyawa “demi Aku”
daripada kebanyakan orang Kristiani sekarang. Baginya
menjawab panggilan Kristus untuk hidup sebagai murid-
Nya berarti penganiayaan dari penjara di masa yang satu
ke penjara yang lain di masa lainnya pula. Pada tahun
1960-an, Daniel, saudaranya juga ditangkap karena
memprotes Perang Vietnam dan selama sebelas tahun
meringkuk dalam penjara.
    Musim gugur yang lalu aku mengunjungi Philip di
suatu penjara di kota Maine di mana ia ditahan karena
pembangkangan sipil. Beberapa minggu kemudian ia
40
     Lih. Catatan kaki no. 7
Berbagai Paradoks         69

dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Dua tahun lagi ia
harus berpisah dengan istrinya, Elizabeth McAlister dan
ketiga anak mereka. Ini bukan yang pertama kali mereka
berpisah. Tapi baik Phillip maupun Elizabeth tidak kecil
hati. Dalam sepucuk surat yang ditulis Elizabeth
untuknya, Elizabeth merenungkan dasar perjuangan
perdamaian mereka, yang sering salah dimengerti dan
dikritik karena terlalu dipolitisir, dengan menunjukkan
optimismenya dan iman yang tak pernah padam.
          Sungguh tidak adil – pada umur tujuh puluh tiga
    tahun kamu untuk kesekian kalinya masuk penjara demi
    keadilan dan demi perdamaian. Dan kamu
    mendapatkannya tanpa melalui pengadilan. Tapi apalagi
    yang kita harapkan jika jutaan orang lainnya juga
    dipenjara di seluruh dunia, dan banyak di antara mereka
    itu disiksa, kelaparan, hilang, keluarga mereka diancam?
          Sungguh tidak adil – kita tidak dapat menikmati
    rumah yang kita bangun bersama; mengagumi mawar
    yang kita tanam sedang mekar bunganya; makan buah
    yang kamu rawat; membanggakan anak-anak yang kita
    besarkan. Tapi apa lagi yang kita harapkan, jika jutaan
    orang lainnya tak punya rumah, jutaan orang menjadi
    pengungsi karena perang, mengalami wabah kelaparan
    dan penindasan – jiwa mereka telah kusut karena penat
    dan takut melihat keindahan di sekeliling mereka;
    harapan dan hati mereka hancur luluh karena anak-
    anak mereka mati setiap harinya...?
          Sungguh tidak adil – kita tak dapat menghadiri
    bersama wisuda Frida dan Jerrry. Mereka merindukan
    dirimu di samping mereka untuk ikut ambil bagian
    dalam kebanggaan, prestasi dan awal yang baru bagi
    mereka. Mereka ingin mendengarkan kata-kata
    kebijaksanaanmu, kehangatan hatimu, kehadiranmu
    dalam tahap baru kehidupan mereka. Namun apa
    lagi yang bisa kita harapkan jika ada begitu banyak
70     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     anak-anak dalam kolese, suatu keluarga yang
     menyayangi, suatu komunitas yang peduli, namun
     bukan lagi merupakan buah impian, sebaliknya
     menjadi k orban-korban kelembagaan yang
     mengharapkan mereka asal lulus saja, korban-korban
     dari sikap melalaikan masa depan yang merupakan
     warisan masyarakat untuk mereka?
           Sungguh tidak adil – kita tidak dapat bersama-sama
     mengantar Kate menjelang kelulusan Sekolah
     Menengah Atas dan menjadi seorang wanita muda….
           Sungguh tidak adil – komunitas yang selama
     bertahun-tahun kamu abdi dalam membangun dan
     membangun ulang tak lagi kamu dampingi, doa,
     karya, impian, dan tawa yang tertuang dari karunia,
     visi dan rahmat yang khusus diberikan padamu. Tapi
     apalah yang kita harapkan jika komunitas seperti itu
     dicurigai, diancam, digerogoti, ketika pemberangusan
     nyaris tuntas, ketika rakyat dijadikan pengecut,
     dapat dibeli, dicerai-beraikan dan dijadikan
     pelaksana kepunahan mereka sendiri?
     Rasa damai dan teguh pendirian yang mengalir dari
orang-orang seperti Philip dan Elizabeth tidak dihargai
dan juga tidak dipahami dalam masyarakat kita. Cita rasa
itu adalah buah dari kemerdekaan Kristus yang paradoks,
yang berkata: “Tak seorang pun dapat mengambil
hidupKu, namun Aku menyerahkannya atas keinginanKu
sendiri. Aku berkuasa untuk mengambilnya kembali.”
     Bagi Philip, pengorbanan berpisah dari orang-orang
yang disayanginya merupakan bagian dari kematian yang
harus diderita, palang halang di jalan menuju
perdamaian. Yang didapatnya bukanlah damai yang
diberikan dunia, namun seperti tulisannya dari penjara
pada bulan September 1997, ia memandang damai yang
lebih besar dan lebih dalam:
Berbagai Paradoks         71

          Adalah damai ketika tak ada lagi dominasi, di
    mana ketidak-adilan dibongkar, ketika kekerasan
    telah menjadi sisa masa lalu, ketika pedang telah
    hilang dan mata–bajak banyak tersedia. Adalah
    damai ketika semua orang diperlakukan sebagai
    saudara, lelaki dan perempuan, dengan penghargaan
    dan martabat, ketika setiap kehidupan dianggap suci,
    dan di mana ada masa depan bagi anak-anak. Dunia
    seperti itulah yang untuk membantu perwujudannya
    Allah berkenan memanggil kita.
          Di negeri kita untuk menanggapi panggilan seperti
    itu bisa berarti masuk penjara, mempertaruhkan reputasi,
    pekerjaan, penghasilan, atau bahkan dirampok oleh
    keluarga dan teman sendiri. Namun dalam suatu negara
    kriminal yang setiap hari menyiapkan bencana nuklir,
    tantangan itu sungguh-sungguh berarti kemerdekaan,
    komunitas teman dan kerabat yang baru. Sesungguhnya,
    artinya adalah kebangkitan.
     Bagi kebanyakan dari kita proses kematian yang
harus kita tempuh untuk dapat berbuah benar-benar biasa
saja. Kita tidak berhadapan dengan regu tembak (seperti
gambaran Dostoevsky) atau pengadilan federal (seperti
Philip Berrigan dan saudaranya), sebab yang kita dapat
hanyalah sedikit lebih sulit dari persoalan hidup sehari-
hari saja: soal mengatasi kesombongan, berteriak kepada
seseorang yang berbuat salah, meredam kebencian,
mendiamkan anggota keluarga atau rekan yang marah
atau frustrasi. Tidak ada sesuatu yang heroik dalam
memilih melakukan hal-hal ini.
     Namun “jika benih tidak jatuh di tanah” kita tak
akan pernah menemukan damai sejati atau pun dapat
menyampaikannya kepada orang lain.
     Laurel Arnold, jemaat gerejaku yang kukenal sejak
akhir 1950-an berkata:
72     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

           Bila aku merenungkan kata-kata Yesus dalam Injil
     Yohanes 14:27 “Damai sejahtera-Ku Kuberikan
     kepadamu, dan yang Kuberikan tidak seperti yang
     diberikan oleh dunia kepadamu,” – aku teringat betapa
     sering ayat ini dibacakan pada upacara pemakaman,
     namun tetap berada di luar diriku.
           Aku dibesarkan di suatu lingkungan yang terlindung
     dan tersendiri agar menjadi wanita yang benar, saleh dan
     kritis. Aku ingin menjadi seorang ternama, mungkin
     seorang penulis yang terkenal, dan aku bekerja keras dan
     dihargai di universitas. Aku ingin populer, namun aku
     mengadili teman-teman yang juga ingin dikenal. Aku
     sangat idealistis dan mencintai aliran pacifisme, tapi aku
     benar-benar orang kulit putih kelas menengah yang buta
     terhadap ketidak-adilan sosial dan permainan politik.
           Selama perang aku mengajar di New York City,
     sementara Paul, suamiku, menjadi pelaut. Setelah
     perang, kami tergugah melihat realitas kehidupan orang
     lain. Paul telah menyaksikan kerusakan yang
     mengerikan di kota-kota yang terkena bom di Eropa;
     aku tersandung orang-orang yang mabuk di jalanan dan
     aku peduli pada anak-anak yang tak pernah bermain di
     rerumputan. Kami kira kami dapat membantu seorang
     pecandu alkohol dan merengkuhnya dalam keluarga
     kami, tapi ia kabur mencuri uang dari toko kami.
           Kami menawarkan diri kepada majelis gereja kami
     untuk menjadi misionaris dan dikirim ke Afrika. Walaupun
     kemudian kami meninggalkan bidang misi, kami makin
     terlibat dalam kegiatan gereja. Namun kami tidak
     menemukan hubungan dari hati ke hati yang kami cari,
     karena semua kegiatan bersifat dangkal dan gosip belaka.
     Kami ingin menghayati kehidupan yang mengikuti Yesus
     setiap hari, bukan hanya pada hari Minggu saja.
           Kemudian, kami tertarik pada cita- cita
     persaudaraan, dan kami mulai mempelajari berbagai
     persoalan dan bidang-bidang kehidupan yang belum
Berbagai Paradoks          73

terpikir oleh kami sebelumnya: materialisme, rumah
pribadi, sebab-sebab perang. Pada 1960 kami
bergabung dengan Bruderhof.... Adalah mudah untuk
menyerahkan rumah, mobil dan penghimpunan harta
bersama; kami bisa mengerti. Namun kesukaan kami
menyampaikan pendapat, cara-cara berprinsip untuk
menanggapi berbagai hal, pertimbangan berdasarkan
kebenaran pribadi; sikap seperti bos, dan keyakinan
diri yang menggilas orang lain, semua itu masih sulit
untuk dikorbankan. Untuk masa yang panjang aku
berusaha agar tidak bertindak menurut aturan,
melainkan supaya lebih dibimbing oleh Roh; berusaha
agar tidak mencari citra diri “baik” atau ramah, dan
lebih bersikap tulus dan jujur. Sulit!
      Tentu saja ada suka duka yang seimbang dan
kesetiaan pada Tuhan selama itu, berusaha
menimbang-nimbang, mendapatkan ampunan dan
kesempatan untuk permulaan yang baru. Aku masih
tak suka dianggap salah – tak ada orang yang suka –
tapi aku mendapatkan rahmat, kasih dalam kerahiman
Allah. Pada usia tujuh puluh empat, tak ada waktu
untuk rileks dan bermalas-malasan. Ada begitu
banyak hal yang masih perlu kupelajari, begitu banyak
yang harus ditanggapi....
      Ada orang yang di dalam doa bersyukur kepada
Allah karena telah menjadi putraNya. Aku tidak seyakin
itu. Apakah aku sungguh-sungguh siap mati? Yang pasti
aku tidak hidup “dengan tenang”, seperti dalam lagu yang
kita nyanyikan “Peace I ask of Thee, O River.” Ada
kegelisahan dan kerinduan tertentu pada diriku. Kukira
kita semua merupakan bagian dari makhluk yang
mengeluh yang disebut dalam Surat untuk Jemaat Roma
8. Walau kulihat diriku sendiri mudah goyah, sedang Allah
begitu setia sepanjang hidupku, di sanalah kudapatkan
iman dan kedamaianku.
74     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

     Tidak ada yang istimewa dalam cerita Laurel itu. Namun
perjuangannya yang biasa-biasa saja – tugas umum sepanjang
hayat untuk belajar hidup dalam damai dengan Tuhan,
dengan tetangga, dan diri sendiri – tidaklah kalah penting
dibanding kemartiran yang heroik. Kakekku menulis:
          Sejauh terkait dengan umat manusia seluruhnya,
     hanya satu hal yang berharga bagi Kerajaan Allah:
     Kesediaan kita untuk mati. Namun kesediaan ini perlu
     dibuktikan dalam hal-hal yang remeh-remeh dalam hidup
     sehari-hari, sehingga kita dapat memperlihatkan
     keberanian dalam masa-masa yang kritis dalam sejarah.
     Maka kita harus sepenuhnya mengatasi sikap dan perasaan
     yang kecil-kecil, supaya dapat menyerahkan cara pribadi
     kita seluruhnya dalam menanggapi hal-hal, yaitu rasa
     takut, khawatir dan kegelisahan batin kita – pendeknya,
     ketidakpercayaan kita. Sebaliknya, kita memerlukan
     iman. Iman yang walaupun sebesar biji sesawi, namun punya
     peluang untuk tumbuh menjadi besar.
          Itulah yang kita perlukan, tak kurang, tak lebih.
Berbagai Paradoks     75


              Kebijaksanaan
                    Orang Bodoh


D     alam suratnya yang pertama kepada Jemaat di
      Korintus, Rasul Paulus menulis, “Janganlah ada orang
yang menipu dirinya sendiri. Jika ada di antara kamu yang
menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini biarlah
ia menjadi bodoh supaya ia berhikmat. Karena hikmat
dunia ini adalah kebodohan bagi Allah.41 “Kebijaksanaan
orang bodoh (dan kebodohan orang bijak) tampaknya tidak
berkaitan dengan damai yang diberikan dunia ini, maka
damai itu tidak dapat ditemukan oleh mereka yang
mengikuti kebijaksanaan dunia, oleh mereka yang
merangkul kebodohan di mata Allah.
     Secara praktis, kebodohan ini sering disepelekan atau
dilupakan. Cerita tentang Fransiskus Asisi bisa dijadikan
contoh. Hingga sekarang Fransiskus Asisi sangat dikenal
sebagai biarawan yang lembut hati, yang membuat nyanyian
untuk matahari dan berdamai dengan binatang dan burung-
burung. Namun Santo Fransiskus bukanlah penyair yang
lembek. Dengan semangatnya yang meluap-luap, dia
menjadikan dirinya sama dengan orang miskin dengan
membagi-bagikan bukan hanya semua warisan yang
diterimanya, tetapi juga baju yang disandangnya. Wasiat
terakhirnya luar biasa kritis terhadap kekayaan dan lembaga
keagamaan, sehingga surat itu disita dan dibakar sebelum
ia sendiri akhirnya dinyatakan sebagai orang suci. Dan
beberapa kata yang ditinggalkannya bagi kita

41
     1Kor 3:18-19
76     Kedamaian, di Manakah Kau Berada?

mengungkapkan semangat yang niscaya menantang kita,
setiap kali kita membacanya – sekalipun karena sering
diucapkan lalu terasa usang:
     Tuhan, jadikan aku pembawa damai
     Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa kasih;
     Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa ampunan;
     Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa iman;
     Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan;
     Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku terang;
     Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan.
     O Guru Ilahi,
     Buatlah diriku agar lebih berusaha:
     Menghibur, daripada dihibur;
     Memahami, daripada dipahami;
     Mencintai, daripada dicintai.
     Sebab dengan memberi aku menerima;
     Dengan mengampuni aku diampuni;
     Dan dengan mati aku bangkit lagi
     Untuk hidup abadi.
     Mereka yang merinding mendengar jawaban religius
seperti yang diberikan Santo Fransiskus tujuh abad yang
lalu, sepertinya sekarang malah akan diolok-olok orang.
Seperti Santo Fransiskus, mereka mungkin juga tahu
bahwa jalan menuju perdamaian abadi menuntut kesediaan
untuk tidak dipahami dan salah dimengerti orang.
     Dalam bukuku tentang kematian dan proses menuju
kematian, I Tell You A Mystery, aku menceritakan kisah
bibiku Edith yang menukarkan gaya hidup yang nyaman
sebagai mahasiswa Teologi di Universitas Tubingen
dengan hidup miskin di Bruderhof. Kebodohan Edith
(sementara Hitler berkuasa, dan komunitas kami
dianggap sebagai ancaman bagi negara) membuat orang
tuanya marah sehingga mereka mengurungnya di kamar
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01
Kedamaian 1250301025-phpapp01

More Related Content

Viewers also liked

Teknikmenjualproduk
Teknikmenjualproduk Teknikmenjualproduk
Teknikmenjualproduk supoyono
 
Slideawal 090526034205-phpapp02
Slideawal 090526034205-phpapp02Slideawal 090526034205-phpapp02
Slideawal 090526034205-phpapp02supoyono
 
Sukses buanget deh bener
Sukses buanget deh benerSukses buanget deh bener
Sukses buanget deh benersupoyono
 
Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01
Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01
Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01supoyono
 
Thesecret
Thesecret Thesecret
Thesecret supoyono
 
Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4
Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4
Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4supoyono
 
Modul7kab 101007021005-phpapp02
Modul7kab 101007021005-phpapp02Modul7kab 101007021005-phpapp02
Modul7kab 101007021005-phpapp02supoyono
 
Sztuka antyku
Sztuka antykuSztuka antyku
Sztuka antykuWiolaaa
 

Viewers also liked (9)

Teknikmenjualproduk
Teknikmenjualproduk Teknikmenjualproduk
Teknikmenjualproduk
 
Slideawal 090526034205-phpapp02
Slideawal 090526034205-phpapp02Slideawal 090526034205-phpapp02
Slideawal 090526034205-phpapp02
 
Sukses buanget deh bener
Sukses buanget deh benerSukses buanget deh bener
Sukses buanget deh bener
 
Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01
Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01
Pendidikananakmasadepan 090909205609-phpapp01
 
Thesecret
Thesecret Thesecret
Thesecret
 
Infancia
InfanciaInfancia
Infancia
 
Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4
Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4
Pola orang-miskin-vsorang-kaya-1204184978379399-4
 
Modul7kab 101007021005-phpapp02
Modul7kab 101007021005-phpapp02Modul7kab 101007021005-phpapp02
Modul7kab 101007021005-phpapp02
 
Sztuka antyku
Sztuka antykuSztuka antyku
Sztuka antyku
 

Kedamaian 1250301025-phpapp01

  • 1.
  • 2. 2 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  • 3. 3 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Catatan dan Pembicaraan Sepanjang Penziarahan Hidup Seeking Peace Notes and Conversations along the Way Johann Christoph Arnold Kata Pengantar oleh Madeleine L’Engle Pendahuluan oleh Thich Nat Hanh Penerbit DIOMA – Malang
  • 4. 4 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Seeking Peace Notes and Conversations along the Way DM 220048 Copyright terjemahan Indonesia ada pada Penerbit Dioma © 2008 PENERBIT DIOMA (Anggota IKAPI) Jl. Bromo 24 Malang 65112 Telp. (0341) 326370, 366228; Fax. (0341) 361895 E-mail: info@diomamedia.com Website: www.diomamedia.com Diterjemahkan dari buku ‘SEEKING PEACE NOTES AND CONVERSATIONS ALONG THE WAY’, by The Plough Publishing House of the Bruderhof Foundation, 1998 All rights reserved Published under agreement with The Plough Publishing House, Woodcrest Community, Rifton NY 12471, USA Darvell Community, Robertsbridge TN32 5DR, UK © 1998 by The Plough Publishing House of the Bruderhof Foundation Cetakan pertama, Januari 2009 Penerjemah: Bambang Kussriyanto Editor: L. Heru Susanto Pr Tata letak: Yosef Benny Widyokarsono Desain sampul: Ginanjar Pratama ISBN 10 : 979 - 26 - 0024 - 8 ISBN 13 : 978 - 979 - 26 - 0024 - 7 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Dicetak oleh Percetakan DIOMA Malang Isi di luar tanggung jawab Percetakan
  • 5. 5 P ikirkanlah sejenak makna kata “damai”. Tidakkah kelihatan aneh ketika para malaikat menggemakan damai, sementara dunia terus-menerus dilanda Perang dan ketakutan akan Perang? Tidakkah Anda menganggap suara-suara malaikat itu keliru, dan bahwa janji itu mengecewakan dan palsu? Ingatlah sekarang, bagaimana Tuhan kita sendiri bicara tentang damai. “Damai Kutinggalkan padamu, damai-Ku Kuberikan padamu,”1 kata-Nya kepada para murid-Nya. Apakah Tuhan memaknai damai itu seperti yang dipahami para murid-Nya. Apakah Tuhan memahami damai itu seperti yang kita pikirkan: Kerajaan Inggris berdamai dengan negara-negara tetangga, para buron penguasa daerah berdamai dengan Raja, kepala rumah tangga menghitung penghasilannya dengan tenteram, hatinya tenang, menyajikan anggur terbaik di meja kepada seorang sahabat, istrinya menyanyi untuk anak-anak? Para murid-Nya tidak mengenal keadaan seperti itu: mereka melakukan perjalanan sampai jauh, menderita di darat dan di laut, disiksa, dipenjarakan, dikecewakan, mengalami kematian sebagai martir. Lalu apa maksud Tuhan? Jika Anda bertanya demikian, ingatlah bahwa Dia juga berkata, “bukan seperti yang diberikan dunia ini, yang Kuberikan kepadamu.” Dengan demikian, Tuhan memberikan kepada para umat-Nya damai, tetapi bukan damai yang diberikan dunia. T.S Eliot Cuplikan dari: Pembunuhan di Katedral 1 Yoh.14:27
  • 6. 7 Ucapan Terimakasih B elasan orang membantu sampai buku ini selesai dicetak, tetapi aku ingin menyampaikan terimakasih khususnya kepada editorku Chris Zimmerman; sekretarisku: Emmy Maria Blough, Hanna Rimes dan Ellen Keiderling, dan seluruh staf dari Plough Publishing House. Terima kasih juga kepada mereka yang telah memberi izin kepadaku menggunakan anekdot dan surat-surat, dan mereka yang membantuku dengan berbagai cara mengerjakan buku ini: Mumia Abu- Jamal, Imam Muhammed Salem Agwa, Dale Aukerman, Daniel Berrigan, Philip Berrigan, Rabbi Kenneth L.Cohen, Tom
  • 7. 8 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Cornell, Pastor Benedict Groeschel, Thick Nath Hanh, Molley Kelly, Frances Kieffer, Suster Ann La Forest, Madeleine L ’Engle, Pendeta William Marvin, Elizabeth Mc Alister, Bill Peke. Uskup Samuel Ruiz Garcia, dan Assata Shakur – juga banyak anggota komunitasku, Bruderhof. Atas segalanya, terima kasih pada istriku - Verena. Tanpa dukungan dan semangat darinya, buku ini tak akan pernah bisa kutulis.
  • 8. 9 Daftar Isi Ucapan Terimakasih .............................................. 7 Kata Pengantar .................................................... 13 Pendahuluan ......................................................... 17 Bagian I Mengupayakan Damai .......................................... 21 Bagian II Berbagai Makna ................................................... 27
  • 9. 10 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Damai Karena Tak Ada Perang .................................. 30 Damai Dalam Kitab Suci ............................................ 33 Damai Sebagai Tujuan Sosial ...................................... 36 Damai Dalam Hidup Perorangan ................................ 39 Damai Tuhan ............................................................. 45 Damai yang Mengatasi Pemahaman ............................ 48 Bagian III Berbagai Paradoks ................................................. 51 Bukan Damai Tapi Pedang .......................................... 53 Kekerasan Kasih ........................................................ 60 Tak Ada Hidup Tanpa Kematian ................................. 66 Kebijaksanaan Orang Bodoh ....................................... 75 Kekuatan dari Kelemahan .......................................... 82 Bagian IV Berbagai Batu Pijakan .......................................... 91 Kesederhanaan .......................................................... 101 Kesunyian ................................................................. 107 Kepasrahan ................................................................ 115 Doa ........................................................................... 127 Percaya ...................................................................... 138 Pengampunan ............................................................ 149 Bersyukur .................................................................. 157 Ketulusan .................................................................. 166 Kerendahan Hati ....................................................... 175 Ketaatan .................................................................... 187 Keputusan ................................................................. 196 Penyesalan ................................................................. 205 Keyakinan ................................................................. 216 Realisme .................................................................... 226 Pelayanan .................................................................. 235
  • 10. Daftar Isi 11 Bagian V Hidup yang Berkelimpahan ................................... 245 Jaminan Keselamatan ................................................. 256 Kepenuhan ................................................................ 265 Kegembiraan .............................................................. 275 Tindakan ................................................................... 285 Keadilan .................................................................... 294 Harapan .................................................................... 304
  • 11. 13 Kata Pengantar Oleh: Madeleine L’Engle2 S halom. Damai. Suatu damai yang tidak pasif, tetapi aktif. Suatu damai yang bukan hanya karena berhentinya kekerasan, tetapi meliputi dan lebih dari mengatasi kekerasan. Damai sejati. 2 Madeleine L’Engle adalah seorang penulis novel dan buku rohani Amerika. Mendapat banyak gelar doktor kehormatan dari berbagai universitas, khususnya di bidang sastra dan yang terakhir doktor dalam teologi dari Berkeley Divinity School. Di masa tuanya ia mengisi waktu sebagai pustakawan pada Katedral (Gereja Episcopal) Santo Yohanes Suci di Manhattan. Lahir pada 1918 di New York City dan meninggal pada 6 September 2007 di Connecticut pada usia 88 tahun.
  • 12. 14 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Pada akhir suatu abad yang kita ketahui jauh dari damai, menyenangkan sekali membaca buku yang bagus dari Johann Christoph Arnold: Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Ia mengutip definisi kakeknya tentang damai: “damai rohani antara kita dengan Allah; tidak ada kekerasan sepenuhnya, melalui hubungan damai dengan sesama dan berlakunya tatanan sosial yang adil dan damai.” Namun setiap pagi jika aku mendengarkan berita, sepertinya kita makin jauh dan lebih jauh lagi dari ketiga ambang damai itu. Kita memerlukan buku ini untuk membimbing jalan kita menuju Shalom. Pada suatu sore di masa Puasa sepuluh tahun yang lalu, di Gereja Katedral Santo Yohanes Suci di Manhattan, aku mendengarkan Pastor Canon Edward West bicara tentang damai yang kita cari. Ia menggunakan perumpamaan yang tidak lazim tentang kereta bawah tanah. Kebanyakan dari kami yang hadir pada malam hari itu menumpang kereta bawah tanah untuk pergi ke Katedral dan untuk pergi dan pulang kerja. Ia menunjukkan kepada kami, jika kita lihat sesama penumpang kereta bawah tanah, kebanyakan dari mereka tampak seolah-olah tak dicintai seorang pun. Dan itu pada umumnya benar. Kemudian pastor melanjutkan, jika kita mau berkonsentrasi tanpa menyolok mata kepada seseorang di antara mereka, dan diam- diam kita menyatakan dengan yakin dalam hati bahwa dia itu anak yang dikasihi Allah, dan entah bagaimana keadaan di sekitarnya, dapat tinggal dalam damai Allah, mungkin kita akan melihat perbedaannya. Damai tidak selalu merupakan sesuatu yang Anda “buat”; damai adalah anugerah yang Anda sampaikan pada seseorang. Di kesempatan lain ketika aku menumpang kereta bawah tanah lagi, aku melirik seorang wanita di pojok yang bertopang dagu dengan tangan terkepal, wajahnya
  • 13. Kata Pengantar 15 menunjukkan ketegangan tanpa harapan. Tanpa melihat dia, aku mulai mencoba mengirimkan damai kasih Allah kepadanya. Aku tidak bergerak. Aku tidak memandang dia. Aku hanya mengikuti saran Pastor Canon West, dan aku heran karena wanita itu tampak berubah lebih santai. Kepalan tangannya dibuka; tubuhnya lebih lentur; garis-garis kecemasan hilang dari wajahnya. Saat itu adalah saat yang penuh syukur bagiku, dan aku sendiri merasa diliputi dan dipenuhi oleh kedamaian juga. Itulah yang kucoba kuingat bila aku menumpang kereta bawah tanah atau naik bus, atau berjalan di jalanan yang padat, atau berdiri antre di depan kasir supermarket. Jika damai Tuhan ada di hati kita, dan kita membawanya serta, kita dapat memberikannya kepada mereka yang ada di sekitar kita. Bukan karena keutamaan dan kemauan kita. Melainkan oleh Roh Kudus yang bekerja melalui kita. Kita tidak memberikan apa yang kita tak punya, tetapi jika Roh bertiup menembus awan kelabu, dan masuk ke hati kita, maka kita pun dapat dijadikan-Nya wahana damai, dan dengan demikian damai di hati kita juga bertambah. Makin banyak damai yang kita sebarkan, makin banyak pula damai yang kita peroleh. Dalam buku Kedamaian, di Manakah Kau Berada? ini Christoph Arnold menceritakan banyak kisah seperti itu, baik sebagai selingan maupun penjelasan tentang damai yang diamanatkan agar kita upayakan. Buku ini penting dan indah, suatu buku yang sungguh perlu untuk membantu kita membawa damai Tuhan di pengujung milenium baru ini. Goshen, Connecticut Musim Panas 1998
  • 14. 16 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
  • 15. KATA PENGANTAR 17 Pendahuluan Oleh: Thich Nhat Hanh3 D alam Khotbah di Bukit, Yesus berkata : “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”4 Untuk mengupayakan damai, Anda sendiri harus punya hati yang damai. Dan jika Anda punya kedamaian itu, Anda anak Allah. Sayangnya banyak orang yang mengupayakan damai justru tidak damai hatinya. 3 Thich Nhat Hanh adalah seorang bhiksu Zen Buddhisme, lahir di Vietnam 1926. Menjadi promotor Damai di berbagai forum. Pada tahun 1967 dicalonkan untuk menerima Hadiah Nobel untuk Perdamaian. Mengajar ilmu perbandingan agama. Tinggal di Dordogne, Perancis, dalam Biara Village des Pruniers (Plum Village). 4 Mat 5:9
  • 16. 18 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Mereka malahan marah dan frustrasi, sehingga apa yang dikerjakannya tidak sungguh-sungguh menghasilkan damai. Kita tak dapat merasakan bahwa mereka itu telah menyentuh Kerajaan Allah. Untuk memelihara damai, hati kita sendiri harus berdamai dengan dunia. Dengan saudara- saudara kita. Kebenaran inilah yang merupakan inti dari buku Christoph Arnold yang kita sambut ini, Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Kita sering memikirkan damai sebagai keadaan di mana tak ada perang; sehingga jika negara-negara yang kuat mengurangi persenjataan mereka, kita mungkin akan mendapatkan damai. Tetapi jika kita merenung lebih dalam tentang senjata-senjata itu, kita melihat dalam batin kita ada prasangka, ketakutan dan sikap acuh tak acuh. Sekalipun kita pindahkan semua senjata dan bom itu ke bulan, akar peperangan dan sebab-sebab adanya bom itu masih tetap ada di sini, dalam hati dan batin kita, yang membuat kita cepat atau lambat akan membuat senjata dan bom yang baru. Yesus berkata, “Ada tertulis, “Jangan membunuh, siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum ... siapa yang berkata, ‘Jahil!’ harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”5 Mengupayakan Damai berarti lebih dari sekadar meniadakan senjata. Awalnya haruslah mencabuti akar perang yang ada dari antara kita dan dari hati semua orang lelaki dan perempuan. Bagaimana kita mengakhiri lingkaran kekerasan? Arnold menyatakan bahwa sebelum kita berdamai dengan orang lain dan dengan dunia, kita harus berdamai dengan diri kita sendiri. Itu sungguh benar. Jika kita sendiri berperang melawan orang tua kita, melawan keluarga kita 5 Mat 5:21-22
  • 17. Pendahuluan 19 atau Gereja kita maka boleh jadi suatu perang sedang berlangsung dalam diri kita juga. Dengan demikian langkah dasar yang harus dilakukan dalam mengupayakan damai adalah kembali pada diri kita sendiri dan menciptakan keselarasan di antara unsur-unsur yang ada dalam diri kita: perasaan kita, persepsi kita, keadaan mental kita. Sambil membaca buku ini, usahakanlah mengenali unsur-unsur yang saling bertentangan dalam diri Anda dan apa yang menjadi penyebabnya. Usahakanlah agar Anda lebih menyadari apa yang menyebabkan kemarahan dan perpisahan, dan apa yang bisa mengatasi hal itu. Cabutlah akar kekerasan dalam kehidupan Anda dan belajarlah hidup dengan memerhatikan orang lain dan berbelas kasih. Upayakan damai. Jika Anda punya damai di hati Anda, maka damai dengan orang lain pun jadi niscaya. Village des Pruniers, Perancis Musim Semi 1998
  • 18. 20 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
  • 19. 21 Bagian I Mengupayakan Damai “Harapan adalah yang tersisa bagi kita di masa yang sulit.” (Pepatah Irlandia)
  • 20. 22 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Mengupayakan Damai K ita hidup dalam suatu dunia yang tidak damai; walaupun ada pembicaraan terus-menerus tentang damai, nyatanya hanya sedikit saja damai yang ada. Begitu sedikitnya damai yang sesungguhnya, sehingga ketika aku memberitahu seorang sahabat dekat tentang buku ini, ia menyatakan bahwa menulis tentang damai tidak hanya sesuatu yang naif, tetapi juga sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan. Tak seorang pun menyangkal adanya kekerasan yang memengaruhi hidup orang di seluruh dunia, mulai dari tempat-tempat yang bergejolak seperti Chiapas, Irlandia Utara, Timor Timur, Irak dan Tepi Barat, sampai ke jalanan di kota-kota kita. Juga dalam kehidupan pribadi, sekalipun di tempat-tempat yang paling damai di luar kota, setiap hari situasi tidak-damai terwujud – dalam kekerasan rumah tangga, dalam berbagai bentuk kecanduan yang tidak sehat, dalam ketegangan yang merusak memecahkan teman usaha, sekolah dan gereja-gereja. Kekerasan juga tersembunyi di balik wajah masyarakat yang kita anggap telah mendapat pencerahan. Ada di balik kerakusan, penipuan dan ketidak-adilan yang menggerakan lembaga-lembaga keuangan besar dan lembaga-lembaga budaya kita. Ada di balik prasangka- prasangka yang mengikis perkawinan Kristiani yang terbaik sekalipun. Ada pada sikap munafik yang menggerogoti kehidupan rohani dan menodai ungkapan pelaksanaan agama yang paling saleh sekalipun hingga menjadi tidak kredibel lagi.
  • 21. Mengupayakan Damai 23 Melihat secara manusiawi segala hal itu, rasanya sia- sia menulis sebuah buku tentang damai. Tetapi kita juga mendengar jeritan kerinduan akan damai tertuju ke surga. Suatu jeritan kerinduan dari relung hati yang paling dalam. Sebutlah dengan nama lain sesuka Anda, apakah keselarasan, ketenteraman, kesatuan, ketenangan jiwa, kerinduan akan semua itu ada pada setiap orang. Tak ada yang suka mendapat masalah, sakit kepala dan sakit hati. Setiap orang menginginkan damai, bebas dari kecemasan dan keraguan, kekerasan dan perpecahan. Setiap orang menghendaki ketenangan dan keamanan. Sementara orang dan organisasinya (misalnya International Fellowship of Reconciliation) memusatkan perhatian pada perdamaian global. Tujuannya adalah mencapai kerjasama politik dalam skala internasional. Yang lain (misalnya Greenpeace) mengusahakan peningkatan keselarasan antara manusia dan makhluk hidup lainnya, dan kesadaran akan adanya hubungan timbal balik dengan lingkungan. Yang lain mencari damai dengan mengubah gaya hidup: dengan pindah kerja, pindah tempat tinggal dari kota ke pinggiran kota (dan dari pinggiran kota ke pedalaman), mengurangi anggaran belanja, melakukan penyederhanaan, atau apa pun untuk meningkatkan mutu kehidupan mereka. Ada anak muda yang setelah tinggal di luar negeri kembali pada komunitasku, sesudah meluncur liar dengan pergerakan uang yang begitu cepat dan hubungan-hubungan zinah, ia rindu sekali untuk dapat bangun pagi hari dan berdamai dengan diri sendiri dan dengan Tuhan. Yang lain masih bertahan pada kehidupan mereka sekarang: senang dan kecukupan, sehingga mereka bilang tak memerlukan apa-apa lagi, tapi kukira di balik apa yang tampak itu mereka tak punya damai sejati.
  • 22. 24 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Ketika mengerjakan buku ini aku melihat iklan dengan foto seorang wanita di atas kapal. Ia meringkuk di sebuah kursi, memandang jauh ke seberang telaga pada matahari yang sedang tenggelam. Tertulis di situ: “Suatu impian tentang pekerjaan, anak-anak yang baik. Perkawinan yang bahagia. Dan perasaan kosong sama-sekali yang sedang mengancam.” Ada berapa banyak orang yang berbagi dengan ketakutan yang tak terungkapkan dari wanita itu? Pada tingkatan tertentu kita semua mengusahakan hidup sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Suatu kehidupan yang selaras, gembira, adil dan damai. Masing- masing dari kita memimpikan kehidupan tanpa sakit dan penderitaan, yang dikeluhkan orang setelah hilangnya Taman Eden (menurut Kitab Suci). Kerinduan akan tempat dan waktu seperti itu ada sejak dulu dan selalu di mana saja. Beberapa ribu tahun yang lalu, Nabi Yesaya mengimpikan kerajaan damai di mana singa berbaring dengan anak domba.6 Dan setelah berabad-abad kemudian, bagaimana gelapnya cakrawala, dan betapapun sengitnya peperangan, lelaki dan perempuan menaruh harapan kepada visi Nabi itu. Ketika aktivis antiperang Phillip Beriggan7 belum lama berselang diadili dan dijatuhi hukuman karena keterlibatannya dalam pembangkangan sipil di suatu 6 Yes 11:6-9 7 Phillip Berrigan adalah seorang aktivis antiperang kelahiran Two Harbors, Minnesota, 1923. Ia ditahbiskan menjadi pastor Katolik pada 1955 dan setelah 18 tahun berkarya ia meninggalkan imamat pada 1973. Dalam banyak aksinya menentang perang Phil terkesan anarkis. Pada tahun 1999 ia ditahan dan dijatuhi hukuman penjara 30 bulan. Ia dilepaskan dari penjara pada Desember 2001. Selama hidupnya ia dipenjara 11 tahun karena aksi-aksinya. Pada 6 Desember 2002 ia meninggal pada usia 79 tahun meninggalkan seorang istri dan tiga orang anak.
  • 23. Mengupayakan Damai 25 galangan kapal di Maine, banyak orang tidak menyukai tindakannya. Phillip menyatakan bahwa berdasarkan norma apa pun mereka “membentuk suatu panggung absurd.” Tetapi ia menambahkan bahwa ia lebih suka di penjara karena keyakinannya daripada mati “di pantai seperti itu”. Berapa banyak dari kita yang bisa berkata begitu? Phillip berumur tujuh puluh tahun waktu itu, tetapi ia terus saja melakukan kampanye tak jemu-jemu melawan industri senjata nuklir dengan kekuatan yang tak sesuai dengan usianya. Komunitasku, Bruderhof, juga sering dituduh tidak realistis. Yah. Kami memang meninggalkan lorong kehidupan yang cocok bagi kebahagiaan kelas-menengah. Kami meninggalkan rumah dan kekayaan, karier, rekening bank, reksa-dana bersama dan masa pensiun yang nyaman. Sebaliknya kami berusaha hidup bersama menurut contoh umat Kristiani Perdana. Kami memperjuangkan kehidupan melalui pengorbanan dan disiplin dan saling melayani. Cara ini bukanlah suatu damai yang diberikan dunia. Apa itu damai, dan apa itu realitas? Untuk apa kami hidup dan apa yang hendak kami wariskan kepada anak- anak dan cucu-cucu kami? Walaupun mungkin kita bahagia, apa yang kita punya sesudah perkawinan dan anak-anak. Sesudah punya mobil dan pekerjaan? Haruskah yang kita wariskan adalah realitas dunia yang berisik oleh senjata, dunia kebencian antar-kelas sosial dan keluhan keluarga, dunia di mana tak ada cinta dan orang menusuk dari belakang, ambisi egois dan penghinaan? Atau adakah realitas yang lebih besar, di mana semua itu diatasi oleh kuasa Sang Pangeran Perdamaian? Dalam halaman-halaman berikut kuusahakan untuk tidak menguraikan pokok-pokok masalah ini, juga tidak menyajikan argumentasi yang kokoh. Buku pedoman
  • 24. 26 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? rohani “Bagaimana Caranya” dapat diperoleh di toko-toko buku, namun pengalaman hidup damai tidaklah serapi itu. Seringkali hidup ini acak-cakan tidak karuan. Bagaimanapun setiap pembaca akan mendapatkan tempat yang cocok bagi dia, berbeda-beda dalam pencariannya. Aku juga akan berusaha menghindari jangan hanya tinggal pada akar situasi tidak-damai. Orang dapat memusatkan seluruh buku untuk membahas pokok persoalan, tetapi hal itu dapat membuat pembaca terlalu tertekan. Tujuanku sangat sederhana saja, yaitu menyajikan batu loncatan di sepanjang jalan dan harapan secukupnya agar Anda selalu Mengupayakan Damai.
  • 25. 27 Bagian II Berbagai Makna “Hanya jika Anda telah berdamai dengan diri Anda sendiri barulah Anda dapat menciptakan damai di dunia.” (Rabbi Sincha Bunim)
  • 26. 28 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Berbagai Makna M ulai dari kartu-kartu ucapan sampai sisipan pembatas buku, dari papan reklame sampai handuk lap piring, kebudayaan kita berlimpah dengan bahasa damai. Kata-kata seperti “damai dan kehendak baik” tampaknya sangat luas penggunaannya, sehingga begitu disusutkan menjadi slogan klise. Di dalam surat- menyurat, banyak di antara kita memberikan sebagai penutup surat pribadi dengan kata “Peace” atau “Damai”. Pada tataran lain, banyak pemerintahan Negara dan media massa berbicara tentang batalion “penjaga perdamaian” bersenjata berat ditempatkan di wilayah- wilayah yang porak-poranda oleh perang di seluruh dunia. Di dalam gereja-gereja, para pastor dan pendeta menutup ibadat dengan “Pergilah dalam damai,” dan walaupun kata-kata itu dimaksudkan sebagai bagian dari berkat, tetapi lebih sering dipahami sebagai isyarat untuk bubar dan sampai ketemu dalam ibadat hari Minggu berikutnya. Muhammad Salem Agwa, Imam utama (Mubaliqh, guru Islam) di New York City menunjukkan bahwa para Muslim yang baik menyapa satu sama lain waktu berjumpa dengan kata-kata Assalamu’alaikum. Namun katanya, juga di antara mereka salam damai itu seringkali jatuh menjadi kelaziman basa-basi yang disampaikan hanya dengan sedikit kesadaran akan tanggungjawab bersama yang terkandung di dalamnya: Saya menggunakan Assalamualaikum sebagai sapaan sehari-hari, tetapi artinya bukan sekadar “Selamat Pagi” atau “Selamat Sore”. Sapaan itu berarti “Damai dan berkat dari Allah atas dirimu.” Ketika saya
  • 27. Berbagai Makna 29 mengucapkannya, saya merasa damai dengan diri saya sendiri, dan antara saya dan Anda. Saya mengulurkan tangan untuk membantu Anda. Saya datang kepada Anda untuk menyampaikan damai kepada Anda. Dan sementara itu, sampai kita bertemu lagi, itu berarti bahwa saya berdoa agar Allah memberkati Anda dan mengasihani Anda dan mempererat hubungan saya dengan Anda sebagai saudara. Dunia niscaya akan berbeda keadaannya seandainya kita sungguh-sungguh berdamai dengan siapapun yang kita sapa sepanjang hari, jika kata-kata kita lebih dari basa-basi kesopanan belaka dan sungguh-sungguh timbul dari dalam hati kita. Dalam kenyataannya, seperti yang tak henti-hentinya ditunjukkan oleh orang-orang yang tak ber-Tuhan, beberapa konflik yang begitu banyak menumpahkan darah sepanjang sejarah umat manusia adalah karena kita tak berhenti bertengkar mengenai perbedaan agama. Tak heran para Nabi zaman dulu berkata, “Mereka mengobati luka umatku dengan berkata, ‘Damai, damai’ padahal tak ada damai.”8 8 Yer 6:14; 8:11
  • 28. 30 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Damai Karena Tak Ada Perang B agi banyak orang damai berarti secara nasional keadaan aman, stabil, tertib dan teratur. Berhubungan dengan pendidikan, kebudayaan dan kewajiban kewarganegaraan, kemakmuran dan kesehatan nyaman dan tenang. Damai adalah kehidupan yang sentosa. Tapi dapatkah damai didasarkan pada hal-hal yang didistribusikan kepada semua orang? Jika kehidupan yang sentosa berarti ada pilihan yang tak terbatas dan konsumsi berlebihan pada sedikit orang yang punya privilege (hak-hak khusus) saja, dan selanjutnya itu pasti berarti kerja keras dan kemiskinan yang meruyak bagi jutaan orang yang lain. Inikah damai? Di penghujung awal Perang Dunia Kedua, kakekku, Eberhard Arnold9, menulis: Cukupkah sikap yang membela ketenangan? Kukira tidak memadai. Bila ribuan orang dibunuh secara tidak adil, tanpa proses pengadilan di bawah pemerintahan baru Hitler, bukankah itu sudah berarti perang? Jika ratusan ribu orang dimasukkan ke dalam kamp konsentrasi, direnggut kemerdekaannya, dicopot martabat kemanusiaannya, bukankah itu perang? 9 Eberhard Arnold adalah pendiri Komunitas Bruderhof berdasarkan Khotbah di Bukit. Penulis, filsuf, teolog Kristiani. Lahir di Prusia pada 1888. Meninggal 1935. Komunitasnya dilanjutkan oleh putranya, dan kemudian oleh cucunya, yang adalah penulis buku ini.
  • 29. Berbagai Makna 31 Jika jutaan rakyat Asia mati kelaparan, sedang di Amerika Utara dan di tempat lain ada jutaan ton gandum ditumpuk, bukankah itu perang? Jika ribuan perempuan melacurkan tubuhnya dan menghancurkan kehidupan mereka demi uang; jika jutaan bayi digugurkan setiap tahun, bukankah itu perang? Jika orang dipaksa bekerja sebagai budak karena mereka tak dapat memberikan susu dan roti kepada anak-anak mereka, bukankah itu perang? Jika orang-orang kaya hidup di dalam villa-villa yang dikelilingi kebun-kebun, sedang di kawasan lain keluarga-keluarga hanya punya satu kamar untuk tinggal bersama, bukankah itu perang? Jika orang menyimpan uang dalam jumlah besar dalam rekening bank sementara yang lain tidak cukup mendapat uang untuk kebutuhan dasar mereka, bukankah itu perang? Jika pengemudi yang ceroboh menyebabkan ribuan orang mati oleh kecelakaan di jalan setiap tahun, bukankah itu perang? Aku tak dapat mewakili suatu aliran yang suka ketenteraman yang mengatakan bahwa tak ada perang lagi. Pernyataan itu tidak benar; perang sudah ada hari- hari ini.... Aku tidak setuju dengan sikap suka ketenteraman yang wakil-wakilnya justru berpegang pada akar-akar penyebab perang : para tuan tanah dan kapitalis. Aku tidak percaya kepada sikap pembela ketenangan yang ditunjukkan oleh para pengusaha yang justru menghabisi pesaingnya sampai bangkrut atau para suami yang tidak dapat hidup dalam damai dan dalam kasih justru dengan istrinya sendiri.... Aku lebih suka sama sekali tidak menggunakan istilah “pacifism” (penyuka ketenangan). Tetapi aku mau memajukan perdamaian. Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai!” Jika aku memang
  • 30. 32 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? menghendaki perdamaian, aku harus mewakili damai di semua bidang kehidupan. Di dalam khazanah politik, damai mungkin mengambil bentuk perjanjian dagang, kompromi dan perjanjian damai. Perjanjian semacam ini biasanya sedikit lebih dari perimbangan kekuatan yang rapuh, yang dirundingkan dengan tegang dan acapkali malah menanamkan benih-benih konflik baru yang lebih buruk daripada konflik-konflik yang sedang diusahakan untuk dipecahkan. Ada banyak contohnya, mulai dari Perjanjian Versailles yang mengakhiri Perang Dunia Pertama tetapi menghasilkan nasionalisme yang menyulut Perang Dunia Kedua, hingga Konferensi Yalta, yang mengakhiri Perang Dunia Kedua tetapi menyebabkan ketegangan yang mengarah pada Perang Dingin. Gencatan senjata bukanlah suatu jaminan yang mengakhiri kebencian. Semua orang setuju bahwa damai merupakan jawaban atas perang, tapi damai macam apa? Rabbi Kenneth L. Cohen menulis: Kegelapan terjadi karena tak ada cahaya, tetapi damai bukan sekadar karena permusuhan berhenti. Perjanjian mungkin ditandatangani, para duta besar berganti, dan tentara dipulangkan ke barak-barak kembali, namun tetap saja tak ada damai. Damai mempunyai implikasi metafisik dan kosmis. Damai lebih dari sekadar tak ada perang. Sesungguhnya, damai bukan berarti sesuatu tidak ada, tetapi lebih merupakan penegasan mutlak dari sesuatu yang seharusnya ada.
  • 31. Berbagai Makna 33 Damai Dalam Kitab Suci S alah satu cara mempelajari makna damai adalah dengan melihat apa yang dikatakan Kitab Suci. Di dalam Perjanjian Lama mungkin tidak ada konsep yang lebih kaya daripada kata Ibrani untuk damai: Shalom. Shalom sulit diterjemahkan karena cakupan konotasinya begitu dalam dan luas. Maknanya tidak tunggal, walaupun orang dapat menerjemahkannya sebagai sesuatu yang lengkap, mendalam dan menyeluruh. Jangkauannya lebih jauh dari “damai” seperti yang umumnya kita ketahui dalam bahasa kita. Shalom memang berarti berakhirnya perang atau konflik, tetapi juga berarti persahabatan, senang, aman dan sehat; kemakmuran, kelimpahan, ketenangan, keselarasan dengan alam, bahkan keselamatan. Dan semuanya itu untuk semua orang, bukan hanya untuk sekelompok orang pilihan saja. Shalom akhirnya adalah berkat, karunia dari Allah. Damai bukan berasal dari usaha manusia. Shalom berlaku untuk orang perorangan, tetapi juga berlaku untuk hubungan-hubungan di antara orang-orang, bangsa-bangsa, dan antara Tuhan dan manusia. Selain itu, Shalom sangat erat kaitannya dengan keadilan, karena Shalom adalah kesukaan atau perayaan dari hubungan manusia yang dibenarkan. Dalam buku He Is Our Peace, Howard Goeringer melukiskan makna yang lebih dalam dari Shalom: Kasih kepada musuh.
  • 32. 34 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Pada tahun 600 SM tentara Babilon menyerang Yudea dan membawa tawanan dari Yerusalem ke tempat pengasingan/pembuangan. Situasinya begitu sulit sehingga Yeremia menuliskan suratnya yang hebat ini kepada para tawanan di Babilon yang membenci musuh mereka: “Carilah shalom di kota di mana Aku mengirim kamu dalam pembuangan, dan berdoalah kepada Allah demi mereka, sebab dalam Shalom mereka kamu akan mendapatkan shalommu.”10 Dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia :”Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejehteraannya adalah kesejahteraanmu.” Para tawanan dipaksa hidup sebagai orang buangan dan mereka memerhatikan kebudayaan Yahudi mereka runtuh. Karena membenci orang yang menawan mereka, rindu kembali ke tanah air mereka, dan kecewa pada kegagalan Tuhan dalam melindungi mereka, orang-orang itu tidak percaya pada perkataan Yeremia. Bagaimana mungkin orang gila suruhan Tuhan itu menyuruh mereka mengasihi orang yang menawan mereka, menyuruh mereka berbuat baik kepada musuh, dan menyuruh mereka memintakan agar Tuhan memberkati para penganiaya itu dengan shalom? Seperti dugaan kita, Surat Yeremia itu tidak populer, bukan best seller. Kaum buangan yang menderita tidak bisa memahami bagaimana kesejahteraan mereka dan kesejehteraan musuh mereka terjalin menjadi satu tak terpisahkan. Membayangkan bagaimana mereka disuruh melayani bangsa yang menawan mereka dengan semangat kebaikan hati, merawat bangsa lawan yang sakit, 10 Yer 29:7
  • 33. Berbagai Makna 35 mengajari anak-anak bangsa musuh dengan permainan Yahudi, bekerja lembur untuk bangsa asing itu! – itu semua jelas–jelas bodoh! Tidak masuk akal. Bukan hanya di mata kaum cerdik pandai dunia, tetapi juga bagi umat yang paling religius sekalipun. Damai merupakan tema sentral dalam Perjanjian Baru, di mana kata eirene paling sering dipakai. Dalam konteks biblis, eirene jauh melebihi makna klasik kata Yunani itu: “tenteram,” dan meliputi berbagai konotasi dari shalom. Di dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus adalah pembawa tanda dan sarana damai dari Allah. Paulus menyatakan Kristus adalah perdamaian kita.11 Di dalam Dia segala sesuatu didamaikan. Dalam Kabar Gembira Kerajaan Allah itulah segalanya dijadikan benar. 11 Ef 4:12
  • 34. 36 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Damai Sebagai Tujuan Sosial D unia penuh dengan para aktivis yang memperjuangkan tujuan-tujuan yang beharga: ada yang membela lingkungan hidup dan yang membela para gelandangan, para aktivis antiperang dan pejuang keadilan sosial, para pembela kaum wanita yang teraniaya dan kaum minoritas yang tertindas. Pada tahun enam puluhan banyak orang dari berbagai kalangan keagamaan turun ke jalan bersama Martin Luther King12. Dalam tahun sembilan puluhan banyak orang berjuang menghapus hukuman mati. Komunitas saya sangat gigih memperjuangkan hal itu, yang dalam arti yang lebih luas lagi, berjuang melawan ketidakadilan dalam sistem peradilan Amerika. Keprihatinan yang kami lontarkan baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan dengan jelas bahwa politik tertib hukum lebih terkait dengan kekerasan dan ketakutan daripada dengan perdamaian. Beberapa pria dan wanita yang kukenal dalam karya ini adalah yang paling dedikatif di antara orang-orang yang pernah kujumpai, dan sedikit pun aku tak meremehkan prestasi mereka. Namun perpecahan yang 12 Martin Luther King Jr adalah seorang pastor Gereja Baptist yang menjadi penjuang gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat. Orator ulung. Lahir pada tahun 1929. Pada tahun 1964 menerima Hadiah Nobel Perdamaian (yang termuda dalam sejarah). Pada tahun 1968 mati ditembak orang (belakangan terungkap pembunuhnya sesama pendeta). Kematiannya menimbulkan huru-hara di 60 kota karena para pengagumnya marah. 300.000 orang hadir ketika ia dimakamkan.
  • 35. Berbagai Makna 37 terjadi pada kehidupan orang lain dan pemisahan yang sering kali disebabkan oleh pertengkaran mereka sendiri, tampak jelas menyedihkan. Mengenang kembali tahun enampuluhan, suatu masa di mana banyak orang disebut pecandu damai, timbul beberapa gagasan. Para penggemar kelompok band The Beatles yang dengan rindu menyanyi; “Beri peluang pada damai” berulang-ulang tak dapat diremehkan; aku merasakan mereka itu sungguh-sungguh spiritual. Tidak seperti mayoritas besar anak muda sekarang, pria maupun wanita, banyak kaum muda angkatan enam-puluhan dan tujuh-puluhan menerjemahkan harapan dan impian mereka menjadi tindakan. Mereka mengadakan demonstrasi dan mengorganisir acara-acara rapat umum; membentuk kelompok-kelompok dan melakukan aksi mogok; mereka melakukan aksi duduk dan pendudukan, berbagai protes dan melaksanakan proyek pengabdian masyarakat. Tak seorang pun menuduh mereka itu tak berperasaan. Namun sulit melupakan kemarahan yang mengubah wajah beberapa orang yang paling keras menyerukan damai di tahun-tahun itu, juga perbuatan anarki dan sinisme yang kemudian melanda seluruh wilayah. Apa yang terjadi ketika idealisme luntur, ketika pawai berakhir, ketika Musim Panas Cinta usai? Apa yang terjadi ketika kelompok-kelompok damai dan hubungan- hubungan cinta lalu cerai-berai? Apakah damai hanya menjadi komoditi budaya berupa suatu simbol yang disablon pada T-Shirt atau dicetak menjadi stiker tempelan di bemper mobil? Dalam buku The Long Loneliness Dorothy Day 13, radikal legendaris yang mendirikan Catholic Worker 13 Dorothy Day adalah seorang wartawati Amerika. Seorang Katolik yang saleh. Lahir pada 1897. Ia menjadi Katolik pada 1927 dan
  • 36. 38 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? memberi komentar tentang kaum muda yang merindukan dunia yang lebih baik itu kadang melakukan hal yang sama dengan kaum nihilis (golongan yang yakin bahwa tatanan sosial adalah buruk sehingga perlu dirusakkan tanpa memberi alternatif yang konstruktif) dan egois juga. Kaum muda mengidealkan perubahan, kata Dorothy, tetapi jarang bersedia untuk mengubah diri mereka sendiri. Mengutip Rabbi Cohen lagi: Orang dapat melakukan arak-arakan untuk perdamaian dan memilih perdamaian, dan mungkin punya pengaruh kecil terhadap keprihatinan dunia. Tetapi orang kecil yang sama dapat merupakan raksasa di mata seorang anak di rumah. Jika damai hendak ditumbuhkan, mulainya haruslah dari orang perorangan. Damai dibangun bata demi bata. mendirikan Gerakan Catholic Worker pada 1933. Gerakannya pada dasarnya pro-perdamaian, tetapi kadang-kadang juga anarkis. Dorothy keluar masuk penjara karena aktivitas gerakannya. Anti free-sex pada tahun 1960-an. Ia meninggal pada 1980. Pada tahun 2000 dicalonkan menjadi orang kudus oleh Keuskupan Agung New York. Dorothy oleh banyak orang sudah dianggap orang kudus ketika ia masih hidup.
  • 37. Berbagai Makna 39 Damai Dalam Hidup Perorangan S ylvia Beels bergabung dengan komunitas kami dari London ketika ia gadis muda sebelum Perang Dunia Kedua meletus. Sekarang dalam usia sembilan puluh tahunan ia menceritakan sikap di dalam gerakan perdamaian di masa mudanya dulu – suatu sikap anti pembunuhan tetapi tidak menentang ketidakadilan sosial. Sikap itu mengecewakan dirinya dan membuatnya penasaran dan mencari sesuatu yang lebih lagi. Sebuah film perang yang kulihat ketika umurku sembilan tahunan membuatku ketakutan, dan sejak itu aku tak pernah menganggap perang sebagai sesuatu yang baik, walaupun alasannya mungkin baik. Sesudah aku menikah, suamiku Raymond dan aku bergabung dengan Left Book Club dan membaca semua buku mereka. Kami bertemu secara berkala dengan suatu kelompok teman, membicarakan gagasan-gagasan dalam buku-buku ini. Kami mencari dan mencari lagi untuk mendapatkan jalan dalam labirin gagasan manusia – perang, damai, politik, moral konvensional lawan cinta bebas – tapi kami tidak juga lebih dekat untuk menemukan suatu masyarakat yang adil dan damai. Di kemudian hari, dalam proses persalinan yang sulit dan lama ketika melahirkan anaknya yang pertama, Sylvia menyadari bahwa kehidupan pribadinya diwarnai oleh kesulitan-kesulitan seperti yang dilawannya dalam masyarakat. Kendati kariernya dalam musik menjanjikan, namun perkawinannya goyah dan hatinya dalam kemelut.
  • 38. 40 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Suatu ketika di situlah ia memutuskan, bahwa sebelum ia dapat menyumbangkan sesuatu bagi perdamaian dunia, ia perlu menemukan damai dalam dirinya dan orang lain (tak lama kemudian suami Sylvia meninggal karena penyakit jantung, tetapi mereka dapat berdamai menjelang kematiannya). Maureen Burn, seorang anggota komunitas yang lain, memperoleh kesimpulan yang sama setelah bertahun-tahun menjadi aktivis antiperang, mula-mula di Edinburgh dan kemudian di Birmingham, di mana uang, hubungan sosial dan kepribadian yang ceria membuatnya sangat terkenal dan menjadi pengikut kelompok pacifisme yang efektif: Aku selalu seorang yang idealis dan pemberontak. Walaupun waktu itu aku masih anak-anak, Perang Dunia Pertama menakutkan aku. Kami diberi tahu bahwa Pemimpin (Kaiser) Jerman telah memulai perang, dan ketika umurku sepuluh tahun aku menulis surat kepadanya memohon agar ia menghentikan perang. Aku selalu menentang perang. Suamiku, Matthew, seorang pejabat kesehatan publik yang cukup dikenal, juga seorang pengikut pacifisme. Setelah mengalami tinggal dalam parit perlindungan dalam Perang Dunia Pertama, ia menjadi sangat antimiliter dan pejuang keadilan sosial. Persamaan minat kami dalam mempelajari Revolusi Rusia 1918, karya-karya sastrawan Rusia Leo Tolstoy 14 dan perjuangan Mahatma Gandhi15 dari India menciptakan 14 Leo Tolstoy sastrawan dan filsuf Rusia. Karyanya antara lain Anna Karenina dan War and Peace. Bersama Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr dianggap paling berpengaruh pada abad ke-20. Lahir pada 1828, meninggal pada 1910. Hidupnya dipengaruhi oleh Sakyamuni Buddha dan Santo Fransiskus Assisi, dan Khotbah di Bukit. Seorang pecinta perdamaian yang antikekerasan. 15 Mohandas K. Gandhi atau Mahatma Gandhi dilahirkan pada 1869 di Porbandar, India, adalah tokoh yang memperjuangkan prinsip
  • 39. Berbagai Makna 41 ikatan di antara kami yang mengantar kami ke dalam perkawinan. Banyak anak muda akan ke pergi ke Moskow pada tahun-tahun itu, dan karena kami tertarik pada cita-cita komunis “dari setiap orang berdasarkan kemampuannya, untuk setiap orang berdasarkan kebutuhannya,” aku ingin juga pindah ke Rusia dengan anak-anakku yang masih kecil.... Hanya kemudian Matthew berkata, “sebuah bom yang dijatuhkan seorang komunis sama jahatnya dengan bom yang dijatuhkan kapitalis,” dan aku mengubah pendirianku. Matthew selalu menghilang pada Hari Angkatan Bersenjata. Aku tidak tahu ke mana ia pergi. Ia berpendapat bahwa parade militer besar-besaran di Cenotaph merupakan penghinaan terhadap prajurit- prajurit tak dikenal yang mati dan dikuburkan, yang tak pernah mendapatkan tanda jasa. Setelah perang ibunda Matthew memberi tahu aku bahwa Matthew suatu ketika pernah berkata bahwa ia tak akan berbuat sesuatu lagi bagi masyarakat yang begitu bobrok, di mana bahkan pemuka agama pun mengkhotbahkan pembunuhan kepada kaum muda…. Dalam Perang Dunia Kedua, selama pengeboman atas Inggris, banyak kota di Inggris mulai melakukan evakuasi anak-anak dan keluarga Burn harus mendapatkan tempat bagi keempat anak mereka, sedang yang bungsu belum genap setahun umurnya. Pekerjaan Matthew sementara itu mengharuskan dirinya tetap tinggal di kota, dan Maureen tidak tahu harus pergi ke mana. Pada hari-hari itu juga Maureen tahu bahwa ia hamil, mengandung anaknya yang ke lima. Dalam keadaan yang tak menentu satyagraha atau perlawanan pada tirani dengan pemogokan, dan ahimsa atau antikekerasan yang mengantarkan India pada kemerdekaan dari penjajahan Inggris pada 1945. Ia meninggal pada tahun 1948 di usia 78 tahun karena ditembak.
  • 40. 42 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? karena perang, dia dan Matthew memutuskan untuk melakukan aborsi. Waktu aku pulang sesudahnya, suamiku menyarankan agar aku pergi ke rumah saudariku Kathleen untuk beristirahat beberapa hari. Kathleen tinggal di Bruderhof.16 Aku menulis padanya apakah aku bisa datang dan tinggal di sana untuk beberapa hari, dan dia menjawab boleh. Aku tidak membayangkan kejutan yang sedang menungguku di sana. Aku membaca beberapa literatur mereka, aku lupa judul bukunya. Di dalamnya dikatakan dengan tegas bahwa aborsi adalah suatu pembunuhan: membunuh kehidupan baru dalam rahim dan di mata Tuhan hal itu tak dapat dibenarkan, sama dengan pembunuhan yang terjadi di medan perang. Sampai saat itu aku adalah seorang yang rasional dan tidak menganggap aborsi begitu mengerikan. Tapi setelah itu hatiku kemelut dan aku merasakan untuk pertama kalinya betapa mengerikan tindakan yang telah kulakukan. Biasanya aku tidak gampang-gampang menangis tetapi pada saat itu yang kulakukan adalah menangis dan terus menangis. Aku sangat menyesal atas apa yang telah kulakukan dan aku berharap seandainya saja waktu bisa diputar berbalik dan aku dapat membatalkan tindakanku itu. Aku hanya seorang tamu dalam komunitas itu, tetapi saudariku mengantarkan diriku pada salah seorang pendeta di situ, dan aku menceritakan semuanya. Ia mengundangku ikut dalam suatu persekutuan, di mana mereka berdoa untuk 16 Bruderhof berarti tempat untuk para saudara. Didirikan pada tahun 1920 oleh Eberhard Arnold di Jerman sebagai suatu komunitas yang menghayati cara hidup orang kristen perdana dan Khotbah di Bukit dari Yesus Kristus (Mat 5-7). Tentang komunitas ini berangsur- angsur diuraikan dalam buku ini.
  • 41. Berbagai Makna 43 diriku. Aku segera tahu bahwa aku memperoleh pengampunan. Suatu mukjizat, suatu karunia. Aku merasa penuh dengan kegembiraan dan damai, dan dapat memulai suatu hidup baru. Tidak ada yang lebih penting atau lebih menyedihkan dari hidup dan hati kita sendiri yang kita tahu tidak-damai. Bagi sebagian dari kita, itu berarti kita masih dikuasai rasa benci atau dendam; bagi yang lain karena pengkhianatan, pengasingan, atau kebingungan; yang lain lagi merasa kosong dan tertekan jiwanya. Dalam makna yang terdalam, semua itu merupakan kekerasan dan karena itu harus dihadapi dan diatasi. Thomas Merton17 menulis: Ada sebentuk kekerasan zaman ini yang begitu luas tersebar, sehingga biarpun para idealis yang berjuang untuk damai dengan metode antikekerasan pun mudah kerasukan aktivisme dan kerja berlebihan. Ketegangan dan tekanan kehidupan modern merupakan suatu wajah, mungkin wajah yang paling umum, dari kekerasan pada diri seseorang. Membiarkan diri terbawa hanyut oleh begitu banyak urusan mendesak yang saling bertabrakan, menyerah pada begitu banyak tuntutan, mengikat diri pada begitu banyak proyek, berhasrat membantu setiap orang dalam segala hal, adalah sama saja dengan menyerah pada kekerasan hidup. Lebih dari itu, orang bahkan bekerja sama dengan kekerasan itu. Aktivis yang sangat sibuk mengebiri karyanya atas nama damai. Kesibukannya yang luar biasalah yang menghancurkan buah dari pekerjaannya, karena 17 Thomas Merton lahir di kalangan jemaat Gereja Inggris pada 1915. Ia menjadi Katolik pada 1938 dan tinggal di Amerika Serikat. Pada tahun 1941 menjadi biarawan trapis dan menulis banyak buku keagamaan yang bersifat mistik. Pada 1949 ia ditahbiskan menjadi imam. Ia cinta perdamaian dan menentang Perang Vietnam. Sejak 1960 memengaruhi banyak aktivis Katolik. Ia meninggal pada 1968.
  • 42. 44 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? kesibukan itu membunuh akar kebijaksanaan batin yang mestinya dapat membuat pekerjaannya berbuah. Banyak orang merasa terpanggil memperjuangkan alasan-alasan damai, tetapi kebanyakan dari mereka lalu terpukul mundur begitu mereka sadar bahwa mereka tak dapat memberikan damai sebelum mereka sendiri memiliki damai dalam diri mereka. Karena tak dapat menemukan keselarasan dalam hidup mereka, dengan segera mereka minggir dari perjuangan itu. Malahan ada beberapa kejadian yang sangat tragis, di mana seseorang yang sangat menderita setelah menyadari ilusi mereka lalu bunuh diri. Penyanyi lagu- lagu rakyat Phil Ochs, seorang aktivis perdamaian pada tahun enam puluhan melakukannya; begitu pula Mitch Snyder, pendiri Pusat Kegiatan Kreatif Non-Kekerasan. Seorang pembela gelandangan yang sangat dihormati di Washington DC.
  • 43. Berbagai Makna 45 Damai Tuhan D amai sejati bukan sekadar tujuan luhur yang dijunjung tinggi dan dikejar dengan sungguh- sungguh. Damai sejati juga tidak begitu saja didapatkan atau dimiliki. Damai membutuhkan perjuangan. Damai ditemui dengan melakukan pertarungan dasar dalam kehidupan: hidup lawan mati, baik lawan buruk, benar lawan salah. Memang, damai itu karunia, tetapi damai juga merupakan hasil dari usaha yang sangat bersungguh-sungguh. Beberapa ayat di dalam Mazmur menyatakan bahwa di dalam proses untuk memperoleh damai itulah maka damai itu ditemukan. Damai semacam itu merupakan hasil dari usaha menghadapi dan mengatasi konflik, bukan menghindari konflik. Karena begitu berakar dalam kebenaran, damai sejati (yaitu damai Allah) mengusik hubungan-hubungan yang penuh kepalsuan, menggoyang sistem- sistem yang tidak benar, dan menelanjangi kebohongan yang dijadikan dasar dari damai yang palsu. Damai sejati mencabuti akar dan benih-benih situasi yang tidak damai. Damai Allah tidak secara otomatis mencakup ketenangan batin, ketiadaan konflik atau taksiran- taksiran damai duniawi lainnya. Seperti kita lihat dari kehidupan Kristus, damai yang sempurna justru ditegakkan dari penolakan-Nya atas dunia dan atas damai yang ditawarkan dunia. Dan damai yang sempurna itu berakar pada kesediaan-Nya untuk mengorbankan diri dengan cara yang paling mengerikan: mati di kayu salib.
  • 44. 46 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Banyak orang yang menyebut diri sebagai orang Kristiani dewasa ini melupakan hal ini, atau menutup mata sepenuhnya pada kenyataan itu. Jika pun kita menghendaki damai, kita memperjuangkan damai yang dasarnya adalah keinginan kita sendiri. Kita menghendaki damai yang gampangan. Tetapi damai tidak terwujud dengan cepat atau gampang jika diharapkan punya daya untuk bertahan lama. Damai itu bukan semata-mata kesejahteraan atau keseimbangan psikologis, suatu perasaan yang hari ini ada dan besok tiada. Damai Tuhan lebih dari suatu tingkat kesadaran. Dorothy Sayers menulis: Aku yakin adalah suatu kesalahan besar mewartakan Kekristenan sebagai sesuatu yang indah dan populer, bahwa tak ada yang diserang di dalamnya.... Kita tak dapat memejamkan mata pada fakta bahwa Yesus yang lemah lembut itu begitu tegas pendirian-Nya dan begitu tajam menyerang dalam kata- kata-Nya sehingga Ia didorong keluar dari tempat ibadat, dilempari batu, dikejar-kejar dari satu tempat ke tempat lain dan akhirnya ditangkap sebagai penghasut dan musuh masyarakat. Apa pun damai-Nya itu, yang jelas bukanlah damai yang timbul dari sikap bersahabat yang tak acuh pada keadaan. Hendak aku katakan bahwa kendati aku beriman kepada Kristus dan kendati bahasa buku ini yang oleh sementara orang dianggap agak gerejawi, aku tidak yakin bahwa orang harus menjadi Kristiani untuk mendapatkan damai Yesus itu. Memang kita tidak dapat melalaikan pernyataan Yesus: “Dia yang tidak mengumpulkan bersama-sama Aku, ia mencerai-berikan,” dan “Siapa tidak bersama Aku melawan Aku.”18 Tetapi apa artinya perkataan itu bagi Yesus sendiri? Bukankah Dia 18 Mat 12:30
  • 45. Berbagai Makna 47 menyatakan dengan jelas bahwa masalahnya bukanlah kata-kata ibadat ataupun sekadar wujud kesalehan belaka? Ia menghendaki sikap yang lembut dan penuh belas kasihan – demi cinta kasih.19 Dia berkata biarpun hanya segelas air untuk orang yang kehausan akan dihargai “dalam Kerajaan Surga”.20 Yesus adalah seorang pribadi, bukan suatu konsep atau karangan teologi, dan kebenaranNya menjangkau lebih luas dari sekadar yang dapat dipahami oleh pikiran kita yang terbatas. Dalam kasus tertentu jutaan pengikut Buddha, para Muslim, orang Yahudi, bahkan mereka yang tidak mengenal Allah dan yang menyangkal Allah (ateis) melaksanakan cinta yang diperintahkan Yesus agar dilakukan 21, lebih mantap daripada banyak orang yang menyebut dirinya Kristiani. Maka tidaklah pada tempatnya bagi kita untuk menilai apakah mereka memiliki damai Kristus atau tidak. 19 Mat 9:13; 12:7. 20 Mat 10:42 21 Yoh 15:12
  • 46. 48 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Damai yang Mengatasi Pemahaman B eberapa pembaca mungkin dapat menimba manfaat jika di sini aku melanjutkan kajian atas berbagai pemahaman akan damai, dan membahas apakah damai itu suatu status (keadaan) ataukah cara hidup. Yang lain mungkin hanya ingin tahu apakah yang kumaksudkan ketika aku mengatakan bahwa orang mengupayakan damai. Apakah mereka berusaha agar lebih akrab dengan orang lain, ataukah mereka haus akan damai untuk diri mereka sendiri? Apakah mereka rindu akan kepercayaan dan cinta kasih, akan sesuatu yang lebih baik daripada hanya menarik diri dan diam saja? Sesuatu yang berbeda sama sekali? Intinya, apa itu damai? Suatu gagasan dari buku-buku kakekku membantuku. Ia menulis tentang damai tiga dimensi: kedamaian jiwa bersama Tuhan; hubungan yang rukun dan damai tanpa kekerasan dengan orang lain; dan ditegakkannya tatanan sosial yang adil dan damai. Namun pada akhirnya, masalahnya bukanlah mengenai definisi yang terbaik, sebab definisi tidak membantu kita mendapatkan damai itu. Untuk mendapatkan makna damai itu kita harus mengalaminya dalam kenyataan praktis, bukan hanya sesuatu yang ada dalam kepala kita, juga bukan hanya dalam hati kita, melainkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sadhu Sundar Singh, seorang mistikus Kristiani dari India dari permulaan abad yang lalu menulis:
  • 47. Berbagai Makna 49 Misteri dan realitas hidup yang bahagia dalam Tuhan tidak dapat dipahami tanpa menerima, menghayati, dan mengalaminya. Jika kita berusaha memahaminya dengan pikiran saja, usaha kita itu tidak berguna. Seorang ilmuwan memegang burung di tangannya. Ia melihat burung itu punya kehidupan. Lalu ia ingin tahu di bagian tubuh yang mana dari burung itu terletak kehidupannya. Maka ia mulai mengiris-iris burung itu. Hasilnya, kehidupan yang dicarinya itu hilang. Mereka yang berusaha memahami misteri hidup sejati secara intelektual niscaya menemui kegagalan seperti itu. Hidup yang dicarinya akan lenyap dalam analisisnya. Seperti air tak akan tenang sebelum mencapai kepenuhannya, jiwa pun tak akan damai sebelum tinggal dalam Tuhan.
  • 48. 50 Kedamaian, di Manakah Kau Berada?
  • 49. 51 Bagian III Berbagai Paradoks “Aku seorang tentara Kristus. Aku tak bisa berperang.” St. Martinus dari Tours
  • 50. 52 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Berbagai Paradoks K ita telah melihat bahwa walaupun kerinduan akan damai begitu mendalam, suatu kelaparan universal, namun damai sulit dirumuskan. Memang begitulah kebanyakan hal yang bersifat rohani. Elias Chacour, seorang imam Palestina, teman baikku, memberikan komentar tentang hal ini dalam bukunya Blood Brothers. Ketika bicara tentang agama-agama besar dari Timur ia menunjukkan bagaimana para pemikir mereka (kontras dengan banyak pemikir dalam budaya Barat) merasa nyaman dengan berbagai paradoks dan bersedia menerimanya dan hidup dengan paradoks-paradoks itu dan tidak berusaha menyingkirkannya. Barangsiapa membaca Injil tentu tahu betapa Yesus juga mengandalkan paradoks dan perumpamaan untuk melukiskan kebenaran yang sangat dalam. Bagi pikiran rasional, suatu paradoks tampak bertentangan (kontradiktif), namun justru karena sifatnya itu, paradoks memaksa kita melihat kebenaran di dalamnya dengan mata yang baru. Dalam pengertian ini aku menulis bagian berikut, masing-masing bagian merupakan suatu papan loncatan ke arah pengertian yang lebih dalam atas damai.
  • 51. Berbagai Paradoks 53 Bukan Damai Tapi Pedang Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, dan anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. Barang siapa mengasihi bapa atau ibunya lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barang siapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih daripada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku. Yesus dari Nazareth K etika Matius mencatat kata-kata Yesus ini dalam bab kesepuluh dari Injilnya22, ia memberikan argumen yang disukai generasi-generasi Kristiani untuk mempertahankan penggunaan kekuatan dalam berurusan dengan orang lain. Tetapi sesungguhnya apa yang dimaksud oleh Yesus? Yang pasti ia tidak bermaksud membenarkan atau memajukan kekerasan dengan menggunakan senjata. Bahkan sekalipun Ia mengusir para penukar uang dari Bait Allah dengan cambuk 23, namun Ia kemudian menegur Petrus karena telah memotong telinga seorang prajurit dengan pedang dan berkata, “Barang siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang,”24 dan apa yang dilakukannya sampai hembusan napas terakhir di kayu salib, mencerminkan 22 Mat 10:34-35 23 Yoh 2:12 24 Mat 26: 52
  • 52. 54 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? kata-kata-Nya “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.”25 Bagiku jelas bahwa pedang yang dimaksudkan Yesus bukanlah pedang yang merupakan senjata manusia. Di dalam surat Rasul Paulus kita membaca tentang pedang Roh Kudus yang dibandingkan dengan pedang pemerintah, yang kadang-kadang disebut pedang yang fana atau pedang kemurkaan Allah 26 Paulus menyatakan bahwa Allah Bapa menarik Roh Kudus dari dunia karena pria dan wanita tidak taat kepada-Nya; sebaliknya, Ia menyerahkan mereka kepada “pedang” pemerintahan dunia, yang kelangsungan dan wewenangnya berakar dalam kekuatan tentaranya. Tetapi Gereja tentu tidak boleh menggunakan senjata fisik, Gereja harus setia kepada satu kekuatan saja: Kristus, dan pengikut-pengikutNya hanya boleh menggunakan pedang Roh Kudus. Di tempat lain dalam Kitab Suci pedang digunakan sebagai lambang kebenaran. Seperti senjata fisik yang dilukiskannya, pedang, ini memotong segala sesuatu yang mengikatkan kita pada dosa. Pedang itu membersihkan dan menonjolkan (penulis Surat kepada orang Ibrani menyebutnya “memisahkan sendi-sendi dan sumsum)27, namun maksudnya bukanlah menghancurkan atau membunuh. Mengutip penyair Phillip Britts dari Bruderhof, damai adalah “persenjataan kasih dan penebusan.... bukan persenjataan dunia, tapi persenjataan hasrat akan kebenaran.” Perangnya bukan pergumulan antarmanusia 25 Mat 7:12 26 Rm 13:4 27 Ibr 4:12
  • 53. Berbagai Paradoks 55 satu sama lain, tetapi antara “sang pencipta melawan si perusak; perang antara hasrat akan kehidupan melawan hasrat kematian; perang antara cinta melawan kebencian; antara persatuan melawan perceraian.” Di dalam Injil tertulis, “sejak tampilnya Yohanes Pembaptis sampai sekarang, kerajaan surga diserong dan orang yang menyerong mencoba mengusainya.” 28 Walaupun ini merupakan salah satu di antara wejangan Yesus yang sulit, arti kata “diserong” cukup sederhana. Kita tak dapat duduk dan menunggu surga, demi kerajaan damai dari Allah, agar jatuh ke pangkuan kita. Kita harus merebutnya dengan penuh hasrat. Thomas Cahill menyatakan: “yang penuh hasrat, habis-habisan dan di luar batas punya kesempatan lebih baik untuk merebut surga daripada mereka yang puas diri, ragu- ragu dan yang lengket dengan dunia.” Yang menarik, kosa kata Kristiani tidak sendirian menggunakan bahasa kekerasan untuk melukiskan jalan damai. Menurut seorang nara sumber Muslim kata jihad tidak hanya berarti perang suci Islam, tetapi juga perang spiritual yang terjadi dalam diri setiap orang. Banyak orang Kristiani sekarang menyepelekan perang spiritual. Di satu pihak mereka menganggap hal itu semacam imajinasi; di lain pihak ada yang merasa bahasa yang digunakan untuk melukiskannya terlalu konfrontatif, terlau kasar, dan yang lebih buruk lagi, terlalu kuno. Namun perang kosmis antara malaikat Allah dan cecunguk setan terus berlangsung hingga saat ini, kendati makin kurang saja yang percaya tentang hal itu. Mengapa hanya karena kita tidak dapat melihatnya kita menganggap hal itu hanya rekaan pikiran? 28 Mat 11:12
  • 54. 56 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Aku percaya bahwa daya yang tampil dari yang baik dan yang jahat sungguh nyata seperti daya-daya fisik yang membentuk alam semesta, namun karena kita tidak bisa mengetahuinya, kita tidak dapat menyaksikan pertempuran besar yang terjadi di antara mereka. Sebagaimana cahaya tidak dapat berbagi ruang dengan kegelapan, maka baik dan jahat tidak dapat ada bersana dalam damai, dan karena itu kita harus memutuskan untuk ikut di pihak mana. Sekitar dua puluh lima tahun lalu, sebagai tetua komunitas Bruderhof, ayahku29 menyusun suatu dokumen yang berulangkali dilihat orang lagi selama bertahun- tahun. Suatu “kesepakatan” yang ditanda-tangani oleh semua anggota komunitas kami ketika ditulis (dan disetujui oleh setiap anggota terbaru), karena sering membantu kami mempertajam fokus kami pada akar suatu masalah tertentu yang sedang kami hadapi. Kami memaklumkan perang kepada segala pelecehan terhadap semangat seperti anak-anak yang diajarkan Yesus. Kami memaklumkan perang kepada segala kekejaman emosional dan fisik terhadap anak-anak. Kami memaklumkan perang kepada semua usaha untuk menguasai jiwa orang lain. Kami memaklumkan perang kepada segala kebesaran manusia dan semua bentuk pameran kehebatan. Kami memaklumkan perang kepada kebanggaan palsu termasuk kebanggaan kolektif. Kami memaklumkan perang kepada semangat dendam, kebencian dan keengganan untuk memaafkan. 29 Yang dimaksud adalah J. Heinrich Arnold (1913-1982).
  • 55. Berbagai Paradoks 57 Kami memaklumkan perang kepada segala macam bentuk kekejaman kepada orang lain termasuk kekejian terhadap pendosa. Kami memaklumkan perang kepada semua keingintahuan tentang sihir atau kegelapan setan. Salah satu risiko terbaru di dalam berperang melawan yang jahat adalah salah menerapkan sesuatu perlawanan sifat pada tatanan fisik manusia, dengan menciptakan kubu antara “orang baik” dan “orang jahat. Kita sering bicara tentang Tuhan dan gerakan yang berlawanan dengan setan dan dunia, namun kenyataannya adalah garis pemisah antara baik dan jahat itu juga melewati setiap hati manusia. Dan siapa yang akan kita adili selain diri kita sendiri? Gandhi suatu ketika mengajar, “jika Anda membenci ketidakadilan, tirani, keserakahan dan kerakusan, bencilah semua itu dalam diri Anda lebih dulu.” Setiap orang membentuk suasana tertentu di sekelilingnya. Ketika “bertarung demi kebaikan” janganlah lupa berhenti sebentar, di sana atau di sini, dan bertanya pada diri sendiri, apakah suasana yang terbentuk itu penuh ketakutan atau suasana kasih yang menyingkirkan rasa takut. Ada godaan untuk membawa pertarungan itu ke luar melawan orang lain daripada ke dalam melawan diri sendiri. Karena ngeri pada keadaan dunia dan cara hidup orang lain, kita mungkin dipenuhi perasaan bahwa kita benar (jika bukan pembenaran diri). Namun bukannya mengajak orang lain menuju hidup baru dengan menarik hatinya, kita hanya memisahkan diri dari mereka, membuat jarak. Padahal, pertarungan itu seharusnya terlaksana dalam hati kita dulu. Tentang ini seorang pelayan umat, Glenn Swinger, baru-baru ini menulis kepadaku:
  • 56. 58 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Setelah mengalami pertobatan, saya dibaptis pada pertengahan usia empat puluhan. Saya mengakui setiap dosa yang saya ingat, memperbaiki hubungan yang salah dengan orang lain dan berusaha melihat betapa dalam saya telah menentang Allah. Saya merasa mendapat pengampunan, yang membawa kegembiraan dan perdamaian. Tetapi ayah Anda, yang membaptis saya, berkata “Sekarang pertarungan yang sesungguhnya dimulai.” Saya pada waktu itu tidak benar-benar mengerti masalahnya, tetapi saya berkata pada diri saya sendiri agar waspada. Sedikit demi sedikit ternyata kembali lagi pada cara hidup saya yang lama, dan berangsur-angsur setan kecil kesombongan, iri hati dan kecemburuan masuk lagi dalam hidup saya. Memang, pengalaman baptis mengubah diri saya, saya tidak menyangkal. Namun saya belum mengalahkan diri saya sendiri. Diri saya sendiri masih merupakan pusat dari semua pengalaman batin saya. Saya menghayati kehidupan yang hebat dengan kekuatan saya sendiri, dengan kemampuan saya sendiri. Saya tidak “berjaga dan berdoa” sehingga pencobaan masuk ke dalam hati saya.... Akhirnya cinta pertama saya dengan Kristus berantakan. Kemudian muncullah sikap munafik, dan saya mengalami sakitnya tuntutan keadilan. Saya diminta lengser dari tugas saya sebagai pelayan jemaat dan pengajar. Saya meninggalkan Bruderhof selama empat bulan, dan selama itu saya dapat melihat dosa-dosa saya dan menyesalinya. Setelah pulang kembali dan menerima maaf dari saudara-saudara yang tempo hari saya tinggalkan, saya mendapatkan kebebasan baru, cinta dan perdamaian. Perjuangan masih timbul setiap hari, tetapi selama beberapa tahun saya belajar sesuatu dari 1 Kor 13:13; “demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya
  • 57. Berbagai Paradoks 59 adalah kasih.” Saya tak dapat mengadili atau memandang rendah orang lain, bagaimana pun keadaannya. Orang yang kaya membuat jarak antara dirinya dan Lazarus, dalam kehidupan selanjutnya kedudukan mereka dibalik.30 Ada dua kekuatan dasar yang bekerja dalam diri kita, baik dan jahat, dan dalam pertarungan di antara keduanya kita diadili dan berkali-kali memperoleh pengampunan. Di dalam pertarungan yang terus berlangsung inilah kita mengalami damai sejati. Pengamatan Glenn Swinger sangat menentukan pemahaman atas paradoks. “Aku datang ke dunia bukan membawa damai, tetapi pedang”, karena menyentuh maknanya yang paling dalam. Pedang Kristus adalah kebenaran, dan kita harus membiarkannya memotong tandas dan berulang kali kapan saja dosa bertumbuh dalam hidup kita, menegarkan diri dan melindungi diri kita terhadap pedang itu berarti menutup diri kita pada kerahiman dan kasih Allah. 30 Luk 16:19-31
  • 58. 60 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Kekerasan Kasih D amai sejati memerlukan senjata, dan juga mengucurkan darah, tetapi bukan dalam makna yang sekadar kita bayangkan. Kristus melarang kita menggunakan kekerasan terhadap orang lain, namun ia jelas meminta kita sedia menderita di tangan orang lain. Dia sendiri “memberikan perdamaian kepada kita melalui darahnya,”31 seperti dikatakan dalam Perjanjian Baru, dan selama berabad-abad pria dan wanita mengikuti teladanNya, dan bersedia mengorbankan dirinya demi iman mereka. Pentingnya kematian seseorang demi iman mungkin merupakan suatu hal yang paling sulit dijelaskan. Kebanyakan dari kita gemetar ngeri membayangkan pemandangan orang yang dibakar, ditenggelamkan, dan dibelah. Namun para saksi mata berulang kali menulis tentang damai yang diperlihatkan oleh para martir itu pada saat-saat terakhir mereka. Buku The Chronicle of The Hutterian Brethren, suatu sejarah era Reformasi yang memuat catatan tentang banyak martir, menggambarkan orang- orang yang menyongsong kematian mereka sambil menyanyi gembira. Seorang di antaranya, Conrad, anak muda yang akan dihukum mati, tetap tenang dan begitu mantap sehingga orang-orang yang menonton berharap tak ingin bertemu dia lagi, anak muda itu membuat mereka resah. Bagi kebanyakan orang kematian sepertinya tak akan berakhir. Kita tidak lagi diminta mempertahankan 31 Lih Kol 1:20
  • 59. Berbagai Paradoks 61 iman kita dengan kata-kata, dan gambaran menderita secara fisik demi iman kelihatannya sangat berlebihan. Bersamaan dengan itu tidaklah dirasakan menyakitkan lagi untuk mempertimbangkan iman bagi mereka yang telah siap menderita demi keyakinan-keyakinan mereka, juga bagi kita sendiri jika kita telah siap melakukan hal yang sama. Setiap orang bisa mengendalikan emosinya dan dapat tetap berdiri teguh menghadapi kesulitan-kesulitan setiap hari. Namun supaya tetap damai menghadapi perjuangan keras termasuk menghadapi kematian, diperlukan lebih dari sekadar maksud baik. Di suatu tempat pasti ada cadangan kekuatan yang sangat besar. Uskup Agung dari El Salvador Oscar Romero menyentuh rahasia damai ini ketika ia berpidato, tak lama sebelum ia mati tentang pentingnya “menerima kekerasan cinta.” Romero dibunuh pada tahun 198032 karena lantang membela kaum miskin. Kekerasan cinta ... membiarkan Kristus tergantung pada salib; kekerasan itulah yang harus kita lakukan pada diri kita sendiri untuk mengatasi egoisme kita dan ketidakadilan yang kejam di antara kita. Kekerasan itu bukan kekerasan pedang atau kekerasan kebencian. Itu adalah kekerasan persaudaraan, kekerasan yang melebur persenjataan menjadi hal yang tidak menyakitkan demi karya perdamaian. 32 Oscar Romero adalah Uskup Agung San Salvador . Lahir 1917. Ditahbis menjadi imam tahun 1942. Pada tahun 1966 menjadi rektor Seminari Tinggi Interdiosesan Salvador. Tahun 1975 menjadi Uskup Santiago. Menjadi Uskup Agung San Salvador 1977. Ia memperjuangkan hak asasi manusia dan menentang ketidak adilan dan membela kaum miskin. Untuk itu ia memajukan Teologi Pembebasan. Pada 1980 ia ditembak sesudah homili dan meninggal. Tahun 1997 ia dicalonkan menjadi orang kudus.
  • 60. 62 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Demikianlah cinta Kristus merupakan daya bagi kebenaran dan kekudusan, yang melawan hingga mendasar semua yang tidak suci dan bertentangan dengan kebenaran. Kasih semacam itu jelas sangat berbeda dengan yang diajarkan pengarang Marianne Williamson dari aliran New Age yang populer, yang menyatakan bahwa untuk memperoleh damai, yang perlu kita lakukan adalah mengasihi diri kita sebagaimana adanya dan “menerima Kristus yang telah ada dalam diri kita.” Tidak mengherankan bahwa banyak orang menyukai khotbah Marianne. Kita tahu bahwa setiap orang Kristiani harus memanggul salibnya sendiri, tetapi kita tidak ingin membahas soal itu. Kita lebih menyukai religiositas gereja modern yang hangat bersahabat dan suka cita yang dijanjikan para malaikat di Betlehem33 daripada kedamaian yang telah dimenangkan Yesus dengan susah payah di Golgotha. Kita mengakui hasil karya Yesus ketika Ia mati - “Bapa, ke dalam tanganMu kuserahkan jiwaKu” 34, tetapi melupakan sakratulmaut yang dialamiNya di taman Getsemani pada malam yang panjang dan sepi sebelumnya 35. Kita lebih menyukai kebangkitan tanpa penyaliban. Belakangan ini suatu ayat dalam Kitab Yeremia menyentuhku: “Bukankah kata-kataku seperti api, seperti palu yang memukul hancur batu karang?”36 Tuhan hanya bermaksud menggambarkan kerasnya hati manusia. Biasanya kita menggambarkan kekerasan hati itu pada wujud orang terpidana: pembunuhan, pemerkosaan, 33 Luk 2:14 34 Luk 23:46 35 Mat 26:36-46 par 36 Yer 23:29
  • 61. Berbagai Paradoks 63 pezinah, pencuri. Tetapi dalam perjumpaan rohani dengan penghuni penjara aku mendapatkan betapa penjahat yang paling keji sekalipun punya hati yang lembut, karena ia sangat sadar akan dosa-dosanya. Betapa ingin aku mengatakan hal seperti itu pada orang-orang lain yang kulayani – orang “baik-baik” yang penuh dengan ego dan citra diri yang dibangun dengan cermat. Sebab mungkin justru hati yang paling keras adalah hati mereka yang tertimbun oleh hal-hal semacam itu. Sekalipun kita sadar akan kekurangan-kekurangan dan perjuangan kita, seringkali kita menolak kekerasan cinta. Kita mencari damai sejati dan abadi dan tahu bahwa damai itu menuntut pengorbanan dari kita, tapi dengan cepat kita menawar pengorbanan itu sekecil- kecilnya. Seorang anak muda dalam jemaatku suatu ketika berkata, “Saya berjuang terus untuk mendapatkan kedamaian, tetapi kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, ‘untuk apa kamu bersusah payah seperti itu? Apakah sungguh ada gunanya?’ Tentu saja aku tak dapat memberikan suatu jawaban bagi dirinya. Tetapi ketika mengenangkan hal itu aku dapat kembali mengajukan pertanyaan kepadanya: jika damai tidak berharga bagimu, bagaimana mungkin kamu berusaha mencarinya? Walaupun kedengaran aneh, mereka yang paling yakin bahwa mereka tidak mempunyai kedamaian kadang-kadang berada sangat dekat untuk mendapatkan kedamian itu. Robert (nama samaran) adalah seorang terpidana di suatu penjara negara. Ia melakukan kejahatan yang mengerikan dan berulangkali ia tersiksa oleh kenangan tentang apa yang telah dilakukannya sehingga ia merasa tak tahan hidup sehari lagi. Kadang- kadang, situasi seperti itu membuatnya merasa damai. Dalam sepucuk suratnya ia menulis:
  • 62. 64 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Anda bertanya apakah saya dapat menulis sesuatu tentang damai, damai Tuhan. Saya ingin mendapatkannya, tapi saya merasa tidak layak. Perasaan bahwa saya tidak layak itu adalah karena saya rasa damai yang Anda bicarakan itu justru berada di luar seluruh hidup saya. Saya mencari damai dalam banyak cara melalui para wanita, nenek saya, melalui prestasi, melalui narkotika, dan kadang-kadang melalui kekerasaan dan kebencian; melalui seks, perkawinan, anak-anak, uang dan harta. Saya tak memperoleh damai dari semua hal itu. Namun sungguh aneh. Walaupun saya tak pernah mengalami kedamaian, tetapi saya mengenalnya dan saya tahu rasanya. Saya melukiskannya sebagai kemampuan untuk bernapas dan tidur. Sepanjang hidup saya (dan masih sering saya alami) saya merasa tercekik atau tenggelam sehingga saya harus terus berjuang untuk bisa bernapas dan beristirahat. Saya merindukan damai semacam itu. Saya tahu … bahwa satu-satunya jalan untuk mendapatkan damai seperti itu adalah melalui Kristus, namun damai itu tetap menolak saya. Saya tidak mengalami damai karena apa yang telah saya lakukan dan apa yang dialami orang lain karena tindakan saya itu. Saya menyesal, sungguh. Saya mohon untuk mendapat kesempatan kedua, di luar penjara dari baja dan beton buatan manusia, dan di luar penjara dosa dari setan. Saya tahu bahwa Tuhanlah yang dapat memberikan hal itu dan di situlah kutaruh iman dan harapanku. Jika Tuhan akhirnya menjawab doa saya setelah semua derita, kegelisahan dan usaha saya ini, niscaya saya akan merasakan kedamaian. Begitu pula saya merasa damai karena tahu bahwa ada orang yang mengasihi saya begaimana pun saya ini dan apa pun yang telah
  • 63. Berbagai Paradoks 65 saya lakukan dan memberi ampunan agar saya memperoleh kesempatan kedua itu…. Nada surat yang ditulis Robert serasa tak punya harapan, tetapi aku (dan teman-teman lain yang berkunjung kepadanya) memerhatikan perubahan yang pasti pada dirinya sejak ditangkap tiga tahun sebelumnya. Bukan karena dia telah mencapai “pencerahan” dan mantap; sejujurnya tak seorang pun bisa mengatakan bahwa Robert memperoleh kedamaian itu. Tapi Robert sangat lapar akan kedamaian itu. Dan karena ia akan berjuang keras melalui penyesalan yang sesungguhnya, ia mungkin lebih dekat dengan Tuhan daripada kami semua. Dalam suatu paragraf tentang damai dalam sebuah naskah Hindu kuno, Bhagawad Gita37, dikatakan: Bahkan para pembunuh dan pemerkosa ... dan kaum fanatik yang paling kejam sekalipun dapat mengenal penebusan melalui kekuatan cinta, jika saja mereka bersedia menerima rahmatnya, yang sekalipun pahit namun menyembuhkan. Melalui transformasi yang menyakitkan mereka akan memperoleh kebebasan, dan hati mereka akan menemukan kedamaian.” Dan di dalam surat Kepada Orang Ibrani kita baca, “Memang didikan dan ajaran pada waktu diberikan tidak mendatangkan suka cita, tetapi duka cita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.”38 Robert mungkin tidak mengenal kedua naskah itu. Tetapi di dalam usaha perjuangannya, ia mengalami kebenaran dari keduanya. Ia menghayati kekerasan cinta. 37 Bhagavad Gita adalah naskah dari abad ke-3 Seb.M yang merupakan petikan dari Mahabaratha, episode Bhisma Parwa, berisi pembicaraan antara Krisna dan Arjuna mengenai tugas seorang senapati perang dan Pangeran ketika Arjuna ragu melawan kakeknya sendiri, Bhisma dalam perang. 38 Ibr 12:11
  • 64. 66 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Tak Ada Hidup Tanpa Kematian S ewaktu mengerjakan buku ini, dua perkataan Yesus dalam Injil Yohanes secara khusus memperdalam pemahamanku tentang damai: “jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Dan “barang siapa (demi Aku) tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.”39 Begitu pula tak ada perdamaian abadi tanpa perjuangan, sebagaimana tak ada hidup sejati tanpa kematian. Karena kita tidak berhadapan dengan ancaman maut, kita tak dapat memahami fakta yang penting ini. Kita lupa bahwa untuk memahami damai Yesus, kita pertama-tama harus memahami penderitaanNya. Kesediaan untuk menderita memang penting, tetapi tidak memadai. Penderitaan itu juga harus dialami. Sebagaimana pernah dituliskan oleh ayahku: “Mengalami, biarpun sedikit, cita–rasa yang dipersembahkan ‘demi Tuhan’ sangat menentukan bagi hidup rohani kita.” Bagi kebanyakan dari kita, cita rasa yang dipersembahkan “demi Tuhan” mungkin tampak negatif dan tak berhubungan dengan damai. Sebab hal itu terkait dengan duka cita, bukan suka cita; penderitaan, bukan kebahagiaan; pengorbanan diri, bukan pemeliharaan diri. Hal itu berkaitan dengan kesepian, penyangkalan, 39 Yoh 12:24-25
  • 65. Berbagai Paradoks 67 pengasingan dan rasa takut. Namun jika kita mau menyadari artinya kehidupan, kita harus dapat menemukan makna itu dari semua hal ini! Penderitaan, seperti dikatakan oleh psikiater terkenal Viktor Frankl “tak dapat dihapus dari paket kehidupan. Tanpa penderitaan, hidup manusia tidak sempurna.” Banyak orang berusaha menghabiskan waktunya menghindari kebenaran ini; mereka adalah orang- orang yang paling bahagia di dunia ini. Yang lain memperoleh damai dan kepunahan dengan menerima hal ini. Mary Poplin, seorang Amerika yang tinggal bersama para Misionaris Suster-suster Cinta Kasih di Kalkuta pada 1996, berkata: Para misionaris memandang pencobaan dan hinaan sebagai saat untuk memeriksa diri, untuk membangun kerendahan hati dan kesabaran untuk mencintai musuh – itulah kesempatan-kesempatan untuk bertambah kudus. Bahkan penyakit pun sering ditafsirkan sebagai cara untuk mendekatkan diri pada Tuhan, cara Tuhan mewahyukan diri dengan lebih jelas, dan peluang untuk merenungkan masalah-masalah karakter dengan lebih mendalam lagi. Kita telah membuang banyak waktu dalam hidup kita dalam usaha untuk memperingan dan menghindari penderitaan, dan ketika penderitaan itu datang, kita tak tahu harus berbuat apa. Kita bahkan tidak mengerti bagaimana menolong orang lain yang menderita. Kita melawan penderitaan, melemparkan kesalahan kepada perorangan dan sistem sosial serta berusaha melindungi diri sendiri. Jarang di antara kita menganggap penderitaan sebagai karunia dari Allah, yang memanggil kita untuk menjadi lebih suci. Sementara kita sering berkata bahwa krisis dan masa penderitaan membangun karakter, kita justru menghindar dari keduanya sejauh mungkin dan berusaha terus
  • 66. 68 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? menciptakan berbagai teknik untuk memberikan kompensasi demi menekan atau mengatasi penderitaan. Banyak bacaan sekuler kita menunjukkan bahwa ibu Teresa dan para misionaris secara psikologis cacat, karena menerima penderitaan dan rasa sakit. Setelah bekerja bersama mereka, aku kira pandangan sekuler itu meleset jauh sekali dari kebenaran. Kita orang Amerika jarang sekali memikul tanggungjawab atas penderitaan kita sendiri. Dan tanpa memandang situasi, setiap kita adalah yang paling miskin dalam hal pilihan untuk menanggapi penderitaan. Bagi para misionaris itu, penderitaan bukan hanya suatu pengalaman fisik, tetapi juga suatu penjumpaan spiritual yang mendorong mereka untuk mempelajari tanggapan-tanggapan baru, untuk mengusahakan pengampunan, untuk berpaling kepada Allah, untuk bertindak seperti Kristus, dan untuk bersyukur karena penderitaan memberikan hasil yang baik pada diri mereka. Dan akhirnya penderitaan itu membuat mereka melakukan tindakan. Begitu pula kesaksian orang seperti Philip Berrigan40, yang tidak hanya menerima derita di dalam kehidupan mereka, tetapi juga merangkulnya. Philip tahu lebih banyak tentang makna kehilangan nyawa “demi Aku” daripada kebanyakan orang Kristiani sekarang. Baginya menjawab panggilan Kristus untuk hidup sebagai murid- Nya berarti penganiayaan dari penjara di masa yang satu ke penjara yang lain di masa lainnya pula. Pada tahun 1960-an, Daniel, saudaranya juga ditangkap karena memprotes Perang Vietnam dan selama sebelas tahun meringkuk dalam penjara. Musim gugur yang lalu aku mengunjungi Philip di suatu penjara di kota Maine di mana ia ditahan karena pembangkangan sipil. Beberapa minggu kemudian ia 40 Lih. Catatan kaki no. 7
  • 67. Berbagai Paradoks 69 dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Dua tahun lagi ia harus berpisah dengan istrinya, Elizabeth McAlister dan ketiga anak mereka. Ini bukan yang pertama kali mereka berpisah. Tapi baik Phillip maupun Elizabeth tidak kecil hati. Dalam sepucuk surat yang ditulis Elizabeth untuknya, Elizabeth merenungkan dasar perjuangan perdamaian mereka, yang sering salah dimengerti dan dikritik karena terlalu dipolitisir, dengan menunjukkan optimismenya dan iman yang tak pernah padam. Sungguh tidak adil – pada umur tujuh puluh tiga tahun kamu untuk kesekian kalinya masuk penjara demi keadilan dan demi perdamaian. Dan kamu mendapatkannya tanpa melalui pengadilan. Tapi apalagi yang kita harapkan jika jutaan orang lainnya juga dipenjara di seluruh dunia, dan banyak di antara mereka itu disiksa, kelaparan, hilang, keluarga mereka diancam? Sungguh tidak adil – kita tidak dapat menikmati rumah yang kita bangun bersama; mengagumi mawar yang kita tanam sedang mekar bunganya; makan buah yang kamu rawat; membanggakan anak-anak yang kita besarkan. Tapi apa lagi yang kita harapkan, jika jutaan orang lainnya tak punya rumah, jutaan orang menjadi pengungsi karena perang, mengalami wabah kelaparan dan penindasan – jiwa mereka telah kusut karena penat dan takut melihat keindahan di sekeliling mereka; harapan dan hati mereka hancur luluh karena anak- anak mereka mati setiap harinya...? Sungguh tidak adil – kita tak dapat menghadiri bersama wisuda Frida dan Jerrry. Mereka merindukan dirimu di samping mereka untuk ikut ambil bagian dalam kebanggaan, prestasi dan awal yang baru bagi mereka. Mereka ingin mendengarkan kata-kata kebijaksanaanmu, kehangatan hatimu, kehadiranmu dalam tahap baru kehidupan mereka. Namun apa lagi yang bisa kita harapkan jika ada begitu banyak
  • 68. 70 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? anak-anak dalam kolese, suatu keluarga yang menyayangi, suatu komunitas yang peduli, namun bukan lagi merupakan buah impian, sebaliknya menjadi k orban-korban kelembagaan yang mengharapkan mereka asal lulus saja, korban-korban dari sikap melalaikan masa depan yang merupakan warisan masyarakat untuk mereka? Sungguh tidak adil – kita tidak dapat bersama-sama mengantar Kate menjelang kelulusan Sekolah Menengah Atas dan menjadi seorang wanita muda…. Sungguh tidak adil – komunitas yang selama bertahun-tahun kamu abdi dalam membangun dan membangun ulang tak lagi kamu dampingi, doa, karya, impian, dan tawa yang tertuang dari karunia, visi dan rahmat yang khusus diberikan padamu. Tapi apalah yang kita harapkan jika komunitas seperti itu dicurigai, diancam, digerogoti, ketika pemberangusan nyaris tuntas, ketika rakyat dijadikan pengecut, dapat dibeli, dicerai-beraikan dan dijadikan pelaksana kepunahan mereka sendiri? Rasa damai dan teguh pendirian yang mengalir dari orang-orang seperti Philip dan Elizabeth tidak dihargai dan juga tidak dipahami dalam masyarakat kita. Cita rasa itu adalah buah dari kemerdekaan Kristus yang paradoks, yang berkata: “Tak seorang pun dapat mengambil hidupKu, namun Aku menyerahkannya atas keinginanKu sendiri. Aku berkuasa untuk mengambilnya kembali.” Bagi Philip, pengorbanan berpisah dari orang-orang yang disayanginya merupakan bagian dari kematian yang harus diderita, palang halang di jalan menuju perdamaian. Yang didapatnya bukanlah damai yang diberikan dunia, namun seperti tulisannya dari penjara pada bulan September 1997, ia memandang damai yang lebih besar dan lebih dalam:
  • 69. Berbagai Paradoks 71 Adalah damai ketika tak ada lagi dominasi, di mana ketidak-adilan dibongkar, ketika kekerasan telah menjadi sisa masa lalu, ketika pedang telah hilang dan mata–bajak banyak tersedia. Adalah damai ketika semua orang diperlakukan sebagai saudara, lelaki dan perempuan, dengan penghargaan dan martabat, ketika setiap kehidupan dianggap suci, dan di mana ada masa depan bagi anak-anak. Dunia seperti itulah yang untuk membantu perwujudannya Allah berkenan memanggil kita. Di negeri kita untuk menanggapi panggilan seperti itu bisa berarti masuk penjara, mempertaruhkan reputasi, pekerjaan, penghasilan, atau bahkan dirampok oleh keluarga dan teman sendiri. Namun dalam suatu negara kriminal yang setiap hari menyiapkan bencana nuklir, tantangan itu sungguh-sungguh berarti kemerdekaan, komunitas teman dan kerabat yang baru. Sesungguhnya, artinya adalah kebangkitan. Bagi kebanyakan dari kita proses kematian yang harus kita tempuh untuk dapat berbuah benar-benar biasa saja. Kita tidak berhadapan dengan regu tembak (seperti gambaran Dostoevsky) atau pengadilan federal (seperti Philip Berrigan dan saudaranya), sebab yang kita dapat hanyalah sedikit lebih sulit dari persoalan hidup sehari- hari saja: soal mengatasi kesombongan, berteriak kepada seseorang yang berbuat salah, meredam kebencian, mendiamkan anggota keluarga atau rekan yang marah atau frustrasi. Tidak ada sesuatu yang heroik dalam memilih melakukan hal-hal ini. Namun “jika benih tidak jatuh di tanah” kita tak akan pernah menemukan damai sejati atau pun dapat menyampaikannya kepada orang lain. Laurel Arnold, jemaat gerejaku yang kukenal sejak akhir 1950-an berkata:
  • 70. 72 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Bila aku merenungkan kata-kata Yesus dalam Injil Yohanes 14:27 “Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu,” – aku teringat betapa sering ayat ini dibacakan pada upacara pemakaman, namun tetap berada di luar diriku. Aku dibesarkan di suatu lingkungan yang terlindung dan tersendiri agar menjadi wanita yang benar, saleh dan kritis. Aku ingin menjadi seorang ternama, mungkin seorang penulis yang terkenal, dan aku bekerja keras dan dihargai di universitas. Aku ingin populer, namun aku mengadili teman-teman yang juga ingin dikenal. Aku sangat idealistis dan mencintai aliran pacifisme, tapi aku benar-benar orang kulit putih kelas menengah yang buta terhadap ketidak-adilan sosial dan permainan politik. Selama perang aku mengajar di New York City, sementara Paul, suamiku, menjadi pelaut. Setelah perang, kami tergugah melihat realitas kehidupan orang lain. Paul telah menyaksikan kerusakan yang mengerikan di kota-kota yang terkena bom di Eropa; aku tersandung orang-orang yang mabuk di jalanan dan aku peduli pada anak-anak yang tak pernah bermain di rerumputan. Kami kira kami dapat membantu seorang pecandu alkohol dan merengkuhnya dalam keluarga kami, tapi ia kabur mencuri uang dari toko kami. Kami menawarkan diri kepada majelis gereja kami untuk menjadi misionaris dan dikirim ke Afrika. Walaupun kemudian kami meninggalkan bidang misi, kami makin terlibat dalam kegiatan gereja. Namun kami tidak menemukan hubungan dari hati ke hati yang kami cari, karena semua kegiatan bersifat dangkal dan gosip belaka. Kami ingin menghayati kehidupan yang mengikuti Yesus setiap hari, bukan hanya pada hari Minggu saja. Kemudian, kami tertarik pada cita- cita persaudaraan, dan kami mulai mempelajari berbagai persoalan dan bidang-bidang kehidupan yang belum
  • 71. Berbagai Paradoks 73 terpikir oleh kami sebelumnya: materialisme, rumah pribadi, sebab-sebab perang. Pada 1960 kami bergabung dengan Bruderhof.... Adalah mudah untuk menyerahkan rumah, mobil dan penghimpunan harta bersama; kami bisa mengerti. Namun kesukaan kami menyampaikan pendapat, cara-cara berprinsip untuk menanggapi berbagai hal, pertimbangan berdasarkan kebenaran pribadi; sikap seperti bos, dan keyakinan diri yang menggilas orang lain, semua itu masih sulit untuk dikorbankan. Untuk masa yang panjang aku berusaha agar tidak bertindak menurut aturan, melainkan supaya lebih dibimbing oleh Roh; berusaha agar tidak mencari citra diri “baik” atau ramah, dan lebih bersikap tulus dan jujur. Sulit! Tentu saja ada suka duka yang seimbang dan kesetiaan pada Tuhan selama itu, berusaha menimbang-nimbang, mendapatkan ampunan dan kesempatan untuk permulaan yang baru. Aku masih tak suka dianggap salah – tak ada orang yang suka – tapi aku mendapatkan rahmat, kasih dalam kerahiman Allah. Pada usia tujuh puluh empat, tak ada waktu untuk rileks dan bermalas-malasan. Ada begitu banyak hal yang masih perlu kupelajari, begitu banyak yang harus ditanggapi.... Ada orang yang di dalam doa bersyukur kepada Allah karena telah menjadi putraNya. Aku tidak seyakin itu. Apakah aku sungguh-sungguh siap mati? Yang pasti aku tidak hidup “dengan tenang”, seperti dalam lagu yang kita nyanyikan “Peace I ask of Thee, O River.” Ada kegelisahan dan kerinduan tertentu pada diriku. Kukira kita semua merupakan bagian dari makhluk yang mengeluh yang disebut dalam Surat untuk Jemaat Roma 8. Walau kulihat diriku sendiri mudah goyah, sedang Allah begitu setia sepanjang hidupku, di sanalah kudapatkan iman dan kedamaianku.
  • 72. 74 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? Tidak ada yang istimewa dalam cerita Laurel itu. Namun perjuangannya yang biasa-biasa saja – tugas umum sepanjang hayat untuk belajar hidup dalam damai dengan Tuhan, dengan tetangga, dan diri sendiri – tidaklah kalah penting dibanding kemartiran yang heroik. Kakekku menulis: Sejauh terkait dengan umat manusia seluruhnya, hanya satu hal yang berharga bagi Kerajaan Allah: Kesediaan kita untuk mati. Namun kesediaan ini perlu dibuktikan dalam hal-hal yang remeh-remeh dalam hidup sehari-hari, sehingga kita dapat memperlihatkan keberanian dalam masa-masa yang kritis dalam sejarah. Maka kita harus sepenuhnya mengatasi sikap dan perasaan yang kecil-kecil, supaya dapat menyerahkan cara pribadi kita seluruhnya dalam menanggapi hal-hal, yaitu rasa takut, khawatir dan kegelisahan batin kita – pendeknya, ketidakpercayaan kita. Sebaliknya, kita memerlukan iman. Iman yang walaupun sebesar biji sesawi, namun punya peluang untuk tumbuh menjadi besar. Itulah yang kita perlukan, tak kurang, tak lebih.
  • 73. Berbagai Paradoks 75 Kebijaksanaan Orang Bodoh D alam suratnya yang pertama kepada Jemaat di Korintus, Rasul Paulus menulis, “Janganlah ada orang yang menipu dirinya sendiri. Jika ada di antara kamu yang menyangka dirinya berhikmat menurut dunia ini biarlah ia menjadi bodoh supaya ia berhikmat. Karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah.41 “Kebijaksanaan orang bodoh (dan kebodohan orang bijak) tampaknya tidak berkaitan dengan damai yang diberikan dunia ini, maka damai itu tidak dapat ditemukan oleh mereka yang mengikuti kebijaksanaan dunia, oleh mereka yang merangkul kebodohan di mata Allah. Secara praktis, kebodohan ini sering disepelekan atau dilupakan. Cerita tentang Fransiskus Asisi bisa dijadikan contoh. Hingga sekarang Fransiskus Asisi sangat dikenal sebagai biarawan yang lembut hati, yang membuat nyanyian untuk matahari dan berdamai dengan binatang dan burung- burung. Namun Santo Fransiskus bukanlah penyair yang lembek. Dengan semangatnya yang meluap-luap, dia menjadikan dirinya sama dengan orang miskin dengan membagi-bagikan bukan hanya semua warisan yang diterimanya, tetapi juga baju yang disandangnya. Wasiat terakhirnya luar biasa kritis terhadap kekayaan dan lembaga keagamaan, sehingga surat itu disita dan dibakar sebelum ia sendiri akhirnya dinyatakan sebagai orang suci. Dan beberapa kata yang ditinggalkannya bagi kita 41 1Kor 3:18-19
  • 74. 76 Kedamaian, di Manakah Kau Berada? mengungkapkan semangat yang niscaya menantang kita, setiap kali kita membacanya – sekalipun karena sering diucapkan lalu terasa usang: Tuhan, jadikan aku pembawa damai Bila terjadi kebencian, jadikanlah aku pembawa kasih; Bila terjadi penghinaan, jadikanlah aku pembawa ampunan; Bila terjadi kebimbangan, jadikanlah aku pembawa iman; Bila terjadi keputus-asaan, jadikanlah aku pembawa harapan; Bila terjadi kegelapan, jadikanlah aku terang; Bila terjadi kesedihan, jadikanlah aku sumber kegembiraan. O Guru Ilahi, Buatlah diriku agar lebih berusaha: Menghibur, daripada dihibur; Memahami, daripada dipahami; Mencintai, daripada dicintai. Sebab dengan memberi aku menerima; Dengan mengampuni aku diampuni; Dan dengan mati aku bangkit lagi Untuk hidup abadi. Mereka yang merinding mendengar jawaban religius seperti yang diberikan Santo Fransiskus tujuh abad yang lalu, sepertinya sekarang malah akan diolok-olok orang. Seperti Santo Fransiskus, mereka mungkin juga tahu bahwa jalan menuju perdamaian abadi menuntut kesediaan untuk tidak dipahami dan salah dimengerti orang. Dalam bukuku tentang kematian dan proses menuju kematian, I Tell You A Mystery, aku menceritakan kisah bibiku Edith yang menukarkan gaya hidup yang nyaman sebagai mahasiswa Teologi di Universitas Tubingen dengan hidup miskin di Bruderhof. Kebodohan Edith (sementara Hitler berkuasa, dan komunitas kami dianggap sebagai ancaman bagi negara) membuat orang tuanya marah sehingga mereka mengurungnya di kamar