1. Edisi I, 6-20 Mei 2012
BIRU
Bincang - Bincang Revolusi
SEBUAH IKHTIAR, SEBUAH JALAN
CIPUTAT. Sebuah kecamatan
kecil di pinggiran Jakarta. Dulu,
kota kecil ini pernah menjadi
kiblat pembaharuan pemikiran
Islam. Dulu, basis pergerakan
besar ada di sini.
Ada suatu masa ketika Mazhab
Ciputat begitu ramai diperbincangkan karena anak-anak muda
dari kota kecil itu tampil dengan
gagasan-gagasan hebat di pentas
nasional. Ada suatu masa ketika,
api aktivisme seperti takkan berhenti menyala di kampus kecil
pinggiran Jakarta itu.
Itu dulu. Dulu sekali.
Semua itu nyaris seperti tinggal
cerita. Seperti tak ada yang bersisa dari kebanggaan masa lalu
itu. Tak ada lagi pembaharuan
dari Mazhab Ciputat. Basis-basis
pergerakan juga telah bergeser.
Hampir setiap perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang
tidak pro-rakyat, gelora perjuangannya tidak lagi berasal dari
kampus ini. Aktivisme seperti
mati suri.
Masih adakah yang peduli?
Di pojok-pojok kantin dakwah, di
tengah obrolan tentang fashion
terkini, masih ada satu-dua yang
diskusi dampak kebijakan kenaikan harga BBM. Di Warung Kopi
di bilangan Pisangan, di seputar
perbincangan
hasil laga-laga di
Liga Eropa, masih ada beberapa
mahasiswa yang
ngobrol tentang
nasib buruh di negeri ini.
mengangkat pembicaraan tentang nasib buruh.
Kami percaya, masih ada jiwajiwa yang gelisah dengan berbagai keadaan. Kami yakin, ada
kerinduan terhadap iklim intelektual yang dulu pernah ada di
Ciputat.
Kami sengaja hadir dengan
breaking ideas, bukan breaking
news. Karena kita semua pasti
mafhum, sumber berita yang
serba-cepat akan kita dapatkan
dengan gampang di internet.
Tabloid Biru hadir untuk sekadar Maka dalam setiap edisi, kami
akan selalu berusaha
menyirami kekeringan diskusi
dan kajian di Ciputat. Kami sadar menghadirkan artikel yang menbetul, usaha ini belum seberapa dalam dengan gagasan yang jelas.
untuk benar-benar menghidupkan kembali gairah intelektual
Tentu kami juga masih mendan semangat aktivisme yang
yediakan rubrik khusus untuk
dulu pernah ada. Tapi setidaknya, berita. Rubrik itu kami namai,
ikhtiar ini telah dimulai. Jalan ini Sorotan dan Kabar. Di dua rubrik
harus dimulai.
itu, kami menerima kiriman lapoTabloid Biru hadir dengan jurnalisme wacana. Setiap edisi akan
ada tema khusus yang kami
hadirkan. Di Edisi pertama ini,
mumpung masih bulan Mei, kami
ran kegiatan atau peristiwa dari
pembaca. Kirimkan saja ke email
redaksi, naskah yang layak pasti
akan kami muat.
Harapannya, tabloid ini akan ter-
bit dalam jangka panjang. Perbaikan isi dan tata letak akan kami
lakukan seiring berjalannya
setiap edisi. Kritik dan saran
kami harapkan dengan tangan
terbuka. Selamat menikmati.
SAJIAN
EDISI
INI:
Laporan dari PSNMHII di Universitas Andalas
Diskusi Hari Buruh
Barcelona ditaklukkan Muenchen
Mencari Dumbledore
Nasib buruh dari masa ke masa
Resensi novel Pulang, Leila S
Chudori
Koantas Bima 501 dan kemerdekaan kita
“Kami hadir dengan
breaking ideas , bukan
breaking news .”
Tentang Tabloid Biru
Tabloid Biru diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Pisangan. Dengan inisiatif untuk menghadirkan karya pers
mahasiswa yang lebih peduli dengan kajian komperehnsif dalam setiap terbitannya. LPM Pisangan dibentuk dengan semangat jurnalisme wacana agar kehidupan kampus UIN Jakarta tidak miskin wacana dalam setiap perbincangan di kantin-kantin, warung kopi, kelompok diskusi dan kajian, ruang kelas hingga meja -meja seminar.
Awak LPM Pisangan; Editor in chief: Ahsan Ridhoi. Sekretaris redaksi: Hanifa. Dewan redaksi: Jopi, Udin, Edo,
Entis, Iceng, Khairy, Ikhsan, Fikri. Reporter: Randy, Abun, Asep.
LPM Pisangan menerima kiriman karya jurnalistik berupa reportase, opini dan lain -lain.
email redaksi:
tabloidbiru@gmail.com
Twitter:
@TabloidBiru
2. Sorotan
Halaman 2
SEBUAH PERJALANAN MENAPAKI JEJAK DIPLOMASI INDONESIA
para delegasi mendapatkan
agenda city tour, sebuah perjalanan yang sangat istimewa
karena para delegasi diajak untuk menapaki jejak Hatta, meneladani langkah Sjahrir, bahkan
menikmati syair-syair Taufik Ismail.
Laporan dari Pertemuan Sela
Nasional Mahasiswa Hubungan
Internasional se- Indonesia
(PSNMHII) XXV, di Universitas
Andalas, Padang.
Pertemuan Sela-Nasional
Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia, merupakan
acara yang menjadi agenda tahunan di dalam Forum Komunikasi
Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (FKMHII).
PSNMHII digunakan oleh para
mahasiswa hubungan internasional sebagai forum temu di sela
tahun yang bertujuan untuk membahas agenda-agenda di dalam
FKMHII serta persiapan untuk
menyambut Pertemuan Nasional
Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII)
sebagai acara terbesar dalam
agenda FKMHII. Tahun ini, Universitas Andalas adalah tempat bagi
berlangsungnya PSNMHII XXV
yang berlangsung antara tanggal
21-25 April 2013.
21 April 2013, PSNMHII XXV
secara resmi dimulai. Napak tilas
diplomasi Indonesia diusung sebagai tema besar dalam PSNMHII
XXV kali ini. Sebuah tema yang
meminta segenap peserta, yang
merupakan mahasiswa ilmu
hubungan internasional dari universitas seluruh Indonesia, untuk
mengingat kembali sejarah diplomasi Indonesia di dunia internasional sedari merdeka hingga
kini.
Tema tersebut menjadi sangat
menarik mengingat kebijakankebijakan luar negeri Indonesia
beberapa tahun terakhir yang
terlihat kurang berani, bahkan
cenderung melunak pada beberapa aspek. Oleh karena itu
dibutuhkan sebuah upaya
mengingat kembali sebagai
evaluasi dan pembelajaran, terutama bagi para mahasiswa
hubungan internasional yang
kelak tak lain akan menjadi diplomat-diplomat Indonesia.
Hadir sebagai pembicara di
dalam seminar nasional yang
menjadi salah satu rangkaian
acara PSNMHII XXV dengan tema
“napak tilas diplomasi Indonesia”
adalah Ambassador Fachri Ali
sebagai perwakilan dari Kementrian Luar Negeri Indonesia dan
Philips J. Vermonte, pengajar
jurusan ilmu hubungan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta
peneliti di CSIS. Dalam seminar
nasional yang berlangsung pada
tanggal 22 April 2013 tersebut,
seminar dibagi ke dalam dua
sesi. Sesi pertama, pemberian
materi tentang sejarah diplomasi
Indonesia, serta penjelasan langkah-langkah taktis Kementrian
Luar Negeri Indonesia dalam
proses diplomasi Indonesia yang
disampaikan oleh Ambassador
Fachri Ali. Lalu sesi kedua adalah
pemaparan dan analisa tentang
perjalanan-perjalanan diplomasi
Indonesia, oleh Philips J. Vermonte.
Di dalam dua sesi seminar
tersebut secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa, diplomasi
merupakan salah satu faktor
paling penting yang membawa
bangsa ini sampai pada gerbang
kemerdekaan yang bisa kita nikmati saat ini selain faktor perjuangan fisik.
Perjuangan secara diplomasi
inilah yang menjadi bahasan
penting di dalam seminar na-
Istana Hatta adalah destinasi
pertama dari perjalanan tersebut,
dan para delegasi menjadi saksi
kehebatan Hatta. Tetesantetesan perjuangan Hatta masih
tersimpan rapi disana, menjadi
untaian-untaian kisah indah kehebatan salah satu tokoh besar
sional yang berlangsung pada
bangsa ini. Jiwa Hatta terjaga,
hari itu. Kisah seputar Mr. Achmerasuk kembali di dada para
mad Soebardjo menjadi halaman
delegasi. Selanjutnya adalah
pertama kisah-kisah perjalanan
galeri Taufik Ismail, syair-syair
diplomasi Indonesia. Menteri luar
yang indah terpahat pada dinding
negeri Indonesia pertama terse-dinding galeri, dan sejarah
but menjadi tonggak segala kisah
Sjahrir mendapat tempat khusus
perjuangan Indonesia dalam dipdi salah satu sudut galeri itu.
lomasi setelah merdeka, sebagai
kementrian pertama yang terbenKepuasan para delegasi tidak
tuk pasca kemerdekaan, peran
terkira, namun, keesokan hari
Kementrian Luar Negeri sangat
acara harus sampai pada ujung
vital dalam rangka mengabarkan perjalanan, PSNMHII XXV pun
kepada dunia bahwa Indonesia
ditutup dan diakhiri dengan pesta
telah menjadi bangsa yang mer- perpisahan. Menjadi aneh ketika
deka.
pesta perpisahan yang seharusnya menjadi sebuah kesan yang
Kisah seputar Agresi militer
tak akan terlupakan, namun,
Belanda I dan agresi militer
justru memberikan kesan yang
Belanda II sampai Konferensi
kurang menarik, keteledoran
Meja Bundar merupakan kisahpanitia pada saat itu yang tidak
kisah manis perjuangan diplomempunyai rencana cadangan
masi Indonesia di dunia internamenjadikan acara pesta perpisasional. Dari peristiwa-peristiwa
han tersebut gagal lantaran hujan
itu, Indonesia berhasil membuktiyang turun harus membubarkan
kan tajinya sebagai negara yang
acara tersebut yang kebetulan
baru merdeka, yang berujung
berlokasi di tempat terbuka.
pada keputusan Konferensi Meja
Bundar yang menjadi tonggak
Terakhir, PSNMHII XXV dengan
pengakuan kedaulatan Indonesia segala lika-likunya, kelebihan dan
secara de jure dari bangsakekurangannya, telah memberi
bangsa dunia.
kesan bagi seluruh delegasi yang
mengikuti serangkaian acara
********
tersebut. Semoga menjadi pemHari ketiga, 23 April 2013,
belajaran bagi terlaksananya
merupakan hari paling panjang
PSNMHII XXVI di Universitas
bagi para delegasi, begitu pula
Udayana pada tahun 2014.
bagi kami delegasi UIN Jakarta;
(AHSAN)
Azmi, Nyimas, Ahsan, Fikri, Ikhsan, Andi, dan Ganang. Hari itu
3. Kabar
Halaman 3
MAY DAY: MELIHAT KENYATAAN KEHIDUPAN BURUH INDONESIA
PMII Komisariat FISIP UIN
Syarif Hidayatullah mengadakan
diskusi mingguan dengan tema
“Polemik Perburuham di Indonesia: Dampak Imperialisme terhadap Negara Dunia ke-3”. Tema ini
diangkat dalam rangka memperingati hari buruh yang jatuh pada
tanggal 1 Mei. Pada hari itu,
ratusan ribu buruh Indonesian
tumpah ruah dikawasan Bundaran hotel Indonesia (HI). Mereka
menuntut, kelayakan upah,
penghapusan sistem kerja kontrak, dan jaminan kesehatan.
but dijelaskan oleh Matin Halim
(Kader PMII KOMFISIP), pada
Kamis (02/05/2013) malam.
Tujuan pembangunan nasional
adalah untuk kesejahteraan
rakyat. Namun, realita yang terjadi ditengah masyarakat adalah
krisis multidimensial, ketahanan
pangan yang lemah, dan hukum
yang semrawut. Masalah ekonomi di negeri ini semakin kompleks. Kesenjangan sosial di
masyarakat semakin terlihat tajam.
Itulah yang diperjuangkan para
Sejarah pahit penjajahan diburuh di Indonesia. Pasca beranegeri ini membawa dampak
khirnya masa kejayaan minyak,
buruk bagi mentalitas dan karakpemerintah mengejar pertumbuteristik rakyatnya. Sehingga,
han ekonomi melalui industrikarakteristik pemimpin yang bealisasi orientasi ekspor. Promosi
gitu lembek dan cenderung selalu
murahnya upah buruh, kestabilan
bersikap lemah terhadap pihak
politik, dan melimpahnya smuber
asing dan pemilik modal merudaya alam, telah menarik investor
pakan faktor utama penyebab
asing. Akibatnya, Indonesia harus
kesengsaraan buruh. Hal tersemembayar mahal, dengan keru-
sakan tatanan sosial, eksploitasi
manusia dan sumber daya alam,
serta perusakan lingkungan
karena penanaman modal asing.
“Industi yang sangat eksploitatif menimbulkan keadaan yang
disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi (vergebrtandlichung),
yakni buruh hanya dijadikan sebagai obyek satuan modal di
mata kapitalis, bukan sebagai
subyek atau pencipta barang,”
terang matin.
Hasil dari pembangunan ekonomi kapitalistik membuahkan
pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, namun menghasilkan kesenjangan sosial yang tajam
karena hanya dinikmati oleh
segelintir masyarakat saja. Sistem ekonomi seperti ini, karena
masih dominannya pihak asing
(kreditor) dalam menentukan
kebijakan-kebijakan ekonomi di
negeri ini.
Praktik ekonomi yang eksploitatif tersebut, disebabkan oleh
moralitas ekonomi tidak dijadikan
landasan dalam hubungan dan
proses ekonomi. Menurut Matin,
solusi dari permasalahan di atas
adalah harus ada renegosiasi
kontrak-kontrak karya serta sistem bagi hasil dalam industri
ekstraksi sumber daya alam,
serta pemberian jaminan terhadap hak buruh. Selain itu, ia pun
menawarkan pilihan kemungkinan nasionalisasi perusahaan
asing yang patut untuk dipertimbangkan sebagai jalan keluar
yang rasional.
“Oleh karena itu, kita patut
turut memperjuangkan hak-hak
buruh. Karena, hal itu tidak hanya
bermanfaat bagi buruh saat ini
saja, tapi akan jauh lebih bermanfaat bagi para buruh di masa
berikutnya,” demikian ungkap
Matin.
(HANIFA)
DIHANCURKAN MUENCHEN, AKHIR DARI ERA BARCELONA?
Semi final leg ke-2 European
Champions League, Rabu, 1
Mei dini hari lalu, memperlihatkan hasil yang cukup mengagetkan. Barcelona dikalahkan
Bayern Munchen di kandang
sendiri dengan skor 3-0.
Di pertemuan sebelumnya,
yang berlangsung di Allianz
Arena, Bayern mencetak 4 gol
tanpa balas. Agregat 0-7 merupakan hasil akhir yang sangat
menyedihkan bagi fans dari
club Catalan.
Kekuatan Barcelona yang
selama 6 tahun terakhir berjaya
di Eropa tidak mampu menghadang agresivitas para pemain
Bayern. Lionel Messi dan kawan-kawan tak mampu untuk
mencetak satu gol pun ke gawang Manuel Neuer.
Pada pertandingan semi final
Liga Champion ini, Bayern
Munchen bermain dengan sangat bagus. Taktik yang digunakan Jupp Heynckes sangat bril-
lian dengan memberikan pressing pemain Barcelona dari
derag pertahanan Barca sejak
pluit awal pertandingan berbunyi. Skema tiki-taka ala Barcelona yang selama ini superior
di hadapan lawan-lawannya
seolah-olah
telah menjadi
skema yang
usang. Bagai
sebuah mesin
gol yang tak
hentinya
keinginan
untuk
mencetak gol,
Bayern selalu
meningkatkan serangannya
meskipun telah unggul 4-0 sebelumnya.
Inikah akhir dari era Barcelona?
“Jangan hanya menilai kekuatan suatu tim hanya dalam
satu atau dua pertandingan
saja,” ujar Andreas Iniesta, ge-
landang serang Barcelona.
“Kami tampil dengan intensitas tinggi, tetapi kami tidak
mampu mencetak gol, itulah
yang menjadi pembeda,” tambahnya.
Menurut analis sepakbola
Jonathan Wilson, penulis
buku Inverting
the Piyramid
yang membedah evolusi
taktik sepakbola dunia,
inilah akhir
dari Era Barcelona. Superioritas klub Catalan dalam 6
tahun terakhir, menurutnya,
membuat periode tersebut layak
disebut sebagai Era Barcelona.
Dengan tiki-taka, Messi cs selalu berhasil memiliki penguasaan bola (possession) yang
lebih besar dari lawanlawannya.
Barca adalah klub sepakbola
dengan possession tertinggi di
Eropa, diikuti Bayern di peringkat kedua.
Kekalahan telak Barca dari
Bayern, menurut Wilson,
adalah tanda dari pergeseran
sebuah era. Permainan Bayern,
lanjutnya, adalah permainan ala
Barca yang telah dimodifikasi
dan diperbaiki kelemahankelemahannya. Salah-satu yang
paling menonjol, Bayern
memiliki keunggulan fisik
dalam memperebutkan bola,
tidak melulu dengan teknik
yang dalam beberapa kesempatan seringkali tidak bekerja.
Apalagi di musim depan,
Bayern akan dilatih oleh Pep
Guardiola, mastermind tiki-taka
Barcelona selama ini.
Apakah kiblat sepakbola akan
segera berpindah ke kota Munich? Menarik ditunggu
perkembangannya beberapa
tahun ke depan. (JOPI)
4. Catatan
Halaman 4
DICARI: ALBUS DUMBLEDORE ASLI INDONESIA
Oleh: Arlian Buana
Politik kita hari ini makin
seperti film horor dalam negeri.
Ngeri-ngeri tapi bagi akal sehat
bikin geli. Setiap hari kita dipaksa
menonton lelucon di televisi.
Kalau tidak setuju, tolong sebutkan satu saja peristiwa politik
belakangan ini yang tidak lucu.
Di tengah berbagai lelucon itu,
bagaimana masa depan Indonesia? Semua orang pasti akan
langsung bersepakat bahwa
masa depan negara ada di tangan pemuda. Pemuda adalah
harapan laten semua bangsa.
Tapi bisakah generasi sekarang
mengamankan masa depan? Itu
pertanyaan besar yang jawabnya
masih disimpan di Bank Swiss.
Entah siapa pegang kunciny
Benarkah segalanya di tangan
pemuda?
*********
Bukan rahasia jika setiap tokoh
muda punya mentor. Bukan rahasia pula, setiap organisasi mahasiswa atau pemuda punya senior
elit yang kepentingannya harus
dibela dan diperjuangkan matimatian. Namanya kepentingan,
kadang bertemu kadang beradu.
Kawan dan lawan soal mata pendapatan saja, di samping pendapat pastinya.
Organisasi mahasiswa adalah
kepanjangan tangan seniorseniornya di lapangan. Ya buat
demo, menggarap proyek hingga
menjadi mesin politik yang berpusing ke seluruh penjuru nusantara. Dari skala teri sampai skala
kakap.
Jadi sebenarnya, ungkapan
masa depan bangsa di tangan
pemuda adalah hiburan belaka.
Buat membesarkan hati cumacuma. Pengendalinya yang tuatua juga. Jangan kecewa.
Para petua itulah yang berkontribusi besar atas kenyataan
politik kita akhir-akhir ini. Sekali
lagi jangan kecewa. Begitulah
oleh siapa ia tewas. Ia juga sudah
menghitung dengan rinci bagaimana dampak politik dari kematiannya," saya coba menjawab.
Teman tadi manggut-manggut.
"Dumbledore bukan orang politik
kok. Buktinya, dia lebih milih jadi
Kepala Sekolah daripada jadi
Menteri Sihir," seorang teman lain
menimpali.
adanya. Setiap tokoh muda pasti
sangat patuh pada minimal satu
orang yang dianggapnya Suhu.
Setiap organisasi mahasiswa
punya senior yang kata-katanya
merupakan firman.
Anak-anak muda Indonesia,
dalam hemat saya, butuh mentor
politik sekelas Albus Dumbledore,
agar bisa membebaskan negeri
ini dari ancaman Kamu-TahuSiapa dan para Pelahap Maut.
"Lhoh, bukannya itu juga langkah
politik?"
Anak muda, kau baru benarbenar pegang kendali setelah kau
sudah tak lagi muda! Camkan itu.
Jangan ge-er kalau ada yang
menyanjung peran pemuda setinggi Menara Dubai. Itu lebay.
Walaupun ada ribuan Harry,
Ron dan Hermione, percuma bila
sosok seperti Dumbledore absen.
Sosok yang tidak hanya memiliki
kesaktian politik, tapi juga kecerdasan menyusun strategi agar
kebajikan jua yang juara.
Wah, teman yang satu ini ternyata sebegitu rendahnya memandang politik dan politisi. Tak rela
dia, Dumbledore disamakan dengan politisi. Dia tidak bisa terima,
Dumbledore dicap nyebur dalam
percaturan politik. Tentu saja dia
tak bisa disalahkan. Politik akhirakhir ini memang lebih sering
tampil bermuka bopeng. Politik
seolah-olah begitu jauh dari tujuan utamanya; mencapai kebaikan bersama. Politik hanya dipahami teman ini dalam maknanya
yang paling hina. Politik seperti
hantu blau.
Mari kita tengok novel Harry
Potter. Oleh J.K Rowling, Harry
dijadikan tokoh utama yang bisa
mengalahkan Voldemort. Kita
yang ketika membacanya masih
kecil, senang sekali mendapati
Harry pahlawannya.
Tapi Harry hanyalah kepanjangan tangan dari Dumblodore.
Bahkan seluruh anggota Orde
Phoenix patuh kepada Dumbledore. Jadi siapa pengendalinya?
Si Tua.
Dumbledore politisi atau bukan?
Kehadiran figur Dumbledore
tampaknya begitu mendesak.
Adakah figur Dumbledore di sini?
Kegelisahan ini kemudian saya
bagi di Warung Kopi.
"Sayangnya, tokoh seperti Dumbledore selalu harus mati.
Makanya, gak ada yang mau ambil posisi Dumbledore," jawab
seorang teman.
"Tergantung siapa yang lihat.
Dumbledore gak perlu jadi politisi
untuk dihormati,"
"Definisi kita tentang politik belum selesai, kayaknya."
"Definisi mah tergantung
orangnya aja yang liHat. Sosok
Saya langsung nyengir. TibaMau tidak mau, kita sebagai
tiba buku Psikologi Kematian-nya Dumbledore, menurut gue bukan
pemuda yang katanya pemegang
Kajeng Rektor melintas di kepala. sosok yang demen sama yang
mandat masa depan, wajib menenamanya politik, tapi pastinya dia
Buku yang membahas dengan
mukan Maha Guru yang tepat.
dihormati," kata dia melanjutkan,
tuntas, semua yang bernyawa
Harry sih enak, tanpa dia cari,
pasti bakal mati. Tanpa ditulis di diikuti tawa.
Dumbledore datang menghamkitab suci pun semua orang tahu. Dumbledore memang bukan polipiri. Apesnya, kita bukan hidup di
Tapi barangkali, maksud teman
tisi an sich. Tapi jelas ia punya
dunia rekaan. Dan di negara ini
tadi, jarang ada manusia yang
pengaruh besar bagi politik dunia
ada banyak sekolah dan univerrela mati demi sebuah perjuansihir.
sitas. Sementara di sana, Hoggan.
warts satu-satunya. Sudah pasti
"Bukan soal dihormati atau
ia jumpa Dumbledore, pembimb- “Bukankah kematian Dumbledore nggak, bukan juga soal jadi poliingnya. Sementara kita, harus
sudah ia rencanakan sendiri? Itu tisi atau nggak. Tapi soal pengamencari kesana-kemari. Akan
justru salah-satu contoh kesakruhnya dan gimana dia gunain
sangat berbahaya jika kita jatuh tian politiknya yang luar biasa.
pengaruh itu. Jelas-jelas Dumblemenjadi Draco Malfoy, punya
Dumbledore sendiri yang
dore ada di pusaran politikpanutan si Penguasa Kegelapan. memilih; kapan, bagaimana dan
5. Catatan
Halaman 5
dunia sihir. Dia malah memimpin
satu kelompok; Order of the
Phoenix. Kalo nggak mau itu dibilang partai, katakanlah semacam
LSM. Posisinya jelas banget,
menghadapi Voldemort dan para
pengikutnya. Dumbledore dengan
sadar ngambil peran dan posisi
politik itu. Soal nggak mau ngambil jabatan politik; jadi menteri,
itu kan taktik," panjang-lebar saya
menjelaskan.
Teman saya berkeras, Dumbledore tidak tersentuh, apalagi
menyentuh politik yang kotor.
Ingin rasanya menyodorkan gambaran Gandhi dan perjuangan
politiknya. Mengingat arah
diskusi sebenarnya bukan perdebatan seperti ini, saya urungkan
niat. Saya keburu maklum, dia
susah mengerti karena terlalu
mem-boneka-barbie-kan Dumbledore. Dan lebih jauh lagi, bawah
sadarnya mengamini bahwa
politik itu keji.
Akan tetapi, tanpa pembimbing
dan penunjuk jalan macam Dumbledore, sepertinya kita harus
mengucapkan selamat tinggal
Indonesia yang cerah.
Hermansyah. Dia ceritakan, puteri pertama Anang-Krisdayanti itu
memutuskan pacarnya melalui
twitter. Tak lama kemudian, Aurel
punya pacar baru lagi, putus lagi,
galau lagi, punya pacar baru lagi
Tanpa tokoh sekaliber Dumbledan seterusnya dan seterusnya.
dore, politik kita selamanya akan
abu-abu. Anak muda dengan
Dia katakan dengan lantang,
idealisme menyala-nyala akan
anak muda seperti Aurel tidak
mati kutu. Dementor akan sepeduli sama sekali dengan
makin meraja-lela menebar kege- politik. Bagi Aurel, topik yang kita
lapan, ketakutan dan keputusbicarakan ini sampah.
"Ah, bukan taktik deh. Dumbleasaan. Ancaman Kamu-TahuSaya tidak bisa terima dan tak
dore hanya seseorang dengan
Siapa dan para Pelahap Maut
mau kalah tinggi intonasi: "AUREL
penderitaan dan tanggung jawab
*********
semakin nyata. Dan pada saatITU MUGGLE! JANGAN DIyang penuh misteri dari masa
nya, mereka yang akan berkuasa
Masih banyak mahasiswa dan
GANGGU! BIARIN AJA!"
lalunya,” lagi-lagi dia menyangkal.
selama-lamanya. Anak-anak
pemuda yang peduli masa depan
muda yang masih bening tatapan
Barangkali saya terlalu hitam"Masa lalu Dumbleodre itu kan
bangsa. Masih banyak yang dematanya, tidak mustahil akan
putih. Tapi Dumbledore pernah
faktor pendorong sikap-sikap dan monstrasi karena peduli, bukan
bergabung ke sana. Tidak terkec- bersabda: "It is not our abilities
tindakan politiknya?"
dibeli. Masih banyak yang sunguali saya sendiri.
that show what we truly are. It is
guh-sungguh mempersiapkan diri
Diskusi buntu.
our choices."
untuk mengabdi kepada Ibu perDi lain pihak, teman saya tadi
tiwi.
mulai berbicara tentang Aurel
HIDUP BURUH, PERMAINAN PENGUASA
Lagi-lagi buruh yang menjadi
korban, yang selalu dimanfaatkan dan hanya dibayar murah.
Hingga saat ini yang disalahkan selalu buruh yang selalu menjadi obyek lempar batu
sembunyi tangan, padahal
keinginan buruh tidak seberapa.
Hampir satu dekade terakhir,
kekerasan terhadap nasib para
buruh yang terjadi kian marak.
Bahkan sampai ada yang pergi
ke negeri orang dan pulang
tinggal nama karena menjadi
buruh. Tidak sedikit pula orang
yang bungkam dan tutup mata
atas hal ini.
Sepertinya ada yang disembunyikan di saku kiri para pejabat, karena tidak sedikit pula
anjuran-anjuran para pejabat
yang membuat orang yang
mendengarkan agak bingung.
Ketika kaum buruh sedang
diselimuti rasa takut yang
mencekam karena ancaman
PHK dan banyaknya ketidakadilan, para pengusaha dan penguasa menyembunyikan ke-
sepakatan diam-diam di belakang meja makan malam.
Indonesia adalah negara yang
kaya akan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang
tidak ada kurang-kurangnnya
jika dikelola dengan baik.
Kekayaan itu dapat memberikan keuntungan lebih bagi negara dan seisinya. Namun faktanya berlawanan dengan fakta
yang seharusnya terjadi, kemiskinan seperti telah menyatu
dengan raga sebagian besar
orang Indonesia. Kesejahteraan
kaum pekerja, buruh dan tani,
jauh panggang dari api.
Namun buruh tak bisa berbuat banyak. Mereka tidak berdaya karena tidak memiliki
otoritas atas nasib mereka
sendiri. Daya tawar mereka pun
seakan selalu direndahkan oleh
para penguasa dan pemilik modal.
Padahal pemerintah berkewa-
Oleh: Udin Syarifudin
jiban untuk memperjuangkan
nasib buruh-buruh tersebut.
Pemerintah bertanggungjawab
atas kesejahteraan rakyatnya.
Pemerintah tidak boleh lepas
tangan untuk memberikan jaminan pendidikan dan kesehatan
yang layak bagi rakyat banyak.
Karena sejatinya, kekayaan
alam Indonesia yang melimpah
ruah adalah milik seluruh
rakyat Indonesia. Bukan milik
segelintir birokrat busuk dan
pemilik modal.
Maka tidaklah salah apabila
pada waktu lalu, saat ini dan
mungkin masih akan terjadi ke
depannya, sumber protes, demonstrasi dan pemogokan buruh adalah menuntut hak-hak
mereka yang telah dieksploitasi.
Segala bentuk protes itu merupakan bentuk resistensi kaum
buruh terhadap represi yang
dilakukan kaum kapitalis. Itulah
perlawanan terakhir mereka
dalam memperjuangkan nasib
mereka sendiri.
6. Opini
Halaman 6
NASIB BURUH DARI MASA KE MASA
Oleh: Matin Halim
Sejarah tentang Indonesia
sejatinya merupakan lahan
ekspansi kaum borjuasi kolonial.
Ketika kedatangan orang-orang
Eropa ke Indonesia, kontradiksi
dalam sistem sosial feodal di
Indonesia dipertajam oleh tangan
kolonialis.
ketidakstabilan ekonomi yang
terjadi berdampak cukup jelas
pada industri formal, terutama di
bidang TPT (tekstil dan produk
tekstil). Menurunnya kegiatan
produksi di industri formal (TPT,
Perkayuan & Kehutanan, BUMN)
mengakibatkan maraknya kasus
Akan tetapi harga yang dibayar
PHK. Penyempitan kesempatan
Jika sebelum Indonesia merjuga terlalu mahal. Hancurnya
kerja di sektor formal ini juga
deka kita berjuang untuk menen- tatanan sosial masyarakat, ekmenjadi salah satu penyebab
tang, melawan dan meruntuhkan sploitasi manusia dan sumbermembengkaknya jumlah pekerja
pemerintahan/kekuasaan kolodaya alam, serta perusakan lingdi sektor informal.
nial, maka sekarang tidaklah
kungan hidup telah mewarnai
seperti itu. Kita menerima dan
mengakui dengan sadar bahwa
Republik Indonesia betapapun
jelek dan rusaknya adalah Negara dan Pemerintahan kita
sendiri. Maka para penyelenggara
pemerintahan harus didorong
agar mentaati dan menjalankan
Konstitusi/UUD 45 – mandat
revolusi sosial dan nasional Indonesia, dengan sungguh-sungguh
demi kelancaran pembangunan.
Pertanyaannya kemudian,
apakah pembangunan tersebut
sudah mencapai titik yang signifikan dalam upaya menciptakan
kesejahteraan bagi rakyat, dan
tentunya juga sejalan dengan
mandat konstitusi UUD 45? Harapan demi harapan ditanamkan
dalam keyakinan, akan tetapi
tidak pernah ada kejelasan atas
harapan yang dibangun dari semangat kemerdekaan tadi. Krisis
multidimensial, ketahanan pangan yang kacau balau, masalah
hukum yang semrawut, permasalahan ekonomi, kesenjangan
kelas yang semakin jelas terlihat
antara petani dan si pemilik
tanah, antara si buruh dan majikan.
Perjuangan kaum buruh di
Indonesia, untuk memperoleh
jaminan kepastian kerja ternyata
semakin jauh dari harapan. Berawal dari sekitar tahun 1980-an,
dengan berakhirnya masa kejayaan minyak, pemerintah melancarkan strategi baru untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi
yang cepat melalui industrialisasi
yang berorientasi ekspor. Promosi
murahnya upah buruh, kestabilan
politik, dan melimpahnya sumberdaya alam, telah menarik investor
secara besar-besaran membangun berbagai industri.
perjalanan panjang pembangunan ekonomi Indonesia selama
ini.
Di ujung masa pemerintahannya, Soeharto sempat
menandatangani sebuah perjanjian dengan IMF yang tertuang
dalam Letter of Intent (LoI) yang
menyebabkan kondisi buruh Indonesia makin terpuruk tingkat
kesejahteraannya. Kebijakan
yang tertuang perjanjuan tersebut
mendorong terjadinya Reformasi
Hukum Perburuhan dimana pemerintah harus mengubah semua
produk hukum perburuhan sejak
jaman Soekarno yang cenderung
pro-buruh. Reformasi Hukum
Perburuhan yang melahirkan 3
Paket UU Perburuhan (UU
21/2000, UU 13/2003 dan UU
2/2004) telah melepaskan proteksi Negara terhadap buruh.
Kondisi ini berlanjut setelah
tumbangnya rezim Soeharto,
Hasil dari pembangunan ekonomi dengan menggunakan jalan
kapitalisme, di satu sisi memang
membuahkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi di sisi
yang lain menghasilkan kesenjangan sosial yang tajam karena
pertumbuhan hanya dinikmati
segelintir orang yang menguasai
unit-unit ekonomi dan juga sumber-sumber ekonomi di dalam
negeri. Sementara rakyat selalu
menjadi korban dari pembangunan. Struktur ekonomi seperti
ini terjadi karena masih dominannya pihak asing (kreditor)
dalam menentukan kebijakankebijakan ekonomi di negeri ini.
Dan sejauh ini, refomasi ternyata hanya melahirkan demokrasi
prosedural dengan elit-elit penguasa yang rakus dan takluk di
bawah kaki para pemodal. Tak
heran jika Pramoedya pernah
menyebut era ini adalah Orde
Baru di Orde Baru.
Penguasaan swasta dan asing
atas aset-aset berharga, baik
materi maupun non-materi kemSituasi perburuhan di Indonebali menjadi tontonan setiap hari,
sia juga diperparah oleh kemengingatkan kita pada sejarah
luarnya paket UU Perburuhan (UU
kelam negeri ini yang selama
Ketenagakerjaan, UU Penyeleberabad-abad berada dalam
saian Perburuhan dan UU kebecengkeraman kolonialismebasan Berserikat) yang tidak
imperialisme. Sumber daya alam
mendukung peningkatan kondisi
seperti, tambang, minyak dan lain
buruh tapi malah melegalisasi
-lain, memang melimpah ruah,
sistem kerja subkontrak, dan
akan tetapi telah dirampok
tenaga kerja kontrak tanpa memswasta dan asing.
berikan perlindungan yang jelas
terhadap buruh.
Tenaga-tenaga kerja produktif
pribumi menjadi sasaran empuk
Dalam rangka meningkatkan
perbudakan. Pengetahuan waripenyerapan tenaga kerja melalui
san leluhur memang megah dan
investasi, pihak perusahaan
mengagumkan. Tapi neokolonialmendorong pemerintah untuk
isme telah merebut dan
meninjau kembali kebijakanmenghegemoni basis epistimologi
kebijakan yang dianggap terlalu
dan menembus ke-“tidakprotektif dan kebijakan upah
sadaran” kita.
minimum yang kenaikannya
dianggap tidak menguntungkan
Yang tersisa adalah buruh yang
investor. Situasi ini membuat
terus diperas keringatnya, petani
kondisi buruh menjadi semakin
yang kelaparan di lumbung padi,
rentan.
dan rakyat yang terjajah.
7. Resensi
Halaman 7
MARI PULANG MARILAH PULANG
Setelah 3 tahun dalam pelarian, Hananto Prawiro, sahabat Dimas Suryo, akhirnya tertangkap. Penangkapan yang
dipenuhi basa-basi. Penangkapan yang menjadi pintu masuknya menuju kematian.
“Ketika mesin mobil dinyalakan, aku menebarkan pandangan ke seluruh malam di
Jalan Sabang: gerobak kue
putu Soehardi, sate Pak Heri,
warung bakmi godog dan terakhir lampu neon Tjahaja Foto
yang berkelap-kelip. Untuk
terakhir kalinya.”
Lalu melompat ke Paris.
Ketika Dimas Suryo jatuh cinta
pada pandangan pertama
kepada Vivienne Deveraux,
seorang aktivis mahasiswa
berkebangsaan Perancis.
“Dia muncul seperti selarik
puisi yang belum selesai.”
Dimas harus tetap tinggal di
Perancis dan tak mungkin
kembali ke Indonesia. Aktivitasnya di Kantor Berita Nusantara yang banyak bersinggungan dengan orang-orang kiri
membuatnya hanya akan ditumpas jika nekad pulang. Apalagi
kepergian Dimas dan kawankawan dari tanah air, beberapa
hari sebelum peristiwa G 30 S,
untuk menghadiri pertemuan
jurnalis-jurnalis kiri di Kuba
lalu ke China.
“Sekali lagi Ibu menekankan
sebaiknya Mas Dimas tetap di
Eropa saja… Perburuan semakin mengganas, bukan hanya
pada mereka yang dianggap
komunis, atau ramah kepada
PKI. Kini keluarga dan sanak
family pun kena ciduk. Ada
yang dikembalikan, ada yang
hilang begitu saja, ada yang
dihanyutkan ke sungai,” tulis
adik Dimas, Aji Suryo, dalam
sepucuk surat.
Begitulah cuplikan dari novel
Pulang karya Leila S Chudori.
Dimas bersama ketiga sahabatnya, Nugraha, Risjaf dan Tjai
membangun hidup bersamasama di Paris. Mereka mendiri-
kan restoran “Tanah Air” di
sana.
Leila dengan cerdik mengembangkan kisah ini. Segala dinamika di Perancis dipadukan
dengan kisah-kisah masa lalu
dan kerinduan akan masa depan
di kampung halaman.
********
Kita mungkin telah lupa kapan terakhir kali menyebut
“Indonesia” dengan deru di
dada. Barangkali ketika menjadi petugas upacara di Sekolah
Dasar berpuluh tahun yang lalu.
Mungkin saat tim nasional
sepakbola kita menderita kekalahan yang sepertinya telah
menjadi hal biasa. Atau bisa
jadi belum pernah.
Melihat Indonesia secara
mendalam hari ini barangkali
terlalu menakutkan bagi kita.
Terlalu banyak hal yang membuat kita miris ketimbang tertawa bangga. Segala tentang
Indonesia terkesan seperti buruk belaka. Kita pun berhenti
ambil pusing dan mulai berpikir
tentang diri kita masingmasing.
Tapi bagaimana jika hari ini
mendadak kita harus terusir dari
negeri ini dan terasing di negeri
orang? Bayangkan Anda menjadi Dimas Suryo. Bayangkan,
Anda harus pergi mencari perlindungan dari negara lain
karena jika Anda pulang ke
Indonesia maka nyawa Anda
akan melayang.
Bayangkan, Anda harus pergi
dari orang-orang yang Anda
cintai hanya karena Anda dekat
dengan kelompok tertentu padahal Anda tidak pernah merasa
menjadi bagian dari kelompok
itu. Bayangkanlah.
Jika Anda masih punya cukup waktu untuk membayangkan hal-hal yang demikian yang artinya untuk sejenak ambil pusing tentang Indonesia—
maka novel Pulang adalah medium yang pas. Kita tak perlu
menjadi TKI terlebih dahulu
Data buku
Judul : Pulang
Penulis : Leila S Chudori
Penerbit: Kepustakaan
Populer Gramedia
Tebal : 464 halaman
dari pikiran dan perasaan tangan pertama.
Novel ini sama sekali tidak
kering karena selain Leila sangat lancar bercerita, di beberapa
tempat juga terdapat bumbu
humor yang menyegarkan.
Meski tidak mendapat porsi
cerita yang banyak, karakter
Tjai adalah karakter yang segar
justeru karena kekakuannya.
Sebab Tjai dikelilingi oleh
orang-orang yang tidak terlalu
beraturan seperti Dimas dan
kawan-kawan.
Melalui karakter Lintang
Utara, anak Dimas dan
Vivienne, yang ke Indonesia
untuk tugas akhirnya di kampus, cerita kembali di Jakarta
sebulan menjelang jatuhnya
Orde Baru. Leila bahkan dengan cermat menulis bagaimana
generasi 90-an berdialog, generasi yang terbiasa mengeluarkan umpatan anjing dan monyet
untuk keakraban.
Dengan membelah cerita
menjadi tiga bagian seperti
drama tiga babak, alur majumundur yang merangsang dan
tak kehilangan koherensi, membaca Pulang kita tidak akan
pernah bosan hingga tanpa sadar telah mencapai halaman
terakhir.
Lalu bagaimana kita memaknai rumah besar Indonesia?
Andai segala tetek-bengek nasionalisme masih harus kita
pusingkan.
Mari pulang. Marilah pulang.
untuk mengetahui betapa sebenarnya kita mencintai tanah
air ini, betapa kita akan merindukan segala sesuatu yang
sepertinya remeh-temeh di sini.
Betapapun suramnya kenyataan tentang Indonesia, Dimas Suryo toh selalu merindukan tanah Indonesia. Betapapun
pahitnya perlakuan negara terhadapnya, Dimas Suryo tak bisa
berpaling dari hatinya yang
merindukan aroma cengkeh,
cintanya yang tertambat di Jakarta dan cita-citanya untuk
disemayamkan di Karet, seperti
Chairil Anwar. Tanah airnya.
Akarnya. Maka ia ingin pulang.
Membaca novel ini, seperti
menonton sebuah film dengan
pertukaran adegan yang cerdas,
penggambaran yang sempurna
Tabloid Biru
dan dialog-dialog yang menMeyediakan Kolom Iklan:
yentuh dengan nilai keseharian
1 kolom di halaman depan/
yang sederhana, kemanusiaan
belakang: Rp. 1.000.000.
yang utuh. Kadang mencen 1 halaman penuh di bagian
gangkan, kadang mengharudalam Rp. 2.000.00 0
biru, kadang lucu. Semuanya
1/2 kolom di halaman depan/
dikisahkan Leila dengan wajar.
belakang: Rp. 500.000
Leila seperti punya segudang 1 kolom di halaman dalam:
senjata untuk bercerita. PiliRp. 500.000
hannya menggunakan sudut
1/2 kolom di halaman dalam:
pandang orang pertama dari
Rp. 250.000
tokoh-tokohnya memungkinkan Iklan baris: minimal
ceritanya menjadi sangat kaya,
Rp.50.000
karena segala persoalan dikuliti
8. Celoteh
Halaman 8
“510”
Makhluk kuning bernomor
punggung 510 itu berhenti di
perempatan Pasar Rebo. Nyaris
seperti harimau luka, meraung.
Kemudian seperti air mendidih
100 derajat celcius. Makhluk itu
bukan harimau.
Sekarang makhluk itu mirip
buaya lapar, menganga di tepi
kali. Barangkali ada calon
mangsa yang mendekat. Tapi
bukan pula buaya karena mulutnya tidak di kepala, melainkan
di sebelah kiri perutnya. Dua
jumlahnya.
Bus 510!
Puji Tuhan. Satu per satu
mangsa mendekat. Mereka ditelan tanpa seleksi. Laki atau perempuan. Muda atau renta. Dan
paham, mustahil ada kursi kosong. Mereka berdiri. Berdesakan seperti kelereng dalam
kaleng.
Sekira 10 menit, makhluk
kuning bernomor punggung 510
itu penuh sesak. Sudah saatnya
pergi. Tapi dia seperti koruptor.
Pantang kenyang. Enggan
ngeloyor sebelum koruptor di
belakang setor muka. Sementara sopir seperti siluman, entah
dimana.
Dengus mesin bergetar,
mengguncang-guncang seisi
tubuhnya. Tapi ini gerak tipuan,
seolah akan langsung pergi. Dia
menepi.
Penghuni di dalam perutnya
mengutuk dalam tujuh bahasa.
Tapi tidak bisa berbuat banyak.
Keringat meleleh di sekujur
pori-pori. Jendela yang terbuka
tak berfaedah karena angin
malas datang. Dan nafas dari
mulut dan hidung mereka seolah mengandung api. Mereka
mengukus diri sendiri.
Kondektur berseragam Personek berteriak, “Puta, Puta,
Puta,” huruf “T” dilipatnya di
ujung bibir. Dia belum puas
hanya membuang “Ci”.
“Udah penuh, Bang!” sela
satu suara.
Sang kondektur tak berkomentar. Ngeloyor ke lampu
merah. Tak lama, dia membawakan kopor hitam. Di belakangnya seorang ibu berhias
keringat terseret-seret. Mendapati penuhnya bus, ia tertegun
sebentar. Pikirannya barangkali
bertanya, bagaimana mungkin
tulangnya yang keropos mesti
berdesakan dengan belulang
bugar. Tapi masuk juga. Mau
tidak mau!
Ayo turun! Saya carikan taksi
sekarang. Ayo, siapa mau turun?” tukasnya. Bernada ancaman.
Beberapa saat dia menunggu
jawaban. Tapi Bungkam.
Pemilik suara seolah menyesal
dengan kata-katanya sendiri.
Kondektur bersungut-sungut
pergi.
Penumpang kini memenuhi
“Bang geser, bang. Ke dalam,
ke dalam! Tasnya di depan.
Tasnya di depan! Dua baris! Itu
masih ada yang kosong. Geser,
Bu, geser!” kondektur seolah
komandan merapikan barisan
serampangan. Berhambur tanda
seru.
Seorang ibu muda berhenti di
ambang pintu. Menatap bus
sejenak. Seolah menimbang,
bagaimana mungkin tubuh kenyalnya bergesekan dengan priapria tak bertuan. Tapi apa boleh
buat. Muncul pula tanda seru:
segera pulang! Matahari tunggang gunung. Suami dan anakanak manis menunggu. Ia pun
naik sambil meringis.
“Bang, jalan aja. Udah penuh!” satu suara menyeru. Tapi
tak jelas raga wadagnya. Mungkin karena itu dia berani.
“Kalau pengen cepet, naik
taksi aja! Suruh siapa naik bus?
ambang pintu. Laiknya zaman
revolusi fisik di tahun 45 saat
negeri ini dicengkeram penjajahan. Tapi mereka tak ada yang
teriak merdeka. Bungkam
malah. Hanya mendengar ratap
nafas sendiri yang sesak.
Nasib mereka tak beranjak
dari penderitaan nenek moyangnya 66 tahun lalu.
Entah dari mana munculnya,
sang sopir sudah bertengger di
belakang kemudi. Saat itu, di
belakangnya, makhluk kuning
yang bernomor punggung sama,
menggeram.
Kemudian balas menggeram.
Seolah tabik bermakna: ya, saya
berangkat. Ia pun menggelesot
sempoyongan. Masuk tol, menyatu dengan harimau-harimau
lain yang gesit.
Di tengah tol, bus rongsokan
ibarat harimau tua kekenyangan. Dia berjalan meliuk-liuk,
Oleh: Abdullah Alawi
berderak, berdecit. Lambungnya mengeliat-geliat. Tapi
penghuni di dalamnya tampak
lega, sedikit terbebas dari kukusan atas belas kasihan angin
yang menerobos jendela.
Kondektur menelusup, menagih ongkos dengan ulet. Tak
satu pun yang abai dari matanya. Uang Rp 3.000. 00 teru-
lur dari tiap tangan.
Di perempatan Lebak Bulus,
harimau tua itu tak tahan. Perutnya menggeliat-geliat mual. Dia
memuntahkan beberapa penumpang yang langsung pergi tanpa
menatapnya. Seolah baru saja
terbebas dari tempat terkutuk.
Tapi besok naik lagi.
Di terminal Lebak Bulus, bus
kembali muntah. Di Pasar Jumat, Gintung, Rempoa, Kampung Utan, Legoso, Ciputat.
Coba Saudara tanya kepada
setiap penumpang yang turun
dari bus kuning serakah itu,
berapa tahun Indonesia merdeka? Atau, apa benar-benar
sudah merdeka? Dan, kalau
Saudara belum pernah dikukus,
ada baiknya sekali waktu naik
510. Murah kok, cuma tiga
ribu.
Selamat mencoba!