Buku ini membahas tentang kegagalan demokrasi di Indonesia untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat. Menurut penulis I. Wibowo, demokrasi telah dibajak oleh para politikus yang hanya mengeksploitasi jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Demokrasi pun dianggap tidak tepat untuk diterapkan di Indonesia karena berdasarkan analisis beberapa ahli, demokrasi cenderung menghasilkan masalah baru yang men
1. Judul Buku : Neegara dan Para Bandit Demokrasi
Penulis : I. Wibowo
Cetakan : 2011
Penerbit : PT. Kompas Media Nusantara (Buku Kompas)
Tebal : xii + 132 Halaman; 13,5 cm x 20 cm
“Sudah lebih satu dasawarsa demokrasi kita didorong agar tumbuh kembang di
Indonesia. Namun, hingga hari ini paham itu tak kunjung tegak. Kesejahteraan dan
keadilan yang dijan jikan tak kunjung tiba. Ada apa dengan proses demokrasi kita?”
kalimat pertama dari sinopsis buku Negara dan Bandit Demokrasi karangan almarhum
Iqnatius Wibowo, ahli politik cina.
Politik demokrasi bener-benar telah dibajak oleh preman-preman politik dinegeri ini
demi kepentingan pribadi mereka. Mereka jarah semua kekayaan rakyat dengan dalih
“mumpung” berkuasa. Mereka wakil rakyat, rakyat berkeinginan kaya sudah diwakilkan
oleh mereka, rakyat berkeinginan untuk hidup sejahtera sudah diwakili oleh mereka,
rakyat berkeinginan hidup mewah pun suudah diwakili oleh meraka.
Demokrasi, hampir sudah lebih dari satu dasawarsa tumbuh dan berkembang di
negeri ini. Dengan harapan kesejahteraan dan kenyamanan hidup bernegara segera
dirasakan oleh masayarakat. Namun apa adanya, sampai detik ini kesejahteraan dan
kenyamanan itu belum dirasakan oleh kita semua. Bahkan demokrasi dinegeri ini dikebiri
oleh para bandit-bandik penguasa dengan dalih kepentingan rakyat.
Entah apa yang ada di pikiran Ketua DPR waktu itu, ketika melontarkan pernyataan
kontroversialnya: ”Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru,
hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu”
pernyataan ketua DPR ini sudah jelasmewakili siapa mereka di senayan sana.
Yah, biar bagaimanapun inillah hasil dari produk sistem demokrasi yang
diperjuangkan, yang kita gadang-gadang dan kita nobatkan sebagai sitem terbaik dari
Nama : Taufiq MS
NRP : I01214006
2. berbagai sitem yang ada. Sampai detik ini demokrasi belum memberikan apa-apa kepada
rakyat, kecuali kesejehateraan bagi mereka yang sedang bermain dan menjadi pemenang
dari pesta demokrasi.
Demokrasi kini telah menjelma menjadi hedonisme politik yang tiranik. Hal ini dapat
kita ukur melalui otoritas politik disalahgunakan, kepercayaan rakyat dikhianati, suara
rakyat dibungkam, fungsi representasi direduksi, kesejahteraan rakyat jadi kesenangan diri,
kewenangan amanah rakyat berubah menjadi kesewenang-wenangan, ketika rakyat hanya
dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.
Rasanya jika kit memperhatikan perkembangan yang terjadi di negara Indonesia
dalam jangka waktu lima tahun terkahir, yang terjadi jelas bukan sebuah transisi menuju
demokrasi sebagaimana yang diidealkan oleh para pemuja demokrasi. Realitas yang
berkembang justru sebalikny. Korupsi, premanisme, dan kesewenang-wenangan semakin
merajalela. Perlu dicatat, selama 32 tahun kekuasaan rezim Suharto yang otoriter dan
militeristis itu, tak pernah muncul kasus pemukulan seorang pemimpin redaksi oleh
segerombolan preman. Akan tetapi, ini justru terjadi di era katanya “transisi menuju
deemokrasi” ini.
Perbandingan dengan era Suharto menjadi sulit dielakkan. Apalagi ditengah
masayarakat menurut I. Wibowo konon sudah mulai berkembang “wabah SARS (Sindrom
Amat Rindu Suharto”. Ada yang mengatakan, pada masa soeharto yang melakukan karupsi
hanya satu kelompok saja, dan a da disekitas penguasa. Namun, diera sekarang ini, korupsi
berkembang biak bak cendawan dimusim hujan. Tak heran jika Transparency
International Indonesia (TII) meletakkan Indonesia sebagai negara terkorup keenam di
dunia.
Buah demokrasi di Indonesia tak kunjung membawa kesejahteraan dan
kemakmuran bagi rakyat seakan menjawab rasa pesimis alm. I. Woboowo mengenai
demokrasi sebagai kampiun penyelamat kebobrokan sitem politik.
3. Menurutnya, kenapa kita harus capai-capai bicara tentang demokrasi, padahal
demokrasi tidak akan membawa kita ke pintu gerbang kemakmuran, bukankah itu sama
dengan buang energi percuma ?( hlm. 27)
Padahal, banyak catatan ahli demokrasi yang menyebut demokrasi bukanlah sistem
yang pantas untuk dicita-citakan. Sebab, demokrasi banyak menghasilkan problem-problem
baru yang menghalangi kesejahteraan. Menggunakan hasil penelitian Robert Kaplan,
Marcur Olson, Amy Chua dan Noreena Herzt. I. Wibowo menyimpulkan bahwa demokrasi
tidak layak untuk diterapkan di negeri ini.
Dari Kaplan, Wibowo menjelaskan bahwa demokrasi tidak akan berkembang di
negera berkembang yang mempunyai basis partai politik suku atau agama, keduanya tidak
akan dapat diakomodasi oleh demokrasi yang berdasarkan nilai toleransi. Sedangkan politik
suku atau agama biasa saling menegasikan.
Menurut almarhum I. Wibowo, ketika penguasa tunggal dijatuhkan pada Reformasi
Mei 1998, orang berharap kejadian korupsi sejenis yang dilakukan Suharto tak akan lagi
terjadi karena rakyat akan mengawasinya. Ternyata si pengawas sendiri terkadang terlibat
karupsu. (hlm. 77) dasar bandit...!!!
Menggunakan pendekatan Marcur Olson, I Wibowo menambahkan perspektif
fenomena demokrasi dengan sebuah pertanyaan, kenapa setelah pemerintah yang buruk
kemakmuran tidak kunjung datang ?. Olson menerangkan fenomena ini karena adanya
bandit berkeliaran ( roving bandits) dan bandit menetap ( stationary bandits). Keduanya
sama-sama jahat, namun kejahatan mereka memiliki pola yang berbeda.
Bandit berkeliaran adalah jenis bandit mendatangi beberapa tempat untuk
menjarah kemudian pergi. Pekerjaan mereka menjarah dan berpindah –pindah tempat,
dari satu daerah ke daerah lain. Bisa jadi dari suatu instansi pemerintah yang satu dengan
instansi yang lain. Dari dinas satu ke dinas yang laian.
Sedangkan bandit menetap adalah seorang bandit yang memiliki kekuasaan. Ia
menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya dirinya namun ia tetap menjaga
4. wilayahnya. Memberi kesempatan pada rakyatnya untuk maju dan berkembang. Sehingga,
ia berkesempatan untuk menarik pungutan dan membuat rakyat sangat bergantung pada
penguasa.
Menurut Olson, ketika bandit menetap runtuh, muncullah bandit berkeliaran yang
tak lagi terikat pada sang “Bos”.
Fenomena politisi-politisi bandit sangat terlihat dari perilaku para politisi kita. Yang
memanfaatkan jabatan mereka untuk memperkaya diri dan kelompoknya saja. Mereka
sadar hidup diera yang demokratis seperti ini, menjabat maksimal dua periode. Sehingga,
kesempatan menjadi penguasa mereka pergunakan untuk mengarong kekayaan negara.
Apalagi, ketika biaya politik mereka untuk duduk di dewan belum impas. Maka, tidak ada
pilihan lain untuk terus menguras uang negara.
Berangkat dari beberapa analisa tersebut, I. Wibowo, menyimpulkan bahwa
demokrasi bukanlah sebuah sistem yang paling ampuh untuk mencapai kemakmuran.
Buku pertama karya almarhum Romo I. Wibowo yang diterbitkan setelah wafatnya
November 2010. Kumpulan artikel yang pernah diterbitkan di HU Kompas ini menjadi
menarik karena sudah terangkai dalam satu buku sehingga lebih mudah membacanya.
Terutama bagi pemalas baca koran seperti saya. Kelebihannya buku ini ditulis dengan
bahasa dasar sehingga mudah dipahami bagi pembaca.