Petani kecil di Indonesia tidak dikenal. Di level Asean pun kondisinya sangat menyedihkan. Kita baru perduli pada PERTANIAN, pada komoditas, produksi, produktivitas, nilai ekspor, dst. Kita belum perdulu PETANI, apalagi PETANI KECIL nan imut imut tea.
1. Eksistensi dan Esensi Peran
Pertanian Skala Kecil Dalam
Pemenuhan Pangan Nasional di
ASEAN
Oleh: SYAHYUTI
Seminar HPS – Padang 21-22 Okt 2013
2. Petani Kecil penting:
Pidato Dirjen FAO pada The World Food Day - 16
Oktober 2012 = “Small-Scale Farmers As A Key To
Feeding The World”.
Laporan PBB = “Small Farmer Feed The World”.
PBB sedang menyusun Deklarasi PBB tentang Hak
Asasi Petani dalam “Human Rights Of Peasant and
Other People Working In Rural Areas” (mulai tahun
2009)
Keberadaan deklarasi ini nantinya akan merubah
berbagai regulasi tentang petani.
UU No19 - 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani (9 Juli 2013) = bahwa selama
ini petani belum memperoleh perlindungan yang
semestinya.
3. Siapa kah “petani kecil” ?
petani gurem (peasant), petani kecil (small farmer),
buruh tani tanpa tanah (landless laborers), pertanian
keluarga (family farming), dll
nelayan (fisherfolk), kelompok berburu-meramu (hunter
and gatherer), kelompok penggembala (pastoralists)
Magna Carta of Small Farmers (Filipina), smallholder =
“as natural persons dependent on small-scale
subsistence farming as their primary source of income”.
Pasal 4 = “…natural persons dependent on small-scale
subsistence farming as their primary source of income
and whose sale, barter or exchange of agricultural
products do not exceed a gross value of One hundred
eighty thousand pesos (P180,000) per annum based on
1992 constant prices”.
4. Batasan petani kecil:
Land Bank of the Philippines, petani kecil = petani yg
menguasai lahan < 5 ha.
Dalam laporan “Empowering Smallholder Farmers In
Markets (ESFIM) Philippines Country Paper”, petani
kecil = penguasaan < 2 ha
Thapa (2009) dan World Bank (2003) = menguasai
lahan di bawah 2 ha.
Asian Farmers Association (AFA) = maksimal 3 ha
untuk lowland dan 10 ha untuk upland
5. Di Indonesia:
Tidak dikenal istilah “petani kecil” secara resmi
Dalam literatur ilmiah = ada sitilah petani gurem,
petani tuna kisma, dan buruh tani
Pendekatan teknis-finansial telah meminggirkan
aspek humanity pertanian
Petani adalah SDM = alat produksi
Era Revolusi Hijau, petani dipinggirkan dengan
pendekatan “dipaksa, terpaksa, biasa”
6. Batasan “petani” di Indonesia:
Dalam KBBI, petani = orang yang mata pencahariannya
bercocok tanam (terutama buruh tani dan petani
penggarap) (= luas).
SP 1963, petani di bawah 1000 m2 = bukan petani
(=sempit).
SP 2003, RT pertanian = rumah tangga yang
mengusahakan lahan untuk berbagai kegiatan budidaya
atau bukan pengguna lahan namun memanfaatkan
produk pertanian dalam usahanya (penangkaran,
memungut hasil hutan), serta berusaha di bidang jasa
pertanian (=luas)
SP 2013, RT petanian = rumah tangga yang salah satu
atau lebih anggota rumah tangganya memelihara
tanaman/ternak/ikan baik untuk tujuan usaha maupun
7. UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, petani
= warga negara Indonesia perseorangan dan/atau
beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di
bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,
dan/atau peternakan (=sempit)
Permentan No. 273/ 2007 tentang Pedoman
Pembinaan Kelembagaan Petani. dan UU No.
16/2006 tentang penyuluhan, petani = perorangan
warga negara Indonesia beserta keluarganya atau
korporasi yang mengelola usaha di bidang
pertanian, wanatani, minatani, agropasture,
penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan di
sekitar hutan, yang meliputi usaha hulu, usaha tani,
agroindustri, pemasaran, dan jasa penunjang.
UU No. 12/ 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman = tidak ada batasan tentang petani.
8. Persepsi terhadap petani di Indonesia:
Petani berada dalam format relasi “negara- rakyat”
Basis petani adalah komoditas (petani pangan,
petani hortikultura, pekebun, peternak, dst)
Petani lemah, di bawah, kurang berpengetahuan,
sehingga perlu diberdayakan
Kedaulatan petani atas pengetahuan rendah
Semua pengetahuan berasal dari luar dan atas
petani
Perlindungan bagi pengetahuan yang dimiliki petani
belum ada.
9. Karakter petani dan pertanian kecil:
penguasaan lahan sempit
penggunaan input rendah dan lokal (mandiri)
ramah lingkungan
indeks pertanaman tinggi (multicropping dan
intercropping)
lebih intensif dan diverisifikatif
Produksi terbatas
lebih adaptif dan pejal, berkelanjutan
menjamin keragaman hayati
10. Populasi petani kecil:
Di Asia Pasifik, 87 persen usaha pertanian
tergolong pertanian kecil (435 juta orang)
Di China jumlah petani dengan lahan di bawah 2
hektar = 193 juta
Di India = 93 juta.
75 persen warga miskin dunia adalah petani kecil
11. Kondisi agraria petani kecil di Asean:
Banyak petani Asean memiliki lahan sempit , sulit untuk
hidup layak.
Program landreform tidak jalan, di Vietnam lumayan.
Struktur penguasaan lahan = bias struktur penjajahan.
Di Filipina = 10 persen populasi menguasai 90 persen
lahan.
Thailand = naiknya harga lahan , tekanan penduduk,
perkembangan sektor non pertanian, lahan utk
konservasi
Vietnam = rata-rata penguasaan di bawah 0.5 ha per
RT
Lahan pertanian dikuasai pemerintah, petani hak pakai
selama 20 tahun. keterbatasan penguasaan, akumulasi
lahan, framgmentasi, pasar lahan.
Myanmar = masalah hak lahan untuk petani, okupasi
12. Malaysia = rendahnya penguasaan lahan
menyebabkan petani banyak terlibat dalam kegiatan
lain (Abdul-Hakim Dan Che-Mat, 2011).
Di Indonesia, swasembada tidak otomatis menjamin
kesejahteraan petani. Mata rantai yang putus
adalah penguasaan lahan.
Laporan “Landless ASEAN Peasants Threatened by
Starvation” oleh Asian Forum For Human Rights And
Development = petani Asean terancam kelaparan,
karena memproduksi tanaman untuk ekspor.
13. Akses pasar sulit:
Akses terhadap pasar sangat terbatas.
Vietnam = “Farmers have very minimal knowledge
of and experiences in production and doing business
in the market economy” (Cabungcal-Cabiles dan
Penunia. 2004).
perubahan pada pasar dan produk pertanian,
kompetisi juga semakin ketat
Laporan “Empowering Smallholder Farmers In
Markets (Esfim) Philippines Country Paper” = petani
kecil dikuasai pedagang, kekurangan informasi
pasar, lemahnya modal dan dukungan pasca
panen, distorsi, pasar tidak efisien
14. AsiaDHRRA bersama Cambodian Center for Study
and Development of Agriculture (CEDAC), Linking
Small Farmers Project (LSFM), the ASEAN
Foundation, dan the World Rural Forum =
melaksanakan training “Complying with Market
Requirements on Food Safety and Product Quality”
(January 2009 di Kamboja diikuti petani kecil dari 10
negara Asia.
The ASEAN Foundation = proyek peningkatan
kapasitas petani kecil khususnya untuk petani
pembudidaya ikan tahun 2008-2010 di negara
Kamboja, Indonesia, Filipina, Thailand and Vietnam.
Sebanyak 65 orang petani di Filipina tahun 2009.
mengikuti training “Linking Small Farmers to the
Market” AsiaDHRRA didanai dari ASEAN Foundation
dan Japan-ASEAN Solidarity Fund (JASF).
15. Organisasi petani:
Lingkungan kelembagaan yang dihadapi:
Indonesia = pendekatan organisasi yang dijalankan
merupakan bentuk alat kekuasaan pemerintah kepada
rakyatnya.
Bourgeois (2003) =“During the Soeharto Era, there was
no room for the development of organizations that
were not under the control of the government. The
government considered all organizations at the village
level (in particular kelompok Tani, and KUD cooperatives)
as instruments in policy implementation”
Setiap organisasi di desa tunduk pada kekuasaan atas-
desa (power compliance)
Di Filipina (Bab II pasal 5 “Magna Carta of Small
Farmers”) = petani memiliki hak untuk berorganisasi
untuk berbagai kebutuhan mereka, dan pemerintah mesti
mendukung agar organisasi ini kuat. Petani memiliki
organisasi di dalam struktur pemerintahan.
16. Kondisi organisasi:
Studi ASIADHRRA dan AGRITERRA (2002) di Indonesia,
Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Vietnam and
Filipina (19 organisasi petani):
Organisasi lemah dalam pengetahuan dan keterampilan
pengurus dan anggotanya
lemah secara politik di level nasional dan lokal.
Masing-masing organisasi telah mampu mengembangkan
kemampuannya yang khas disesuaikan dengan kondisi yang
dihadapi di tiap negara.
Meskipun berskala nasional, namun masih lemah dalam
manajemen dan sistem.
Di Malaysia ada organisasi NASH yang beranggotakan petani
mencakup petani karet, sawit dan kakao.
AFA (Asian Farmers’ Association) berdiri tahun 2002.
Visi AFA: (1) kemandirian, pendidikan, kesehatan dan
membebaskan dari kelaparan dan kemiskinan, (2) akses
lahan, sumberdaya lain , (3) akses kepada pasar yang adil,
17. Program untuk petani kecil:
AFA membentuk “ASEAN Small-scale Farmers’/
Producers’ Council” untuk produktivitas pertanian,
kredit dan peran perempuand dalam pertanian, dan
partisipasi politik.
Di Kamboja, organisasi Farmer and Nature Net
(FNN), Cambodian Center for Study
and Development in Agriculture (CEDAC) membantu
pemasaran produk organik.
Asean Foundation = telah pula berupaya membantu
menghubungkan petani kecil ke jaringan pasar.
AFA memberi perhatian pada family farming.
Di Malaysia = Persatuan Kebangsaan Pekebun-
Pekebun Kecil Malaysia (NASH) berupaya
meningkatkan pendapatan dari RM15,000.00 ke
RM49,000.00
18. Tahap dan pokok perhatian Justifikasi Bentuk kebijakan
1. Productivity and Equity (1950-an)
Kesetaraan dan produktivitas Agenda kebangsaan, dekolonialisasi, kemakmuran
rakyat), menghadang komunisme. Inverse Relationship
(IR) theory , produktivitas = out put per area of land
Land to the tiller, land
reform “from below”
and “from above”
2. Productivity without Equity (1960-an)
peningkatan produktivitas
dan modernisasi pertanian
dicapai melalui technological change tanpa structural
change
State-led developmentalism (negara dalam rekayasa
sosial, penyediaan subsidi dan kredit, serta pengaturan
harga dan pasar)
Liberalisasi pasar finansial dan perdagangan
Revolusi Hijau
3. Liberalisation and efficiency (1980-qn)
efisiensi pasar dan deregulasi Pasar akan mengefisienkan seluruh
mekanisme
Market-based land reform
Land administration
Land titling (sertifikasi lahan)
4. Commercial Smallholders (abad 21)
inkorporasi smallholders ke
dalam mata rantai nilai global
-Kosep scale and linkages
-kontrak antara smallholders dan perusahaan
agribisnis
-Contract farming
-inti-plasma
-kemitraan bisnis
-Visi neoliberal “transisi agraria”
(World Development Report
2008)
Historik tahapan kebijakan mengenai Smallholders
19. Peran pertanian kecil:
Untuk mengikis kemiskinan, kelaparan, dan
degradasi lingkungan
Mampu memberi pangan dunia
Dengan menerima dan menyadari kehadiran mereka
dengan karakter sosiokultural yang khas, akan
menjamin pemenuhan pangan bagi mereka yang
sekaligus akan membantu MEA mencapai
ketahanan pangan.
20. Dukungan yang dibutuhkan:
investasi pertanian agroekologis
memberi perhatian pada kearifan lokal
memberi akses dan kontrol sumber daya (air, tanah,
dan modal) dari korporasi ke komunitas lokal
memperkuat organisasi tani.
21. Kesimpulan dan Implikasi:
“petani kecil” (small farmer) agak tersingkirkan dari
kebijakan pembangunan pemerintah selama ini.
Kalangan yang pro kepada usaha besar komersial =
ingin petani kecil “hilang”
Penerapan teknologi yang rendah = aib kultural
Belum memadainya pemahaman, rendahnya
pemihakan, dan perlakuan yang kurang adil kepada
petani kecil (“anti-small farm policies”).
Ini akan melemahkan ketahanan pangan di Asean
22. Implikasi kebijakan:
Konsep “petani kecil” mesti masuk secara tegas dalam
kebijakan dan menjadi agenda penting setiap negara di
Asean.
Petani kecil akan selalu eksis saat ini dan ke depan.
Dengan menerima dan menyadari kehadiran mereka
dengan karakter sosiokultural yang khas, akan menjamin
pemenuhan pangan bagi mereka yang sekaligus
bermakna membantu Indonesia mencapai ketahanan
pangan.
Membantu petani kecil dapat membantu untuk
pertumbuhan ekonomi dan ketahanan pangan.
Laporan IFPRI and ODI (2005) Berjudul “The Future of
Small Farms” menyebutkan bahwa “….small farmers
have a future but will need a variety of technological and
nontechnological interventions to overcome the
challenges they face”.
Dibutuhkan kreativitas menciptakan teknologi yang
sesuai dengan mereka, serta kelembagaan.
23. Dalam “Agenda 21” (dokumen pembangunan
berkelanjutan hasil KTT Bumi di Rio 1992), pada
bagian “Basis for action”, nomor 32.3. A farmer-
centred approach is the key to the attainment of
sustainability in both developed and developing
countries and many of the programme areas in
Agenda 21 address this objective. A significant
number of the rural population in developing
countries depend primarily upon small-scale,
subsistence-oriented agriculture based on family
labour.
Tahun 2014 = International Year of Family Farming
(IYFF) didukung oleh World Rural Forum dan 360
NGO sedunia